Anda di halaman 1dari 32

LAPORAN KASUS MANDIRI

KOASISTENSI PATOLOGI KLINIK

HEMATOLOGI DAN URINALISIS PADA UNGGAS

OLEH

NATASHA IMANUELLE, S. K. H

2009020017

PROGRAM STUDI PROFESI DOKTER HEWAN

FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN

UNIVERSITAS NUSA CENDANA

KUPANG

2021
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Ayam pedaging merupakan salah satu sumber protein hewani yang relatif murah
serta pemeliharaannya singkat. Namun ayam pedaging memiliki kelemahan yaitu mudah
mengalami stress yang disebabkan oleh keadaan lingkungan dan agen patogen disekitar
kandang. Kondisi ayam yang stres dapat tmenyebabkan gangguan terhadap beberapa
parameter fisiologis, sehingga dapat menurunkan performa produksi. Salah satu parameter
fisiologis adalah gambaran darah. Darah adalah salah satu parameter dari status kesehatan
hewan karena darah mempunyai fungsi penting dalam pengaturan fisiologis tubuh. Fungsi
darah secara umum berkaitan dengan transportasi komponen di dalam tubuh seperti nutrisi,
oksigen, karbondioksida, metabolit, hormon, panas, dan imun tubuh sedangkan fungsi
tambahan dari darah berkaitan dengan keseimbangan cairan dan pH tubuh (Ali et al., 2013).
Hematologi adalah ilmu yang mempelajari cara penilaian darah. Adanya
gangguan metabolisme, penyakit, kerusakan struktur atau fungsi organ, pengaruh agen/obat,
dan stres dapat diketahui dari perubahan profil darah. Selain hematologi, pemeriksaan
kesehatan hewan dapat dilakukan dengan metode urinalisis. Urinalisis dapat menunjang
penelusuran akibat suatu penyakit atau penyimpangan yang terjadi pada hewan melalui urine,
yang bersifat patologis. Hematologi dan urinalisis dapat dilakukan dengan tujuan untuk
menegakkan diagnosa penyakit dari hewan sehingga pengobatan dapat dilakukan dengan
tepat.

1.2 Tujuan
Tujuan dari kegiatan yang dilakukan pada koasistensi patologi klinik adalah untuk
mengetahui cara pemeriksaan darah (hematologi) dan cara pemeriksaan urine (urinalisis)
serta menganalisa hasil yang didapat sehingga dapat menentukan status kesehatan hewan.
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Gambaran Hematologi Ayam Broiler

Hematologi pada unggas digunakan untuk mengetahui status kesehatan tetapi dapat
bervariasi karena ras, usia, jenis kelamin, stres, bakteri, infeksi virus dan keracunan (Khan dan
Zafar, 2005). Komponen darah sangat sensitif terhadap perubahan dari suhu lingkungan sehingga
menjadi indikator penting dalam respon fisiologis pada ayam (Tawfeek et al., 2014). Darah
mempunyai unsur seluler, terdiri atas eritrosit (sel darah merah), leukosit (sel darah putih) dan
trombosit (keping darah). Sel darah merah (eritrosit) merupakan komponen terbesar dalam darah
yang memiliki peranan penting dalam transportasi oksigen dan nutrisi yang dibutuhkan oleh
tubuh. Transportasi ayam broiler dapat menimbulkan gejala stres, salah satunya dengan
perubahan gambaran total leukosit. Perbedaan kadar hemoglobin disebabkan oleh umur dan
nutrisi, semakin tua ayam, maka tinggi eritrosit, hemoglobin, dan hematokrit. Mikromineral
dalam bentuk Fe adalah komponen pembentuk hemoglobin. Manin et al. (2014) menyatakan
bahwa hemoglobin berfungsi sebagai pembawa oksigen dan karbon dioksida serta pigmen
eritrosit. Total eritrosit dan hemoglobin dalam sirkulasi darah tergantung pada usia, jenis
kelamin, spesies, penyakit, suhu, kondisi geografis dan aktivitas fisik. Kandang terbuka
sepanjang hari meningkatkan kadar oksigen untuk ayam sehingga menghasilkan peningkatan
hemoglobin. Menurut Sugiharto (2014) total leukosit dan diferensial leukosit dapat memberikan
gambaran dan status kesehatan pada hewan. Selain itu juga dapat mengetahui tingkat kekebalan
tubuh yang dilihat dari variabel darah berupa leukosit dan diferensial leukosit secara lengkap.
Leukosit merupakan sel darah yang berperan dalam sistem pertahanan tubuh terhadap agen
infeksi penyakit. Leukosit berfungsi sebagai sel fagosit dan menghasilkan antibodi.
2.1 Darah

Darah merupakan salah satu parameter dari status kesehatan hewan karena darah
merupakan komponen pengaturan fisiologis tubuh (Ali et al., 2013). Darah unggas terdiri atas
plasma darah dan sel darah. Plasma darah terdiri dari atas protein seperti albumin, globulin,
fibrinogen, dan lemak darah bentuk kolesterol, fosfolipid, lemak netral, asam lemak serta mineral
anorganik terutama kalsium, potassium juga iodium. Sel darah terdiri dari sel darah merah
(eritrosit), trombosit dan leukosit (heterofil, eosinofil, basofil, limfosit, dan monosit). Darah
berfungsi untuk membawa nutrien dari saluran pencernaan menuju ke jaringan, membawa
oksigen (O2) dari paru-paru ke jaringan dan karbondioksida (CO2) dari jaringan ke paru-paru,
membawa produk buangan metabolisme, membawa hormon yang dihasilkan oleh kelenjar
endokrin serta mengatur kandungan cairan jaringan tubuh. Tubuh hewan yang mengalami
gangguan fisiologis akan memberi perubahan pada gambaran profil darah. Adanya perubahan
profil darah tersebut dapat disebabkan oleh faktor internal dan eksternal. Faktor internal
misalnya kesehatan, stres, status gizi, suhu tubuh, sedangkan faktor eksternal misalnya akibat
perubahan suhu lingkungan dan infeksi agen patogen (Ginting, 2008).

Tabel 1. Parameter Hematologi Unggas

Pemeriksaan Satuan Normal

Eritrosit 106/mm3 2,50 - 3,20


(RBC)

WBC 103/μL 6.0 - 17.0

Hemoglobin g/dl 7,3-10,9

Hematokrit % 30,00 - 33,00

MCV Fl 90.00 - 140.00

MCH Pg 33,00 – 47,00

MCHC % 26,00 – 35,00

Neutrofil % 20-40

Eosinofil % 2--8

Basofil % 0,1-3
Limfosit % 24--84

Monosit % 3-10
(Sumber: Swenson dan William, 1993)

2.1.1 Eritrosit

Eritrosit unggas berbentuk oval, memiliki inti sel dan memiliki ukuran lebih besar dari
darah mamalia (Smith et al., 2000). Fungsi utama eritrosit adalah mengangkut hemoglobin dan
oksigen dari paru-paru kejaringan (Guyton and Hall, 1997). Eritrosit berasal dari sel punca
pluripoten di dalam sumsum tulang merah yang menghasilkan sel darah. Sel punca mieloid
adalah sel yang terdeferensiasi sebagian menghasilkan eritrosit dan beberapa jenis sel darah lain.
Eritroblas berinti akan menjadi eritrosit matur. Sel kemudian mengeluarkan nukleus dan
organelnya sehingga menciptakan ruang yang lebih banyak untuk hemoglobin. Retikulosit
merupakan sel darah merah imatur yang mengandung sisa organel (terutama ribosom). Eritrosit
matur dilepaskan ke kapiler yang banyak terdapat dalam sum - sum tulang. Pembentukan
eritrosit (eritropoiesis) diatur oleh hormon glikoprotein yaitu eritropoietin. Eritropoietin adalah
hormon glikoprotein yang dihasilkan oleh sel-sel interstisium peritubulus ginjal, dalam respon
terhadap kekurangan oksigen atas bahan globulin plasma, untuk digunakan oleh sel-sel induk
sumsum tulang. Eritropoietin mempercepat produksi eritrosit pada semua stadium terutama saat
sel induk membelah diri dan proses pematangan sel menjadi eritrosit. Selain dapat mempercepat
pembelahan sel, eritropoietin juga memudahkan penyerapan besi, mempercepat pematangan sel
dan memperpendek waktu yang dibutuhkan oleh sel untuk masuk dalam sirkulasi (Dorland,
2011). Beberapa faktor yang dapat mempengaruhi jumlah eritrosit dalam sirkulasi yaitu hormon
eritropoietin yang berfungsi merangsang eritropoiesis dengan memicu produksi proeritroblas dari
sel-sel hemopoietik dalam sumsum tulang. Pengamatan indeks eritrosit meliputi Mean
Corpuscular Volume (MCV), Mean Corpuscular Hemoglobin Concentration (MCHC) dan Mean
Corpuscular Hemoglobin (MCH). Indeks eritrosit ini digunakan untuk mengetahui keadaan
anemia. MCV sebagai indikator anemia berdasarkan ukuran eritrosit. Nilai MCHC digunakan
untuk mengetahui kondisi anemiaternak berdasarkan konsentrasi hemoglobin. Adapun MCH
untuk mengetahui kondisi anemia yang berdasarkan berat hemoglobin (Guyton dan Hall, 2008).

