Anda di halaman 1dari 21

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Nematoda Usus


Nematoda usus merupakan kelompok yang sangat penting bagi
masyakarat Indonesia karena masih banyak yang mengidap cacing ini sehubungan
banyaknya faktor yang menunjang untuk hidup suburnya cacing parasit ini. Faktor
penunjang ini antara lain keadaan alam serta iklim, sosial ekonomi, pendidikan,
kepadatan penduduk serta masih berkembangnya kebiasaan yang kurang baik.
Cara infeksi nematoda usus dapat terjadi dengan beberapa cara, di antaranya
dengan menelan telur atau larva infektif, dan larva infektif yang menembus kulit
(Natadisastra & Agoes, 2009).
Spesies Nematoda usus banyak ditemukan di daerah tropis termasuk
Indonesia dan tersebar di seluruh dunia. Manusia merupakan hospes beberapa
Nematoda usus. Sebagaian besar Nematoda ini menyebabkan masalah kesehatan
bagi masyarakat Indonesia. Diantaranya Nematoda usus terdapat sejumlah spesies
yang ditularkan melalui tanah yang tercemar oleh cacing.
Infeksi cacing menyerang semua golongan umur terutama anak-anak dan
balita. Apabila infeksi cacing yang terjadi pada anak-anak dan balita maka dapat
mengganggu tumbuh kembang anak, sedangkan jika infeksi terjadi pada orang
dewasa dapat menurunkan produktivitas kerja. Diantara cacing usus yang menjadi
masalah kesehatan adalah kelompok “soil transmitted helminths” atau cacing
yang ditularkan melalui tanah (Rosidiana, 2009)

2.2 Soil Transmitted Helminths


Soil Transmitted Helminths adalah Nematoda usus yang dalam siklus
hidup nya membutuhkan tanah untuk proses pematangan sehingga terjadi
perubahan dari stadium non-infektif menjadi stadium infektif. Cacing termasuk
kelompok nematode ini adalah Ascaris Lumbricoides menimbulkan Ascariasis,
Trichuris Trichiura menimbulkan Trichuriasis, cacing tambang (ada dua spesies,
yaitu Necator americanus menimbulkan Necatoriasis dan Ancylostoma duodenale
menimbulkan ancylostomiasis) serta sroglyloides stercoralis menimbulkan
strongyloidosis (Natadisastra & Agoes, 2009).

2.2.1 Cacing Gelang (Ascaris Lumbricoides)


A. Klasifikasi
Kingdom : Animalia
Filum : Nemathelminthes
Kelas : Nematoda
Ordo : Rhabdidata
Sub Ordo : Ascaridata
Familia : Ascarididae
Genus : Ascaris
Spesies : Ascaris Lumbricoides (Irianto, 2013)

B. Hospes dan Nama Penyakit


Hospes definitif cacing ini adalah manusia dan tidak membutuhkan
hospes perantara. Habitat A. Lumbricoides adalah di usus halus manusia. Penyakit
yang disebabkan cacing ini disebut askariasis.

C. Morfologi
Cacing ini hidup pada rongga usus halus manusia dan penyakit yang
disebabkan cacing ini di sebut askariasis. Ukuran cacing ini paling besar
dibandingkan nematode intestinal lainnya. Bentuk tubuh bulat memanjang.
Ukuran cacing betina 20-35 cm sedangkan yang jantan 15-31 cm. Cacing jantan
ujung posterior lancip dan melengkung kea rah ventral, dilengkapi papil kecil dan
dua spikulum berukuran 2 mm. Cacing betina bagian posteriornya membulat dan
lurus. Pada bagian sepertiga anterior terdapat cincin kopulasi. Cacing jantan dan
betina berwarna putih sampai kecoklatan dan diselubungi lapisan kutikula.
Telur yang dikeluarkan oleh cacing betina ada 4 tipe, yaitu dibuahi, tidak
dibuahi, berembrio dan dekortikasi. Telur berembrio menjadi infektif setelah ± 3
minggu di tanah dan bila tertelan manusia, di dalam usus halus menetas
mengeluarkan larva. Larva selanjutnya menembus dinding usu halus menuju
pembuluh darah sampai ke jantung dan paru-paru. Mulai telur matang (berembrio)
tertelan sampai menjadi cacing dewasa membutuhkan waktu ± 2 bulan.

