Anda di halaman 1dari 43

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Infeksi Soil Transmitted Helminthes (STH)

Infeksi Soil-transmitted helminthes (STH) adalah salah satu infeksi yang paling

umum di seluruh dunia dan mempengaruhi masyarakat yang miskin. Manusia

merupakan hospes bagi beberapa nematoda usus yang sejumlah besar ditularkan

melalui tanah disebut soil transmitted helminthes. Mereka ditularkan oleh telur

yang dikeluarkan bersama tinja, kemudian mengkontaminasi tanah di daerah yang

mempunyai sanitasi yang buruk. Spesies utama yang menginfeksi manusia adalah

cacing gelang (Ascaris lumbricoides), cacing cambuk (Trichuris trichiura) dan

cacing tambang (Necator americanus dan Ancylostoma duodenale). Transmisi

infeksi soil transmitted helminthes ditularkan melalui beberapa cara:

 Telur yang melekat pada sayuran dan tertelan ketika sayuran tidak

dimasak, dicuci atau dikupas dengan baik;

 Telur yang tertelan dari sumber air yang terkontaminasi;

 Telur yang tertelan oleh anak-anak yang bermain di tanah yang

terkontaminasi, kemudian meletakkan tangan mereka di mulut mereka

tanpa mencucinya (WHO, 2017).

6
7

2.1.1 Ascaris lumbricoides

2.1.1.1 Taksonomi

Kingdom : Animalia
Phylum : Nematoda
Kelas : Secernentea
Ordo : Ascaridida
Famili : Ascarididae
Genus : Ascaris
Spesies : A. lumbricoides
(Myers dkk, 2017)

2.1.1.2 Morfologi

Gambar 2.1: Cacing dewasa A. lumbricoides betina (CDC, 2016)

Cacing betina dewasa mempunyai bentuk tubuh posterior yang membulat

(conical), berwarna putih kemerah-merahan dan mempunyai ekor lurus tidak

melengkung. Cacing betina mempunyai panjang 22-35 cm dan memiliki lebar 0,3-

0,6 cm. Cacing jantan dewasa mempunyai ukuran yang lebih kecil dengan panjang

12-13 cm dan lebar 0,2-0,4 cm, juga mempunyai warna yang sama dengan cacing

betina, tetapi mempunyai ekor yang melengkung kearah ventral (Sutanto dkk,

2013).
8

Pada ujung anterior, ia mempunyai tiga bibir dengan gigi-gigi kecil atau

dentrikel pada pinggirannya. Alat reproduksi dan saluran pencernaan mengapung

di dalam rongga badan. Cacing jantan mempunyai dua buah speculum yang dapat

keluar dari kloaka dan pada cacing betina, vulva terbuka pada perbatasan

sepertiga badan anterior dan tengah, bagian ini lebih kecil dan dikenal sebagai

cincin kopulasi (Sutanto dkk, 2013).

Gambar 2.2: Telur A.lumbricoides fertil dan unfertile (CDC, 2016).

a. Telur yang fertile berukuran 60-75 x 40-50 mikron, warna coklat

mempunyai tiga lapis dinding yaitu lapisan vitteline lipoidal di bagian

dalam,lapisan glikogen yang tebal dan transparan dan lapisan

albuminoid yang tebal dan kasar di bagian terluar dan berfungsi sebagai

“shock breaker”. Kadang-kadang lapisan terluar ini terkikis habis

sehingga hanya tinggal dua lapisan saja, dan disebut dengan telur

decorticated.

b. Telur yang unfertil berukuran agak lebih besar daripada yang fertil,

ukuran 80x55 mikron, dan lebih lonjong. Ia mempunyai dua lapisan

dinding yaitu lapisan tengah (glikogen) dan lapisan terluar (albuminoid)

yang berwarna coklat dan bentuk permukaannya tak teratur.


9

2.1.1.3 Siklus Hidup

Gambar 2.3: Siklus hidup A.lumbricoides (CDC, 2015).

Cacing dewasa hidup di lumen usus kecil. Cacing betina menghasilkan

sekitar 200.000 telur per hari, bersama dengan tinja. Telur infertil dapat dicerna

namun tidak infektif. Telur fertil menjadi embrio dan infektif setelah 18 hari sampai

beberapa minggu tergantung pada kondisi lingkungan (optimum: lembab, hangat,

bertanah). Jika telur infektif tertelan, larva menetas dan menginvasi mukosa usus,

dibawa melalui portal, sirkulasi kemudian sistemik ke paru-paru. Larva dewasa

berada dalam paru-paru selama 10 sampai 14 hari, menembus dinding alveolar,

naik melalui trakeobronkial ke tenggorokan dan tertelan. Setelah mencapai usus

kecil, larva berkembang menjadi cacing dewasa, diperlukan waktu antara 2 dan 3

bulan setelah menelan telur infektif untuk oviposisi oleh betina dewasa dan cacing

dewasa dapat hidup 1 sampai 2 tahun (CDC,2015).


10

2.1.1.4 Patogenesis dan Gejala Klinis

Fase migrasi larva

Pada fase migrasi, larva dapat menyebabkan timbulnya reaksi pada

jaringan yang dilaluinya. Pada paru, antigen larva menimbulkan respons

inflammasi berupa infiltrat yang tampak pada foto toraks dan akan menghilang

dalam waktu tiga minggu. Terdapat gejala pneumonia atau radang paru seperti

mengi, dyspnea, batuk kering, demam, dan pada infeksi berat dapat timbul dahak

yang disertai darah. Pnemonia yang disertai eosinofilia dan peningkatan IgE

disebut sindrom Loefller. Larva yang mati di hati dapat menimbulkan granuloma

eosinofilia.

Fase intestinal

Cacing dewasa yang hidup di saluran intestinal jarang menimbulkan gejala

klinis. Jika terdapat gejala klinis biasanya tidak khas yaitu mual, nafsu makan

berkurang, diare atau konstipasi, lesu, tidak bergairah dan kurang konsentrasi.

Cacing Ascaris dapat menyebabkan intoleransi laktosa, malabsorbsi vitamin A dan

mikronutrisi. Pada anak, infeksi kronis dapat menyebabkan kegagalan

pertumbuhan akibat dari penurunan nafsu makan, terganggunya proses

pencernaan dan malabsorbsi.

Efek yang serius terjadi bila cacing menggumpal dalam usus sehingga

terjadi obstruksi usus (ileus). Selain itu cacing dewasa dapat masuk ke lumen usus

buntu dan dapat menimbulkan apendisitis akut atau gangrene. Jika cacing dewasa

masuk dan menyumbat saluran empedu dapat terjadi kolik, kolesistitis, kolangitis,

pangkreatitis dan abses hati. Selain bermigrasi ke organ, cacing dewasa dapat

bermigrasi keluar melalui anus, mulut atau hidung. Migrasi cacing dewasa dapat
11

terjadi karena rangsangan seperti demam tinggi atau obat-obatan (Kemenkes RI,

2012).

2.1.1.5 Diagnosis

Diagnosis dilakukan dengan menemukan telur A.lumbricodes pada

sediaan basah tinja langsung. Penghitungan telur per gram tinja dengan teknik

katokatz dipakai sebagai pedoman untuk menentukan berat ringannya infeksi.

Selain itu, diagnosis dapat dibuat bila cacing dewasa keluar sendiri melalui mulut,

hidung atau anus (Kemenkes RI, 2012).

2.1.1.6 Terapi

Albendazol dan mebendazol merupakan obat pilihan untuk askariasis.