a. Mean Corpuscular Volume (MCV)


Nilai MCV mengindikasikan volume rata-rata sel darah merah. Bila nilai MCV
berada di bawah kisaran normal disebut mikrositik. Bila nilai MCV berada di atas
kisaran normal disebut makrositik. Sementara, bila nilai MCV masih berada dalam
kisaran normal disebut normositik (Brown, 1980).
Rumus menghitung MCV adalah MCV (fl) = (PCV/RBC) x 10
b. Mean Corpuscular Hemoglobin (MCH)
Nilai MCH menunjukkan nilai rata-rata berat hemoglobin yang terdapat di dalam
satu sel darah merah.
Rumus menghitung MCH adalah MCH (pg) = (Hb/PCV) x 10

c. Mean Corpuscular Hemoglobin Concentration (MCHC)


MCHC merupakan nilai rata-rata konsentrasi hemoglobin di dalam 100cc
eritrosit. MCHC menunjukkan perbandingan antara berat hemoglobin terhadap
volume sel darah merah. Bila nilai MCHC berada dibawah kisaran normal disebut
hipokromik. Bila nilai MCHC berada dalam kisaran normal disebut normokromik.
Sedangkan hiperkromik tidak terjadi karena struktur fisik eritrosit yang terbatas
terhadap hemoglobin (Nordenson, 2002).
Rumus menghitung MCHC adalah MCHC (g%) = (Hb/PCV) x 100

2.1.2 Hematokrit (Packed Cell Volume)


Hematokrit adalah istilah yang artinya persentase (berdasarkan volume) dari darah, yang
terdiri dari butir-butir darah merah. Jumlah eritrosit dalam darah dapat menentukan tinggi
rendahnya kadar hematokrit darah. Frandson (1993) menyatakan bahwa hematokrit merupakan
perbandingan eritrosit dan plasma darah yang dinyatakan dalam persen volume. Hematokrit yang
rendah dapat mengindikasikan beberapa kelainan antara lain anemia, kerusakan sumsum tulang
belakang, kerusakan sel darah merah, malnutrisi, myeloma, rheumatoid dan arthritis. Nilai
hematokrit yang tinggi sebaliknya mengindikasikan dehidrasi dan eritrositosis sehingga
perbandingan eritrosit terhadap plasma darah berada di atas normal. Schalm (1965) menyatakan
bahwa hematokrit memiliki hubungan yang positif atau sebanding dengan hemoglobin, apabila
kadar hemoglobin meningkat maka kadar hematokrit akan meningkat dan sebaliknya. Presentase
nilai hematokrit ditentukan dengan melakukan sentrifugasi kerapatan sel pada bagian dasar
tabung (Guyton and Hall, 1997).

Cunningham (2002) menyatakan bahwa sel darah normal menyusun 30-50% dari volume
darah, fraksi dari sel-sel dalam darah disebut hematokrit. Penentuan nilai hematokrit dilakukan
dengan mengisi tabung hematokrit dengan darah dan anti koagulan. Campuran darah kemudian
disentrifikasi sampai sel-sel mengumpul di dasar. Hematokrit diperoleh dengan menambahkan
anti koagulan pada sejumlah darah kemudian mensentrifugasinya dalam sebuah tabung. Sel-sel
tersebut adalah sesuatu yang lebih berat dari plasma dan berada dibagian bawah pada tabung
selama sentrifugasi. Karena hasil sentrifugasi dalam suatu paket dari sel darah merah di bagian
bawah dari tabung, hematokrit juga dapat disebut dengan packed cell volume (PCV) (Frandson,
1993).

2.1.3 Hemoglobin

Hemoglobin merupakan senyawa yang dibentuk dari ikatan kompleks antara protein dan
Fe yang menyebabkan timbulnya warna merah pada darah. Hemoglobin diproduksi oleh sel
darah merah yang disintesis dari asam asetat dan glisin sehingga dihasilkan porphyrin. Porphyrin
kemudian dikombinasikan dengan molekul globin untuk membentuk hemoglobin (Arfah, 2015).
Sintesis hemoglobin dipengaruhi oleh factor gizi, seperti protein dan besi (Murtini et al., 2009).
Hemoglobin memiliki fungsi yaitu membawa oksigen dalam sel darah merah untuk ditranspor ke
seluruh jaringan tubuh. Kisaran normal kadar hemoglobin untuk ayam yaitu 7 - 13 g/dl (Jain,
1993). Kadar hemoglobin yang normal menunjukkan kecukupan oksigen untuk diedarkan ke
seluruh jaringan tubuh dan secara fisiologis dalam keadaan sehat (Ginting, 2008). Peningkatan
hemoglobin menunjukkan bahwa sel darah merah dapat mengikat dan mentransportasikan
oksigen yang lebih banyak, sehingga kebutuhan oksigen setiap jaringan dan sel dapat tercukupi
dan laju metabolisme dalam tubuh menjadi lebih baik.

2.1.4 Leukosit

Leukosit adalah sel darah yang memiliki inti sel dan memiliki kemampuan gerak yang
independen. Gambaran leukosit dari seekor ternak dapat dijadikan sebagai salah satu indikator
terhadap kerusakan fungsi organ atau infeksi patogen dalam tubuh (Lestari et al., 2013). Leukosit
memiliki fungsi untuk melindungi tubuh terhadap agen penyakit yang menyerang tubuh yaitu
dengan cara fagosit dan mengahasilkan antibodi. Jumlah sel leukosit normal pada ayam adalah
antara 12.000 - 30.000 sel/πl (Julendra et al., 2010). Jumlah leukosit dipengaruhi oleh jenis
kelamin, umur, pakan, lingkungan, hormon dan penyakit. Leukosit sebagian terbentuk di dalam
sumsum tulang dan sebagian lagi di hasilkan oleh organ limfosit termasuk kelenjar limfe, timus,
tonsil dan sel-sel limfoid lain (Arfah, 2015). Leukosit absolut adalah nilai mengkalikan jumlah
total leukosit dengan presentase tiap sel leukosit (diferensial leukosit), sementara nilai relative
leukosit adalah presentase normal sel leukosit didalam darah.

Leukosit mampu bertahan hidup selama 5 hari pada sumsum tulang belakang serta 10
hari pada sistem sirkulasi sebelum mengalami regenerasi. Leukosit pada aliran darag sebagian
besar bersifat non fungsional yang hanya diangkat ke jaringan ketika dibutuhkan. Ketika terjadi
inflamasi, sel leukosit yang telah bersirkulasi didalam darah akan diubah sesuai kebutuhan untuk
mengatasi peradangan tersebut. Tingginya produksi leukosit belum dapat diasumsikan bahwa
ternak tersebut dalam keadaan sakit. Peningkatan jumlah leukosit memberikan indikasi adanya
respon secara humoral dan seluler dalam melawan agen patogen penyebab penyakit dalam tubuh.
Moyes dan Schute (2008) menyatakan bahwa kesehatan fisik ternak dapat diukur melalui jumlah
leukosit yang dihasilkan, Peningkatan pada jumlah leukosit menandakan adanya peningkatan
kemampuan pertahanan tubuh. Oleh karena itu, perlu diketahui secara keseluruhan jumlah
leukosit dan diferensial leukosit untuk mengetahui kondisi kesehatan ternak secara pasti.
Diferensial leukosit merupakan kesatuan dari sel darah putih yang terdiri dari dua kelompok
yaitu granulosit yang terdiri atas heterosinofil, eusinofil, dan basofil, dan kelompok agranulosit
yang terdiri dari limfosit dan monosit (Cahyaningsih et al., 2007).
2.1.5 Heterofil

Heterofil (unggas) dan neutrofil (mamalia) merupakan jenis sel darah putih dengan
jumlah terbanyak di dalam aliran darah dibandingkan dengan granulosit lainnya dan berperan
sebagai pertahanan non spesifik (Falahudin et al.,, 2016). Heterofil berfungsi sebagai pertahanan
tubuh terhadap pengaruh luar, apabila partikel asing terkurung kedalam sitoplasma heterofil,
maka partikel tersebut akan menempatkan diri ke dalam ruang yang disebut fagosom (Arfah,
2015). Heterofil juga memiliki berbagai peranan yaitu sebagai penghancur benda asing melalui
fagositosis dan juga sebagai garis pertahanan pertama bagi tubuh. Fagositosis adalah suatu
proses dalam sel yang mencakup kemotaksis, pelekatan, penelanan dan pencernaan partikel.
Kisaran persentase normal heterofil ayam yaitu 15 - 40% . Sistem kerja heterofil yaitu
menghancurkan patogen melalui jalur oksigen independen (lisozom, enzim proteolitik dan
protein kationik) dan oksigen dependen. Redmond et al. (2011) melaporkan bahwa heterofil
mengandung zat antimikroba yang berhubungan dengan resistensi penyakit pada tubuh, sehingga
peningkatannya paling dominan pada infeksi akibat bakteri. Faktor-faktor yang menentukan
tinggi rendahnya heterofil antara lain kondisi lingkungan, tingkat stress pada ternak, genetik dan
kecukupan nutrien pakan. Selain itu, tingginya persentase heterofil disebabkan ayam mengalami
stres akibat lingkungan kandang yang sangat minim sanitasinya serta suhu lingkungan yang
panas (Ginting, 2008). Peningkatan heterofil ini terjadi akibat adanya induksi glukokortikoid
pada jalur pembentukannya dan juga pelepasan heterofil cadangan pada sumsum tulang (Sugito
dan Delima, 2009). Ayam yang mengalami cekaman akan mengalami penurunan jumlah limfosit
dan peningkatan jumlah heterofil (Zurriyati dan Dahono, 2013).