a b

c
Gambar 2.1 Telur cacing Ascaris lumbricoides. (a) Dibuahi
(Decorticated) (b)
yang tidak dibuahi (Unfertilized). (c) yang berisi embrio
(Fertilized). (pembesaran 10 x 20).
Sumber : Widoyono, 2011

D. Siklus Hidup
Telur cacing keluar bersama tinja penderita, telur cacing yang telah dibuahi
jika jatuh di tanah yang lembab dan suhu yang optimal telur akan berkembang
menjadi telur infektif, yang mengandung larva cacing. Dalam Lingkungan yang
sesuai, telur yang dibuahi berkembang menjadi bentuk infektif dalam waktu
kurang lebih 3 minggu.
Gambar 2.2 Siklus Hidup Ascaris Lumbricoides
(sumber : dpd.cdc.gov)

Bentuk infektif telur cacing bila tertelan manusia, menetas di usus halus.
Larvanya menembus dinding usus halus menuju pembuluh darah atau saluran
limfe, lalu dialirkan ke jantung, kemudian mengikuti aliran darah ke paru-paru.
Larva di paru-paru menembus dinding alveolus, masuk rongga alveolus,
kemudian naik ke trakea melalui bronkiolus dan bronkus. Dari trakea larva
menuju faring, sehingga menimbulkan rangsangan pada faring. Penderita batuk
karena rangsangan tersebut dan larva akan tertelan ke dalam esophagus, lalu
menuju ke usus halus. Di usus halus larva berubah menjadi cacing dewasa
(Susanto, Ismid, Sjarifuddin, & Sungkar, 2008).

E. Epidemiologi
Indonesia memiliki prevalensi askarisasis tinggi, terutama pada anak-
anak. Kurang disadarinya pemakaian jamban keluarga dapat mendukung proses
penularan askariasis. Tanah liat, kelembapan tinggi dan sushu 25-30℃ merupakan
kondisi yang sangat baik untuk berkembangnya telur A. Lumbricoides menjadi
bentuk infektif. Frekuensi di Indonesia antara 60-90%.
Telur cacing matang di tanah dalam waktu 2-3 minggu. Telur matang
(bentuk infektif) ini dapat bertahan lama di tanah dan sewaktu-waktu apabila
tertelan (melalui makanan atau minuman), dapat menimbulkan infeksi. Cara
penularan yang paling efektif yaitu melalui media tanah (Soil Transmitted
Helminths) (Onggowaluyo, 2012)

F. Cara Penularan
Infeksi askariasis dapat terjadi melalui beberapa jalan, yaitu telur infektif
masuk melalui mulut bersama makanan dan minuman yang tercemar, melalui
tangan yang kotor karena tercemar tanah yang mengandung telur infektif, atau
telur infektif terhirup melalui udara bersama debu. Jika telur infektif masuk
melalui saluran pernapasan, telur akan menetas di mukosa jalan napas bagian atas,
larva langsung menembus pembuluh darah dan beredar bersama aliran darah
(Soedarto, 2016)

2.2.2 Cacing Cambuk (Trichuris Trichiura)


A. Klasifikasi
Kingdom : Animalia
Filum : Nemathelminthes
Kelas : Nematoda
Ordo : Enoplida
Sub-Ordo : Trichurata
Famili : Trichuridae
Genus : Trichuris
Spesies : Trichuris trichiura (Irianto, 2013)

B. Hopes dan Nama Penyakit


Hospes definitif cacing ini adalah manusia dan sering ditemukan
bersama-sama dengan A. Lumbricoides. Cacing dewasa hidup di dalam usus
besar, terutama di sekum dan kolon. Kadang-kadang ditemukan di apendiks dan
ileum bagian distal. Pemyakit yang disebabkan cacing ini disebut trikuriasis
(Natadisastra & Agoes, 2009).

