Anda di halaman 1dari 25

CACING ASCARIS LUMBRICOIDES

Dr. Suparyanto, M.Kes


CACING ASCARIS LUMBRICOIDES

2.1.

Kecacingan
Penyakit kecacingan adalah salah satu penyakit tertinggi yang terjadi di
Indonesia. Penyebab parasit berukuran mikro yang mengambil makanan hewan dari
usus yang berisi banyak nutrisi. Cacing memasuki tubuh dalam fase larva merupakan
penyakit endemis dan kronis yang bisa meningkat tajam saat musim hujan dan banjir.
Larva cacing biasanya menyebar ke berbagai tempat untuk menginvasi tubuh manusia.
Cacing memasuki tubuh melalui mulut dengan dua cara, saat makan makanan yang
tidak dicuci dan dimasak setelah terkontaminasi lalat yang membawa larva cacing,
serta melalui pori-pori ketika seorang anak tidak memakai alas kaki ketika berjalan di
tanah. Dengan cara ini larva masuk ke aliran darah dan mencapai tempat yang
memungkinkan perkembangannya seperti di usus, paru-paru, hati dan sebagainya.
Pembangunan mereka membutuhkan waktu 1-3 minggu di tubuh manusia. Tahap
berikutnya dari kondisi gizi pasien biasanya menurun sehingga kesehatan mereka
terganggu. Jika dibiarkan anak menjadi pucat kulitnya, tubuh lebih ramping dan perut
membuncit karena kekurangan protein. Dalam kondisi yang sangat berat, cacingan bisa
menyebabkan radang paru-paru ditandai dengan batuk dan kesulitan bernafas,
obstruksi pada usus, gangguan hati, kaki gajah, dan perforasi usus. Dalam situasi ini
obat cacing tidak lagi membantu secara optimal. Cacing usus yang ditemukan di
banyak daerah dimana kebersihan dalam kondisi standart (Mahardian, 2013).

2.2.

Ascaris lumbricoides
Ascaris lumbricoides yang secara umum dikenal sebagai cacing gelang.
Penyebarannya di seluruh dunia (kosmopolit) dan lebih sering dijumpai pada anak usia
5-10 tahun. Di Indonesia infeksi cacing ini lebih dari 60 %. Dan manusia merupakan
satusatunya hospes dari Ascaris lumbricoides (Soedarto 2011, h. 180).
2.2.1.

Anatomi dan Morfologi


Cacing nematode ini adalah cacing yang berukuran besar berwarna putih

kecoklatan atau kuning pucat. Cacing jantan berukuran panjang antara 10-31 cm,
sedangkan cacing betina panjang badanya antara 22-35 cm. Kutikula yang halus
bergaris-garis tipis menutupi seluruh permukaan badan cacing. Ascaris lumbricoides
mempunyai mulut dengan tiga buah bibir, yang terletak sebuah di bagian dorsal dan
dua bibir lainnya terletak subventral. (Soedarto, 2011, h:181)
Selain ukurannya lebih kecil dari pada cacing betina, cacing jantan mempunyai
ujung posterior yang runcing, dengan ekor melengkung kearah ventral. Di bagian
posterior ini terdapat 2 buah spikulum yang ukuran panjangnya sekitar 2 mm,
sedangkan di bagian ujung posterior cacing terdapat juga banyak papil-papil yang
berukuran kecil. Bentuk tubuh cacing betina membulat (conical) dengan ukuran badan
yang lebih besar dan lebih panjang dari pada cacing jantan dan bagian ekor yang lurus,
tidak melengkung. (Soedarto, 2011, h:181)
Telur Ascaris lumbricoides mempunyai dua jenis telur, yaitu telur yang sudah
dibuahi (fertilized eggs) dan telur yang belum di buahi (unfertilized eggs). Fertilized
eggs berbentuk lonjong, berukuran 45-70 mikron x 35-50 mikron, mempunyai kulit telur
yang tak berwarna. Kulit telur bagian luar tertutup oleh lapisan albumin yang

permukaannya bergerigi (mamillation), dan berwarna coklat karena menyerap zat


empedu. Sedangkan di bagian dalam kulit telur terdapat selubung vetelin yang tipis,
tetapi kuat sehingga telur cacing Ascaris dapat bertahan sampai satu tahun di dalam
tanah. Fertilized eggs mengandung sel telur (ovum) yang tidak bersegmen, sedangkan
di kedua kutub telur terdapat rongga udara yang tampak sebagai daerah yang terang
berbentuk bulan sabit. (Soedarto, 2011, h:181-182)
Unfertilized eggs (telur yang tidak dibuahi) dapat ditemukan jika di dalam usus
penderita hanya terdapat cacing betina saja. Telur yang tak dibuahi ini bentuknya lebih
lonjong dan lebih panjang dari ukuran Fertilized eggs dengan ukuran sekitar 80x55
mikron, telur ini tidak mempunyai rongga udara dikedua kutupnya. Dalam tinja penderita
kadang-kadang ditemukan telur Ascaris yang telah hilang lapisan albuminnya, sehingga
sulit dibedakan dari telur cacing lainnya. Terdapatnya telur yang berukuran besar
menunjukkan cirri khas telur cacing Ascaris. (Soedarto, 2011, h:182)

Gambar 2.1 Telur Ascaris lumbricoides

Gambar 2.2 Cacing Ascaris lumbricoides


2.2.2.