Dosis albendazol untuk dewasa dan anak usia lebih dari 2 tahun adalah 400 mg

per oral. WHO merekomendasikan dosis 200 mg untuk anak usia 12-24 bulan.

Dosis mebendazol untuk dewasa dan anak usia lebih dari 2 tahun yaitu 500 mg.

albendazol dan mebendazol diberikan dosis tunggal. Pirantel pamoat dapat

digunakan untuk ascariasis dengan dosis 10-11 mg/kgBB per oral, dosis

maksimum 1 gram (Kemenkes RI, 2012).


12

2.1.2 Trichuris trichiura

2.1.2.1 Taksonomi

Kingdom : Animalia
Phylum : Nematoda
Kelas : Adenophorea
Sub kelas : Enoplia
Ordo : Trichocephalida
Famili : Trichuridae
Genus : Trichuris
Spesies : T.trichuira

(Myers dkk, 2017)

2.1.2.2 Morfologi

Gambar 2.4: Telur dan cacing dewasa T.trichiura (CDC, 2016).

Stadium perkembangan Trichuris trichiura adalah telur dan cacing

dewasa. Telurnya berukuran 50 x 25 mikron, memiliki bentuk seperti tempayan,

pada kutubnya terdapat operkulum yaitu semacam penutup yang jernih dan

menonjol. Dindingnya terdiri atas dua lapisan, bagian dalam jernih, bagian luar

berwarna kecoklat-coklatan (Natadisastra dan Agoes, 2014).

Cacing dewasa berbentuk seperti cambuk dengan 2/5 bagian posterior

tubuhnya tebal seperti tangkai cambuk dan 3/5 bagian anterior yang kecil seperti
13

rambut. Cacing betina lebih panjang daripada yang jantan; berukuran 3,5-5 cm

dengan ujung posterior yang tumpul dan membulat (Jayanthy, 2015).

2.1.2.3 Siklus Hidup

Gambar 2.5: Siklus hidup T.trchiura (CDC, 2013).

Telur yang belum memiliki embrio keluar bersama tinja. Pada tanah, telur

berkembang menjadi tahap 2-sel, dan mengalami pembelahan stadium lanjut.

Kemudian membelah menjadi telur embrio; telur menjadi matang dalam 15 sampai

30 hari. Telur matang ialah telur yang berisi larva dan merupakan bentuk yang

infektif. Cara infeksi langsung apabila secara kebetulan hospes menelan telur

matang. Larva menetas dalam usus kecil, dan menjadi cacing dewasa di usus.

Cacing dewasa (sekitar 4 cm) hidup dalam sekum dan naik ke usus.
14

Cacing dewasa tetap berada di lokasi itu, dengan bagian anterior yang berulir ke

mukosa. Cacing betina mulai bertelur 60 sampai 70 hari setelah infeksi. Cacing

betina bertelur di sekum antara 3.000 dan 20.000 telur per hari. Jangka hidup

cacing dewasa adalah sekitar 1 tahun (CDC, 2013).

2.1.2.4 Patogenesis dan Gejala Klinis

T.trichiura menyebabkan penyakit yang disebut trikuriasis. Trikuriasis

ringan biasanya tidak memberikan gejala klinis yang jelas atau sama sekali tanpa

gejala. Pada infeksi berat terutama pada anak, cacing tersebar di seluruh kolon

dan rektum sehingga dapat menimbulkan prolapsus rekti akibat penderita

mengejan dengan kuat dan sering timbul pada waktu defekasi. Selain itu penderita

dapat mengalami diare yang diselingi sindrom disentri atau kolitis kronis, sehingga

berat badan turun. Bagian anterior cacing yang masuk ke dalam mukosa usus

menyebabkan trauma yang menimbulkan peradangan dan perdarahan. T.trichiura

juga mengisap darah hospes sehingga mengakibatkan anemia (Kemenkes, 2012).

2.1.2.5 Diagnosis

Diagnosis ditegakkan ketika menemukan telur pada sediaan basah tinja

langsung atau menemukan cacing dewasa pada pemeriksaan kolonoskopi.

Penghitugan telur per gram tinja dengan teknik katokatz dipakai sebagai pedoman

untuk menentukan berat ringannya infeksi (Kemenkes, 2012).

2.1.2.6 Terapi

Obat untuk trikuriasis adalah albendazol 400 mg selama tiga hari atau

mebendazol 100 mg 2x sehari selama tiga hari berturut-turut (Kemenkes, 2012).


15

2.1.3 Cacing tambang (Ancylostoma duodenale dan Necator americanus)

2.1.3.1 Taksonomi

Kingdom : Animalia
Phylum : Nematoda
Kelas : Secernentea
Ordo : Strongylida
Familia : Ancylosmomaidea dan Ucinariidae
Genus : Ancylostoma dan Necator
Spesies : A.duodenale
N.americanus
(Fetouh dan Hays, 2017)

2.1.3.2 Morfologi

Dua spesies utama cacing tambang yang menginfeksi manusia adalah

A.duodenale dan N.americanus. Cacing betina berukuran panjang ± 1 cm, cacing

jantan ± 0,8 cm. Cacing jantan mempunyai bursa kopulatriks. Bentuk badan

N.americanus biasanya menyerupai huruf S, sedangkan A.duodenale menyerupai

huruf C.

N.americanus tiap hari bertelur 5000-10,000 butir, sedangkan A.duodenale

10,000-25,000 butir. Rongga mulut N.americanus mempunyai benda kitin,

sedangkan A.duodenale mempunyai dua pasang gigi yang berfungsi untuk

melekatkan diri di mukosa usus (Kemenkes RI, 2012).

Gambar 2.6: Telur cacing tambang (CDC, 2016).


16

Telur cacing tambang mempunyai ukuran 55-75 x 35-46 mikron dan

berbentuk oval ataupun ellipsoid. Ia mempunyai satu lapis dinding tipis dan

trasnparan. Bila baru keluar melalui tinja, intinya terdiri atas 4-8 sel (Kemenkes RI,

2012).

2.1.3.3 Siklus hidup

Gambar 2.7: Siklus hidup cacing tambang (CDC, 2013).

Telur dikeluarkan bersama feses dan pada lingkungan yang sesuai telur

menetas mengeluarkan larva rhabditiform dalam waktu 1-2 hari. Larva rhabditiform

tumbuh menjadi larva filariform dalam waktu ± 3 hari. Larva filariform bertahan

hidup 7-8 minggu di tanah dan dapat menembus kulit. Infeksi terjadi apabila larva

filariform menembus kulit. Infeksi A.duodenale juga dapat terjadi dengan menelan

larva filariform.
17

Apabila larva filariform menembus kulit, ia akan masuk ke kapiler darah

dan terbawa aliran ke jantung dan paru. Di paru, larva menembus dinding

pembuluh darah, lalu dinding alveolus kemudian masuk rongga alveolus dan naik

ke trakea melalui bronkiolus dan bronkus menuju faring. Di faring, larva akan

menimbulkan rangsangan sehingga penderita batuk dan larva tertelan masuk

esofagus menuju ke usus halus. Di usus halus, larva akan tumbuh menjadi dewasa

dan menempel pada dinding usus halus sehingga mengakibatkan inang

kehilangan darah (CDC, 2013).

2.1.3.4 Patogenesis dan gejala klinis

Stadium larva

Bila larva filariform dalam jumlah besar menembus kulit, maka terjadi

perubahan kulit disebut “ground itch” yaitu reaksi local eritematosa dengan papul-

papul yang disertai rasa gatal.