2.1.6 Eosinofil

Eosinofil merupakan sel darah berbentuk ramping yang dibentuk di sum sum tulang
belakang, eosinofil berfungsi sebagai detoksifikasi terhadap protein asing atau menghancurkan
bakteri patogen yang masuk melalui saluran pernafasan maupun pencernaan dengan cara
mengelurkan enzim yang mampu menetralkan faktor radang, jumlah sel eosinofil pada yam
berkisar 2–8% dari jumlah sel leukosit. Eosinofil memiliki diameter 10-15 μm dengan inti yang
bergerlambir dua, dan dikelilingi butir asidofil dengan ukuran 0,5-1,0 μm dan mampu bertahan
hidup selama 3-5 hari di dalam sirkulasi dengan jumlah yang sangat rendah pada saat stres.
Eosinofil dibentuk di dalam sumsum tulang belakang dan berperan dalam perlawanan terhadap
infeksi parasit dengan cara menempelkan diri pada parasit dan melepaskan zat-zat yang beracun
bagi parasit (Purnomo et al., 2016). Faktor faktor yang mampu mempengaruhi peningkatan
eosinofil di dalam darah antara lain hipersensitivitas yang disebabkan karena parasit dan alergi,
stadium kesembuhan infeksi akut serta inflamasi dalam tubuh. Eosinofil berasal dari sel stem
hematopoetik. Dalam pengaruh interleukin-5 (IL-5) dan beberapa pengaruh dari IL-3 serta GM-
CSF, progenitor sel hematopoietik berdiferensiasi menjadi sel matur di sum-sum tulang.
Eosinofil dewasa merupakan sel yang menetap dalam jaringan dan hanya dalam porsi kecil
beredar pada sirkulasi darah. Akan tetapi, walaupun dalam keadaan sehat, eosinofil ditemukan
secara ekslusif dan terbatas pada daerah mukosa traktus digestivus. Eosinofil dapat bertahan
hingga 14 hari dalam keadaan inflamasi. Seperti neutrofil, eosinofil merupakan sel bentuk akhir
dimana secara kultur dapat mengalami apoptosis dan nekrosis secara cepat. Akan tetapi, sitokin
aktif eosinofil seperti IL3, IL-5, GMCSF dan interferon (IFN) memperpanjang keberlangsungan
hidup dari eosinofil hingga 2 minggu. Eosinofil yang teraktivasi dapat membentuk sejumlah
sitokin untuk diri mereka sendiri. Hal ini dapat memicu prolongasi dari maturasi eosinofil dan
keberlangsungan hidup pada jaringan setempat. Jaringan lokal seperti sel endotel, fibroblas, dan
sel epitel dapat berkontribusi pada produksi IL-5 dan GMCSF untuk maturasi in situ dari
eosinofil dan diferensiasi pada jalan napas dan mukosa usus (Simon, 2007).

2.1.7 Basofil

Basofil merupakan sel leukosit yang hampir tidak ada kemampuan fagositosisnya, basofil
berperan dalam reaksi alergi serta penghambat proses pembekuan darah karena mengandung
heparin. Basofil merupakan leukosit yang jarang ditemukan dengan jumlah 0,5–1% dari jumlah
total leukosit karena kemampuan fagositnya yang rendah (Maxwell, 1993). Basofil memiliki
kemampuan menghasilkan bahan mediator kimiawi saat terjadi kontak dengan substansi
penyebab alergi, jumlah basofil pada darah akan terlihat jelas ketika ternak berada pada tingkat
stres yang tinggi (Suriansyah et al., 2016). Basofil jarang ditemukan dalam darah normal.
Selama proses peradangan tubuh menghasilkan senyawa kimia berupa heparin, histamin,
beradikinin dan serotonin. Basofil berfungsi dalam meresponi reaksi hipersensitifitas yang
berhubungan dengan imunoglobulin E (IgE). Basofil cenderung meningkat jumlahnya di dalam
sistem sirkulasi jika terjadi peradangan didalam tubuh yang berhubungan dengan pernapasan dan
kerusakan jaringan.
2.1.8 Limfosit

Limfosit merupakan luekosit yang penting dalam sistem kekebalan tubuh, yang memiliki
fungsi dalam merespon antigen dengan melakukan pembentukan antibodi. Limfosit diproduksi
dalam tulang belakang, limfa, saluran limfa dan timus. Fungsi utama limfosit adalah responnya
terhadap antigen dengan membentuk antibodi yang bersikulasi di dalam darah atau dalam
pengembangan imunitas seluler (Frandson, 1992). Berdasarkan fungsinya limfosit dibagi
menjadi 2 bentuk yaitu limfosit B dan limfosit T. Limfosit B matang pada sumsum tulang
sedangkan limfosit T matang dalam timus. Limfosit B dibentuk dari sel stem di dalam sumsum
tulang dan tumbuh menjadi sel plasma, yang menghasilkan antibodi. Limfosit T terbentuk ketika
sel stem dari sumsum tulang berpindah ke kelenjar thymus yang akan mengalami pembelahan
dan pematangan. Di dalam kelenjar thymus, limfosit T belajar membedakan mana benda asing
dan mana bukan benda asing. Limfosit T dewasa meninggalkan kelenjar thymus dan masuk ke
dalam pembuluh getah bening dan berfungsi sebagai bagian dari sistem pengawasan kekebalan
(Farieh, 2008). Faktor yang mempengaruhi jumlah limfosit yaitu hormon kortisol dan
kortikosteron yang merupakan salah satu dari adrenalcorticol hormone mayor yang tergolong
glucocorticoids dan berfungsi dalam proses glycolysis, gluconegenesis dan lypolysis,
kehadirannya dapat mengganggu fungsi kekebalan tubuh dan jaringan limfoid (Tamzil, 2014).
Faktor-faktor terbesar yang mempengaruhi jumlah limfosit yaitu cekaman panas atau lingkungan
dan stress, karena cekaman panas mengakibatkan berkurangnya bobot organ limfoid timus dan
bursa fabrisius yang berdampak pada penurunan jumlah limfosit.

2.1.9 Monosit

Monosit adalah sel yang memiliki sitoplasma lebih banyak dari limfosit dengan
karakteristik memiliki warna abu-abu pucat dan inti berbentuk oval seperti ginjal atau tapal kuda,
monosit diproduksi oleh sumsum tulang, memiliki persentase normal pada ayam pedaging yaitu
5-10% dari jumlah leukosit di dalam darah. Monosit merupakan diferensial sel darah putih yang
termasuk kedalam kelompok agranulosit. Monosit dibentuk di sumsum tulang dan mengalami
pematangan ketika masuk kedalam sirkulasi darah sehingga menjadi makrofag dan masuk ke
jaringan. Frandson et al. (2009) menyatakan bahwa monosit mampu memfagositosis 100 sel
bakteri patogen dan menjadi sistem pengatur ketika terjadi inflamasi dan merespon kekebalan.
Monosit dimobilisasi bersamaan dengan heterofil sehingga disebut sebagai pertahanan kedua
terhadap peradangan. Monosit ditarik oleh faktor-faktor kemotaktik menuju jaringan rusak atau
jaringan yang mengalami invasi mikroba seperti halnya heterofil. Persentase monosit di dalam
darah menunjukkan adanya kemampuan ternak dalam membentuk pertahanan kedua terhadap
infeksi yaitu melalui pembentukan makrofag didalam jaringan (Ganong, 1996). Penurunan
monosit dibawah kisaran normal dapat disebabkan menjadi indikasi adanya agen antiinflamasi
yang masuk dalam tubuh ternak. Penurunan serta peningkatan persentase monosit merupakan
salah satu bentuk respon adaptif terhadap kondisi lingkungan (Suriansyah et al, 2016).

