Anda di halaman 1dari 9

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Ascaris lumbricoides


2.1.1 Klasifikasi
Nematoda merupakan jenis spesies yang hidup sebagai
parasit pada manusia, habitatnya didalam saluran pencernaan
manusia dan hewan, disamping itu nematoda ini yang tergolong
“Soil Transmited Hekminths” yaitu Nematoda yang siklus hidupnya
untuk mencapai stadium infektif, memerlukan tanah dengan kondisi
tertentu. Adapun cacing yang termasuk dalam golongan Soil
Transmited Helminths yang menyerang manusia antara lain :
Ascaris lumbricoides, Trichuris trichiura, Necator americanus dan
Ancylostoma duodenale (Safar R, 2010).
Adapun telur atau larva dari golongan nematoda ini
dikeluarkan setiap hari mencapai 20 sampai 200.000 butir. Larva
biasanya mengalami pertumbuhan diikuti dengan pergantian kulit
dalam proses perkembangannya. (Safar R, 2010).
Adapun Klasifikasi Ascaris lumbricoides yaitu sebagai berikut :
Phylum : Nemathelminthes
Class : Nematoda
Subclass : Secernemtea
Ordo : Ascoridida
Sub famili : Ascoridciidae
Genus : Ascaris
Spesies : Ascaris lumbricoides . (Widodo, 2013)
2.1.2 Morfologi
Cacing nematoda merupakan cacing dengan ukuran yang relatif
besar, berwarna putih kecoklatan atau kuning pucat. Cacing jantan
berukuran panjang antara 10-31 cm, sedangkan cacing betina panjang
badannya antara 22- 35 cm. Lalu terdapat kutikula yang tampak lebih
halus dengan garis-garis tipis menutupi seluruh permukaan badan cacing.
Ascaris lumbricoides mempunyai mulut dengan tiga buah bibir yang
terletak sebuah di bagian dorsal dan dua bibir lainnya terletak subventral
(Soedarto, 2011).
Cacing jantan mempunyai ujung posterior yang runcing, dengan
ekor melengkung ke arah ventral. Di bagian posterior ini terdapat 2 buah
spikulum yang ukuran panjangnya sekitar 2 mm, sedangkan di bagian
ujung posterior cacing terdapat juga banyak papil-papil yang berukuran
kecil. Adapun Bentuk tubuh cacing betina membulat (conical) dengan
ukuran badan lebih besar dan lebih panjang daripada cacing jantan dan
bagian ekor yang lurus, tidak melengkung (Soedarto, 2011).
2.1.3 Siklus
Seseorang akan terinfeksi Ascaris lumbricoides apabila masuknya telur Ascaris
lumbricoides yang infektif kedalam mulut bersamaan dengan makanan atau minuman yang
terkontaminasi tanah yang mengandung tinja penderita Ascariasis. (Sutanto dkk, 2008)
Adapun telur Ascaris lumbricoides ini akan matang dan menjadi bentuk yang
infektif dalam waktu 21 hari dalam lingkungan yang sesuai. Bentuk
infektif ini, jika tertelan oleh manusia menetas di usus halus. Larvanya
menembus dinding usus halus menuju pembuluh darah atau saluran
limfe, kemudian dialirkan ke jantung. Dari jantung kemudian dialirkan
menuju ke paru-paru (Widodo, 2013).
Adapun larva yang berada di paru-paru dapat menembus dinding
pembuluh darah lalu dinding alveolus, kemudian terus masuk rongga
alveolus lalu naik ke trakea melalui bronkiolus dan bronkus. Setelah
mencapai trakea larva Ascaris lumbricoides menuju faring, sehingga
menimbulkan rangsangan pada faring. Adanya rangsangan ini membuat
penderita batuk dan larva akan tertelan ke dalam oesofagus, lalu menuju
ke usus halus. Di usus halus larva berubah menjadi cacing dewasa. Sejak
telur matang tertelan sampai cacing dewasa berteur dibutuhkan waktu
kurang lebih 2 bulan (Gandahusada et al., 2000; CDC, 2015).
Gambar 2.1 Siklus hidup Ascaris lumbricoides