Infeksi larva filariform A.duodenale secara oral menyebabkan penyakit

wakana dengan gejala mual, muntah, iritasi faringeal, batuk, sakit leher, dan suara

serak. Larva cacing di paru dapat menimbulkan pnemonitis dengan gejala yang

lebih ringan dari pnemonitis Ascaris.

Stadium dewasa

Manifestasi klinis infeksi cacing tambang merupakan akibat dari kehilangan

darah karena invasi parasit di mukosa dan submukosa usus halus. Gejala

tergantung spesies dan jumlah cacing serta keadaan gizi penderita. Seekor

N.americanus menyebabkan kehilangan darah sebanyak 0,005-0,1 cc/hari,

sedangkan A.duodenale 0,08-0,34 cc/hari. Biasanya terjadi anemia hipokrom

mikrositer dan eosinofilia. Cacing tambang biasanya tidak menyebabkan


18

kematian, tetapi daya tahan berkurang dan prestasi kerja turun (Kemenkes RI,

2012).

2.1.3.5 Diagnosis

Diagnosis dapat ditegakkan dengan melihat adanya gejala klinis berupa

keluhan tidak enak di perut yang tidak khas, tampak pucat karena anemia, perut

buncit, rambut kering dan rapuh. Tambahan, ditemukannya telur/cacing dewasa

pada tinja penderita.

.Pemeriksaan tinja yang meragukan pada sediaan langsung dapat

dilanjutkan dengan metoda pembiakan menurut Harada Mori, untuk mendapatkan

larvanya. Pemeriksaan tinja dengan Bensidine test dapat menunjukkan adanya

perdarahan dalam usus penderita. Ditemukan kristal-kristal Charcot Leyden juga

dapat mengarahkan diagnosa. Dengan pemeriksaan darah akan ditemukan

gambaran anemia hypochronic microtair dan eosinophilia (Staf Laboratorium

Parasitologi FKUB, 2011)

2.1.3.6 Terapi

Obat untuk infeksi cacing tambang adalah albendazol dosis tunggal 400

mg oral atau mebendazol 2x100 mg/ hari atau pirantel pamoat 11 mg/ kgBB,

maksimum 1 gram. Mebendazol dan pirantel pamoat diberikan selama tiga hari

berturut-turut. WHO merekomendasikan dosis albendazol yaitu 200 mg untuk anak

usia 12-24 bulan. Untuk meningkatkan kadar haemoglobin perlu diberikan asupan

makanan bergizi dan suplementasi zat besi (Kemenkes RI, 2012).


19

2.1.4 Strongyloides stercoralis

2.1.4.1 Taksonomi

Kingdom : Animalia
Phylum : Nematoda
Kelas : Secernentea
Ordo : Rhabditida
Famili : Strongyloididae
Genus : Strongyloides
Spesies : S.stercoralis
(Myers dkk, 2017)

2.1.4.2 Morfologi

Gambar 2.8 Kiri: Cacing betina S.stercoralis dengan deretan telur dalam
tubuhnya. Kanan: Larva filariform (CDC, 2015)

Cacing dewasa sebagai parasit terdiri atas cacing betina yang memiliki

ukuran 2,2 mm x 50 m, dengan rongga bukal pendek dan esofagus panjang dan

ramping. Telur cacing S.stercoralis mirip seperti telur cacing tambang, memiliki

bentuk lonjong dengan ukuran (50-60)x(30-35) m, dinding tipis dan di dalamnya

mengandung embrio.

S.stercoralis mempunyai dua bentuk larva yaitu larva rhabditiform dan

filariform. Larva rhabditiform berukuran (200-300)x(14-16) m, memiliki esofagus

dan bulbus esofagus yang mengisi ¼ anterior tubuh. Larva ini biasa ditemukan
20

bersama tinja. Larva filariform merupakan stadium infektif, lebih panjang dan

lebih langsung daripada larva rhabditiform, berukuran (350-450)x(30-35) m,

dengan esofagus yang panjangnya mencapai ½ bagian anterior tubuh tetapi

tidak memiliki bulbus esofagus (Natadisastra dan Agoes, 2014).

2.1.4.3 Siklus hidup

Gambar 2.9: Siklus hidup cacing S.stercoralis (CDC, 2015).

Siklus langsung:

Sesudah 2-3 hari di tanah, larva rhabditiform berubah menjadi larva

filariform. Jika larva filariform menembus kulit manusia, larva tumbuh dan masuk

ke dalam peredaran darah vena, kemudian melalui jantung kanan sampai ke paru.

Dari paru, parasit mulai menjadi dewasa dan menembus alveolus, masuk ke
21

trakea dan laring. Sesudah sampai di laring terjadi refleks batuk, sehingga parasit

tertelan kemudian sampai di usus halus bagian atas dan menjadi dewasa. Cacing

betina yang dapat bertelur ditemukan ± 28 hari sesudah infeksi.

Siklus tidak langsung:

Pada siklus ini, larva rhabditiform di tanah berubah menjadi cacing jantan

dan cacing betina bentuk bebas. Bentuk bebas lebih gemuk dari bentuk parasitik.

Sesudah pembuahan, cacing betina menghasilkan telur yang menetas menjadi

larva rhabditiform. Larva rhabditiform dalam waktu beberapa hari dapat menjadi

larva filariform yang infektif dan masuk ke dalam hospes baru, atau larva

rhabditiform tersebut mengulangi fase hidup bebas. Siklus tidak langsung ini terjadi

bilamana keadaan lingkungan sekitarnya optimum yaitu sesuai dengan keadaan

yang dibutuhkan untuk kehidupan bebas parasit ini, misalnya di negeri tropis

dengan iklim lembab.

Autoinfeksi:

Larva rhabditiform kadang-kadang menjadi larva filariform di usus atau di

daerah sekitar anus (perianal). Jika larva filariform menembus mukosa usus atau

kulit perianal, maka terjadi daur perkembangan di dalam hospes. Autoinfeksi dapat

menyebabkan strongyloidiasis menahun pada penderita yang hidup di daerah

nonendemik (Sutanto dkk, 2013).

2.1.4.4 Patogenesis dan gejala klinis

Apabila larva filariform menembus kulit dalam jumlah besar, akan timbul

kelainan kulit yang dinamakan creeping eruption yang sering disertai rasa gatal

yang hebat.
22

Pada infeksi ringan biasanya tidak ditemukan gejala apapun, sedangkan

pada infeksi sedang apabila cacing dewasa betina bersarang di dalam mukosa

duodenum akan menyebabkan perasaan terbakar, menusuk-nusuk di daerah

epigastrium, disertai rasa mual dan muntah, diare bergantian dengan konstipasi.

Pada infeksi berat dan kronis, berat badan akan menurun, anemia, disentri

menahun, serta demam ringan yang disebabkan infeksi bakteri sekunder ke dalam

lesi usus (Natadisastra dan Agoes, 2014).

2.1.4.5 Diagnosis

Diagnosis ditegakkan dengan menemukan larva pada tinja penderita.

Kemungkinan juga ditemukan larva dalam sputum penderita. Diagnosa dengan

aspirasi cairan duodenum memberi hasil yang lebih akurat, tetapi menyakitkan

bagi penderita (Staf Laboratorium Parasitologi FKUB, 2011).

2.1.4.6 Terapi

Thiabendazol merupakan obat pilihan dengan dosis 25 mg/kgBB, diberikan

dua kali berturut-turut. Mebendazol dengan dosis dan cara pengobatan sama

dengan pada trikuriasis. Pyrvvinium pamoate dengan dosis 3x50 mg/kgBB perhari,

diberikan selama tujuh hari berturut-turut (Natadisastra dan Agoes, 2014).


