Anda di halaman 1dari 23

LAPORAN LABORATORIUM DIAGNOSTIK

BAGIAN ENDOPARASIT

Ascariasis (Ascaridia galli) dan


Leucocytozoonosis (leucozytozoon caulery)
pada Unggas

PPDH PERIODE I TAHUN 2021/2022


KELOMPOK E1

Ardiansyah Putra, SKH B9404211052


Nanda Delvia Meisani, SKH B9404211062

Di bawah bimbingan:
Dr drh Elok Budi Retnani, MS

LABORATORIUM DIAGNOSTIK PENDIDIKAN


PROFESI KEDOKTERAN HEWAN FAKULTAS
KEDOKTERAN HEWAN
IPB UNIVERSITY
BOGOR
2021
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Produksi ternak unggas di Indonesia berkembang sejak awal 1980an. Populasi
unggas yang sangat tinggi dapat mendukung kebutuhan protein hewani yang sangat
dibutuhkan masyarakat. Proses produksi dan manajemen pemeliharaan unggas saat ini
sudah maju sehingga populasi ternak unggas khususnya ayam petelur dan pedaging jauh
lebih tinggi dibandingkan hewan ternak lainnya (seperti sapi, domba, dan kambing)
(Sudjarwo et al. 2019). Permasalahan pada pemeliharaan unggas yang dapat menyebabkan
kerugian akibat penurunan produktivitas adalah kasus kecacingan. Helminthiasis atau
kecacingan merupakan penyakit yang disebabkan oleh endoparasit cacing. Cacing lebih
sering menyerang bagian saluran pencernaan tetapi ada juga yang menyerang bagian lain
seperti saluran pernapasan dan organ tertentu seperti mata (Retno et al. 2015).
Parasit cacing secara alami ditemukan pada berbagai jenis ungas liar dan unggas
peliharaan. Endoparasit yang sering menginfeksi unggas peliharaan seperti bebek, itik,
burung dan ayam adalah nematoda. Endoparasit dapat menyerang ayam pada semua
umur.Parasit gastrointestinal mengambil nutrisi, mineral dan vitamin pada tubuh inang
sehingga mengakibatkan gangguan kesehatan yang serius seperti enteritis, imunosupresi,
pertumbuhan terhambat serta penurunan produktivitas (ElShahawy dan Elenien 2015).
Penyebaran endoparasit terhadap hewan ternak dapat melewati pakan, air, dan peralatan
ternak (Parede et al. 2005). Faktor cuaca seperti temperatur dan kelembapan yang
mendukung siklus hidup cacing serta manajemen kandang dan pakan yang kurang higienis
dapat meningkatkan kemungkinan infeksi cacing pada ternak unggas (Moenek dan
Oematan 2017).
Ascariasis adalah infeksi yang menyerang unggas dan disebabkan oleh cacing
Ascaridia galli. Infeksi cacing Ascaridia galli dapat menyebabkan kerugian ekonomi yang
besar. Ayam yang terinfeksi atau diinfeksi buatan dengan cacing tersebut menyebabkan
perlambatan pertumbuhan dan penurunan pertambahan bobot badan serta penurunan
produksi telur (Zalizar dan Satrija 2009). Hasil penelitian Zalizar et al. (2007), infeksi cacing
Ascaridia galli menyebabkan kualitas telur menjadi rendah akibat penurunan berat telur
mencapai 5,35%, kerabang telur lebih tipis dengan persentase penurunan tebal kerabang
sebesar 5,55% dan penurunan kadar kalsium dalam serum sebesar 36,26%. Ascaridia galli
sering ditemukan pada unggas yang tidak dikandangkan (Torres et al. 2019).
Leucocytozoonosis atau disebut juga “Malaria Like Disease” merupakan penyakit
parasitik pada unggas yang disebabkan oleh protozoa dari genus leucocytozoon. Spesies
leucocytozoon yang menyerang ayam di Indonesia teridentifikasi Leucocytozoon cauleryi
dan sabrazesi (Apsari dan Arta 2010). Penyakit ini sering ditemukan di peternakan di negara
beriklim tropis terutama pada peternakan yang dekat dengan sumber air seperti kolam dan
danau. Hal tersebut dikarenakan sumber air merupakan habitat hidup bagi vektor perantara
yaitu simulium sp dan culicoides sp (Carr 2012). Unggas yang dipelihara secara diumbar
dengan lingkungan yang relatif buruk cenderung lebih sering terpapar atau digigit oleh
vektor penyebar protozoa darah. Faktor musim juga mempengaruhi infeksi Leucocytozoon
sp., dimana kejadian penyakit umumnya meningkat secara signifikan pada musim hujan
(Male et al. 2017).
Kasus leukositozoonosis cukup sering ditemukan dan penyakit ini masuk dalam 10
besar penyakit yang sering terjadi (Anonim 2010). Leukositozoonosis menimbulkan kerugian
yang sangat tinggi, pada unggas muda menyebabkan kematian yang tiba-tiba. Unggas
dewasa juga terinfeksi dengan menimbulkan gejala diare, lemah, penurunan produksi,
bahkan bisa menimbulkan kematian. Leucocytozoon cauleryi disebarkan oleh vektor
Culicoides arakawe. Leucocytozoon cauleryi memiliki kemiripan dengan plasmodium sp.
dibandingkan spesies lainnya (Supriati et al. 2020).

Tujuan
Penulisan makalah ini bertujuan untuk memberikan informasi mengenai ascariasis
yang disebabkan oleh Ascaridia galli dan Luecocytozoonosis yang disebabkan
leucozytozoon cauleryi pada ayam.

