Anda di halaman 1dari 50

LAPORAN KEGIATAN PPDH

SUB-ROTASI BEDAH DAN RADIOLOGI


RUMAH SAKIT HEWAN PENDIDIKAN DAN
KLINIK HEWAN PENDIDIKAN
UNIVERSITAS BRAWIJAYA

Oleh :
RIZKI NURFATHONI A, S.KH
NIM.180130100011032

Kelompok 2/ Gelombang 12

PENDIDIKAN PROFESI DOKTER HEWAN


FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN
UNIVERSITAS BRAWIJAYA
MALANG
2020
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 LATAR BELAKANG
Anjing adalah hewan yang mudah bersosialisasi dengan manusia.
Hubungan manusia dan anjing sudah terjalin cukup lama sejak ratusan tahun
yang lalu. Anjing merupakan hewan kesayangan yang banyak dipelihara
orang. Selain sebagai hewan kesayangan anjing juga dimanfaatkan untuk
berburu, menjaga rumah, ladang dan kebun. Oleh karena itu kesehatan
anjing harus diperhatikan agar anjing tetap sehat, lincah dan dapat
melanjutkan keturunan. Salah saatu cara untuk menjaga kesehatan anjing
adalah dengan pencegahan penyakit dan pengobatan yang sesui dengan
penyakit (Maya, 2006).
Gangguan saluran pencernaan adalah salah satu penyakit yang terjadi
pada anjing, gangguan dapat terjadi pada gatrium sampai ke kolon. Salah
satu penyebab gangguan pencernaan adalah penyempitan atau adanya benda
asing atau ganggren pada usus. Benda asing yang ditemukan pada saluran
pencernaan bervariasi seperti kulit yang keras, kain, jarum, kawat, seng,
rambut, tulang dan benda keras lainnya. Adanya benda asing menyebabkan
terjadinya obstruksi (Boothe, 2012).
Kasus obstruksi usus pada anjing akibat mengkonsumsi pakan yang
keras menunjukkan peningkatan (Capak et al., 2001). Untuk mengeluarkan
benda asing pada obstruksi kolon maka dilakukan prosedur bedah yang
disebut kolostomi. Kolostomi berupa penyayatan bagian kolon dari mulai
serosa sampai ke bagian lumen mukosa. Kolostomi sering dilakukan pada
anjing untuk mengangkat benda asing yang menyebabkan obstruksi pada
bagian kolon (Boothe, 2012).
Berdasarkan hal tersebut maka dilakukan praktik tindakan kolotomi
pada kegiatan PPDH di Klinik Hewan Pendidikan Fakultas Kedokteran
Hewan Universitas Brawijaya. Tujuan kegiatan koasistensi kasus bedah
kelompok kolotomi pada anjing untuk mengetahui tata cara melakukan
operasi kolotomi pada anjing dan manajemen perawatan setelah operasi
serta melatih dan meningkatkan keterampilan mahasiswa koasistensi PPDH
dalam melakukan operasi.
1.2 RUMUSAN MASALAH
Berdasarkan uraian diatas maka rumusan masalah yang dapat diambil
sebagai berikut:
1. Bagaimana prosedur pre-operatif bedah kolotomi pada anjing?
2. Bagaimana prosedur bedah kolotomi pada anjing?
3. Bagaimana penanganan pasca operasi setelah bedah kolotomi pada
anjing?

1.3 TUJUAN
Dilaksanakannya bedah enterotomi pada anjing ini bertujuan
untuk:
1. Mengetahui prosedur pre-operasi kolotomi pada anjing
2. Mengetahui pelaksanaan prosedur operasi kolotomi pada anjing
3. Mengetahui penanganan pasca operasi kolotomi pada anjing

1.4 MANFAAT
Pelaksanaan kegiatan Pendidikan Profesi Dokter Hewan (PPDH)
rotasi Interna Hewan Kecil (IHK) adalah mampu melakukan persiapan
sebelum operasi, prosedur operasi, serta penanganan pasca operasi pada
bedah kolotomi.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Kolotomi
Kolotomi adalah prosedur bedah berupa penyayatan pada kolon
yang bertujuan untuk mengalihkan aliran feses atau mengangkat benda
asing yang terdapat pada kolon. Indikasi dilakukan kolostomi antara lain
penyakit kolorektal pada kolon, obstruksi rektum, penyakit divertikular
akut, enteritis, trauma anorektal dan adanya benda asing pada kolon
(Bustamante, 2017). Benda asing yang ditemukan itu sangat bervariasi
seperti kulit yang keras, kain, jarum besi, kawat, seng, rambut, tulang yang
keras dan lain-lain yang akan menyebabkan obstruksi pada kolon.
Penyayatan dilakukan pada daerah dengan sedikit inervasi pembuluh darah.
Penyayatan pada enterotomi sebaiknya tidak terlalu lebar, hal ini
dikarenakan jaringan pada usus sangat lunak, lembut dan mudah robek.
Apabila sayatan terlalu lebar maka akan mempersulit pada saat penjahitan.
Sayatan dilakukan secukupnya atau jika terdapat benda asing pada lumen
kolon, sayatan sebaiknya sepanjang benda asing yang akan dikeluarkan
dengan benda asing tersebut digunakan sebagai tumpuan saat menyayat.

2.2 PRINSIP OPERASI


Keuntungan utama dari laparotomi dan enterotomi adalah bahwa (1)
memungkinkan akses ke seluruh saluran pencernaan, (2) memberikan biopsi
penuh-ketebalan, yang penting dalam massa submukosa, dan (3) dapat
memeriksa sampel sisa abdomen. Kerugian utama dari laparotomi adalah
bahwa (1) itu adalah teknik yang paling mahal dan paling invasif (yaitu, itu
bukan prosedur rawat jalan), (2) tidak memungkinkan seseorang untuk
mendeteksi lesi mukosa, (3) tidak memungkinkan untuk mendapatkan
sebagai sampel mukosa sebagai Endoskopi fleksibel, dan (4) adalah
mungkin untuk mengambil sampel jaringan nondiagnostic jika teknik yang
tepat tidak diikuti. Pada saat enteretomi dilakukan isolasi intestin dari
abdomen dengan handuk atau laparotomi sponge untuk meminimalisir
tumpahan isi dari intestin (Fossum, 2002).
Insisi enterotomi longitudinal dan transversal dapat dilakukan untuk
mengumpulkan sampel biopsi. Beberapa biopsy harus dilakukan dan
sampel harus cukup besar (berdiameter 4 – 5 mm) serta harus mengandung
jumlah mukosa yang memadai. Sebelum dilakukan biopsy harus dilakukan
eksplorasi abdomen secara menyeluruh. Indikasi enterotomi lainnya adalah
pengangkatan benda asing dan pemeriksaan luminal (Fossum, 2013).

2.3 ANATOMI DAN FISIOLOGI


Fungsi utama kolon adalah absorbsi air dan elektrolit dari kimus
untuk membentuk feses yang padat dan penimbunan bahan feses sampai
dapat dikeluarkan (Guyton, 2008). Secara histologi usus terdiri dari
beberapa lapisan yaitu; mukosa, sub mukosa, muskularis mukosa dan
serosa. Mukosa yang sehat dan suplai darah yang baik sangat penting untuk
sekresi dan absorbsi normal usus. Submukosa terdiri dari pembuluh darah,
limpatik dan saraf. Muskularis mukosa dibutuhkan untuk kontraksi normal
dan serosa penting untuk pemulihan yang cepat saat terjadi perlukaan atau
insisi (Fossum, 2013).
Kolon pada anjing dibagi menjadi 3 bagian utama yaitu kolon
ascenden, kolon transversal dan kolon descenden. Kolon ascenden berisi
sisa-sisa metabolisme dari usus halus yang memiliki konsistensi lebih cair,
kolon ascenden berfungsi sebagai tempat absorbsi air yang paling efisien.
Kolon transversal memiliki fungsi sebagai tempat penyimpanan feses
sementara. Pada anjing juga terdapat sigmoid kolon yang juga berfungsi
sebagai tempat penyimpanan feses sementara dengan anatomi pada
Gambar 2.1 (Sutton, 2015).
Gambar 2.1 Small intestine pada anjing A) Jejunum; B)
Ileum, C) Caecum; D) ascending colon; E) Right colic flexure;
F) Transverse colon; G) Descending colon; H) Descending
duodenum; I) Caudal Flexure of the Duodenum; J) Ascending
Duodenum (Washington State University College of
Veterinary Medicine, 2019)

