Anda di halaman 1dari 31

LAPORAN KEGIATAN PPDH

ROTASI DIAGNOSA LABORATORIK


SEROLOGI DAN VIROLOGI
yang dilaksanakan di
LABORATORIUM MIKROBIOLOGI DAN IMUNOLOGI
VETERINER
FKH UNIVERSITAS BRAWIJAYA MALANG

Oleh :
ILHAM MAULANA HABIBILLAH
190130100111053

PROGRAM PENDIDIKAN PROFESI DOKTER HEWAN


FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN
UNIVERSITAS BRAWIJAYA
MALANG
2019

i
LEMBAR PENGESAHAN

LAPORAN KEGIATAN PPDH


ROTASI DIAGNOSA LABORATORIK
SEROLOGI DAN VIROLOGI
yang dilaksanakan di
LABORATORIUM MIKROBIOLOGI DAN IMUNOLOGI VETERINER
FKH UNIVERSITAS BRAWIJAYA MALANG

Malang, 7 – 25 Oktober 2019

Oleh:
Ilham Maulana Habibillah, S. KH
190130100111053

Menyetujui,
Komisi Penguji

Pembimbing/Penguji 1 Penguji 2

drh. Indah Amalia Amri, M.Si drh. Sruti Ristra Adrenalin, M.Sc
NIP. 2013048709252001 NIP. 199204022019032029

Mengetahui,
Dekan Fakultas Kedokteran Hewan
Universitas Brawijaya

Dr. Ir. Sudarminto S. Yuwono, M.App.Sc


NIP. 19631216 1988031 002

ii
KATA PENGANTAR

Ucapan syukur kami panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas limpahan
rahmat, hidayah dan pertolongan-Nya sehingga kami dapat menyelesaikan kegiatan
koasistensi diagnosa laboratoris dan laporan hasil pengujian di Laboratorium
Mikrobiologi dan Imunologi Veteriner Fakultas Kedokteran Hewan Universitas
Brawijaya.
Kami menyampaikan terima kasih kepada seluruh pihak yang telah membantu
dalam melaksanakan kegiatan koasistensi diagnosa laboratoris di Laboratorium
Mikrobiologi dan Imunologi Veteriner Fakultas Kedokteran Hewan Universitas
Brawijaya, para dosen pengampu, asisten laboratorium, serta teman sejawat PPDH
yang telah bekerja sama dengan baik dalam mengumpulkan sampel dan
melaksanakan berbagai macam pengujian.
Kami berharap semoga Tuhan Yang Maha Esa membalas segala kebaikan dan
bantuan telah diberikan kepada kami selama melaksanakan koasistensi diagnosa
laboratoris di Mikrobiologi dan Imunologi Veteriner Fakultas Kedokteran Hewan
Universitas Brawijaya. Kami sadar bahwa laporan ini jauh dari sempurna. Kami
berharap semoga laporan hasil pengujian koasistensi diagnosa laboratoris ini dapat
digunakan sebagaimana mestinya, dapat memberikan manfaat serta menambah
pengetahuan tidak hanya bagi kami tetapi juga bagi pembaca, Aamiin.

Malang, 24 Oktober 2019

Mahasiswa PPDH Kelompok 4


Gelombang VI FKH UB

iii
DAFTAR ISI

HALAMAN
HALAMAN JUDUL ..................................................................................... i
LEMBAR PENGESAHAN ........................................................................... ii
KATA PENGANTAR ................................................................................... iii
DAFTAR ISI .................................................................................................. iv
BAB I PENDAHULUAN .............................................................................. 1
1.1 Latar belakang ................................................................................. 1
1.2 Tujuan .............................................................................................. 2
1.3 Manfaat ............................................................................................ 2
1.4 Rumusan masalah ............................................................................. 2

BAB II TINJAUAN PUSTAKA ................................................................... 3


2.1 New castle disease ............................................................................ 3
2.2 Telur ayam berembrio (TAB) .......................................................... 5
2.2.1 Inokulasi virus pada TAB ......................................................... 6
2.2.2 Uji hemaglutinasi dan uji hambatan hemaglutinasi ................ 7

BAB III MATERI DAN METODE .............................................................. 10


3.1 Materi ............................................................................................... 10
3.2 Metode ............................................................................................. 10
3.2.1 Inokulasi pada Telur Ayam Berembrio (TAB) ......................... 10
3.2.2 Uji HA ....................................................................................... 12
3.2.3 Uji HI ....................................................................................... 12
3.2.4 Bagan kerangka operasional ..................................................... 14

BAB IV PEMBAHASAN............................................................................... 15
4.1 Pemeriksaan klinis ............................................................................ 15
4.2 Pemeriksaan lesi patologi ................................................................ 16

iv
4.3 Identifikasi virus dengan tes HA-HI ................................................. 19
4.3.1 Pembukaan TAB dan pengambilan antigen ............................. 19
4.3.2 Identifikasi virus dengan uji HA .............................................. 21
4.3.3 Identifikasi virus dengan uji HI ............................................... 22

BAB V KESIMPULAN ................................................................................ 24


5.1 Kesimpulan ...................................................................................... 24
5.2 Saran ................................................................................................ 24