KAJIAN PENYAKIT

Etiologi
Ascaridia galli dapat menyerang semua jenis unggas yaitu ayam, kalkun, burung
dara, itik, guinea fowl, angsa, dan juga burung liar di seluruh dunia. Ascaridia galli
merupakan cacing berukuran sedang hingga besar yang berbentuk silinder dan berwarna
putih. Ascaridia galli jantan memiliki ukuran tubuh lebih kecil dibandingkan dengan betina
yaitu sepanjang 43-45 mm dan lebarnya 0,43-1,5 mm sedangkan Ascaridia galli betina
memiliki panjang 30-62 mm dan lebar 0,3- 0,45 mm (Tanveer et al. 2015). Berikut
merupakan Klasifikasi taksonomi Ascaridia galli :
Kingdom : Animalia
Filum : Nematohelminthes
Kelas : Nematoda
Ordo : Ascaridia
Famili : Heterakidae
Genus : Ascaridia
Spesies : Ascaridia galli
A B

Gambar 1 A: Duodenum ayam broiler. Segmen usus membesar dan disertai akumulasi gas
(panah), akibat obstruksi oleh Ascaridia galli, terutama di bagian kranial jejunum. B: Infestasi
Ascaridia galli dengan mukosa yang tersumbat (panah) di jejunum (Torres et al. 2019).

B
A

Gambar 2 Telur Ascaridia galli berbentuk oval dan memiliki dinding yang tebal dengan
ukuran 73,65 x 50,20 µm. (A) telur fertile, (B) telur berembrio (Mubarokah et al. 2019)

E C A

D B
F

Gambar 3: Ascaridia galli 3A dan 3B: Telur; Perhatikan bahwa telur dicirikan oleh cangkang
yang tebal; 3C: Ujung anterior dari Ascaridia galli jantan dilihat dari sisi lateral 3D: Bagian
mulut Ascaridia galli dilihat dari frontal; 3E: Bagian ventral dari organ reproduksi jantan;
spikula terlihat (panah); 3F: Bagian lateral ujung posterior betina, anus terlihat (panah)
(Torres et al. 2019)
Siklus Hidup
Siklus hidup Ascaridia galli menurut Pudjiatmoko (2014) tidak memerlukan hospes
intermedier (inang antara), penularan melalui pakan, air minum, litter, atau bahan lain yang
tercemar oleh feses yang mengandung telur infektif.
1. Telur dikeluarkan melalui tinja dan berkembang di udara terbuka dan mencapai dewasa
dalam waktu 10 hari atau bahkan lebih. Telur mengandung larva kedua (L2) yang sudah
berkembang penuh dan larva ini sangat resisten terhadap kondisi lingkungan yang jelek.
Telur tersebut dapat tetap hidup selama 3 bulan di dalam tempat yang terlindung, tetapi
dapat mati segera terhadap kekeringan, air panas, juga di dalam tanah yang kedalamannya
sampai 15 cm.
2. Infeksi terjadi bila unggas menelan telur tersebut (mengandung L2) yang bersama
makanan atau minuman. Cacing tanah dapat juga bertindak sebagai vektor mekanis dengan
cara menelan telur tersebut dan kemudian cacing tanah tersebut dimakan oleh unggas.
3. Telur yang mengandung larva dua kemudian menetas di proventrikulus atau duodenum
unggas.
4. Setelah menetas, larva 3 hidup bebas di dalam lumen duodenum bagian posterior selama
8 hari.
5. Larva 3 mengalami ekdisis menjadi larva 4, masuk ke dalam mukosa dan menyebabkan
hemoragi.
6. Larva 4 akan mengalami ekdisis menjadi larva 5. Larva 5 atau disebut cacing muda
tersebut memasuki lumen duodenum pada hari ke 17, menetap sampai menjadi dewasa
pada waktu kurang lebih 28-30 hari setelah unggas menelan telur berembrio. Larva 4 dapat
menetap di dalam jaringan mukosa usus rata-rata selama 8 hari, akan tetapi dapat sampai
17 hari.

Gambar 4 Siklus hidup Ascaridia galli (https://ascaridiagalli.eu/life-cycle)


Gejala Klinis
Gejala klinis pada ayam akan bervariasi tergantung pada tingkat keparahan infeksi.
Gejalanya akan lebih parah pada ayam yang lebih muda, kurang dari 3 bulan. Gejala klinis
pada ayam biasanya meliputi pucat (wajah, jengger dan pial), bulu kusam, pertumbuhan
terhambat, anemia, kadar hormon berubah, penurunan berat badan, nafsu makan menurun,
depresi, dan diare disertai lendir. Ayam betina mungkin menghabiskan lebih banyak waktu di
sarang, tidak terkait dengan sifat mengeram. Mungkin ada lebih sering intimidasi di antara
anggota kawanan. Penyakit cacing oleh Ascaridia galli menyebabkan kerugian ekonomi
yang cukup besar bagi peternak. Cacing dewasa hidup di saluran pencernaan, apabila
dalam jumlah besar maka dapat menyebabkan sumbatan dalam usus. Penjelasan
selanjutnya menyebutkan bahwa kerugian disebabkan oleh karena cacing menghisap sari
makanan dalam usus ayam yang terinfestasi sehingga ayam akan menderita kekurangan
gizi (Animal 2021; Pudjiatmoko 2014)

Patogenesis
Menurut (Dwinata et al. 2017) intensitas infeksi Ascariasis tergantung dari beberapa
faktor, seperti makanan, microflora usus, infeksi koksidia, jenis kelamin, dan umur.
Kerentanan meningkat apabila dalam ransum kekurangan vitamin A, B, dan B12 serta
mineral dan protein. Unggas dengan umur lebih dari 3 bulan lebih tahan terhadap infeksi ini,
hal ini berkaitan dengan meningkatnya sel goblet dalam usus.