2.2 Urinalisis

Urinalisis merupakan salah satu uji yang perlu dilakukan untuk mengevaluasi
gangguan sistem urinaria (Tion et al., 2015). Urinalisis merupakan pemeriksaan uji saring
yang sering dilakukan untuk mengetahui gangguan ginjal dan saluran kemih atau gangguan
metabolisme tubuh. Urinalisis dapat menunjang penelusuran akibat suatu penyakit atau
penyimpangan yang terjadi pada hewan melalui urine, yang bersifat patologis. Dengan
demikian diagnosis maupun prognosis dapat tercapai secara akurat. Strasiger dan Lorenzo
(2008), menyatakan bahwa pemeriksaan urin dilakukan melalui beberapa tahap yaitu
pemeriksaan makroskopis (warna, kejernihan, kekeruhan, berat jenis dan bau), pemeriksan
kimia menggunakan disptik untuk melihat kadar zat dalam urin seperti protein, glukosa,
keton, eritrosit, bilirubin, urobilirubin, nitrit. Serta pemeriksaan mikroskopis menggunakan
mikroskop untuk melihat sedimen dalam urin.
Infeksi pada saluran urinaria dapat terbagi atas dua, yaitu infeksi saluran atas (upper
urinary tract), yang meliputi ginjal (pyelonephritis), dan infeksi saluran bawah (lower
urinary tract), yang meliputi VU (cystitis), urethra (urethritis), dan prostat (prostatitis).
Infeksi pada saluran urinaria dapat disebabkan oleh bakteri, fungi, virus, dan parasit. Infeksi
bakteri sering ditemukan pada kasus cystitis. Cystitis merupakan adanya peradangan pada
VU. Infeksi dan terbentuknya urolith (cystolithiasis) telah dikaitkan satu sama lain. Studi
Bichler et al. (2002) menyebutkan infeksi bakteri dapat meningkatkan risiko terbentuknya
urolith. Hewan dengan cystolithiasis perlu ditangani karena urolith dapat menyebabkan
obstruksi pada saluran kencing, dan jika ada kombinasi dengan infeksi bakteri dapat terjadi
sepsis dan mengakibatkan kematian. Oleh karena itu, peneguhan diagnosis perlu dilakukan
untuk mendapatkan penanganan yang tepat. Urinalisis dan kultur bakteri merupakan
peneguhan diagnosis, dimana cystotomy merupakan salah satu penanganan yang dapat
dilakukan dalam menangani kasus berupa cystolithiasis akibat infeksi bakteri. Pada kasus
ini, penulis mendeskripsikan tentang seekor anak anjing dengan cystolithiasis akibat adanya
infeksi bakteri E. coli yang ditangani dengan cystotomy.

2.2.1 Carik celup (Strip)

Tes kimia dengan metode strip reagen saat ini begitu sederhana, cepat, dan hemat
biaya (dalam hal reagen, personel) dengan sensitivitas dan spesifitas yang tinggi dan
tidak memerlukan urine dalam jumlah yang besar untuk pengujian. Reaksi yang terlibat
dalam uji strip sebagian besar berdasarkan pada prinsipprinsip yang sama seperti pada
pemeriksaan kimia basah (Brunzel, 2013). Reaksi diinterpretasikan dengan
membandingkan warna yang dihasilkan pada strip reagen dengan bagan warna yang
disediakan oleh produsen. Kuat atau lemahnya warna yang dihasilkan berhubungan
dengan konsentrasi zat dalam urine. Pemeriksaan kimia rutin untuk urine mencakup
pemeriksaan glukosa, protein (albumin), bilirubin, urobilinogen, pH, berat jenis, darah/
hemoglobin, benda keton (asam asetoasetat dan/atau aseton), nitrit, dan leukosit esterase.

2.2.2 Nitrit Urin

Nitrit Dasar tes kimia nitrit adalah kemampuan bakteri tertentu untuk mereduksi
nitrat (NO3) menjadi nitrit (NO2). Nitrit terdeteksi oleh reaksi Greiss, dimana nitrit pada
pH asam bereaksi dengan amina aromatik (asam p-arsanilat atau sulfanilamide)
membentuk senyawa diazonium yang kemudian bereaksi dengan tetrahidrobenzoquinolin
menghasilkan warna azo yang merah muda (Strasinger dan Lorenzo, 2008). Spesimen
yang baik untuk pemeriksaan nitrit adalah urine pagi pertama. Terdeteksinya nitrit pada
urin dapat mengindikasikan adanya infeksi pada saluran urinaria yang disebabkan oleh
bakteri. Nitrit merupakan hasil oksidasi nitrat yang dilakukan oleh bakteri golongan
Enterobacteriaceae, dimana bakteri mengoksidasi nitrat pada urin yang sudah tersimpan
kurang lebih 4 jam didalam kandung kemih. Pemeriksaan nitrit positif sangat sensitif
untuk mendiagnosa adnaya infeksi saluran kemih, namun jika hasilnya negatif tidak dapat
menyingkirkan adanya infeksi saluran kemih sebab terdapat keadaan tertentu yang dapat
menyebabkan hasil nitrit negatif pada urin, seperti infeksi oleh bakteri yang tidak dapat
menghasilkan nitrit atau urin yang diperiksa merupakan urin yang belum lama tersimpan
di kandung kemih.
BAB III

MATERI DAN METODE

3.1 Hematologi

3.1.1 Perhitungan Jumlah Eritrosit


Bahan dan alat yang digunakan addalah sebuah pipet thoma, kamar hitung (counting
chamber), mikroskop, kertas saring, alat penghitung, dan cairan pengencer (larutan hayem).
Cara kerja :
 Menghisap darah menggunakan pipet pengencer sampai batas 0,5
 Ujung pipet dibersihkan dari noda-noda darah menggunakan tisu
 Ujung pipet dimasukkan ke dalam cairan pengencer dan cairan pengencer dihisap sampai
101
 Pipet diangkat, lalu ditutup ujungnya dengan jempol dan pangkalnya di tutup dengan jari
tengah. Posisi pipet mendatar.
 Setelah homogeny, sebagian larutan enceran dibuang kira-kira 3-5 tetes
 Kaca penutup diletakkan di atas tanggul kamar hitung, dan selalu diperhatikan
terbentuknya cincin newton
 Larutan pengceran dimasukkan kedalam kamar hitung, kemudian diamati di bawah
mikroskop.
 Hasil perhitungan akhir (jumlah total eritrosit)
 Total eriteosit : n x 10.000
 n: jumlah seluruh sel dari kotak yang dihitung.

3.1.2 Perhitungan Jumlah Leukosit


Bahan dan alat yang digunakan adalah sebuah pipet leukosit standar, kamar hitung
(counting chamber), mikroskop, kertas saring, alat penghitung dan cairan pengencer (larutan
Turk).
Cara kerja :
 Menghisap darah menggunakan pipet pengencer sampai batas 0,5
 Ujung pipet dibersihkan dari noda-noda darah menggunakan tisu
 Ujung pipet dimasukkan ke dalam cairan pengencer dan cairan pengencer dihisap sampai
101
 Pipet diangkat, lalu ditutup ujungnya dengan jempol dan pangkalnya di tutup dengan jari
tengah. Posisi pipet mendatar.
 Setelah homogeny, sebagian larutan enceran dibuang kira-kira 3-5 tetes
 Kaca penutup diletakkan di atas tanggul kamar hitung, dan selalu diperhatikan
terbentuknya cincin newton
 Larutan encerean dimasukkan kedalam kamar hitung, kemudian diamati di bawah
mikroskop.
 Hasil perhitungan akhir (jumlah total eritrosit)
 Total eriteosit : n x 50
 n: jumlah seluruh sel dari kotak yang dihitung.
3.1.3 Perhitungan Nilai Differensial Leukosit
 Cara kerja :
- Berdasarkan data yang diperoleh pada pemeriksaan total leukosit, hitunglah jumlah dari
masing-masing komponen leukosit berdasarkan contoh presentase (jumlah relatif)
sebagai berikut :
Jumlah leukosit = total leukosit di 4 kotak x 50
Neutrofil : 45%, Limfosit : 49%, Monosit : 4%, Eosinofil : 1%, Basofil : 1%
3.1.3 Perhitungan Nilai Hematokrit
Pembacaan hematokrit atau presentase endapan sel-sel dalam darah perifer adalah
salah satu konstanta klinikal penting dan berguna sebagai pemeriksaan rutin dalam
menentukan jenis anemia.
Alat dan Bahan
Alat dan bahan yang digunakan yaitu darah sapi, tabung kapiler berantikoagulan, alat
penyumbat tabung kapiler (Plastisin), alat sentrifuge, alat pembaca mikrohematokrit.
Cara kerja :
 Darah dihisap dengan tabung kapiler. Bagian ujung tabung dikosongkan kira-kira 1
cm
 Bagian ujung tabung di tutup menggunakan plastisin
 Tabung kapiler diletakkan kedalam alat sentrifuge dengan bagian yang tidak
tersumbat mengarah pada pusat sentrifuge, kemudian di sentrifuge selama 3 menit
dengan kecepatan 10.000 rpm
 Hasil sentrifuge dibaca dengan menggunakan micro hematokrit reader

