Anda di halaman 1dari 18

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.

id

BAB II

LANDASAN TEORI

A. TINJAUAN PUSTAKA

1. Ascaris lumbricoides

a. Definisi

Ascaris lumbricoides dinamakan juga cacing perut (Giant

Intestinal Roundworm) berhabitat di usus halus dan penyakit yang

ditimbulkannya dinamakan askariasis. Dalam membicarakan spesies

ini perlu juga dibicarakan spesies lain yang menginfeksi hewan,

tetapi dapat menginfeksi manusia yaitu Ascaris suum (Sandjaja,

2007).

b. Klasifikasi

Kingdom : Animalia

Subkingdom : Eumetazoa

Phylum : Nematoda

Class : Secernentea

Order : Ascaridida

Family : Ascarididae

Genus : Ascaris

Species : Ascaris lumbricoides (Myers et al., 2013)

8
perpustakaan.uns.ac.id 9
digilib.uns.ac.id

c. Morfologi

Cacing betina mempunyai ukuran 20-35 cm, sementara cacing

jantan berukuran lebih kecil, yakni memiliki panjang 15-30 cm.

Kedua jenis cacing ini memiliki warna putih kecoklatan, terkadang

berwarna merah muda dan memiliki lapisan kutikula yang

melapisinya (Chong, 2003) serta cacing betina memiliki diameter

sekitar 3- 6 mm dan cacing jantan memiliki diameter 2- 4 mm (Guy,

2011).

Seekor cacing betina dapat bertelur sebanyak 100.000-200.000

butir sehari, terdiri dari dua jenis telur, yaitu: telur yang dibuahi dan

yang tidak dibuahi (Sandjaja, 2007). Ukuran panjang dari telur

Ascaris lumbricoides antara 60 -70 mikron, dan lebar antara 40-50

mikron (Sutanto et al., 2008).

Telur Ascaris lumbricoides memiliki tiga bentuk umum yaitu: a)

telur fertil dengan kulit yang memiliki lapisan protein, b) telur fertil

yang kulit telurnya tidak memilik lapisan protein, dan c) telur non

fertil. Telur fertil berwarna coklat keemasan, bentuknya ovoid dan

berukuran 30 - 40 x 50 - 60 mikron. Telur non fertil memiliki ukuran

lebih besar, panjangnya mencapai 90 mikron dan bentuknya lebih

memanjang. Telur non fertil memiliki kulit telur yang tipis, sangat

tidak rata, kasar, bergranul (Sandjaja, 2007; Chong, 2003;

Khuroo,1996).
perpustakaan.uns.ac.id 10
digilib.uns.ac.id

Ascaris lumbricoides mempunyai mulut dengan tiga buah bibir

yaitu 1 buah bibir dorsal dan 2 buah bibir subventral. Pada setiap

bibir ditemukan adanya tonjolan (papillae). Pharynxnya sederhana

dan cacing ini tidak memiliki cervical alae. Pada bagian posterior

ditemukan adanya caudal papillae yang dapat digunakan untuk

membedakan cacing ini dengan spesies lain (Sandjaja, 2007).

d. Distribusi Geografis

Lebih dari 150 negara di dunia telah melaporkan mengenai

adanya infeksi yang disebabkan oleh Ascaris lumbricoides, terutama

di daerah atau negara yang beriklim tropis. Diperkirakan sekitar 1,4

miliar orang di dunia telah terinfeksi oleh cacing ini dan sekitar 4

juta kasus ditemukan di Amerika Serikat (Guy, 2011).

Parasit ini ditemukan kosmopolit. Survei yang telah dilakukan di

beberapa tempat di Indonesia menunjukkan bahwa prevalensi

Ascaris lumbricoides masih cukup tinggi yaitu sekitar 60 – 90%

(Sutanto et al., 2008). Orang-orang yang hidup di pedesaan lebih

sering terinfeksi oleh cacing ini daripada masyarakat perkotaan, yang

menyebabkan keadaan ini adalah kondisi sanitasi yang kurang baik

di daerah pedesaan (Sandjaja, 2007).

e. Siklus Hidup

Manusia dapat terinfeksi cacing ini karena mengkonsumsi

makanan minuman yang terkontaminasi telur cacing yang telah

berkembang (telur berembrio, segmented eggs). Bahkan beberapa


perpustakaan.uns.ac.id 11
digilib.uns.ac.id

kepustakaan mengatakan dapat pula ditemukannya telur yang telah

berkembang di debu (dust borne) (Sandjaja, 2007).