DAFTAR PUSTAKA .................................................................................... 25

v
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Pendahuluan
Peternakan ayam broiler mempunyai prospek yang sangat baik untuk
dikembangkan, baik dalam skala peternakan besar maupun dalam skala peternakan
kecil, atau peternakan rakyat. Hal tersebut diperkuat dengan perkembangan populasi
ayam pedaging khususnya di Provinsi Jawa Barat yang menjadi sentra produksi
dengan populasi 497.814.132 atau sebesar 44,64% dari populasi nasional (Direktorat
Jenderal Peternakan, 2011). Beberapa alasan peternak untuk terus menjalankan usaha
ini antara lain, jumlah permintaan daging ayam yang terus meningkat, akses
mendapatkan input produksi yang mudah dengan skala kecil maupun besar, dan
perputaran modal yang cepat. Permasalahan utama yang merupakan tantangan
terberat di peternakan ayam adalah munculnya penyakit, sehingga pengelolaannya
perlu dilakukan secara efisien dan profesional. Penyakit yang menyerang ayam
banyak ragam dan seringkali gejalanya hampir sama. Oleh karena itu, peternak
membutuhkan pengalaman tentang penyebab penyakit secara umum sehingga dapat
membedakan penampilan ayam yang sakit dengan ayam sehat (Wiedosari, 2015).
Perubahan iklim yang diprediksi sebagai efek pemanasan global menyebabkan
pola musim hujan dan kemarau berubah tidak menentu. Kenaikan suhu lingkungan
ini akan membawa berbagai dampak yang spesifik, termasuk ke dunia peternakan,
antara lain meningkatnya stres panas (heat stress) pada ayam (Quinteiro-Filho et al.,
2010). Pada ayam pedaging, C selama 3 jamsaat suhu kandang mencapai 40,6 dapat
menyebabkan kematian (Al-Ghamdi, 2008). Kondisi ini diperparah dengan adanya
fluktuasi suhu yang relatif tinggi antara siang (tengah hari) dan malam (dini hari).
Akibatnya stamina tubuh ayam menurun sehingga mudah terinfeksi penyakit yang
menyebabkan produktivitas ayam menurun. Hal pertama yang harus dilakukan dalam
penanganan kasus penyakit ayam adalah analisis penyebab. Pendekatan melalui

1
diagnosis patologis merupakan suatu tindakan yang umum dilakukan dalam
manajemen kesehatan hewan (Wiedosari, 2015).
Beberapa penyakit pada ayam mempunyai gejala klinis yang hampir sama,
tetapi dengan pemeriksaan bedah bangkai yang ditunjang dengan informasi mengenai
sejarah penyakit, sifat-sifat agen penyebab, umur ayam, dan karakteristik
epidemiologinya maka diagnosis dapat lebih diarahkan ke suatu penyakit yang lebih
spesifik. Lesi yang menciri pada organ akibat penyakit tertentu membantu diagnosis
yang tepat. Selain itu, perlu diperhatikan beberapa faktor pendukung timbulnya
penyakit antara lain: iklim, letak geografis peternakan, aspek manajemen, kualitas
day old chick (DOC), kualitas pakan/air, dan sistim pencegahan penyakit. Hasil
penelitian pada ayam broiler di Kab. Sukabumi dan Bogor pada bulan Februari
(musim penghujan) dan Juni (musim kemarau) tahun 2012 menunjukkan bahwa
penyakit yang teridentifikasi adalah colibacillosis (22,2%), asites (12,5%), gumboro
(12,5%), Newcastle disease (ND) (10%), Salmonella pullorum (10%) dan necrotic
enteritis (7,5%). Penyakit terutama terjadi pada ayam umur 11-21 hari (57,5%) dan
terjadi pada musim penghujan (60%) (Wiedosari, 2015).

1.2 Rumusan masalah


Apakah sampel ayam berdasarkan uji inokulasi pada TAB (Telur ayam
berembrio) terserang oleh virus.

1.3 Tujuan
Rotasi diagnosa laboratorik yang dilakukan di Laboratorium Mikrobiologi dan
Imunologi FKH UB bertujuan untuk mengetahui tahapan dan identifikasi dalam
pemeriksaan sampel yang disebabkan oleh penyakit viral.

1.4 Manfaat
Mahasiswa PPDH (Pendidikan profesi dokter hewan) mampu melakukan
tahapan pemeriksaan dan identifikasi sampel yang disebabkan oleh penyakit viral.

2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 New castle disease


Penyakit Newcastle disease (ND) disebut juga dengan penyakit Tetelo,
pseudovogolpest, sampar ayam, Rhaniket, Pneumoencephalitis dan Tontaor furrens
yang merupakan salah satu penyakit penting pada unggas. Penyakit ND merupakan
penyakit menular yang bersifat akut sampai kronis, menyerang hamper semua jenis
unggas terutama ayam baik ayam ras maupun ayam bukan ras (buras). Newcastle
disease menyerang dan menimbulkan gangguan pada organ pernafasan, pencernaan,
reproduksi dan syaraf (Fenner,1993).
Penyakit ND merupakan penyakit pada unggas yang disebabkan oleh Avian
Paramyxovirus tipe-1 (APMV-1), genus Avulavirus famili Paramyxoviridae,
merupakan virus RNA dengan genom serat tunggal (single stranded/ss) dan
berpolaritas negatif. Famili Paramyxoviridae berbentuk pleomorfik, biasanya
berbentuk bulat dengan diameter 100-500 nm, namun ada pula yang berbentuk
filamen, dan beramplop. Ada sembilan serotype dari Avian Paramyxovirus yaitu
APMV-1 sampai APMV-9. Virus ini telah ditemukan sejak tahun 1926 di Pulau Jawa
(Tabbu, 2000).
Masa inkubasi dan gejala klinis penyakit ND pada ayam bervariasi, tergantung
pada strain virus dan status kebal ayam saat terinfeksi. Berdasarkan atas virulensinya,
virus ND dikelompokkan menjadi tiga pathotype yaitu (Alexander, 2001):
1. Lentogenik adalah strain virus dengan virulensi rendah. Pada infeksi virus strain
lentogenik, penyakit bersifat subklinis, atau ditandai dengan gangguan respirasi
yang bersifat ringan seperti bersin dan keluar leleran dari hidung. Contoh virus
galur lentogenik, antara lain B1, F dan La Sota.
2. Mesogenik merupakan strain virus dengan virulensi sedang. Infeksi virus strain
mesogenik bersifat akut ditandai dengan gangguan respirasi dan kelainan saraf.
Gejala klinis pada ayam ditandai dengan penurunan nafsu makan, jengger dan pial
sianosis, pembengkakan di daerah kepala, bersin, batuk, ngorok, dan diare putih

