Anda di halaman 1dari 19

LAPORAN PRAKTIKUM

PATOLOGI KLINIK

“Hematologi”

KELOMPOK B2

Dionesia Atrisa Mogi (1509010005)

Vilomena K. Toan (1509010006)

Jefriyono Ch. Kandi (1509010007)

Nadya Daramuli Kale (1509010036)

FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN

UNIVERSITAS NUSA CENDANA

KUPANG

2018
HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Total RBC Sapi Betina

Hasil perhitungan kamar hitung jumlah RBC

90 120

87

130 98

Jumlah = 525

Total RBC = 525 x 10000

= 5.250.000

= 5,25 x 106

Dari pengamatan terhadap sapi bali betina secara fisik dan


simptomatis tidak menunjukkan sakit,dan pola pemeliharaan semintensif
didapatkan hasil jumlah eritrosit 5,2 juta/mm3.Bila dibandingkan dengan
hasil Sri Wahyuni dan Benni Matram (1983) yang didapat hasil 5,6
juta/mm3, serta Utama dkk (2001) yaitu 4.8 juta/mm3 maka ada diantara
keduanya.Namun demikian lebih rendah bila dibandingkan dengan jumlah
eritrosit sapi Bos Taurus. Dengan demikian jumlah eritrosit sapi bali betina
yang digunakan dalam praktikum ini normal (status fisiologis) yaitu 5.25
juta/ml.

B. Parameter RBC
 PCV (Hematokrit) = 37 %
PCV x 10
 MCV =
Total RBC

37 X 10
=
5,25 X 10 6

370
=
5,25 X 10 6

= 70,47 x 106 fl

Hb x 10
 MCH =
Total RBC

10 X 10
=
5,25 X 10 6

100
=
5,25 X 10 6

= 19,05 x 106 pg

Hb x 100
 MCHC =
PVC
10 X 100
=
37 %
= 27%

Hewan SDM(x106/µl) Hb (g/dL) Hct (%)

Sapi 5-8 8-14 26-42


Tabel 1. Nilai Normal Eritrosit (SDM), kadar hemoglobin (hb) dan nilai
Hematokrit (Hct) pada sapi.

ewan MCV (fl) MCH (pg) MCHC(g%)


Sapi 50 (40-60) 14,4-18,6 30 (26-34)
Tabel 2. Nilai Normal Indeks Eritrosit

SDM Hb MC MCH MCHC


Hewan (x106/µl) (g/dL) Hct (%) V (fl) (pg) (g%)
Sapi 5,25 10 37 70,47 19,05 27
Tabel 3. Hasil praktikum menunjukkan SDM, Hb, Hct dan Indeks Eritrosit pada
sapi.

Hasil diatas menunjukkan jumlah sel darah merah (SDM), kadar


Hemoglobin (Hb) dan nilai Hematokrit (Htc) yang berada dalam batas
normal, MCV dan MCH yang tinggi, dan MCHC yang rendah.

Jumlah Eritrosit

Jumlah eritrosit dapat dilihat pada tabel 3, dengan kisaran nilai


antara 5-8 x106/µl menunjukkan rumlah eritrosit sapi betina ini berada
dalam kisaran normal yaitu sebesar 5,25x106/µl.

Konsentrasi Hemoglobin

Sapi betina yang diuji memiliki konsentrasi hemoglobin pada


rentang normal (8-14 g/dL), dengan nilai 10 g/dL dimana nilai rataan
tersebut berada pada rentang normal.

Hemoglobin merupakan komponen utama penyususn eritrosit yang


berfungsi mengangkut oksigen dan karbondioksida (Price & Wilson 2006).
Rendahnya hemoglobin diakibatkan oleh jumlah eritrosist yang rendah,
karena hemoglobin merupakan komponen utama pengisi eritrosit (Guyton &
Hall 1998). Faktor yang mempengaruhi derajat anemia selain jumlah
eritrosit adalah konsentrasi hemoglobin yang berada dalam darah. Besarnya
konsentrasi hemoglobin dipengaruhi oleh banyak faktor diantaranya nutrisi,
ras umur, waktu pengambilan sample dan antikoagulan yang dipakai dalam
pengambilan sampel (Mbassa dan Poulsen 1993).