2.1.4 Patologi dan Gambaran Klinis


Kelainan klinik dapat disebabkan larva maupun cacing dewasa
Ascaris lumbricoides. Patologi dan gambaran klinis yang terjadi
disebabkan oleh :
1) Migrasi larva : Bersamaan dengan proses migrasi
(perpindahan) larva yaitu adanya demam selama beberapa
hari pada saat larva berhasil menembus dinding usus dan
bermigrasi akhirnya sampai ke paru. Kemudian biasanya
ditandai dengan ditemukan eosinofilia pada pemeriksaan
darah. Foto thoraks menunjukkan adanya infiltrat yang
menghilang dalam waktu 3 minggu. Keadaan ini disebut
Sindrom Loeffler yang hanya ditemukan pada orang yang
pernah terpajan dan rentan terhadap antigen ascaris.
(Margono dan Hadjijaja, 2011).
2) Cacing dewasa : Adanya cacing ascaris dewasa dalam jumlah
yang besar di usus halus dapat menyebabkan abdominal
distension dan rasa sakit. Keadaan ini juga dapat
menyebabkan lactose intolerance, malabsorpsi dari vitamin A
dan nutrisi lainnya. Hepatobiliary dan pancreatic ascariasis
terjadi sebagai akibat masuknya cacing dewasa dari
duodenum ke orificium ampullary dari saluran empedu, timbul
kolik empedu, kolesistitis, kolangitis, pankreatitis dan abses
hepar (Suriptiastuti, 2006).
2.2 Ascaris suum Goeze
2.2.1 Klasifikasi
Adapun Klasifikasi dari Ascaris suum Goeze yaitu sebagai berikut :
Kingdom : Animalia
Phyllum : Nemathelminthes
Kelas : Nematoda
Sub kelas : Secernentea
Ordo : Ascaridida
Superfamili : Ascaridoidea
Famili : Ascarididae
Genus : Ascaris
Spesies : Ascaris suum Goeze (Widodo, 2013)

2.2.2 Morfologi
Ascaris suum Goeze atau yang biasa dikenal sebagai cacing gelang
babi adalah nematoda yang menyebabkan askariasis pada babi. Hospes
utama Ascaris suum Goeze adalah babi, meskipun dapat pula menjadi
parasit pada tubuh manusia, sapi, kambing, domba, anjing, dan lain-lain
(Loreille dan Bouchet, 2003).
Secara morfologi, tidak banyak perbedaan antara Ascaris suum
Goeze dan Ascaris lumbricoides Linn Namun dengan menggunakan
mikroskop elektron menunjukkan adanya perbedaan pada bentuk bibir di
antara keduanya yaitu adanya beberapa perbedaan pola ikatan molekul
protein yang sama antara Ascaris lumbricoides dan Ascaris suum Goeze
mencerminkan hubungan genetik yang cukup dekat, serta menunjukkan
adanay kemungkinan terjadinya hibridisasi antara Ascaris lumbricoides
dan Ascaris suum (Alba et al., 2009).
2.2.3 Siklus hidup
Pada Ascaris suum siklus hidup dapat terjadi secara langsung
(direct) maupun tidak langsung (indirect). Pada siklus direct, babi akan
menelan telur infektif yang mengandung larva III. Larva tersebut akan
bermigrasi ke bronkus. Selanjutnya, larva tersebut akan melakukan
penetrasi pada dinding usus besar dan bermigrasi melalui hati ke paru-
paru,. Ketika host batuk, larva akan tertelan dan masuk ke saluran
gastrointestinal. Di dalam traktus gastrointestinal, larva akan berkembang
menjadi bentuk dewasa. cacing dewasa akan hidup dan berkembang baik
dalam usus halus babi (Loreille dan Bouchet, 2003). Pada siklus indirect,
perkembangan akan melalui host perantara atau host paratenik seperti
cacing tanah. Host paratenik akan menelan telur infertil yang berisi larva
II dan larva tersebut akan berada di jaringan sampai babi memangsa host
paratenik tersebut. Selanjutnya, larva akan berkembang dalam tubuh babi
menjadi larva III seperti proses yang berlangsung dalam siklus direct
(Mejer dan Roepstorff, 2006).