Dalam lingkungan yang sesuai, telur yang dibuahi berkembang

menjadi bentuk infektif dalam kurun waktu kurang lebih 3 minggu.

Bentuk infektif tersebut bila tertelan manusia maka akan menetas di

usus halus. Larvanya menembus dinding usus halus menuju

pembuluh darah atau saluran limfe, lalu dialirkan ke jantung,

kemudian mengikuti aliran darah ke paru. Larva di paru menembus

dinding pembuluh darah, lalu dinding alveolus, masuk rongga

alveolus, di alveolus larva akan tinggal selama 10 hari untuk

berkembang lebih lanjut. Bilamana larva ini telah mencapai ukuran

1,5 mm, larva nantinya akan mulai untuk bermigrasi ke saluran

nafas. Kemudian naik ke trakhea melalui bronkiolus dan bronkus.

Dari trakea larva menuju faring, sehingga menimbulkan rangsangan

pada faring. Penderita batuk karena rangsangan tersebut dan larva

akan tertelan ke esofagus, lalu menuju ke usus halus. Di usus halus

larva berubah menjadi cacing dewasa. Sejak telur matang tertelan

sampai cacing dewasa bertelur diperlukan waktu kurang lebih 2-3

bulan (Sutanto et al., 2008).

f. Patologi dan Gambaran Klinis

Penularan askariasis dapat terjadi melalui beberapa jalan yaitu

dengan tertelannya telur infektif ke dalam mulut bersama makanan

atau minuman yang tercemar dan tertelannya telur melalui tangan


perpustakaan.uns.ac.id 12
digilib.uns.ac.id

yang kotor. Sebagian besar kasus askariasis ini tidak menunjukkan

gejala akan tetapi karena tingginya angka infeksi, morbiditasnya

perlu diperhatikan (Widoyono, 2008).

Pada umumnya orang yang terkena infeksi cacing ascaris dalam

jumlah kecil tidak menunjukkan manifestasi klinis yang berarti.

Tetapi dengan jumlah cacing yang cukup besar terutama pada anak-

anak akan menimbulkan kekurangan gizi (Rasmaliah, 2001).

Gejala yang timbul pada penderita dapat disebabkan oleh cacing

maupun larvanya (Gandahusada et al., 2000). Patogenesis yang

disebabkan oleh askariasis berhubungan dengan (i) respon imun

hospes, (ii) efek dari migrasi larva, (iii) efek mekanis dari cacing

dewasa, dan (iv) defisiensi nutrisi akibat keberadaan cacing dewasa

(Garcia 2001). Ketika larva menembus kapiler paru dan sampai pada

saluran pernafasan, dapat terjadi perdarahan kecil di berbagai tempat

yang dilaluinya. Jika infeksi berat, akan menyebabkan akumulasi

darah, yang akan menginisiasi edema dan akhirnya terjadi sumbatan

pada jalan napas. Kongesti ini ditambah dengan akumulasi sel darah

putih dan sel epitel mati, disebut dengan Ascaris pneumonitis atau

Loeffler’s pneumonia (Roberts et al., 2005). Ascaris pneumonitis ini

biasanya disertai dengan reaksi alergi yang terdiri dari dyspnea,

batuk kering maupun batuk produktif, wheezing, demam (39,9-40oC)

dan eosinophilia. Migrasi cacing dewasa mengakibatkan terjadinya

sumbatan saluran cerna, yang kemudian dapat masuk ke saluran


perpustakaan.uns.ac.id 13
digilib.uns.ac.id

empedu, saluran pankreas, atau masuk ke dalam hati dan cavum

peritoneal. Cacing dewasa ini juga dapat migrasi keluar lewat anus,

mulut, atau hidung (Garcia, 2001). Pada anak-anak, dapat terjadi

malnutrisi, pertumbuhan yang tidak sempurna, dan

ketidakseimbangan kemampuan kognitif, jika infeksinya berat

(Roberts et al., 2005).

g. Pengobatan

Obat pilihan pertama pertama untuk terapi askariasis adalah

mebendazol dan pirantel pamoat. Sedangkan obat pilihan keduanya

adalah albendazol dan piperazin (Syarif dan Elysabeth, 2007;

Katzung, 2004).