PCV

Nilai hematokrit sapi yang diperiksa berada pada rentang normal


yaitu 38% dalam kisaran 26-42%. Kondisi pada sapi dengan kisaran
hematokrit normal diikuti dengan gambaran jumlah eritrosit dan konsentrasi
hemoglobin yang normal yaitu 5,25x106/µl dan 10 g/dL. Hal ini
menunjukkan adanya korelasi antara ketiganya.

Perhitungan PVC (packet cell volume) pada ternak-ternak sehat


harus sebanding dengan jumlah eritrosit dan konsentrasi hemoglobin.
Hematokrit dipergunakan untuk menghitung jumlah darah dan untuk
mengecek jamlah sel darah merah. Nilai hematokrit merupakan salh saltu
unsur yang dapat digunakan untuk menentukan derajat anemia selain jumlah
erotrosit dan konsentrasi hemoglobin. Jumlah eritrosit yang rendah dan
ukuran eritrosit yang kecil akan menyebabkan nilai hematokrit menjadi
rendah (Colville & Bassert, 2002). Duncan & Prase (1977) menyatakan
bahwa turunnya atau rendahnya nilai hematokrit dipengaruhi keadaan
tertentu seperti bunting dan anemia.

Indeks Eritrosit

Indeks eritrosit sapi menunjukkan nilai MCV adalah 70,47 fl dengan


kisaran 50 (40-60) fl. MCHC berada pada nilai 27 g% dengan kisaran 30
(26-34)g%. Nilai MCV dan MCHC ini berada dalam nilai rendah. Sapi yang
uji mengalami anemia mikrositik hipokromik. Dengan nilai MCV 70,47 fl
serta nilai MCHC 27 g%. Anemia mikrositik hipokromik ditandai dengan
ukuran eritrosit lebih kecil dari normal dengan konsentrasi hemoglobin
lebih kecil dari normal (MCV dan MCHC rendah). Kejadian ini disebabkan
oleh insufisiensi sintesis hem (besi) akibat defisiensi zat besi derta defisiensi
pyridoxine (Stockham & Scott, 2008). Menurut Abdulsalam & Daniel
(2002), defisiensi besi dapat menyebabkan terjadinya berbagai komplikasi
antara lain berupa penurunan daya tahan tubuh, penurunan aktivitas, dan
perubahan tingkah laku.

C. Total WBC Sapi Betina

Perhitungan WBC pada praktikum yang dilakukan.

5 X 21

X X X

10 X 17
(Kamar hitung leukosit)

Total WBC = n×50

= 5+21+10+17

= 43×50

= 2.150

= 2,15×103/mm3

Sumsum tulang dan hati memproduksi sebagian besar komponen


dari sistem pertahanan non spesifik, menyediakan faktor seluler (granulosit,
monnoosit, makrofag, dan trombosit) dan faktor humoral (komplemen,
kinin, protein koagulasi) sedangkan sistem limfoid adalah sistem pertahanan
spesifik yang secara akurat mengarahkan serangan terhadap benda asing,
komponen seluler (limfosit) dan humoral ( imunoglobilin) ditemukan
sebagian di dalam darah perifer, tetapi pada umumnya didistribusikan pada
organ limfoid spesifik (nodus limfatikus, limfa dan timus).

Leukosit berada dalam sirkulasi darah hanya untuk melintasi saja


dan tidak mempunyai fungsi didalam pembuluh darah. Hitung jenis leukosit
menyatakan presentase berbagai jenis leukosit. Berdasarkan ada tidaknya
granula reflaktil, leukosit dapat dibedakan menjadi dua golongan yaitu;
granulosit/ polimorhonuklear (terdiri dari neutrofil, eosinofil dan basofil)
dan agranulosit/mononuklear (terdiri dari monosit dan limfosit.)

