Oleh:
i
KATA PENGANTAR
Puji syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa yang telah
Terima kasih kami ucapkan kepada Bapak/Ibu dosen pembimbing baik dari
Universitas Brawijaya maupun Universitas Airlangga, serta semua pihak yang telah
terlibat baik secara langsung maupun tidak selama kami melaksanakan kegiatan
Dalam penyusunan laporan ini, kami menyadari bahwa hasil laporan ini masih
jauh dari kata sempurna. Sehingga kami selaku penyusun sangat mengharapkan kritik
Akhir kata, semoga laporan praktikum ini dapat memberikan manfaat untuk
Penyusun
ii
DAFTAR ISI
BAB 1. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang. ..............................................................................1
1.2 Perumusan Masalah. ......................................................................2
1.3 Tujuan Penelitian ...........................................................................2
1.4 Manfaat Penelitian .........................................................................3
3
3.1.3.2 Ctenocephalides canis ..............................................47
3.1.4 Arachnida ..............................................................................51
3.1.4.1 Ripicephalus sanguineus ..........................................51
3.1.4.2 Boophilus microplus .................................................53
3.1.5 Acariformes ..........................................................................57
3.1.5.1 Sarcoptes scabiei ......................................................57
3.1.5.2 Dubininia sp. ............................................................59
3.2 Helminth .........................................................................................63
3.2.1 Ascaridia sp. .........................................................................63
3.2.2 Ancylostoma caninum ...........................................................66
3.2.3 Hymenolepis nana.................................................................68
3.2.4 Heterakis gallinarum ............................................................70
3.2.5 Haemonchus contortus .........................................................72
3.2.6 Toxocara vitulorum...............................................................75
3.2.7 Passalaurus ambigus ............................................................77
3.2.8 Bunostomum trigonocephalum .............................................80
3.2.9 Trichuris ovis ........................................................................82
3.2.10 Dypilidium caninum............................................................84
3.2.11 Trichostrongilus colubriformis ...........................................86
3.2.12 Strongyloides papillosus .....................................................88
3.2.13 Parascaris equorum............................................................91
3.2.14 Moniezia expansa ...............................................................93
3.2.15 Eurytrema pancreaticum ....................................................96
3.2.16 Oesophagostomum radiatum ..............................................98
3.2.17 Capillaria sp. ......................................................................101
3.2.18 Raillietina cesticillus...........................................................103
3.3 Protozoa ..........................................................................................106
3.3.1 Protozoa Darah .....................................................................106
3.3.2 Protozoa Luminal..................................................................116
BAB 4. PENUTUP.............................................................................................128
4.1 Kesimpulan .....................................................................................128
1
yang bisa merugikan peternak yakni penyakit parasiter. Walaupun penyakit
ini kadang-kadang tidak langsung mematikan, akan tetapi kerugiannya
dipandang dari segi ekonomi sangat besar dan dapat menimbulkan kerugian
berupa penurunan berat badan ternak, penurunan produksi susu, kualitas
daging/ kulit/ jeroan, produktivitas ternak sebagai tenaga kerja di sawah serta
bahaya penularan terhadap manusia atau bersifat zoonosis (Suwandi, 2001).
Dalam jumlah yang masih dapat ditahan, parasit tidak akan
menimbulkan timbulnya gejala sakit yang berarti akan tetapi pada jumlah
yang diluar kendali dapat menimbulkan gejala sakit. Infeksi parasit secara
besar-besaran oleh spesies tertentu dapat menyebabkan kematian pada inang
sedangkan parasit jenis lain dapat muncul sebagai agen pemacu untuk
perkembangan infeksi sekunder oleh bakteri. Kondisi kesehatan yang
menurun dapat berdampak negatif pada reproduksi satwa penangkaran
bahkan beberapa jenis parasit dapat ditularkan ke manusia (Panayotova-
Pencheva, 2013). Berdasarkan latar belakang tersebut dokter hewan harus
memiliki kemampuan dalam mendiagnosa suatu penyakit parasit baik melalui
pemeriksaan klinis maupun pemeriksaan pendukung dalam pemeriksaan
laboratorium untuk mengidentifikasi parasite protozoa, helmint maupun
ektoparasit.
1.3 Tujuan
1. Untuk mengtahui jenis-jenis endoparasit dan ektoparasit yang ada pada
hewan dalam bidang veteriner.
2. Untuk mengtahui penyakit apa saja yang diakibatkan oleh endoparasit dan
ektoparasit pada hewan dalam bidang veteriner.
1.1. Manfaat
1. Mengetahui jenis-jenis endoparasit dan ektoparasit yang ada pada hewan
dalam bidang veteriner.
2. Mengetahui penyakit apa saja yang diakibatkan oleh endoparasit dan
ektoparasit pada hewan dalam bidang veteriner.
BAB 2 PELAKSANAAN KEGIATAN
3.1 Arthropoda
3.1.1 Diptera
3.1.1.1 Culex quinquefasciatus
a. Signalement
Sampel diperoleh dari lingkungan rumah.
b. Klasifikasi dan Morfologi
Pemeriksaan artrhopoda nyamuk Culex dilakukan dengan
menggunakan metode pinning. Berdasarkan metode tersebut dapat dipelajari
mengenai morfologi tubuh nyamuk sehingga dapat dengan mudah dalam
mengidentifikasi spesies, siklus hidup, morfoligi, hospes, dan patogenesa.
Klasifikasi ilmiah C. quinquefasciatus menurut Urquhart et al., (1996)
adalah sebagai berikut :
Filum : Artrhopoda
Kelas : Insecta
Ordo : Diptera
Famili : Culicidae
Genus : Culex
Spesies : C. quinquefasciatus
Nyamuk mempunyai beberapa ciri yaitu tubuhnya dibedakan atas
kaput, toraks, abdomen dan mempunyai 3 pasang kaki dan sepasang antena.
Satu pasang sayap dan halter menempatkan nyamuk dalam ordo Diptera.
Sisik pada sayap dan adanya alat mulut yang panjang seperti jarum
menempatkan nyamuk ke dalam familia Culicidae (Borror dkk., 1992).
Genus Culex dicirikan dengan bentuk abdomen nyamuk betina yang tumpul
pada bagian ujungnya. Nama lain nyamuk Culex quinquefasciatus adalah
Culex pipiens fatigans wiedemann (Setiawati, 2000). Kepala Culex
umumnya bulat atau sferik dan memiliki sepasang mata, sepasang antena,
sepasang palpi yang terdiri atas 5 segmen dan 1 probosis antena yang terdiri
atas 15 segmen.
Culex quinquefasciatus (Dokumentasi pribadi, 2018)
Pada genus Culex tidak terdapat rambut pada spiracular maupun pada
post spiracular. Panjang palpus maxillaries nyamuk jantan sama dengan
proboscis. Bagian toraks nyamuk terdiri atas 3 bagian yaitu prothorax,
mesothorax dan metathorax. Bagian metathoraxs mengecil dan terdapat
sepasang sayap yang mengalami modifikasi menjadi halter. Abdomen terdiri
atas 8 segmen tanpa bintik putih di tiap segmen. Ciri lain dari nyamuk Culex
adalah posisi yang sejajar dengan bidang permukaan yang dihinggapi saat
istirahat atau saat menusuk dengan kaki belakang yang sedikit terangkat
(Setiawati, 2000).
(A) Culex sp., betina; (B) Kepala Culex sp., jantan; (a) Probosis; (b) antena;
(abd) Abdomen; (c) mata; (f) femur; (m) mesothorax; (met) Metathorax; (mt)
metatarsus; (p) palpus; (h) halter; (pl) lobus prothorac; (s) scutellum; (t) tibia;
(tar) tarsus; (u) kuku (Mȍnnig, 1950)
Salah satu ciri dari larva nyamuk Culex adalah memiliki siphon.
Siphon dengan beberapa kumpulan rambut membentuk sudut dengan
permukaan air. Pada tahap larva, nyamuk Culex mempunyai 4 tingkatan
atau instar sesuai dengan pertumbuhan larva tersebut, yaitu Larva instar I,
berukuran paling kecil yaitu 1 – 2 mm atau 1 – 2 hari setelah menetas. Duri-
duri (spinae) pada dada belum jelas dan corong pernafasan pada siphon
belum jelas, kemudian Larva instar II, berukuran 2,5 – 3,5 mm atau 2 – 3
hari setelah telur menetas. Duri-duri belum jelas, corong kepala mulai
menghitam. Selanjutnya, Larva instar III, berukuran 4 – 5 mm atau 3 – 4
hari setelah telur menetas. Duri-duri dada mulai jelas dan corong pernafasan
berwarna coklat kehitaman, dan yang terakhir adalah Larva IV, berukuran
paling besar yaitu 5 – 6 mm atau 4 – 6 hari setelah telur menetas, dengan
warna kepala.
Larva akan menjadi pupa. Pupa berbentuk bengkok dan kepalanya
besar. Pupa membutuhkan waktu 2-5 hari. Pupa tidak makan apapun.
Sebagian kecil tubuh pupa kontak dengan permukaan air, berbentuk
terompet panjang dan ramping, setelah 1 – 2 hari akan menjadi nyamuk
Culex dewasa (Kamaruddin, 2003). Ciri-ciri nyamuk Culex dewasa adalah
berwarna hitam belang-belang putih, kepala berwarna hitam dengan putih
pada ujungnya. Pada bagian thorak terdapat 2 garis putih berbentuk kurva.
d. Pengendalian
Secara garis besar ada 4 cara pengendalian vektor, yaitu dengan cara
kimiawi, biologis, radiasi, dan mekanik/pengelolaan lingkungan (Dinata,
2006). Pengendalian secara kimiawi biasanya digunakan insektisida dari
golongan orghanochlorine, organophosphor, carbamate dan pyrethoid.