C. Morfologi
Cacing betina memiliki panjang 35-50 mm, sedangkan cacing jantan 30-
45 mm. Parasit ini sering disebut cacing cambuk, karena bagian anterior (kepala)
panjang dan sangat halus, pada bagian posterior (ekor) lebih tebal. Kepala cacing
menembus mukosa usus, sehingga penderitanya sering terjadi pendarahan. Cacing
dewasa terdapat di kolon terutama sekum. Waktu yang dibutuhkan untuk
pertumbuhan dari telur sampai menjadi dewasa bertelur ± 1-3 bulan.
Telur cacing berukuran 50-54 x 32 mikron, bentuk seperti tempayan atau
tong, kedua ujungnya terdapat tutup (operkulum), dan tampak jernih. Dinding
telur dua lapis, dinding luar berwarna kuning tengguli dan bagian dalam jernih.
Dalam tinja segar telur berisi sel telur.

Gambar 2.3 Telur cacing Trichuris trichiura yang berisi embrio


(pembesaran 10 x 40).
Sumber : (Prianto, 2010)

Telur yang sudah dibuahi, di alam dalam waktu 3-6 minggu menjadi
matang (bentuk infektif). Dalam perkembanganmya, telur ini membutuhkan tanah
liat yang lembah dan teduh. Apabila telur matang tertelan manusia, di dalam usus
halus menetas dan mengeluarkan larva. Larva selanjutnya masuk dalam system
peredaran darah dan larva ini tidak melalui paru (tidak mempunyai siklus paru)
(Onggowaluyo, 2012).
D. Siklus Hidup
Jika telur cacing bentuk infektif tertelan manusia, maka di dalam usus
halus dinding telur pecah dan larva ke luar menuju sekum lalu berkembang
menjadi cacing dewasa. Dalam waktu satu bulan sejak masuknya telur infektif ke
dalam mulut, cacing telat menjadi dewasa dan cacing betina sudah mulai mampu
bertelur. Trichuris trichiura dewasa dapat hidup beberapa tahun lamanya di dalam
usus manusia (Soedarto, 2016).

Gambar 2.4 Siklus Hidup Trichuris Trichiura

E. Epidemiologi
Faktor penting untuk penyebaran penyakit adalah kontaminasi tanah dengan
tinja. Telur tumbuh di tanah liat, lembab dan teduh dengan suhu optimum 30℃.
Pemakaian tinja sebagai pupuk kebun merupakan sumber infeksi. Frekuensi di
Indonesia tinggi. Di beberapa daerah pedesaan di Indonesia frekuensinya berkisar
30-90%.
Di daerah yang sangat endemik infeksi dapat dicegah dengan pengobatan
penderita trikuriasis, pembuatan jamban yang baik, pendidikan tentang sanitasi
dan kebersihan perorangan, terutama anak. Mencuci tangan sebelum makan, dan
mencuci sayuran yang dimakan mentah adalah penting apalagi di negeri yang
memakai tinja sebagai pupuk (Susanto, Ismid, Sjarifuddin, & Sungkar, 2008)

2.2.3 Cacing Tambang ( Necator Americanus dan Ancylostoma duodenale )


A. Klasifikasi
1) Klasifikasi Ancylostoma duodenale
Phylum : Nemathelminthes
Class : Nematoda
Subclass : Secernentea
Ordo : Rhabditida
Super Famili : Rhabditoidea
Genus : Ancylostoma
Spesies : Ancylostoma duodenale

2) Klasifikasi Necator americanus


Class : Nematoda
Subclass : Secernentea
Ordo : Strongiloidea
Famili : Ancylostomatidae
Genus : Necator
Spesies : Necator americanus

B. Hospes dan Nama Penyakit


Hospes kedua spesies cacing ini adalah manusia. Tempat hidup di dalam
usus halus, terutama jejenum dan duodenum. Penyakit yang disebabkan cacing ini
disebut nekatoriasis dan ankilostomiasis.

