Anda di halaman 1dari 15

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 LATAR BELAKANG

Rusa merupakan salah satu jenis satwa yang termasuk dalam bangsa (ordo) Artiodactyla,
anak bangsa (sub-ordo) ruminansia dan suku (family) Cervidae.Saat ini diketahui tidak kurang
dari 16 marga (genus), 40 spesies dan 189 anak jenis (subspesies) rusa. Sebaran aslinya yang
tersebar diseluruh dunia, mulai dari yang beriklim dingin di dataran Eropa, hingga ke daerah sub
tropis dan tropis di dataran Asia. Jumlah spesies rusa yang tersebar diseluruh dunia adalah
kurang dari 40 spesies (Semiadi dan Nugraha., 2004). Rusa adalah satwa liar yang memiliki nilai
estetika dan dapat dijadikan sebagai satwa pajangan dalam taman terutama rusa Timor (Cervus
timorensis) dan rusa Bawean (Axis kuhlii). Hewan tersebut memiliki potensi ekonomi karena
dapat menghasilkan kulit, velvet (tanduk muda) dan daging (Garsetiasih dan Takandjandji,
2006). Rusa merupakan salah satu hewan yang dilindungi di Indonesia menururt Peraturan
Pemerintah Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 1999 Tentang Pengawetan Jenis Tumbuhan dan
Satwa. is (Rusa timor) (Departemen Kehutanan, 1999). Secara umum populasi rusa pada habitat
alaminya (in situ) diindikasikan terus mengalami penurunan dari waktu ke waktu akibat
kerusakan habitat dan tekanan perburuan.

Berdasarkan kategori IUCN Red list, Rusa timor termasuk ke dalam kategori spesies
terancam (Endangered species). Oleh karena itu, upaya dalam melindungi satwa ialah
menempatkan satwa pada sebuah penangkaran. Penangkaran merupakan upaya perbanyakan
melalui pengembangbiakan dan pembesaran dengan tetap menjaga kemurnian jenisnya.
Penangkaran juga dilakukan sebagi upaya untuk menghindari dari perburuan liar dan mencegah
dari berbagai hal yang menyebabkan kematian satwa dilindungi (Purwaningsih et al., 2017).
Usaha penangkaran tidak lepas dari ancaman kegagalan akibat penyakit dikarenakan kondisi
yang tidak sesuai dengan habitat aslinya, Salah satu masalah utama adalah parasit. Penyakit yang
disebabkan oleh parasit pada umumnya tidak menyebabkan kematian secara akut, tetapi bersifat
kronis sehingga pada rusa dewasa akan mengakibatkan produksi dan kemampuan kerja yang
menurun. Sedangkan pada satwa muda akan menghambat pertumbuhan, nafsu makan menurun,
anemia dan diare (Sahani et al., 2018). Cara mendiagnosis keberadaan dari jenis endoparasit
dalam tubuh satwa adalah dengan pemeriksaan tinja segar. Beberapa jenis parasit yang terdapat
pada saluran pencernaan rusayang hingga saat ini pernah didokumentasikan yaitu Capillaria
bovis, Capillarialongipes, Spiculopteragia sp., Trichostrongylus axei, Fasciola sp.
Haemoncuscontortus, Oesophagostomum venulosum, Ostertagia leptospicuralis, Moniezia sp.
Dengan adanya informasi diatas maka perlu dilakukan pemeriksaan total telur pergram feses
dengan tujuan mengetahui tingkat keparahan dari penyakit kecacingan yang dialami oleh satwa
serta mengetahui secara pasti jenis endoparasit yang ditemukan dalam bentuk telut cacing
didalam feses segar.

1.2 TUJUAN

Mengetahui tingkat keparahan infeksi endoparasit pada satwa serta mengindentifikasi


jenis endoparasit yang menginfeksi satwa.
BAB II

2.1 Rusa Timor

Rusa timor (Cervus timorensis) merupakan merupakan satwa yang cenderung lebih aktif
pada malam hari, namun ketika sudah berada di penangkaran akan cenderung aktif pada siang
hari. Hal ini yang menyebabkan rusa timor (Cervus timorensis ) merupakan salah satu jenis rusa
yang dapat dikelola karena mudah beradaptasi dengan lingkungan di luar habitatnya. Penyebaran
rusa timor meliputi Jawa, Bali, Sulawesi, Kalimantan, Maluku, Papua Nugini, dan Australia
(Hoogerwerf, 1970). Klasifikasi rusatimor (Cervus timorensis) menurut Putra (2016) adalah
sebagai berikut :