Bahanbahan tersebut dapat diaplikasikan dalam bentuk penyemprotan
terhadap rumahrumah penduduk (Dinata, 2006). Pengendalian lingkungan
digunakan beberapa cara antara lain dengan mencegah nyamuk kontak
dengan manusia yaitu dengan memasang kawat kasa pada lubang ventilasi,
jendela dan pintu.
c. Taksonomi
Kingdom : Animalia
Phylum : Arthropoda
Kelas : Insekta
Ordo : Diptera
Subordo : Nematosera
Familia : Culicidae
Tribus : Culicini
Genus : Aedes
Spesies : Aedes aegypti (Djakaria S, 2004)
d. Morfologi
Tubuh nyamuk dewasa terdiri dari 3 bagian, yatu kepala (caput), dada
(thorax) dan perut (abdomen). Badan nyamuk berwarna hitam dan memiliki
bercak dan garis-garis putih dan tampak sangat jelas pada bagian kaki dari
nyamuk Aedes aegypti. tubuh nyamuk dewasa memiliki panjang 5 mm.
Pada bagian kepala terpasang sepasang mata majemuk, sepasang antena dan
sepasang palpi, antena berfungsi sebagai organ peraba dan pembau. Pada
nyamuk betina, antena berbulu pendek dan jarang (tipe pilose). Sedangkan
pada nyamuk jantan, antena berbulu panjang dan lebat (tipe plumose).
Thorax terdiri dari 3 ruas, yaitu prothorax, mesotorax, dan methatorax. Pada
bagian thorax terdapat 3 pasang kaki dan pada ruas ke 2 (mesothorax)
terdapat sepasang sayap. Abdomen terdiri dari 8 ruas dengan bercak putih
keperakan pada masing-masing ruas. Pada ujung atau ruas terakhir terdapat
alat kopulasi berupa cerci pada nyamuk betina dan hypogeum pada nyamuk
jantan (Depkes RI, 2007).
Nyamuk jantan dan betina dewasa perbandingan 1:1, nyamuk jantan
keluar terlebih dahulu dari kepompong, baru disusul nyamuk betina, dan
nyamuk jantan tersebut akan tetap tinggal di dekat sarang, sampai nyamuk
betina keluar dari kepompong, setelah jenis betina keluar, maka nyamuk
jantan akan langsung mengawini betina sebelum mencari darah. Selama
hidupnya nyamuk betina hanya sekali kawin. Pada nyamuk betina, bagian
mulutnya mempunyai probosis panjang untuk menembus kulit dan
penghisap darah. Sedangkan pada nyamuk jantan, probosisnya berfungsi
sebagai pengisap sari bunga atau tumbuhan yang mengandung gula
(Hoedojo R dan Zulhasril, 2008).
e. Siklus Hidup
Aedes aegypti mengalami metamorfosis sempurna. Nyamuk betina
meletakkan telur pada permukaan air bersih secara individual, terpisah satu
dengan yang lain, dan menempel pada dinding tempat perindukkannya.
Seekor nyamuk betina dapat meletakkan rata-rata sebanyak seratus butir
telur tiap kali bertelur. Telur menetas dalam satu sampai dua hari menjadi
larva. Terdapat empat tahapan dalam perkembangan larva yang disebut
instar. Perkembangan dari instar I ke instar IV memerlukan waktu sekitar
lima hari. Setelah mencapai instar IV, larva berubah menjadi pupa di mana
larva memasuki masa dorman. Pupa bertahan selama dua hari sebelum
akhirnya nyamuk dewasa keluar dari pupa. Perkembangan dari telur hingga
nyamuk dewasa membutuhkan waktu tujuh hingga delapan hari, namun bisa
lebih lama bila kondisi lingkungan tidak mendukung (Djakaria, 2004).
f. Kepentingan
Penyakit pada unggas khususnya ayam salah satunya dapat
diakibatkan oleh parasit. Protozoa dapat menyebabkan kematian pada
peternakan unggas. Plasmodium, Haemoproteus dan Leucocytozoon adalah
protozoa yang hidup sebagai parasit dalam sel darah merah, yang
menyebabkan malaria unggas (avian malaria). Malaria unggas atau malaria
ayam disebut juga Plasmodium Disease (Tabbu, 2002). Daerah tropis
merupakan habitat yang cocok bagi vektor malaria, seperti nyamuk, Culex,
Anopheles, Culiceta, Mansonia, dan Aedes.
g. Cara Penularan
Nyamuk Culex sp., Aedes sp., dan terkadang Anopheles sp.
merupakan vektor yang berperan pada penularan penyakit. Nyamuk yang
menghisap darah unggas yang terinfeksi dapat menularkan penyakit ke
unggas yang lain dalam satu peternakan. Plasmodiosis hanya menular secara
horizontal dan tidak diturunkan dari induk ke anak (Hastutiek, 2014).
h. Kontrol
Pengendalian dilakukan dengan penyemprotan insektisida dan
memperhatikan sanitasi lingkungan dengan menghilangkan air yang
tergenang. Kontrol biologis terhadap larva bisa menggunakan predator
alami antara lain ikan gambusia, ikan nila ikan kepala timah, capung, dan
nimpa Ephemera (capung sehari). Kontrol dipergunakan BHC dosis residual
0,3-0,5 g/m2 dapat melindungi lingkungan selama 3 bulan. Heptachlor,
Dieldrin, Chlordane, Malation dosis 25% dalam bentuk wettable powder,
dan Carbarril (Sevin) 2g/m2. Pencegahan dilakukan dengan menghindari
gigitan nyamuk (Hastutiek, 2014).
c. Taksonomi
Filum : Arthropoda
Kelas : Insecta
Ordo : Diptera
Subordo : Cyclorrapha
Famili : Muscidae
Genus : Stomoxys
Spesies : Stomoxys calcitrans
d. Morfologi
Lalat kandang dewasa mirip dengan lalat rumah dalam ukuran dan
pewarnaan. Panjang lalat kandang dewasa biasanya 5-7 mm. Kedua spesies
dapat dibedakan berdasarkan pemeriksaan dari perut dan mulut. Lalat
kandang dewasa memiliki tujuh titik melingkar dalam pola kotak-kotak di
perut mereka dan lalat rumah memiliki abdomen yang tidak berpola
(Gambar 2.). Lalat kandang memiliki mulut yang panjang, seperti bayonet
untuk menusuk kulit dan menghisap darah, sedangkan lalat rumah terbang
memiliki sponging mulut untuk memberi makan pada cairan (Kaufmann and
Weeks, 2003).
c. Siklus Hidup
Metamorphosis sempurna:
Telur:
Bentuk oval memanjang seperti cerutu ukuran 1-2,5 mm warna putih
krem, kelabu atau kehitaman. Lalat betina memproduksi telur antara 100-
1000 diletakkan di bawah dedaunan, rerumputan, cabang-cabang kecil
dan bebatuan, bersifat tahan air karena tertutupi. Telur menetas larva
dalam waktu 4-14 hari.
Larva:
Berbentuk silindris dengan kedua ujungnya lancip, warnanya putih krem,
coklat atau hijau. Kepala sangat kecil berwarna hitam dan dapat masuk
kedalam thoraks. Abdomen terdiri atas 11 segmen. Larva hidup di tempat
yang lembab. Larva dalam waktu 1-3 tahun berkembang menjadi pupa.
Pupa:
Pupa hidup di tempat yang kering dengan ukuran panjang antara 7-
40mm warna coklat, kepala menyatu dengan thoraks, abdomen terdiri
atas 8 segmen. Pupa berkembang menjadi lalat dewasa dalam waktu 5-20
hari
Lalat dewasa;
Lalat dewasa hidup di daerah perkayuan dan hutan, mempunyai jarak
terbang sampai beberapa kilometer. Lalat betina aktif pada siang hari dan
lebih tertarik pada warna gelap.
d. Patogenesa dan Gejala Klinis
Lalat Tabanus sp. merupakan vektor dari penyakit surra. Gigitan lalat
ini dapat menularkan penyakit surra secara mekanik setelah ia menghisap
darah penderita, baik hewan ternak maupun anjing.
Hewan-hewan yang terserang pada umumnya memperlihatkan
gejala klinis yang sama yakni demam yang ―intermittent, anemia dan
icterus, oedema pada bagian distal tubuh seperti kaki, dan abdomen serta
pengeluaran eksudat mata dan hidung. Infeksi memperlihatkan adanya
depresi umum, kepucatan membrane mukosa serta gangguan penglihatan
dan dan gerakan pada hewan setelah 4 minggu. Infeksi ditemukan pada
cairan mata dan pertama kali terdeteksi dalam cairan cerebrospinal. Gejala
syaraf terjadi pada serangan yang bersifat akut dan ditandai dengan eksitasi,
konvulsi, gerakan berputar-putar dan paralisa bagian belakang tubuh yang
diikuti kematian pada kuda, sapi dan kerbau.
e. Terapi
Pencegahan dilakukan usaha untuk meningkatkan kebersihan, dan
pemberian makanan bergizi juga pencegahan sering digunakan obatobatan
seperti: Qumapyramine atau Aritrycide prosalt dalam konsentrasi 10%
dengan dosis 7,4 miligram per kilogram berat badan secara subcutan atau
intra muscular. Pemberian Naganol atau suramin pada ternak sapi dan
kerbau dengan besarnya dosis 3 gram sesuai dengan berat badan hewan.
Isometamidium untuk pencegahan diberikan 0,5-1 mg per kilogram berat
badan secara intramuskuler. Untuk pengobatan banyak digunakan suramin
(Naganol, Bayer) dan Isometamidium chloride. Pemberian suramin sebesar
10mg perkilogram dalam 10% larutan yang diberikan secara intravena. Obat
lainnya yaitu Isometamidium dapat diberikan secara intra muskuler dengan
dosis 1-2mg perkilogram.