C. Morfologi
Cacing dewasa hidup di rongga usus, dengan mulut yang besar melekat
pada mukosa dinding usus. Cacing betina N.americanus tiap hari mengeluarkan
telur 5000-10.000 butir, sedangkan A.duodenale kira-kira 10.000-25.000 butir.
Cacing betina berukuran panjang ± 1 cm, cacing jantan ± 0,8 cm. Bentuk badan
N.americanus biasanya menyerupai huruf S, sedangkan A.duodenale menyerupai
huruf C. Rongga mulut kedua jenis cacing ini besar. N.americanus mempunyai
benda kitin, sedangkan A.duodenale ada dua pasang gigi. Cacing jantan
mempunyai bursa kopulatriks (Susanto, Ismid, Sjarifuddin, & Sungkar, 2008)

Gambar 2.5 Telur Cacing Tambang


Sumber : Medlab.id
Bentuk telur berbagai spesies cacing tambang mirip satu dengan lainnya,
sehingga sulit dibedakan. Telur cacing tambang berukuran lonjong, tidak
berwarna, berukuran sekitar 60 x 40 mikron. Telur cacing tambang yang
berdinding tipis dan jernih, berisi 4-8 sel. Telur ini di luar tubuh manusia dalam
waktu 1-1,5 hari menetas dan mengeluarkan larva rabditiform yang panjangnya
250 mikron, rongga mulut panjang dan sempit, pada esophagus terdapat dua
bulbus yang terletak sepertiga panjang tubuh bagian anterior. Setelah umur 3 hari,
larva rabditiform berkembnag menjadi larva filariform (bentuk infektif). Panjang
larva ini 500 mikron, rongga mulut tertutup dan esophagus terletak seperempat
bagian tubuh anterior. Larva filariform dapat bertahan di tanah antara 7-8 minggu.
Larva ini menginfeksi manusia dengan menembus kulit dan tertelan
(Onggowaluyo, 2012).
D. Siklus Hidup
Telur keluar bersama tinja pada tanah yang cukup baik, suhu optimal 23-
33℃, dalam 24-48 jam akan menetas, keluar larva rhabditiform. Larva ini
mulutnya terbuka dan aktif makan sampah organik atau bakteri pada tanah sekitar
tinja. Pada hari ke lima, berubah menjadi larva yang lebih kurus dan panjang
disebut larva filariform yang infektif. Larva ini tidak makan, mulutnya tertutup,
esophagus panjang, ekor tajam, dapat hidup pada tanah yang baik selama dua
minggu. Jika larva menyentuh kulit manusia, biasanya pada sela antara 2 jari kaki
atau dorsum pedis, malalui polikel rambut, pori-pori kulit ataupun kulit yang
rusak, larva secara aktif menembus kulit masuk ke dalam kapiler darah, terbawa
aliran darah, kemudian terjadi seperti pada Ascaris Lumbricoides. Waktu yang
diperlukan dalam pengembaraan sampai ke usus halus membutuhkan waktu kira-
kira 10 hari (Natadisastra & Agoes, 2009)

Gambar 2.6 Siklus Hidup Cacing Tambang

Daur hidup cacing ini mulai dari larva filariform menembus kulit
manusia kemudian masuk kapiler darah berturut-turut masuk ke jantung kanan,
paru-paru, bronkus, trakea, laring dan menuju usus halus sampai menjadi dewasa
(Onggowaluyo, 2012). Daur hidup Ancylostoma Duodenale maupun Necator
Americanus hanya membutuhkan satu jenis hospes definitif, yaitu manusia. Tidak
ada hewan yang bertindak sebagai hospes reservoir.

E. Epidemiologi
Di Indonesia insiden nekatoriasis dan ankilostomiasis cukup tinggi.
Kasusnya banyak terjadi di daerah pedesaan, yaitu banyak menginfeksi para
pekerja di daerah-daerah perkebunan yang kontak langsung dengan tanah.
Penyebab infeksi ada hubungannya dengan kebiasaan defeksi di tanah. Habitat
yang cocok untuk pertumbuhan larva cacing ini adalah tanah-tanah gembur,
misalnya humus dan pasir. Pencegahan dapat dilakukan dengan menghindari
defekasi sembarangan dan pemakaian alas kaki (sandal/sepatu) (Onggowaluyo,
2012).