23

2.1.5 Toxocara sp.

2.1.5.1 Taksonomi

Kingdom : Animalia
Phylum : Nematoda
Kelas : Secernentea
Ordo : Ascaridida
Famili : Toxocaridae
Genus : Toxocara
Spesies : Toxocara canis
Toxocara cati
(Myers dkk, 2017)

2.1.5.2 Morfologi

Toxocara cati sering didapatkan pada kucing-kucing domestik dan

sebangsanya. Ukuran Toxocara cati jantan 4-6 cm, sedangkan betina 4-12 cm dan

mempunyai cervical alae yang relatif lebar dengan kepala cacing seolah-olah

berbentuk ujung anak panah. Telurnya mempunyai dinding yang agak tipis dan

berbintik-bintik, berukuran 65x70 mikron.

Toxocara canis didapatkan pada anjing dan ia mirip seperti Ascaris

lumbricoides yaitu mempunyai tiga bibir. Cacing dewasa jantan panjangnya 4-6

cm, sedangkan betina 6-10 cm. Toxocara canis mempunyai ciri khas berupa

cervical alae (pelebaran kutikula di daerah kepala sampai servikal ke lateral).

Telurnya mempunyai dinding berbintik-bintik, ukuran 85x75 mikron (Staf

Laboratorium Parasitologi FKUB, 2011).


24

2.1.5.3 Siklus hidup

Gambar 2.10: Siklus hidup Toxocara sp (CDC, 2016).

Toxocara canis menyelesaikan siklus hidupnya pada anjing, manusia yang

terinfeksi merupakan accidental host. Telur unembryonated dikeluarkan bersama

tinja dari host definitive, kemudian tumbuh menjadi berembrio dan infektif di

lingkungan. Setelah tertelan oleh anjing, telur infektif menetas dan larva

menembus dinding usus. Pada anjing yang lebih muda, larva bermigrasi melalui

paru-paru, bronkial, dan kerongkongan; cacing dewasa berkembang dan bertelur

di usus kecil. Pada anjing yang lebih tua, infeksi paten juga dapat terjadi, tetapi

larval encystment di jaringan lebih umum. Tahap encysted yang diaktifkan pada

anjing betina di akhir kehamilan menginfeksi melalui transplasenta dan

transmammary ke anak anjing, sementara cacing menjadi dewasa dalam usus

halus anjing.
25

Anak anjing merupakan sumber utama kontaminasi telur di lingkungan.

Toxocara canis juga dapat ditularkan melalui konsumsi paratenic host: telur

tertelan oleh mamalia kecil (misalnya kelinci) menetas dan larva menembus

dinding usus dan bermigrasi ke berbagai jaringan di mana mereka encyst. Siklus

hidup selesai apabila anjing makan host ini dan larva berkembang menjadi cacing

dewasa dan bertelur di usus kecil. Manusia adalah accidental host yang terinfeksi

dengan menelan telur infektif di tanah yang terkontaminasi atau terinfeksi

paratenic host. Setelah tertelan, telur menetas dan larva menembus dinding usus

dan dibawa oleh sirkulasi ke berbagai jaringan (hati, jantung, paru-paru, otak, otot,

mata). Sementara larva tidak mengalami pertumbuhan lebih lanjut di jaringan

tersebut, mereka dapat menyebabkan reaksi lokal berat yang merupakan dasar

dari toxocariasis (CDC, 2016).

2.1.5.4 Patogenesis dan Gejala klinis

Terutama terjadi pada anak-anak usia 1-4 tahun. Hati merupakan organ

yang paling sering diserang, khusus pada hati ini terjadi kelainan granuloma dan

mungkin terjadi hepatosplenomegali. Hasil laboratorium, menunjukkan eosinofilia

yang menetap 20-80%, globulin meninggi terutama gamma globulin, albuminuri,

dan laju endap darah meninggi. Larva ditemukan dalam hati, otak, mata, sumsum

tulang belakang, paru-paru, otot jantung, ginjal dan kelenjar limfe.

Manifestasi klinis tergantung pada jumlah larva, organ yang diserang, dan

timbulnya reaksi alergi terhadap larva (Natadisastra dan Agoes, 2014).

2.1.5.5 Diagnosis

Diagnosis dapat ditegakkan berdasarkan trias visceral larva migrans yaitu,

adanya eosinofilia, hepatomegali, serta hiperglobulinemia. Sedangkan diagnosis


26

berdasarkan laboratorium, diperoleh yaitu dengan menemukan larva dalam

jaringan terutama sekali dari biopsi hati. Reaksi serologis dengan pemeriksaan EIA

dan toxocara excretory-secretory (TES) antigen digunakan untuk mendeteksi

antibodi spesifik terhadap antigen Toxocara sp. dan juga reaksi kulit dapat

membantu dalam menegakkan diagnosis (Natadisastra dan Agoes, 2014: CDC

2013).

2.1.5.6 Terapi

DEC (diethylcarbamazepine) dapat dicoba dengan pemberian per oral

selama 2-3 minggu. Thiabendazole dan mebendazole juga sering digunakan

karena dapat membunuh larva nematoda. Tambahan, prednisone dapat

digunakan untuk terapi antihelmintik pada pasien dengan mengi atau mempunyai

gejala klinis yang lain daripada peradangan jaringan (Natadisastra dan Agoes,

2014).

2.1.6 Toxoplasma gondii

2.1.6.1 Taksonomi

Kingdom : Chromalveolata
Phylum : Apicomplexa
Kelas : Conoidasida
Ordo : Eucoccidiorida
Famili : Sarcocystidae
Genus : Toxoplasma
Spesies : Toxoplasma gondii

(Magdalene dan Shaughnessy, 2016)


27

2.1.6.2 Morfologi

Secara morfologi dikenal tiga bentuk yang dapat ditemukan dan diamati

yaitu:

1. Trofosoit:

Yaitu bentuk vegetatif dan poliferatif (bentuk takhisoit), berbentuk piriform

atau seperti pisang/banana form, berukuran 4-8µ x 2-5µ, sebuah inti

lonjong dengan karyosome ditengah serta beberapa organella yang belum

diketahui fungsinya. Bentuk ini tak mempunyai alat gerak, tetapi ujungnya

dapat digunakan untuk pergerakan.

2. Kista:

Berbentuk resisten yang ada dalam jaringan tubuh (bentuk bradyzoite).

Dikelilingi oleh selaput yang terbentuk dari jaringan tubuh hospes, ukuran

15-100µ. Parasit yang terkandung di dalamnya dapat bertahan selama

hidup hospes.

3. Ookista:

Berbentuk resisten yang berada di dunia luar, berukuran 9-11µ x 11-14µ.

Ookista terbentuk dalam lumen usus kucing melalui siklus gamogenesis

(reproduksi seksuil), yaitu pertemuan antara mikrogamet dan makrogamet.

Bentuk ini berisi 2 sporosis yang, masing-masing akan berkembang dan

menghasilkan 4 sporosoit. Bentuk ini akan dikeluarkan bersama tinja

kucing, dan tetap bertahan hidup di dunia bebas.

Bentuk trofosoit dan kista dapat ditemukan dalam tubuh hospes definitif

maupun hospes perantara, sedang ookista dan bentuk-bentuk yang lain seperti
28

skison, gametosit dan merosoit hanya dapat ditemukan dalam lumen dan sel-sel

epitel usus kucing (Staf Laboratorium Parasitologi FKUB, 2011).

2.1.6.3 Siklus hidup

Gambar 2.11: Siklus hidup Toxoplasma gondii (CDC, 2015).