3.1.2 PHTHIRAPTERA
3.1.2.1 Lipeurus caponis
a. Signalement
Jenis sampel : Ayam Asal
sampel : Di pasar Tanggal
pengambilan : 26 Juni 2018
Tanggal pengujian : 27 Juni 2018
Media pengawetan : KOH 10%
b. Anamnesa
Ayam terlihat tidak ada gejala apapun pada tubuuhnya. Namun, ayam
diletakkan pada kandang yang kotor dengan ayam lain pada saat dipasar.
c. Klasifikasi, Morfologi, Hospes dan Predileksi
Kingdom : Animalia
Filum : Artrhopoda
Kelas : Insecta
Ordo : Phthiraptera
Famili : Philopteridae
Genus : Lipeurus
Spesies : Lipeurus caponis
L. caponis (Dokumentasi Pribadi, 2018)
Predileksi kutu ini adalah pada sayap ayam. Terdapat di bawah bulu
sayap, besar dan berbentuk panjang dan sempit untuk menyesuaikan dengan
sirip bulu sayap ayam. Hidup dari ketombe dan rontokan bulu. L.caponis
mempunyai bentuk tubuh yang panjang dan ramping dengan ukuran panjang
2.2 mm dan lebar 0.3 mm serta berwarna abu–abu. Kutu ini mempunyai
kepala yang panjang dan bulat di bagian depan. Antena L. caponis terlihat
jelas dan berbentuk filiform yang terdiri atas lima segmen. Umumnya
antena pada kutu berfungsi sebagai organ sensoris, namun antena pada L.
caponis juga berfungsi sebagai pembeda jenis kelamin kutu atau disebut
antena seksual dimorfik. Antena pada kutu jantan tampak mengalami
perpanjangan scape, sedangkan perpanjangan scape tidak terjadi pada kutu
betina.
Toraks terlihat dengan jelas yang terdiri atas protoraks dan
pterotoraks. Abdomen dari L. caponis terdiri atas delapan segmen dan
terdapat rambut seta. Kutu ini memiliki kaki yang panjang dan kecil dengan
karakteristik kaki belakang dua kali lebih panjang daripada kaki depan.
Kutu betina menempelkan telur pada bulu dan menetas dalam waktu 4–7
hari. Nimfa kutu ini akan melewati tiga tahap selama 20–40 hari. L. caponis
dewasa relatif tidak aktif dan dapat bertahap hidup sampai 35 hari (Wall dan
Shearer 1997). L. caponis memakan partikel bulu dan kadang-kadang
memakan runtuhan kulit. Infestasi kutu ini dalam jumlah banyak dapat
menyebabkan kegelisahan dan iritasi kulit pada ayam. Ayam muda rentan
terhadap infestasi yang berat, khususnya ketika mengalami penyakit atau
malnutrisi. Adapun pada Gambar 3.5. bagian – bagian tubuh L. caponis.
30
Keterangan:
Bagian–bagian tubuh L. A. Hyalin margin G.
caponis Coxa III B. Mandibula
(Setiawati, 2014) H.Femur III C. Nodus mata
I. Abdomen D. Antena seksual dimorfik
J. Tibia III E. Protoraks K.Tarsal claw
F. Pterotoraks L. Seta
d. Siklus Hidup
Siklus hidup kutu berdasarkan tingkatan metamorfosisnya
termasuk simple metamorphosis (tidak sempurna). Kutu betina
meletajjab telur 6-8 butir per hari, telur berbentuk oval dan
mempunyai operculum diletakkan pada bagian bulu/rambut inang
dengan zat perekat khusus disebut cement. Telurnya menetas
setelah 1-2 minggu menjadi nimfa. Nimfa yang merupakan
bentuk miniature daru dewasa tetapi memiliki organ reproduksi
yang belum sempurna. Stadium nimfa akan mengalami 3 kali
moulting, yaitu nimfa instar satu, dua, dan tiga. Nimfa instar
tiga akan berubah menjadi dewasa setelah 2-3 minggu dengan
ukuran maksimal 4,5 mm. Perkembangan kutu seluruhnya
terjadi pada inangnya. Kutu jantan dan betina mengisap darah
inang setiap saat sejak stadium nimfa hingga dewasa (Hastutiek
dkk, 2013).
Kutu dari kelompok Ischnocera memiliki perbedaan
morfologi sesuai daerah tubuh unggas yang ditempati. Bentuk
tubuh kutu yang bulat dan lebar, sering terdapat pada bulu-bulu
yang lebih pendek, yaitu kepala dan leher. Pada bagian punggung
dan sayap ayam dapat ditemukan kutu berbentuk pipih yang dapat
menyelinap ke bagian sisi samping tubuh Perpindahan kutu dapat
terjadi secara horizontal, yaitu kontak antara ayam dengan ayam.
Kutu dapat hidup dan berkembang biak dalam waktu lama atau
seluruh hidupnya di tubuh ayam. (Wana 2001). Penyebaran kutu
pada tubuh ayam dibagi menjadi tiga, yaitu kepala, toraks, dan
abdomen. Hal ini menyebabkan inang dapat terinfestasi lebih
dari satu jenis kutu. Kerusakan
31
akibat infestasi kutu bergantung pada jumlah kutu, keadaan nutrisi, dan
penyakit yang diderita inang (Setiawati, 2014).
e. Pengendalian
Apabila dalam suatu populasi ungags telah terinfestasi kutu secara
terus menerus, maka diperlukan pengobatan baik secara langsung maupun
tidak langsung pada unggas yang terinfeksi. Kontrol dengan pemberian
serbuk atau spray pada litter merupakan kontrol secara tidak langsung yang
umum dilakukan. Beberapa insektisida yang direkomendasikan untuk litter
yang diberikan dalam bentuk serbuk antara lain : Carbaryl 5%, Coumaphos
5%, Malathion 4-5% dan Tetrachlorvinphos 50%. Dalam bentuk spray bisa
diberikan : Tetrachlorvinphos dichlorvos 0,5% dan Coumaphos 25%.
Fenitrothion 0,125% secara spray merupakan cara terbaik untuk M. gallinae
dan L. caponis (Hastutiek dkk, 2014).
d. Siklus Hidup
Mallophaga mengalami metamorfosis tidak lengkap (sederhana,
hemimetabolous) dimulai dari telur menetas menjadi nimfa dan melalui tiga
stadium nimfa, kemudian akan mengalami metamorfosis sampai dewasa.
Jenis kutu ini bersifat obligat. Obligat berarti seluruh stadiumnya, mulai dari
pradewasa sampai dengan dewasa hidup bergantung kepada inangnya (Hadi
dan Soviana, 2000).
Dalam siklus hidupnya, kutu betina menyimpan telurnya di bawah
bagian bulu sayap yang selanjutnya pada tubuh inang. Telur mengikat
dirinya pada bulu diantara ruang barb atau kait (percabangan dari
shaft/tulang bulu) dan pengeraman antara tiga sampai lima hari, selanjutnya
berubah menjadi nimfa dan berkembang melalui tiga tahapan instar sebelum
mereka mencapai kematangan seksual (Adang, 2008).
e. Patogenesa
Penularan kutu antar inang dapat terjadi melalui kontak langsung. Hal
ini juga terlihat pada burung-burung karnivor dalam penangkaran yang
menggunakan besi yang berlubang sehingga udara antar kandang dapat
keluar dan masuk secara bebas (Wijaya 2008). Pada bagian kepala jarang
ditemukan ektoparasit karena pada bagian kepala memiliki bulu yang
pendek dan tipis sehingga ektoparasit lebih memilih bagian lain pada
burung. Kutu akan mencari tempat yang aman pada tubuh inang seperti
bulu-bulu badan, sayap dan ekor (Saputro, 2011).
f. Gejala Klinis
Manifestasi C. columbae menyebabkan sedikit iritasi tetapi pada
infestasi yang tinggi dapat menimbulkan kegatalan sehingga unggas kurang
istirahat, kerusakan bulu, dan terkadang menyebabkan kerugian yang besar
pada inang. Iritasi disebabkan oleh aktifitas secara langsung atau karena
burung mematuk-matuk tubuhnya sendiri untuk menghilangkan rasa gatal
dan dapat menimbulkan luka serta kegundulan. Iritasi ini dapat
menimbulkan gangguan nafsu makan, penurunan berat badan dan
pertumbuhan terhambat (Novina 1992).
g. Kontrol
Tindakan pengendalian terhadap serangan ektoparasit pada unggas
antara lain berupa :
1. Dusting, adalah penggunaan serbuk atau powder untuk mengatasi
gangguan unggas terhadap parasit luar. Pada unggas penderita dapat
diberikan Sodium Fluorida pada pangkal sayap, bulu pada kepala, ekor,
dada, kedua sayap, kedua kaki/paha, dasar ekor, bawah lubang kloaka
dan punggung. Bisa juga digunakan DDT antara 5 – 10%
2. Dipping, adalah penggunaan larutan yang mengandung racun untuk
pemberantasan serangga dan dilakukan dengan cara mencelupkan unggas
pada larutan tersebut. Dipping sebaiknya dilakukan pada saat matahari
bersinar, tidak hujan, sehingga bulu cepat kering. Bahan kimia yang
digunakan untuk dipping berupa Sodium Fluorida atau Sodium
Flousilikat
d. Siklus Hidup
M. gallinae merupakan spesies kutu yang biasa ditemukan pada ayam
(Khan et al. 2003). M. gallinae sering dikenal sebagai kutu batang bulu
ayam (shaft louse) dan berwarna kuning pucat. Kutu betina memiliki
preferensi oviposisi pada bagian dasar bulu inangnya. Kutu ini dianggap
berbahaya bagi unggas muda. Infestasi kutu pada unggas muda yang masih
memiliki imunitas rendah menyebabkan stres sehingga rentan terhadap
infeksi penyakit serta menyebabkan kematian (Setiawan, 2013).
3.1.3 SIPHONAPTERA
3.1.3.1 Ctenocephalides felis
a. Singnalement
Jenis sampel : Kucing
Asal sampel : Diklinik House of Pet Malang
Tanggal pengambilan : 01 Juli 2018
Tanggal pengujian : 02 Juli 2018
b. Anamnesa
Kucing terlihat sedikit gatal pada tubuuhnya yang ditandai suka
menggaruk – garuk tubuhnya.
c. Klasifikasi dan Morfologi
Pemeriksaan dilakukan dengan metode mounting tanpa pewarnaan.