2.2.4 Strongloides Stercoralis (cacing benang)


A. Klasifikasi

Kingdom : Animalia
Filum : Nematoda
Kelas : Secernentea
Ordo : Rhabditida
Famili : Strongyloididae
Genus : Strongyloides
Spesies : Strongyloides stercoralis (Irianto, 2013)

B. Hospes dan Nama Penyakit

Hospes utama cacing ini dalah manusia, tanpa melalui hospes perantara.
Cacing dewasa hidup di membran mukosa usus halus, terutama duodenum dan
jejunum. Penyakitnya disebut strongyloidiasis. Cacing yang terdapat pada
manusia hanya berjenis betina dewasa, dan siklus hidupnya lebih komplek jika
dibandingkan dengan nematoda usus lainnya. Berkembang biak secara
pertagenesis. Telur yang berada pada mukosa usus menetas menjadi larva
rabditifom dan selanjutnya, masuk rongga usus dan dikeluarkan bersama tinja
(Muslim, 2009)

C. Morfologi
Telur hanya didapatkan di dalam tinja dengan diare berat atau setelah
pemberian pencahar. Mirip telur cacing tambang , bentuk lonjong memiliki
ukuran (50-60) x (30-35) m, dinding tipis, didalam nya mengandung embrio
(Natadisastra & Agoes, 2009). Larva cacing ini seperi pada cacing tambang yang
terdapat dua bentuk, yaitu bentuk Rhabditiform, berukuran (200-300) x (14-16)m,
memiliki esofagus dan bulbus esofagus yang mengisi ¼ bagian anterior tubuh.
Larva Rhabditiform ini yang biasa ditemukan bersama tinja. Larva filariform
merupakan stadium infektif, lebih panjang dan lebih langsing dari pada larva
Rhabditiform, berukuran (350-450) x (30-35) m, dengan esofagus panjangnya
mencapai ½ bagian anterior tubuh tetapi tidak memiliki bulbus esofagus.

D. Siklus Hidup
Telur Strongyloides stercoralis disimpan di dalam mukosa usus, lalu
menetas menjadi larva rhabditiform,menembus sel epitel dan lewat ke lumen usus,
lalu keluar bersama tinja. Strongyloides stercoralis memiliki 3 macam siklus
hidup, diantaranya adalah :
1). Siklus Langsung
Larva rhabditiform bertukar kulit menjadi larva filariform yang panjang,
ramping, tidak makan dan infeksius dalam waktu 2-3 hari. Larva filariform ini
menembus kulit manusia, lalu masuk ke sirkulasi Vena melewati jantung kanan
sampai ke paru-paru dan menembus ke alveoli. Dari paru-paru naik ke glottis,
tertelan, sampai ke usus halusdan menjadi dewasa. Selama migrasi dalam tubuh
inang, larva mengalami 2 kali pergantian kulit untuk menjadi dewasa muda.
Cacing betina dewasa menghasilkan telur 28 hari setelah infeksi.
2). Siklus Tidak Langsung
Larva rhabditiform di tanah berubah menjadi cacing jantan dan betina
bentuk bebas. Setelah pembuahan, cacing betina menghasilkan telur yang menetas
menjadi larva rabditiform. Larva ini dapat menjadi larva filariform yang infeksius
dalam beberapa hari dan masuk ke dalam hospes baru atau larva rabditiform
tersebut mengulangi fase hidup bebas. Siklus tidak langsung ini terjadiapabila
keadaan lingkungan sekitarnya optimum yaitu sesuai dengan keadaan yang
dibutuhkan untuk kehidupan bebas parasit ini.
3) Autoinfeksi
Larva rabditiform seringkali menjadi larva filariform di usus atau di
daerah sekitar anus (perianal). Jika larva filariform menembus mukosa usus atau
kulit perianal, maka terjadi siklus perkembangan di dalam hospes. Autoinfeksi
dapat menyebabkan strongiloidiasis menahun pada penderita yang hidup di daerah
non endemik (Susanto, Ismid, Sjarifuddin, & Sungkar, 2008)