2.4 KESEMBUHAN LUKA


Fase penyembuhan luka pada respon normal mamalia yang mengalami
defek akibat kerusakan integritas kulit terbagi atas beberapa fase, yaitu fase
inflamasi, fase poliferasi, fase maturasi dan remodeling.
1. Fase Inflamasi
Ketika pembuluh darah pecah, proses pembekuan dimulai dari
ransangan kolagen terhadap platelet. Agregasi platelet bersama degan
eritrosit akan menutup kapiler untuk menghambat pendarahan.
Selanjutnya, sel yang mengalami kerusakan akan mengeluarkan sitokin
proinflamasi yang berfungsi sebagai faktor kemotaktik dari sel radang
seperti sel polimorfonuklear, makrofag, dan limfosit yang bergerak
menuju area luka (Eming et al., 2007).
Neutrofil merupakan sel radang pertama yang dijumpai pada daerah
luka, biasanya mulai muncul dalam 24 jam pertama setelah kerusakan,
fungsi utamanya untuk mengeliminasi benda asing, bakteri, sel dan matrik
jaringan yang rusak. Sel Mast merupakan sel yang kaya dengan granula
berisi berbagai macam enzim, histamin dan berbagai jenis mediator kimia
lain yang bertanggung jawab terhadap terjadinya inflamasi pada daerah
sekitar luka. Bahan aktif yang dilepaskannya akan memicu serangkaian
proses yang menyebabkan peningkatan permeabilitas pembuluh darah
sehingga sel monosit bisa dengan mudah bermigrasi kedalam jaringan
yang luka (Eming et al., 2007).
Sel Monosit dalam darah akan menjadi teraktivasi dan menjadi
Makrofag setelah 48 jam, yang berperan besar dalam tahap inflamasi
penyembuhan luka dan gangguan terhadap fungsi Makrofag akan
mengganggu penyembuhan luka. Setelah teraktivasi, sel Makrofag sendiri
juga akan menghasilkan Platelet Derived Growth Factor (PDGF) dan
Transforming Growth Factor-Beta (TGF-β). Sifat fagositik dari Makrofag
bertujuan untuk mengeliminasi sel dan matrik yang rusak, Netrofil yang
penuh dengan patogen, benda asing dan sisa bakteri yang masih tersisa.
Adanya wound macrophage menandakan akhir proses inflamasi dan
segera dimulainya proses proliferasi. Limfosit juga dijumpai pada lokasi
terjadinya luka, namun sel ini dinyatakan tidak terlalu memiliki peran yang
menonjol dalam proses peyembuhan luka dan peran pastinya masih perlu
ditelaah lebih lanjut (Eming et al., 2007).
2. Fase Proliferasi (Fibroblas, Regenerasi)
Proliferasi sel umumnya dirangsang oleh faktor pertumbuhan
intrinsik, luka, kematian sel, atau bahkan oleh deformasi mekanis jaringan.
Sel yang sedang berproliferasi berkembang melalui serangkaian tempat
dan fase yang sudah ditentukan yang disebut siklus sel. Siklus sel tersebut
terdiri atas fase pertumbuhan prasintesis 1 atau G1, fase sintesis DNA atau
S, fase pertumbuhan pramitosis 2 atau G2, dan fase mitosis atau M. sel
istirahat berada dalam keadaan fisiologis yang disebut G0 (Guyton, 2014).
Pemulihan jaringan yang cedera dilakukan dengan pemusnahan dan
pembuangan jaringan yang rusak (melalui proses peradangan yang telah
disebutkan di atas), regenerasi sel atau pembentukan jaringan granulasi.
Meskipun sebagian besar jaringan tersusun terutama dari sel-sel dalam G0
(yang secara berkala memasuki siklus sel) terdapat juga kombinasi sel-sel
yang saling membelah, sel-sel yang mengadakan diferensiasi akhir dan
sel-sel induk. Luka jaringan berat atau menetap yang disertai kerusakan
pada sel parenkim dan kerangka dasar jaringan menimbulkan suatu
keadaan yang pemulihannya tidak dapat dilaksanakan melalui regenerasi
parenkim saja. Pemulihan terjadi melalui penggantian sel parenkim
nonregeneratif oleh jaringan ikat.
Proses ini memiliki tiga komponen umum yaitu, pembentukan
pembuluh darah baru (angiogenesis), migrasi dan proliferasi fibroblas dan
deposisi matriks ekstraselular. Pemulihan dimulai dalam waktu 24 jam
setelah luka melalui migrasi fibroblas dan induksi proliferasi fibroblas dan
sel endotel. Rekrutmen dan stimulasi fibroblas dikendalikan oleh banyak
faktor pertumbuhan, meliputi PDGF, faktor pertumbuhan fibroblas dasar
basal fibroblast growth factor (bFGF) dan TGF-β. Sumber dari berbagai
faktor ini antara lain: endotel yang teraktivasi dan sel radang terutama sel
makrofag (Guyton, 2014).
Setelah 3-5 hari, muncul jenis jaringan khusus yang mencirikan
terjadinya penyembuhan yang disebut jaringan granulasi. Gambaran
makroskopisnya adalah berwarna merah muda, lembut dan bergranulasi,
seperti yang terlihat di bawah keropeng pada luka kulit. Gambaran
histologisnya ditandai dengan proliferasi fibroblas dan kapiler baru yang
halus dan berdinding tipis di dalam matriks ekstraselular yang longgar
(Guyton, 2014).
Awal penyembuhan, fibroblas mempunyai kemampuan kontraktil
dan disebut miofibroblas, yang mengakibatkan tepi luka akan tertarik dan
kemudian mendekat, sehingga kedua tepi luka akan melekat.
Berlangsungnya penyembuhan membuat fibroblas bertambah. Sel ini
menghasilkan kolagen, sehingga jaringan granulasi yang kemudian akan
mengumpulkan matriks jaringan ikat secara progresif, akhirnya akan
menghasilkan fibrosis padat (pembentukan jaringan parut kolagen), yang
dapat melakukan remodelling lebih lanjut sesuai perjalanan waktu
(Guyton, 2014).
3. Fase Maturasi dan Remodelling
Pada fase ini terjadi proses pematangan yang terdiri dari penyerapan
kembali jaringan yang berlebih, pengerutan sesuai dengan gaya gravitasi,
dan akhirnya membuat kembali jaringan yang baru terbentuk. Fase ini
berlangsung selama berbulan-bulan dan dinyatakan berakhir apabila
semua tanda radang sudah lenyap. Tubuh berusaha menormalkan kembali
semua yang menjadi abnormal karena proses penyembuhan edema dan sel
radang diserap, sel yang sedang berproliferasi menjadi matang, kapiler
baru menutup dan diserap kembali, kolagen yang berlebih diserap dan
sisanya mengerut sesuai dengan regangan yang ada. Selama proses ini
dihasilkan jaringan parut yang pucat, tipis dan lemas serta mudah
digerakkan dari dasar. Pengerutan maksimal terlihat pada luka. Pada akhir
fase ini, permukaan luka kulit mampu menahan regangan kira-kira 80%
kemampuan kulit normal. Hal ini tercapai kira-kira 3-6 bulan setelah
penyembuhan (Sjamsuhidayat, 2005).
Penyembuhan luka sangat penting untuk mengembalikan
integritasnya sesegera mungkin dan merupakan suatu proses kompleks dan
dinamis dengan pola yang dapat diprediksikan. Fase proliferasi merupakan
salah satu tahap penting pada penyembuhan luka dan terjadi setelah fase
inflamasi. Fase proliferasi atau fase fibroplasia akan cepat terjadi, apabila
tidak ada infeksi dan kontaminasi pada fase inflamasi (Suriadi, 2007).
Penyembuhan luka sangat diperlukan untuk mendapatkan kembali
jaringan tubuh yang utuh. Beberapa faktor yang berperan dalam
mempercepat penyembuhan, yaitu faktor internal (dari dalam tubuh) dan
faktor eksternal (dari luar tubuh). Faktor eksternal yang dapat mempercepat
penyembuhan luka yaitu dengan cara irigasi luka menggunakan larutan
fisiologis (NaCl 0,9%) serta penggunaan obat-obatan sintetik dan alami
(Suriadi, 2007).
2.5 ANESTESI, ANALGESI, PREMEDIKASI, DAN ANTIBIOTIK
Obat anastesi yang sering digunakan pada hewan antara lain
Ketamin dan Xylasin. Ketamin merupakan larutan yang tidak berwarna,
stabil pada suhu kamar dan relative aman dengan kerja singkat. Sifat
analgesiknya sangat kuat untuk sistim somatik tetapi lemah lemah untuk
sistim visceral, tidak menyebabkan relaksasi otot lurik bahkan kadang-
kadang tonusnya sedikit meninggi. Secara kimiawi, ketamin analog dengan
phencyclidine. Ketamin HCl bekerja dengan memutus syaraf asosiasi serta
korteks otak dan thalamus optikus dihentikan sementara, sedangkan sistem
limbik sedikit dipengaruhi. Ketamin HCl merupakan analgesia yang tidak
menyebabkan depresi dan hipnotika pada syaraf pusat tetapi berperan
sebagai kataleptika. Setelah pemberian ketamin, refleks mulut dan menelan
tetap ada dan mata masih terbuka. Ketamin dapat dipakai oleh hampir
semua spesies hewan. Ketamin bersama xylazine dapat dipakai untuk
anastesi pada kucing. Ketamin dengan pemberian tunggal bukan anastetik
yang bagus. Dosis pada kucing 10-30 mg/kg secara intra muskuler, mula
kerja obat 1-5 menit, lama kerja obat 30-40 jam dan recoverinya 100-150
menit. Menurut Plumb (2008) Obat analgesik yang sering di gunakan pada
hewan antara lain Ketoprofen 7 merupakan obat antiinflamasi non steroid
(AINS) turunan asam fenilalkanoat yang bekerja sebagai antiinflamasi,
antipiretik, analgetik, dan digunakan secara luas sebagai antireumatik
(rheumatoid arthritis). Aktivitas antiinflamasi ketoprofen dihasilkan melalui
inhibisi non selektif pada siklooksigenase dan lipoksigenase. Obat
premedikasi yang sering digunakan pada hewan antara lain Atropin Sulfat
merupakan obat premedikasi golongan antikolinergik. Keuntungan
antikolinergik sebagai premedikasi adalah mengurangi sekresi kelenjar
saliva terutama bila dipakai obat anastetik yang menimbulkan hipersekresi
kelenjar saliva, menurunkan keasaman cairan gastrium, menghambat
bradikardia oleh stimulasi vagal, menurunkan motilitas intestinal, dan
menyebabkan bronchodilatasi, dosis pada kucing adalah 0,025 mg/kgBB
secara subkutan (Sardjana dan Kusumawati, 2004) Obat antibiotik yang
sering digunakan pada hewan antara lain Amoxicillin adalah antibiotik gram
positif, seperti penisilin. Amoxicillin membunuh bakteri staphylococcus
dan streptococcus dengan menghambat sintesis dinding sel. Ini diresepkan
untuk berbagai macam penyakit, termasuk infeksi saluran pernafasan dan
saluran kencing. Ini juga digunakan untuk segala macam penyakit kulit,
seperti pioderma dan dermatitis lembap akut, dan infeksi telinga bakteri.
Obat oral, amoxicillin sangat efektif untuk kucing karena telah terbukti lebih
mudah diserap daripada antibiotik lain dan biasanya dapat ditoleransi
dengan baik. Dosis yang diberikan adalah 0,1 ml/kgBB (Pinnock, 2009).
2.6 STADIUM ANESTESI
Anastesi umum adalah suatu kedaan tidak sadar akibat intoksikasi
sistem syaraf pusat yang bersifat reversibel dan terkontrol, sedangkan