Sampel di dapat dari kucing di klinik House of Pet. Menurut Hastutiek, dkk
(2014), terdapat dua jenis pinjal Ctenocephalides berdasarkan inangnya,
yaitu Ctenocephlides felis dan Ctenocephalides canis, dua pinjal tersebut
dapat dibedakan dari bentuk dahinya, Ctenocephalides felis dahinya lebih
tinggi dibanding Ctenocephalides canis meskipun begitu, genus
Ctenocephalides sering ditemukan menyerang sapi dan manusia. Genus ini
dapat membawa penyakit yang disebabkan oleh Salmonella enteridis dan
Dipylidium caninum, adapun klasifikasi dari Ctenocephlides felis sebagai
berikut :
Kingdom : Animalia
Filum : Artrhopoda
Kelas : Insecta
Ordo : Siphonaptera
Famili : Pulicidae
Genus : Ctenocephalides
Spesies : Ctenocephalides felis
Ctenocephalides felis adalah salah satu spesies yang paling banyak di
Bumi. C.felis merupakan pinjal yang umum pada kucing dan anjing,
mereka juga menggigit hewan lain termasuk sapi dan manusia dan sebagai
induk semang cacing pita anjing Dipylidium caninum dan Filaria anjing
Dipetalonema reconditum. Cacing pita Dipylidium caninum dapat
ditularkan ketika kutu dewasa ditelan oleh hewan peliharaan atau manusia.
Dibawah ini adalah gambar Ctenocephalides felis yang didapatkan saat
pengamatan.
A B
Ctenocephalides felis betina (a), jantan (b) (Rust, 1997)
d. Siklus Hidup
Pinjal termasuk serangga Holometabolaus atau metamorphosis
sempurna karena daur hidupnya melalui 4 stadium yaitu : telur-larva-pupa-
dewasa. Pinjal betina bertelur diantara rambut inang. Jumlah telur yang
dikeluarkan pinjal betina berkisar antara 3-18 butir. Pinjal betina dapat
bertelur 2-6 kali sebanyak 400-500 butir selama hidupnya (Hastutiek dkk,
2013).
3.1.4 ARACHNIDA
3.1.4.1 Ripicephalus sanguineus
a. Signalement
Jenis sampel : Caplak
Ras/Breed : Anjing
Asal Sampel : Klinik Healthy Pet
Tanggal Pengambilan : 24 Juni 2018
Tanggal Pengujian : 27 Juni 2018
Media pengawet : KOH 10%
b. Klasifikasi dan Morfologi
Klasifikasi Rhipicephalus sanguineus adalah sebagai berikut :
Filum : Arthropoda
Kelas : Arachnida
Ordo : Acarina
Famili : Ixodidae
Genus : Rhipicephalus
Species : Rhipicephalus sanguineus
Caplak betina dewasa memiliki ukuran tubuh lebih besar daripada
caplak jantan. Panjang tubuh betina 1,24 mm – 11 mm dan lebar 4 – 7 mm.
Caplak betina bagian punggungnya berbentuk hek s ago n al. Panjang
jantan
1,7 – 4,4 mm dan lebar 1,24 – 1,55 mm. Caplak jantan memiliki lempeng
adanal yang menyolok. Caplak memiliki tiga pasang kaki (tahap belum
dewasa) dan empat pasang kaki (tahap dewasa) serta berwarna coklat gelap
(Borror,1993).
Caplak ini paling sering ditemukan pada kepala, leher, telinga dan
telapak kaki anjing. Lekuk anus terletak lebih posterior. Pada
pasangan koksa pertama terdapat celah. Basis kapituli berbentuk segi
enam. Pada kapituli terdapat bagian alat-alat mulut, palpi, kalisera,
hipostoma. Caplak ini memiliki festoon dan mata, tetapi tidak memiliki
hiasan pada skutum.
Rhipicephalus sanguineus (Dokumentasi pribadi, 2018)
c. Hospes
Caplak ini sering menyerang anjing, tetapi dapat juga ditemukan pada
sapi, kambing, dan domba.
d. Siklus hidup
Siklus hidup R. sanguineus memerlukan three host tick seperti pada
gambar. Masing-masing pada stadium larva, nimpa, dan dewasa. Bila caplak
sudah kenyang, maka akan menjatuhkan diri dan bertelur di lantai. Telur
menetas menjadi larva setelah 17-30 hari. Larva segera mencari anjing di
sekitarnya sebagai inang pertama untuk dihisap darahnya selama 2-4 hari.
Larva kemudian menjatuhkan dri dan berganti kulit menjadi nimpa dalam
waktu 5-23 hari. Nimpa akan mencari makan dengan menghisap darah
anjing kembali (inang kedua) selama 4-9 hari. Selanjutnya nimpa erubah
menjadi caplak dewasa setelah 11-73 hari. Caplak dewasa akan mencari
anjing lagi sebagai inang ketiga. Caplak betina akan mencari tempat yang
terlindung dari tubuh hewan dan menghisap darah sampai tubuhnya
membesar dan siap bertelur. Pada tubuh anjing inilah caplak dewasa akan
melakukan perkawinan. Caplak jantan mati setelah kawin sedangkan caplak
betina mati setelah bertelur. Secara keseluruhan waktuu yang diperlukan
dari mulai telur sampai dewasa diperlukan waktu 40-200 hari.
c. Siklus Hidup
Siklus hidup yang dijalani caplak berupa telur-larva-nimfa-caplak
dewasa. Caplak dewasa setelah kawin akan menghisap darah sampai
kenyang, lalu jatuh ke tanah dan disinilah caplak bertelur. Larva yang baru
menetas segera akan mencari inangnya dengan pertolongan benda-benda
sekitarnya serta bantuan alat olfaktoriusnya. Setelah mendapatkan inangnya,
caplak akan menghisap darah inang hingga kenyang (enggorged) lalu akan
jatuh ke tanah atau tetap tinggal pada tubuh inang tersebut dan segera
berganti kulit (molting) menjadi nimfa. Nimfa menghisap darah kembali,
setelah kenyang akan jatuh ke tanah dan berganti kulit menjadi caplak
dewasa (Hadi, 2011). Caplak betina setelah kenyang menghisap darah dapat
membesar sampai 20-30 kali ukuran semula. Satu siklus hidup berkisar
antara 6 minggu sampai tiga tahun. Caplak dewasa dapat bertelur sekitar
100-18.000 butir/caplak. Caplak memerlukan ± 1 tahun untuk
menyelesaikan satu siklus hidup di daerah tropis dan lebih dari satu tahun di
daerah lebih dingin (Dwibadra, 2008). Caplak sapi Boophilus microplus
tergolong caplak berumah satu yaitu semua stadiumnya (larva, nimfa, dan
dewasa) tinggal dalam satu inang yang sama, begitu pula proses pergantian
kulit dan perkawinan (Hadi, 2011).
d. Peran Boophilus microplus sebagai Vektor Penyakit
Caplak sapi atau Boophilus microplus adalah ektoparasit pengisap darah
sehingga menyebabkan anemia pada ternak tersebut. Ektoparasit adalah
parasit yang hidupnya pada bagian luar tubuh atau permukaan tubuh
inangnya (Hadi dan Soviana 2010). Selain mengisap darah B. microplus
juga merupakan vektor berbagai penyakit parasit darah diantaranya penyakit
Babesiosis (Babesia bovis dan B. bigemina), Anaplasmosis (Anaplasma
marginale) serta Equine- piroplasmosis (Theileria equi) (Jongejan dan
Uilenberg 2004). Disamping itu luka bekas gigitan caplak dapat
mengundang kehadiran lalat hijau Chrysomia untuk bertelur pada luka
tersebut sehingga menyebabkan belatungan (miasis). Pada kasus belatungan,
infestasi larva lalat pada awalnya terjadi pada jaringan kulit yang luka,
selanjutnya larva bergerak lebih dalam menuju ke jaringan otot sehingga
luka melebar dan bau busuk menyengat. Kondisi tersebut menyebabkan
tubuh ternak terganggu, demam disertai penurunan nafsu makan sehingga
sangat merugikan peternak (Gunandini, 2006).
e. Gejala Klinis
1. Iritasi dan Penurunan Produksi
Tusukan hipostom menyebabkan iritasi dan kegelisahan sehingga
aktivitas dan waktu istirahat inang akan berkurang. Tusukan hipostom
akan memperbesar faktor “stress” yaitu banyak energi yang terbuang,
sehingga akan menurunkan efisiensi pakan dan sekaligus menghambat
laju pertumbuhan badan dan daya produksi.
2. Anemia dan Kematian
Anemia dapat terjadi terutama pada anak sapi dan betina bunting serta
sering terjadi kematian. Caplak betina Boophilus microplus menghisap
darah 0,5-1,0 ml untuk menyempurnakan perkembangannya. Sapi
terinfestasi caplak memiliki tingkat kesembuhan yang sangat lambat
karena masih adanya elemen toksin dalam sekresi saliva caplak. Akibat
infestasi caplak ini terjadi penurunan jumlah sel darah merah, serum
protein, dan haemogobin.
3. Tick Paralisa
Gejala yang ditimbulkan dapat berupa inkoordinasi dan kelemahan
otot kaki belakang, paralisa panca indra, kaki depan, oesofagus dan
wajah, kesulitan menelan, kematian akibat paralisa otot pernafasan
(Soedarto, 2003).
f. Pengendalian
Kontrol dengan bahan kimia dapat dilakukan pada fase bebas maupu
fase parasitik. Adapun aplikasi penggunaan bahan kimia atau akarisida bisa
sebagai berikut:
1. Perendaman (plunge dipping)
Ternak dilewatkan pada suatu kolam larutan insektisida/akarisida.
Ternak dilewatkan pada kolam tersebut dan diusahakan seluruh tubuhnya
terendam/kontak dengan larutan insektisida seperti azuntol. Perendaman
dapat dilakukan sebanyak dua kali dalam satu siklus hidup caplak.
2. Penyemprotan (showering or spraying)
Penyemprotan dapat dilakukan dengan menggunakan alat semprot
secara merata pada seluruh tubuh hewan maupun dengan menggunakan
mesin. Penyemprotan dan pembersihan dengan menggunakan tangan
(hand spraying and hand washing).