Gambar 2.7 Siklus Hidup Strogyloides Stercoralis

E. Epidemiologi
Pencegahan dan penularan infeksi dengan menghindari kontak dengan
tanah, tinja atau genangan air yang diduga terkontaminasi oleh larva infektif. Jika
seseorang diketahui harus segera diobati. Terjadinya outoinfeksi dan pada siklus
hidup cacing yang bebas mempersulit pencegahan (Muslim, 2009).
2.3 Faktor-faktor Resiko Penularan Infeksi STH
Soil Transmitted Helminths dipengaruhi oleh beberapa faktor termasuk
kondisi internal dari individu dan eksternal dari lingkungan. Faktor-faktor tersebut
diantaranya:
1. Faktor Individu
A. Hygiene Perorangan (Kebersihan Diri)
Menurut Entjang (2001) usaha kesehatan pribadi (higiene perorangan)
adalah upaya dari seseorang untuk memelihara dan mempertinggi derajat
kesehatannya. Hygiene adalah pencegahan penyakit yang menitik beratkan pada
usaha kesehatan perorangan atau manusia beserta lingkungan tempat orang
tersebut berada. Dalam kehidupan sehari-hari kebersihan merupakan hal yang
sangat penting dan harus diperhatikan karena kebersihan akan mempengaruhi
kesehatan dan psikis seseorang. Kebersihan itu sendiri sangat di pengaruhi oleh
nilai individu dan kebisaan. Hal-hal yang sangat berpengaruh diantaranya
kebudayaan, sosial, keluarga, pendidikan, persepsi perorangan terhadap
kesehatan, serta tingkat perkembangan kebersihan diri adalah salah satu upaya
peningkatan kesehatan (Widyawati & Yuliarsih, 2002). Faktor-faktor hygiene
(Lamara, 2013), terdapat beberapa faktor hygiene yaitu:
a. Kebiasaan memakai alas kaki
Tanah yang baik untuk pertumbuhan larva adalah tanah yang gembur
dengan suhu optimum untuk cacing tambang 28oC-32℃ sedangkan untuk
Ancylostoma duodenale lebih kuat. Oleh karena itu untuk menghindari terinfeksi
cacing tersebut, perlu memakai sandal atau sepatu.
b. Kebiasaan mencuci tangan
Kebiasaan makan tanpa mencuci tangan dapat menyebabkan
terinfeksinya telur cacing. Telur cacing akan masuk ke dalam sela-sela kuku dan
jika tidak mencuci tangan dengan baik sebelum makan, maka telur cacing akan
tertelan oleh manusia.
c. Kebiasaan memotong kuku
Memelihara kebersihan dengan baik sangat perlu dilakukan seperti
memotong kuku dan mencuci tangan sebelum makan. Kebersihan perorangan
sangat penting dalam upaya pencegahan penyakit, kuku tangan maupun kuku kaki
sebaiknya selalu dipotong pendek untuk menghindari penularan cacing dari
tangan kemulut.
d. Kebiasaan memakai sarung tangan
Sarung tangan merupakan salah satu alat pelindung diri. Agar tangan
terlindungi dari paparan langsung dengan sampah. Kebiasaan memakai sarung
tangan pada saat bekerja untuk menghindari penularan cacing dari tangan
kemulut.

B. Alat Pelindung Diri (APD)


Alat Pelindung Diri (APD) adalah kelengkapan yang wajib digunakan
saat bekerja sesuai bahaya dan resiko kerja untuk menjaga keselamatan pekerja itu
sendiri dan orang disekelilingnya. Peraturan APD dibuat oleh pemerintah sebagai
pelaksanaan ketentuan perundang-undangan tentang keselamatan kerja. Alat
pelindung diri secara lengkap terdiri dari :
a. Sarung tangan
Sarung tangan (sarung tangan karet) berfungsi sebagai pelindung agar
tangan dan kuku terhindar dari masuknya tanah.
b. Pelindung kaki
Pelindung kaki (sepatu boot) berfungsi untuk menghindari kaki dari
kontak langsung dengan tanah (Yuliana, Hartanti, & Prasetyowati, 2016).