3
kehijauan. Contoh galur mesogenik, antara lain Mukteswar, Kumarov, Hardfordhire
dan Roakin.
3. Velogenik adalah strain virus ganas. Infeksi virus strain velogenik bersifat akut dan
dikatagorikan sangat tinggi patogenitasnya, seringkali diikuti dengan angka kematian
yang tinggi. Gejala tersebut sangat bervariasi, diawali dengan konjungtivitis, diare
serta dikuti dengan gejala saraf seperti tremor, tortikolis, atau kelumpuhan pada leher
dan sayap. Strain velogenik dibedakan lagi menjadi bentuk neurotrofik dengan gejala
gangguan saraf dan kelainan pada sistem pernafasan, dan bentuk viserotrofik yang
ditandai dengan kelainan pada sistem pencernaan. Contoh virus galur velogenik,
antara lain Milano, Herts, Texas.
Penularan ND terutama melaui udara. Virus terlepas dari saluran pernapasan
penderita ke udara dan mencemari pakan, air minum, sepatu, pakaian dan alat-alat
sekitarnya. Virus dengan cepat menyebar dari ayam ke ayam lain, dari satu kandang
ke kandang lain. Sekresi, ekskresi dan bangkai penderita merupakan sumber
penularan penting ND. Virus yang tercampur lendir atau dalam feses dan urin mampu
bertahan dua bulan, bahkan dalam keadaan kering tahan labih lama lagi. Perubahan
patologi anatomi yang patognomonis pada penyakit ND ditandai dengan ptechie pada
proventikulus, ventrikulus, usus, seka tonsil, trakea, dan paru-paru. Diagnosis
sementara penyakit ND berdasarkan atas pemeriksaan epidemiologi, gejala klinis, dan
perubahan patologi anatomi yang patognomonis. Peneguhan diagnosis berdasarkan
atas hasil isolasi dan identifikasi virus (Alexander, 2001). Berdasarkan dari gejala
klinis yang timbul pada ayam, maka ND dapat dibagi atas 5 bentuk, yaitu Doyle,
Beach, Beaudette, Hitchner dan Enterik asimptomatik (Groves, 2010):
1. Bentuk Doyle tersifat adanya gangguan pencernaan akibat pendarahan dan
nekrosisi pada saluran pencernaan sehingga dikenal dengan ND velogenik-
viserotropik.

2. Bentuk Beach tersifat oleh adanya gejala gangguan pernafasan dan saraf sehingga
disebut ND velogenik-neurotropik.
3. Bentuk Beaudette merupakan bentuk ND velogenik-neurotropik yang kurang
patogenik dan biasanya kematian hanya ditemukan pada ayam muda. Virus ND

4
penyebab infeksi pada bentuk ini tergolong tipe patologik lentogenik dan dapat
dipakai sebagai vaksinaktif untuk vaksinasi ulangan terhadap ND.
4. Bentuk Hitchner ditandai oleh adanya infeksi pernafasan yang ringan atau tidak
tampak, yang ditimbulkan oleh virus dengan tipe patologik lentogenik, biasanya
juga untuk vaksinaktif.
5. Bentuk enterik asimtomatik terutama merupakan infeksi pada usus yang
ditimbulkan oleh virus ND tipe lentogenik dan tidak menimbulkan suatu gejala
penyakit tertentu.
Virus ini terdiri dari single molecule dari single strand RNA, partikel virus
terdiri dari kira – kira 20–25 % lipid dan 6 % karbohidrat yang diperoleh dari sel
hospesnya dan berat keseluruhan partikel virus tersebut adalah 500 x 106 dalton.
Morfologi dari paramyxovirus adalah partikel virus berbentuk pleomorfik secara
umum berbentuk melingkar dengan diameter 100 – 500 nm meskipun apabila dilihat
kadang tampak adanya filamen yang melintang dengan panjang 100 nm, permukaan
dari virus diselubungi dengan projection dengan panjang kira–kira 8 nm
(Fenner,1993).

2.2 Telur Ayam Berembrio (TAB)


Virus hanya dapat hidup dan bereplikasi dalam sel hidup. Untuk membiakkan
virus, dapat dilakukan pada hewan percobaan (in vivo), perbenihan jaringan/tissue
culture (in vitro) dan inokulasi pada telur ayam berembrio (TAB) (in ovo). TAB
dapat digunakan sebagai pengganti hewan percobaan dan perbenihan jaringan untuk
isolasi dan identifikasi virus serta produksi vaksin. Embrio dan membran
pendukungnya menyediakan keragaman tipe sel yang dibutuhkan untuk kultur
berbagai tipe virus yang berbeda (Swayne,2006).
Spesifikasi TAB yang diperlukan adalah harus berasal dari induk yang sehat dan
tidak pernak divaksin atau bebas antibodi virus dan tidak pernah terpapar virus atau
penyakit spesifik. Usia optimum TAB yang baik digunakan adalah usia 9-11 hari dengan
kondisi embrio masih hidup, dan pada usia tersebut ruang dan cairan korioalantoisnya
masih berkembang sehingga inokulasi pada ruang allantois lebih mudah. Seteleh

5
virus diinokulasi maka beberapa perubahan yang terjadi adalah kematian embrio dan
munculnya plaque (Cummings, 2001).