3.1.5 ACARIFORMES
3.1.5.1 Sarcoptes scabiei
a. Signalement
Jenis Hewan : Kelinci
Warna : Putih
Lokasi Pengambilan : Pasar Bratang
Tanggal Pengambilan : 27 Juni 2018
Tanggal Pengujian : 28 Juni 2018
Media Pengawet : KOH 10%
b. Hasil Pengamatan
d. Siklus Hidup
Riwayat hidup Astigmata meliputi empat tahap makan motil (larva,
protonymph, deutonymph, dan adult) dan satu tahap non feeding, yaitu
deutonymph. Deutonymphs memiliki mulut yang tidak berfungsi dan
modifikasi morfologi untuk lampiran phoretic ke host (misalnya, setae
ventral dimodifikasi menjadi sucker-plate). Tungau bulu dan anggota lain
dari Psoroptidia tidak memiliki tahap deutonymphal. Hal ini mungkin
mencerminkan mengurangi kebutuhan untuk transportasi phoretic di tungau
secara wajib simbiosis. Beberapa non-Psoroptidia yang hidup di habitat
permanen juga telah kehilangan deutonymph fiketik. Satu-satunya
kelompok Psoroptidia dengan anggota nonsymbiotic, tungau debu
(Pyroglyphidae), juga tidak memiliki deutonymphs (Proctor, 2003).
Tungau bulu berbagi banyak sifat reproduksi dengan Astigmata
lainnya. Tungau jantan memiliki organ intromittent sclerotized (aedeagus)
dan tungau betina memiliki gerbang sanggama sekunder (copulatory pore,
sperm pore) yang terbuka pada dorsum posterior. Panjang aedeagus cukup
bervariasi, bahkan di dalam genus (misalnya, Proctophyllodes). Pada tungau
jantan, aedeagus adalah proyeksi singkat jari, dan bentuk ini masih
dimanifestasikan oleh sebagian besar (jika tidak semua) syringicolous dan
dermicolous feather tungau. Dalam banyak tungau plumicolous yang
ditemukan di bulu terbang, aedeagus lebih panjang, kadang sepertiga hingga
setengah panjang tubuh jantan (Proctor, 2003)..
e. Cara penularan
Kontak langsung antara ayam yang terserang tungau Dininia sp.
dengan yang tidak, Adanya angin yang membawa terbang tungau pada
ayam yang sedang mengeram ke kandang ayam lainnya, Ketika burung
muda atau ayam yang meninggalkan sarang atau mati, dengan tungau yang
banyak (sering puluhan ribu) dapat tertinngal karena tidak adanya inang
yang sesuai, tungau ini akan menyebar dari permukaan ke dalam sarang dan
seluruh kandang (Murtidjo, 2011).
f. Gejala Klinis
Tungau ini mengganggu ayam buras pada semua umur yang
dipelihara secara ekstensif. Akibatnya, ayam kurang tidur, gelisah, stres,
lesu, dan terganggu saat mengeram sehingga banyak telur yang tidak
menetas. Gangguan tungau bulu jika tidak emndapat penanganan dapat
menyebabkan penurunan produksi telur, bahkan bisa berhenti sama sekali
(Murtidjo, 2011).
g. Kontrol
1. Pengobatan
Ayam yang termanifestasi tungau dapat diobati dengan cara
memandikan dengan campuran air sabun dan belerang. Setiap 10 liter air
dimasukkan 50 gr sabun detergen dan 100 gr serbuk belerang. Selesa
dimandikan, seluruh permukaan tubuh ayam diolesi salep belerang secara
merata. Bila perlu, bagian tubuh ayam disemprot dengan insektisida yang
tidak berbahaya supaya sisa-sisa gurem habis semua. Ayam yang
terserang diobati dengan disemprot atau dicelupkan kedalam larutan
cypermethrin
2. Pengendalian
Pengendalian tungau pada bulu ayam dapat dilakukan dengan
berbagai cara, yaitu :
a. Menggunakan coumaphos 0,25% sebanyak 0,8-1 galon untuk 100
ekor ayam, dengan cara semprotan
b. Menggunakan carbaryl dengan dosis 6,25 gr yang dilarutkan dalam 3
liter air untuk 33 ekor ayam dan efektif membunuh dalam waktu
kurang dari 15 menit
c. Menggunakan malathion dengan dosis serbuk malathion 4-5% setiap
0,5kg ayam. jika dalam bentuk semprotan, dosisnya 0,5% dicampur
dengan 4 liter air untuk setiap ekor
3.2 HELMINTH
3.2.1 Ascaridia columbae dan Ascaridia galii
a. Signalement Sampel
Jenis sampel : Saluran pencernaan (caecum), dan feses
Ras/Breed : Merpati, Ayam kate
Asal Sampel : Pasar Hewan Bratang
Tanggal Pengambilan : 27 Juni 2018
Tanggal Pengujian : 29 Februari 2018
Media pengawet : Formalin 10% (feses)
b. Klasifikasi dan Morfologi
Pada pemeriksaan cacing Ascaridia sp. yang dilakukan, sampel
diambil dari saluran pencernaan erpati dan feses ayam kate. Dari kedua
sampel ditemukan adanya cacing Ascaridia sp. pada saluran pencernaan
merpeti dan telur cacing Ascaridia sp. pada feses ayam kate. Menurut
Bedryman dkk. (2013), spesies cacing yang ditemukan pada merpati
disebut dengan Ascaridia columbae dan pada ayam kate disebut dengan
Ascaridia galli. Klasifikasi cacing Ascaridias sp. adalah sebagai berikut:
Kingdom : Animalia
Kelas : Nematoda
Ordo : Ascaridia
Famili : Ascarididae
Genus : Ascaridia
Spesies : Ascaridia columbae, Ascaridia galli
Mulut Ascaridia sp. dilengkapi dengan tiga bibir, satu dorsal dan dua
lateroventral. Panjang cacing jantan 50-76 mm, sedangkan betina memiliki
panjang tubuh 72-116 mm. Posterior cacing jantan memiliki alae yang
jelas, dilengkapi papil 10 pasang dan alat penghisap perkloaka, dua spikula
langsing panjang hampir sama panjang. Vulva terletak sedikit anterior
tengah-tengah tubuh. Telur oval, berdinding rata, belum berkembang saat
dikeluarkan bersama tinja, berukuran 73-93 x 45-57 µm (Bendryman dkk.,
2013).
A B C
(A) (B)
(A)Cacing Passalurus ambiguus, (B)Telur cacing Passalurus ambiguus
(Rinaldi et al., 2007)
Telur Passalurus ambiguus dengan perbesaran 400x
(Dokumentasi pribadi, 2018)
d. Siklus Hidup
Siklus hidup dari Passalurus ambiguus adalah langsung atau tidak
membutuhkan inang perantara. Telur yang keluar bersamaan dengan feses,
termakan oleh hospes. Di dalam tubuh host, telur yang berisi larva menetas
di dalam usus halus. Proses ini berlangsung sekitar 24 jam. Larva akan
berkembang menjadi cacing dewasa yang berada di sekum. Perkembangan
larva menjadi cacing dewasa membutuhkan waktu sekitar 3 hari (Waldeen,
1999).
e. Patogenesa dan Gejala Klinis
Keberadaan cacing Passalurus ambiguus di dalam saluran pencernaan
dapat menyebabkan stasis saluran pencernaan. Cacing menyumbat saluran
pencernaan sehingga terjadi gangguan motlitas saluran cerna. Passalurus
ambiguus dewasa yang berada di sekum menyebabkan impaksio sekum.
Reaksi inflamasi yang disebabkan oleh cacing menyebabkan perubahan
epitel mukosa usus dan sekum (Waldeen, 1999).
Gejala klinis non spesifik yang muncul akibat infeksi Passalurus
ambiguus diantaranya: anoreksia, penurunan berat badan, diare, dan lemas.
Gejala klinis lain yang mungkin ditemukan adalah keberadaan cacing
Passalurus ambiguus dewasa yang keluar bersama dengan feses (Rinaldi
et al., 2007)
f. Terapi
Terapi pada kasus infeksi Passalurus ambiguus diantaranya:
a. Piperazine dosis 200 mg/kg BB PO, diulang setelah 14 hari (Hilyer and
Queensberry, 1997)
b. Thiabendazole dosis 100-200 mg/kg BB PO (Brown, 1993)
3.2.8 Bunostomum trigonocephalum
a. Signalement Sampel
Jenis sampel : Feses Domba
Asal sampel : Kebun Binatang Surabaya
Tanggal pengambilan : 5 juli 2018
Tanggal pengujian : 5 Juli 2018
Media pengawet : Formalin 10%
b. Morfologi
Berikut merupakan klasifikasi dari cacing Bunostomum
trigonocephalum:
Kingdom : Animalia
Filum : Nemathelmintes
Kelas : Nematoda
Ordo : Strogylida
Family : Ancylostomatidae
Genus : Bunostomum
Spesies : Bunostomum trigonocephalum
Bunostomiasis merupakan suatu penyakit yang disebabkan oleh
infeksi cacing genus Bunostomum. Cacing ini aktif menghisap darah yang
umumnya menyerang ternak ruminansia. Bunostomum merupakan jenis
cacing nematoda yang berbentuk gilig yang mempunyai saluran
pencernaan dan tubuh berongga. Bunostomum dapat menyerang ternak
muda maupun dewasa, ternak muda lebih rentan terhadap infeksi
bunostomum (Van et al., 2013).
Cacing jantan memiliki panjang sekitar 12-17 mm, sedangkan cacing
betina berukuran 19-26 mm. Dikenal dengan cacing kait karena pada
bagian ujung depan (kepala) cacing membengkok ke atas sehingga
berbentuk seperti kait. Telur Bunostomum berbentuk lonjong, berukuran
sekitar 85-100 s 50-60 mm. Telur bunostomum memiliki 4-8 blastomer
(Taylor et al., 2007).
Telur Bunostomum trigonosephalum (Zajac et al., 2012)
e. Gejala Klinis
Infeksi parasit ini dapat menyebabkan erosi mukosa usus, anoreksia,
penurunan berat badan, diare. Pada hewan muda dapat menyebabkan
pertumbuhan terhambat. Penetrasi larva ke kulit dapat menyebabkan
terbukanya permukaan kulit interdigital sehingga dapat menjadi pintu
masuk bakteri sehingga menyebabkan foot rot (Ballweber, 2001).
f. Terapi
Domba atau sapi yang terinfeksi parasite ini dapat di obati dengan
menggunakan Eprinomectrin 0.5 mg/kg berat badan atau Ivermectin, 0.2
mg/kg berat badan secara SC (Foreyt, 2001).