2. Faktor Lingkungan
a. Iklim dan Suhu
Telur dan larva cacing lebih dapat berkembang pada daerah yang lembab
yaitu di negara yang beriklim tropis dan subtropis. Perkembangan telur Ascaris
lumbricoides yang optimum terjadi pada suhu 25°C, telur Trichuris trichiura pada
suhu 30°C. Suhu optimum Necator americanus adalah 28-32°C, sedangkan
Ancylostoma duodenale adalah 23-25°C (Susanto, Ismid, Sjarifuddin, & Sungkar,
2008)
b. Tanah
Untuk perkembangan telurnya, Ascaris lumbricoides dan Trichuris
trichiura memerlukan tanah yang lembab, tanah liat dan terlindung dari cahaya
matahari. Partikel tanah liat mempunyai ukuran 2 μm, mampu menyerap air dan
mengandung sedikit udara, sehingga pada keadaan basah dapat saling lengket
dengan telur cacing. Hal ini berbeda dengan cacing tambang karena larva cacing
ini memerlukan oksigen untuk pertumbuhannya.

2.4 Teknik Pemeriksaan Telur Cacing


Pada umumnya, pemeriksaan telur cacing di periksa dengan sampel tinja.
Dapat dilakukan untuk mendapatkan hasil kualitatif dan kuantitatif (disebut
sebagai cara kualitatif dan cara kuantitatif).
Teknik kualitatif dapat dilakukan dengna berbagai cara tergantung pada
kerperuannya, yaitu pemeriksaan secara natif (Direct slide), Pemeriksaan dengan
metode apung (Flotation Methode), Modifikasi metode Merthiolat Iodine
Formaldehyde (MIF), metode selotip (Cellotape Methode), metode konsentrasi,
teknik sediaan tebal (Cellophane Covered Thick Smear Thecnicl Teknik Kato)
dan metode sedimentasi formol Ether (Ritchie).
Teknik Kuantitatif dikenal dengan 2 metode pemeriksaan, yaitu Metode
Stoll dan Metode Kato Katz. Pemeriksaan larva dilakukan dengan 2 cara, yaitu
pembiakan larva menurut Baermann dan modifikasi Harada-Mori.

2.4.1 Pemeriksaan Natif (Direct slide)


Pemeriksaan natif dipergunakan untuk pemeriksaan secara cepat dan baik
untuk infeksi berat, tetapi untuk infeksi ringan sulit ditemukan telur-telurnya.
Digunakan larutan Nacl fisiologis (0,9%) atau eosin 2%. Eosin 2% dimaksudkan
untuk lebih jelas membedakan telur cacing dengan kotoran sekitarnya.
Cara kerja :
- Pada gelas objek bersih, diteteskan 1-2 tetes NaCl 0,9% atau eosin 2%.
- Diambil tinja (feaces) sedikit denan lidi dan di taruh pada larutan tersebut.
- Dengan lidi tadi, kita ratakan/larutkan, kemudian ditutup dengan gelas
penutup (cover glass).
- Pemeriksaan dilakukan di bawah mikroskop dengan pembesaran 100 kali.

2.4.2 Pemeriksaan Metode Apung (Flotation Methode)


Pada metode ini larutan yang dipakai adalah NaCl jenuh atau larutan gula
jenuh dan terutama dipakai untuk pemeriksaan faeces yang mengandung sedikit
telur. Cara kerjanya berdasarkan Berat Jenis (BJ) telur-telur yang lebih ringan
daripada BJ larutan yang digunakan sehingga telur-telur terapung dipermukaan,
dan juga untuk memisahkan partikel-partikel yang besar yang terdapat dalam
tinja. Pemeriksaan ini hanya berhasil untuk telur-telur Nematoda, Schistosoma,
Dibotriosefalus, telur yang berpori-pori dan familia Taeniidae, telur telur
Acanthocepala atau telur Ascaris yang infertile. Cara ini dapat dilakukan dengan
terlebih dahulu disentrifusi atau tidak.
Tanpa disentrifusi, dengan cara:
- 10 gr tinja dicampurkan dengan 200 ml larutan NaCl jenuh (33%), lalu
diaduk sehingga larut.
- Didiamkan selama 20-30 menit sampai terlihat adanya endapan.
- Jika terdapat serat-serat selulosa, kita saring dulu dengan penyaring the.
- Dengan ose kita ambil larutan permukaan dan ditaruh di atas objek glass,
kemudian ditutup gelas penutup.
- Pemeriksaan dilakukan di bawah mikroskop.
Dengan disentrifusi, dengan cara:
- Campurkan tinja dan NaCl seperti di atas, kemudian disaring dengan
penyaring teh dan di tuangkan ke dalam tabung sentrifusi.
- Tabung tersebut diputar pada alat sentrifusi selama 5 menit dengan putaran
100 x tiap menit.
- Dengan ose diambil larutan bagian permukaan dan ditaruh pada objek
glass.
- Kemudian diperiksa di bawah mikroskop.