o Neutrofil
Pada hewan secara kinetik sel netrofil cenderung melekat pada
endotel pembuluh darah membentuk Marginal Neutrofil Pool (MNP)
sel-sel ini tidak ikut terhitung dalam perhiitungan leukosit. Juga
neutrofil dapat bergerak secepat eritrosit dn plasma didalam arteri dan
vena membentuk Circulating Neutrophil Pool (CNP). Pada anjing dan
sapi besarnya jumlah neutrofil pada MNP adalah sam dengan jumlah sel
neutrofil pada CNP. Pada pemeriksan diferensial counting leukosit
secara rutin, jumlah neutrofil yang diperoleh adalah berkisar seperti
dalan Circulating Neutrophil Pool (CNP).
Neutrofil merupakan pertahanan efektif terhadap mikroba
terutamaa bakteri. Fungsi neutrofil sebagai pertahanan antibakteri
melalui beberapa mekanisme efektif yaitu: kemotaksis (kemampuan
neutrofil tertarik ketempat infeksi dan peradangan) dan sebagai
fagositosis (neutrofil mempunyai untuk memakan dan menghancurkan
mikroba).
o Monosit
Monosit berasal dari sumsum tulang, kemudian masuk kedalam
sirkulasi darah dan berubah menjadi makrofag di dalam jaringan.
Monosit hanya berada sementara di sumsum tuulang lalu akan
dilepaskan dalam sirkulasi darah langsung dari pembelahan promonosit
dan setelah bersikulasi yang bersifat sementara kemudian akan
meninggalkan darah dan memasuki jaringan untuk menjadi matur dan
melaksanakan tugas utamanya.
Fungsi monosit dalam memfagositosis partikel besar
/makromolekuler seperti fungi dan protozoa serta membuang sel-sel
yang rusak dan mati. Monosit darah dan makrofag jaringan merupakan
sel yang sama yang berada dalam lokasi yang berbeda, setelah berada
didalam jaringan makrofag membentuk organel dan enzim yang
memungkinkankan melakukan fagositosis dan mampu mempercepat
aktivitas fagositik.
o Eusinofil
Eusinofil mirip dengan netrofil, kecuali granula sitoplsmanya
lebih kasar serta mempunyai afinitas eosin yang berwarna merah seperti
warna merah jingga dan intinya jarang lebih dari tiga lobus. Mielosit
eosinofil dapat dibedakan dengan netrofil tetapi stadium lebih awal tdak
dapat dibeddakan dengan prekursor neutrofil.
Waktu transit dalam darah lebih lama dari neutrofil, eosinofil
beperan khusus dalam respon elerg, pertahanan terhadap parasit dan
pembuangan fibrin yang terbentuk selama inflamasi. Eosinofil
mempunyai peranan dalam peristiwa hipersensivitas, misalnya kasus
elergi dan reaksi anafilaksis.
Granula eosinofil mengandung antihistamin yang berperan
dalam proses hipersensitif, sehingga sel ini mempunyai spesialisasi
didalam proses detoksikasi terhadap histamin. Fungsi eosinofil terutama
pada proses penetralan protein asing terutama terhadap reaksi antigen
dan antibodi.

o Basofil
Sel ini jarang sekali ditemukan dalam darah kebanyakan hewan
secara normal dan basofil mempunyai graanula sitoplasma yang
mentupi inti. Granula basofil mempunyai afinitas zat warna biru atau
basa dan mengandung serotonin, heparin dan histamin dan berfungsi
dalam mencegah terjadinya proses pembekuan dara, statis pembuluh
darh didaerah yang mengalami peradangan.
Didalam jaringan basofil berubah menjadi sel mast dan
mempunyai tempat pelekatatan immunogllobulin E (IgE) dan
degranulasinya (pecahnya granulasi) disertai dengan pelepasan
histamin. Agen fisik dan kimia dapat menyebabkan degranulasi basofil.
o Limfosit
Limfosit dalam darah perifer bermigrasi melalui
venulapascakapiler kedalam subtansi kelenjar getah bening atau
kedalam limpa dan limfosit juga mampu memproduksi zat antibodi
yaitu: Ig,G,IgM,IgA terutama terjadi dalam limfoid. Limfosit kembali
ke darah perifer melalui aliran limfatik eferen dan ductus
thoracicus.Fungsi utama limfosit sebagai agen fagosit yang bersifat
terbatas (hanya dapat memfagosit partikel yang bersifat mikro) serta
berhubungan dengan antibodi huumeral dan seluler.