sentivitas terhadap stimulasi yang berasal dari luar menurun dan respon
motor terhadap stimulasi akan berkurang. Secara umum anestesi umum
terbagi menjadi 4 stadium, sedangkan pada stadium III dibagi lagi menjadi
4 plane.
1. Stadium I (Analgesisia)
Stadium analgesia dimulai dari hilangnya kesadaran. Pada
stadium ini hewan berusaha melepaskan diri dari pengaruh anestesi
dan juga ditandai dengan adanya defekasi, urinasi, pulsus
meningkat, dilatasi pupil, peningkatan sekresi saliva dan sekresi
bronchial. Pada akhir stadium ini hewan menjadi lebih tenang dan
mulai menampakkan efek analgesia.
2. Stadium II (Dellirium atau eksitasi)
Stadium ini dimulai dari hilangnya kesadaran sampai
permulaan stadium pembedahan. Pada stadium ini terlihat gerakan
yang tidak menurut kehendak dan terlihat jelas adanya eksitasi.
Pernafasan tidak teratur, tonus otot meningkat, inkonentia urine,
muntah, medriasis, hipertensi, takikardia. Pada stadium ini bisa
terjadi kematian dan untuk mencegahnya stadium ini harus cepat
dilewati.
3. Stadium III (Pembedahan)
Stadium pembedahan dimulai dengan teraturnya pernafasan,
tanda yang harus dikenali yaitu :
a. Pernafasan tidak teratur pada stadium II telah menghilang.
b. Reflek kelopak mata dan konjungtiva menghilang, bila dilepas
tidak akan menutup dan kelopak mata tidak berkedip jika bulu
mata disentuh.
c. Kepala dapat digerakkan bebas ke kanan atau ke kiri.
d. Gerakan bulu mata yang tidak menurut kehendak merupakan
tanda spesifik untuk permulaan stadium III.
Stadium III dapat dibagi menjadi 4 plane berdasarkan tanda-
tanda sebagai berikut :
Plane I. Pernafasan teratur, spontan, terjadi gerakan bola mata yang
tidak menurut kehendak, pernafasan dada perut seimbang
dan belum tercapai relaksasi otot lurik yang belum
sempurna.
Plane II. Pernafasan teratur tetapi kurang dalam bila dibandingkan
tingkat I, bola mata tidak bergerak, pupil mulai melebar,
relaksasi otot rangka sedang dan refek laring hilang.
Plane III. Pernafasan perut lebih nyata dibandingkan pernafasan
dada, relaksasi otot lurik sempurna, pupil lebih besar dari
tingkat II tapi belum maksimal.
Plane IV. Pernafasan perut sempurna, tekanan darah mulai menurun,
pupil mata sangat lebar dan reflek terhadap cahaya hilang.
4. Stadium IV (Paralisa)
Stadium paralisa dimulai dengan melemahnya pernafasan
perut dibandingkan dengan plane IV, tekanan darah tidak dapat
diukur, jantung berhenti berdenyut dan akhirnya mati.(Brander et
al., 1991).
2.7 TERAPI CAIRAN
Terapi cairan merupakan tindakan pengobatan esensial untuk pasien
dalam kondisi kritis atau memerlukan perawatan intensif. Terapi cairan
harus menjadi pilihan dan mendapat perhatian yang serius terutama pada
pasien anjing dan kucing yang telah lama tidak mau makan dan minum (Mar
Vista Medical Center, 2006). Hewan masih dapat hidup dalam beberapa
minggu tanpa makan, tetapi akan mati hanya dalam beberapa hari atau
beberapa jam jika tidak ada air. Air berfungsi sebagai pelarut zat-zat
makanan dalam tubuh. Air dan elektrolit tidak dapat dipisahkan dari
komponen diet, karena keseimbangan air sangat diperlukan dalam
metabolisme dan melarutkan hasil metabolisme untuk dapat dimanfaatkan
oleh sel tubuh. Tujuan utama dari terapi cairan untuk mengatasi dehidrasi,
memulihkan volume sirkulasi darah pada keadaan hipovolemia atau shock,
mengembalikan dan mempertahankan elektrolit (Na+ dan K+), dan asam
basa dalam tubuh ke arah batas normal.
Jenis cairan yang digunakan dalam terapi cairan dikelompokkan
menjadi larutan kristaloid dan koloid. Larutan kristaloid adalah larutan yang
dapat menembus membran sel dengan mudah. Larutan ini mengandung
elektrolit dalam berbagai macam komposisi. Kandungan utamanya adalah
natrium. Apabila dimasukkan ke dalam tubuh, lebih dari 75% larutan
kristaloid akan meninggalkan ruang intravaskular dalam waktu 30 menit
setelah pemberian (Willyanto, 2010). Larutan koloid adalah larutan yang
memiliki osmolalitas lebih tinggi dari cairan ekstraseluler. Larutan koloid
tidak dapat menembus dinding pembuluh darah dan menjaga tekanan
osmotik cairan darah. Pemberian cairan koloid bersamaan dengan cairan
kristaloid pada waktu resustensi atau maintenance akan memulihkan dan
mempertahankan tekanan intravaskular.
• Larutan Kristaloid
Secara umum larutan polionik dan isotonic seperti larutan laktat
ringer adalah larutan serbaguna karena komposisinya mirip dengan larutan
ekstraselular. Laktat ringer adalah larutan alkalin karena mengandung laktat
sebagai precursor bicarbonate. Larutan ringer mengandung sejumlah chlor
sebagai pengganti laktat yang berfungsi sebagai larutan penetral asam.
Laktat ringer dan larutan ringer mengandung kalium (kalium) dalam jumlah
kecil. Penambahan kalium chlorida (KCl) pada larutan diperlukan untuk
pasien dengan kondisi kehilangan kalium yang banyak (hipokalemia).
Larutan hipotonik adalah larutan yang memiliki osmolalitas lebih
rendah dari serum darah (cairan ekstraseluler) contoh larutan hipotonik
adalah 0,45% NaCl atau 2,5% dektrose/NaCl. Larutan ini tidak digunakan
dalam keadaaan shock, tetapi dapat digunakan sebagai cairan maintenance
pada pasien yang memiliki risiko retensi cairan atau gagal jantung.
Larutan isotonik adalah larutan yang memiliki osmolalitas sama
dengan serum darah. Sangat berguna untuk maintenance dan terapi shock.
Contoh larutan isotonik: Lactated ringer’s solution, Normosol, dan NaCl
0,9%. Natrium chloride (0.9%) atau saline sering disebut larutan fisiologis,
tidak mengandung kalsium. kalium, dan magnesium. Konsentrasi natrium
(Na) mirip dengan cairan ekstraselular tetapi konsentrasi chloridanya lebih
tinggi. Peningkatan jumlah chloride dapat menyebabkan keasaman cairan
ekstraselular meningkat (hiperchloremik metabolic acidosis). Larutan ini
harus dihindari pada pasien yang menderita gagal jantung, hipertensi, dan
asidosis metabolik (Hall, 1983).
Larutan lactate ringers solution (LRS) mengandung kalsium, kalium
dan laktat. Kandungan laktatnya akan diubah menjadi karbonat oleh hati.
Larutan ini harus dihindari pada pasien penderita penyakit hati, kanker,
hiperkalsemia, dan hiperkalemia. Normosol menyerupai LRS tetapi
mengandung magnesium dan mengandung asetat dan glukonat, asetat dan
glukonat dimetabolisme di otot (Wilyanto, 2010).
Larutan hipertonik adalah larutan yang memiliki osmolalitas lebih
tinggi dari serum. Contohnya adalah 7,5% NaCl. Cairan ini baik diberikan
pada penderita shock untuk meningkatkan tekanan intravaskular. Biasanya
diberikan dalam bentuk bolus kecil (3-5ml/kg). Cairan ini bekerja dengan
cara menarik cairan dari rongga interstitial dan intraseluler.
Larutan glukosa 5% juga bersifat isotonis. Awalnya digunakan
menyuplai air untuk mengurangi dehidrasi karena kehilangan air murni
(pure water) (hipernatremia) seperti pada kasus kelelahan karena
hipertermia. Air murni tidak dapat diberikan secara parenteral karena
bersifat hipotonik dan menyebabkan eritrosit bengkak dan hemolisis.
Karena glukosa 5% tidak mengandung elektrolit maka tidak baik diberikan
pada pasien yang kehilangan elektrolit. Larutan glukosa 10%, 20% dan 50%
dapat diberikan secara intra vena secara perlahan-lahan sampai terlarut
dengan baik. Awalnya diberikan untuk mensuplai kalori dan penderita
diuresis osmotic pada penderita insufisiensi renal. Larutan glukosa hanya
dapat diberikan secara intravena (Hall, 1983).
• Larutan Koloid
Ada tiga macam larutan koloid sintetik yang biasa
digunakan, yaitu :
1. Hetastarch, larutan ini memiliki berat molekul yang lebih tinggi
daripada cairan ekstraseluler, karena itu akan tetap berada di
dalam pembuluh darah selama 12 – 48 jam.
2. Dektran, memiliki berat molekul yang lebih rendah dari
hetastarch, tetapi ukuran molekul lebih bervariasi dan memiliki
daya osmotik lebih kuat. Berada dalam pembuluh darah selama
4 – 8 jam.
3. Oxyglobin adalah larutan hemoglobin sapi yang telah
mengalami pemurnian dicampur dalam LRS yang sudah
dimodifikasi. Larutan oxyglobin dapat berfungsi sebagai sistem
transportasi oksigen dalam tubuh. Sangat baik diberikan pada
penderita anemia hemolitik dan trauma. Kapasitas pengankutan
oksigen dapat dipertahankan sampai 40 jam (Willyanto 2010).
Pemilihan larutan yang diberikan pada pasien yang kehilangan
cairan, harus diketahui kehilangan elektrolit tubuh dan patofisiologi
penyakit yang diderita oleh anjing.
Jika pemberian cairan dilakukan secara berlebihan, maka risiko yang
paling sering terjadi adalah overhidrasi. Gejala kelebihan cairan akan
ditunjukan dengan edema pulmonum sebagai gejala akhir, gejala yang
mengawali adalah: gelisah, menggigil, takikardia, keluar leleran serous dari
hidung, takipnea, rales basah, batuk, mata mendelik, muntah, dan diare
(Hall, 1983).
Kesalahan umum yang sering dilakukan pada terapi cairan
diantaranya tidak menimbang berat badan pasien, memberikan cairan yang
mengandung kadar natriun yang tinggi pada pasien yang berisiko edema,
memberikan furosemid pada penderita yang sedang mendapatkan terapi
cairan, tidak memperhitungkan kebutuhan kalium pasien atau pasien tidak
cukup mendapat kalium dari infus yang digunakan, memberikan cairan
yang berlebihan pada penderita gagal ginjal, memberikan cairan terlalu
lambat pada penderita shock (Willyanto, 2010).
Untuk menghindari hal-hal yang tidak diinginkan, yang dapat
mengancam jiwa pasien, maka perlu dilakukan monitoring terhadap kondisi
pasien secara regular setiap 4 jam dan dicatat kondisi selama 24 jam
termasuk jumlah urin yang dikeluarkan. Parameter yang harus dicatat dan
frekuensi monitoring tergantung atas kasus pasien, sebaiknya semua hal
tentang perkembangan pasien dicatat sehingga dapat data yang lengkap dari
pasien. Untuk monitoring terapi cairan hal-hal yang perlu dicatat adalah
PCV, total protein plasma, berat badan, BUN, elektrolit serum terutama
Natrium dan Kalium.