3.1.4 Perhitungan Kadar Hemoglobin dengan Metode Sahli


Alat dan bahan : Darah, asam hidroklorida, aquades, hemometer, terdiri atas pipet
hemoglobulin bertanda 20 mm3 , tabung sahli dan warna standar pembanding, dan pipet
tetes.
Cara kerja:
 Tabung sahli diisi dengan asam klorida 0,1 N sampai garis bawah
 Darah dihisap dengan pipet Hb sampai 20
 Darah dimasukkan kedalam asam klorida dengan meniup pelan-pelan
 Darah dan asam klorida dengan cara menghisap dan meniup perlahan-lahan
 Terbentuknya asam hematin ditandai dengan adanya perubahan warna menjadi
cokelat atau cokelat hitam.
 Aquades ditetskan dengan menggunakan pipet tetes sambil dikocok hati-hati,
penambahan aquades dilakukan sampai warnanya sama dengan warna
pembanding.
 Kadar Hb dibaca dengan melihat miniskus cairan pada tabung sahli. Satuan Hb
dinyatakan dengan gram %
3.2.5 Perhitungan Indeks Eritrosit
 MCV (Mean Corpuscular Volume)=> PCV x 10/RBC=> fl
 MCH (Mean Corpuscular Hemoglobin)=>Hb x 10/RBC=>pg
 MCHC (Mean Corpuscular Haemoglobin Concentration) => Hb x100/PCV=>gr/dl
3.2.6 Pembuatan Dan Pewarnaan Preparat Ulas Darah
Preparat ulas darah diperlukan untuk mengetahui beberapa hal tentang darah
misalnya ukuran, warna dan bentuk sel eritrosit, jumlah dari masing-masing jenis sel
leukosit. Alat dan bahan yang digunakan adalah darah, alkohol, tisu, cover glass, metil
alcohol absolute, larutan pewarna giemsa aquades, dan timer.
Cara kerja:
a. Pembuatan preparat
 Sebelum digunakan, cover glass di bersihkan menggunakan alcohol 70%.
Kemudian di lap menggunakan tisu yang bersih, kering dan bebas lemak.
 Sampel darah diteteskan sebanyak 1 tetes pada salah satu sisi cover glass
 Satu cover glass di ambil dan ditempatkan di salah satu sisi ujungnya pada kaca
preparat pertama dengan membentuk sudut kira-kira 300 sampai 450, kemudian di
tarik sampai menyentuh tetes darah dan dibiarkan menyebar sepanjang tepi kaca
preparat kedua
 Preparat dikeringkan dengan cara di ayun-ayunkan beberapa kali di udara
b. Pewarnaan preparat ulas darah
 Preparat ulas dimasukkan kedalam meta alcohol dan dibiarkan selama 3-5 menit
 Kemudian preparat diangkat dan dikeringkan di udara
 Setelah kering, dimasukkan ke dalam larutan giemsa 10% selama 45-60 menit
 Kemudian, preparat ulas yang telah diwarnai, dicuci dengan air mengalir,
kemudian di keringkan.
 Setelah kering preparat diamati di bawah mikroskop.

3.2 Urinalisis
Alat dan bahan yang digunakan yaitu urin anjing, alat sentrigufe, reagen strip, tabung
ependof.
 Makroskopis Urin
- Mengamati dan menghitung volume urin
 Uji Kimia Urin
- Urin ditampung pada tabung urin
- Selanjutnya mencelupkan Combur Strip pada urin
- Memandingkan perubahan warna yang terjadi pada tiap parameter (nitrit).
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Hematologi
Nama Pemilik : Bapak Andri
Alamat : Naikoten
Sinyalemen Hewan
- Jenis Hewan : Ayam
- Breed : Broiler
- Umur : 35 hari
- Jenis kelamin : Betina
- Berat Badan : 1,8 kg
- Warna Bulu : Putih
Anamnesa
Berdasarkan wawancara dengan pemilik ayam diketahui bahwa ayam dalam keadaan
lemah, tidak nafsu makan, dan demam selama 3 hari. Setelah mengamati ayam yang sakit
ditemukan adanya discharge yang sudah mengeras disekitar hidung dan leleran dari hidung
ayam. Selain itu, terdengar suara ngorok pada ayam. Keadaan kandang ayam cukup kotor dengan
alas kandang dari papan kayu dan diberi sekam padi namun sudah bercampur dengan feses
ayam. Keseluruh ternak ayam dalam kandang yaitu 50 ekor dengan luas kandang 3x3 meter.
Pemilik menjelaskan ada sekitar 15 ekor ayam yang mengalami gejala yang sama namun belum
ada ayam yang mati.

Gambar 1. Leleran dan discharge yang mengeras pada hidung unggas


Pemeriksaan Klinis
Setelah anamnesa dicatat, pemeriksaan klinis untuk mengetahui temperature tubuh ayam,
frekuensi nafas dan pulsus.

Tabel 2. Hasil Pemeriksaan Klinis Ayam


Parameter Hasil Normal
Temperatur 42oC 39o – 41oC
Frekuensi nafas 64 57 x/menit
Pulsus 332 180-450 x/ menit

Pengambilan Sampel
Pengambilan sampel darah dilakukan pada pagi hari sebelum melakukan pengujian di
laboratorium, darah diambil menggunakan spuit 3ml pada vena brachialis dibawah sayap ayam.
Sampel disimpan pada tabung darah EDTA dan diletakkan di dalam coolbox. Sampel dibawa ke
laboratorium untuk dilakukan pengujian hematologi.

Tabel 3. Hasil Hematologi Unggas


Parameter Hasil Normal Ket
Laboratorium
WBC 150,6 x 103/ uL 12-30 x 103/ High
uL
3
Limfosit 92,5 x 10 / uL 7-17,5 x 103/ High
uL
3
MID 26,2 x 10 / uL 0,1-1,8 x 103/ High
uL
Granulosit 31,9 x 103/ uL 2-7,8 x 103/ High
uL
Limfosit % 67,9 % 45-70 Normal
MID % 22,6 % 1-15 High
Granulosit % 19,5 % 40-70 Low
RBC 3,15 x 106/ uL 2,5-3,5 x 106/ Normal
uL
Hemoglobin 9,6 g/dL 7-13 Normal
MCHC 27,9 g/dL 26-35 Normal
MCH 30,4 pg 33-47 Low
Platelet 22 x 103/ uL 20-40 Normal
P-LCR 1,5 % 13-43 Low
MPV 5,5 fl 7-11 Low
HCT 34,5% 22-35 Normal
MCV 109,3 fl 90-140 Normal

Pembahasan Parameter Hematologi

Leukosit

Hasil pemeriksaan darah menunjukan leukosit yang tinggi dari nilai normalnya.
Peningkatan jumlah leukosit menandakan adanya peningkatan kemampuan pertahanan tubuh
(Soeharsono et al., 2010). Gambaran leukosit dari seekor ternak dapat dijadikan sebagai salah
satu indikator terhadap penyimpangan fungsi organ atau infeksi agen infeksius, benda asing serta
untuk menunjang diagnosa klinis. Sel darah putih (leukosit) adalah sel darah yang memiliki
peran dalam sistem pertahanan tubuh dari serangan penyakit. Hartoyo et al., (2015) menyatakan
bahwa fungsi sel darah putih adalah menjaga tubuh dari serangan patogen dengan cara
fagositosis dan menghasilkan antibodi. Menurut Lestari et al., (2013), faktor yang menentukan
jumlah leukosit antara lain faktor genetik dan faktor lingkungan. Faktor lingkungan yaitu adanya
infeksi dan pakan. Penaikan jumlah leukosit memberikan gambaran adanya respon perlawanan
secara humoral dan seluler terhadap agen patogen penyebab penyakit. Kisaran rataan jumlah
leukosit yang diperoleh lebih tinggi dari kisaran normal. Kisaran normal jumlah leukosit dalam
darah ayam berada pada kisaran 20.000-30.000/mm³. Tingginya jumlah leukosit dalam hasil
hematologi diduga disebabkan oleh ayam dalam keadaan stres. Dalam kondisi seperti ini ayam
menjadi mudah terinfeksi oleh bibit penyakit. Hal ini sejalan dengan pendapat Rachmawati
(2010) dalam kondisi stress terjadi penurunan jumlah eritrosit, nilai hematokrit dan kadar
hemoglobin, sedangkan jumlah leukosit cenderung meningkat. Peningkatan jumlah leukosit
menunjukkan bahwa kemampuan tubuh yang tinggi dalam merespon infeksi atau benda asing.
Diferensial Leukosit

Berdasarkan morfologinya, sel darah putih ada yang bergranula dan ada yang tidak.
Diferensiasi leukosit meliputi limfosit, monosit, heterofil, eosinofil, dan basofil. Leukosit yang
bergranula terdiri atas heteroifil, eosinofil dan basofil. Leukosit yang tidak bergranula adalah
monosit dan limfosit (Ganong, 2008).