Patogenitas yang ditimbulkan dari infeksi cacing Ascaridia galli dapat meliputi 2 stadium:

1. Larva cacing Ascaridia galli menembus mukosa usus, sehingga akan mengakibatkan
kerusakan pada dinding usus dan pada usus dapat terjadi perdarahan sehingga
menimbulkan enteritis yang menyebabkan penyerapan zat-zat makanan terganggu.
2. Cacing dewasa Ascaridia galli dalam lumen usus. Cacing dewasa hidup bebas dalam
lumen duodenum dan apabila jumlah cacing banyak atau bahkan melimpah, maka akan
menyebabkan penyumbatan dari duodenum. Cacing dewasa akan aktif memakan makanan
yang dimakan unggas (kompetitif dengan hospes) sehingga efisiensi penyerapan makanan
terganggu dan mengakibatkan pertumbuhan ayam terganggu.
Akumulasi infeksi cacing Ascaridia galli terjadi pada unggas yang dipelihara dalam
kandang litter (sekam) yang tebal terutama karena peningkatan kelembaban. Infeksi berat
Ascaridia galli menyebabkan penurunan produksi telur pada kandang litter di breeder dan
layer komersial. Ayam yang diberi pakan dengan kandungan protein 10% dan diidentifikasi
dengan 10, 100 da 1000 telur A.galli per hari selama enam minggu tanpa diberi suplemen
vitamin menunjukkan berat badan yang lebih rendah disbanding yang diberi suplemen
vitamin.
Umur hospes dan derajat keparahan infeksi oleh Ascaridia galli memegang peranan
penting dalam kekebalan terhadap cacing tersebut. Infeksi A. galli menyebabkan penurunan
berat badan yang signifikan. Hal ini disebabkan karena ascaridiosis dapat mengganggu
efisiensi absorpsi nutrisi yang berlangasung di dalam usus halus ayam petelur. Sifat
penyakit parasitik cacing A. galli biasanya berjalan kronis sehingga menimbulkan gejala
sakit yang perlahan atau subklinis. Kecacingan tidak menyebabkan mortalitas tetapi
menghasilkan morbiditas.

METODE DIAGNOSA
Teknik diagnosa dapat dilakukan dengan pemeriksaan feses ayam yang diduga
terinfeksi Ascaridia galli dengan melihat gejala klinis. Teknik diagnosa tersebut antara lain
menggunakan metode langsung (natif) dan metode pengapungan dengan setrifugasi
(Silaban et al. 2018).
1. Persiapkan alat dan bahan
Alat yang digunakan spatula, kantong plastik steril, mikroskop, jarum ose, gelas ukur
25 ml, timbangan analitik, objek glass, cover glass, sarung tangan, pinset, kain kasa, pipet
tetes, gunting, masker, gelas plastik, dan kertas label. Adapun bahan yang digunakan feses
segar, larutan NaCl, Aquades, eosin 1%, dan larutan garam fisiologis 0.9%.
2. Pengambilan sampel
Sampel feses ayam diambil dengan menggunakan spatula dan dimasukkan kedalam
dua plastik yang berbeda selanjutnya sampel diberikan label dalam setiap plastik.
3. Pemeriksaan dengan menggunakan metode langsung (natif)
Sampel feses ditimbang sebanyak 2 gram kemudian ditambahkan 7-10 ml dengan
larutan garam fisiologis 0.9% kemudian dihomogenkan dan mengambil satu tetes dan
meletakkan di kaca objek setelah itu diteteskan larutan eosin 1% sebanyak 1 tetes. Sampel
feses kemudian ditutup menggunakan cover glass dan diperiksa menggunakan mikroskop
untuk mengetahui keberadaan endoparasit dan mengidentifikasi jenis endoparasit yang
ditemukan.
4. Pemeriksaan dengan metode pengapungan dengan setrifugasi
Sampel feses ditimbang sebanyak 2 gram, dan dicampur dengan 10 ml larutan NaCl
jenuh dan dihomogenkan. Larutan disaring dengan menggunakan kain kasa berukuran
10x10cm, dan dituang kedalam tabung sentrifugasi selama lima menit dengan putaran 100
kali permenit. Setelah disentrifugasi larutan yang terdapat pada permukaan diambil
menggunakan jarum ose, dan diteteskan diatas objek glass. Kemudian ditutup dengan cover
glass, dan diperiksa dengan menggunakan mikroskop dan diidentifikasi jenis endoparasit.
Teknik biomolekuler yang dapat dilakukan yaitu dengan teknik PCR konvensional
(Polymerase Chain Reaction) pada ayam lokal di kota Baghdad (Qazaz 2020).
1. Koleksi sampel
Lima puluh dua sampel tinja (sekitar 5-10 g) dikumpulkan dari ayam ras lokal dewasa
(Gallus gallus domesticus) dari pasar lokal yang berbeda di kota Baghdad.
2. Ekstraksi DNA dari feses
Kit ekstraksi DNA G-spin (Intron Biotechnology, cat.no. 17045) digunakan untuk
ekstraksi DNA telur dari Ascaridia galli.
3. Primer Ascaridia galli
Informasi urutan digunakan dan spesifik primer gen Ascaridia galli dirancang
(Ascaridia galli 18S gen RNA ribosom subunit kecil, parsial urutan) dalam urutan daerah
yang dilestarikan memberikan amplikon dengan panjang 760 bp dan diselidiki oleh IDT
(Integrated Perusahaan Teknologi DNA, Kanada) dan yang optimal kondisi telah
diidentifikasi untuk denaturasi awal dan anil, juga mengubah konsentrasi template DNA
antara 1,5-2µl

Tabel 1 Primes spesifik dari Ascaridia galli


Primers Sequence TM (0C) CC (%) Product size
Forward 5’AAGGAAGGCAGCAGGCGCG-3’ 60,5 57,9 760
Reverse 5’CGTGTTGAGTCAAATTAAGCCGC-3’ 60,2 47,8 Base pare

Maxime PCR Pre Mix kit (i-Taq) 20µlrxn (cat. No.25025) digunakan untuk produk
PCR dan untuk diagnosis gen menggunakan Taq PCR PreMix dan kondisi optimal deteksi
gen awal denaturasi awal (95ºC; 3 menit; 1 siklus), denaturasi (95ºC; 45 detik; 35 siklus),
anil (64ºC; 45detik; 35 siklus), ekstensi 1 (72ºC; 45 detik; 35 siklus) dan ekstensi 2 (72ºC; 10
menit; 1 siklus) dengan gradien anil 52, 54, 56, 58, 60 dan 62.