Siklus Hidup
Keluar bersama tinja penderita, telur cacing yang telah dibuahi jika jatuh di tanah

yang lembab dan suhu yang optimal telur akan berkembang menjadi telur infektif, yang
mengandung larva cacing. Pada manusia infektif terjadi dengan masuknya telur cacing
yang infektif bersama makanan atau minuman yang tercemar tanah yang mengandung
tinja penderita ascariasis. Di dalam usus halus dan memasuki vena porta hati. Dengan
aliran darah vena, larva beredar menuju jantung, paru-paru, lalu menembus dinding
kapiler masuk kedalam alvenol. Masa migrasi larva ini berlangsung sekitar 15 hari
lamanya. (Soedarto, 2011, h:183)
Sesudah itu larva cacing merambat ke bronki, trakea dan laring, untuk
selanjutnya masuk ke faring, usofagus, lalu turun ke lambung dan akhirnya sampai ke
usus halus. Selanjutnya larva berganti kulit dan tumbuh menjadi cacing dewasa. Migrasi
larva dalam darah yang mencapai organ paru tersebut disebut lung migration. Dua
bulan semenjak masuknya telur cacing infektif melalui mulut, cacing betina mulai
mampu bertelur. Seekor cacing Ascaris lumbricoides dewasa mampu bertelur dengan
jumlah populasi telurnya dapat mencapai 200.000 butir per hari. (Soedarto, 2011,
h:183)

Gambar 2.3
2.2.3.

Siklus hidup Ascaris lumbricoides

Perubahan Patologi
Akibat beradanya cacing dewasa di dalam usus dan beradanya larva cacing di

dalam darah, akan terjadi perubahan patologis pada jaringan dan organ penderita.
Larva cacing yang berada di paru-paru dapat menimbulkan pneumonia pada
penderita dengan gejala klinis berupa demam, batuk, sesak dan dahak yang berdarah.
Selain itu penderita juga mengalami urtikaria disertai terjadinya eosinofil sampai 20
persen pada gambaran darah tepi. Terjadinya pneumonia yang disertai dengan gejala
alergi ini di sebut sebagai Sindrom Loeffler atau Ascaris pneumonia. (Soedarto, 2011,
h:184)
Jika terjadi infeksi askariasis yang berat (hiperinfeksi), terutama pada anak-anak
dapat terjadi gangguan pencernaan dan penyerapan protein sehingga penderita akan

mengalami gangguan pertumbuhan dan anemia akibat kurang gizi. Cacing Ascaris juga
dapat mengeluarkancairan toksik yang dapat menimbulkan gejala klinis mirip demam
tifoid di sertai tanda-tanda alergi misalnya ultikaria, edema pada wajah, konjungtivitas
dan iritasi pernafasan atas. (Soedarto, 2011, h:184)
Sejumlah besar cacing Ascaris dewasa yang terdapat di dalam lumen usus juga
dapat menimbulkan berbagai akibat mekanis, yaitu terjadinya sumbatan atau obstruksi
usus intususepsi.cacing dewasa juga dapat menimbulkan perforasi ulkus yang ada di
usus. Pada penderita yang mengalami demam tinggi, Ascaris lumbricoides dewasa
dapat melakukan migrasi ke organ-organ di luar usus (Ascaris ektopik), misalnya ke
lambung, usofagus, mulut, hidung, rima glottis atau bronkus, sehingga menyumbat
pernafasan penderita. Selain itu juga dapat juga terjadi sumbatan saluran empedu,
apendisitis, abses hati, dan pancreatitis akut. (Soedarto, 2011, h:184)
2.2.4.

Diagnosis
Untuk menetapkan diagnosis pasti askariasis harus dilakukan pemeriksaan

maksoskopis terhadap tinja atau muntahan penderita untuk menemukan cacing


dewasa. Pada pemeriksaan makroskopis atau tinja penderita dapat ditemukan telur
cacing yang khas bentuknya di dalam tinja atau cairan empedu penderita. (Soedarto,
2011, h:184)
Adanya cacing Ascaris pada organ atau usus dipastikan jika dilakukan
pemeriksaan radiografi dengan barium. Unuk membantu menegakkan diagnosis
askariasis, pemeriksaan darah tepi akan menunjukkan terjadinya eosinofilia pada awal
infeksi, sedangkan scrath test pada kulit akan menunjukkan hasil positif. (Soedarto,
2011, h:185)

2.2.5.

Dampak Kecacingan pada Anak


Kecacinga jarang sekali menyebabkan kematian secara langsung, namun sangat

mempengaruhi kualitas hidup penderitanya. Infeksi cacing tambang yang berat akan
menyebabkan malnutrisi dan gangguan pertumbuhan dan perkembangan pada anakanak. Infeksi cacing tambang (Ancylostoma duodenale dan Necator americanus)
mengakibatkan anemia definisi besi, sedangkan Trichuris trichiura menimbulkan
morbiditas yang tinggi. (Jalaludin, 2009)
Berbagai penelitian membuktikan bahwa sebagian kalori yang dikonsumsi
manusia tidak dimanfaatkan badan karena adanya parasit dalam tubuh. Pada infeksi
ringan akan menyebabkan gangguan penyerapan nutrient lebih kurang 3% dari kalori
yang dicerna, pada infeksi berat 25% dari kalori yang dicerna tidak dapat dimanfaatkan
oleh badan. Infeksi Ascaris lumbricoides yang berkepanjangan dapat menyebabkan
kekurangan kalori protei

dan diduga dapat menyebabkan defisiensi vitamin A.

(Jalaludin, 2009)
Gejala kecacingan jika penderita yang ditumpangi cacing sudah kekurangan gizi
terjadi karena sebagian makanan dimakan oleh cacing, tanda-tandanya : berat badan
turun, wajah pucat, kulit dan rambut kering, keadaan tubuh lemah, lesu dan mudah
sakit, selera makan berkurang, kulit telapak tangaan tidak merah, kurang darah dan
mungkin jantung berdebar-debar, sesak nafas dan sering pusing. (Jalaludin, 2009)
2.2.6.