Mebendazol berupa bubuk putih kekuningan, tidak larut dalam

air, dan tidak bersifat hogroskopis sehingga stabil dalam keadaan

terbuka (Ganiswara, 2007). Mebendazol dapat menyebabkan

kerusakan struktur subseluler dan menghambat ambilan glukosa

secara ireversibel sehingga terjadi deplesi glikogen pada cacing.

Cacing akan mati perlahan dan hasil terapi yang memuaskan baru

tampak setelah 3 hari pemberian obat (Syarif dan Elysabeth, 2007).

Obat ini diberikan dengan dosis 100 mg, 2 kali sehari selama 3 hari

(Pohan, 2006). Penggunaannya kadang menimbulkan efek samping

seperti mual, muntah, diare, sakit perut ringan, dan erratic migratin

(Albonico et al., 2003). Obat ini tidak dianjurkan pada wanita hamil

trisemester pertama, pada penderita sirosis dan anak yang berusia di


perpustakaan.uns.ac.id 14
digilib.uns.ac.id

bawah 2 tahun (Syarif dan Elysabeth, 2007; Tjay dan Raharja, 2007;

Katzung, 2004).

Pirantel pamoat adalah antihelmintik berspektrum luas yang

merupakan drug of choice terapi askariasis, enterobiasis dan

strongilodiasis (Golsmith et al., 2001). Obat ini efektif bila

diberikan dengan dosis tunggal sebanyak 10 mg basa/kg berat badan,

maksimum 1 gr menghasilkan angka kesembuhan 85-100%

(Ganiswara, 2007). Pirantel pamoat bekerja melalui mekanisme

depolarisasi otot cacing dan meningkatkan frekuensi impuls dengan

menghambat enzim asetilkolinesterase sehingga cacing mati dalam

keadaan spastik karena peningkatan kontraksi otot cacing terbukti

pada Ascaris lumbricoides (Syarif dan Elysabeth, 2007). Obat ini

merupakan kontraindikasi untuk ibu hamil dan pasien dengan

penyakit hati karena dapat meningkatkan SGOT. Selain itu tidak

dianjurkan untuk anak di bawah usia 2 tahun (Katzung, 2004).

Pirantel pamoat dipasarkan sebagai garam pamoat yang berbentuk

kristal putih yang bersifat stabil. Namun, mengkonsumsi obat

pirantel pamoat kadang menimbulkan efek samping seperti sakit

perut, diare, mual, muntah, ruam kulit, demam dan sakit kepala

bahkan memiliki efek teratogenik (Tjay dan Rahardja, 2007;

Bethony et al., 2006; Katzung, 2004).


perpustakaan.uns.ac.id 15
digilib.uns.ac.id

2. Ascaris suum

a. Klasifikasi

Kingdom : Animalia

Subkingdom : Eumetazoa

Phylum : Nematoda

Class : Secernentea

Order : Ascaridida

Family : Ascarididae

Genus : Ascaris

Species : Ascaris suum (Myers et al., 2013)

b. Morfologi dan Siklus hidup cacing

Cacing dewasa Ascaris suum merupakan cacing dengan ukuran

paling besar, yakni dapat mencapai panjang 25- 40 cm (betina) dan

15-25 cm (jantan), tinggal dalam usus halus. Cacing Jantan memiliki

tebal tubuh sekitar 3 mm. Sedangkan cacing betina memiliki tebal

tubuh 5 mm (Nolan, 2004; Soeharsono, 2002).

Siklus hidup Ascaris suum berbeda dengan Ascaris

lumbricoides. Pada Ascaris suum siklus hidup dapat terjadi secara

langsung maupun tidak langsung. Pada siklus secara langsung, babi

akan menelan telur infertil yang mengandung larva II. Larva tersebut

akan bermigrasi ke hati dan menjadi larva III. Selanjutnya larva

tersebut akan bermigrasi ke paru dan alveolus. Ketika host batuk

larva akan tertelan dan masuk ke saluran gastrointestinal. Proses ini


perpustakaan.uns.ac.id 16
digilib.uns.ac.id

sering disebut dengan hepato-tracheal migrration. Di dalam traktus

gastrointestinal, larva akan berkembang menjadi bentuk dewasa.

Cacing dewasa akan hidup dan berkembang biak dalam usus halus

babi (Moejer dan Roepstroff, 2006).