3.2.13 Parascaris equorum
a. Signalement sampel
Jenis sampel : Feses
Ras/Breed : Kuda
Asal Sampel : Mega star
Tanggal Pengambilan : 1 Juli 2018
Tanggal Pengujian : 5 Juli 2018
Media pengawet : Formalin 10%
b. Morfologi dan Klasifikasi
Parascaris equorum berbentuk subglobular, lapisan albumin yang
tebal, berwarna emas kecoklatan.Telur ini memiliki diameter berukuran
90-100 µm dan telur ini dapat tahan terhadap densifektan, suhu tinggi,
sinar matahari serta dapat bertahan hingga 10 tahun pada lingkungan.
Cacing dewasa P. equorum merupakan nematoda terbesar yang dapat
menginfeksi kuda, bewarna putih, ditemukan di usus halus dan cacing ini
memiliki panjang 40 cm (Ballweber, 2001).
Berikut ini merupakan klasifikasi dari Parascaris equorum :
Kingdom : Animalia
Filum : Nematoda
Kelas : Chromadorea
Ordo : Ascarida
Famili : Ascarididae
Genus : Parascaris
Spesies : Parascaris equorum
e. Gejala Klinis
Infeksi Eurytremiasis umumnya mempunyai gejala yang ringan. Pada
infeksi Eurytremiasis yang berat dapat menyebabkan fibrosis dan atrofi
pada saluran pankreas. Infeksi ini juga dapat menyebabkan gangguan
gastrointestinal seperti muntah, diare, kembung dan konstipasi. Hal
tersebut dapat menyebabkan kerugian produksi seperti penurunan berat
badan, penurunan produksi susu (Zajac and Conboy, 2011).
f. Terapi
Pengobatan efektif yang dapat digunakan pada infeksi Eurytremiasis
dengan mengggunakan praziquantel dosis 20 mg/kg berat badan selama 2
hari atau menggunakan albendazole dosis 7,5 mg/kg berat badan untuk
pengobatan pada domba, sedangkan pengobatan pada sapi menggunakan
albendazole dosis 10 mg/kg berat badan (Ballwear, 2001).
f. Morfologi
Berikut klasifikasi Haemoproteus columbae (Levine, 1985) :
Kingdom : Haemosporida
Phylum : Apicomplexa
Class : Sporozoasida
Sub-Class : Coccidiasina
Order : Eucoccidiorida
Family : Plasmodidae
Genus : Plasmodium
Species : Plasmodium sp.
Plasmodium sp. adalah protozoa yang terdapat didalam darah,
khususnya sel eritrosit dari bangsa burung. Plasmodium sp. ada protozoa
yang dapat menyebabkan penyakit malaria. Bentuk skizogoni terdapat
pada sel darah merah hospes, sedangkan bentuk gametogoni dan sporogoni
terjadi disaluran pencernaan vektor yaitu invertebrata. Bentuk gametosit
Plasmodium sp. adalah bundar dengan pigmen bergranul yang relatif
besar, sedangkan bentuk skizonnya bundar atau tidak beraturan dan dapat
menghasilkan 3 – 8 merozoit dalam satu siklus (Lucia dkk., 2012).
g. Siklus Hidup
Siklus hidup Plasmodium sp. dimulai dari sporozoit yang dibawa
vektor masuk ke aliran darah hospes melalui gigitan. Sporozoit kemudian
berkembang menjadi skizon pada makrofag kulit. Skizon mengandung
merozoit, merozoit yang dibebaskan akan masuk ke eritrosit dan sebagian
masuk ke sel endotel membentuk skizon eksoeritrosit. Merozoit dan skizon
dapat menginfeksi eritrosit baru membentuk makrogamet dan mikrogamet.
Makrogamet dan mikrogamet yang terhisap oleh vektor akan mengalami
fertilisasi menjadi zigot atau ookinet di usus vektor, zigot akan menembus
dinding usus dan mengalami sporogoni sehingga ookinet berkembang
menjadi ookista dan pecah melepaskan sporozoit, sporozoit kemudian
bermigrasi ke kelenjar air ludah vektor dan berpoten si menularkan
penyakit (Ali and Sultana, 2015).
c. Morfologi
Menurut Levine dalam buku Suwanti dkk (2012), Balantidium
diklasifikasikan sebagai berikut:
Filum : Ciliaphora (Ciliata)
Kelas : Kinetofragminophorasida
Ordo : Trichostomatorida
Famili : Balantidiidae
Genus : Balantidium
Spesies: Balantidium coli
Dari genus ini yang penting adalah spesies Balantidium coli. Parasit
ini mempunyai dua stadium perkembangan, yaitu stadium trofozoit dan
kista. Stadium (bentuk) trofozoit (vegetate) berukuran panjang 150 µm,
makronukleus terletak di subterminal tubuh dan berbentuk halter.
Sitoplasma berisi beberapa vakuola makana dan dua vakuola kontraktil.
Stadium kista berbentuk ovoid sampai sperikal, berukuram 40-60 µm. Di
dalam kista masih terlihat makronukleus, mikronukleus dan vakuola
kontraktil. Silia tidak terlihat, tertutup dinding kista, dinding kista teridri
dari dua membrane. Parasit ini menyerang babi dan golongan primate
tinggi termasuk manusia. Habitat parasit dalam induk semang di lumen
kolonl induk semnag tertular karena menelan bentuk kista yang mencemari
makanan atau minuman (Suwanti dkk, 2012).
Anggota dari genus Balantidium bentuk vegetatifnya (trofozoit)
mempunyai bentuk oval sampai elips. Seluruh permukaan tubuh tertutup
oleh silia yang tersusun seperti deretan longitudinal, silia merupakan alat
gerak (lokomosi). Mempunyai dua inti yaitu makronukleus yang berbentuk
halter dan mikronukleus yang berbentuk bulat, bertanggung jawab dalam
proses reproduksi. Reproduksi (perkembangbiakan) dengan cara
pembelahan ganda atau dengan konjugasi. Stadium vegetative mempunyai
peristome (mulut) terletak di dekat ujung anterior dan berlanjut ke
sitofaring (cytopharynx) (Suwanti dkk, 2012).
d. Siklus Hidup
Siklus hidup Balantidiumvdimulai dari tertelannya pakan yang
tercemar oleh trophozoit. Pada stadium ini trophozoite bentuknya oval dan
besar serta dikelilingi cilia pendek yang memungkinkan begerak di dalam
usus besar. Stadium motil ini panjangnya 50 – 100 mikron dan lebarnya 40
– 70 mikron. Memiliki dua inti, inti yang besar berbentuk seperti kacang
disebut makronukleus dan yang lebih kecil disebut mikronukleus. Stadium
kedua berbentuk kista, bentuk ini bertanggung jawab menyebarkan parasit
ke inang baru. Ukuran diameter kista 50-70 mikron. Trophozoit dan kista
keluar dari usus bersama feses namun hanya kista yang tahan terhadap
kondisi lingkungan yang dapat bertahan hidup di luar tubuh untuk
selanjutnya mencemari air dan bahan makanan. Apabila kista termakan
kemudian menyilih (excysts) di dalam usus, bentukan motil ini mulai
memakan nutrisi yang terdapat di dalam sel, bahan karbohidrat dan bahan
organik lainnya (Winaya dkk, 2011).
e. Hospes dan Predileksi
Balantidium coli merupakan prasit pada usus besar manusia, babi,
kera, sapi, domba, dan kadang-kadang terdapat pada anjing serta bersifat
patogen. Predileksi dalam induk semang di lumen caecum dan colon.
Induk semang tertular parasit karena menelan bentuk kista yang
mencemari makanan dan minuman (Nawang, 2007).
f. Patogenesis dan Gejala Klinis
Babi merupakan induk semang utama. Dalam kondisi normal pada
feses babi ditemukan Balantidium coli. Apanila B. coli menginfeksi dalam
jumlah banyak, maka bervariasi ke mukosa dan membentuk ulsera,
keadaan inisering dihubungkan dengan enteritis. Balantidium coli juga
menyebabkan kerusakan pada inti dari epitel. Pada kasus yang berat dapat
menyebabkan disentri yang disertai perdarahan (Mufasirin dkk, 2016)
g. Pencegahan dan Pengobatan
Pencegahan penyakit ini dengan menjaga kebersihan lingkungan
termasuk vector mekanik pembawa penyakit seperti lalat, kecoa dan lain
sebagainya. Pengobatan dapat dilakukan dengan pemberian Carbazone 250
mg/hari selama 10 hari, atau Metronidazole, Tetracycline dan
Iodoquinolon (Mufasirin dkk, 2016).
BAB. 4 PENUTUP
4.1 Kesimpulan
Ahn Kyu Sun, Dae Sung Oh, Ah Jin Ahn, Guk Hyun Suh, Sung Shik Shin. 2013.
First Record of Bourgelatia diducta (Nematoda: Chabertiidae) from Wild
Boars in the Republic of Korea. Korean J Parasitol. Publish Online 2013
Aug 30. doi: 10.3347/kjp.2013.514.4.441.
Akoso, B.T. 2002. Kesehatan Unggas. Cetakan kelima. Penerbit Kanisius,
Yogyakarta. Hal 91,92;130-133.
Ali, Z. and S. Sultana. 2015. Avian Malaria. Technical Report. 2.1.2505.3282.
Anggraeni Yonita.2014. Identifikasi dan Prevalensi Cacing Pada Saluran
Pencernaan Ikan Kakap Merah (Lutjanus Sanguineus) di Pelabuhan
Perikanan Nusantara Brondong Lamongan Jawa Timur.[SKRIPSI]. Fakultas
Perikanan dan Kelautan. Universitas Airlangga.
Atkinson, C., N.J Thomas, and D.B. Hunter. 2008. Parasitic Disease of Wild
Bird. Willey-Blackwell Publishing: NJ.
Ballweber, Lora, R. 2001. The Practical Veterinarian, Veterinary Parasitology.
Butterworth-Heinemann. USA.
Balqis Ummu., Darmawi, Muhammad Hambal, Risa Tiuria.2009. Perkembangan
Telur Infektif Ascaridia galli Melalui Kultur In Vitro. J. Ked. Hewan Vol. 3
No. 2 .September 2009.
Bendryman.S.Sri, Setiawan K., Sri M.Sosiawati, dan Kusnoto.2013. Buku Teks
Helminthiasis Veteriner. Global Persada Press: Surabaya.