D. Morfologi Eritrosit dan Diferensial Leukosit


 Morfologi Eritrosit
Eritrosit matang normal memiliki bentuk cakram bikonkaf
dengan diameter 7,82 ± 0,82 µ (7.00 – 8,64 µ),tebal bagian tepi 2,58 ±
0,27 µ (2,31 – 2,85µ) dan tebal bagian tengah 0,81 ± 0,35 µ (0,46-1.1µ)
dengan volume eritrosit matang normal 94 ± 14 fL (80-108 fL).Pada
sediaan hapus darah eritrosit matang normal tampak sebagai bulatan
berwarna kemerahan dengan daerah pucat di bagian tengah.Normalnya
daerah pucat tidak melebihi setengah dari diameter eritrosit. Kelainan
morfologi eritrosit berupa kelainan ukuran (size), kelainan bentuk
(shape), kelainan warna (staining characteristics), dan benda-benda
inklusi. Berikut macam-macam kelainannya.

Morfologi eritrosit yang ditemukan dalam praktikum ini adalah:

 Kelainan Bentuk
Acantosis : Eritrosit yang pada permukaanya mempunyai 3-12 dengan
ujung tumpul yang tidak sama panjang.Mekanisme terbentuknya
kelainan ini belum diketahui.Diketahui bahwa kadar kolesterol
membran eritrosit pada kelainan ini meningkat dan jumlah lecithin pada
membran menurun.
Kelainan ini dapat dijumpai pada : Defisiensi vitamin
D,hipotiroidisme,penyakit hati kronik dan abetalipoproteinemia
kongenital.

Eliptosit : bentuk seperti elip atau oval. Juga disebut ovalosit. Bila ada
dalam jumlah yang besar mungkin disebabkan karena anomali bawaan,
ovalositosis.
Sferosit : eritrosit lebih kecil, lebih bulat, dan lebih padat warnanya
daripada eritrosit normal. Tidak didapat bagian yang pucat ditengah sel.

Crenated : merupakan kelainan bentuk dari eritrosit (poikilositosis)


yang berbentuk seperti artefak. Krenasi berawal dari sel eritrosit yang
mengalami pengerutan akibat cairan yang berada di dalam sel keluar
melalui membran. (Mehta, Atul dan Victor Hoffbrand. 2005).Morfologi
krenasi dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor, misalnya terjadinya
kesalahan pada prosedur pemeriksaan pra-analitik (penambahan
antikoagulan, jenis antikoagulan).
Tear Drop : Kelainan ini dapat dijumpai pada penyakit
mielofibrosis,hemopoesis ekstramedular.

Leptosit : disebut juga sel target karena dibagian tengah eritrosit yang
pucat terdapat lingkaran berwarna merah dipusat eritrosit.

 Kelainan Ukuran
Mikrosit : eritrosit lebih kecil daripada eritrosit normal, dengan ukuran
< 6μm.Selain itu pada gambar di bawah ini menunjukan poikilositosis
yaitu menunjukan perbedaan bentuk eritrosit yang bervariasi/
iregularitas bentuk eritrosit.
 Kelainan Warna
Hipokrom : warna pucat pada bagian tengah, erotrosit lebih besar dari
biasanya.

 Diferensial Leukosit
1. Perhitungan nilai presentasi dan Nilai absolut pada Neutrofil.
Neutrofil : 35%.
Absolut = 35% × Total Leukosit
= 35% × 2,15×103/mm3
= 16,2µL

Dari hasil yang diperoleh dari praktikum yang dilakukan


perhitungan presentasi atau nilai relatif WBC Neutrofil : 35%. Pada
nilai rujukan normal untuk persentase neutrofil sapi adalah 15-45% ,
oleh karena itu presentasi nilai Neutrofil tergolong normal. Pada
nilai absulut neutrofil rujukan normal yaitu 1,7-6,0 x 103/μl , Weiss
dan Wardrop (2010), sedangkan hari perhitungan pada praktikum
yaitu; 16,2µL melewati nilai normal.