Pada siklus tidak langsung, perkembangan akan melalui hospes

paratenik atau perantara. Telur fertil (berisi larva II) tertelan oleh

hospes paratenik bersama makanan dan minuman. Larva II akan

berada di jaringan sampai babi memangsa hospes paratenik tersebut.

Selanjutnya, larva akan berkembang dalam tubuh babi menjadi larva

III seperti proses yang berlangsung dalam siklus langsung (Moejer

dan Roepstroff, 2006).

c. Patologi dan Gejala Klinis

Cacing betina dapat menghasilkan telur cacing sampai 2 juta

butir perhari. Infeksi Ascaris suum dapat terjadi setelah telur yang

mengandung larva stadium II tertelan oleh babi melalui makanan

atau minumannya. Telur akan menetas dan berkembang di dalam

usus halus menjadi larva stadium III. Pada stadium ini gejala klinis

mulai terlihat, serta larva mulai bermigrasi ke hati dan paru-paru

serta menimbulkan kerusakan pada mukosa intestinal babi.

Walaupun demikian, simptom yang timbul sulit dibedakan dengan

penyakit infeksi lainnya (Roberts et al., 2005).


perpustakaan.uns.ac.id 17
digilib.uns.ac.id

Larva dapat menyebabkan hemoragi ketika bermigrasi ke

kapiler paru. Infeksi berat dapat menyebabkan akumulasi perdarahan

dan kematian epitel sehingga menyebabkan kongesti jalan nafas

yang disebut dengan Ascaris pneumonitis. Keadaan ini dapat

menyebabkan kematian pada babi (Roberts et al., 2005).

3. Kedelai Putih

a. Asal usul

Kedelai sudah dibudidayakan sejak 1500 tahun SM oleh orang

Cina. Pada tahun 1.100 S.M kedelai dibudidayakan di Cina Timur

Tengah dan dengan cepat menjadi salah satu menu utama

masyarakat Cina (Mindell, 2008). Kedelai mulai masuk Indonesia,

terutama Jawa sekitar tahun 1750. Kedelai paling baik ditanam di

ladang dan persawahan antara musim kemarau dan musim hujan.

Untuk budidaya tanaman kedelai di pulau Jawa yang paling baik

adalah pada ketinggian tanah kurang dari 500 m di atas permukaan

laut (Iptek, 2005).

Tanaman biji Kedelai Putih dapat diusahakan di dataran rendah

mulai dari 0-500 meter di atas permukaan laut dengan cutah hujan

relatif rendah, tetapi membutuhkan air yang cukup untuk

pertumbuhan tanamannya (Wijayakusuma, 2007; Suprapto, 1992).


perpustakaan.uns.ac.id 18
digilib.uns.ac.id

b. Klasifikasi

Kingdom : Plantae (Tumbuhan)

Subkingdom : Tracheobionta (Tumbuhan berpembuluh)

Super Divisi : Spermatophyta (Menghasilkan biji)

Divisi : Magnoliophyta (Tumbuhan berbunga)

Kelas : Magnoliopsida (berkeping dua / dikotil)

Sub Kelas : Rosidae

Ordo : Fabales

Famili : Fabaceae (suku polong-polongan)

Genus : Glycine

Spesies : Glycine max (Plantamor, 2005)

c. Morfologi

Kedelai mempunyai perawakan kecil dan tinggi batangnya dapat

mencapai 75 cm. Bentuk daunnya bulat telur dengan kedua ujungnya

membentuk sudut lancip dan bersusun tiga menyebar (kanan-kiri-

depan) dalam satu untaian ranting yang menghubungkan batang

pohon. Kedelai berbuah polong yang berisi biji-biji. Menurut

varitasnya ada kedelai yang berwarna putih dan hitam. Baik kulit

luar buah polong maupun batang pohonnya mempunyai bulu-bulu

yang kasar berwarna coklat (Iptek, 2005).

Akar tanaman kedelai berupa akar tunggang yang membentuk

cabang-cabang akar. Susunan tubuh tanaman kedelai terdiri atas dua

macam alat (organ) utama, yaitu organ vegetatif dan organ generatif.
perpustakaan.uns.ac.id 19
digilib.uns.ac.id

Organ vegetatif meliputi akar, batang, dan daun yang fungsinya

adalah sebagai alat pengambilan, pengangkutan, pengolahan,

pengedar dan penyimpan makanan, sehingga disebut alat hara (organ

nutritivum). Organ generatif meliputi bunga, buah, dan biji yang

fungsinya adalah sebagai alat berkembang biak (organ

reproductivum).