Borror, D. J., C. A. Triplehorn dan N. F. Johnson. 1992. Pengenalan Pelajaran
Serangga. Edisi Keenam. Alih bahasa: Soetiyono Partosoedjono. Gadjah
Mada University Press, Yogyakarta.
Bowman DD & Georgi JR. 2009. Georgi’s Parasitology for Veterinarians. United
Kingdom: Elsevier Health Sciences.
Bowman, et al. 2002. Feline Clinical Parasitology. IOWA State University.
America.
Brown, H. W. 1975. Basic Clinical Parasitology. 4thEd. Appleton Century
Crofts. 185-187.
Brown, S. 1993. Rabbit Drugs Dosage. Rabbit Health Newa 15: 491-518
Buzetti WA, Machado RZ, Zocoller MC. 2001. An Enzyme-Linked
Immunosorbent Assay (ELISA) for Detection of Antibodies Against
Toxocara vitilorum in Water Buffaloes. Veterinary Parasitology 97 (2001)
55-64.
Claiton, Schwertz, I., Neuber J., Lucca, Piotr Baska, Mateus E.,
Gabriel, and Ricardo E.,Mendes.2015. Eurytrematosis. An emerging and
neglected disease in South Brazil. World.J,Exp.Med. 2015 Aug 20; 5(3).
160–163.
Dewi, A . P., Fatiyah, E., Rochmadiyanto dan Imron, K. 2012. Hasil Monitoring
Penyakit Parasiter pada Kambing di Jawa Tengah Tahun 2011, Buletin
Laboratorium Veteriner Vol :12 No :1 Tahun 2012. Balai Besar Penelitian
Veteriner. Yogyakarta. Halaman : 384.
Direktorat Kesehatan Hewan. 2014. Manual Penyakit Hewan Mamalia: Cetakan
Ke-2. Subdit Pengamatan Penyakit Hewan Direktorat Kesehatan Hewan:
Jakarta. Hlm. 354-360.
Dwibadra D. 2008. Tungau, Caplak, Kutu dan Pinjal. Bogor (ID): LIPI.
Estuningsih, S.E. 2005. Toxocariasis Pada Hewan dan Bahayanya Pada
Manusia. Warta Zoa, Vol 15 No: 3 P. 136-142.
Foreyt, W.J., 2001. Veterinary Parasitology, Reference Manual, 5th ed. Iowa
State University Press. Blackwell Publishing.
Gunandini DJ.2006. Caplak atau Sengkemit dalam Hama Pemukiman Indonesia:
Pengenalan, Biologi, dan Pengendalian. Sigit HS, Hadi UK, editor. Bogor
(ID): Unit Kajian Pengendalian Hama Pemukiman. hal 150-157.
Hadi UK dan Soviana S.2010. Pengenalan, Identifikasi dan Pengendalian
Caplak. Bogor (ID): IPB Press.
Hadi UK. 2011. Bioekologi Berbagai Jenis Serangga Pengganggu pada Hewan
Ternak di Indonesia dan Pengendaliannya. Bogor (ID): Dept. Ilmu Penyakit
Hewan dan Kesmavet FKH IPB.
Hadi, U.K. dan Saviana S.2000. Ektoparasit: Pengenalan, Diagnosis dan
Pengendaliannya. Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor.
Bogor. Hal.: 9-14.
Hastutiek, P, dkk.,.2013, Ilmu Penyakit Arthropoda Veteriner. Airlangga
University Press. Surabaya.
Hastutiek, P, dkk.,.2014. Ilmu Penyakit Arthropoda Veteriner. Airlangga
University Press. Surabaya.
Hastutiek, P. dan Fitri, Loeki E. 2007. Potensi Musca domestica linn. sebagai
Vektor Beberapa Penyakit. Jurnal Kedokteran Brawijaya, Vol. XXIII, No. 3.
Hendrik, Charles, M. and Robinson. 2006. Diagnostic Parasitology for Veterinary
Technicians.ed 3 th. Mosby Elsevier. USA.
Henry, J. 1987. Handbook of Veterinary Parasitology. University Avenue
Southeast: Minessota.
Hilyer, V and Queensberry, K. 1997. Ferrets, Rabbits, and Rodents. Clinical
Medicine and Surgery. W.B Saunders Company.
Hiney, K., and Giedt, Elisabeth J. 2010. Common Internal Parasites of the Horse.
Oklahoma Cooperative Extension ANSI-3932-2.
Humphrey,J.D.,J.P. Spradbery and R.S. Tozer. 1980. Chrysomya
bezziana:Pathology of old world screw-worm fly infestations in cattle. Exp.
Parasitol. 49: 381-397.
Jahja, J., L. Lestraningsih., N. Fitria, Murwijati dan T. Suryani. 2006. Penyakit-
penyakit Penting Pada Ayam. Bandung.
Jongejan F dan Uilenberg G. 2004. The Global Importance Tick [internet].
[diunduh pada 8 Juli 2018]. Tersedia pada http://
http://cbpv.org.br/artigos/- CBPV_artigo_017.pdf.
Kamaruddin, Mufti.dkk.. (2003). Buku Ajar Parasitologi Veteriner. Fakultas
Kedokteran Hewan Universitas Syiah Kuala, Darussalam, Banda Aceh.
Kaufmann, Philips E., and Weeks, Emma NI. 2003. Stable Fly Stomoxys
calcitrans. University of Florida.
Khan MN, Nadeem M, Iqbal Z, Sajid MS, Abbas RZ. 2003. Lice infestation in
poultry. Int. J Agri Biol 5(2):213-216.
Kocan, K.M., J De La F, E.F., Blouin, J.C., Garcia. 2004. Anaplasma marginale
(Rickettsiales:Anaplasmataceae) Recent Advances in Defining Host-
Pathogen Adaptations of a Tick-Borne Rickettsia. Parasitol. 129:285–300.
Kusnoto, Sri Subekti Bendryman, Setiawan Koesdarto, Sri Mumpuni Sosiawati.
2010. Helmintologi Veteriner. Airlangga University Press. Surabaya.
Kusnoto, Sri Subekti Bendryman, Setiawan Koesdarto, Sri Mumpuni Sosiawati.
2011. Ilmu Penyakit Helmint. Airlangga University Press. Surabaya.
Kusnoto, Subekti, S., Bendryman, Koesdarto, S, dan Mumpuni, S., Sosiawati.
2011. Buku Ajar Ilmu Penyakit Helmint. Airlangga University Press.
Surabaya.
Kusnoto., Koesdarto, S., Subekti, S., dan Sosiawati, MS. 2010. Buku Ajar
Helmintologi Veteriner. Surabaya: Airlangga University Press.
Kusumamihardja S.1992. Parasit dan Parasitosis pada Hewan Ternak dan
Hewan Piaraan di Indonesia. Bogor: Pusat Antar Universitas Bioteknologi
Institut Pertanian Bogor.
Kusyanto. 2001. Kadar Antibodi Serum Sapi Bali (Bos sondaicus) terhadap
Infestasi Alami Boophilus microplus dengan Uji ELISA Tidak Langsung
[skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.
Lapage, G. 1956. Veterinary Parasitology. Oliver and Boyd Ltd. London. Hal :
377.
Lasisi et al., 2010. Anaemia and Mortality in Calves Caused by the Short-Nosed
Sucking Louse ( Haematopinus eurysternus ) (Nitzsch) in Ibadan. Nigerian
Veterinary Journal 2010 (31) 4.
Levine ND. 1985. Veterinary Protozoologi. 1st ed, Ames: Iowa State University
Press.
Levine ND. 1994. Buku Pelajaran Parasitologi Veteriner. Yogyakarta: Gadjah
Mada University Press.
st
Levine, N.D. 1985. Veterinary Protozoology, 1 edition. Lowa States University
Press: Ames.
Levine, N.D. 1990. Parasitologi Veteriner. (Diterjemahkan oleh G. Ashadi).
Gadjah Mada University Press, Yogyakarta.
Lucia, T.S., N.D.R. Lastuti, E. Suprihati, dan Mufasirin. 2012. Buju Ajar
Protozoologi Veteriner. Pusat Penerbitan dan Percetakan Unair: Surabaya.
Mirzai, I dan Kurniahsih. 2002. Identifikasi Cacing Eurytrema Sp. pada Ternak
Sapi Berdasarkan Ciri-Ciri Morfologis. Seminar Nasional Teknologi
Peternakan dan Veteriner.
Mȍnnig, H.O. 1950. Veterinary Helmintology and Entomology (3th Edition ed.).
Baltimore the williams and Wilkins Company. South Afrika.
Mufasirin, Dyah N.R, Suprihati E, Tri L.S, 2016. Buku Ajar Ilmu Penyakit
Protozoa. Departemen Parasitologi Veteriner. Fakultas Kedokteran Hewan
Universitas Airlangga. Airlangga University Press: Surabaya.
Mukhtar, Rahmi. 2016. Perkembangan dan Gambaran Anatomis Larva Infektif
3(L3) Haemonchus contortus yang Dibiakkan Dengan Vermicullite. Aceh:
Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Syah Kuala.
Murtidjo, Bambang, Agus. 2011. Pengendalian Hama dan Penyakit Ayam.
Kanisius. Yogyakarta.
Mwale M, Masika P J. 2010.Point Prevalence Study Of Gastro-Intestinal
Parasites In Village Chickens Of Centane District, South Afrika. University
Of Fort Hare. Soult Africa. African Journal of Agricultural Research Vol.
6(9), pp. 2033- 2038, 4 May, 2011.
Neva A and Brown HW.1994. Basic Clinical Parasitology. 6 th Ed. Prentice-Hall
International Inc. hal 191-193.
Noble, E.R. and Glenn, A. 1989. Parasitologi Biologi Parasit Hewan Edisi
kelima. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta. Hal : 386,717.
Norman D. Levine. 1994. Parasitologi Veteriner. Yogyakarta : UGM Press.
PalgunadiB.U.2010.Cutaneous Larva Migrans. Jurnal Ilmiah Kedokteran.
2010;2(1):31-1.
Panayotova-Pencheva MS. 2013. Parasites in captive animals: A review of studies
in some European Zoos. Zool Garten NF 82: 60-71.