2.2.1 Inokulasi virus pada TAB


Berdasarkan jenis virus yang ditanam, lokasi penanaman dapat ditentukan
sebagai berikut :
1. Inokulasi pada Yolk Sac
TAB yang digunakan merupakan telur berembrio yang berumur 5-8 hari,
dimana telur masih banyak mengandung kuning telur. Virus yang dapat ditanam
dengan cara ini yaitu Yellow Fever, Viral Arthritis, Hepatitis Infectiosa Canis,
Rabies, Rinderpest dan lain-lain. Prosedurnya yaitu telur diteropong untuk
menentukan posisi embrio dan kantung udara. Telur disterilkan dengan kapas
beralkohol. Telur dilubangi pada bagian kantung udara. Virus kemudian
diinokulasi dengan posisi tegak lurus dengan kedalaman jarum 1,2 cm. Lalu
lubang ditutup dengan paraffin. Telur diinkubasi dan diamati pada 16-18 jam
setelah inokulasi untuk memastikan hidupnya embrio. Apabila telah mati maka
dapat dipastikan karena adanya trauma pada embrio atau kontaminasi. Untuk
embrio yang masih hidup, 48 jam kemudian telur dapat diambil dari inkubator dan
disimpan pada suhu 4oC (selama 4–24 jam) sampai telur dipanen (Ernawati dkk.,
2008).
2. Inokulasi pada cairan alantois atauchorioallantois sac (CAS)
TAB yang digunakan telur berembrio yang berumur 8-10 hari. Virus yang
dapat ditanam dengan cara ini antara lain yaitu virus New Castle Disease, Avian
Influenza, Infectious Bronchitis, Egg Drop Sydrome dan lain-lain. Prosedurnya
yaitu telur diteropong telur untuk memastikan tempat injeksi, yaitu pada 3-5 mm
di atas batas bawah kantung udara dan jauh dari embrio. Telur disterilkan
kemudian dibuat lubang pada tempat injeksi. Virus kemudian diinokulasi virus dan
kemudian tutup lubang menggunakan paraffin. Telur diamati pada jam ke 16-18
jam. Apabila embrio mati sebelum 48 jam kemudian telur dapat disimpan dalam
suhu 4oC (Ernawati dkk., 2008).

6
3. Inokulasi pada korioallantois membran (CAM)
TAB yang digunakan telur berembrio yang berumur 10–13 hari. Virus yang
dapat ditanam dengan cara ini antara lain yaitu virus Cacar, Herpes (Infectious
Laryotracheitis), Aujeszky, Infectious Bursal Disease, Viral Arthritis dan lain-lain.
Prosedurnya yaitu telur diteropong telur untuk memastikan tempat inokulasi.
Telur dilubangi telur pada ujung kantung udara (lubang ke-1), dibuatlah lubang ke-
2 pada lokasi embrio, Dengan menggunakan penyedot, sedot udara melalui lubang
kantung udara agar terbentuk rongga pada membran. Apabila membran telah turun
ke bawah, virus dapat diinokulasikan dengan posisi 45oC. Telur ditutup kedua
lubang menggunakan paraffin. Telur dinkubasikan dengan posisi horisontal dan
tempat inokulasi berada di atas. Telur diamati pada jam ke 16-18, apabila sebelum
48 jam telur mati kemudian telur dapat disimpan dalam suhu 4oC (Ernawati dkk.,
2013).

2.2.2 Uji Hemaglutinasi (HA) dan uji hambatan Hemaglutinasi (HI)


Hemaglutitnin test adalah uji yang dilakukan untuk mengidentifikasi virus-
virus yang dapat mengaglutinasi sel darah merah. Virus yang dapat mengaglutinasi
sel darah merah seperti : ortho-dan paramyxovirus; alfa-, flavi-, adeno-, reo-
,parvo-, dan coronavirus (Ermawati, 2013). Penghambatan aglutinasi sel darah
merah oleh virus dilakukan dengan cara virus diikat oleh antibodi yang homolog
sehingga tidak dapat melekat pada reseptor membran sel darah merah dan
aglutinasi sel darah merah tidak terjadi Uji HI bertujuan untuk menentukan titer
antibodi yang ada dalam serum darah ayam dan mampu digunakan untuk
mengetahui sejauh mana tingkat kekebalan ayam terhadap virus tersebut (Natih, et
al., 2010).
Hemaglutinin inhibition test adalah titer antibodi yaitu pengenceran tertinggi
dari serum yang masih mampu menghambat reaksi aglutinasi eritrosit. Prinsip dari
uji HI adalah mengetahui adanya antibodi yang mampu menghambat proses
hemaglutinasi oleh antigen tertentu. Hambatan hemaglutinasi terjadi dikarenakan

7
adanya antigen yang terikat dengan antibodi tidak dapat menghemagglutinasi sel
darah merah dan menyebabkan sel darah merah terlepas (Kencana, 2012).
Virion dari beberapa keluarga virus berikatan dengan sel darah merah (RBC)
dan menyebabkan hemaglutinasi. Prinsip serologis dari hemaglutinasi inhibisi
yaitu antibodi menghambat proses hemaglutinasi dari virus. Bila antibodi spesifik
dan virus dicampur sebelum ditambah eritrosit, hemaglutinasi akan terhambat. Uji
penghambatan hemaglutinasi ternyata sensitif kecuali untuk Togavirus, sangat
spesifik, karena uji itu mengukur antibodi yang berikatan pada protein permukaan
yang paling gampang mengalami perubahan antigenik. Terlebih lagi, uji ini
sederhana, murah, dan cepat. Oleh karena itu, sering digunakan sebagai pilihan
prosedur serologis dalam mengidentifikasi isolat dari virus yang menyebabkan
hemaglutinasi (Fennner, 1993).
Titer HA adalah pengenceran tertinggi yang masih dapat mengaglutinasi
eritrosit. HA sempurna ditandai dengan lapisan sel darah merah secara merata
pada dasar sumuran microplate dan penjernihan dari cairan di bagian atas tanpa
terjadinya pengendapan. Sedangkan hasil negatif menunjukan sel darah merah
berbentuk titik di tengah sumuran. Beberapa virus mampu mengaglutinasikan sel
darah merah. Kemampuan ini sebagai contoh dari aktivitas biologik dan aktivitas
ini dapat dihambat oleh antibodi tertentu. Sisi partikel virus yang spesifik dapat
berinteraksi dengan reseptor mukoprotein pada sel darah merah dan permukaan sel
lain. Interaksi dari sisi reseptor dan virion membuat aglutinasi sel darah merah
menjadi tampak. Enzim virus neuraminidase memecah ikatan antara virus dan sel,
dan melepas keduanya ke dalam larutan. Antigen adalah bagian virus yang
mengandung ikatan dan antigen dari virus digunakan untuk uji hemaglutinasi
(Ernawati dkk., 2008).
Hemaglutinasi Inhibition (HI) Test merupakan uji yang digunakan sebagai
alat diagnosa spesifik suatu virus penyebab infeksi. Uji ini menggunakan antibodi
spesifik terhadap hemaglutinin virus sehingga dapat menghambat terjadinya
aglutinasi. Prinsip dari pengujian ini yaitu mereaksikan virus dengan antibodi
spesifik kemudian direaksikan dengan sel darah merah. Apabila terjadinya reaksi