Transmisi Telur Cacing ke Tubuh Manusia


Pencemaran tanah dengan tinja manusia merupakan penyebab transmisi telur

cacing Ascaris lumbricoides dari tanah kepada manusia melalui tangan dan kuku yang
tercemar telur cacing, lalu masuk kemulut melalui makanan. (Jalaludin, 2009)

Selain melalui tangan, transmisi telur cacing ini uga dapat melalui makanan dan
minuman, terutama makanan jajanan yang tidak dikemas dan tidak tertutup rapat. Telur
cacing yang ada ditanah/debu akan sampai pada makanan tersebut jika diterbangkan
oleh

angin,

atau

dapat

juga

melalui

lalat

yang

sebelumnya

menghinggap

tanah/selokan/air limbah sehingga kaki-kakinya membawa telur cacing tersebut.


(Jalaludin, 2009)
2.2.7.

Pencegahan dan Pemberantasan Infeksi Kecacingan


Secara Nasional di Indonesia upaya pencegahan dan pemberantasan infeksi

kecacingan sudah dilalukan sejak tahun 1975 dengan kebijakan pemberantasan


kebijakan terbatas pada daerah tertentu karena biaya yang tersedia terbatas. Pada
pelita V dan IV program pemberantasa penyakit kecacingan meningkat karena periode
ini lebih memperhatikan pada peningkatan perkembangan dan kualitas hidup anak.
(Jalaludin, 2009)
Pencegahan dan pemberantasan penyakit kecacingan pada umumnya adalah
dengan memutuskan rantai penularan, yang lain dilakukan dengan pengobatan masal,
perbaikan sanitasi lingkungan dan higiene perorangan serta pendidikan kesehatan.
(Jalaludin, 2009)
Hal-hal yang perlu dibiasakan agar tercegah dari penyakit kecacingan adalah
sebagaiberikut :
a.

Biasakan mencuci tangan sebelum makan atau memegang makanan, gunakan sabun
dan bersihkan bagian kuku yang kotor.

b.

Biasakan menggunting kuku secara teratur seminggu sekali.

c.

Tidak membiasakan menggigit kuku jemari tangan atau menghisap jempol.

d.

Tidak membiasakan bayi atau anak bermain-main ditanah.

e.

Tidak membuang kotoran dikebun, parit, sungai atau danau dan biasakan buang
kotoran dijamban.

f.

Biasakan membasuh tangan dengan sabun sehabis dari jamban

g.

Biasakan tidak jajan panganan yang tidak tertutup atau terpegang-pegang tangan.

h.

Di wilayah yang banyak terjangkit penyakit kecacingan, periksakan diri ke puskesmas


terlebih ada tanda gejala kecacingan.

i.

Segera mengobati cacing sampai tuntas.

j.

Penyakit cacing berasal dari telur cacing yang tertelan dan kurangnya kebersihan diri
dan lingkunga yang tidak baik.

k.

Biasakan makan daging yang benar-benar dan bukan yang mentah atau setengah
matang.

l.

Biasakan berjalan kaki kemana-mana memakai alas kaki.

m.

Obat cacing hanya diberikan kepada orang yang bener-bener mengidap penyakit
kecacingan.

n.

Biasakan makan lalap yang sudah dicuci dengan air bersih yang mengalir
(Jalaludin, 2009)
Penanggulangan infeksi cacing usus tidak mudah karena keterkaitan masalah
lingkungan. Pemberian obat-obatan hanya bersifat mengobati tetapi tidak memutuskan
rantai penularan. Upaya untuk mengatasi masalah tersebut dapat dillakukan melalui
kegiatan terpadu yang mencakup pengobatan masal, penyuluhan kesehatan,
peningkatan status gizi, perbaikan sanitasi lingkungan dan higiene perorangan serta
partisipasi masyarakaat. (Jalaludin, 2009)

Kunci pemberantasan cacingan adalah memperbaiki higine dan sanitasi


lingkungan. Misalnya tidak menyiram jalanan dengan air got. Sebaiknya, bilas sayuran
mentah dengan air mengalir atau menyelupkannya beberapa detik dengan air
mendidih. Juga tidak jajan disembarang tempat, apalagi jajanan yang terbuka. Biasakan
pula mencuci tangan sebelum makan, bukan hanya sesudah makan, rantai penularan
cacing bias diputus. Pada saat bersamaan, anak-anak menderita cacingan harus
segera diobati. Namun, meski semua anak sudah minum obat cacing tak berarti
masalah cacingan akan selesai saat itu juga. Pemberantasan cacing juga gotong
royong yang butuh waktu bertahun-tahun. Negara maju seperti Jepang pun pernah
dibuat sibuk oleh ulah para cacing usus ini. Setelah kalah oeh Sekutu saat perang
dunia II, Jepang jatuh menjadi Negara miskin. Karena miskin, karena miskin mereka
menggunakan kotoran manusia sebagai pupuk pertanian. Akibatnya penularan cacing
menjadi tak terkendali sampai menyerang 80% penduduk. Butuh waktu 10 tahun untuk
menurukan angka kecacingan hingga dibawah 10%. Pada kasus kecacingan ringan
dan sedang, gejalanya sulit dikenali. Untuk memastikan, anak-anak harus diperiksa
tinjanya dengan mikroskop. Jika terbukti mengandung telur cacing, ia harus segera
diobati. (Jalaludin, 2009)
2.2.8.