Kingdom : Animalia

Phylum : Chordata

Class : Mammalia

Ordo : Artiodactyla

Family : Cervidae

Sub-Family : Cervinae

Genus : Cervus

Species : Cervus timorensis

Satwa ini umumnya mempunyai ukuran tubuh yang kecil, tungkai pendek, ekor panjang,
dahi cekung, gigi seri relatif besar, dan rambut berwarna coklat kekuning-kuningan (Schroder,
1976). Rusa betina cenderung memiliki pola warna yang lebih terang dibanding jantan,
khususnya dibagian kerongkongan, dagu, perut, dada, dan kaki (Pattiselanno et al., 2008).
Dimulai dari tubuh bagian atas rusa jantan memiliki ranggah yang relatif besar, ramping,
panjang, dan bercabang. Cabang yang pertama mengarah ke depan, cabang belakang kedua
terletak pada satu garis dengan cabang belakang pertama, cabang belakang kedua lebih panjang
dari cabang depan kedua, serta cabang belakang kedua kiri dan kanan terlihat sejajar (Sofyan,
2018). Pada setiap periode waktu tertentu, ranggah akan tanggal dan tumbuh baru. Ukuran
ranggah dapat membesar sesuai dengan pertambahan umur rusajantan (Suyanto, 2002). Pada
bagian badan secara umum rusa timor dewasa memiliki panjang badan berkisar antara 195-210
cm dengan tinggi badan mencapai 91-110 cm dan berat badan antara 103-115 kg (Sofyan, 2018).
Untuk ukuran panjang kaki, secara statistik rusa timor tidak memiliki perbedaan ukuran panjang
kaki belakang, panjang telinga serta lebar telinga antara rusa timor jantan dan rusa timor betina.
Karakter morfologi berupa ukuran dan bobot tubuh merupakan ukuran statistik vital yang
biasanya digunakan sebagai indikator performance satwa tersebut. Oleh sebab itu, perbedaan
umur antara rusa timor dapat mempengaruhi karakteristik morfologinya (Pattiselanno et al.,
2008).

2.2 JENISA ENDOPARASIT PADA RUSA TIMOR

Endoparasit merupakan jenis parasit yang hidup didalam tubuh inang. Endoparasit
mempunyai kemampuan untuk beradaptasi terhadap jaringan inang sehingga umumnya tidak
menimbulkan gejala klinis yang berat. Kemudian endoparasit juga dapat menjadi patogen karena
inang menderita malnutrisi atau terjadi penurunan daya imunitas tubuh. Adapun jenis-jenis
endoparasit yang dapat ditemukan dalam feses rusa timor yaitu Nematoda adalah
Trichostrongylus sp. , Ascaris lumbricoides , Strongyloidessp. , Capillaria spp. , Haemoncus
contortus , Oesophagostomum venulosum , Ostertagia leptospicularis. Cestoda yaitu Cysticercus
tenuicolli dan Moniezia sp. . Trematoda yaitu Fasciola sp. Serta Protozoa yaitu Eimeria spp.

2.2.1 Trichostrongylus sp.

Trichostrongylus sp. merupakan nematoda halus seperti benang dengan ukuran sekitar 5-
10 mm. Penyakit yang disebabkan oleh parasit ini disebut Trichostringyliasis dan menyebabkan
hospes mengalami nafsu makan yang berkurang dan berat badan turun. Hospes definitif dari
nematoda tersebut adalah hewan memamah biak (Noviana, 2017). Dalam Gosling (2005)
menyebutkan cacing ini masuk kedalam kelompok nematoda, genus Trichostrongylus dan
ditemukan di abomasum sapi, kambing, antelope, rusa dan pada babi, rusa, keledai dan terkadang
pada manusia. Trichostrongylus externuatus ini berukuran 3-6 mm pada jantan sedangkan pada
betina sekitar 4-8 mm. Berukuran kecil dan berambut, berwarna cokelat-kemerahan dan sulit
dilihat dengan mata. Untuk proses diagnosa biasanya menggunakan post-mortem bagian lesi dan
egg-count serta metode kultur untuk mengidentifikasi larva (Taylor et al., 2007). Siklus hidup
Trichostrongylus sp. telur yang dikeluarkan bersama feses hospes sudah bersegmen dan akan
menetas menjadi larva rhabditiform dalam waktu 24 jam. Larva rhabditiform akan berubah
menjadi larva pseudofilariform dalam waktu 3- 4 hari pada kondisi suhu yang panas, dan pada
tempat teduh dan berumput atau tanaman yang menutupi tanah. Infeksi terjadi jika hospes
menelan larva pseudofilariform dari rumput atau sayuran yang telah terkontaminasi. Kemudian
larva tersebut akan masuk ke dinding usus, lalu ke rongga usus, untuk menjadi dewasa dalam
waktu 21 hari.