Perakaran tanaman kedelai mempunyai kemampuan membentuk

bintil-bintil (nodula-nodula) akar yang bulat atau tidak beraturan

yang merupakan koloni dari bakteri Rhizobium japonicum. Bakteri

Rhizobium japonicum dengan akar tanaman kedelai dapat mengikat

nitrogen bebas (N2) dari udara yang digunakan untuk pertumbuhan

tanaman kedelai. Jumlah nitrogen yang diikat oleh bakteri

Rhizobium tergantung jenis tanaman kacang-kacangan, kesuburan

tanah dan strain bakteri Rhizobium (Rukmana, 1994).

d. Kandungan Kimia Biji Kedelai

Biji kedelai berkeping dua, terbungkus kulit biji dan tidak

mengandung jaringan endosperma. Embrio terletak di antara keping

biji. Warna kulit biji kuning, hitam, hijau, dan coklat. Pusar biji

(hilum) adalah jaringan bekas biji yang melekat pada dinding buah.

Bentuk biji kedelai umumnya bulat lonjong tetapi ada pula yang

bundar atau agak bulat atau bulat agak pipih (Ayuningtyas, 2009).

Dalam beberapa tahun terakhir, beberapa senyawa dalam

kedelai ini telah menarik perhatian komunitas medis. Di antara


perpustakaan.uns.ac.id 20
digilib.uns.ac.id

senyawa – senyawa tersebut adalah isoflavon, genistin, daizein,

protease inhibitor atau sering dikenal sebagai tripsin inhibitor, asam

fitik, saponin, lignin, asam oleat, arachidonat, asam amino arginin,

serta vitamin (B2, B6, E, dan K) (Duke, 2010; Mindell, 2008;

Amelia, 2006). Penelitian mengenai ekstrak kedelai telah terbukti

dapat menurunkan total kolesterol, kolesterol Low Density

Lipoprotein (LDL), meningkatkan kolesterol High Density

Lipoprotein (HDL), juga menurunkan rasio kolesterol LDL/HDL

tikus putih yang mengalami hiperkolesterolemia meski tidak

signifikan (Supriyanto, 2004). Kedelai juga mengandung isoflavon

dan anthosianin yang berfungsi sebagai antioksidan (Takahashi et

al., 2005).

Senyawa isoflavon terurai dalam tubuh menjadi fitoestrogen

(yang secara harfiah dapat diterjemahkan sebagai estrogen tumbuh-

tumbuhan) yaitu sebuah senyawa yang menyerupai hormon dan yang

dapat mencegah perkembangan kanker berdasarkan hormon-hormon

tertentu (Mindell, 2008). Isoflavon dari kedelai sudah dikenal

sebagai antimikroba terhadap E.coli dan antidiare (Amelia, 2006).

Isoflavon juga memperlancar fungsi metabolisme tubuh mulai dari

sistem pencernaan, sistem imunitas, peredaran darah, gangguan

stroke, jantung koroner, dan pencegahan kanker (Ayuningtyas,

2009). Selain itu, menurut penelitian yang dilakukan oleh Koswara

(2006) isoflavon dalam kedelai bermanfaat untuk menurunkan


perpustakaan.uns.ac.id 21
digilib.uns.ac.id

penyakit jantung melalui mekanisme penurunan kadar kolesterol

dalam darah. Sedangkan senyawa genisitin mampu menghalangi

enzim-enzim yang merangsang pertumbuhan tumor dan membantu

proses diferensiasi dalam sel kanker.

Senyawa daidzein yang merupakan isoflavon yang lainnya

ternyata memiliki fungsi yang sama terhadap genisitin. Begitupula

dengan asam fitik, senyawa ini merupakan antioksidan yang dapat

mengurangi ukuran dan jumlah tumor pada binatang percobaan yang

diberi makan karsinogen potensial (Mindell, 2008).