2.8 TEKNIK OPERASI


Setelah pasien teranastesi, pasien diletakkan di atas meja operasi pada posisi
dorsal recumbency dan keempat kaki diikat pada sisi kiri dan kanan meja operasi,
kemudian daerah yang akan diincisi didesinfeksi dengan alkohol 70% dan Iodium
tincture 3%, pasang duck steril pada daerah abdomen. Untuk entromi, langkahnya
sebagai berikut (Fossum, 2013) :
1) Insisi kulit melalui linea median, dari umbilicus ke caudal sepanjang kurang
lebih 5-6 cm, kulit dan jaringan subcutan diincisi dengan menggunakan scalpel,
preparasi tumpul dilakukan untuk mendapatkan linea alba, kemudian bagian kiri
dan kanan linea alba dijepit dengan allis forceps, kemudian dengan ujung
gunting atau scalpel dibuat irisan kecil pada linea alba.
2) Irisan diperpanjang dengan menggunakan gunting lurus (sebagai pemandu,
jari telunjuk dan jari tengah tangan kiri di letakkan di bawah linea alba agar organ
dalam tidak tergunting).
3) Kemudian intestinum dikeluarkan, bagian kiri dan kanan dari intestinum
yang akan disayat diikat dengan kain kasa kemudian kain kasa tersebut diklem.
4) Dibuat sayatan pada permukaan intestinum dan benda asing dikeluarkan,
usahakan agar kolon tetap dalam keadaan basah dengan cara membilas dengan
penstrep 1%.
5) Kemudian mucosa dijahit dengan pola simple continous dan serosa dijahit
dengan pola lambert dengan menggunakan cat gut 2.0.
6) Untuk memastikan ada tidaknya kebocoran dilakukan uji kebocoran usus.
Setelah dipastikan tidak bocor, intestinum dimasukkan kembali ke rongga
abdomen, kemudian peritoneum dijahit dengan menggunakan benang nilon
simple interrupted, musculus dan fascia dijahit dengan benang cat gut pola
simple continous dan kulit dijahit dengan nilon pola simple interrupted.

2.9 TINDAKAN GAWAT DARURAT


Hal-hal yang dapat terjadi saat bedah kolostomi meliputi:
• Hypoxemia
Jika masih ada pulsus saat auskultasi heart rate dapat diberikan
manual breath dan mendengarkan pergerakan udara di trachea dan
paru-paru menggunakan stetoskop untuk mengetahui adanya
obstruksi, adanya mucus, crackles, kongesti, wheesez,
bronkokonstriksi. Jika sistem respirasi masih normal dipastikan
oksigen masih didapatkan pasien. Sedangkan pulsus dan heart rate
tidak terdeteksi perlu dilakukan CPR.
• Perdarahan
Jika terjadi perdarahan dicari terlebih dahulu sumber perdarahannya
dan diberikan kassa berepineprine.
• Jahitan lepas
Jika masih di kulit dapat dilakukan jahitan ulang tetapi jika di dalam
dapat menyebabkan hernia sehingga perlu dilakukan pemeriksaan
penunjang berupa x-ray ataupun USG.
BAB III
MATERI DAN METODE

3.1 METODE KEGIATAN


Metode yang digunakan adalah melaksanakan bedah kelompok
kolostomi pada anjing dan diskusi dengan dokter hewan pembimbing
koasistensi.

3.2 ALAT DAN BAHAN


Alat yang digunakan scalpel handle dan blade, sharp-sharp, sharp-
blunt, needle holder, needle round , needle taped, benang vicryl®, benang
vicryl, pinset anatomis dan chirurgis, allis tissue forceps, arteri clamp,
drape, tampon, spuit, stetoskop, termometer digital, infus set, pakaian
khusus bedah, nierbeken, masker dan glove.
Bahan yang digunakan meliputi pga 2.0, silk, tampon steril, kasa
steril, kapas, gloves, masker, spuit 1 cc, spuit 3 cc , underpad, IV catheher
24 G, alcohol 70%, iodine 1 % , infus RL 1, hipafix , atropin sulfate,
ketamine, dan xylazine, Amoxicilin, Ketoprofen, NS flushing,
bioplacenton®.

