Anda di halaman 1dari 18

BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Salah satu masalah kesehatan masyarakat di Negara-negara


berkembang pada daerah tropis adalah penyakit infeksi kecacingan,
khususnya cacing yang ditularkan melalui tanah. Cacing umumnya tidak
menyebabkan penyakit berat sehingga sering kali diabaikan walaupun
sesungguhnya memberikan gangguan kesehatan. Tetapi dalam keadaan
infeksi berat atau keadaan yang luar biasa, kecacingan cenderung
memberikan analisa keliru kearah penyakit lain dan tidak jarang dapat
berakibat fatal. Biasanya infeksi yang disebabkan oleh cacing akan
menyerang usus, masuk melalui sistem pencernaan dalam bentuk telur
cacing.

Cacing Ascaris lumbricoides, Trichuris trichiura, Ancylostoma


duodenale, Strongyloides stercoralis dan Necator Americanus pada tanah
permukaan termasuk Kelas Nematoda usus. Manusia adalah hospes dari
Nematoda usus. Sebagian besar nematoda menyebabkan masalah
kesehatan masyarakat di Indonesia. Cacing Trichuris trichiura bersifat
kosmopolit, terutama ditemukan di daerah panas dan lembab seperti di
Indonesia.

B. TUJUAN

Mahasiswa dapat mengidentifikasi telur dan larva cacing


Nematoda usus pada tanah permukaan.

1
C. MANFAAT

Dengan diadakanya praktikum ini mahasiswa dapat


mengidentifikasi telur dan larva cacing Nematoda usus yang ditemukan
pada tanah permukaan.

2
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

Nematoda adalah cacing yang tidak bersegmen, bilateral simetris,


mempunyai saluran cerna yang berfungsi penuh, biasanya berbentuk
silindris serta panjangnya bervariasi dari beberapa milimeter hingga lebih
dari satu meter. Semua Nematoda yang menginfeksi manusia mempunyai
jenis kelamin terpisah, pada jantan biasanya lebih kecil daripada yang
betina. Nematoda dapat dibedakan menjadi 2 yaitu Nematoda jaringan dan
Nematoda usus.

Diantara nematoda usus terdapat sejumlah spesies yang disebut


Soil Transmitted Helminths. Soil Transmitted Helminths adalah
sekelompok cacing parasit (kelas Nematoda) yang dapat menyebabkan
infeksi pada manusia melalui kontak dengan telur ataupun larva parasit
itu sendiri yang berkembang di tanah yang lembab yang terdapat di
negara yang beriklim tropis maupun subtropis (Bethony,et al.2006).

Nematoda usus biasanya matang dalam usus halus, dimana


sebagian besar cacing dewasa melekat dengan kait oral atau lempeng
pemotong. Cacing ini menyebabkan penyakit karena dapat menyebabkan
kehilangan darah, iritasi dan alergi. Penyebaran invasif larva cacing
menyebabkan infeksi bakteri sekunder.

Menurut Hotez (2006) Soil Transmitted Helminths yang paling


sering menginfeksi adalah cacing gilig/roundworm (Ascaris
lumbricoides), cacing cambuk/whipworm (Trichuris trichiura) dan cacing
tambang/anthropophilic hookworm (Ancylostoma duodenale dan Necator
americanus) sedangkan Strongyloides stercoralis jarang ditemukan
terutama pada daerah yang beriklim dingin (Gandahusada, 2006).

a. Ascaris lumbricoides
Manusia merupakan satu-satunya hospes Ascaris lumbricoides.
Penyakit yang disebabkan parasit ini disebut askariasis. Prevalensi

3
askariasis di Indonesia termasuk dalam kategori tinggi yaitu memiliki
frekuensi antara 60-90%. Kurangnya pemakaian jamban keluarga
menimbulkan pencemaran tanah dengan tinja di sekitar halaman
rumah, di bawah pohon, di tempat mencuci dan di tempat
pembuangan sampah. Hal ini akan memudahkan terjadinya reinfeksi.
Di negara-negara tertentu terdapat kebiasaan memakai tinja sebagai
pupuk. (Gandahusada 2006).