Definitif hospes Toxoplasma gondii berasal dari keluarga Felidae (kucing

domestik dan sejenisnya). Ookista unsporulated dikeluarkan bersama kotoran

kucing. Ookista biasanya hanya menetas setelah 1-2 minggu, dan sebagian besar

dapat ditetaskan. Ookista mengambil 1-5 hari untuk bersporulasi di lingkungan dan

menjadi infektif. Intermediate host di alam (termasuk burung dan hewan pengerat)

menjadi terinfeksi setelah menelan tanah, air atau bahan tanaman yang
29

terkontaminasi dengan ookista. Ookista berubah menjadi takizoit setelah dalam

kandungan ibu yang menderita Toksoplasmosis dan sebagian terjadi selama

proses persalinan berlangsung.

Setelah terjadinya infeksi Toxoplasma gondii ke dalam tubuh hospes, pada

dasarnya terjadi proses yang terdiri dari 3 tahap:

a. Parasitemia:

Trofosoit dari Toxoplasma menginvasi organ-organ dan jaringan serta

memperbanyak diri dan menghancurkan sel-sel hospes. Perbanyakan diri

ini paling nyata terjadi dalam sel-sel retikuloendotelial, di mana toxoplasma

mempunyai afinitas paling besar.

b. Pembentukan antibodi:

Kekebalan humoral (pembentukan antibodi) dari hospes dengan cepat

mengadakan reaksi dengan melisiskan bentuk-bentuk trofosoit di semua

organ dan jaringan, kecuali jaringan-jaringan yang kadar antibodinya

rendah seperti otak dan mata.

c. Fase kronik:

Terbentuk kista-kista yang menyebar di jaringan otot dan saraf, yaitu

sifatnya menetap tanpa menimbulkan reaksi penolakan dari hospes. Dalam

keadaan tertentu, kista dapat pecah dan menimbulkan reaktivasi dari

Toksoplasmosis atau terjadi hipersensitifitas.

Toksoplasmosis akuisita, gejalanya sering tidak spesifik dan sulit

dibedakan dengan penyakit yang lain. Gejala yang sering tampak adalah berupa

limfadenitis, kelainan organ-organ visera disertai peningkatan suhu tubuh seperti

pneumonia, hepatitis, miokarditis, kelainan pada sistem saraf berupa hidrosefalus


30

interna atau disertai gejala serebral yang lain. Organ yang sering terkena adalah

dikonsumsi dan berada di saraf dan jaringan otot dan berkembang menjadi kista

jaringan bradyzoites. Kucing terinfeksi setelah mengkonsumsi intermediate host

yang menyimpan jaringan kista. Kucing juga dapat terinfeksi langsung dengan

mengkonsumsi ookista berspora. Hewan yang diternak untuk konsumsi manusia

dan permainan liar juga dapat terinfeksi jaringan kista setelah mengkonsumsi

ookista berspora di lingkungan. Manusia dapat terinfeksi melalui salah satu dari

beberapa rute:

 Makan daging matang dari hewan menyimpan jaringan kista.

 Mengkonsumsi makanan atau air yang terkontaminasi dengan kotoran

kucing atau dengan sampel lingkungan yang terkontaminasi (seperti tanah

tinja terkontaminasi atau mengubah kotak sampah dari kucing peliharaan).

 Transfusi darah atau transplantasi organ.

 Plasenta dari ibu ke janin.

Pada tubuh manusia, parasit membentuk kista jaringan, paling sering di

otot rangka, miokardium, otak, dan mata; kista ini mungkin tetap ada sepanjang

kehidupan host. Diagnosis biasanya dicapai dengan serologi, meskipun jaringan

kista dapat diamati di biopsi patri specimen. Diagnosis infeksi kongenital dapat

dicapai dengan mendeteksi T. gondii DNA dalam cairan ketuban menggunakan

metode molekuler seperti PCR (CDC, 2015).

2.1.6.4 Patogenesis dan gejala klinis

Terdapat dua bentuk Toksoplasmosis pada manusia, yaitu Toksoplasmosis

akuisita dan Toksoplasmosis kongenital. Toksoplasmosis kongenital sebagian

besar terjadi akibat penularan secara transplasental yaitu selama bayi berada
31

mata, berupa retinokhoroiditis, uveitis, katarak, mikroftalmia, anoftalmia, dan

vitroesis.

Toksoplamosis kongenital terdapat gejala yang khas disebut ‘classic triad’

yaitu khorioretinitis, hidrosefalus, dan pengapuran intrakranial. Tambahan, pada

infeksi kehamilan muda dapat menyebabkan abortus dan lahir mati (Staf

Laboratorium Parasitologi FKUB, 2011: Sutanto dkk, 2013).

2.1.6.5 Diagnosis

Diagnosis Toksoplasmosis akut dapat dipastikan bila menemukan takizoit

dalam biopsi otak atau sumsum tulang, cairan serebrospinal dan ventrikel. Isolasi

parasit dari cairan badan menunjukkan kista dan tidak memastikan infeksi akut.

Tambahan, dapat dilakukan tes serologi, ELISA untuk mendeteksi antibody IgG

dan IgM. Akhir-akhir ini dikembangkan PCR untuk deteksi DNA parasit pada cairan

tubuh dan jaringan untuk diagnosis dini yang cepat dan tepat untuk

Toksoplasmosis kongenital prenatal dan postnatal serta infeksi Toksoplasmosis

akut pada ibu hamil dan juga penderita immunokompromais (Sutanto dkk, 2013).

2.1.6.6 Terapi

Pengobatan terhadap Toxoplasmosis adalah pyrimethamine 25-50

mg/hari, dikonsumsi dengan Trisulfapirimidine (perparat sulfat) 2-6 gram /hari

selama satu bulan. Asam folat dapat diberikan untuk mencegah terjadinya

depressi sumsum tulang karena pirimetamin. Pirimetamin kurang dianjurkan pada

ibu hamil karena efek teratogeniknya. Tambahan, kortikosteroid kadang diperlukan

untuk efek anti inflammasinya (Staf Laboratorium Parasitologi FKUB, 2011).


32

2.1.7 Fasciolidae

2.1.7.1 Taksonomi

Kingdom : Animalia
Sub kingdom: Bilateria
Phylum : Platyhelminthes
Kelas : Trematoda
Sub kelas : Digenea
Ordo : Echinostomida
Sub-ordo : Echinostomata
Famili : Fasciolidae
Genus : Fasciola
Spesies : Fasciola hepatica
Fasciola gigantica

(Integrated Taxonomic Information System, ITIS)

2.1.7.2 Morfologi

Gambar 2.12: Kiri; telur Fasciola hepatica (400x magnifikasi). Tengah;


Fasciola hepatica dewasa. Kanan; siput sebagai host
F.hepatica (CDC, 2013).

Fasciola hepatica mempunyai bentuk yang pipih seperti daun, ukuran 20-

30 mm x 8-13 mm. Ujung anterior mempunyai tonjolan seperti kerucut disebut

cephalic cone, sedangkan pada bagian posteriornya tumpul. Telur Fasciola


33

hepatica berbentuk oval, berukuran 130-150µ x 63-90µ, berwarna kuning

kecoklatan dan mempunyai operculum.

Fasciola gigantica mempunyai bentuk yang mirip seperti Fasciola hepatica,

tetapi Fasciola gigantica lebih besar dan panjang dengan ukuran 3,5-5 cm x 0,71-

1 cm. Ia mempunyai cephalic cone yang pendek, caeca lebih bercabang-cabang

sampai ujung posterior. Tambahan, telur Fasciola gigantica sukar dibedakan

dengan telur Fasciola hepatica dan mempunyai ukuran 160-190µ x 70-90µ (Staf

Laboratorium Parasitologi FKUB, 2011).