2.2.2 Fasciola sp.

Cacing hati dan mempunyai inang dari genus siput Lymnaea (Levine, 1994). Tersebar di seluruh
penjuru dunia dan menyerang sapi, domba, kambing, kuda, babi, manusia dan rusa. Cacing
dewasa mempunyai bentuk pipih seperti daun, besarnya kira-kira 30 x 13 mm. Pada bagian
anterior berbentuk seperti kerucut dan pada puncak kerucut terdapat batil isap mulut yang
besarnya kira – kira 1 mm, sedangkan pada bagian dasar kerucut terdapat batil isap perut yang
besarnya kira-kira 1,6 mm. Saluran pencernaan bercabang-cabang sampai keujung distal sekum.
Telur cacing ini berukuran 140 x 90 mikron berwarna kuning, dikeluarkan melalui saluran
empedu kedalam tinja dalam keadaan belum matang. Telur menjadi matang dalam air setelah 9-
15 hari dan berisi mirasidium. Telur kemudian menetas dan mirasidium keluar dan mencari
keong air, dalam keong air terjadi perkembangan dari mirasidium lalu sporokista lalu redia I
lanjut ke redia II dan menjadi serkaria. Serkaria keluar dari keong air dan berenang mencari
hospes perantara II, yaitu tumbuh-tumbuhan air dan pada permukaan tumbuhan air dibentuk
metaserkaria. Bila ditelan, metaserkaria menetas dalam lambung binatang yang memakan
tumbuhan air tersebut dan larvanya masuk kesaluran empedu dan menjadi dewasa. Infeksi terjadi
dengan makan tumbuhan air yang mengandung metaserkaria (Noviana, 2017).

2.2.3 Haemoncus contortus

Haemonchus merupakan jenis cacing penghisap darah yang dapat ditemukan di


abomasum dari kebanyakan ruminansia. Parasit ini juga disebut dengan nama Haemonchus
placei. Telur cacing ini berbentuk oval, berwarna abu-abu dengan selubung tipis berukuran 70-
110 x 30-50 μm, dengan mengandung morula dengan banyak sel 16-32. Pilarczyk et al. (2005)
menyebutkan adanya infeksi cacing ini pada rusa jenis Roe deer (C. pygargus), Red deer (C.
elaphus) hingga axis- axis (Basrul, 2015). Penampakan telur dari Ostertagia, Cooperia,
Oesophagostomum serta Chabertia sangat mirip sehingga adanya kesulitan untuk membedakan
satu sama lain. Sehingga biasanya dilakukan metode kultur untuk mengidentifikasi larva (Zajac
et al., 2012).

2.2.4 Oesophagostomum venulosum

Oeshophagostomum venolosum juga terdapat pada usus besar domba, kambing dan
sebagainya di dunia. Cacing jantan panjangnya 11-16 mm dan berdiameter 300-400 mikron.
Cacing betina panjangnya 13 – 24 mm dan berdiameter 500-600 mikron, dengan telur 85 – 105 x
47 –59 mikron. Telur tipis dan berlapis, oval, dengan ukuran 88-105 hingga 44-65 mikron.