Menurut Onggowaluyo (2002), cacing dewasa Ascaris


lumbricoides mempunyai ukuran paling besar di antara Nematoda
usus lainnya. Bentuk cacing ini adalah silindris (bulat panjang)
dengan ujung anterior lancip.

Cacing betina mempunyai ukuran tubuh lebih besar daripada


cacing jantan. Cacing betina berukuran 22-35 cm sedangkan yang
jantan berukuran 10-30 cm. Pada cacing betina bagian posteriornya
membulat dan lurus. Tubuhnya berwarna putih hingga kuning
kecoklatan dan diselubungi oleh lapisan kutikula yang bergaris
halus. Pada cacing jantan ujung posteriornya lancip dan
melengkung ke arah ventral dilengkapi pepil kecil dan dua buah
spekulum berukuran 2 mm. Tubuh cacing jantan ini berwarna putih
kemerahan (Prasetyo,2003).

a
Gambar 2.1 Cacing Ascaris lumbricoides dewasa. (a) betina, (b)
jantan

(http://www.sodiycxacun.web.id/2010/01/ascaris-
lumbricoides.html)

4
Seekor cacing betina dapat bertelur sebanyak 100.000-200.000
butir sehari, terdiri dari telur yang dibuahi dan tidak dibuahi. Telur
yang dibuahi, besarnya ±60x45 mikron, berbentuk oval, berdinding
tebal dengan tiga lapisan dan berisi embrio sedangkan yang tidak
dibuahi lebih besar yaitu berukuran ±90x40 mikron, berbentuk bulat
lonjong atau tidak teratur, dindingnya terdapat dua lapisan dan
dalamnya bergranula. Selain itu terdapat pula telur decorticated,
yaitu telur yang tanpa lapisan albumin atau albuminnya terlepas
karena proses mekanik. Dalam lingkungan yang sesuai (tanah liat,
o o
kelembaban tinggi, dan suhu yang berkisar antara 25 -30 C),
telur yang dibuahi berkembang menjadi bentuk infeksius dalam
waktu ±3 minggu.

a b
Gambar 2.2 Telur cacing Ascaris lumbricoides. (a) telur yang tidak
dibuahi, (b) telur yang dibuahi

Bentuk infeksius ini bila tertelan manusia maka akan menetas di


usus halus menjadi larva yang akan menembus dinding usus halus dan
mengikuti aliran darah atau saluran limfe hingga ke paru dan terus
menuju faring. Apabila sudah mancapai faring, larva ini akan
menyebabkan refleks batuk pada penderita sehingga larva pun akan
tertelan dan menuju usus halus kembali. Di usus halus larva akan
menetap hingga menjadi cacing dewasa. Sejak telur infeksius tertelan
hingga cacing dewasa bertelur diperlukan waktu kurang lebih dua
bulan. (Gandahusada,2006).

5
b. Trichuris trichiura

Manusia merupakan hospes cacing ini. Penyebab yang


disebabkan oleh cacing ini disebut trikuriasis. Cacing ini sering
ditemukan bersama dengan Ascaris lumbricoides.

Cacing betina memiliki panjang ±5 cm, sedangkan cacing jantan


±4 cm. Bagian anterior langsing seperti cambuk, panjangnya kira-
kira 3/5 dari panjang seluruh tubuh. Bagian posterior lebih gemuk.
Pada cacing betina bentuknya membulat tumpul sedangkan pada
cacing jantan melingkar dan terdapat satu spekulum.

a b

Gambar 2.3 Cacing Trichuris trichiura dewasa. (a) betina, (b)


jantan

(http://www.An.American.FamilyPhysician)