Pengobatan
Berbagai obat cacing yang efektif untuk mengobati askariasis dan hanya

menimbulkan sedikit efek samping adalah Mebendazol, pirantel pamoat, albendazol


dan levamisol. Obat-obat cacing ini di berikan dengan takaran sebagai berikut :

Mebendazol, 500 mg dosis tunggal

Pirantel, dosis tunggal 10 mg/kg berat badan (base) maksimum 1.0 g.

Levamisol, 120 mg dosis tunggal (dewasa), 2,5 mg/kg berat badan dosis tunggal
(anak)
Selain itu piperasin dan obat cacing lainnya masih dapat digunakan untuk mengobati
penderita askariasis. (Soedarto, 2011, h:185)

DAFTAR PUSTAKA
Desy R, Ridarty, Sahat J, Susanti B. 2012. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Terjadinya Infeksi
Kecacingan pada Anak 8-9 Tahun di SD Neg 023971. Binjai.
Dinkes Jombang. 2012. Data Kecacingan. Dinkes Jombang
Jalaludin. 2009. Pengaruh Sanitasi Lingkungan, Personal Hygiene dan Karakteristik Anak
Terhadap Infeksi Kecacingan pada Murid Sekolah Dasar di Kecamatan Blang Mangat
Kota Lhokseumawe. Universitas Sumatra Utara. Medan.
Kundaian F, Umboh J M L, Kepel B J. 2011. Hubungan Antara Sanitasi Lingkungan dengan Infeksi
Cacing pada Murid Sekolah Dasar di Desa Taling Kecamatan Tombariri Kabupaten
Minahasa. Universitas Sam Ratulangi. Manado.
Lestari S. 2011. Materi Instrumentasi. D3 Analis Kesehatan STIKes Insan Cendikia Medika.
Jombang.
Mahardian C A. 2013. Pemeriksaan Telur Cacing pada Kotoran Kuku Siswa Sekolah Dasar.
STIKes Insan Cendikia Medika. Jombang.
Mustofa P, Palandeng H, Lampus B S. 2013. Hubungan Antara Perilaku Tentang Pencegahan
Penyakit Kecacingan dengan Infeksi Cacing pada Siswa SD di Kelurahan Bengkol
Kecamatan Mapanget Kota Manado. Universitas Sam Ratulangi. Manado.
Nasir A, Muhith A & Idieputri. 2011. Buku Ajar Metodologi Penelitian Kesehatan: Konsep
Pembuatan Karya Tulis dan Thesis untuk Mahasiswa Kesehatan. Nuha Medika.
Yogyakarta.
Notoatmodjo, Soekoidjo. 2010. Metodologi Penelitian Kesehatan. Reneka Cipta. Jakarta.
Nurjanah A, Rakhmawati W, Nurlita N. 2012. Personal Hygiene Siswa Sekolah Dasar Negri
Jatinaor. Universitas Podjadjaran. Bandung.
Rahayu S E. 2006. Keberadaan Telur Cacing Parasit pada Siswa SD Sekitar Instalasi Pengolahan
Air Limbah (IPAL) Terpadau Kota Malang dan Hubungan dengan Kepadatan Telur
Cacing pada Air Limbah Perumahan di IPAL Terpadu. Malang
Soedarto. 2011. Buku Ajar Parasitologi Kedokteran. CV Sagung Seto. Jakarta.
Syaifudin. 2009. Anatomi Tubuh Manusia. Salemba Medika. Jakarta
Diposkan oleh dr. Suparyanto, M.Kes di 07.43
Kirimkan Ini lewat EmailBlogThis!Berbagi ke TwitterBerbagi ke FacebookBagikan ke Pinterest
Label: TINJAUAN PUSTAKA
Reaksi:

Tidak ada komentar:


Poskan Komentar
Link ke posting ini
Buat sebuah Link
Posting Lebih Baru Posting Lama Beranda
Langganan: Poskan Komentar (Atom)

VISITOR

Free counters

Cari Judul Mata kuliah di Blog Ini

BAB I
PENDAHULUAN
a. Latar Belakang
Pada negara-negara berkembang seperti Indonesia, masih banyak ditemukan
masyarakat yang menderita penyakit-penyakit infeksi, misalnya infeksi bakteri,
virus, maupun parasit. Biasanya infeksi karena parasit disebabkan oleh parasit yang
menyerang usus, masuk melalui sistem pencernaan dalam bentuk telur cacing.
Helmintologi adalah ilmu yang mempelajari parasit berupa cacing.
Cacing Trichuris trichiura termasuk nematode usus. Manusia adalah hospes dari
beberapa nematode usus. Sebagian besar nematoda menyebabkan masalah
kesehatan masyarakat di Indonesia. Cacing Trichuris trichiura bersifat kosmopolit,
terutama ditemukan di daerah panas dan lembab seperti di Indonesia. Di beberapa
daerah di Indonesia, prevalensi masih tinggi seperti yang ditemukan oleh
Departemen Kesehatan pada tahun 1990/1991 antara lain 53% pada masyarakat
Bali, 36,2% di perkebunan Sumatera Selatan, 51,6% pada sejumlah sekolah di
Jakarta. Pada tahun 1996 di Musi banyuasin, Sumatera Selatan infeksi cacing
Trichuris trichiura ditemukan sebanyak 60% di antara 365 anak sekolah dasar.
b. Landasan Teori
Tanah merupakan sumber penularan yang paling utama dan terpenting untuk
berbagai parasit. Penyakit-penyakit parasit yang menular dari tanah disebut Soilborne parasitoses. Sebagian besar stadium infektif parasit itu terdapat di tanah.
Telur yang mengandung larva infektif parasit (cacing askarid, seperti Ascaris,

Neosacaris, Parascaris, Ascaridia, Heterakis, Toxacaris) semuanya terdapat di tanah.