4. Elektroforesis DNA pada gel agarosa


Elektroforesis telah dilakukan untuk menentukan potongan DNA (visualisasi produk
PCR) setelah proses ekstraksi atau untuk mendeteksi hasil interaksi PCR selama adanya
DNA standar untuk membedakan ukuran bundel hasil interaksi PCR pada gel agarosa (2%)
dengan pewarna asam nukleat Merah (cat. No.21141) dan menggunakan penanda standar
(DNA 100bp ladder) Kapa universal DNA ladder (cat # KK6302) dan divisualisasikan di
bawah gel UV Transmission (Vilberlourmat –Prancis) untuk menentukan ukuran dan jumlah
DNA yang terdampar pada agarosa gel. Berikut merupakan hasil uji PCR, jumlah sampel
positif yaitu sebanyak 9 dari 52 ayam positif terkena Ascaridia galli ditunjukkan pada sampel
1, 4, 7, 12, 13, 15, 18, 21, 22, dan 23

Gambar 5 menunjukkan hasil uji PCR dari Ascaridia galli.


Hasil positif dicatat di GenBank di bawah nomor aksesi MK271771.1, dengan
identitas 99 – 100 % (18S gen RNA ribosom) dengan UAS, Jepang, Brasil, dan Cina
mengisolasi

Gambar 6 Pohon filogenetik isolat Ascaridia galli dan isolat dunia lainnya
PENGENDALIAN DAN PENGOBATAN
Pengendalian dan pengobatan berdasarakan Pudjiatmoko (2014). Pengendalian
yang dapat dilakukan antara lain: (1). Unggas muda harus dipisahkan dari unggas dewasa;
(2). Menjaga lingkungan tempat unggas agar tidak ada air yang menggenang dengan cara
memelihara saluran air yang baik; (3). Kandang ayam harus mempunyai ventilasi yang
cukup; (4) Secara periodik litter diganti, tempat pakan dan minum harus sering dibersihkan;
(5) Setiap akan memasukkan ayam baru dalam partai besar dalam kandang litter, maka litter
harus dibiarkan selama beberapa hari untuk dilakukan penyuci hamaan dan pemanasan
sehingga diharapkan litter menjadi kering dan telur yang mengandung larva infektif juga ikut
mati.
Pengobatan yang dapat diberikan pada ternak yang terinfeksi Ascaridia galli antara
lain: (1). Piperazine yang paling sering digunakan, anthelmentik ini sangat efektif, dapat
diberikan melalui makanan atau min’uman. Dosis pemberiannya 300-440 mg per kg pakan
atau 440 mg piperazine sitrat per liter; (2). hygromisin B dosis 8 gr per ton selama 8 minggu.
(3). Albendazol dosis 3,75mg/ kg bb; (4) Fenbendazol dosis 15-20 mg/kg bb selama 3 hari
berturut-turut dapat digunakan memberantas infestasi cacing pada ayam atau 30-60 ppm
dalam pakan selama 6 hari berturut-turut; (5) Levamisol 37,5 mg/kg dalam air minum atau
makanan. Satu kaplet untuk 10 ekor ayam yang beratnya 1 kg dilarutkan dalam air 2 liter
melalui minum atau dihancurkan dalam makanan 1 kg.
KAJIAN PENYAKIT

Gambar 7 Leucocytozoon sp., Simulium sp. dan Culicoides Sp.

Etiologi
Ayam, unggas air, kalkun dan sejumlah spesies burung yang hidup bebas dan
dipenangkaran seluruh dunia merupakan hewan yang rentang terhadap penyakit
leucozitozoonosis (Wettere 2020). Leucositozoonosis pada hewan disebabkan oleh spesies
yang berbeda. Leucocytozoon cauleryi merupakan salah satu spesies leucocytozoon yang
banyak menginfeksi ayam. Klasifikasi leucozytozoon cauleryi adalah sebagai berikut :
Filum : Apycomplexa
Kelas : Sporozoa
Ordo : Eucoccidiidae
Famili : Plasmodiidae
Genus : Leucocytozoon
Spesies : Leucocytozoon Caulleryi (Sabrozesi, Simondi, Smithi)

Gambar 8 Morfologi Leucocytozoon Caulleryi

Siklus Hidup
Leucocytozoon caulleryi dalam perkembangan hidupnya memerlukan dua macam
Inang, yaitu ayam dan vektor penghisap darah (Cullicoides arakawae). Pertumbuhan
Leucocytozoon caulleryi di dalam tubuh ayam terbagi atas dua stadium, yaitu skizogoni dan
gametogoni. Skizogni adalah pertumbuhan Leucocytozoon caulleryi di dalam sel-sel endotel
dan parenkim dari paru- paru, jantung, ginjal, otot rangka, timus, pankreas, trakhea,
bronkus, duodenum, ovarium, bursa fabrisius, otak, testis, dan organ lainnya. Setelah
membentuk beberapa generasi skizon, skizon menjadi dewasa dan pecah dengan
mengeluarkan merozoit-merozoit. Merozoit masuk ke dalam aliran darah dan berkembang
menjadi gametosit (Sinulingga dan Darjono 2004). Proses perkembangan ini terbagi atas
lima stadium, yaitu:
1. Stadium pertama, merozoit berada bebas dalam plasma darah
2. Stadium dua, merozoit dapat dilihat dalam eritrosit atau eritroblas.
3. Stadium tiga, sel inang ukurannya lebih besar dari stadium 2, belum dapat dibedakan
antara makrogametosit dan mikrogametosit
4. Stadium empat, makrogametosit dan mikrogametosit dapat dibedakan dan dapat
ditemukan dalam darah perifer
5. Stadium akhir, kedua tipe gametosit sudah dapat bebas dari sel inang
Gametosit akan terhisap oleh vektor dan dalam serangga ini gametosit berkembang
dengan cara seksual (Sinulingga dan Darjono 2004). Selanjutnya di dalam usus vektor,
mikrogamet akan membuahi makrogamet dan terbentuk zigot. Zigot dapat bergerak dan
dikenal sebagai ookinet. Ookinet-ookinet selanjutnya berkembang menjadi ookista. Proses
sporogoni untuk menghasilkan sporozoit terjadi di ookista dalam dinding usus. Sporozoit
akan berkembang dalam kelenjar ludah vektor dan siap untuk menginfeksi ayam lain
(Sinulingga dan Darjono 2004).