2.1.7.3 Siklus hidup

Gambar 2.13: Siklus hidup Fasciola (CDC, 2013).

Telur immatur Fasciola dikeluarkan dari saluran empedu dan di feces.

Telur menjadi embrio dalam air, dan melepaskan miracidia, untuk menyerang

intermediate host (siput) yang cocok, termasuk genera Galba, Fossaria dan
34

Pseudosuccinea. Dalam siput, parasit mengalami beberapa tahapan

perkembangan (sporokista, rediae, dan serkaria). Kemudian serkaria keluar dari

tubuh siput, berenang bebas dalam air dan menempel pada tumbuh-tumbuhan air

dan encyst sebagai metaserkaria (bentuk infektif) yang siap menginfeksi hospes

berikutnya.

Mamalia memperoleh infeksi dengan makan tumbuhan yang mengandung

metaserkaria. Manusia dapat terinfeksi dengan menelan tanaman air tawar yang

mengandung metaserkaria, terutama selada air. Setelah menelan, metaserkaria

excyst di duodenum dan bermigrasi melalui dinding usus, rongga peritoneum, dan

parenkim hati ke dalam saluran empedu, di mana mereka berkembang menjadi

cacing dewasa (CDC, 2013).

2.1.7.4 Patogenesis dan gejala klinis

Pada saat migrasi cacing dewasa muda ke saluran empedu, ia akan

menimbulkan kerusakan parenkim hati. Selama migrasi (fase akut) dapat tidak

bergejala atau menimbulkan gejala seperti demam, nyeri pada bagian kanan atas

abdomen, hepatomegali, malaise, urtikaria, dan eosinofilia. Tambahan,

penebalan, peradangan dan sumbatan dari saluran empedu dapat menimbulkan

sirosis periportal, sekresi prolin oleh cacing dewasa menjadi penyebab penebalan

dinding saluran empedu.

Di daerah Timur Tengah (Libanon dan Armenia) terdapat kebiasaan

memakan hati kambing yang mengandung cacing dan kurang sempurna

memasaknya sehingga cacing muda tersebut melekat pada mukosa faring dan

menyebabkan penyakit “Holzoun” yaitu faringitis dan edema laring (Staf

Laboratorium Parasitologi FKUB, 2011; Sutanto dkk, 2013).


35

2.1.7.5 Diagnosis

Diagnosis dapat diperoleh dengan menemukan telur dalam tinja, cairan

serebrospinal atau cairan empedu. Reaksi serologi, ELISA sangat membantu

untuk menegakkan diagnosis. Immunodiagnosis juga dapat dilakukan karena ia

lebih sensitif dan spesies-spesifik yang telah dikembangkan untuk mendeteksi

antigen ekskretori-sekretori yang dikeluarkan parasit. Tambahan, ultrasonografi

digunakan untuk menegakkan diagnosis fasioliasis bilier (Sutanto dkk, 2013).

2.1.7.6 Terapi

Pengobatan dapat diberi dengan Ementie HCl 30 mg/hari selama 17-18

hari atau 40 mg sampai total dosis 5 mg/kgBB tercapai. Pemberian bithionol 50

mg selama 20 hari dan juga metronidazole 1.5 gram/ hari selama 13-21 hari

ataupun praziquantel dengan dosis oral 20 mg/kg/hari selama 3 hari. Praziquantel

ini tidak seefektif seperti bila diberikan kepada infeksi trematoda lain karena ia tidak

dapat menembus kulit-kulit cacing yang tebal (Staf Laboratorium Parasitologi

FKUB, 2011).
36

2.2 Selada (Lactuca sativa)

Gambar 2.14: Selada (Lactuca sativa) memiliki daun yang berwarna hijau
segar, bergerigi, berombak dan sering dijadikan lalapan
(Harjana, 2013).

Selada (Lactuca sativa) sudah dikenal baik oleh masyarakat Indonesia.

Selada merupakan salah satu tanaman sayur yang ditanam di daerah beriklim

sedang maupun daerah tropika dan termasuk tanaman semusim yang banyak

mengandung air. Sayuran ini biasa dikonsumsi sebagai lalap mentah dan dibuat

salad (Sastradiharja, 2011).

2.2.1 Taksonomi

Kingdom : Plantae
Divisio : Tracheophyta
Subdivisio : Spermatophyta
Class : Magnoliopsida
Ordo : Asterales
Family : Asteraceae
Genus : Lactuca
Species : Lactuca sativa L.
(Integrated Taxonomic Information System, ITIS)
37

2.2.2 Kandungan gizi

Tabel 2.1: Komposisi Gizi Selada tiap 100 gram


No. Kandungan gizi Jumlah
1. Air (g) 94.98
2. Energi (kcal) 15
3. Protein (g) 1.36
4. Jumlah lipid (lemak) (g) 0.15
5. Karbohidrat (g) 2.87
Minerals
6. Kalsium, Ca (mg) 36
7. Besi, Fe (mg) 0.86
8. Magnesium, Mg (mg) 13
9. Potassium, K (mg) 194
Vitamins
10. Vitamin C, ascorbic acid (mg) 9.2
11. Vitamin B-6 (mg) 0.090
12. Niacin (mg) 0.375
13. Vitamin A, RAE (µg) 370
14. Vitamin E (mg) 0.22
15. Vitamin K (µg) 126.3
(United States Department Agriculture, 2016)

2.2.3 Manfaat selada

Selada memiliki banyak manfaat antara lain dapat memperbaiki organ

tubuh, mencegah panas dalam, melancarkan metabolism, membantu menjaga

kesehatan rambut, mencegah kulit menjadi kering, dan dapat mengobati

insomnia. Kandungan gizi yang terdapat pada selada adalah serat, provitamin A

(karotenoid), kalium dan kalsium (Jayanthy, 2015).


38

2.2.4 Pencemaran selada oleh parasit

Pada saat penanaman selada dipersiapkan dahulu segala yang

berhubungan dengan penanaman yaitu; pencangkulan, pembuatan, bedeng,

penentuan jarak tanam, pemberian pupuk dasar, dan penebaran benih di tempat

yang telah dipersiapkan.

Untuk mendapatkan tanaman selada yang subur, petani biasanya menyiram

selada dengan air septic tank (Jayanty, 2015). Selain dengan air septic tank,

sayuran juga dipupuk dengan menggunakan pupuk organik. Pupuk organik cocok

diterapkan untuk tanaman sayur daun seperti selada. Pupuk organik banyak

dipakai sebagai pupuk dasar tanaman karena ketersediaannya yang melimpah

dan proses pembuatannya gampang (Risnandar, 2014).

Melekatnya parasit dan derivatnya pada selada diduga disebabkan oleh

penggunaan air septic tank dan pupuk organik pada sayuran ini, sebagaimana

diketahui telur cacing biasanya ditemukan pada tinja manusia.