8
ikatan antara virus dengan antibodi, maka dengan penambahan sel darah merah
maka sel darah merah tidak mengumpal. Peristiwa tersebut ditandai dengan sel
darah merah mengalir apabila mikroplate dimiringkan.Reaksi hambatan
hemaglutinasi ini dapat membantu diagnosis laboratorium dalam melakukan
identifikasi virus. Selain itu juga dapat menentukan status kekebalan setelah
vaksinasi atau setelah sembuh dari penyakit dengan mengetahui titer antibodi. Uji
HI dapat dilakukan dengan tiga metode yaitu antara lain uji HI Plat, uji HI
makroteknik dan uji HI mikroteknik. Uji HI mikroteknik lebih sering dilakukan
pada zaman ini karena dapat dilakukan pada sampel dengan jumlah kecil, lebih
hemat dan efisien. Pada HI test virus atau antigen yang digunakan harus memiliki
titer sebesar 4HA unit (Ernawati dkk., 2008).

9
BAB III
MATERI DAN METODE
3.1 Materi
Alat yang digunakan dalam pemeriksaan mikrobiologi antara lain cawan petri,
rak tabung reaksi, tabung reaksi, mikropipet, mikroplate, yellow tip, paku pelubang
telur, inkubator, candling set, gunting, kutek kuku, scalpel, mortar,timbangan
mikrorefrigerator, bunsen, spuit, tabung EDTA sentrifus, tabung sentrifus, dissecting
set, masker, gloves, dan korek api.
Bahan yang digunakan untuk isolasi dan identifikasi virus yaitu sampel dari
organ ayam berupa otak, paru-paru, trakea, proventrikulus, hepar, limpa, duodenum,
jejunum, dan ileum. larutan PBS, larutan NaCl, eritrosit ayam 1%, Telur Ayam
Berembrio (TAB), antibiotik (penicillin 1000 iu/ml dan streptomycin 1 mg/ml).

3.2 Metode
3.2.1 Inokulasi pada Telur Ayam Berembrio (TAB)
1). Pengamatan telur melalui peneropongan
Berikut ini merupakan langkah pengamatan telur melalui peneropongan :
- Pilih tempat yang gelap
- Tekan lubang terowong lampu teropong kepada cangkang telur
- Nyalakan lampu dan amatilah bagian dalam telur. Pastikan pembuluh darah
korioalantoik telur berembrio kelihatan jelas sekali dan embrio bergerak-
gerak, bentuk embrio juga jelas kelihatan, khususnya mata embrio yang
besar dan kehadiran ruang udara. Semua ini adalah tanda yang menunjukkan
bahwa embrio tersebut masih hidup.
2). Pengumpulan Sampel Virus Dari Organ
Berikut ini merupakan langkah pengumpulan sampel virus dari organ :
- Organ yang berupa otak, paru-paru, trakea, proventrikulus, hepar, limpa,
duodenum, jejunum, dan ileum terlebih dahulu ditimbang seberat 1 gram dan
dilakukan penggerusan organ sampai halus dengan ditambah PBS 9 ml.

10
- Setelah terampur rata, cairan tersebut dimasukkan ke dalam tabung steril dan
ditutup dengan sumbat karet.
- Selanjutnya dilakukan sentrifugasi dengan kecepatan 2500 rpm selama 15
menit sampai terbentuk supernatant dan endapan.
- Supernatan inilah yang siap diinokulasikan ke telur ayam berembrio.
3). Inokulasi Virus ke dalam Ruang Alantoik
Berikut ini merupakan langkah inokulasi virus ke dalam ruang allantoik:
- Telur disinari dengan bantuan lampu peneropong, diberi tanda batas dengan
pensil antara ruang hawa dan isi telur.
- Kulit telur pada daerah ruang hawa ±3-5 mm dari tanda batas ruang hawa
dibuat lubang dengan bor/paku.
- Jarum spuit dimasukkan ke dalam lubang paku sedalam ± 1 cm sejajar
dengan sumbu panjang telur.
- Suspensi disuntikkan.
- Lubang paku ditutup dengan kutek kuku. Telur berembrio diinkubasi pada
suhu 37ºC selama 3 hari dengan posisi vertikal (ruang hawa sebelah atas).
Setiap hari diamati, apabila terdapat embrio mati, telur disimpan didalam
kulkas. Telur yang embrionya mati lebih dari 24 jam atau yang masih hidup
sampai akhir pengamatan (setelah 3 hari), dimasukkan dalam lemari es untuk
pengamatan.
- Telur dipecah pada daerah ruang hawa dan dilakukan pengujian terhadap
cairan alantois atau perhatikan adanya perubahan pada embrio.
4). Mengumpulkan Cairan Alantoik (Panen virus)
Berikut ini merupakan langkah mengumpulkan cairan allantoik:
- Letakkan telur di dalami almari es selama beberapa jam. Hal ini bertujuan
untuk membunuh embrio serta mengecilkan pembuluh darah supaya
pengumpulan cairan yang mengandung virus dilakukan tanpa pencemaran
dengan sel darah merah.
- Bersihkan lapisan cangkang di bagian atas ruang udara telur dengan etanol.
Pecahkan cangkang di atas ruang udara dan gunting cangkang hingga

11
membentuk lubang. ambil cairan alantoik dengan menggunakan mikro pipet
dan ditempatkan pada tabung ephendof.
5). Pembuatan eritrosit 1%
− Diambil darah ayam dan tempatkan pada tabung EDTA
− Diambil darah 3 ml dan dilakukan pencucian dengan NaCl fisiologis
sebanyak 3 ml lalu di sentrifus selama 10 menit 1500rpm.
− Supernatan dibuang, kemudian ditambahkan NaCl fisiologi 3 ml dan
disentrifus 1500 rpm selama 10 menit
− Supernatan dibuang, kemudian ditambahkan NaCl fisiologi 3 ml dan
disentrifus 1500 rpm selama 10 menit
− Disentrifus, lalu supernatan dibuang 6. Pencucian eritrosit minimal
dilakukan tiga kali sentrifus
− Didapatkan eritrosit 100%
− Kemudian dibuat eritrosit 1% dengan mencampurkan 0,5 ml eritrosit dan
49,5 bagian NaCl fisiologis. Dihomogenkan dan eritrosit siap digunakan
untuk uji HA dan HI.