3.3 PERSIAPAN OPERASI


3.3.1 Persiapan Hewan
Sebelum operasi dilakukan, terlebih dahulu dilakukan pemeriksaan
fisik secara umum meliputi tekanan darah, frekuensi pulsus, frekuensi nafas,
suhu tubuh, keadaan umum dari anjing tersebut, dilakukan pemeriksaan
hematologi, dipastikan hewan bebas parasit (pemberian obat cacing dan
obat kutu). Jika anjing dinyatakan memenuhi syarat, maka operasi dapat
dilaksanakan.
Anjing harus dipuasakan makan selama 12 jam dan puasa minum
selama 6 jam terlebih dahulu sebelum operasi yang bertujuan untuk
mengosongkan usus sehingga anjing tidak muntah saat teranastesi. Daerah
sekitar abdomen, terutama daerah sekitar linea mediana, dibersihkan
rambutnya, yaitu dengan cara daerah tersebut dibasahi dengan air sabun
terlebih dahulu kemudian dicukur rambutnya menggunakan clipper /
pencukur yang tajam searah, kemudian daerah tersebut dibersihkan dengan
air lalu di olesi dengan alkohol 70 % ditunggu kira-kira 2 menit baru diolesi
dengan povidone iodine secara sirkuler.
3.3.2 Sterilisasi Peralatan Operasi
Ruang operasi dibersihkan menggunakan desinfektan. Sedangkan
meja operasi didesinfeksi dengan menggunakan alkohol 70%. Penerangan
ruang operasi sangat penting untuk menunjang operasi, oleh karena itu
sebelum diadakanya operasi persiapan lampu operasi harus mendapatkan
penerangan yang cukup agar daerah/situs operasi dapat terlihat jelas.
Perlengkapan bedah seperti Hand gloves, Hair cap, dan Masker
disterilisasi dengan cara dibungkus koran kemudian dimasukkan ke dalam
oven dengan suhu 1210C selama 15 menit. Sterilisasi pada alat bedah
minor dilakukan dengan cara mencuci bersih seluruh alat-alatnya
kemudian dikeringkan. Selanjutnya semua peralatan dibungkus koran dan
disterilkan menggunakan oven dengan suhu 1210C selama 15 menit.
Setelah itu, gunting dan jarum disterilisasi kembali dengan menggunakan
alkohol 70% sebelum digunakan.
3.3.3 Persiapan hewan
Sebelum operasi dijalankan, terlebih dahulu dilakukan pemeriksaan
kondisi tubuh hewan secara umum. Hal ini dilakukan untuk mengetahui
apakah hewan memenuhi persyaraant untuk dilakukan operasi atau tidak.
Bila hewan dinyatakan memenuhi syarat, maka operasi dapat
dilaksanakan. Hewan harus dipuasakan makan selama 6-8 jam dan puasa
minum selama 4-8 jam sebelum operasi dilakukan dengan tujuan
mengosongkan isi lambung agar tidak terjadi emesis pada hewan pasca
pemberian anestesi. Sehari sebelum operasi hewan dimandikan atau
diseka dengan air bersih (bila tidak memungkinkan untuk mandi) bila
rambutnya kotor dan dikeringkan dengan handuk kering atau alat
pengering. Sebelum melaksanakan operasi dilakukan pencukuran rambut
di area yang akan diinsisi yaitu daerah abdomen. Setelah area insisi bersih
dari rambut berikan antiseptik berupa iodine 10%. Dilakukan infus
menggunakan larutan ringer laktat, karena untuk meminimalisir adanya
kekurangan ion dalam tubuh.
3.3.4 Persiapan operator
Sebelum operasi dilaksanakan operator dan asisten operator
mempersiapkan diri dengan mencuci tangan menggunakan sabun
antiseptic (Chlorhexidine 4%) mulai dari ujung tangan sampai batas siku,
kemudian dibilas dengan air bersih yang mengalir, dan dikeringkan
dengan handuk steril. Selama operasi, operator dan asisten operator harus
menggunakan masker, penutup kepala, dan surgery glove yang steril untuk
menghindari kontaminasi.
3.3.4 Persiapan Meja Operasi
Meja operasi disterilisasi dengan cara dilap dengan lap basah
kemudian dikeringkan. Meja operasi disterilkan dengan menggunakan air
sabun dan dilap sampai bersih dan kering. Alat operasi dalam keadaan
steril diletakkan dimeja khusus dan disusun secara urut didekat meja
operasi.
3.3.4 Persiapan Operator dan Co-operator
Operator dan co-operator harus dalam keadaan aseptis dan steril
selama operasi. Tangan dicuci bersih dari ujung jari sampai siku dengan
sabun dan disikat kemudian dibilas sampai bersih dengan air mengalir
sampai bersih dan keran ditutup menggunakan siku untuk mencegah
kontaminasi lalu tangan dikeringkan. Selama operasi operator dan co-
operator menggunakan masker, glove , hair cap, dan pakaian khusus
operasi yang sudah disterilkan untuk meminimalkan kontaminasi. Apabila
pakaian operasi sudah dipakai operator harus berhati-hati sehingga tidak
bersentuhan dengan obyek atau barang lain.
3.4 PROSEDUR OPERASI
Pasanglah duk dan jepit dengan towel clamp agar duk tidak terlepas
saat operasi dilakukan. Penjepitan duk dengan towel clamp dilakukan
dengan menjepit duk dan kulit kucing.Selanjutnya lakukan incisi dengan
menggunakan scalpel blade pada daerah sekitar 2 jari dibawah umbilicus
dengan panjang incisi sekitar 2 cm. Incisi dilakukan pada daerah midline
dibawah umbilicus. Pertama, incisi bagian kulit lalu subkutan dan linea alba.
Dalam mengincisi linea alba juga dapat dilakukan preparasi tumpul
menggunakan guting tumpul tumpul. Selanjutnya jepit lah bagian kulit yang
terbuka di sisi kiri dan kanan menggukan allis tisuue forceps agar lapang
pandang operator menjadi lebih luas dan lebih mudah dalam
mengeksplorasi abdomen.
Isolasi kolon dari abdomen dengan handuk atau laparotomi sponge
untuk meminimalisir tumpahan isi dari kolon. Membuat sayatan menusuk
ke lumen dengan blade No.11. Hilangkan jaringan 2 – 3 mm berbentuk elips
dengan gunting Metzenbaum, atau buat sayatan kedua sejajar disekitar
dengan yang pertama dengan pisau bedah. Tutup sayatan dengan jahitan
simple interrupted.
3.4 PERAWATAN PASCA OPERASI
Perawatan pasca operasi meliputi pemberian vitamin B.Comp untuk
supportif. Pemberian antibiotik berupa penstrep dengan dosis 10-20 mg/kg
BB dan luka bekas operasi sebelumnya dibersihkan dengan antiseptik,
setelah itu diolesi dengan salep bonti dua kali sehari sampai luka
mengering. Selain itu juga dilakukan monitoring terhadap heart rate,
respiration rate, temperature tubuh, selaput lender, turgor, CRT, makan,
minum, defekasi, serta urinasi. Dalam pemberian makanan juga harus
diperhatikan, yaitu dengan permberian makanan halus dan mudah
dicerna. Pengambilan jahitan dilakukan 1 minggu pasca operasi (Fossum,
2002).
BAB IV
HASIL

4.1 Proses Operasi


Tabel 4.1 Tahapan operasi kolotomi pada anjing
No. Gambar Keterangan
1. Melakukan insisi di ventral
abdomen. Insisi dilakukan di
post umbilikal sampai tendon
pubis dengan panjang isisi ±5
cm.

2. Melakukan insisi pada kulit,


subkutan, muskulus rectus
abdominis dan peritoneum.

3. Melakukan eksplorasi
laparotomi caudal untuk
menemukan kolon.
4. Menempelkan kasa yang telah
dibasahi NaCl fisiologis secara
berkala di sekitar kolon yang
akan diinsisi.

5. Melakukan insisi pada kolon


secara longitudinal di area yang
yang vaskularisasinya sedikit
untuk mencegah terjadinya
perdarahan dalam jumlah
banyak.

6. Insisi pada kolon dengan


panjang isisi ±5 cm.

7. Menjahit luka insisi pada kolon


dengan 2 lapis jahitan. Jahitan
pertama pada lapisan mukosa
dijahit menggunakan benang
absorbable PGA 2/0 dengan tipe
jahitan simple continuous.
8. Jahitan kedua pada lapisan
submukosa, muskularis dan
serosa dijahit menggunakan
benang absorbable PGA 2/0
dengan tipe jahitan simple
interrupted.

9. Melakukan tes kebocoran pada


jahitan yang dilakukan dengan
menginjekkan larutan NaCl
fisiologis ke dalam lumen kolon
yang difiksasi.

10. Melakukan reposisi kolon ke


dalam rongga abdomen.

11. Menjahit muskulus rectus


abdominis menggunakan benang
absorbable chromic catgut 3/0
dengan tipe jahitan simple
interrupted.
12. Menjahit subkutan
menggunakan benang
absorbable chromic catgut 3/0
dengan tipe jahitan simple
continuous.

13. Menjahit kulit menggunakan


benang non-absorbable silk 3/0
dengan tipe jahitan simple
interrupted.

14. Mengolesi luka insisi dengan


salep gentamisin.

4.2 Perhitungan Dosis Obat


• Ampicilin dosis 10 mg/kgBB yang diberikan IV.
7, 8 �𝑔 𝑋 10 �𝑔 / �𝑔𝐵𝐵
Volume Amoxicilin = 200 ��� /��
= 0,39 ��

• Atropine Sulfate dosis 0,025mg/kgBB yang diberikan IM.


7, 8 �𝑔 𝑋 0, 025 �𝑔 / �𝑔𝐵𝐵
Volume Atropine Sulfate = 0,25 � � �/��
= 0, 78 mL

• Acepromazine Maleat dengan dosis 0,05mg/kgBB yang diberikan IM



𝑔
7,8 �𝑔 𝑋 0.05 �
= 0,026 ��
𝑔𝐵𝐵
Volume ACP= �
𝑔
15 �

• Ketamine HCl dosis 10 mg/kgBB yang diberikan IM.


7, 8 �𝑔 𝑋 10 �
𝑔 / �𝑔𝐵𝐵
Volume Ketamine HCl = 100 ���/��
= 0,78 �𝐿

• Xylazine dosis 2mg/kgBB yang diberikan IM.


7, 8 �𝑔 𝑋 2 �𝑔 / �𝑔𝐵𝐵
Volume Xylazine = 20 �� �/��
= 0,78 �𝐿

• Ketoprofen dosis 5 mg/kgBB yang diberikan IM.


7, 8 �𝑔 𝑋 5�𝑔 / �𝑔𝐵𝐵
Volume Ketoprofen = 50 ���/� �
= 0,87 �𝐿

• Ketoprofen dosis 5 mg/kgBB yang diberikan PO.