Larva infektif berbagai cacing nematoda berbentuk filariform (cacing Strongyloides
sp. atau cacing tambang), bentuk ookista protozoa parasit seperti Entamoeba,
Jodamoeba, dan sebagainya. Semua bentuk infektif tersebut ditemukan ditanah.
Stadium parasit-parasit itu tahan hidup berminggu-minggu bahkan berbulan-bulan,
asal keadaan tanah serasi bagi kelangsungan hidupnya.
Manusia merupakan hospes dari cacing Trichuris trichiura atau lebih dikenal sebagai
cacing cambuk. Penyakit yang disebabkannya disebut trikuriasis. Cacing betina
Trichuris trichiura panjangnya kira-kira 5 cm, sedangkan cacing jantan kira-kira 4
cm. bagian anterior langsing seperti cambuk, panjangnya kira-kira 3/5 dari panjang
seluruh tubuh. Bagian posterior bentuknya lebih gemuk, pada cacing betina
bentuknya membulat tumpul dan pada cacing jantan melingkar dan terdapat satu
buah spikulum.
Menurut Gandahusada (1998), morfologi telur Trichuris trichiura adalah telur
berukuran 50-54 mikron x 32 mikron, berbentuk seperti tempayan dengan
semacam penonjolan yang jernih pada kedua kutub. Kulit telur bagian luar berwarna
kekuning-kuningan dan bagian dalamnya jernih. Telur yang dibuahi dikeluarkan dari
hospes (manusia) bersama tinja. Telur tersebut menjadi matang dalam waktu 3
sampai 6 minggu dalam lingkungan yang sesuai, yaitu pada tanah yang lembab dan
tempat yang teduh. Telur matang ialah telur yang berisi larva dan merupakan
bentuk infektif. Cara infeksi langsung ialah bila secara kebetulan hospes menelan
telur matang. Larva keluar melalui dinding telur dan masuk ke dalam usus halus.
Sesudah menjadi dewasa, cacing turun ke usus bagian distal dan masuk ke daerah
kolon, terutama sekum. Masa pertumbuhan mulai dari telur yang tertelan sampai
cacing dewasa betina meletakkan telur kira-kira 30-90 hari.
Penderita terutama anak-anak dengan infeksi Trichuris yang berat dan menahun,
menunjukkan gejala-gejala nyata, seperti diare, yang sering diselingi denagn
sindrom disentri, anemia, dan berat badan turun.
Semakin banyak telur yang ditemukan di sumber kontaminasi (tanah, debu,
sayuran, dan lainnya), semakin tinggi derajat endemi di suatu daerah. Jumlah telur
yang dapat berkembang, menjadi semakin banyak pada masyarakat dengan infeksi
yang semakin berat, karena terdeteksi di sembarang tempat, khususnya di tanah,
yang merupakan suatu kebiasaan sehari-hari. (Gandahusada, 1998).
Yang terpenting untuk penyebaran penyakit ini adalah kontaminasi tanah dengan

tinja. Telur tumbuh di tanah liat, tempat lembab dan teduh dengan suhu optimum
kira-kira 300C. di berbagai Negara, pemakaian tinja sebagai pupuk kebun
merupakan sumber infeksi. Frekuensi di Indonesia termasuk tinggi. Di beberapa
daerah pedesaan di Indonesia, frekuensinya berkisar antara 30-90%.
Bagi daerah yang sangat endemik infeksi dapat dicegah dengan pengobatan
penderita trikuriasis, pembuatan jamban yang baik dan pendidikan tentang sanitasi
dan kebersihan perorangan, terutama anak. Mencuci tangan sebelum makan,
mencuci dengan baik sayuran yang dimakan mentah adalah penting apalagi di
negara-negara yang memakai tinja sebagai pupuk. (Gandahusada, 1998).
BAB II
PELAKSANAAN
a. Alat
Alat-alat yang digunakan dalam praktikum pemeriksaan parasit pada sayuran
adalah sebagai berikut :
1. Kerucut imhoff volume 1 liter
2. Pipet tetes
3. Centrifuge dan tabung
4. Rak tabung
5. Mikroskop
6. Obyek glass
7. Cover glass
8. Ember
9. Pinset
b. Bahan
Bahan-bahan yang digunakan dalam praktikum pemeriksaan parasit pada sayuran
adalah sebagai berikut :
1. Larutan NaOH 0,2%
2. Larutan Lugol atau Eosin 1%
3. Aquadest
c. Prosedur Kerja

Prosedur kerja dari praktikum pemeriksaan parasit pada sayuran adalah sebagai
berikut :
1. Sayuran dalam ember direndam dengan 1 liter larutan NaOH 0,2%.
2. Ditunggu selama 30 menit, setelah 30 menit digoyang-goyangkan lalu sayuran
diangkat atau dikeluarkan.
3. NaOH rendaman dituang ke dalam kerucut imhoff, diamkan selama 60 menit.
4. Setelah 60 menit NaOh rendaman bagian atas dibuang, kemudian dengan pipet
ukur diambil endapan rendaman sebanyak 10-15 ml.
5. Dimasukkan ke dalam tabung centrifuge lalu dipusingkan dengan kecepatan
1500 rpm selama 5 menit.
6. Kemudian endapan paling bawah diambil untuk diperiksa secara mikroskopis.
7. Diambil obyek glass lalu ditetesi dengan satu tetes larutan lugol 1% atau eosin
kemudian diambil endapan dari tabung centrifuge satu tetes lalu dicampur hingga
rata, kemudian ditutup dengan cover glass.
8. Diamati dibawah mikroskop.
d. Tujuan
Praktikum pemeriksaan parasit pada sayuran bertujuan untuk mengetahui ada
tidaknya parasit pada sayuran.
BAB III
HASIL PEMERIKSAAN
Dari hasil praktikum pemeriksaan parasit pada sayuran, kelompok 2 melakukan
pemeriksan parasit pada sayuran kol dan hasil yang diperoleh yaitu tidak adanya
telur parasit pada rendaman air (negatif).
BAB IV
PEMBAHASAN
Makanan tidak saja bermanfaat bagi manusia karena makanan merupakan sumber
energi satu-satunya bagi manusia, tetapi juga sangat baik untuk pertumbuhan
mikroba yang patogen. Oleh karena itu, untuk mendapatkan keuntungan yang
maksimum dari makanan, perlu dijaga juga sanitasi makanan.