Menurut Ann R. Kennedy, Ph. D, dalam Mindell (2008)

mengemukakan bahwa protease inhibitor menjadi anti karsinogen

universal. Selain itu juga menjadi antioksidan yang punya

kemampuan tinggi dalam memproteksi oksidasi yang disebabkan

oleh radikal bebas (Amelia, 2006). Senyawa protease inhibitor atau

juga dikenal sebagai tripsin inhibitor ini dapat menghalangi kerja

protease, dan berperan dalam penghambatan enzim tripsin (Mindell,

2008; Dalimartha, 2009). Enzim tripsin dapat mengubah

khemotripsinogen menjadi enzim khemotripsin. Dengan tidak

terbentuknya enzim tripsin (aktivator) maka tidak akan terbentuk

enzim khemotripsin. Jika enzim khemotripsin tidak terbentuk maka,

otot cacing akan mengalami paralisis spastik (Dalimartha, 2009).

Saponin merupakan senyawa yang ditemukan dalam kedelai,

kacang polong, gingseng, biji bunga matahari dan kacang-kacangan


perpustakaan.uns.ac.id 22
digilib.uns.ac.id

lainnya (David, 2008; Mindell, 2008). Saponin adalah senyawa

glikosida yang bersifat basa jika dikocok dalam air dan di dalam

etanol kelarutan saponin ini akan bertambah (Suparjo, 2008).

Saponin terdiri atas dua macam senyawa yaitu steroid dan

triterpenoid yang terglikolisasi secara enzimatik membentuk

senyawa glikosida steroid dan glikosida triterpenoid (Rijai, 2006).

Saponin dapat menurunkan tingkat absorpsi kolesterol, sehingga

secara langsung dapat mengurangi kolesterol yang masuk ke dalam

tubuh. Saponin juga menghambat pertumbuhan kanker kolon

(Amelia, 2006). Saponin bekerja menghambat kerja enzim

kolinesterase sehingga terjadi penumpukan asetilkolin dalam celah

post sinaps. Penumpukan ini mengakibatkan kontraksi otot yang

berulang hingga menyebabkan kematian cacing secara spastik

(Kuntari, 2008). Selain itu saponin memiliki efek vermifuga, yakni

secara langsung berefek pada cacing melalui perusakan protein

tubuh cacing (Harvey dan John, 2005; Duke, 2010).

Kandungan asam oleat dan asam arachidonat (dimana keduanya

merupakan asam lemak tak jenuh) memiliki fungsi untuk

meningkatkan kemampuan lesitin (kandungan lipotropik dalam

dalam kedelai) untuk menurunkan kadar kolesterol dalam darah dan

untuk meningkatkan pembentukan asetilkolin. Asetilkolin ini

berfungsi untuk meningkatkan kemampuan belajar anak.


perpustakaan.uns.ac.id 23
digilib.uns.ac.id

Lignin berguna untuk meningkatkan permeabilitas pada kedelai.

Dengan permeabilitas yang tinggi memudahkan masuknya air dan

oksigen ke dalam benih kedelai yang akan mengaktifkan enzim-

enzim yang berperan dalam metabolisme tubuh (Ayuningtyas, 2009).

Di samping itu kedelai juga merupakan sumber protein nabati,

sumber lemak, serat dan vitamin (Takahashi et al., 2005).


perpustakaan.uns.ac.id 24
digilib.uns.ac.id

B. Kerangka Pemikiran

Kandungan ekstrak biji Kedelai


Putih (Glycine max) sebagai
antihelmintikyaitu saponin dan
tripsin inhibitor

Saponin Tripsin Inhibitor

Menghambat kerja enzim Menghalangi kerja protease, dan


kolinesterase sebagai penghambatan enzim tripsin

Paralisis Spastik

Cacing Gelang Babi


(Ascaris suum)

Variabel Luar Terkendali : Variabel Luar Tidak Terkendali :


1. Ukuran panjang tubuh 1. Umur cacing
cacing 2. Umur tanaman biji
2. Suhu percobaan Kedelai Putih (Glycine
3. Jenis cacing max)
4. Jenis Biji Kedelai 3. Kesehatan cacing
4. Kepekaan cacing terhadap
ekstrak biji Kedelai Putih
(Glycine max)

Kematian Cacing

Gambar 2.1. Skema Kerangka Pemikiran


perpustakaan.uns.ac.id 25
digilib.uns.ac.id

C. Hipotesis

Ekstrak biji Kedelai Putih (Glycine max) memperpendek waktu

kematian cacing gelang babi (Ascaris suum) In Vitro.

Anda mungkin juga menyukai