5�𝑔
7,8 ������
= 0,78���

𝑔𝐵𝐵
Volume Ketoprofen = �
𝑔
50����

Tabel 4.2 Waktu dan pemberian obat selama operasi


Obat Dosis Volume Waktu Rute
(mg/kg BB) (ml) pemberian pemberian
Atropin sulfat 1 dosis (0,025 mg) 0.78 ml 09.30 IV
Acepromazine 1 dosis (0,05 mg) 0,026 ml 09.50 IM
Ketamin+ ½ dosis 0,39 ml 10.05 IM
Xylazin
Ampicilin 1 dosis (10 mg) 0,39 ml 09.30 IM
Ketamin+ ½ dosis 0,39 ml 10.36 IM
Xylazin
Ketamin+ ½ dosis 0,39 ml 11.04 IV
Xylazin
Ketamin+ ½ dosis 0,39 ml 11.15 IV
Xylazin
Epinefrin 0,5 ml Topikal
Ketoprofen 1 dosis (5 mg) 0,78 ml 13.45 IM
4.3 Monitoring Hewan
Tabel 4.3 Monitoring hewan selama operasi
Parameter Pre 0’ 5’ 10’ 15’ 20’ 25’
RR 40 36 20 28 28 24 20
HR 120 132 128 140 140 120 120
T 38,7 0C 38,4 0C 38,2 0C 38 0C 38 0C 37,80C 37,6 0C
Conj. Mata N N N N N N N
Mukosa gigi pink Pink Pink pink Pink Pink pink
CRT <2 S <2 S <2 S <2 S 2S 2S 2S
Turgor <2 S <2 S <2 S <2 S 2S 2S 2S
Vomit - - - - - - -
Urinasi - - - - - - -
Defekasi ++ - - - - - -

Parameter 30’ 35’ 40’ 45’ 50’ 55’ 60’


RR 20 32 26 20 20 20 24
HR 96 88 88 80 80 80 108
T 37,4 0C 37,4 0C 37,4 0C 37,3 0C 37,2 0C 37,20C 36,9 0C
Conj. Mata N N N N N N N
Mukosa gigi pink pink Pink pink pink pink pink
CRT 2S 2S 2S 2S 2S >2 S >2 S
Turgor 2S 2S 2S 2S 2S >2 S >2 S
Vomit - - - - - - -
Urinasi - - - - - - -
Defekasi - - - - - - -
Parameter 65’ 70’ 75’ 80’ 85’ 90’
RR 28 20 28 26 24 20
HR 120 92 88 88 84 84
T 36,8 0C 36,7 0C 36,4 0C 36,4 0C 36 0C 35,80C
Conj. Mata N N N N N N
Mukosa gigi pink pink pink pink pink pink
CRT >2 S >2 S >2 S >2 S >2 S >2 S
Turgor >2 S >2 S >2 S >2 S >2 S >2 S
Vomit - - - - - -
Urinasi - - - - - -
Defekasi - - - - - -

Menit ke 90 operasi selesai (11.30), dilanjutkan pemulihan hewan setiap 10


menit
Parameter 100’ 120’ 130’ 140’ 150’ 160’ 170’
RR 20 20 24 28 28 32 32
HR 100 108 116 120 100 112 104
T 34,50C 34,90C 35,70C 36,60C 36,70C 36,90C 37 0C
Conj. Mata N N N N N N N
Mukosa gigi pink pink Pink pink pink pink pink
CRT <2 S <2 S <2 S <2 S <2 S <2 S <2 S
Turgor <2 S <2 S <2 S <2 S <2 S <2 S <2 S
Vomit - - - - - - -
Urinasi - - - - - - -
Defekasi - - - - - - -
Parameter 180’ 190’ 200’ 210’
RR 32 32 32 36
HR 104 108 116 120
T 370C 37,20C 37,50C 37,90C
Conj. Mata N N N N
Mukosa gigi pink pink Pink pink
CRT <2 S <2 S <2 S <2 S
Turgor <2 S <2 S <2 S <2 S
Vomit - - - -
Urinasi - - - -
Defekasi - - - -

Menit ke 210 mulai pemulihan hewan sadar (13.30) hingga suhu 370 C dan
dinjeksikan ketoprofen pada (13.45)

Urinasi 16.15

Tabel 4.4 Monitoring hewan harian


Tanggal Pemeriksaan Terapi
17/12/2019 Pagi T/
Suhu : 39°C Mukosa : rose Amoxicillin (im) 0,39 ml
HR :160x/ menit Appetice : + s.1.d.d
Nafas : 60x / menit Minum :+ Ketoprofen (sc) 0,78 ml s.1.d.d
CRT : < 2 detik Defekasi :- Pakan Bolt dog food (blender) +
Turgor : < 2 detik Urinasi :+ hati ayam
Vomit :- Ganti bandage
Sore Penanganan luka :
Suhu : 37,5°C - Dibersihkan dengan kasa+NS
HR :160x/ menit Mukosa : rose - Dioleskan kasa+Iodine
Nafas :40x / menit Appetice : +++ - Dioleskan salep gentamycin
CRT : < 2 detik Minum : ++ - Dipasang kasa+bandage
Turgor : < 2 detik Defekasi :- hipafix®
Urinasi : +++
Vomit :-
18/12/2019 Pagi T/
Suhu : 38,2°C Mukosa : rose Amoxicillin (im) 0,39 ml
HR :156x/ menit Appetice : +++ s.1.d.d
Nafas : 52x / menit Minum : +++ Ketoprofen (sc) 0,78 ml s.1.d.d
CRT : < 2 detik Defekasi :- Pakan Bolt dog food (blender) +
Turgor : < 2 detik Urinasi : +++ hati ayam
Vomit :- Ganti bandage
Sore Penanganan luka :
Suhu : 37,7°C - Dibersihkan dengan kasa+NS
HR :160x/ menit Mukosa : rose - Dioleskan kasa+Iodine
Nafas :56x / menit Appetice : +++ - Dioleskan salep gentamycin
CRT : < 2 detik Minum : +++ - Dipasang kasa+bandage
Turgor : < 2 detik Defekasi :- hipafix®

Urinasi : +++
Vomit :-
19/12/2019 Pagi T/
Suhu : 38,8°C Mukosa : rose Amoxicillin (im) 0,39 ml
HR :152x/ menit Appetice : +++ s.1.d.d
Nafas : 32x / menit Minum :+ Ketoprofen (sc) 0,78 ml s.1.d.d
CRT : < 2 detik Defekasi : ++ Pakan Bolt dog food (blender) +
Turgor : < 2 detik Urinasi :+ hati ayam
Vomit :- Ganti bandage
Sore Penanganan luka :
Suhu : 38,9°C Mukosa : rose - Dibersihkan dengan kasa+NS
HR :168x/ menit Appetice : +++ - Dioleskan kasa+Iodine
Nafas :32x / menit Minum : + - Dioleskan salep gentamycin
CRT : < 2 detik Defekasi :- - Dipasang kasa+bandage
Turgor : < 2 detik Urinasi :- hipafix®
Vomit :-

20/12/2019 Pagi T/
Suhu : 38,1°C Mukosa : rose Ampicillin PO 1/3tabs s.1.d.d
HR :136x/ menit Appetice : +++ Ketoprofen PO 0.78 mg da in
Nafas : 36x / menit Minum : ++ caps s.1.d.d
CRT : < 2 detik Defekasi : ++ Pakan Bolt dog food (blender) +
Turgor : < 2 detik Urinasi :+ hati ayam
Vomit :- Penanganan luka :
Sore - Dibersihkan dengan kasa+NS
Suhu : 38,6°C Mukosa : rose - Dioleskan kasa+Iodine
HR :140x/ menit Appetice : +++ - Dioleskan salep gentamycin
Nafas : 44x / menit Minum : ++ - Dipasang kasa+bandage
CRT : < 2 detik Defekasi :- hipafix®
Turgor : < 2 detik Urinasi : ++
Vomit :-
21/12/2019 Pagi T/
Suhu : 38,3°C Mukosa : rose Ampicillin PO 1/3tabs s.1.d.d
HR :144x/ menit Appetice : +++ Ketoprofen PO 0.78 mg da in
Nafas : 32x / menit Minum : ++ caps s.1.d.d
CRT : < 2 detik Defekasi : +++ Pakan Bolt dog food (blender) +
Turgor : < 2 detik Urinasi : ++ hati ayam
Vomit :- Penanganan luka :
Sore - Dibersihkan dengan kasa+NS
Suhu : 38,3°C Mukosa : rose - Dioleskan kasa+Iodine
HR :148x/ menit Appetice : +++ - Dioleskan salep gentamycin
Nafas : 32x / menit Minum : ++ - Dipasang kasa+bandage
CRT : < 2 detik Defekasi :- hipafix®
Turgor : < 2 detik Urinasi :-
Vomit :-
22/12/2019 Pagi T/
Suhu : 38,1°C Mukosa : rose Ampicillin PO 1/3tabs s.1.d.d
HR :152x/ menit Appetice : +++ Ketoprofen PO 0.78 mg da in
Nafas : 32x / menit Minum : ++ caps s.1.d.d
CRT : < 2 detik Defekasi :- Pakan Bolt dog food (blender) +
Turgor : < 2 detik Urinasi :- hati ayam
Vomit :- Penanganan luka :
Sore - Dibersihkan dengan kasa+NS
Suhu : 38,7°C Mukosa : rose - Dioleskan kasa+Iodine
HR :132x/ menit Appetice : +++ - Dioleskan salep gentamycin
Nafas : 44x / menit Minum : ++ - Dipasang kasa+bandage
CRT : < 2 detik Defekasi : ++ hipafix®
Turgor : < 2 detik Urinasi : ++
Vomit :-
23/12/2019 Pagi T/
Suhu : 38,4°C Mukosa : rose
HR :144x/ menit Appetice : +++ Pakan Bolt dog food (blender) +
Nafas : 40x / menit Minum : ++ hati ayam
CRT : < 2 detik Defekasi : ++
Turgor : < 2 detik Urinasi : ++ Penanganan luka :
Vomit :- - Dibersihkan dengan kasa+NS
Sore - Dioleskan kasa+Iodine
Suhu : 38,9°C Mukosa : rose - Dioleskan salep gentamycin
HR :156x/ menit Appetice : +++ - Dipasang kasa+bandage
Nafas : 32x / menit Minum : ++ hipafix®
CRT : < 2 detik Defekasi :-
Turgor : < 2 detik Urinasi : ++
Vomit :-
24/12/2019 Pagi T/
Suhu : 37,5°C Mukosa : rose Pakan Bolt dog food (blender) +
HR :156x/ menit Appetice : +++ hati ayam
Nafas : 36x / menit Minum : ++ Penanganan luka :
CRT : < 2 detik Defekasi : +++ - Dibersihkan dengan kasa+NS
Turgor : < 2 detik Urinasi : ++ - Dioleskan kasa+Iodine