 Limfosit

WBC x limfosit % / 100 = nilai absolut

Limfosit adalah bagian dari leukosit yang terdiri dari limfosit T (sel T) dan
limfosit B (sel B), yang berperan dalam pembentukan kekebalan spesifik akibat
papar patogen umumnya ialah virus. NK sel pada limfosit dapat mengenali sel yang
terinfeksi oleh virus sehingga menjadikan sel sebagai target untuk terjadinya
apoptosis. Kekebalan sepesifik ini bisa bersifat humoral dan seluler. Pada kekebalan
spesifik humoral (Humoral Mediated Immunity/ HMI), yang berperan adalah sel B.
Produk dari HMI adalah antibodi (imunoglobulin). Pada kekebalan spesifik seluler
(Cellular Mediated Immunity/CMI), yang berperan adalah sel T cytoytoxic (Tc). Sel
Tc adalah sel T yang menghasilkan sitotoksik untuk menghancurkan sel yang
terinfeksi agen penyakit (Nicholas, 2004). Tingginya limfosit pada ayam disebabkan
karena dalam keadaan sehari-hari, ayam dipelihara oleh peternak dalam kondisi
lingkungan yang kurang bersih. Kondisi ini memungkinkan terjadinya paparan dari
berbagai agen penyakit yang berasal dari lingkungan pemeliharaan. Adanya paparan
tersebut menginduksi terjadinya proliferasi sel limfosit. Limfosit yang tinggi dalam
darah juga menandakan bahwa ayam sedang stress. Cortisol dan norephineprine
yang di hasilkan tubuh ketika stress menekan pembentukan antibodi oleh limfosit B,
sehingga tubuh akan mudah terserang patogen. Patogen yang masuk ke dalam tubuh
meningkatkan kerja limfosit T dan pertahanan seluler lainnya.

 MID

WBC x MID% / 100 = nilai absolut

Monosit adalah prekursor makrofag dalam darah. Begitu ada infeksi agen
patogen, maka monosit akan segera bermigrasi ke jaringan yang mengalami
peradangan, dan berubah menjadi sel makrofag. Makrofag ini merupakan sel fagosit
yang potensial, karena ukurannya lebih besar, umurnya lebih panjang dan
kemampuannya menelan bakteri lebih banyak dibandingkan dengan heterofil atau
neutrophil. Meningkatnya jumlah MID dalam darah menandakan tubuh sedang
mengalami inflamasi akibat infeksi patogen.

 Granulosit

WBC x Granulosit% / 100 = nilai absolut

Granulosit terdiri dari heterofil, eosinophil dan basophil. Sehingga nilai


absolut granulosit dibagi menjadi 3 untuk setiap jenis sel darah, sehingga nilai
absolut untuk heterofil, eosinophil dan basophil. Heterofil merupakan sel fagosit,
berfungsi memfagositosis kuman dan virus yang menginfeksi. Peningkatan yang
terjadi pada heterofil diduga karena ayam mengalami infeksi bakteri Hemophilus
gallinarum yang menyebabkan penyakit snot atau Coryza pada ayam. Snot memiliki
gejala klinis terdapat eksudat kering menyerupai kerak berwarna kuning disekitar
hidung, terdapat leleran bening dari hidung, terdengar suara ngorok pada ayam,
nafsu makan menurun serta diare. Enzim antibacterial yang dimiliki heterofil yang
menandai adanya infeksi bakteri jika terjadi peningkatan heterofil dalam darah.
Eosinofil adalah diferensiasi sel darah putih,yang berperan memfagositosis parasite
dan sebai respon hipersensitifitas atau alergi. Eosinofil memiliki distribusi terbanyak
pada saluran pernapasan dan pencernaan. Peningkatan eosinophil dalam darah
diinisiasi oleh peningkatan limfosit yang secara langsung menghasilkan IL-5 sebagai
sitokin. IL-5 yang tinggi dalam darah menghasilkan eosinophil yang dilanjutkan
pada maturisasi eosinofil. Eosinofil yang sudah dewasa akan menghasilkan IL-5
kembali dengan tujuan memperbanyak diri sebagai respon peradangan dalam tubuh.
Eosinofil yang tinggi dalam darah menandakan adanya peradangan kronis akibat
parasit, namun jika peningkatan yang terjadi tidak terlalu tinggi maka dapat diduga
hewan mengalami alergi. Saat peradangan sudah teratasi, maka eosinofil akan
mengeluarkan enzim anti peradangan untuk menghentikan peradangan agar tidak
merusak jaringan dan menyebabkan infeksi kronis. Basofil adalah sel darah putih
yang mempunyai peranan dalam reaksi alergi dan indicator stress. Hormon stress
yang dihasilakn tubuh akan meningkatkan basophil dalam darah. Keberadaan basofil
sangat penting karena sel basofil mengandung heparin yang dapat menghambat
proses pembekuan darah. Kusnadi (2008) menyatakan bahwa basofil umumnya baru
ditemukan dalam perhitungan 1000 sel leukosit. Kusnadi (2008) melaporkan bahwa
semakin tinggi nilai rasio persentase heterofil dan limfosit, maka semakin tinggi
tingkat stress yang dialami ayam.
Eritrosit

Perhitungan jumlah Eritrosit


Total eritrosit : n (Jumlah eritrosit di 5 kotak) X 10.000
Nilai eritrosit ayam pedaging pada hasil pemeriksaan darah berada dalam kisaran
hematologis normal. Secara normal eritrosit dipengaruhi oleh berbagai faktor seperti genotif,
umur, kondisi fisiologis, jenis kelamin, pakan, kondisi iklim mikro dan makro, metode
pemeliharaan dan faktor patologi (Mohamed et al., 2012). Nilai eritrosit yang normal
menandakan ayam tidak mengalami gangguan fisiologis atau infeksi akut. Kadar hemoglobin
juga dapat menandakan adanua gangguan seperti rendah hemogloblin dapat mempengaruhi kadar
oksigen yang berada dalam tubuh ayam. Ketika kadar oksigen rendah dalam tubuh, maka tubuh
akan meningkatkan produksi eritrosit sehingga hemoglobin dan oksigen dapat lebih banyak
diikat dan diedarkan ke seluruh tubuh, maka nilai eritrosit akan meningkat. Selain itu juga
meurunnya hemogloblin dalam darah dapat menjadi indicator anemia meskipun total eritrosit
dalam jumlah normal. Kadar hemogloblin yang rendah juga menyebabkan hewan lemas dan
tidak nafsu makan dikarenakan rendahnya kadar oksigen yang dialirkan didalam tubuh ayam.
Suhu lingkungan yang tinggi menyebabkan ayam akan melakukan panting agar panas dalam
tubuh keluar, panas keluar dalam bentuk cairan sehingga hemoglobin yang terikat dalam darah
terlepas bersamaan dengan keluarnya cairan. Keluarnya cairan terus menerus menyebabkan
tingginya konsumsi air untuk mencegah dehidrasi tubuh. Selain itu kekurangan protein dan Fe
juga menyebabkan rendahnya kadar hemogloblin dalam darah. Asam amino dalam protein dan
Fe merupakan komponen penyusun hemoglobin sehingga kekurangan asam amino protein dan
Fe juga dapat menyebabkan rendahnya kadar hemoglobin dalam darah.
Pengamatan indeks eritrosit meliputi Mean Corpuscular Volume (MCV), Mean
Corpuscular Hemoglobin Concentration (MCHC) dan Mean Corpuscular Hemoglobin (MCH).
Indeks eritrosit ini digunakan untuk mengetahui keadaan anemia. MCV sebagai indikator anemia
berdasarkan ukuran eritrosit. Nilai MCHC digunakan untuk mengetahui kondisi anemia hewan
berdasarkan konsentrasi hemoglobin. Adapun MCH untuk mengetahui kondisi anemia yang
berdasarkan berat hemoglobin (Guyton dan Hall, 2008). Pada hasil pemeriksaan darah diketahui
MCV normal, MCHC normal namun MCH rendah. MCH rendah diduga karena kadar
hemogloblin dalam darah rendah. Hal ini menyebabkan kondisi ayam menjadi lemah dan
menurunnya nafsu makan.
MPV ( Mean Platelet Volume ) adalah ukuran rata-rata volume dari platelet atau
trombosit. Pada hasil pemeriksaan darah diketahui nilai MPV rendah dari nilai normal, hal ini
menunjukkan adanya indikasi trombositopenia. Trombositopenia biasanya terjadi pada hewan
yang mengalami perdarahan atau hewan kehilangan darah sehingga trombosit banyak dibutuhkan
namun sedikit di produksi dan menyebabkan trombositopenia. MPV juga merupakan parameter
anemia pada hewan. P-LCR (Platelet Large Cell Ratio) merupakan parameter dari
trombositopenia pada hewan. Hasil pada pemeriksaan darah menunjukkan P-LCR rendah. Hasil
ini disebabkan oleh adanya trauma atau kelukaan pada kulit yang menyebabkan perdarahan
dimana hal ini menyebabkan platelet darah dibutuhkan untuk menghentikan perdarah. Namun,
ketika trombosit rendah dalam darah perdarahan sulit dihentikan yang berakibat keluarnya darah
terus menerus dari pembuluh darah sehingga menyebabkan anemia.