Gambar 9 Siklus hidup Leucocytozoon sp.

Patogenesa
Infeksi yang sering terjadi adalah infeksi subklinis, tetapi untuk beberapa kasus klinis
yang terjadi berakibat fatal dan kematian dapat bervariasi tergantung jenis strain parasit
yang menginveksi, spesies hewan, tingkat paparan, usia, status kekebalan dan faktor
lainnya. Penyebaran kasus leucocytozoonosis diakibatkan oleh faktor suhu, perubahan
iklim, curah hujan dan juga kecepatan angin yang dapat membantu menerbangkan vektor
culioides sp. dan simulium sp. sebagai plangkton udara (Suprihati et al. 2020). Unggas yang
terinfeksi akan mati setelah 7-20 hari atau dapat pulih dengan gejala sisa pertumbuhan dan
produksi telur buruk.Penyakit klinis dan kematian akibat anemia disebabkan oleh faktor
antieritrosit yang dihasilkan oleh parasit, jumlah gamatoit besar yang memblokir kapiler
paru-paru atau parasit yag menyerang endotel pembuluh darah di jaringan (otak, jantung dll)
dimana parasit tersebut membentuk megaloskizon yang menyumbat pembuluh darah dan
menyebabkan nekrosis multifokal (Hellgreen et al. 2004).
Sporozoit yang telah masuk ke dalam pembuluh darah akan berkembang
membentuk skizon. Dari skizon tersebut berkembang merozoid yang menyebar keseluruh
tubuh. Setelah 7 hari infeksi, skizon akan mengalami robek dan mengeluarkan merozoit
yang telah berkembang dalam skizon. Merozoid tersebut menyebabkan banyak terjadi
kerusakan sel darah dan mengganggu sirkulasi darah perifer unggas, sehingga unggas
mengalami anemia, kelemahan, dan kematian (Robinson 2012). Organ lain yang terganggu
adalah hati dengan menunjukkan lesi berupa nekrotik dan pembengkakan. Hal tersebut juga
mengganggu organ lain yang tersirkulasi darah berupa pembengkakan pada ginjal, dan
diare. Infeksi pada unggas muda akan bersifat akut sedangkan pada unggas dewasa akan
bersifat kronis. Splenomegali dan hepatomegaly disebabkan oleh lesi histologis akibat
perkembangan megaloskizon di hati dan limpa serta organ lainnya (Hellgreen et al. 2004).
Ptekhi dapat terjadi karena kerusakan sel endotel, perdarahan berbintik akibat
kebocoran pembuluh darah. Infeksi ektoparasit ini menyebabkan penghancuran retikulosit
dan eritrosit sehingga membuat peningkatan dieksresikannya darah dalam empedu dan
terjadi feses berwarna hijau. Vakuola lipid terjadi karena adanya infeksi dari leucocytozoon
sp. yang menyebabkan kongesti pada sinusoid hati dan terjadi hepatosit nekrosis dan terjadi
degenerasi lemak. Penurunan hepatosit membuat fungsi sel nekrotik dan terjadi akumulasi
lipid di hati karena penurunan kapasitas hati. Sel leucocytozoon dalam sel endotel untuk
memperbanyak merozoit menginduksi rusaknya vaskularisasi sehingga darah bisa masuk
kedalam ruang pericadial dan juga organ lainnya (Suprihati et al. 2020).

Gejala Klinis
Leucositozoonosis akut akan menyebabkan unggas mengalami anemia,
leucocytosis, tachypnea, anorexia, lesu, diare berwarna hijau dan gangguan syaraf
(Rahardjo 2009). Gejala klinis muncul setelah satu minggu infeksi. Kematian pada unggas
dapat terjadi pada unggas yang tidak diobati dalam waktu 7 sampai 10 hari infeksi. Unggas
yang mampu bertahan hidup akan mengalami gangguan pertumbuhan, penurunan produksi,
serta infeksi bersifat laten. Lesi yang dapat ditemukan saat nekropsi antara lain adalah
perihepatitis fibrosa dan ginjal membengkak dengan membran serosa yang pucat (Hozmen
dan Haligur 2004). Unggas yang terinfeksi leucositozoonosis akan menunjukkan lesi adanya
bercak-bercak perdarahan pada paha, dada, abdomen, kulit dan kulit sekitar mata. Bercak
pendarahan juga hampir ditemui pada seluruh organ visceral unggas. Hati dan limpa
terkadang ditemukan mengalami pembesaran.

Gambar 10 Gejala Klinis


METODE DIAGNOSIS
Leucocytozoonosis dapat diperiksa dengan melihat gejala klinis yang muncul.
Pemeriksaan juga dapat mengamati ulas darah terhadap adanya parasit. Uji histopatologi
dengan memeriksa keberadaan skizon, serta uji serologis dalam peneguhan diagnosa.
Pengambilan sampel untuk pemeriksaan mikroskop dapat mengambil sampel darah perifer.
Unggas yang telah mati juga dapat dipakai sebagai sampel pemeriksaan laboratorium
(ISIKHNAS 2014). Pada pemeriksaan apus darah, difikasasi menggunakan methanol
selama 5 menit kemudian diwarnai dengan larutan giemza 45 menit kemudian diamati
dibawah mikroskop (Melasari 2015). Uji serologis yang umumnya digunakan untuk
mendiagnosa kasus leuocytozoonosis adalah uji ELISA. Pemeriksaan mikroskopis dengan
metode apusan darah dan juga dengan tes serologis membutuhkan keahlian, karena parasit
sering terlewatkan ketika parasitemia sangat rendah. Berdasarkan hal tersebut maka
dikembangkan metode PCR untuk deteksi leucocytozoon sp. Metode PCR adalah metode
diagnostik yang sensitive untuk mendeteksi parasit setelah strain DNA gametosit
menghilang dalam sirkulasi darah inang (Chawengkirttikul et al. 2021).
Menurut penelitian Chawengkirttikul et al. (2001) Saat uji 313 sampel unggas di
Thailand menunjukkan hasil positif sebanyak 80%. Hal tersebut menunjukkan bahwa uji
metode PCR pada leucozitozoon sp. sangat sensitive, hal tersebut sesuai dengan hasil
penelitian menurut Hellgreen et al. (2004). Metode PCR dilakukan dengan tahapan
pengambilan sampel darah atau organ lalu dilakukan ekstraksi dengan menggunakan kit
DNA Extraction, kemudian dilakukan amplifikasi dalam mesin PCR (Thermalcycler). Target
gen pada PCR adalah gen cytochrome b parasit. Jika untuk mengetahui jenis strain dapat
dilanjutkan dengan metode DNA sequencing.