Vomit :- - Dioleskan salep gentamycin


Sore - Dipasang kasa+bandage
Suhu : 38,9°C Mukosa : rose hipafix®
HR :156x/ menit Appetice : +++
Nafas : 32x / menit Minum : ++
CRT : < 2 detik Defekasi :-
Turgor : < 2 detik Urinasi :-
Vomit :-
25/12/2019 Pagi T/
Suhu : 38,9°C Mukosa : rose Pakan Bolt dog food (blender) +
HR :140x/ menit Appetice : +++ hati ayam
Nafas : 28x / menit Minum : ++ Penanganan luka :
CRT : < 2 detik Defekasi : +++ - Dibersihkan dengan kasa+NS
Turgor : < 2 detik Urinasi : ++ - Dioleskan kasa+Iodine
Vomit :- - Dioleskan salep gentamycin
Sore - Dipasang kasa+bandage
Suhu : 38,1°C Mukosa : rose hipafix®
HR :140x/ menit Appetice : +++
Nafas : 36x / menit Minum : ++
CRT : < 2 detik Defekasi :-
Turgor : < 2 detik Urinasi :-
Vomit :-
26/12/2019 Pagi T/
Suhu : 38,3°C Mukosa : rose Pakan Bolt dog food (blender) +
HR :136x/ menit Appetice : +++ hati ayam
Nafas : 32x / menit Minum : ++
CRT : < 2 detik Defekasi : +++ Penanganan luka :
Turgor : < 2 detik Urinasi : ++ - Dibersihkan dengan kasa+NS
Vomit :- - Dioleskan kasa+Iodine
Sore - Dioleskan salep gentamycin
Suhu : 38,5°C Mukosa : rose - Dipasang kasa+bandage
HR :144x/ menit Appetice : +++ hipafix®
Nafas : 44x / menit Minum : ++
CRT : < 2 detik Defekasi :-
Turgor : < 2 detik Urinasi :-
Vomit :-
27/12/2019 Pagi T/
Suhu : 38,8°C Pakan Bolt dog food (blender) +
HR :136x/ menit hati ayam
Nafas : 32x / menit Penanganan luka :
CRT : < 2 detik - Dibersihkan dengan kasa+NS
Turgor : < 2 detik - Dioleskan kasa+Iodine
- Dioleskan salep gentamycin
Sore - Dipasang kasa+bandage
Suhu : 38,5°C hipafix®
HR :144x/ menit
Nafas : 44x / menit
CRT : < 2 detik
Turgor : < 2 detik
28/12/2019 Pagi T/
Suhu : 38,3°C Pakan Bolt dog food (blender) +
HR :136x/ menit hati ayam
Nafas : 32x / menit Penanganan luka :
CRT : < 2 detik - Lepas bandage
Turgor : < 2 detik - Dibersihkan dengan kasa+NS
- Dioleskan kasa+Iodine
Sore - Dioleskan salep gentamycin
Suhu : 38,5°C
HR :144x/ menit
Nafas : 44x / menit
CRT : < 2 detik
Turgor : < 2 detik
29/12/2019 Pagi T/
Suhu : 38,3°C Pakan Bolt dog food (blender) +
HR :136x/ menit hati ayam
Nafas : 32x / menit Penanganan luka :
CRT : < 2 detik - Dibersihkan dengan kasa+NS
Turgor : < 2 detik - Dioleskan kasa+Iodine
- Dioleskan salep gentamycin
Sore
Suhu : 38,5°C
HR :140x/ menit
Nafas : 44x / menit
CRT : < 2 detik
Turgor : < 2 detik
30/12/2019 Pagi T/
Suhu : 38,3°C Pakan Bolt dog food (blender) +
HR :132x/ menit hati ayam
Nafas : 32x / menit Penanganan luka :
CRT : < 2 detik - Dibersihkan dengan kasa+NS
Turgor : < 2 detik - Dioleskan kasa+Iodine
- Dioleskan salep gentamycin
Kontrol Anjing Release Anjing

4.4 Perkembangan Luka


Tabel 4.5 Dokumentasi perkembangan luka anjing Coklat setelah operasi
Tanggal Perkembangan luka
18 Desember 2019 (H+2 Operasi)
20 Desember 2019 (H+4 Operasi)

22 Desember 2019 (H+6 Operasi)


24 Desember 2019 (H+8 Operasi)

26 Desember 2019 (H+10 Operasi)


28 Desember 2019 (H+12 Operasi)
BAB V
PEMBAHASAN

5.1 Pembahasan
Kolotomi adalah prosedur bedah berupa penyayatan pada kolon yang
bertujuan untuk mengalihkan aliran feses atau mengangkat benda asing yang
terdapat pada kolon. Indikasi dilakukan kolostomi antara lain penyakit kolorektal
pada kolon, obstruksi rektum, penyakit divertikular akut, enteritis, trauma anorektal
dan adanya benda asing pada kolon (Bustamante, 2017).
Sebelum melakukan operasi, alat-alat bedah yang akan digunakan harus
dicuci hingga bersih kemudian disterilisasi menggunakan oven dengan suhu
121oC selama 15 menit. Tujuan dari sterilisasi ini adalah untuk membunuh
bakteri serta spora bakteri. Persiapan operator berupa operator menggunakan
masker dan cap. Kemudian mencuci tangan menggunakan larutan chlorhexidine
2% selama minimal 1-2 menit. Setelah itu, operator menggunakan sarung tangan
steril.
Persiapan hewan berupa puasa selama kurang lebih 8-12 jam sebelum
operasi, pemeriksaan fisik serta sterilisasi area insisi. Pemuasaan pada pasien
berguna untuk mencegah terjadinya vomit selama proses operasi akibat efek dari
obat-obat anastesi (Chandler 1985). Pemberian antibiotik ampicilin sebelum
tindakan operasi dilakukan dengan dosis 0,25 mL secara IM. Pemberian antibiotik
sebelum operasi bertujuan untuk mencegah adanya infeksi.
Selanjutnya dilakukan premedikasi dengan atropine sebelum operasi
dengan dosis 0.5 mL diberikan secara subcutan. Tujuan dari pemberian premedikasi
yaitu ntuk menenangkan hewan sehingga memudahkan penanganan, untuk
relaksasi otot sehingga terjadi immobilisasi dan hiporefleksi, untuk memberikan
analgesia (menghilangkan rasa sakit), untuk memperoleh induksi anestesi yang
perlahan dan aman, stadium anestesi yang stabil dan pemulihan dari anestesi yang
baik, dan untuk mengurangi dosis obat anestesi sehingga efek samping dapat
dikurangi. Agen premedikasi dibagi menjadi beberapa golongan yaitu
antikolinergik, analgesik, neuroleptanalgik, transquilizer, obat dissosiatif dan
barbiturate. Pada umumnya obat-obat premedikasi bersifat sinergis terhadap
anastetik namun penggunaannya harus disesuaikan dengan umur dan kondisi hewan
(Eduardo, 2010).
Prosedur selanjutnya adalah pemberian anesthesi xylazine dan ketamine
setelah 15 menit dari pemberian atropine dengan rute pemberian intramuskular
xylazine sebanyak 0.5 mL dan ketamine sebanyak 0.5 mL. Kombinasi obat ini juga
dapat meningkatkan kerja masing-masing obat, dimana xylazine memberikan efek
relaksasi otot yang baik sedangkan ketamine memberikan efek analgesik yang baik.
Setelah hewan teranastesi atau hewan telah memasuki stadium 1 anastesi,
dilakukan restrain dengan cara mengikat keempat kaki hewan coba menggunakan
tali pengikatan dilakukan pada meja operasi, selain itu pengikatan bertujuan
memudahkan dilakukan operasi serta mempertahankan posisi rebah hewan ketika
akan dilakukan operasi dan dikeluarkan lidah hewan kemudian mulut ditutup
dengan kapas atau kasa agar tidak tergigit ketika hewan telah teranastesi serta tidak
mengganggu jalan nafas dari hewan itu sendiri.
Setelah hewan teranastesi atau hewan telah memasuki stadium 1 anastesi,
dilakukan restrain dengan cara mengikat keempat kaki hewan coba menggunakan
tali pengikatan dilakukan pada meja operasi, selain itu pengikatan bertujuan
memudahkan dilakukan operasi serta mempertahankan posisi rebah hewan ketika
akan dilakukan operasi dan dikeluarkan lidah hewan kemudian mulut ditutup
dengan kapas atau kasa agar tidak tergigit ketika hewan telah teranastesi serta tidak
mengganggu jalan nafas dari hewan itu sendiri.
Sterilisasi area insisi dimulai dengan mencukur rambut disekitar area insisi.
Setelah itu, area insisi diberi antiseptik berupa chlorhexidine kemudian
menggunakan povidone iodine. Pemberian antispetik ini dilakukan menggunakan
kapas dengan arah memutar dari dalam keluar area insisi. Setelah itu, pasien diberi
drape guna mengurangi kontaminasi dari rambut hewan seperti Gambar 5.1.
Gambar 5.1 Persiapan operasi Anjing Coklat (Dokumentasi Pribadi, 2019)