Makanan dapat terkontaminasi oleh berbagai macam jenis racun yang berasal dari
tanah, air, udara, manusia dan vektor. Racun dari lingkungan udara, air, tanah dan
lainnya dapat masuk kedalam suatu biota. Racun yang dapat memasuki makanan
saat ini juga semakin banyak, sebagai akibat sampingan penerapan tekhnologi
pertanian, peternakan, pengawetan makanan dan kesehatan. Kontaminasi makanan
dapat disebabkan karena kontaminasi pestisida, kontaminasi logam, kontaminasi
mikroba yang dapat menyebabkan penyakit.
Sayuran merupakan komponen yang sangat penting dari makanan sehari-hari.
Sayuran, khususnya sayuran daun memiliki kandungan protein, vitamin mineral,
dan serat yang tinggi. Meski demikian, sayuran menjadi makanan yang mudah
terkontaminasi oleh prasit, terutama parasit yang berasal dari tanah. Tanah
merupakan sumber penularan yang paling utama dan terpenting untuk berbagai
jenis penyakit. Penyakit-penyakit parasit yang menular dari tanah disebut soil-borne
parasitoses. Sebagian besar stadium infektif parasit terdapat dalam tanah.
Salah satu jenis parasit yang sering ditemukan pada sayuran adalah Ascaris
lumbricoides. Manusia yang terinfeksi Ascaris lumbricoides apabila menelan larva
ataupun telur yang masih infektif yang kemudian menetas didalam usus halus
manusia. Larva yang menembus dinding usus halus akan menuju ke pembuluh
darah limfe, lalu dialirkan ke jantung, kemudian mengikuti aliran darah ke paruparu. Larva di paru menembus dinding pembuluh darah, lalu dinding alveolus,
masuk rongga alveolus, kemudian naik ke trachea melalui bronkiolus dan bronkus.
Larva dari trachea menuju ke faring. sehingga menimbulkan berbagai rangsangan
pada faring yang akan menuju ke esofagus lalu menuju ke usus halus. Di usus halus
larva berubah menjadi cacing dewasa. Sejak telur matang tertelan sampai menjadi
cacing dewasa yang bertelur diperlukan waktu kurang lebih dua bulan.
Pencegahan penyakit parasit tergantung pada didirikannya pertahanan terhadap
penyebaran parasit dengan menerapkan secara praktis pengetahuan biologi dan
epidemiologi parasit. Hampir semua parasit pada suatu saat dalam lingkaran
hidupnya rentan terhadap tindakan pemusnahan yang khusus. Tindakan-tindakan
dalam pemberantasan penyakit parasit :
1. Mengurangi sumber infeksi pada manusia dengan tindakan terapi.
2. Pendidikan menjaga diri untuk mencegah penyebaran infeksi dan untuk
mengurangi kesempatan mendapat infeksi.
3. Pengawasan terhadap sumber air, makanan, keadaan tempat hidup dan tempat

bekerja serta pembuangan sampah.


4. Pemusnahan atau pemberantasan hospes reservoir dan vektor.
5. Mendirikan pertahanan biologi terhadap penularan parasit.
Pada praktikum pemeriksaan prasit pada sayuran, jenis sayuran yang kami periksa
adalah sayuran kubis. Kubis merupakan salah satu genus dari Brassicaceae, dengan
nama latin Brassica olerace L. var. capitata L. karaktersitik tananman ini adalah
daunnya tebal, agak keras, berlilin, dan rata. Daunnya biasanya tersusun berselangseling, bertangkai, oblong, dan tunggal. Tipe perbungaannya secara khas adalah
tandan memanjang dengan banyak bunga kecil terbentuk pada bagian ujungnya.
Terdapat beberapa jenis parasit yang mengkontaminasi sayuran kubis. Beberapa
contohnya antara lain Streptomyces scabies, Botrytis cinerea, Leptosphaeris
maculans, Plasmodiophora brassicae, dan masih banyak lainnya. Sedangkan untuk
jenis nematoda, antara lain nematoda kista bit gula (Heterodera schachtii) dan
nematoda kista kubia (Heterodera cruciferae). Selain itu, beberapa serangga
Lepidoptera yang sering menyerang sayuran kubis, antara lain Pseudaletia unipucta
(ulat grayak), Trichoplusia ni (ulat jengkal kubis), Barathra brassicae (ngengat
kubis), dan Spodoptera littoralis (ulat penggerek).
Dari hasil praktikum, didapatkan hasil yang negatif, sehingga sayuran kubis aman
untuk dikonsumsi. Meskipun aman untuk dikonsumsi, namun sayuran tersebut
harus tetap dicuci sebelum diolah. Dalam praktikum ini sayuran kubis di rendam
dengan larutan NaOH 0,2 %. Hal ini karena larutan NaOH mempunyai berat jenis
yang lebih ringan dibandingkan dengan telur parasit sehingga telur parasit akan
mengendap. Selain itu, juga digunakan larutan eosin untuk melatarbelakangi
parasit yang ada sehingga parasit akan mudah terlihat apabila diperiksa dengan
menggunakan mikroskop. Setelah dilakukan pemeriksaan berulang-ulang, hasilnya
tetap negatif. Hal ini disebabkan karena waktu perendaman sayuran dalam larutan
NaOH tidak sesuai dengan waktu yang telah ditentukan sehingga parasit yang ada
di sayuran kubis tidak mengendap di dasar larutan.
BAB V
PENUTUP
1. Sayuran merupakan jenis makanan yang paling banyak dikonsumsi manusia dan
paling mudah terkontaminasi oleh parasit, khususnya parasit yang berasal dari