Gambar 11 Leucocytozoon sabrasezi metode apusan darah pada ayam (A)


makrogametosit memanjang, (B) mikrogametosit memanjang, (C) mikrogametosit
dan makrogametosit memanjang dan bulat. (ket. panah = mikro/makrogametosit,
panah putus = inti host).

PENGOBATAN
Pengobatan dapat diberikan Pyrimethamine dengan (dosis 1 ppm),Sulfadimethoxine
(10 ppm), Clopidol (125 ppm) serta mengikuti petunjuk pada kemasan obat (Umali et al.
2014). Terapi lain yang dapat diberikan yaitu chloroquine dan primaquine selama infeksi.
Pemberian antibiotik sulfonamid dapat menekan pertumbuhan skizon (Purwanto et al. 2010).
Pada kasus leucoscytozoonosis pengobatan umunya tidak efektif, imunitas humoral yang
dihasilakan dari vaksinasi akan melindungi terhadap infeksi l. Cauleryi. Pemberian suportive
care seperti vitamin dan juga kontrol pakan dapat dilakukan untuk membatu proses
persembuhan. Perawatan dengan quinacrine hydrocloride atau larutan
trimetropim/sulfametaksol telah terbukti mengurangi parasitemia tetapi infeksi tidak hilang
(Hellgreen et al. 2004).
PENGENDALIAN
Tindakan dalam pencegahan Leucocytozoonosis yang dianggap paling
efektif adalah menekan atau mengeliminasi vektor biologis (insekta) yaitu lalat
Culicoides sp. dan Simulium sp. (Msoffe dan Cardona 2009). Mengurangi larva serangga
dapat dilakukan dengan spraying di sekitar kandang menggunakan insektisida. Genangan
air dan semak belukar atau rumput dan tanaman yang tidak berguna disekitar kandang juga
perlu dihindari, karena dapat menjadi tempat berkembangbiaknya serangga (Purwanto et al.
2010). Variasi umur ayam pada suatu lokasi peternakan juga perlu ditekan untuk
menghindari adanya kelompok umur yang bertindak sebagai carrier. Faktor risiko dari ayam
pembawa (carrier) yang dapat dihilangkan, menyebabkan vektor serangga tidak dapat
membawa dan menularkan parasit Leucocytozoon sp. tersebut pada ayam lain yang lebih
muda (Fadilah dan Polana 2011). Dari hasil penelitian Chanwengkirttikul et al. (2021)
menunjukkan hasil infeksi pada ayam usia <4 bulan sebanyak 95%, usia 4-12 bulan 90,11%
dan >12 bulan 54,95%. Peningkatan biosecurity serta penggunaan kandang close house
akan membuat ayam lebih terjaga dari gangguan luar baik fisik, cuaca, maupun serangan
penyakit, terhindar dari polusi, keseragaman ayam lebih bagus dan pakan lebih efisien
(Tamaluddin 2012).

Gambar 6 kandang close house

SIMPULAN DAN SARAN

Simpulan
Kejadian ascariasis pada ayam sering ditemukan pada unggas yang tidak
dikandangkan. Penularan Ascaridia galli dapat melalui pakan, air minum, litter, atau bahan
lain yang tercemar oleh feses yang mengandung telur infektif. Gejala klinis yang tampak
pada ayam mencret berlendir, selaput lendir pucat, pertumbuhan terhambat, kekurusan,
kelemahan umum, anemia, diare. Diagnosa dapat dilakukan dengan pemeriksaan feses
ayam. Pengendalian dan pengobatan dapat dilakukan untuk mencegah terjadinya
ascariasis. Simpulan dan Saran
Leukositozoonosis merupakan penyakit protozoa yang menyerang unggas dan
disebabkan oleh leukositozoon sp. Pada unggas muda akan menyebabkan penyakit bersifat
akut sedangkan unggas dewasa akan bersifat kronis. Penyakit ini disebabkan oleh vektor
culicoides sp. dan simulium sp.
Saran
Kebersihan kandang perlu ditingkatan guna mencegah infestasi cacing. Perlunya
dilakukan pemeriksaan dini terhadap keberadaan telur cacing ini untuk mencegah
terjadinya tingkat prevalensi yang tinggi yang akan berdampak pada produksi maupun
pertumbuhan ayam yang akhirnya akan berdampak pada ekonomi peternak. Pengendalian
dapat dilakukan dengan mengatasi vektor dan menggunakan Pyrimethamine,
Sulfadimethoxine, Clopidol. Untuk pengobatan terhadap leucicytozoonosis belum ada yang
efektif.