2.2.5 Strongyloides sp.

Merupakan cacing yang tersebar kosmopolit yaitu pada anjing, kucing, primata dan juga
manusia (Goncalvez, 2003). Penyakit yang disebabkan oleh endoparasit ini disebut
strongilodiasis dan menyebabkan hospes mengalami nafsu makan yang turun (Rianawati dan
Prastowo, 2003). Cacing betina ada yang hidup bebas dan ada yang pararsit, berukuran 2,2 x
0,04 mm, mempunyai oesophagus panjang, langsing dan silindris. Alat kelamin betina
berpasangan yang bisa memproduksi telur sebanyak 10-20 butir sehari. Telur berukuran 50 x 32
mikron, berkulit tipis, oval dan jernih. Cacing betina yang hidup bebas ukurannya 0,7 x 0,04 mm
mempunyai ekor bengkok (Brown, 1983). Siklus hidup dari cacing Strongyloides sp. ada yang
langsung, tidak langsung dan autoinfeksi. Secara langsung telur ditanah akan menetas jadi larva
rabditiform lalu akan berkembang jadi larva filariform yang infektif mampu menembus kulit
manusia, masuk kedalam peredaran darah, lalu keparu-paru dan naik ke epiglottis, tertelan dan
sampai diusus halus dan jadi dewasa. Secara tidak langsung, yaitu larva rabditiform ditanah
tumbuh jadi cacing betina dan jantan dewasa dalam bentuk bebas, setelah terjadi pembuahan,
cacing betina akan bertelur dan menetas jadi larva rabditiform lalu berubah jadi larva filariform
infektif yang bias menembus kulit. Secara autoinfeksi, dimana kadang-kadang larva rabditiform
di usus berubah jadi larva filariform dan dewasa di dalam usus (Brown, 1983).
BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Hasil Identifikasi Telur Cacing Rusa Timor Timor

Hasil yang didapatkan dari pengamatan telur cacing pada feses Rusa Timor (Cervus
timorensis) di Penangkaran Rusa Fatukoa-Kota Kupang tersaji pada tabel 1 dan tabel 2 :

Tabel 1. Hasil pengamatan identifikasi telur cacing dengan metode natif dan apung sederhana
pada feses Rusa Timor (Cervus timorensis)
NO Kode Hewan Metode

Hasil Natif Hasil Apung Sederhana Filtrasi


bertingkat

1 R01 Trichurid Trichurid, Strongyloid Negative

2 R02 Negative Trichurid, Strongyloid Negative

3 R03 Negative Trichurid Negative

4 R04 Trichurid Trichurid Negative

5 R05 Negative Negative Negative

6 R06 Negative Strongyloid Negative

7 R07 Negative Trichurid, Strongyloid Negative

8 R08 Trichurid, Strongyloid Trichurid, Strongyloid Negative

9 R09 Negative Negative Negative

10 R10 Trichurid Trichurid Negative

Tabel 2. Hasil perhitungan total telur per gram feses (TTGT) untuk menentukan derajat infeksi
pada Rusa Timor (Cervus timorensis)
Kode hewan Jumlah Telur Cacing Total TTGT
Trichuris sp. Strongyloid sp.

R01 1 5 6 600

R02 2 1 3 300

R03 1 3 4 400

R04 1 1 2 200

R05 0 0 0 0

R06 0 4 4 400

R07 0 2 2 200

R08 1 2 3 300

R09 0 0 0 0

R10 1 1 2 200

Total 7 19
Tipe telur Trichuris sp. metode natif Tipe telur Strongyloid sp. metode natif

Tipe telur Trichuris sp. metode apung Tipe telur Strongyloid sp. metode apung
sederhana sederhana

Gambar 1. Hasil pengamatan telur cacing pada feses Rusa Timor (Cervus timorensis)
(perbesaran 40x)
4.2 Pembahasan

Hasil pengamatan terhadap sampel feses Rusa Timor di Penangkaran Rusa Timor Fatukoa
menunjukkan bahwa 8 dari total sampel (n= 10) positif mengandung telur cacing endoparasit.
Pada pemeriksaan morfologi endoparasit dari semua sampel yang positif menurut Levine (1990),
ditemukan 2 tipe telur dari kelas Nematoda yaitu Trichuris sp. dan Strongyloid sp (Gambar 1).