3.2.2Uji HA
- Diisi sumuran mikroplate hingga sumuran ke 12 menggunakan Nacl
sebanyak 25 µl.
- Ditambahkan cairan allantois pada sumuran pertama hingga sumuran ke 10
sebanyak 25 µl.
- Dihomogenkan hingga ke sumuran ke 10 dan sisa 25 µl dibuang.
- Ditambahkan 25 µl antigen hanya pada sumuran ke 11 (kontrol positif)
- Ditambahkan 25 µl eritrosit pada semua sumuran. Sumuran ke 11 berisi
erirosit dan PBS (kontrol negatif).

3.2.3 Uji HI
- Diisi sumuran mikroplate dengan Nacl sebanyak 25 µl dari sumuran pertama
hingga ke 12

12
- Ditambahkan serum ND pada lubang pertama 25 µl kemudian dilakukan
pengenceran dari lubang pertama hingga ke 11
- Dibuang sisa serum sebanyak 25 µl
- Ditambahkan antigen 4HA unit sebanyak 25 µl
- Diinkubasi pada suhu ruang selama 15-30 menit
- Diisi semua sumuran mikroplate dengan eritrosit 1%
- Dihomogenkan dengan cara digoyang membentuk angka 8
- Diamati apakah terjadi aglutinasi

13
3.2.4 Bagan kerangka operasional
Anamnesa

Gejala klinis

Perubahan makroskopik

Diagnosa tentatif

Pemilihan sampel

Organ Darah

Isolasi/ identifikasi Serologi

Sampel digerus Uji HA

Buat suspensi 10% dengan PBS Uji HI

Disentrifus 2500 rpm


selama 15 menit

Ditambah penstrep

Inokulasi pada alantoic


cavity 0.2 ml

Diinkubasi selama 4
hari

Diamati perubahan
makroskoipis embrio

Cairan alantois dipanen

14
BAB IV
PEMBAHASAN

4.1 Pemeriksaan Klinis


1) Signalement
Jenis Hewan : Ayam (Gambar 4.1)
Jenis Kelamin : Jantan
Umur : 30 hari
Berat badan : 1,6 kg
Asal : Kandang Genengan, Karangploso, Kab. Malang
Tanggal nekropsi : 7 Oktober 2019

A B

Gambar 4.1 (A) Kondisi ayam sebelum di nekropsi, (B) leleran hijau yang
keluar dari hidung (dokumentasi pribadi)
2) Anamnesa
Berdasarkan keterangan dari petugas kesehatan di peternakan, nafsu makan
ayam rendah, dyspnea, keluar leleran hijau dari hidung disertai dengan suara
ngorok. Selain itu, atas dasar keterangan dari petugas kesehatan bahwa di kandang
Genengan tersebut dalam beberapa bulan terakir sering terjangkit penyakit CRD.

15
3) Gejala Klinis
Hasil pemeriksaan fisik terdengar suara ngorok ayam pada malam hari, pada
daerah sekitar kloaka pada ayam terlihat kotoran yang kehijauan. Selain itu, pada
saat dilakukan nekropsi tampak adanya leleran hijau yang keluar dari nasal.
4) Diagnosa Tentatif
Berdasarkan hasil anamnesa dan pengamatan dari gejala klinis yang muncul,
maka diagnosa sementara yang diperoleh yaitu New castle disease, Chronic
Respiratory Disease.
5) Pemeriksaan Penunjang
Untuk meneguhkan diagnosa maka dapat dilakukan pemeriksaan penunjang
berupa nekropsi untuk melihat patologi anatomi pada organ. Diambil beberapa
organ untuk pembuatan suspensi antara lain otak, trakea, paru- paru, hati, limpa,
proventrikulus, duodenum, jejunum, ileum.

4.2 Pemeriksaan lesi patologi


Berikut ini merupakan Tabel 4.2 hasil dari pemeriksaan penunjang berupa
perubahan makroskopis patologi anatomi dari berbagai organ.
Tabel 4.1 Perubahan makroskopis patologi anatomi
No. Organ N/AN Perubahan
1. Trakea AN Terdapat hemoragi
2. Paru- paru AN Terdapat hemoragi
3. Hati AN -
4. Proventrikulus N -
5. Duodenum N -
6. Sekum AN Terdapat hemoragi
7. Ileum AN Terdapat hemoragi
8. Otak N -
9. Limpa N -
Keterangan: (N) Normal; (AN) Abnormal

16
Tabel 4.2 Dokumentasi Kegiatan Nekropsi

- Organ otak normal, tidak


mengalami perubahan patologi
secara maskroskopis

- Organ Trakea abnormal,


mengalami perbahan patologi
secara makroskopis berupa adanya
hemoragi

- Organ Pulmo abnormal,


mengalami perbahan patologi
secara makroskopis berupa adanya
hemoragi

17
- Organ Hepar normal tidak
mengalami perubahan patologis

- Organ Proventrikulus normal,


tidak mengalami perubahan
patologi secara maskroskopis

- Organ Duodenum normal, tidak


mengalami perubahan patologi
secara maskroskopis

- Organ Jejunum abnormal,


mengalami perbahan patologi
secara makroskopis berupa adanya
hemoragi

18
- Organ Ileum abnormal,
mengalami perbahan patologi
secara makroskopis berupa adanya
hemoragi