Seekor cacing betina diperkirakan menghasilkan telur setiap


hari antara 3000 - 10.000 butir. Telur berukuran 50-54 mikron x 32
mikron, berbentuk seperti tempayan dengan semacam penonjolan
pada kedua kutub dan dilengkapi dengan tutup (operkulum)
dari bahan mucus yang jernih. Kulit telur bagian luar berwarna
kekuningan dan bagian dalamnya jernih. Telur yang dibuahi
dikeluarkan dari hospes bersama tinja. Telur tersebut matang dalam
waktu 3-6 minggu dalam lingkungan yang sesuai, yaitu tanah yang
lembab dan tempat yang teduh. (Gandahusada, 2006 dan Prasetyo,
2003).

6
Gambar 2.4 Telur cacing Trichuris trichiura

(http://i215.photobucket.com/albums/
cc182/ovarelac_bucket_photo/Trichurisova

Hospes akan terinfeksi apabila hospes menelan telur infeksius


kemudian telur akan menetas dan larva akan masuk ke usus halus.
Setelah menjadi dewasa, cacing akan turun ke usus bagian distal
dan masuk ke daerah kolon, terutama sekum. Masa pertumbuhan
mulai dari telur yang tertelan sampai cacing dewasa betina
meletakkan telur kira-kira 30-90 hari.

c. Hookworm

Terdapat dua spesies hookworm yang sangat sering


menginfeksi manusia yaitu: “The Old World Hookworm” yaitu
Ancylostoma duodenale dan “The New World Hookworm” yaitu
Necator americanus (Qadri, 2008). Kedua parasit ini diberi nama
“cacing tambang” karena pada zaman dahulu cacing ini ditemukan di
Eropa pada pekerja pertambangan, yang belum mempunyai fasilitas
sanitasi yang memadai (Gandahusada, 2006).

Hospes parasit ini adalah manusia. Cacing dewasa hidup di


rongga usus halus, dengan mulut yang besar melekat pada mukosa
dinding usus. Cacing ini berbentuk silindris dan berwarna putih
keabuan. Cacing dewasa jantan berukuran 8 sampai 11 mm
sedangkan betina berukuran 10 sampai 13 mm. Cacing
N.americanus betina dapat bertelur ±9000 butir/hari sedangkan
cacing A.duodenale betina dapat bertelur ±10.000 butir/hari. Bentuk

7
badan N.americanus biasanya menyerupai huruf S sedangkan
A.duodenale menyerupai huruf C. Rongga mulut kedua jenis cacing
ini besar. N.americanus mempunyai benda kitin, sedangkan pada
A.duodenale terdapat dua pasang gigi. Cacing jantan kedua spesies
ini mempunyai bursa kopulatrik pada bagian ekornya dan cacing
betina memiliki ekor yang runcing. (Gandahusada,2006;
Prasetyo,2003; Onggowaluyo,2002).

Gambar 2.5 Cacing Ancylostoma duodenale dewasa

(http://www.An.American.FamilyPhysician.)

Gambar 2.6 Cacing Necator americanus dewasa

(http://www.An.American.FamilyPhysician.)

Telur cacing tambang sulit dibedakan, karena itu apabila


ditemukan dalam tinja disebut sebagai telur hookworm atau telur
cacing tambang. Telur cacing tambang besarnya ±60 x 40 mikron,
berbentuk oval, dinding tipis dan rata, warna putih. Di dalam telur
terdapat 4-8 sel. Dalam waktu 1-1,5 hari setelah dikeluarkan melalui

8
tinja maka keluarlah larva rhabditiform. Larva pada stadium
rhabditiform dari cacing tambang sulit dibedakan. Panjangnya 250
mikron, ekor runcing dan mulut terbuka. Larva pada stadium
filariform (Infective larvae) panjangnya 600-700 mikron, mulut
tertutup ekor runcing dan panjang oesophagus 1/3 dari panjang
badan. (Gandahusada 2006; Prasetyo,2003).