4.2 Urinalisis
Pemeriksaan Makroskopis dan Mikroskopis
Volumer urin
Volume urin normal dipengaruhi oleh beberapa variabel. Diperkirakan anjing dewasa
normal dalam lingkungan normal akan menghasilkan sekitar 20 sampai 40 ml urin per kilogram
berat badan per 24 jam (1,0 sampai 2,0 ml / kg / jam).

Nitrit Urin

Pemeriksaan urine ini dilakukan pada pagi hari dengan cara mencelupkan dipstick urine
ke dalam sampel. Setelah dicelupkan hasil langsung dibaca dengan mencocokkan dengan warna
standar pada dipstick urine. Dipstick urine ini secara semikuantitatif meliputi pengukuran nilai
leukosit (120 detik), nitrit (60 detik), urobilinogen (60 detik), protein (60 detik), pH (60 detik),
darah (60 detik), berat jenis (45 detik), keton (40 detik), bilirubin (30 detik), dan glukosa (30
detik). Bakteri yang menyebabkan infeksi saluran kemih (UTI) membuat enzim yang mengubah
nitrat menjadi nitrit. Nitrit dalam urin menunjukkan adanya infeksi saluran kemih (ISK). Di
dalam urine normal terdapat nitrat sebagai hasil metabolisme protein, yang kemudian jika
terdapat bakteri dalam jumlah yang signifikan dalam urin (Escherichia coli, Enterobakter,
Citrobacter, Klebsiella, Proteus) yang megandung enzim reduktase, akan mereduksi nitrat
menjadi nitrit. Hal ini terjadi bila urine telah berada dalam kandung kemih minimal 4 jam. Hasil
negative bukan berarti pasti tidak terdapat bakteriuria sebab tidak semua jenis bakteri dapat
membentuk nitrit, atau urine memang tidak mengandung nitrat, atau urine berada dalam kandung
kemih kurang dari 4 jam. Disamping itu, pada keadaan tertentu, enzim bakteri telah mereduksi
nitrat menjadi nitrit, namun kemudian nitrit berubah menjadi nitrogen.
Spesimen terbaik untuk pemeriksaan nitrit adalah urine pagi dan diperiksa dalam keadaan segar,
sebab penundaan pemeriksaan akan mengakibatkan perkembang biakan bakteri di luar saluran
kemih, yang juga dapat menghasilkan nitrit.

Urolithiasis merupakan salah satu gangguan sistem perkencingan yang dapat terjadi pada
anjing pada berbagai umur, jenis kelamin, dan ras. Urolithiasis dapat diartikan dengan adanya
kondisi pembentukan kalkuli atau urolith akibat saturasi kristal di dalam saluran perkencingan,
yang dapat dispesifikkan, salah satunya adalah cystolithiasis. Urolith yang terbentuk dapat
dibedakan atas empat berdasarkan jenis mineralnya, yaitu urat (urat amonium, urat sodium, dan
asam urat), sistin, fosfat amonium magnesium (struvit), dan kalsium (kalsium oksalat dan
kalsium fosfat) (Tion et al., 2015). Kondisi tersebut dapat disebabkan karena adanya infeksi pada
saluran kencing (Gerber et al., 2005). Infeksi pada saluran urinaria dapat terbagi atas dua, yaitu
infeksi saluran atas (upper urinary tract), yang meliputi ginjal (pyelonephritis), dan infeksi
saluran bawah (lower urinary tract), yang meliputi VU (cystitis), urethra (urethritis), dan prostat
(prostatitis). Infeksi pada saluran urinaria dapat disebabkan oleh bakteri, fungi, virus, dan parasit.
Infeksi bakteri sering ditemukan pada kasus cystitis. Cystitis merupakan adanya peradangan pada
VU. Infeksi dan terbentuknya urolith (cystolithiasis) telah dikaitkan satu sama lain. Studi Bichler
et al. (2002) menyatakan infeksi bakteri dapat meningkatkan risiko terbentuknya urolith. Hewan
dengan cystolithiasis perlu ditangani karena urolith dapat menyebabkan obstruksi pada saluran
kencing, dan jika ada kombinasi dengan infeksi bakteri dapat terjadi sepsis dan mengakibatkan
kematian. Oleh karena itu, peneguhan diagnosis perlu dilakukan untuk mendapatkan penanganan
yang tepat. Urinalisis dan kultur bakteri merupakan peneguhan diagnosis, dimana cystotomy
merupakan salah satu penanganan yang dapat dilakukan dalam menangani kasus berupa
cystolithiasis akibat infeksi bakteri. Pada kasus ini, penulis mendeskripsikan tentang seekor anak
anjing dengan cystolithiasis akibat adanya infeksi bakteri E. coli yang ditangani dengan
cystotomy.

Sinyalemen dan Anamnesa

Anjing campuran jantan berumur 8 bulan dengan bobot 5,8 kg diperiksa ke Laboratorium
Bedah dan Radiologi Veteriner, Rumah Sakit Hewan Pendidikan Fakultas Kedokteran Hewan
Universitas Udayana (RSHP FKH Unud). Anjing tersebut memiliki riwayat vaksinasi DHPPi
(Distemper, Hepatitis, Parvovirus, dan Parainfluenza) dan deworming. Pakan yang diberikan
oleh pemilik kepada hewan kasus adalah nasi, hati dan daging ayam yang direbus, dan tulang
dan juga minum diberikan secara ad libitum. Makanan diberikan dua sampai tiga kali sehari.
Hewan kasus dibawa ke RSHP FKH Unud dengan keluhan kencing berdarah dan keruh sejak 11
hari yang lalu. Pemilik juga mengamati kalau terdapat darah yang keluar dari urin pada saat
proses terakhir urinasi. Selain itu, nanah juga dilaporkan pernah keluar dari alat kelamin pada
hari yang sama.

Pemeriksaan Fisik

Status presen hewan kasus adalah denyut jantung 126 kali per menit, pulsus 126 kali per
menit, capillary refilling time kurang dari dua detik, frekuensi napas 72 kali per menit, dan suhu
tubuh 38,4oC. Pada saat pemeriksaan, pangkal penis ditemukan adanya abses dan adanya
infestasi kutu Mallophaga sp.pada tubuh hewan kasus. Pemeriksaan Penunjang Pemeriksaan
penunjang yang dilakukan adalah pemeriksaan darah lengkap, ultrasonografi (USG), foto
Rontgen, urinalisis, dan kultur urin.

Tabel Hasil pemeriksaan urinalisis


Urin yang alkalin dapat diakibatkan karena adanya infeksi (Parrah et al., 2013), dimana
diteguhkan dengan ditemukannya E. coli yang terisolasi dari urin. Urolith yang terbentuk akibat
adanya infeksi bakteri karena bakteri menghasilkan urease (Bichler et al., 2002). Bakteri
menghancurkan urea dan membentuk ammonia yang kemudian menimbulkan alkalinitas pada
urin (Parrah et al., 2013). Bakteri penghasil urease dapat berupa Escheria coli, Proteus spp.,
Klebsiella spp., Staphylococcus spp., Pseudomonas spp., Providencia spp., dan M. morganii,
dimana E. coli adalah salah satu diantaranya(Bichler et al., 2002). Infeksi akibat E. coli juga
disebutkan oleh Bichler et al. (2002) menjadi penyebab yang sering ditemukan pada infeksi
saluran urinaria. Urease yang dimiliki oleh bakteri tersebut akan menghidrolisis urea pada urin
menjadi ammonium yang kemudian dapat mengikat struvit dan apatit karbonat (Bichler et al.,
2002). Sesuai dengan Bichler et al. (2002), urolith yang terbentuk akibat adanya infeksi bakteri
yang ditemukan pada kasus ini adalah kristal urat dan struvit. E. coli juga merupakan bakteri
yang dapat mereduksi nitrat menjadi nitrit sehingga dalam pemeriksaan dipstick urin dapat
dilihat hasil positif pada parameter nitrit. Nitrit positif sedang dalam pemeriksaan urin
menyatakan bahwa adanya infeksi saluran kemih yang disebabkan adanya bakteri pada saluran
kemih yang dapat mereduksi nitrat hasil metabolisme protein didalam urin menjadi nitrit.

Diagnosa dan Prognosa Diagnosa yang dapat disimpulkan pada hewan kasus adalah
urolithiasis yang dikaitkan dengan adanya cystitis akibat infeksi bakteri E. coli dengan prognosis
fausta.

BAB IV

PENUTUP

4.1 SIMPULAN
Berdasarakan hasil pemeriksaan hematologi terdapat peningkatan parameter sel darah
putih (WBC), limfosit, granulosit dan MID serta adanya penurunan parameter sel darah merah
(RBC) pada hemoglobin, MCH, P-LCR dan MPV. Dari melihat hasil parameter darah dan gejala
klinis maka diagnose sementara yaitu ayam menderita Coryza (snot) dan stress serta infeksi
saluran pencernaan oleh E. coli yaitu colibasilosis.