- Organ Limpa normal, tidak


mengalami perubahan patologi
secara maskroskopis

4.3 Identifikasi virus dengan tes HA-HI


4.3.1 Pembukaan TAB dan pengambilan antigen
Pembukaan TAB dilakukan pada hari ke 3, dimana TAB telah
dieuthanasia dengan cara dimasukkan kedalah freezer. TAB harus di euthanasia
dikarenakan belum kunjung mati pada hari pertama dan kedua. Hal ini diduga
karena tidak adanya virus yang bersifat pathogen pada antigen yang dikoleksi
dari sampel organ. TAB dibuka dengan cara memukul pada daerah kantung
hawa kemudian dibuka dan dapat terlihat embrio didalamnya. Pada permukaan
bagian atas terdapat selaput putih tipis yaitu lapisan chorioalantois yang perlu
sedikit dikuakkan agar bisa didapatkan cairan alantoisnya.
Cairan alantois berperan sebagai antigen karena kami menduga bahwa
sampel ayam yang kami koleksi mengandung virus ND berdasarkan gejala
klinis yang telah disebutkan sebelumnya. Cairan alantois yang didapat di
tempatkan pada tabung ephendof (Gambar 4.3) kemudian embrio dikeluarkan

19
dari cangkang dan ditempatkan pada cawan petri (Gambar 4.4) agar terlihat
apakah ada kelainan dari embrio. Hasil pengamatan didapatkan bahwa embrio
normal tidak ada lesi yang terjadi pada embrio. Hal ini menunjukkan bahwa
sampel organ yang telah di koleksi tidak terdapat biakan virusnya sehingga
dapat menjelaskan bahwa factor tidak matinya TAB post inokulasi merupakan
pengaruh tidak adanya biakan virus yang didapat dari koleksi organ.

Gambar 4.3 Hasil koleksi cairan alantois (Dokumentasi pribadi)

Gambar 4.4 Pemeriksaan embrio (Dokumentasi pribadi)


Virus dapat ditumbuhkan di TAB karna memiliki sensitifitas untuk
pertumbuhan virus. Inokulasi virus dapat dilakukan di cairan alantois dan yolk
sac dikarenakan pada lokasi tersebut jika diinokulasi virus akan menyebabkan

20
kematian embrio karna pada lokasi in merupakan lokasi yang penting untuk
proses sirkulasi embrio ayam sehingga virus dapat tumbuh dan menyebar
hingga ke embrio ayam (Kencana dkk., 2012).

4.3.2 Identifikasi virus dengan uji HA


Pada pemeriksaan HA cairan alastois yang telah di koleksi merupakan
hasil inokulasi dari suspense organ hepar. Berdasarkan uji HA diperoleh hasil
TAB yang diinokulasikan suspensi organ pulmo negatif karena tidak
mengalami aglutinasi pada uji HA. Hal ini menunjukkan bahwa virus yang
terdapat di dalam cairan allantois tidak dapat mengaglutinasi eritrosit. Sehingga
tidak bisa dilanjutkan uji HI.

Nomer k-
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 K+
sumuran
Gambar 4.5 Hasil hemaglutinasi (dokumentasi pribadi)
Hemaglutitnin test adalah uji yang dilakukan untuk mengidentifikasi
virus-virus yang dapat mengaglutinasi sel darah merah. Virus yang dapat
mengaglutinasi sel darah merah seperti : ortho-dan paramyxovirus; alfa-, flavi-,
adeno-, reo-,parvo-, dan coronavirus (Ermawati, 2013). Titer HA adalah
pengenceran tertinggi yang masih memperlihatkan aglutinasi sempurna. Hasil
positif ditunjukkan adanya penggumpalan darah. Selanjutnya diuji dengan uji
HI untuk mengetahui titer HA virus. Penghambatan aglutinasi sel darah merah
oleh virus dilakukan dengan cara virus diikat oleh antibodi yang homolog
sehingga tidak dapat melekat pada reseptor membran sel darah merah dan
aglutinasi sel darah merah tidak terjadi (Natih, et al., 2010).
Uji HA yang telah dilakukan didapatkan hasil negative. Hal ini
menunjukkan bahwa tidak terdapat virus yang memiliki hemaglutinin pada
TAB. Hasil ini menjadi pendukung keadaan TAB yang setelah dilakukan

21
inokulasi menggunakan suspensi organ hepar masih dalam keadaan hidup
dihari ke 3 dan dilakukan uji HA di hari keempat. TAB yang tidak mengalami
kematian diatas 60 jam menunjukkan bahwa virus memiliki patogenitas rendah
namun virus menyebar dan membunuh komponen-komponen dalam telur ayam
umur 8-10 hari. Berdasarkan atas virulensinya, virus ND dapat dibedakan
menjadi galur velogenik, mesogenik dan lentogenik. Pembagian tersebut
berdasarkan atas waktu kematian embrio setelah disuntik oleh virus ND tertentu
melalui selaput alantois. waktu kematian embrio untuk galur velogenik adalah
kurang dari 60 jam, galur mesogenik sekitar 60-90 jam dan galur lentogenik
lebih dari 90 jam (Kencana dan Kardena, 2011).

4.7 Identifikasi virus dengan uji HI


Uji hemaglutinasi inhibisi (HI) didapatkan hasil positif. Hal ini
ditunjukkan adanya antibodi yang mampu menghambat proses hemaglutinasi
sehingga tidak terjadi aglutinasi pada sumuran seperti yang ditunjukkan pada
(Gambar 4.6). Uji HI bertujuan untuk menentukan titer antibodi yang ada
dalam serum darah ayam dan mampu digunakan untuk mengetahui sejauh mana
tingkat kekebalan ayam terhadap virus tersebut. Titer antibodi yaitu
pengenceran tertinggi dari serum yang masih mampu menghambat reaksi
aglutinasi eritrosit. Prinsip dari uji HI adalah mengetahui adanya antibodi yang
mampu menghambat proses hemaglutinasi oleh antigen tertentu. Hambatan
hemaglutinasi terjadi dikarenakan adanya antigen yang terikat dengan antibodi
tidak dapat menghemagglutinasi sel darah merah dan menyebabkan sel darah
merah terlepas (Kencana, 2012).