Interpretasi peningkatan jumlah neutrofil absolut lebih sering


dibandingkan dengan peningkatan jenis leukosit yang lainnya, oleh
sebab itu sebagian besar leukositosis disebabkan oleh adanya
peningkatan jumlah netrofil (netrofilia).
Peningkatan jumlah neutrofil/netrofilia adalah sebagai
konsekuensi kebutuhan jaringan akan sel neutrofil. Netrofilia dapat
disebabkan oleh kortikosteroid( netrofilia karena stress); disini akan
terjadi peningkatan jumlah neutrofil terutama di CNP,karena
kortikosteroid dapat menurunkan perlekatan netrofil padaa dinding
pembuluh darah dan di duga meningkatkan pelepasan granulosit,
sehingga mengakibatkan leukosit dalam sirkulasi bertambah. Stress
yang dimaksud dengan adanya rasa nyeri , anestesia, operasi trauma,
neoplasia.

2. Perhitungan nilai presentasi dan Nilai absolut pada Eusinofil.

Eusinofil : 12%

Absolut = 12% × Total Leukosit

= 12% × 2,15×103/mm3

= 5,6 µL

Hasil perhitungan praktikum presentasi pada eusinofil yaitu


12%; nilai rujukan normal untuk persentase eusinofil sapi adalah l
0-20%. Sehingga pada hasilnya menunjukan bahwa presentasi
eusinofil masih normal. Pada perhitungan nilai absolut yang
dilakukan yaitu 5,6 µL,dimana untuk nilai absolut normal yaitu
eosinofil 0,1-1,2 x 103/μl, Weiss dan Wardrop (2010) terjadi
peningkat nilai absolutnya.

Interpretasi adanya peningkatan nilai absolut eosinofil yang


disebut eosinofilia. Pada keadaan ini dapat disebabkan oleh; infestasi
parasi( terutama parasit yang dapat menembus atau masuk ke
jaringan tubuh), diman akan terjadi proses sensitisasi, misalnya;
filariasis, echinococcus,faciola, trichinosis, larva ascari)elergi, tumor
ovarium, pada keganasan dan gangguan mieloproliferatif. Stimulus
atau rangsangan yang menyebabkan terjadinya eosinofilia secara
pasti belum dapat dijelaskan.

3. Perhitungan nilai presentasi dan Nilai absolut pada Basofil.

Basofil : 6%

Absolut = 6%×2,15×103/mm3
= 2,79 µL

Pada basofil rujukan nilai normal untuk presentasi basofil


yaitu; 0-2%,sedangkan hasil yang diperoleh dari praktikum yang ada
adalah 6% dan terlihat bahwah melebihi atau terjadinya peningkatan
Basofil. Nilai absolut yang diperoleh dari hasil praktikum yaitu; 2,79
µL untuk rujukan normal pada nilai absolut basofil yaitu basofil 0,0-
0,2 x 103/μl , Weiss dan Wardrop (2010) . Sehingga dapat
dikatakan adanya peningkatan nilai absolut dari nilai normal.

Interpretasi adanya peningkatan nilai absolut basofil yang


disebut basofilia. Kejadian basofilia jarang terjadi pada hewan, kalau
ada disertai dengan eosinofilia dan leukimia mieloid krinik.
Penyebab umum basofilia adalah kelainan mieloproliferatif.

4. Perhitungan nilai presentasi dan Nilai absolut pada Limfosit.

Limfosit : 40%

Absolut = 40%×2,15×103/mm3
= 18,6 µL

Dari hasil perhitungan presentasi nilai presentasi limfosit


yaitu; 40% yang berarti bahwah masih berada dalam nilai normal
basofil yaitu berkisar antara 45-75%. Sedangkan perhitungan nilai
absolut yang diperoleh pada praktikum yng dilakukan yaitu 18,6 µL
melewati nilai nilai normal yaitu 1,8-8,1 x 103/μl, Weiss dan
Wardrop (2010)

Interpretasi adanya limfositosis dimana terjadi pada semua


keadaan yang disertai dengan penurunan jumlah neutrofil.
Peningkatan jumlah limfosit sering terjadi pada beberapa penyakit
kronis dan limfositik leukimia.