Gambar 2.7 Telur Hookworm

Infeksi terjadi apabila larva filariform menembus kulit.


Infeksi A.duodenale juga mungkin dengan menelan larva
filariform.

Gambar 2.8 Larva Hookworm

(PHIL 1513 – CDC/Dr. Mae Melvin)

d. Strongyloides stercoralis

Manusia merupakan hospes utama cacing ini. Parasit ini dapat


menyebabkan penyakit strongilodiasis. Nematoda ini terutama
terdapat di daerah tropik dan subtropik sedangkan di daerah yang
beriklim dingin jarang ditemukan.

9
Hanya diketahui cacing dewasa betina yang hidup sebagai
parasit di vilus duodenum dan yeyunum. Cacing betina
berbentuk filiform, halus dan tidak berwarna dan panjangnya
kira-kira 2 mm.

Cara berkembang biaknya diduga secara parthenogenesis.


Telur bentuk parasitik diletakkan di mukosa usus, kemudian telur
tersebut menetas menjadi larva rabtidiform yang masuk ke rongga
usus serta dikeluarkan bersama tinja. Sesudah 2-3 hari di tanah,
larva rabditiform berubah menjadi larva filariform yang berbentuk
langsing dan merupakan bentuk infektif. Larva ini menginfeksi
manusia dengan menembus kulit manusia. Cara menginfeksi ini
dinamakan siklus langsung. (Gandahusada,2006).

Strongyloides stercoralis juga memiliki siklus tidak langsung


dimana larva rabtidiform di tanah berubah menjadi cacing jantan
dan cacing betina dalam bentuk bebas. Bentuk bebas ini lebih
gemuk dari bentuk parasitik.

Cacing betina berukuran 1 mm x 0,06 mm, yang jantan


berukuran 0,75 mm x 0,04 mm, mempunyai ekor melengkung
dengan 2 buah spekulum. Sesudah pembuahan, cacing betina
menghasilkan telur yang akan menetas menjadi larva rabditiform
yang beberapa hari kemudian menjadi larva filariform yang
infektif.

Siklus tidak langsung ini terjadi bilamana keadaan lingkungan


sekitarnya optimum yaitu sesuai dengan keadaan yang dibutuhkan
untuk kehidupan bebas parasit ini, misalnya di negeri-negeri
tropik dengan iklim lembab. Siklus langsung sering terjadi di
negeri-negeri yang lebih dingin dengan keadaan yang kurang
menguntungkan untuk parasit tersebut. (Gandahusada,2006).

10
a b
Gambar 2.9 Cacing Strongyloides stercoralis dewasa. (a) jantan
(memiliki spekulum), (b) betina

(http://dpd.cdc.gov/dpdx/html/ImageLibrary/Strongyloidiasis_il.htm
)

Gambar 2.10 Larva rabditiform

(http://www.wadsworth.org/testing/parasitologyD/Strongyloides.shtml)

11
BAB III

PELAKSANAAN KEGIATAN

A. TEMPAT DAN WAKTU PELAKSANAAN


Hari/tanggal : Kamis, 28 Juni 2018
Jam : 09.30 WITA – Selesai
Tempat :

1. Pengambilan sampel tanah di Komplek Kesehatan Poltekkes


Kemenkes Banjarmasin No. 05.
2. Pemeriksaan sampel Laboratorium Parasitologi Jurusan Kesehatan
Lingkungan Poltekkes Kemenkes Banjarmasin.

B. JENIS KEGIATAN

Jenis kegiatan ini berupa praktek mengidentifikasi Telur dan Larva


Cacing Nematoda Usus pada permukaan tanah.