tanah karena sayuran memiliki kontak langsung dengan tanah.


2. Dari hasil praktikum pemeriksaan parasit pada sayuran, dapat diketahui bahwa
pada sayuran kubis yang diperiksa tidak terdapat parasit.
3. Untuk mencegah terjadinya penyakit akibat kontaminasi bakteri pada sayuran,
makanya hendaknya mencuci sayuran terlebih dahulu sebelum dikonsumsi.
DAFTAR PUSTAKA
Gandahusada, S.H. Ilahude, W. Pribadi. 1998. Parasitologi Kedokteran. Balai
Penerbitan FKUI, Jakarta.
Onggowaluyo, Jangkung Sumidjo. 2001. Parasitologi Medik I (Helmintologi). EGC,
Jakarta.
Rubatzky, Vincent E., dan Mas Yamaguchi. 1998. Sayuran Dunia : Prinsip, Produksi,
dan Gizi Jilid 2. ITB Press, Bandung.
Slamet, S.J. 2002. Kesehatan Lingkungan. Gadjah Mada University Press,
Yogyakarta.
Widyastuti, Retno dkk. 2002. Parasitologi. Universitas Terbuka, Jakarta.

Laporan praktikum pemeriksaan telur cacing pada sampel


sayuran metode sedimentasi

dul Praktikum : Identifikasi Nematoda Usus Pada Sampel Sayuran Menggunakan Metode Sedimentasi
II.
Tanggal
: 14 Juni 2013

juan
nsip

: Untuk Mengidentifikasi Keberadaan Telur Cacing


: Sampel diendapkan melalui proses sentrifugasi
V.

Dalam Sampel Sayuran


kemudian diperiksa dibawah mikroskop

dengan pembesaran 10x10.


Landasan Teori
Makanan adalah sumber energi satusatunya bagi kebutuhan tubuh manusia. Makanan
selain banyak mengandung nilai gizi juga merupakan media untuk dapat berkembang-biaknya
mikroba ataupun kuman-kuman terutama makanan yang sudah membusuk yaitu makanan yang
mengandung kadar air serta nilai protein yang tinggi. Kemungkinan untuk jalan masuknya faktor
pencemar lainnya seperti bahan kimia antara lain: debu, tanah, rambut manusia yang dapat
berpengaruh buruk bagi kesehatan manusia. Hal ini tidak mungkin dikehendaki karena orang
yang mengkonsumsi makanan bermaksud untuk mendapatkan sumber energi agar tetap bertahan
hidup agar tidak menjadi sakit karenanya. Sanitasi makanan menjadi sangat penting.
(Slamet,2002)
Menurut (Widyastuti, 2002) Siklus hidup parasit pada umumnya dapat dibedakan
menjadi 2 tipe: Yaitu tipe langsung dan tipe tidak langsung. Pada siklus hidup tipe langsung,
parasit hanya membutuhkan satu inang (Hospes) yaitu hospes definitif dan tidak memerlukan
hospes perantara, sedangkan parasit yang bersiklus langsung mempunyai bentuk yang mandiri.
Didalam fase bentuk mandiri tersebut parasit menyiapkan diri untuk menghasilkan stadium
infektifnya. Pada siklus hidup tidak langsung parasit membutuhkan satu hospes definitif sebagai
hospes akhir dan disamping itu diperlukan pula satu atau lebih hospes perantara. Didalam tubuh
hospes perantara tersebut parasit tumbuh dan berkembangbiak secara aseksual menjadi bentuk
infektifnya, sedangkan didalam tubuh hospes definitif parasit tumbuh menjadi bentuk dewasa
dan berkembangbiak secara aseksual. Cara infeksi dibedakan menjadi dua yaitu per-Os ataupun
melalui mulut yang tertelan bersama makanan dan minuman yang dikonsumsinya dan per-Cutan
atau

melalui

kulit.

Cacing dari golongan STH (Soil Transmitted Helminthes) memiliki bentuk tubuh silindrik
(gilik), memanjang bilateral simetris. Cacing ini bersifat uniseksual sehingga ada jenis jantan dan
betina. STH meliputi Ascaris lumbricoides, Trichuris trichiura, dan cacing tambang.
(Onggowaluyo, 2002)
STH terdapat diseluruh dunia, maka bersifat kosmopolitan. Penyebaran parasit ini
terutama berada di daerah tropis yang tingkat kelembabannya cukup tinggi. Ascaris lumbricoides
dan Trichuris trichiura memerlukan tanah liat untuk berkembang dengan suhu pertumbuhan

optimum 25 0C 30 0C. habitat utama STH adalah tanah yang terlindung dari sinar matahari
sehingga hangat dan kelembaban udara tinggi. (Gandahusada, et. Al, 1998)
Pertumbuhan mikroorganisme dalam makanan berperan dalam pembentukan senyawa
yang memproduksi bau tidak enak dan menyebabkan makanan tidak layak untuk dikonsumsi.
Makanan yang aman adalah yang tidak tercemar, tidak mengandung mikroorganisme atau bakteri
dan bahan kimia berbahaya. (Silaonang, 2008)
Nematode biasa hidup diatas tanah. Umumnya nematoda yang hidup diatas tanah sering
terdapat didalam jaringan tanaman atau dibagian tanaman lainnya. Nematode juga ada yang
hidup didalam tanaman (endoparsit) dan ada juga ada yang diluar tanaman (ektoparasit).
( Pracaya, 2008)