2.3 Daun kemangi (Ocimum basilicum)

Gambar 2.15: Daun kemangi (Ocimum basilicum) merupakan tanaman


herba tegak atau semak, tajuk membulat, bercabang banyak,
sangat harum dengan tinggi 0,3-1,5 m yang banyak tumbuh di
daerah tropis (Tallamma, 2014).
39

2.3.1 Taksonomi

Kingdom : Plantae
Divisio : Tracheophyta
Subdivisio : Spermatophytina
Class : Magnoliopsida
Ordo : Lamiales
Family : Lamiaceae
Genus : Ocimum L.
Species : Ocimum basilicum L.
(Integrated Taxonomic Information System, ITIS)

2.3.2 Kandungan Gizi

Tabel 2.2: Komposisi Gizi Daun Kemangi tiap 100 gram


No. Kandungan gizi Jumlah
1. Air (g) 92.06
2. Energi (kcal) 23
3. Protein (g) 3.15
4. Total lipid (lemak), (g) 0.64
5. Karbohidrat (g) 2.65
Minerals
6. Kalsium, Ca (mg) 177
7. Besi, Fe (mg) 3.17
8. Magnesium, Mg (mg) 64
9. Sodium, Na (mg) 4
Vitamin
10. Thiamin (mg) 0.034
11. Riboflavin (mg) 0.076
12. Niacin (mg) 0.902
13. Vitamin A (IU) 5275
14. Vitamin B-6 (mg) 0.155
(United States Department Agriculture, 2016)
40

2.3.3 Manfaat Daun Kemangi

Daun kemangi (Ocimum basilicum) bukan sahaja dapat digunakan sebagai

sebagai ramuan kuliner maupun perhiasan, namun juga mampu dijadikan sebagai

pengobatan. Khasiat daun kemangi sangat baik bagi melawan radikal bebas

karena mempunyai antioksidan yang berupa flavonoid dan juga eugenol yang

mampu mencegah pertumbuhan bakteri, virus dan jamur. Selain itu, daun kemangi

dapat membantu pertumbuhan tulang karena kandungan kalsium dan juga fosfor

yang berperan penting dalam mengatur pembentukan dan pertumbuhan tulang.

Daun kemangi dapat membantu melancarkan aliran darah dalam tubuh kita

karena memiliki kandungan magnesium yang dapat membantu merilekskan

jantung dan juga pembuluh darah, sehingga menjaga aliran darah untuk tetap

lancar (Tallamma, 2014).

2.3.4 Pencemaran Daun Kemangi Oleh Parasit

Pada saat penanaman daun kemangi dipersiapkan dahulu segala yang

berhubungan dengan penanaman yaitu: Pencangkulan, pembuatan bedeng,

penentuan jarak tanam, pemberian pupuk dasar, dan penebaran benih di tempat

yang telah dipersiapkan.

Agar subur daun kemangi dapat diberi pupuk organik untuk meningkatkan

therapeutic property daun kemangi (Peter, 2012). Pupuk organik cocok diberikan

pada tanaman sayur daun seperti daun kemangi dan pupuk organik banyak

dipakai sebagai pupuk dasar tanaman karena ketersediaannya yang melimpah

dan proses pembuatannya gampang (Risnandar, 2014). Daun kemangi tumbuh

baik pada tanah terbuka maupun agak teduh dan tidak tahan pada kekeringan dan
41

ia lebih sering tumbuh liar, ditemukan di tepi jalan dan di tepi kebun (Tallamma,

2014).

Melekatnya parasit dan derivatnya pada daun kemangi diduga disebabkan

oleh penggunaan pupuk organik pada sayuran ini, di mana diketahui telur cacing

biasanya ditemukan pada tinja manusia. Selain itu, daun kemangi tumbuh liar di

tepi jalan, dan meningkatkan resiko terjadinya kontaminasi dengan kotoran hewan,

sampah yang dibuang oleh masyarakat dan juga debu-debu dari kendaraan.

2.4 Gambaran Tingkat Kontaminasi Pada Selada dan Daun Kemangi

Penelitian Purba dkk (2012) melakukan pemeriksaan kontaminasi parasit

pada sayuran lalapan yaitu, kemangi (Ocimum basilicum), kol (Brassica oleracea

L. var. capitata. L.), selada (Lactuca sativa), dan terong (Solanum melongena

yang dijual di pasar tradisional, supermarket dan restoran di Kota Medan. Hasil

penelitian telur cacing pada sayuran lalapan yang diperoleh dari Dinas

Kesehatan Propinsi Sumatera Utara Balai Laboratorium Kesehatan Medan,

dapat dilihat dalam Tabel 2.3 di bawah ini:

Tabel 2.3: Hasil Pemeriksaan Telur Cacing Pada Sayuran Lalapan Di Pasar

Tradisional, Supermarket Dan Restoran Tahun 2012.


Tempat Sampel Hasil Pemeriksaan Keterangan
Pengambilan Telur Cacing
Sampel
Pasar Kemangi - MS
Tradisional Kol - MS
Selada Ascaris lumbricoides TMS
Terong - MS
Supermarket Kemangi - MS
Kol - MS
Selada Trichuris trichiura TMS
Terong - MS
Restoran Kemangi - MS
Kol - MS
Selada - MS
Terong - MS

Ket: MS (Memenuhi Syarat) TMS (Tidak Memenuhi Syarat)


42

Berdasarkan tabel 2.3, diketahui bahwa sayur lalapan seperti kemangi, kol dan

terong di pasar tradisional memenuhi syarat kesehatan (dimana dalam sampel

tidak terdapat telur cacing). Sedangkan selada tidak memenuhi syarat kesehatan

karena ditemukan telur cacing Ascaris lumbricoides. Sayur lalapan kemangi, kol

dan terong di supermarket memenuhi syarat kesehatan (tidak ditemukan telur

cacing dalam sampelnya). Sedangkan selada sekali lagi tidak memenuhi syarat

kesehatan karena adanya telur Trichuris trichiura yang ditemui. Sayur lalapan

kemangi, kol, selada dan terong di restoran memenuhi syarat kesehatan (dimana

didalam sampel tidak terdapat telur cacing).

2.5 Metode Pemeriksaan Parasit Pada Sayuran

Metode pemeriksaan parasit pada sayuran dapat dilakukan dengan dua

macam yaitu metode pengapungan/flotasi dan metode sedimentasi/pengendapan.

Prinsip dasar pemeriksaan telur cacing dengan kedua metode ini sama dengan

adanya perbedaan berat jenis antara telur cacing dengan larutan yang akan

digunakan.

Pada metode flotasi, berat jenis larutan yang digunakan harus lebih besar

daripada berat jenis telur cacing yang berkisar 1,10 – 1,20 sehingga telur cacing

akan terapung pada permukaan larutan yang selanjutnya akan diambil untuk

pemeriksaan (Sumanto, 2004). Metode flotasi bertujuan untuk menemukan

keberadaan larva larva Strongyloides, telur Nematoda, Schistosoma,

Dibothriocephalus, dan telur Ascaris yang infertil (Muhardini, 2012). Kekurangan

dari metode ini adalah kista protozoa dan telur nematoda yang berdinding tipis

akan rusak dan terdistorsi dalam penampilan jika dibiarkan selama lebih dari 20

menit karena berat jenis tinggi dari larutan (Jayanthy, 2015).


43

Bahan pengapung yang sering digunakan dalam pemeriksaan metode

pengapungan adalah larutan NaCl jenuh, glukosa, MgSO4 , ZnSO4 proanalisis,

NaNO3 dan millet jelly.