1. Telur Trichuris sp.


Bentuk telur cacing Trichuris yang ditemukan dapat dibedakan dengan jenis telur cacing
lainnya dengan kedua ujung yang menonjol dan berwarna coklat. Menurut Levine (1990),
telur cacing Trichuris mempunyai sumbat dikedua ujungnya, memiliki kulit telur yang
tebal dan berwarna coklat serta belum bersegmen ketika dikeluarkan.
2. Telur Strongyloid sp.
Bentuk telur cacing Strongyloid yang ditemukan yaitu memiliki bentuk oval dan
berkerabang tipis yang di dalamnya tedapat banyak sel. Hal ini sejalan dengan yang
ditemukan oleh Mukti et al. (2016) bahwa telur tipe Strongyloid memiliki bentuk elips
atau lonjong dan bagian sisinya berbentuk seperti tong, berkerabang tipis, serta
mengandung blastomer yang jumlahnya bervariasi.

Pemeriksaan feses dengan metode pengapungan sederhana mempunyai sensitifitas lebih


tinggi dalam menunjukkan adanya telur cacing dalam sampel feses Rusa Timor dibandingkan
dengan metode natif. Hal ini terjadi karena cacing yang menginfeksi saluran pencernaan pada
Rusa Timor di Penangkaran Rusa Timor Fatukoa berasal dari kelas Nematoda yang memiliki
berat jenis (BJ) yang lebih rendah bila dibandingkan dengan BJ larutan gula jenuh pada metode
apung sehingga telur cacing akan mengapung dan terlihat di metode ini (Winarso, 2018). Hasil
identifikasi pada metode apung dan natif pada sampel feses Rusa Timor yang positif, didapatkan
dua jenis telur cacing yang semuanya berasal dari kelas Nematoda yaitu Trichuris sp. dan
Strongyloid sp. Sedangkan pada metode filtrasi bertingkat, semua sampel menunjukkan hasil
negative, yang berarti kelompok Rusa Timor di Penangkaran tersebut tidak terinfestasi cacing
dari kelas Trematoda. Hal tersebut disebabkan siklus hidup cacing kelas Nematoda yang tidak
memerlukan inang perantara sesuai dengan kondisi lingkungan di Penangkaran Rusa Timor
yang hampir semua lahan dipenuhi tumpukan kotoran feses dan dahan ranting pohon, dan sangat
jarang ditemui padang rumput ataupun keadaan seperti rawa, genangan air, kondisi tersebut
berhubungan erat dengan Oribated mites (tungau) maupun Lymnea (siput air) yang merupakan
inang perantara cacing kelas Cestoda dan Trematoda (Koesdarto et al., 2007a).

Menurut Larasati et al., (2017), sanitasi kandang yang yang kurang baik, pola pemberian
pakan, dan faktor lingkungan (suhu, kelemababan, dan curah hujan) dapat mempengaruhi
berkembangnya parasit saluran pencernaan pada hewan. Pada kasus ini faktor utama yang
memengaruhi penyebaran cacing Nematoda adalah sanitasi dan kebersihan kandang. Kotoran
yang dibiarkan menumpuk di dalam kandang akan mengundang lalat dan memungkinkan larva
nematoda berkembang di dalamnya. Selain itu, kotoran feses dapat mengkontaminasi pakan dan
kemudian dapat menjadi sumber penularan infestasi cacing terhadap rusa yang lain.

Berdasarkan hasil pada Tabel 2, perhitungan total telur cacing dalam saluran pencernaan
dari 10 ekor Rusa Timor ditemukan dua tipe telur cacing yaitu Trichuris sp sebanyak 7 dan
Strongyloid sp sebanyak 19 serta jumlah TTGT dari 10 ekor Rusa Timor berkisar antara 0-600.
Derajat infeksi kecacingan pada ternak dapat ditentukan berdasarkan penghitungan total telur per
gram feses. Menurut Nofyan et al. (2010), kategori standar infeksi dibagi menjadi tiga bagian
besar yaitu infeksi ringan jika jumlah telur 1-499 per gram, infeksi sedang jika jumlah telur 500-
5000 per gram, dan infeksi berat jika jumlah telur >5000 per gram feses. Berdasarkan hasil
perhitungan pada Rusa Timor di Penangkaran Rusa Timor Fatukoa-Nusa Tenggara Timur,
terdapat tiga kategori standar infeksi pada sampel yaitu kategori bebas infeksi, infeksi ringan,
dan infeksi sedang. Kategori bebas infeksi ditemukan pada sampel 5 dan 9 (TTGT=0), kategori
ringan ditemukan pada sampel 2,3,4,7,8 dan 10 (TTGT=200- 400 atau berkisar antara 1-499),
serta kategori infeksi sedang ditemukan pada sampel 1 (TTGT=500-2850 atau berkisar antara
500->5000).