DAFTAR PUSTAKA
[Ditjen PKH] Direktorat Jendral Peternakan dan Kesehatan Hewan. 2014. Manual Penyakit
Unggas. Jakarta: Direktorat Jendral Peternakan dan kesehatan Hewan.
Animal DVM. 2021. Rundworm Infection [Diunduh pada September 7 2021]
http://www.poultrydvm.com/condition/roundworms.
Anonim. 2010. Waspada Outbreak Leucocytozoonosis. [internet]. [diunduh 07 September
2021]. Tersedia : http://info.medion.co.id/index.php/artikel/broiler/ penyakit/waspada-
outbreak-leucocytozoonosis
Apsari IAP, Arta IMS. 2010. Gambaran darah merah ayam buras yang terinfeksi
leucocytozoon. Jurnal Veteriner. 11(2): 114-118.
Carr J 2012. Simulium sp. terhubung berkala : http://www.diptera.info [26 Juni 2012].
Chawengkirttikul R, Junsiri W, Watthanadirek A, Poolsawat N, Minsakorn S, Srionrod N, &
Anuracpreeda P. 2021. Molecular detection and genetic diversity of Leucocytozoon
sabrazesi in chickens in Thailand. Scientific Reports, 11(1) : 1-13
Dwinata IM, Apsari IAP, Suratma NA, Oka IBM. 2017. Modul Identifikasi Parasit Cacing.
Denpasar (ID): Fakultas Kedokteran Hewan Udayana.
El-Shahawy IS and Elenien FA. 2015. Enteric parasites of Egyptian captive birds: A general
coprological survey with new records of the species. Trop Biomed. 32:650-8.
Fadilah dan Polana A. 2011. Mengatasi 71 Penyakit pada Ayam. PT. Agrolnedia Pustaka :
Jakarta. Global Livestock Collaborative Research Support Program
Hellgreen O, Waldenström J, Bensch S. (2004). A new pcr assay for simultaneous studies
of leucocytozoon, plasmodium, and haemoproteus from avian blood. Journal of
Parasitology. 90(4). 797–802.
Lee et al. 2014. Diagnosis Leucocytozoon caulleryi infection in commercial broiler breeders
in South Korea. Avian Diseas. 58: 183-186
Male H, RR et al. 2017. Prevalensi dan Intensitas Infeksi Leucocytozoon sp. pada Ayam
Buras di Bukit Jimbaran Kecamatan Kuta Selatan. Indonesia medicus Veterinus.
6(2): 153-159.
Melasari. 2015. Deteksi faktor risiko leucocytozoonosis pada tingkat peternakan ayam
pedaging di Kelurahan Maccope Kecematan Awangpone Kabupaten Bone [Skripsi].
Makassar (ID): Universitas Hasanuddin.
Moenek DYJA, Oematan AB. 2017. Endoparasit pada usus ayam kampung (Gallus
domesticus)Jurnal Kajian Veteriner. 5(2):84-90.
Msoffe, P.L., dan Cardona C.J. 2009. Poultry Disease Handbook for Africa. California : The
Ozmen, O., dan Haligu M. 2004. A Study on the Presence of Leucocytozoonois in Wild
Birdsof Burdur District. Turk J Vet Anim Sci 29 (2005) 1273-1278
Parede L, Zainuddin D, dan Huminto H. 2005. Penyakit Menular pada Intensifikasi Unggas
Lokal dan Cara Penanggulangannya. Lokakarya Nasional Inovasi teknologi
Pengembangan Ayam Lokal. Bogor
Pudjiatmoko. 2014. Manual Penyakit Unggas Edisi ke-2. Jakarta (ID): Kementrian Pertanian
Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan Kementrian Pertanian.
Jakarta (ID): Subdit Pengamatan Penyakit Hewan.
Purwanto, Budi.,dkk. 2009. Leucocytozoonosis dari Gejalanya sampai Penanganannya.
[internet]. [diunduh 07 September 2021]. Tersedia :
http://www.majalahinfovet.com/2009/01/leucocytozoonosis-dari-gejalanya-
sampai.html.
Qazaz IA. 2020. Molecular detection of Ascaridia galli in local breed chicken (Gallus Gallus
domesticus) in Baghdad City. Plant Archives. 20(1): 199-202.
Rahardjo Y. 2009. Leucocytozoonosis dari Gejalanya sampai Penanganannya. Majalah
Peternakan dan Kesehatan Hewan.
http://www.majalahinfovet.com/2009/01/leucocytozoonosisdarigejalanyasampai.htm
Retno FD, Lestariningsih CL, Purwanto B, Hartono S. 2015. Penyakit-penyakit Penting pada
Ayam. Bandung (ID): Medion.
Robinson H. 2012. Diagnostic Parasitology for Veterinary Technicians fourth Edition. US:
Elsevier Mosby.
Silaban R, Febriansyah R, Pulungan S. Identifikasi endoparasit nematoda pada feses Ayam
broiler Di Peternakan Submitra Indojaya Agrinusa Desa Pudun Jae. Grahatani. 4(1):
570-579
Sinulingga LR, Darjono J. 2004. Dinamika Perkembangan Leucocytozoon caulleryi dalam
Darah Perifer Ayam Potong. J. Sain Vet. (1):22
Sudjarwo E, Muharlien, Hamiyanti AA, Prayogi HS, Yulianti DL. 2019. Manajemen Produksi
Tamaluddin F. 2012. Ayam Broiler 22 Hari Panen Lebih Untung. Penebar Swadaya. Jakarta
Tanveer S, Ahad S, Chishti MZ. 2015. Morphological characterization of nematodes of the
genera Capillaria, Acuaria, Amidostomum, Streptocara, Heterakis, and Ascaridia
isolated from intestine and gizzard of domestic birds from different regions of the
temperate Kashmir valley. J Parasit Dis. 39(4):745-760.
Ternak Unggas. Malang (ID) : UB Press.
Torres ACD, Costa CS, Pinto PN, Santos HA, Amarante AF, Gómez SYM, Resende M,
Martins NRS. 2019. An outbreak of intestinal obstruction by Ascaridia galli in broilers
in Minas Gerais. Brazilian Journal of Poultry Science. 21(4):1-6.
Umali DV, Ito A, Valle FPD, Shirota K, Katoh H. 2014. Antibody Response and Protective of
Chickens Vaccinated with Booster Dose of Recombinant Oil- Adjuvanted
Leucocytozoon caulleryi Subunit Vaccine AAAP. BioOne Research Evolved.
58(4):609-615.
Wettere AJV. 2020. Leucocytozoonosis in poultry. [Internet]. [Diunduh 08 september 2021].
Tersedia : https://www.msdvetmanual.com/poultry/bloodborne-
organisms/leucocytozoonosis-in-poultry
Zalizar L dan Satrija F. 2009. Pengaruh perbedaan dosis infeksi Ascaridia galli dan
pemberian piperazin terhadap jumlah cacing dan bobot badan ayam petelur. J.
Animal Production. 11(3): 176‐182
Zalizar L, Satrija F, Tiuria R. dan Astuti DA. 2007. Respon ayam yang mempunyai
pengalaman infeksi Ascaridia galli terhadap infeksi ulang dan implikasinya
terhadap produktivitas dan kualitas telur. J. Animal Production. 9(2): 92‐98.
RESUME VIDEO
JUDUL ASCARIDIA GALLI, PENYAKIT PRIMADONA PADA USUS AYAM PODCAST #26
SUMBER: https://www.youtube.com/watch?app=desktop&v=OfjzvhOSbis