Permin, A., P. Nansen, M. Bisgaard, Frandsen, and M. Pearman. 1998.Studies on
Ascaridia galli in chickens kept at different stocking rates.J. of Avi. Pathol.
27:382-389.
Prelezov, P.N., and Konarski, V. TS. 2006. Species Variety and Population
Structure of Mallophaga (Insecta: Phthiraptera) on Chickens In The Region
of Stara Zagora. Bulgarian Journal of Veterinary Medicine 9 No.3: 193-
200.
Proctor, Heather. 2003. Feather Mites (Acari: Astigmata):Ecology, Behavior, and
Evolution.Australian School of Environmental Studies, Griffith University,
Nathan 4111 Queensland.Annu. Rev. Entomol. 2003. 48:185–209.
Purwanta, Nuraeni, Hutauruk JD, Setiawaty S. 2009. Identifikasi cacing saluran
pencernaan (gastrointestinal) pada sapi Bali melalui pemeriksaan tinja di
Kabupaten Gowa. Jurnal Agrisistem. 5(1):10-21.
Rangkuti, Siti. 2014. Derajat Haemonchosis Berdasarkan Jumlah Cacing Dan
Telur Tiap Gram Tinja (TTGT) pada Domba Ekor Tipis. Bogor: Fakultas
Kedokteran Hewan IPB.
Retnani EB, Satrija F, Hadi UK, Sigit SH. 2007. Prevalensi dan derajat infeksi
cacing pita pada ayam ras petelur komersial di daerah Bogor. Jurnal
Veteriner 8(3): 139-146.
Rinaldi, F. Francouis, Leuer. Mitchel, Sarah. Juan, Hernandez. Passalurus
ambiguus: New Insights into Copromichroscopic Diagnosis and Cicardianj
Rythm of Egg Secretion. Parasitol Res. 2007. 101(3): 557-580.
Ristiyanto.,Handaani F.D., Boewono D.T., dan Heriyanto B. 2004. Penyakit Tular
Rodensia. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta.
Roepstorff A, and Murrell KD. 1996. Transmission dynamics of helminth
parasites of pigs on continuous pasture: Oesophagostomum dentatum and
Hyostrongylus rubidus. Danish Centre for Experimental Parasitology, Royal
Veterinary and Agricultural University, Bülowsvej 13, DK-1870
Frederiksberg C, Copenhagen, Denmark.
Rust MK, Dryden MW. 1997. The biology, ecology,and management of the cat
flea. Ann Rev Entomol 42:451–473.
Rymaszewska, A., S. Grenda. 2008. Bacteria of the Genus Anplasma-
Characteristics of Anaplasma and Their Vectors: A Review. University of
Szczecin: Poland. Veterinarni Medicina, 53, 2008 (11): 573–584.
Safar R.2010. Parasitologi Kedokteran. Yrama Widya:Bandung
Sanchez HA& Cappinera JL. 2014. House Fly, Musca domestica linneaus
(Diptera:Muscidae). The Entomolgy and Nematology departement.
University of Florida: IFAS Extension.
Sardjono Teguh Wahyu,Aswin Djoko Baskoro, Agustina Tri Endharti, Sri
Poeranto. 2017. Helmintologi Kedokteran dan Veteriner. Universitas
Brawijaya Press. Malang.
Sasmita R. Hastutik P. Sunarso A. Yunus M. 2013. Buku Ajar Arthropoda
Veteriner.Fakultas Kedokteran Hewan, Universitas Airlangga. Surabaya.
Schwartz, K, 2002. Swine Coccidiosis. Pork Industry Handbook. Michigan State
University.
Sembel DT. 2010. Pengendalian Hayati: Hama-hama Serangga tropis dan
Gulma. Yogyakarta: Andi Publisher.
Setiawan, Yanida Yusup. 2013. Efektivitas Sipermetrin Terhadap Kutu Menopon
gallinae dengan Metode Penyemprotan pada Ayam Petelur [Skripsi].
Fakultas Kedokteran Hewan. Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Setiawati, A.R. 2014. Ragam Jenis Kutu Pada Ayam Bukan Ras Di Pasar
Tradisional Kota Bogor. Skripsi. Institute Pertanian Bogor. Bogor.
Setiawati, D. L. 2000. Mortalitas Larva Culex dengan Ekatrak Umbi Gadung
(Dioscorea hispida Dennst) di Laboratorium. Skripsi. Fakultas Biologi.
UGM.
Sigit, H.S., F.X. Koesharto, U.K. Hadi, D.J. Gunandini dan S. Soviana. 2006.
Hama Pemukiman Indonesia, Pengenalan, Biologi dan Pengendalian. Unit
Kajian Pengendalian Hama Permukiman (UKPHP), Fakultas Kedokteran
Hewan IPB. Bogor.
Soulsby, E.J.L. 1986. Helminth, Arthropods, and Protoxoa of Domesticated
Animals.7th ed. Bailliere Tindal. London.
Soulsby, EJL. 1982. Helminths Arthropods and Protozoa of Domestic Animals.
Bailliere Tindall. United States America.
Soulsby, EJL. 1989. Helmints, Arthropods and Protozoa of Domestic Animals. 7th
ed Bailliere. Tindal.
Spradbery, J.P. 1991. A Manual for the Diagnosis ofScrewworm Fly. CSIRO
Division of Entomology.Canberra. Australia.
Subronto. 2006. Penyakit Infeksi Parasit dan Mikroba pada Anjing dan Kucing.
Gadjah Mada University Press. Yogyakarta.
Suwandi. 2001. Mengenal Berbagai Penyakit Parasitik pada Ternak.Balai
Penelitian Ternak, Bogor.
Tabbu, C.R.2002. Penyakit Ayam dan Penanggulangannya Volume 2.
Kanisius:Yogyakarta.
Tampubolon, M.P. 2004. Protozoologi. Bogor: Pusat Studi Ilmu Hayati Institut
Pertanian Bogor.
Tampubolon, MP. 2004. Petunjuk Laboratorium Protozoologi. Bogor. Pusat antar
Universitas Ilmu Hayat, IPB.
Taylor, M. A., Coop. R. L., Wall R. L. 2007. Veterinary Parasitology. Third
Edition. Oxfod: Blackwell Publishing.
Tayor, M., A., Coop, R., L and Wall, R., L. 2015. VeterinaryParasitology ed
th
4 .Willey Blackwell.USA.
Tierney, L.M., McPhee, M.A. & Papadakis, 2002. Current Medical Diagnosis and
Treatment. New York. Mc Graw Hill Company.
Tostes, R., U. Vashist, K.K.G. Scopel, C.L. Massard, E. Daemon, and M.
D’Agosto.
Urquhart G.M., J. Armour, J.L. Duncan, A.M. Dunn, F.W. Jennings. 1996.
Veterinary Parasitology. Blackwell Publishing. Scotland.
Urquhart, G. M., J. Armour., J. L. Duncan, A. M. Dunn, F. W. Jennings. 1987.
Veterinary Parasitology. Departement of Veterinary Parasitology, Faculty
of Veterinary Medicine. University of Glasgow. Hal : 164-69.
Urquhart, G.M., J. Armaur, H . Duncan, A .M. Doon And F.W. Jenning.1989.
Veterinary Parasitology. Long Man Scientific And Technical. New York .
Pp. 184 -187.
Valkiunas, G. 2004. Avian Malaria Parasites and Other Haemosporodia. CRC
Press: Boca Raton, FL.
Van Wyk, Jan A; Mayhew Estelle. 2013. Morfological identification of parasitic
nematode infective larvae of small ruminants and cattle: A partical lab
guide.
Vivotec, J and Koudela, B. 1990. Pathogenicity and Ultrastructural Pathology of
Eimeria debliecki (Douwes, 1921) in experimentally infected pigs, Folia
Parasitol (Praha). 37(3):193-9.
Waldeen, N. 1999. Rabbits: A Compendium Hungerford VADE MECUM Series of
Domestic Animal. Post Graduate Foundation in Veterinary Science.
University of Sydney: Sydney.
Walton, S.F ., C.H. Deborah, B .J . Currie And D .J . Kemp . 2004a . Scabies :
new future for a neglected disease . Adv. Parasitol . 57 : 309 - 376 .
Wana PW. 2001. Sebaran kutu (Menoponidae : Menopon dan Philopteridae:
Goniodes) pada beberapa bagian tubuh ayam Kampung [skripsi]. Bogor
(ID): Institut Pertanian Bogor.
Wardhana, A.H, Manurung, J, Iskandar, T. 2006. Skabies : Tantangan Penyakit
Zoonosis Masa Kini dan Masa Datang. Bogor: Wartazoa Vol.16 No. 1 Th.
2006.
Widiastuti Dyah, Novi T.A., Nova P., Tika F.S.2016. Infeksi Cacing Hymenolepis
nana dan Hymenolepis diminuta pada Tikus dan Cecurut di Area
Pemukiman Kabupaten Banyumas. Vektora Volume 8 Nomor 2, Oktober
2016:81-90.
Widnyana, I Gusti Ngurah Putu. 2013. Prevalensi infeksi parasit cacing pada
saluran pencernaan sapi bali dan sapi rambon di desa woshu kecamatan
bungku barat kabupaten morowali. Denpasar.
Winaya, Ida Bagus Oka., I Ketut Berata dan Ida Ayu pasti Apsari. 2011. Kejadian
Balantidiosis pada Babi Landrace. Fakultas Kedokteran Hewan Universitas
Udayana. Denpasar.
Yarni, R.2011. Cacing Parasit Pada Rusa (Cervus timorensis) di Taman Satwa
Kandi Sawahlunto. [Skripsi]. Jurusan Biologi FMIPA Universitas Andalas.
Padang.
Yudha, Susanty.2014. Identifikasi dan Program Pengendalian toxocara vitulorum
pada Ternak Ruminansia Besar. Fakultas Kedokteran Hewan Institut
Pertanian Bogor.
Zajac AM .2012. Clinical Veterinary Parasitology. Eighth edition. Blackwell
Publishing. Iowa.
Zajac AM, Conboy GA. 2011. Veterinary Clinical Parasitology. Ed ke-8. West
Sussex (US): J Wiley.