Kisaran infeksi ringan atau rendah umumnya tidak mengganggu kesehatan namun dapat
mempengaruhi kesehatan ternak (Tantri et al, 2013). Kerugian yang dapat ditimbulkan dari
infeksi cacing yaitu penurunan produktivitas ternak, penurunan daya kerja, penurunan berat
badan, penurunan kualitas daging, kulit dan organ bagian dalam, dan terhambatnya pertumbuhan
pada hewan muda (Kapida, 2018). Derajat infeksi pada kasus ini tergolong bebas infeksi sampai
infeksi sedang sehingga dapat dikatakan sebaran tingkat infeksi dari parasit saluran pencernaan
di penangkaran Rusa Timor Timor tidak merata. Tidak ditemukannya telur cacing dalam feses
ternak belum membuktikan bahwa ternak tersebut tidak terinfeksi, hal ini dapat disebabkan karna
cacing masih dalam stadium perkembangan, serta jumlah telur yang sangat sedikit (TTGT < 10)
tidak dapat terdeteksi dengan metode MacMaster (Hansen dan Perry, 1994). Menurut Putratama
(2009), faktor yang mempengaruhi perbedaan tingkat infeksi yaitu jumlah stadium infektif yang
tertelan dan manajemen pemeliharaan ternak. Pada hewan ternak yang dipelihara secara intensif
(sistem kandang), resiko infeksi dapat dikurangi karena pakan ternak diberikan di dalam
kandang. Selain itu, faktor iklim (Winarso et al. 2014) dan cara pemeliharaan ternak yang kurang
baik juga dapat menjadi faktor infeksi parasit saluran pencernaan seperti pakan yang
terkontaminasi dan sanitasi lingkungan yang tidak memadai dapat menjadi sumber penularan
cacing pada Rusa Timor (Levine, 1990).
BAB V

PENUTUP

5.1 Kesimpulan

Hasil identifikasi dari 10 sampel Rusa Timor diperoleh dua jenis telur cacing yang
menginfestasi Rusa di Penangkaran Rusa Fatukoa yaitu telur cacing Trichuris sp. sebanyak 7 dan
Strongyloid sp. sebanyak 19 dari kelas Nematoda, serta terdapat tiga kategori infeksi yaitu
kategori bebas infeksi ditemukan pada dua ekor rusa (TTGT=0), kategori ringan ditemukan pada
enam ekor rusa (TTGT=200- 400 atau berkisar antara 1-499), serta kategori infeksi sedang
ditemukan pada satu ekor rusa (TTGT=500-2850 atau berkisar antara 500->5000).
DAFTAR PUSTAKA

Brown, H. W. 1983. Dasar-dasar Parasitologi Klinis Edisi III. Diterjemahkan oleh B, Rukmono.
PT. Gramedia. Jakarta.

Basrul, Z. 2015. Identifikasi Endoparasit Pada Saluran Pencernaan Rusa Tutul (Axis axis) di
Taman Pintu Satu Universitas Hasanuddin Makassar. Skripsi Sarjana Kedokteran Hewan
Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Hasanuddin. Makassar.

Goncalvez, M. L. C, A. Araujo and L. F. Ferreira. 2003. Human intestinal parasites in the past:
new findings and a review. Mem Inst Oswaldo Cruz, Rio deJaneiro, 98(1): 103--118.
growth, dispersal and development of humoral immune responses in naȉve calves
following induced infestations. Veterinary Parasitology. 108: 237–246

Levine, N. D. 1994. Textbook of Veterinary Parasitology. Edisi kedua .Gajah Mada University
Press. Yogyakarta.

Rianawati dan J. Prastowo. 2003. Infeksi nematoda gastrointestinal pada orangutan (Pongo
pygmaeus) di Kebun Binatang Gembira Loka Yogyakarta. J Sain Vet XXI(1): 64—67

Taylor MA, Coop RL, Wall RL. 2007. Veterinary Parasitology. 3 rd edition. Australia: Blackwell
Publishing.