Gambar 2.2. Siklus Hidup Ascaris suum Goeze (Loreille dan Bouchet,
2003)
2.2.4 Aspek Klinis
Rute transmisi Ascaris suum dapat terjadi akibat kontak dengan
kotoran babi yang sering digunakan sebagai pupuk tanaman. Rute yang
lain diasumsikan melalui konsumsi daging mentah dari babi yang
terinfeksi (Nejsum et al., 2012). Pada tubuh penderita yang terinfeksi,
larva Ascaris suum akan bermigrasi ke berbagai organ dan menyebabkan
manifestasi klinis yang dikenal sebagai visceral larva migrans (VLM).
Manifestasi klinis dari VLM digambarkan dengan keadaan
hipereosinophilia dengan hepatomegali atau pneumonia serta gejala tidak
spesifik seperti malaise, batuk dan gangguan fungsi hati (Sakakibara et
al., 2002)
2.3 Piperazine sitrat
Piperazin merupakan salah satu obat cacing yang sering digunakan untuk mengobati
cacingan karena piperazin dapat menyebabkan blockade terhadap enzim asetilkolinestrase
sehingga akan terjadi penumpukan asetilkolin dan terjadi paralisis dan cacing mudah
dikeluarkan oleh peristaltik usus, cacing biasanya keluar 1-2 hari setelah pengobatan.
Piperazin sebagai heksahidrat yang mengandung 44% basa, juga
didapatkan sebagai garam sitrat, kalsium edetat, tatrat. Zat basa ini
sangat efektif terhadap Oxyuris dan Ascaris berdasarkan hambatan
penerusan-impuls neuromuskuler, hingga cacing dilumpuhkan untuk
kemudian dikeluarkan dari tubuh oleh gerakan peristaltik usus. (Tjay dan
Rahardja, 2007).

2.3.1 Cara kerja Piperazine sitrat


Adapun mekanisme kerja piperazin sitrat adalah dengan menyebabkan blokade respon
otot cacing Ascaris terhadap asetilkolin pada peralihan mioneural sehingga mengganggu
permeabilitas membran sel terhadap ion-ion yang berperan dalam mempertahankan potensial
istirahat, yang akan mengakibatkan hiperpolarisasi dan supresi impuls spontan, disertai
paralisis flaksid. Karena tidak mampu mempertahankan posisi mereka dalam tubuh hospes,
cacing-cacing dikeluarkan oleh peristalsis normal.
2.3.2 Efek Samping
Pada umumnya efek samping biasanya didapatkan pada konsumsi
piperazin yang berlebihan seperti timbul gatal-gatal (urticaria), kesemutan
(paresthesia) dan gejala neurotoksis (rasa kantuk, pikiran kacau konvulsi),
selain itu juga terkadang ditermukan adanya mual, muntah, diare dan alergi.
(Tjay dan Rahardja, 2007).
2.3.3 Dosis
Adapun dosis dewasa untuk ascaris yaitu 75mg/kb berat badan atau
dosis tunggal dari 3 gram selama 2 hari. Untuk anak-anak terhadap
ascaris yaitu 50mg/kb berat badan, yakni untuk 1-2 tahun sebanyak 1
gram, 3-5 tahun sebanyak 2 gram dan diatas 6 tahun 3 gram (Tan
&rahadja, 2002)

2.4 Tanaman Jahe Emprit (Zingiber officinale var. amarum)


Jahe (Zingiber officinale rosc) pada awalnya berasal dari Asia Pasifik
yang kemudian tersebar dari India sampai Cina. Jahe merupakan rempah-
rempah dan tanaman obat yang sangat penting dalam kehidupan sehari-
hari terutama dalam bidang kesehatan (Paimin, 2008).
2.4.1 Klasifikasi
Klasifikasi tanaman jahe (Zingiber officinale rosc) dalam dunia
tanaman adalah sebagai berikut:
Divisi : Spermatophyta
Subdivisi : Angiospermae 1
Kelas : Monocotyledoneae
Ordo : Zingiberales
Famili : Zingiberaceae
Genus : Zingiber
Species : Zingiber officinale rosc
Varietas :
- Zingiber officinale var. officinale(jahe gajah)
- Zingiber officinale var. amarum (jahe emprit)
- Zingiber officinale var. rubrum (jahe merah)

Gambar 1. Jahe Emprit (Dokumentasi Pribadi)