VI.
Prosedur Pemeriksaan
1) Pra analitik
Alat dan Bahan:
a. Alat yang digunakan :
1. Batang pengaduk
2. Gelas kimia 500 mL
3. Mikroskop
4. Objek gelas
5. Rak tabung
6. Sentrifuge
7. Tabung sentrifuge
b. Bahan yang digunakan:
1. Aquadest
2. Sayuran kemangi
3. Tisu
2) Analitik
Cara kerja:
1. Diisi gelas piala dengan 250 aquadest.
2. Direndam seluruh bagian sayuran kedalam aquadest, diamkan selama 20 menit.
3.
Diangkat sayuran yang telah direndam, kemudian dipipet air rendaman kedalam tabung
4.
5.

sentrifuge.
Disentrifuge pada kecepatan 2000 rpm selama 5 meni.
Dibuang supernatant, kemudian dipipet air rendaman kedalam tabung tersebut, dan disentrifuge,

6.
3)

dulangi sampai air rendaman habis.


Diteteskan sedimen keatas objek gelas yang bersih dan kering.
Diamati dibawah mikroskop dengan pembesaran 10x10

4)
a)

Pasca analitik
Hasil pengamatan:
Mikroskopik:
Telur
Larva
:+
Kotoran-kotoran

VII.

::+

Pembahasan
Pada praktikum kali ini kami melakukan identifikasi nematoda usus pada sampel sayuran

dengan menggunakan metode sedimentasi.

Sayuran merupakan komponen yang sangat penting dari makanan sehari-hari. Sayuran
mengandung protein, mineral, dan serat yang tinggi. Meski demikian, sayuran menjadi makanan
yang mudah terkontaminasi oleh parasit, terutama parasit yang berasal dari tanah. Parasit itu
hidup didalam jaringan sayuran atau diantara daun-daun yang melipat, ditunas daun, atau
dibagian lainnya.
Pada praktikum ini, sayuran yang digunakan adalah kemangi.kemangi merupakan salah
satu tanaman berkhasiat yang tidak hanya tumbuh di Indonesia tetapi juga dinegara Asia
Tenggara lainnya.
Kemangi adalah tumbuhan tahunan yang tumbuh tegak dengan cabang yang banyak.
Tanaman ini berbentuk perdu yang tingginya dapat mencapai 100 cm. bungana tersusun ditandan
yang tegak. Daunnya panjang, tegak, berbentuk elips-memanjang, ujungnya meruncing.
Permukaan bergerigi atau rata, wanginya seperti cengkeh dan rasanya pahit.
Metode yang digunakan pada praktikum ini adalah metode sedimentasi. Metode
sedimentasi adalah pemisahan larutan berdasarkan perbedaan berat jenis, dimana partikel yang
tersuspensi akan mengendap kedasar wadah.
Dari hasil pengamatan yang dilakukan, diperoleh larva dan kotoran-kotoran. Adanya larva
dikarenakan larva tekontaminasi langsung dengan tanah. Dimana tanah merupakan tempat hidup
nematoda. Larva yang ditemukan dalam pengamatan ada dua jenis yang berbeda. Larva yang
pertama aktif bergerak, struktur tubuh bening dan pipih dan larva yang kedua aktif bergerak
(berpndah-pindah) bahkan mampu menghisap kotoran-kotoran yang ada disekelilingnya. Larva
ini bergerak dengan cepat dan mampu memanjang-pendekkan tubuhnya. Tubuh dari larva ini
bening bentuknya oval. Namun dari kedua jenis larva ini, tidak dapat teridentifikasi nematoda
usus atau bukan.
Dengan demikian, adanya pencucian sayuran yang baik dan benar agar parasit yang
terdapat pada sayuran tidak melekat dan dapat menimbulkan penyakit.
Adapun kelebihan dari metode sedimentasi adalah ukuran dan bentuk struktur parasit
dipertahankan, sedangkan kelemahannya adalah banyaknya kotoran-kotoran yang mungkin akan
menutupi keberadaan parasit.

VIII.

Kesimpulan
Berdasarkan praktikum yang telah dilakukan bahwa sampel sayuran kemangi negatif

mengandung telur nematode usus. Namun, pada sampel ditemukan larva dan kotoran-kotoran.

DAFTAR PUSTAKA
Gandahusada, S.H. Ilahude, W. Pribadi. 1998. Parasitologi Kedokteran. Balai Penerbitan FKUI :
Jakarta.
Pracaya. 2008. Ilmu penyakit tumbuhan. Usaha nasional : Surabaya
Slamet. S.J. 2002. Kesehatan Lingkungan. Gadjah Mada University Press: Yogyakarta.
Widyastuti, Retno dkk Setyorini, A. C. dan Purwaningsih, E. 1999. Pengelolaan Koleksi Spesimen
Zoologi. Puslitbang Biologi-LIPI, Bogor.

Anda mungkin juga menyukai