Purwaningsih, Noviyanti, P. Sambodo. 2017. Infestasi Cacing Saluran Pencernaan Pada


Kambing Kacang Peranakan Ettawa di Kelurahan Amban Kecamatan Manokwari Barat
Kabupaten Manokwari Provinsi Papua Barat. Jurnal Ilmiah Perusaan Terpadu. Vol 5(1):
8 – 12.

Departemen Kehutanan. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 1999.


Tentang Pengawetan Jenis Tumbuhan dan Satwa.

Semiadi, G and R.T.P. Nugraha, 2004. Panduan Pemeliharaan Rusa Tropis. Bogor: Pusat
Penelitian Biologi LIPI.
Pattiselanno, F., Tethool, A. N. and Seseray, D. Y. (2008) „KARAKTERISTIK MORFOLOGI
DAN PRAKTEK PEMELIHARAAN RUSA TIMOR DI MANOKWARI‟, Berkala
llmiah Biotogi, 7(2), pp. 61–67.

Sahani, A. H. et al. (2018) „Identification of Gastrointestinal Worms Egg on Spotted Deer (Axis
axis) and Bawean Deer (Axis kuhlii) at Wonorejo Bibit Park and Surabaya Flora Park‟,
Journal of Parasite Science, 2(2).

Suyanto, A. (2002) Mamalia di Taman Nasional Gunung Halimun Jawa Barat. 1st edn. Bogor:
JICA dan Biodiversity Conservation Project.

Pilarczyk, B., Balicka-Ramisz, A. Lachowska, S. 2005. The Occurrence of intestinal parasites of


roe deer and red deer in the Western Pomerania voivodeship. Wiad Parazytol, 51(4):307-
310

Hoogerwerf, A. 1970. Udjung Kulon : The Land of The Last Javan Rhinoceros. E.J. Brill.
Leiden.

Hansen J, Brian P. 1994. The Epidemiology, Diagnosis And Control Of GastroIntestinal


Parasites Of Ruminants In Africa. Virginia: Blackburg.
Kapida AK. 2018. Uji Daya Antihelmintik Daun Kelor (Moringa oleifera Lam.) Terhadap
Cacing Strongyle dan Pengaruhnya Terhadap Pertumbuhan Sapi Sumba Ongole
[Skripsi]. Kupang: Universitas Nusa Cendana.
Koesdarto, S., S. Subekti., S. Mumpuni., H. Puspitawati dan Kusnoto. 2007a. Buku Ajar Ilmu
Penyakit Nematoda Veteriner. Departemen Parasitologi FKH Unair. Surabaya.
Larasati H, Hartono M, Siswanto. 2017. Prevalensi Cacing Saluran Pencernaan Sapi Perah
Periode Juni-Juli 2016 pada Peternakan Rakyat di Provinsi Lampung. Jurnal Penelitian
Peternakan Indonesia, 1(1):8-15.
Levine ND (ed). 1990. Buku Pelajaran Parasitologi Veteriner. Yogyakarta: Gadjah Mada
University Press
Mukti T, Oka IBM, Dwinata IM. 2016. Prevalensi Cacing Nematoda Saluran Pencernaan pada
kambing Peranakan Ettawa di Kecamatan Siliragung, Kabupaten Banyuwangi. Jawa
Timur, Indonesia Medicus Veterinus, 5(4): 330-336.
Nofyan E, Kamal M, Rosdiana I. 2010. Identitas Jenis Telur Cacing Parasit Usus pada Ternak
Sapi (Bos sp) dan Kerbau (Bubalus sp) di Rumah Potong Hewan Palembang. Jurnal
Penelitian Sains, 10:6-11.
Tantri V, Setyawati TR, Khotimah S. 2013. Prevalensi dan Intensitas Telur Cacing Parasit pada
Feses Sapi (Bos sp.) Rumah Potong Hewan (RPH) Kota Pontianak Kalimantan Barat.
Jurnal Probiont, 2(2): 102-106.
Winarso A. 2018. Infeksi Parasit Gastrointestinal pada Kambing di Kupang, ARSHI Vet Lett,
2(2): 25-26.
Winarso A, Satrija F, Ridwan Y. 2014. Prevalensi Trichurosis pada Sapi Potong di Kecamatan
Kasiman, Kabupaten Bojonegoro, Jawa Timur. Jurnal Kajian Veteriner, 3(2): 225-230.

Anda mungkin juga menyukai