Hasil bedah pustaka urinalisis nitrit positif maka menandakan adanya infeksi saluran
kemih pada hewan akibat bakteri yang dapat mereduksi nitrat pada saluran kemih.

DAFTAR PUSTAKA

Ali, A. S. A. S., Ismoyowati, & Indrasanti, D. (2013). Jumlah eritrosit, kadar hemoglobin dan
hematokrit pada berbagai jenis itik lokal terhadap penambahan probiotik dalam ransum.
Jurnal Ilmiah Peternakan, 1(3), 1001–1013.
Arfah, N. H. 2015. Pengaruh pemberian tepung kunyit pada ransum terhadap jumlah eritrosit,
hemoglobin, pcv, dan leukosit ayam broiler. Universitas Hasannudin Makasar, Makasar

Bichler KH, Eipper E, Naber K, Braun V, Zimmermann R, Lahme S. 2002. Urinary infection
stones. International Journal of Antimicrobial Agents 19: 488-498.

Brunzel N.A. 2013. Fundamentals of urine and Body Fluid Analysis. 3 edition. Elsevier Sauders.

Cahyaningsih, U., H. Malichatin dan Y. E. Hedianto. 2007. Diferensial leukosit pada ayam
setelah diinfeksi eimeria tenella dan pemberian serbuk kunyit (Curcuma domestica) dosis
bertingkat. Seminar Teknologi Peternakan dan Veteriner. 593 – 599

Cunningham, J. G. 2002. Textbook of Veterinary Physiology. Saunders Company, USA.

Falahudin, I., E. R. Pane dan Sugiati. 2016. Efektifitas larutan temulawak (Curcuma xanthorrhiza
Roxb.) terhadap peningkatan jumlah leukosit ayam broiler (Gallus gallus Domestica sp.).
Jurnal Biota (2) 1 : 68 – 74.

Frandson, R. D. 1993. Anatomi dan Fisiologi Ternak, Edisi 4. Gajah Mada Press. Yogyakarta

Frandson RD. 2009. Anatomi dan Fisiologi Ternak. Edisi ke-4. Gadjah Mada University Press,
Yogyakarta.

Ganong, W. F. 1996. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Ed 22. Terjemahan. Penerbit Buku
Kedokteran EGC, Jakarta

Gerber B, Boretti FS, Kley S, Laluha P, Muller C, Sieber N, Unterer S, Fluckiger M, Glaus T,
Reusch CE. 2005. Evaluation of clinical signs and causes of lower urinary tract disease in
European cats. Journal of Small Animal Practice 46: 571-577.

Ginting dan A. Indri. 2008. Profil darah ayam broiler yang diberi ransum mengandung tepung
daun jarak pagar (Jatropha curcas L.). Skripsi. IPB: Bogor.

Guyton AC, Hall JE. 1997. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran Edisi 9. Penerbit Buku Kedokteran
EGC

Guyton, A. C., &J. E. Hall.2008. Buku Ajar FisiologiKedokteran. Ed ke-11. Irawati S, LMA Ken
Ariata T, Alex S, penerjemah. Penerbit Buku KedokteranEGC.Terjemahandari:Textbook
of Medical Physiology, Jakarta.

Hartoyo, B., S, S., Iriyanti, N., & Susanti, E. (2015). Performan dan Profil Hematologis Darah
Ayam Broiler Dengan Suplementasi Herbal (fermenherfit). In T. Setyawardani, A.
Susanto, & A. Sodiq (Eds.), Seminar Nasional Teknologi dan Agribisnis Peternakan III
(pp. 242–251). Purwokerto: Universitas Jendral Soedirman.

Jain, N.C. 1993. Essential of Veterinary Hematology. Lea and Febiger: Philadelpia
Julendra H, Zuprizal, dan Supadmo. 2010. Penggunaan Tepung Cacing Tanah (Lumbricus
rubellus) sebagai Aditif Pakan terhadap Penampilan Produksi Ayam Pedaging, Profil
Darah, dan Kecernaan Protein. Buletin Peternakan. 34(1):21-29

Khan, T. A., & Zafar, F. (2005). Haematological Study in Response to Varying Doses of
Estrogen in Broiler Chicken. International Journal of Poultry Science, 4(10), 748-751.

Kusnadi, E. 2008. Perubahan malonaldehida hati, bobot relatif bursa fabricius dan rasio
heterofil/limfosit (H/ L) ayam broiler yang diberi cekaman panas. Med. Pet. 32(2):81-87

Lestari, S.H.A., Ismoyowati, dan M. Indradji. (2013). Kajian jumlah leukosit dan diferensial
leukosit pada berbagai jenis itik lokal betina yang pakannya di suplementasi probiotik. J.
Ilmiah Peternakan 1 (2): 699-709.

Manin, F., E. Hendalia, Yatno dan P. Rahayu. 2014. Dampak pemberian probiotik FM terhadap
status kesehatan ternak Itik Kerinci. J. Ilmu Ternak. 1 (2): 7-11.

Mohamed, A. T. B. A. 2012. Profil Darah, Performa dan Kualitas Daging Ayam Persilangan
Kampung Broiler (KB) Pada Kepadatan Kandang Yang Berbeda. Skripsi. Program Studi
Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor.
Bogor.

Moyes, C.D. and P. M. Schulte. 2008. Principles of animal physiology. Edisi Kedua. Perarson
International Edition, NewYork

Murtini, S., I. Rahayu, dan I. Yuanita. 2009. Status KesehatanAyam Pedaging yang Diberi
Ransum Mengandung Ampas Buah Merah. Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan
Veteriner.

Nicholas, F. W. 2004. Pengantar Genetika Veteriner. Pustaka Wira Usaha Muda, Bogor

Nordenson, N. J. 2002. White Blood Cell Count and Differential.

Parrah JD, Moulvi BA, Gazi MA, Makhdoomi DM, Athar H, Din MU, Dar S, Mir AQ. 2013.
Importance of urinalysis in veterinary practice – A review. Veterinary World 6(11): 640-
646.

Purnomo D, Sugiharto, Isroli. 2016. Total leukosit dan diferensial leukosit darah ayam broiler
akibat penggunaan tepung onggok fermentasi rhizopus oryzae pada ransum. Fakultas
Peternakan dan Pertanian Universitas Diponegoro. Jurnal Ilmu-Ilmu Peternakan 25 (3):
59 – 68

Rachmawati E. 2010. Profil glukosa dan kreatin darah darah ayam petelur fase layer pada
temperature humidity index yang berbeda. Students e-Journal. 4 (1) : 1 - 12.
Redmond, S. B, P. Chuammitri, C. B. SJ, 2011. Genetic control of chicken heterophil function in
advanced intercross lines: associations with novel and with known Salmonella resistance
loci and a likely mechanism for cell death in extracellular trap production.
Immunogenetics. 63: 449±458.

Schalm, O. W. 2010. Vetenary Hematology. 6nd Edition.Lea and Febriger, Phidelpia.

Smith, J. B dan S. Mangkoewidjojo. 1988. Pemeliharaan, pembiakan dan penggunaan hewan


percobaan di daerah tropis. Universitas Indonesia. Jakarta.

Soeharsono, L., Adriani, Hernawan, E., K.A, K., & Mushawwir, A. (2010). Fisiologi Ternak
Fenomena dan Nomena Dasar, Fungsi dan Interaksi Organ pada Hewan. Bandung:
Widya Padjajaran.

Strasinger, S.K. and M.S. Di Lorenzo. 2008. Urinalysis and Body fluids. F.A. Davis company.

Sugiharto, S. 2016. Role of nutraceuticals in gut health and growth performance of poultry. J.
Saudi Soc. Agric. Sci. Hal: 1-13.

Sugito, &Delima M. 2009. Dampak cekaman panas terhadap pertambahan bobot badan rasio
heterofil: limfosit dan suhu tubuh ayam broiler. KedHewan. 3(1):218-226.

Suriansyah., I. B. K. Ardana., M. S. Anthara dan L. D. Anggreni. 2016. Leukosit ayam pedaging


setelah diberikan paracetamol. J. Indonesia Medicus Veterinus (5) 2 : 165-174

Swenson. M. J. 1984. Duke’s Physiology of Domestic Animals. 10th edition. Cornell University
Press, London

Tamzil, M. H. 2014. Stress panas pada unggas : metabolisme, akibat dan upaya
penanggulangannya. Wartazoa. 24 (2) : 57 – 66.

Tawfeek SS, Hassanin KMA, Youssef IMI. 2014. The Effect of Dietary Supplementation of
Some Antioxidants on Performance, Oxidative Stress, and Blood Parameters in Broilers
under Natural Summer Conditions. J. World’s Poultry Res. 4(1):10-19.

Tion MT, Dvorska J, Saganuwan SA. 2015. A review on urolithiasis in dogs and cats. Bulgarian
Journal of Veterinary Medicine 18(1): 1-18.

Anda mungkin juga menyukai