Ascariasis merupakan penyakit yang disebabkan oleh cacing nematoda (cacing


gilig), Ascaradia galli yang menyerang usus ayam. Infestasi cacing pencernaan ayam dapat
menyebabkan peradangan pada mukosa dan vili usus bahkan ditemukannya pendarahan.
Hal tersebut dapat menyebabkan terganggunya penyerapan nutrisi, menghambat kinerja
dan produktvitas dari ayam. Penularan terjadi melalui tempat pakan dan air minum, sekam
yang basah dan peralatan lain yang sudah tercemar feses yang mengandung telur
Ascaradia galli. Penularan juga terjadi akibat vektor mekanis yaitu lalat dan cacing tanah
yang mengandung telur cacing lalu cacing tanah tersebut termakan oleh ayam. Gejala klinis
yang ditimbulkan tergantung pada tingkat keparahan. Infeksi berat akan menyebabkan diare
berlendir, pertumbuhan berat badan terhambat, ditemukan ayam kredil, pada ayam petelur
terjadi penurunan produktivitas bahkan kematian akibat penyumbatan.
Saat dilakukan nekropsi, akan terlihat usus yang mengalami peradangan atau
nekrotik enteritis dan ditemukannya Ascaradia galli. Pengobatan yang diberikan berupa
piperezin, levamisol dan ivermectin. Piperezin dapat diaplikasikan melalui air minum, tingkat
keamanan dari obat ini luas. Tingkat keamanan dari levamisol rendah oleh sebab itu sangat
perlu memperhatikan dosis yang digunakan pada kemasan. Ivermectin merupakan obat
yang sering digunakan.dan penggunaannya luas, dapat berfungsi untuk ektoparasit.
Pengendalian yang dapat dilakukan antara lain kebersihan dan sanitasi kandang serta
terhadap vektor mekanis juga perlu dilakukan dengan menjaga lingkungan tetap kering dan
tidak lembab.
RESUME VIDEO

SUMBER: https://www.youtube.com/watch?v=Co2xRSYHGvM

Leucocytozoon atau Malaria Like Desease (malaria unggas)

Disebabakan oleh Leucocytozoon sp. yang perupakan penyakit protozoa yang menyarang
sel-sel darah dan organ visceral.

Sifat dari penyakit ini adalah akut, dengan penularan karena gigitan vektor agas (Culicoides
sp.) dan lalat hitam (Simulium sp).

Spesies Unggas Peka Vektor


Leucocytozoon Caulleryi ayam Culicoides Sp
Leucocytozoon Ayam Simulium sp.
Sabrozesi
Leucocytozoon Simondi Ititk-angsa Simulium sp.
Leucocytozoon Smithi kalkun Simulium sp.

Prinsip penularan hampir sama dengan malaia pada manusia dengan perantara adalah
nyamuk.

Morfologi

Leucocytozoon Caulleryi Bulat , ditemukan dalam eritrosit atau leukosit.


Intisel hospes membentu pita gelap memanjang
Leucocytozoon Sabrozesi Makrogamet dan mikrogamet berbentuk seperti
sosis. Sel hospes berbentuk gelondong dengan
“tanduk-tanduk” sitoplasma panjang, memanjang
melebihu ukuran parasite. Inti sel hospes
membentuk suatu jungta, sempit berwarna gelap
pada pewarnaan sepanjang suatu sisi parasit.
Leucocytozoon Simondi Gamet dewasa berbentuk memanjang atau bulat,
ditemukan pada leukosit atau eritrosit
Leucocytozoon Smithi Bulat terus memanjang, sel hospes memanjang, inti
sel hospes memanjang , membentuk suatu pita
panjang, tipis, gelap sepanjang salah satu sisi
parasite, sering kali membelah dan membentuk
suatu pita yang berada disetiap sisi parasit.
Patogenesis

Ketika berada dalam tubuh inang (ayam) dia dalam bentuk schizogoni (organ visceral) dan
gametogoni (RBC atau WBC). Sporogoni (insect atau vektor).

Sejarah singkat >>> ditemukan di sumatera pertama kali oleh Prowazek tahun 1912
menyerang ayam, yang diidentifikasi adalah Leucocytozoon schuffneri.

Ayam Morbiditas Mortalitas


Anak ayam 0-40% 7-50%
Ayam 7-40% 2-60%
dewasa

Gejala klinis :

 Kematian tiba-tiba pada unggas muda


 Unggas dewasa : diare, anoreksia, lemah, penurunan produksi, depresi, muntah
darah, kelumpuhan bahkan kematian.

Patologi Anatomi :

 Perdarahan bervariasi (akibat multiplikasi aseksual parasit)


 Bercak darah (otot paha, dada, perut, kulit, kulit sekitar mata)
 Perdarahan seluruh organ dalam
 Gumpalan darah pada rongga perut dan saluran pernapasan.

Pengendalian : Sanitasi dan kebersihan lingkungan (kontrol vektor) >>> pemberian


insektisida spray

Pengobatan : pada kasus akut (0,0025% sulfadimetaoksin atau 0.005%


sulfakuinoksalin) melalui pencampuran air atau pakan.

Anda mungkin juga menyukai