1. Metode Flotasi Pasif

Kelebihan dari metode ini adalah cukup mudah pengerjaannya, lebih murah

daripada metode sentrifugasi dan dapat dilakukan meskipun tidak ada alat

sentrifugasi. Kekurangannya, metode ini kurang efektif dibandingkan dengan

metode sentrifugasi karena penemuan telur lebih sedikit sehingga sering

mendapatkan hasil yang negatif palsu.

a. Larutan NaCl Jenuh

Teknik pengapungan dengan larutan NaCl jenuh biasanya lebih disukai

karena tidak memerlukan alat yang lebih komplek. Larutan NaCl jenuh

memiliki berat jenis yang paling tinggi dengan larutan yang dibuat dari

bahan garam murni. Pemeriksaan telur cacing dapat dilakukan dengan

waktu yang relatif lebih singkat karena telur yang terdapat dalam sampel

akan lebih cepat terangkat ke permukaan (Jayanthy, 2015). Kelebihan

teknik ini, persiapannya yang membutuhkan biaya yang murah dan

peralatan simple, bahkan telur nematoda terkonsentrasi dengan baik.

Kekurangannya, tidak dapat mengkonsentrasikan kista (Ahmed, 2013).

b. Larutan Gula Pekat

Larutan gula pekat memiliki berat jenis lebih tinggi (1,27) daripada larutan

NaCl dan larutan ZnSO4 (1,18). Karakteristik ini menjadi metode flotasi

yang efisien. Metode ini akan mengapungkan telur parasit dengan distorsi

minimal, termasuk beberapa telur padat seperti telur nematoda dan kista
44

protozoa (Knoll, 2011). Bagi protozoa, larutan gula pekat lebih baik

digunakan daripada larutan garam pekat karena larutan garam sering

menyebabkan kista protozoa juga beberapa telur nematoda pecah dan

berkerut (Safitri, 2011). Kekurangannya, telur cacing dan cacing pita tidak

terdeteksi dengan baik dan hampir semua larva nematoda tidak dapat

terdeteksi (Ahmed, 2013).

2. Metode Flotasi Sentrifugasi

Kelebihan metode ini adalah beberapa studi dan publikasi menyatakan metode

ini mampu menemukan jumlah telur lebih banyak dan jarang mendapatkan hasil

yang negatif palsu. Kekurangannya, ia membutuhkan alat sentrifus, membutuhkan

biaya yang lebih mahal, dan pengerjaannya lebih rumit.

Metode sedimentasi adalah pemisahan larutan berdasarkan perbedaan berat

jenis, dimana partikel yang tersuspensi akan mengendap ke dasar wadah. Metode

ini digunakan untuk menemukan keberadaan telur cacing Trematoda dan Cestoda

(Bayadhi, 2012). Kelebihan dari metode ini sensitivitas deteksi kista dan telur

meningkat, ukuran dan bentuk struktur parasit dipertahankan. Kekurangannya

partikel tanah mungkin menutupi struktur parasit dan bentuk trofozoit parasit tidak

terdeteksi (Jayanthy, 2015).

Metode sedimentasi mempunyai dua cara:

a. Sedimentasi sederhana, yaitu dalam tabung reaksi dengan pengendapan,

menuangkannya hati-hati, penggantian dengan air, waktu yang digunakan

tidak menyebabkan perubahan bentuk telur. Parasit yang dapat ditemukan

pada teknik ini yaitu telur cacing yang beroperkulum, larva cacing dan kista

(Jayanthy, 2015).
45

b. Konsentrasi sentrifus baik dengan air atau bahan kimia lebih efisien

daripada sedimen sederhana karena kista tidak dirusak oleh bahan kimia.

Parasit yang dapat ditemukan pada teknik ini yaitu telur Schistosoma dan

kista protozoa. Waktu yang diperlukan lebih singkat pada sedimentasi

sentrifus daripada sedimentasi sederhana karena sentrifus membantu

mempercepat proses sedimentasi (Jayanthy, 2015).

2.5.1 Ringkasan Metode Dari Beberapa Negara Kontaminasi Sayur


Pustaka/Lokasi Prosedur

Idahosa, 2011 100 gram sayur dicuci dengan normal saline, kemudian air
Tripoli, Libya cucian didiamkan selama 10 jam. Setelah itu, disentrifugasi
pada 2.164 rpm selama 15 menit.
Adamu, 2011 200 gram sayur dicuci dengan 3 liter normal saline dan air
Maiduguri, basuhannya dibiarkan selama 9 jam agar proses sedimentasi
Northeastern Nigeria berjalan. Kemudian, disentrifugasi pada 2164 g selama 15
menit.
Said, 2012 Sayur dicuci dengan air keran, setelah itu didiamkan 6-7 menit
Alexandria, Egypt untuk sedimentasi lumpur dan debunya. Setelah itu, sampel
sayur diolesi dengan vigorous agitation diikuti dengan sonikasi
selama 30 menit dalam 1 liter fosfat buffer saline steril. Setelah
itu, disentrifugasi pada 2.000 rpm selama 30 menit.
Ezatpour, 2013 250 gram sayur dicuci dengan 1 liter normal saline (0.95%
Khorramabad, Iran NaCl). Kemudian, air cuciannya itu dibiarkan selama 12 jam
untuk proses sedimentasi dan disentrifugasi pada 2000 rpm
selama 15 menit.
Eraky, 2014 200 gr sayur dicuci dengan normal saline 1 liter. Air cucian
Benha, Egypt didiamkan selama 10 jam, lalu disaring. Setelah itu,
disentrifugasi pada 2.000 rpm selama 15 menit.
Tefera, 2014 200 gram sayur dicuci dengan 500 mL normal saline.
Jimma town, Kemudian air basuhan itu dibiarkan semalam dan
Southwest Ethiopia disentrifugasi pada 3000 rpm selama 5 menit.
Mohamed, 2016 Sayur dicuci dengan 10% formal saline dan juga air keran.
Khartoum state, Kemudian air basuhan sayur di transfer ke 12 ml conical glass
Sudan disentrifuse pada 3000 rpm selama 5 menit.
46

2.6 Peta Geografi Kota Malang dan Pasar Induk

2.6.1 Peta Kota Malang

Gambar 2.16: Peta Kota Malang (Kelurahan sumbersari, 2015).

Kota Malang, adalah sebuah kota di Provinsi Jawa Timur, Indonesia. Kota ini

terletak pada ketinggian antara 400 - 667 meter diatas permukaan air laut. Kondisi

iklim Kota Malang selama tahun 2008 tercatat rata-rata suhu udara berkisar antara

22,7ºC – 25,1ºC dan suhu maksimum mencapai 32,7ºC dan suhu minimum

18,4ºC. Dengan kelembapan maksimum 99% dan minimum mencapai 40%.

Letaknya di tengah-tengah wilayah Kabupaten Malang secara astronomis terletak

112,06º - 112,07º Bujur Timur dan 7,06º - 8,02º Lintang Selatan, dengan batas

wilayah sebagai berikut:

1. Sebelah Utara: Kecamatan Singosari dan Kecamatan Karangploso

Kabupaten Malang.
47

2. Sebelah Timur: Kecamatan Pakis dan Kecamatan Tumpang Kabupaten

Malang.

3. Sebelah Selatan: Kecamatan Tajinan dan Kecamatan Pakisaji Kabupaten

Malang.

4. Sebelah Barat: Kecamatan Wagir dan Kecamatan Dau Kabupaten Malang.

Keadaan tanah di wilayah Kota Malang ada empat macam, antara lain:

1. Bagian selatan termasuk dataran yang tinggi cukup luas, cocok untuk

industri.

2. Bagian utara termasuk dataran yang tinggi subur, cocok untuk

pertanian.

3. Bagian timur merupakan dataran tinggi dengan keadaan kurang subur.

4. Bagian barat merupakan dataran tinggi yang amat luas menjadi daerah

pendidikan.

(Pemerintah Kota Malang, 2017)

Anda mungkin juga menyukai