Nomer 4 5 6 7 8 9 10 k- K+
1 2 3
sumuran
Gambar 4.6 Hasil uji hemaglutinasi inhibisi (dokumentasi pribadi)

22
Dari hasil uji HI diketahui bahwa titer antibodi yang dijadikan sampel
memiliki titer antibodi sebesar 26. Dari hasil ini menunjukkan titer antibodi
ayam cukup tinggi terhadap antigen ND. Adanya antibodi pada ayam bisa
disebabkan oleh beberapa faktor yaitu ayam telah menerima vaksinasi, pernah
terinfeksin virus ND dan akhirnya terbentuk antibodi spesifik. Hasil uji HI
diakatakan negatif bila tidak terjadi hambatan hemaglutinasi, reaksi tersebut
disebabkan tidak adanya antibodi pada serum ayam dan hasil uji dikatakan
positif bila terjadi hambatan hemaglutinasi yang nampak dengan adanya
pengendapan eritrosit pada sumuran plate seperti pada kontrol eritrosit. Kriteria
hasil pemeriksaan yang digunakan yaitu serum yang diperiksa positif bila hasil
uji HI menunjukkan titer antibodi ≥ 24 (OIE, 2012).
Prinsip pengujian HI adalah antibodi yang dimiliki unggas terhadap virus
akan mencegah pengikatan virus dengan sel darah merah. Oleh karena itu,
hemaglutinasi dihambat ketika terdapat antibodi dalam serum unggas.
Pengenceran tertinggi dari serum yang mencegah terjadinya hemaglutinasi
disebut titer HI serum. Keberadaan antibodi ND pada serum dapat terdeteksi
dengan uji HI setelah tujuh hari post infeksi atau vaksinasi (Pederson, 2010)

23
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan
Telur ayam berembrio setelah diinokulasi dengan suspensi organ hepar dari
ayam, embrio masih dalam keadaan hidup 3 hari setelah inokulasi. Pada hari ke 4
dilanjutkan uji HA yang menunjukkan hasil negatif yang berarti telur tidak terinfeksi
virus Newcastle disease (ND) dari hasil uji HA yang negatif sehingga tidak perlu
dilanjutkan ke uji HI. Uji HI dilakukanuntuk menghitung titer antibodi pada sampel
ayam dan didapatkan titer antibodi ayam sebesar 26. Dari hasil uji HI dapat diketahui
bahwa titer antibodi ayam pada penyakit Newcastle disease cukup tinggi, bisa
disebabkan beberapa faktor yaitu telah dilakukan vaksin pada ayam atau ayam pernah
terinfeksi virus ND sehingga telah terbentuk antibodi spesifik.

5.2 Saran
Jumlah alat untuk penunjang kegiatan seperti mortar untuk penggerus bahan
agar lebih diperbanyak.

24
DAFTAR PUSTAKA

Alexander D.J., 2001. Newcastle disease: The Gordon Memorial Lecture.

Al-Ghamdi, Z.H. 2008. Effects of commutative heat stress on immunoresponses in


broiler chickens reared in closed system. Int. J. Poultry Sci. 7:964-968.

Cummings B., 2001. Inoculation Technic in Embryonated Eggs (illustrated). Addison


Wesley Logman, Inc.

Direktorat Jenderal Peternakan, 2011. Statistical on Livestock 2011. Kementerian


Pertanian, Jakarta.

Ernawati, R., A.D. Raharja, N. Sianita, Dan F.A Rantam. 2008. Petunjuk Praktikum
Pemeriksaan Virologik Dan Serologik. Lab Virologi Dan Imunologi.
Departemen Mikrobiologi Veteriner. Fakultas Kedokteran Hewan Unair.

Ernawati, R., A.P. Rahardjo, N. Sianita, J. Rahmahani, F.A. Rantam, dan Suwarno.
2013. Petunjuk Praktikum Pemeriksaan Virologik dan Serologik. Fakultas
KedokteranHewan. Surabaya. Universitas Airlangga.

Fenner F., 1993. Virology Veteriner Edisi Kedua. New York:Academic press inc.

Groves P., 2010. Intensive Animal Health Vets 4235 Poultry Handbooks.Sidney.
University of Sydney.

Kencana, Gusti A.Y., I Made K. dan I Gusti N.K.M. 2012. Peneguhan Diagnosis
Penyakit Newcastle Disease Lapang pada Ayam Buras di Bali Menggunakan
Teknik RT-PCR. Jurnal Kedokteran Hewan Vol. 6 No. 1, Maret 2012.

Kencana, G.A.Y. dan Kardena, I.M., 2011. Gross pathological observation of acute
Newcastle Disease in domestic chicken. Disampaikan pada Seminar
Internasioanal Perhimpunan Mikrobiologi Indonesia (PERMI) dan International
Union of Microbiological Societies (IUMS) di Denpasar, 22-24 Juni 2011.

Natih, K.K.N., D. Retno, Soejoedono, T.W. Wayan dan H. P. Fachriyan. 2010.


PreparasiImunoglobulin G Kelinci sebagai Antigen Penginduksi Antibodi
Spesifik Terhadap Virus Avian Influenza H5N1 Strain Legok. Jurnal Veteriner
11(2), 99-106.

OIE, 2012. OIE Terrestrial manual, Avian Influenza Chapter 2.3.4.

25
Pedersen, J.C. 2010. Test for Avian Influenza Virus Subtype Identification and the
Detection and Quantitation of Serum Antibodies to the Avian Influenza Virus.
Methods in Molecular Biology.

Quinteiro-Filho, W. M., A. Ribeiro, and J. Palermo-Neto. 2010. Heat stress impairs


performance parameters, induces intestinal injury, and decrease macrophage
activity in broiler chickens. Poultry Sci. 89:1905-1914.

Swayne D.E., 2006. A Laboratory Manual for The Isolation and Identification of
Avian Pathogenes, 4th ed. International Book Distributing Co. Pub. USA.

Tabbu C. R., 2000. Penyakit Ayam dan Penanggulangannya. Yoguakarta: Kanisius.

Wiedosari, 2015. Studi Kasus Penyakit Ayam Pedaging di Kabupaten Sukabumi dan
Bogor. Jurnal kedokteran hewan. ISSN:1978-225X. Laboratorium Patologi
Balai Besar Penelitian Veteriner, Bogor.

26

Anda mungkin juga menyukai