Jahe putih kecil atau jahe emprit ini dikenal dengan nama latin
“Zingiber officinale var. amarum” dengan bobot rimpang berkisar
antara 0,5-0,7 kg/rumpun. Struktur rimpang kecil dan berlapis-lapis.
Daging rimpang memiliki warna putih kekuningan. Tinggi rimpang
mencapai 11 cm dengan panjang antara 6-30 cm dan diameter
antara 3,27-4,05 cm. Ruas jahe ini kecil dan agak rata sampai agak
sedikit menggembung. Jahe ini dipanen setelah berumur tua
(Hapsoh dkk., 2010). Jahe memiliki beberapa kandungan kimia yang
berbeda. Faktor yang dapat mempengaruhi kandungan kimia jahe
yaitu jenis jahe, unsur tanah, umur panen, dan pengolahan rimpang
jahe. Komponen yang terkandung dalam jahe yaitu air 80,9%,
protein 2,3%, lemak 0,9%, mineral 1-2%, serat 2-4%, dan
karbohidrat 12,3%.
2.4.2 Morfologi
Tanaman jahe (Zingiber officinale Rosc.) termasuk dalam
keluargatumbuhan berbunga (temu-temuan).Diantara jenis rimpang
jahe, ada 2 jenis jahe yang telah dikenal secara umum, yaitu jahe
merah (Zingiber officinale var. rubrum) dan jahe putih (Zingiber
officinale var. amarum). (Gholib, 2008)
Jahe merupakan tanaman berbatang semu,tinggi 30 cm
sampai dengan 1 m, tegak, tidak bercabang, tersusun ataslembaran
pelepah daun, berbentuk bulat, berwarna hijau pucat dan
warnapangkal batang kemerahan. Akar jahe berbentuk bulat,
ramping, berserat,berwarna putih sampai coklat terang. Tanaman
jahe membentuk rimpang yang ukurannya tergantung pada
jenisnya. Bentuk rimpang pada umumnya gemuk agak pipih dan
tampak berbuku-buku. Rimpang jahe berkulit agak tebal yang
membungkus daging rimpang, yang kulitnya mudah dikelupas.
(Rismunandar, 1988).
2.4.3 Kandungan Senyawa Kimia Rimpang Jahe
Komponen bioaktif yang terkandung dalam ekstrak jahe antara lain
(6)- gingerol, (6)-shogaol, diarilheptanoid dan curcumin. Senyawa fenol
pada jahe merupakan bagian dari komponen oleoresin yang dapat
berpengaruh dalam sifat pedas jahe. Senyawa terpenoid merupakan
komponen tumbuhan yang memiliki bau, dapat diisolasi dari bahan nabati
dengan penyulingan minyak atsiri. Monoterpenoid merupakan biosintesa
senyawa terpenoid yang biasa disebut senyawa “essence” dan memiliki
bau yang spesifik. Senyawa monotepenoid banyak dimanfaatkan sebagai
antiseptik, ekspektoran, spasmolitik, dan bahan pemberi aroma makanan
dan parfum (Kusumaningati, 2009). Senyawa-senyawa metabolit sekunder
golongan fenolik, flavonoid, terpenoid, dan minyak atsiri yang terdapat
pada ekstrak jahe merupakan golongan senyawa bioaktif yang dapat
menghambat pertumbuhan bakteri yang merugikan diantaranya bakteri
Escherichia coli, Bacillus subtilis, Staphylococcus aureus, jamur
Neurospora sp, Rhizopus sp. dan Penicillium sp. (Nursal dkk., 2006).

2.4.4 Penelitian Sebelumnya Jahe sebagai Antihelmintik


Adapun dalam penelitian sebelumnya didapatkan bahwa Ekstrak etanol
rimpang jahe merah (Zingiber officinale Roscoe var. rubrum) memiliki efek antelmintik terhadap
cacing Ascaris suum Goeze secara in vitro dengan menggunakan dosis minimal 40mg/ml, dengan
dosis maksimalnya yaitu 80mg/ml didapatkan waktu kematiannya 11 jam. (kurnia asri, 2016)
Hasil penelitian lain yg dilakukan oleh el-sayed, 2017 membuktikan bahwa ektrak
jahe emprit mempunyai efek sebagai antihelmintik pada dosis 100 mg/ml setelah paparan 24
jam di mana aktivitas penghambatannya mencapai 98,2%. efek tersebut diduga disebabkan
oleh kandungan senyawa aktif zingibain yang merupakan enzim proteolitik kuat. (Khalil dan
El-Houseiny 2013).

2.5 Uji Toksisitas Akut


Toksisitas akut didefinisikan sebagai efek yang ditimbulkan oleh senyawa kimia atau obat
terhadap organisme target. Efek toksik dari sediaan yang sama dapat memberikan efek yang
berbeda pada organ didalam tubuh (Clarke & Clarke 1975). Pengujian toksistas akut dilakukan
dengan memberikan obat atau zat kimia yang sedang diuji sebanyak satu kali atau beberapa kali
dalam jangka waktu 48 jam. Kebanyakan toksisitas akut diarahkan pada penentuan LD50 (Lethal
Dosis 50) dari suatu bahan kimia tertentu. Uji toksisitas akut dirancang untuk menentukan efek
toksik suatu senyawa yang akan terjadi dalam waktu yang singkat setelah pemajanan atau
pemberiannya dengan takaran tertentu. (Donatus 1998)

Anda mungkin juga menyukai