C. ALAT
1. Garfu tanah
2. Sendok semen
3. Kantong plastic
4. Spidol
5. Box sampling (thermos)
6. Alat ukur penggaris
7. Sentrifuge
8. Tabung dan rak tabung
9. Kaca benda dan kaca penutup
10. Gelas ukur 1000 ml
11. Batang pengaduk
12. Timbangan

12
13. Mikroskop

D. Bahan
1. Larutan Hypoklorid
2. Larutan MgSO4
3. Aquadest
4. Sampel tanah

E. Cara Kerja

Pengambilan Sampel :

1. Bersihkan titik lokasi pengambilan sampel tanah seluas 40 x 40 cm2.


2. Ambil sampel ± 100 gr tanah.
3. Masukkan kekantong plastik.
4. Berikan label.
5. Masukkan ke dalam box sampling (thermos).
6. Kirim ke laboratorium.

Pemeriksaan Sampel :

1. Masukkan ke dalam tabung sentrifuge sampel tanah ± 5 gram.


2. Tambahkan 20 ml larutan Hypoklorid.
3. Aduk sampai rata lalu diamkan ± 1 jam.
4. Putar dengan sentrifuge kecepatan 2000 rpm selama 2 menit.
5. Buang cairan atas dan tambahkan aquades ± 20 ml, aduk sampai
homogen.
6. Putar kembali dengan sentrifuge kecepatan 2500 rpm selama 2 menit.
7. Ulangi perlakuan 5 dan 6 tersebut minimal 3 kali pengulangan.
8. Cairan atas buang, dan tambahkan larutan MgSO4 sebanyak 20 ml.
9. Putar dengan kecepatan 2000 rpm ± 5 menit.
10. Ambilkan tabung dan tambahkan larutan MgSO4 sampai penuh
agak mengembung.
11. Tutup dengan kaca penutup biarkan ± 30 menit.
12. Pindahkan kaca penutup diatas kaca.

13
13. Periksa dengan mikroskop dengan perbesaran 10 x 10, kemudian
dilanjutkan dengan perbesaran 40 x 40.

14
BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

A. HASIL

B. PEMBAHASAN
Dari praktikum identifikasi telur dan larva cacing pada permukaan
tanah Rumah No 5 komplek Kesehatan Poltekkes Kemenkes
Banjarmasin pemeriksaan melalui mikroskop dengan pembesaran 10 x
10 didapatkan hasil seperti pada gambar di atas, yang menunjukkan
positif (+) terdapat telur cacing (pada lingkaran hitam). Telur cacing
tersebut merupakan telur Ascaris lumbricoides.

15
BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

A. KESIMPULAN

Dari hasil praktikum identifikasi Telur dan Larva Cacing


Nematoda Usus pada permukaan tanah yang kami lakukan,
didapatkan telur cacing Ascaris lumbricoides. Oleh karena itu
untuk mencegah terjadinya penyakit akibat kontaminasi yang
disebabkan oleh parasit tanah, hendaklah selalu mencuci tangan
terlebih dahulu setelah melakukan aktivitas di tanah dan sebelum
makan.

B. SARAN

Untuk praktikum selanjutnya bahan dan materi yang akan


digunakan sebaiknya diberikan terlebih dahulu agar saat
pelaksanaan praktikum waktu yang digunakan lebih efisien.

16
DAFTAR PUSTAKA

Dragon, Ryuu. 2013. “Parasitologi Tanah”. Dalam


http://song2dragon.blogspot.com/2013/06/parasitologi-
tanah.html?m=1 . Diunduh 1 Juli 2018.
“Contoh Cacing Soil Transmitted Helminth”. Dalam
https://pintarsains.blogspot.com/2013/09/contoh-cacing-soil-
transmitted-helminth.html?m=1 . Diunduh 1 Juli 2018.

Onggowaluyo, Jangkung Sumidjo. 2001. Parasitologi Medik I


(Helmintologi). EGC, Jakarta.
Slamet, S.J. 2002. Kesehatan Lingkungan. Gadjah Mada University
Press, Yogyakarta.
Widyastuti, Retno dkk. 2002. Parasitologi. Universitas Terbuka,
Jakarta.

17
LAMPIRAN

18

Anda mungkin juga menyukai