5. Perhitungan nilai presentasi dan Nilai absolut pada Monosit.

Monosit : 7%

Absolut = 7%×2,15×103/mm3
= 3,25 µL

Nilai rujukan normal untuk presentasi monosit sapi adalah


monosit 2-7%, pada perhitungan yang dilakukan mendapatkan hasil
7% masih termasuk dalam nilai normal. Pada perhitungan nilai
absolut didapatkan hasil 3,25 µL dikatakan melewati nilai normal
atau terjadi peningkatan dari 0,1-0,7 x 103/μl , Weiss dan Wardrop
(2010).

Peningkatan nilai absolut pada perhitungan monosit yang


dimna interpretasinya adalah monositosis. Biasanya monositosis
terjadi selama kebutuhan jaringan untuk proses fagositosis
makromolekuler meningkat dan dapat ditemukan pada fase
penyembuhan infeksi. Peningkatan jumlah monosit dapat disebabkan
oleh:

 Penyakit kronis keadaan ini berhubngan dengan imunitas seluler


di mana respon ini berjalan akut atau kronis.
 Anemia hemolitik.
 Hormon kotikosteroid juga dapat menyebabkan peningkatan
jumlah monosit.
Kesimpulan

Berdasarkan pembahasan dari hasil pengujian, menunjukkan bahwa sapi


bali betina yang di uji mengalami anemia mikrositik hipokromik. Hal ini sel darah
merah lebih kecil dari normal, sedangkan hipokromik berarti mengandung
hemoglobin yang mempunyai konsentrasi kurang dari normal (MCV dan MCHC
berkurang). Keadaan ini secara umum menggambarkan insudisiensi sintesis hem
(besi), seperti pada anemia defisiensi besi, keadaan sideroblastik dan kehilangan
darah kronik, atau gangguan sintesis globin, seperti pada talasemia (penyakit
hemoglobin abnormal kongenital).
Daftar Pustaka

Abdulsalam M, Daniel A. 2002. Diagnosis, pengobatan dan pencegahan anemia


defisiensi besi. J Sari Pediatri. Vol. 4 (2): 74 – 77.

Colville T, Bassert JM. 2002. Clinical Anatomy and Physiology for Veterinary
Techinicians. Missouri (US): Mosby.

Duncan JR, Prase KW. 1977. Veterinary Laboratory Medicine. Clinical Pathology
Lowa (US): The Lowa state Univetsity Pr.

Guyton AC, Hall JE. 1997. Textbook of Medical Physiology. Philadelphia (US):
Saunders Company.

Mbassa GK, Poulsen JS. 1993. Reference Range for Hematological Value in
Landrace Goats. Small Rum Res.

Price SA, Wilson LM. 2006. Patophysiology Clinical Conceps of Disease


Processes. Ed ke-4. Jakarta (ID): Penerbit Buku Kedokteran EGC.

Siswanto. 2011. Gambaran sel darah merah sapi bali (studi rumah potong). Buletin
Veteriner Undayana. 3(2):99-105. Swenson, M.J. 1984. Dukes Physiologi
of Domestic Animals. 10th ed.Cornel University Press, Ithaca.

Stockham SL, Scott MA. 2008. Fundamentals of Veterinary Clinical Phatology. Ed


ke-2. State Avenue (US): Blackwell Publishing.

Thrall, M.A., D.C. Baker, and E.D. Lassen. 2004. Veterinary Hematology and
Clinical Chemistry. Wiley-Blackwell, Iowa. Utama, I.H. 2001.
Karakteristik anemia sapi bali. J. Vet. 2(1):13-16.

Wahyuni, S. dan B. Matram. 1983. Observasi pada hematologi sapi bali.


Proceedings. Pertemuan Ilmiah Ruminansia Besar. Pusat Penelitian dan
Pengembangan Peternakan, BPPP Deptan. Jakarta:177-180.

Anda mungkin juga menyukai