Setelah persiapan selesai, dapat dilakukan insisi kira-kira cukup panjang atau
sekitar 5 cm dari posterior umbilicus untuk mengeluarkan intestine dan kolon. Incisi
dilakukan pada lapisan cutan, subcutan, dan musculus. Menurut Bright (2000),
intestine terletak diruang abdomen, yang merupakan ruang sempit dan dibatasi oleh
diafragma pada bagian anterior dan bagian posterior dibatasi oleh pintu pelvis.
Untuk mencapai kolon maka dilakukan pembukaan ruang abdomen atau laparotomi
medianus. Kemudian dilakukan eksplorasi pada intestine dan diusahakan
didapatkan kolon yang berada berbatasan dengan rektum atau paling distal dari
intestine. Setelah didapatkan kolon, dikeluarkan dan difiksasi 3 – 5 cm
menggunakan tissue forceps agar tidak merusak organ viscera dikedua ujungnya
atau dipegang dan dijepit oleh asisten operator dengan kedua tangan. Kemudian
diincisi kolon secara transversal hingga menembus lumen seperti Gambar 5.2.
Kolon yang terincisi diobservasi apakah ada benda asing atau yang lainnya, setelah
tidak ditemukan apapun maka kolon ditutup kembali menggunakan jahitan pola
bersambung sederhana dan dilapisi pola jahitan terputus sederhana. Setelah kolon
yakin tertutup rapat, maka dilakukan uji kebocoran untuk memastikan jahitan
tertutup rapat dan tidak ada kebocoran pada organ kolon yang di incisi. Uji
kebocoran dilakukan dengan memberikan larutan NS yang diinjeksikan
menggunakan spuit 1 cc ke kolon.
Gambar 5.2 Incisi Kolon Anjing Coklat (Dokumentasi Pribadi, 2019)

Penutupan insisi yang dimulai dengan melakukan jahitan pada mukosa


menggunakan benang PGA 2-0 dengan jahitan simple interrupted. Lapisan
subcutan dengan jahitan simple continuous menggunakan benang Cut Gut Chromic
3-0. Penjahitan kulit menggunakan benang non absorbable Silk 3-0 dengan tipe
jahitan simple interrupted menggunakan needle tapper seperti Gambar 5.3. Benang
non absorbable tidak dapat diserap oleh tubuh sehingga harus diambil setelah kulit
kembali rapat. Setelah kulit terjahit dengan sempurna, luka dibersihkan dan
kemudian luka diolesi dengan salep gentamicin serta ditutup dengan kasa dan
Hypafix.

Gambar 5.2 penjahitan Menggunakan Benang Silk


(Dokumentasi Pribadi, 2019)
Pengobatan post operasi yang digunakan pada anjing Coklat adalah obat
yang terdiri dari antibiotik, analgesik dan salep antibiotic topikal. Pemberian
antibiotik Amoxicillin dengan dosis 10 mg/kg BB yang diberikan secara IM satu
kali sehari. Analgesik ketoprofen dengan dosis 5 mg/kg BB secara IM satu kali
sehari. antibiotik amoxicillin melalui per oral dengan dosis 10mg/kgBB diberikan
1 kali sehari. Amoxicillin digunakan untuk menghindari adanya infeksi sekunder
pada luka operasi, mekanisme kerja amoxicilin ini adalah dengan cara mengikat
pada ikatan penisilin protein 1A (PBP-1A) yang berlokasi didalam dinding sel
bakteri. Penisillin (amoxicillin) mengasilasi penisilin-mensensitifkan
transpeptidase C-terminal domain dengan membuka cincin laktam menyebabkan
inaktivasi enzim, dan mencegah pembentukan hubungan silang dari dua untai
peptidoglikan linier, menghambat fase tiga dan terakhir dari sintesis dinding sel
bakteri, yang berguna untuk divisi sel dan bentuk sel dan proses esensial lain dan
lebih mematikan dari penisillin untuk bakteri yang melibatkan mekanisme
keduanya litik dan non litik (Kaur et al., 2011)
Ketoprofen merupakan senyawa obat antiinflamasi nonsteroid (OAINS)
turunan asam fenilalkanoat yang bekerja sebagai antiinflamasi, antipiretik,
analgetik, dan secara luas digunakan sebagai antireumatik. Ketoprofen dapat
menginhibisi kedua subtipe enzim siklooksigenase, yaitu COX-1 dan COX-2.
Ketoprofen tidak memiliki potensi adiktif maupun sedasi, namun praktis tidak larut
dalam air serta kecepatan disolusi dan bioavaibilitas yang rendah (Yamada, 2001).
BAB VI
PENUTUP

6.1 Kesimpulan
Kolotomi adalah prosedur bedah berupa penyayatan pada kolon yang
bertujuan untuk mengalihkan aliran feses atau mengangkat benda asing yang
terdapat pada kolon. Indikasi dilakukan kolotomi antara lain penyakit kolorektal
pada kolon, obstruksi rektum, penyakit divertikular akut, enteritis, trauma anorektal
dan adanya benda asing pada kolon. Insisi yang dilakukan meliputi kulit, subcutan,
linea alba dan peritoneum. Kemudian dilakukan ekplorasi kolon, diinsisi kolon.
Lalu ditutup dengan jahitan pada lapisan kolon, muskulus, subkutan dan kulit
dengan jahitan terputus sederhana menggunakan benang PGA 2.0, lalu subcutan
dijahit dengan benang cutgut chromic 3.0 dengan pola menerus sederhana dan
lapisan kulit dengan jahitan sederhana dan dengan benang silk. Obat-obatan yang
diberikan pada post operasi yaitu Amoxicillin sebagai antibiotik, ketoprofen
sebagai analgesik.

6.2 Saran
Sebaiknya pada pelaksanaan operasi lebih diperhatikan lagi keadaan
aseptis mulai dari kebersihan meja oprasi, operator, co-operator, anastesiolog,
dan asisten kotor.

DAFTAR PUSTAKA

Ballantyne GH. The experimental basis of intestinal suturing. Effect of surgical


technique, inflammation, and infection on enteric wound healing. Dis
Colon Rectum. 1984;27(1):61–71
Boothe HW. 2012. Instrument and tissue handling techniques. Dalam: Tobias KM,
Johnston SA, eds. Veterinary Surgery: Small Animal. St. Louis, MO:
Elsevier Saunders. Hlm. 201-213.
Brander G., D. Pugh, R. Bywater and W. Jenkins. 1991 .Veterinary Applied
pharmacolog and Therapeutics,5th edn., (Baillere, Tindall, London) 484-
488.
Bright RM. 2000. Surgery of the Intestines. Sounders Manual of Small Animal
Practice in Stephen JB, Robert GH. Ed ke-2. Philadelphia : WB Sounders
Company.
Bustamante, L, A. 2017. Endoscopic Colostomy with Percutaneous Colopexy an
Animal Feasibility Study. University of Sao Paulo. Brazil
Capak D, Brkic A, Harapin I, Maticic D, Radisic B. 2001. Treatment of the foreign
body induced occlusive ileus in dogs. Vet Arhiv 71(6): 345-359.
Eduardo, J., dan D. Borges. 2010. Reducing Preoperative Fasting Time: Trend
Based on Evidence. UK.
Eming, S. A., Krieg, T., dan Davidson, J. M., 2007. Inflammation in Wound Repair:
Molecular and Cellular Mechanisms. J. Invest. Dermatol.
Fossum, T.W. 2002. Small Animal Surgery Second Edition. C.V. Mosby. St Louis
Fossum, T.W. 2013. Small Animal Surgery Fifth Edition. C.V. Mosby. St Louis
Guyton AC, Hall JE. 2014. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Ed ke-9. Jakarta :
Penerbit Buku Kedokteran EGC.
Hall LW. 1983. Fluid therapy and intravenous nutrition. In Dog and Cat nutrition.
Editor ATB Edney. Pergamon Press. New York.
Kaur, S.P., Rekha, R., Sanju, N. 2011. Amoxcillin : A Broad Spectrum Antibiotic
International Journal of Pharmacy and Pharmaceutical Sciences, Vol. 3 No.3,
hal. 30-37.

Kumar, A., 1997. Veterinary Surgical Techniques.Vikas Publishing House


PVTLTD. New Delhi
Mar Vista Animal Medical Center. 2006. Fluid Therapy. The Cornerstone of
treatment.Http://marvistavet.com (diakses 3 desember 2019)
Maya, E. 2006. Pengaruh Anestesi Per-injeksi dan Anestesi Perinhalasi terhadap
Nilai Saturasi Oksigen dan Nilai Fisiologis Lainnya pada Kucing Lokal
(Felis domestica) selama Enterotomi. Skripsi. Fakultas Kedokteran Hewan,
Institut Pertanian Bogor, Bogor
Pinnock, Colin, et al. 2009. Fundamentals of Anaaesthesia. GMM
Plumb, D. C., 2008. Plumb’s Veterinary Drug Handbook 6th edition. The IOWA
Sardjana, I.K.W., dan Kusumawati, D., 2004. Anestesi Veteriner Jilid 1, Gadjah
Mada University Press, Yogyakarta.
Sjamsuhidajat, Wim de Jong. 2005. Buku Ajar Ilmu Bedah, Edisi II. Jakarta: EGC.
State University Press. Ames.
Suriadi, Rita Yuliani., 2007, Asuhan Keperawatan Pada Anak Edisi 2. Jakarta :
Sagung setia.
Sutton. 2015. Diagnosing Disorder of The Equine Oesophagus. BEVA
Wilyanto I. 2010. Terapi Cairan: memilih larutan terbaik untuk tiap pasien.
Seminar sehari continuing Education APDHKI Denpasar
Yamada T, Onishi H, Machida Y. 2001. In vitro and in vivo evaluation of sustained
release chitosan-coated ketoprofen micropartikels. Yakugaku Zasshi
121:239-245

Anda mungkin juga menyukai