2.4.3 Pemeriksaan Metode Selotip (Cellotape Methode)


Metode ini dilakukan untuk pemeriksaan telur Enterobius Vermicularis.
Pemeriksaan dilakukan di pagi hari sebelum anak kontak dengan air, anak yang
diperiksa berumur 1 sampai 10 tahun. Cara melakukan pemeriksaan dengan
mempergunakan plester plastic yang tipis dan bening, dipotong dengan ukuran 2 x
1,5 cm. Plester tersebut ditempelkan pada permukaan lubang anus lalu ditekan
dengan ujung jari, kemudian plester dilepas perlahan-lahan dan langsung
ditempelkan pada permukaan objek glass unutk kemudian dilihat ada atau tidak
adanya telur yang melekat pada plester tersebut, dan dilihat di bawah mikroskop.
Jika tidak terlihat, telur berarti negative, sedangkan yang ditemukan
telurnya dikelompokan dalam 4 kelompok, yaitu positif 1 sampai positif 4.
Pengelompokan itu berdasarkan jumlah telur yang terlihat dalam satu lapang
pandangan dalam mikroskop, yaitu:
+ Jika terdapat 1-5 telur.

++ Jika terdapat 6-10 telur.

+++ Jika terdapat 11-20 telur.

++++ Jika terdapat lebih 20 telur.

Setelah diketahui jumlah sampel dan jumlah yang positif, kemudian dapat
dihitung persentase anak yang terinfeksi Enterobius Vermicularis.
Preparat yang positif dikumpulkan, untuk kemudian dibuat suatu preparat
permanen, dengan cara plester yang terdapat telur digunting kemudian diberi
gliserin jelly 1 tetes, ditempelkan pada objek glass dan ditutup dengan cover
glass, didiamkan beberapa hari sampai kering, setelah kering di atas cover glass
diberi Canada balsam, ditutup kembali dengan cover glass yang lebih besar
kemudian didiamkan kembali sampai kering sehingga diperoleh suatu preparat
permanen.

2.4.4 Pemeriksaan Metode Konsentrasi


Metode ini praktis dan sederhana untuk pemeriksaan telur pada tinja,
dengan cara berikut.
- Kira-kira 1 gr tinja dimasukan ke dalam tabung reaksi, diberi aquades
diaduk sampai homogen, kemudian dimasukan ke dalam tabung sentrifusi
dan disentrifusi dengan kecepatan 3.000 rpm selama 1 menit.
- Larutan dibuang, sedimennya diambil dengan pipet pastur, diletakan di
atas kaca objek kemudian ditutup dengan cover glass (lihat di bawah
mikroskop).
- Jika ingin mendapatkan hasil yang baik, setelah disentrifusi sedimennya
ditambah lagi aquadest, disaring di sentrifusi lagi. Hal ini dapat dilakukan
2 sampai 3 kali (Natadisastra & Agoes, 2009).

2.5 Faktor-faktor Resiko Penularan Infeksi STH

2.6 Kerangka Teori

Faktor Non Teknis


1. Personal Hygiene
2. Penggunaan APD
3. Iklim dan Suhu
4. Tanah
Gambaran Telur
Nematoda Usus ( Soil
Transmitted Helminths)
Faktor Teknis pada Kuku Pemulung

1. Pengambilan
Spesimen
2. Metode
Pemeriksaan
Djaenudin Natadisastra, R. A. (2009). PARASITOLOGI KEDOKTERAN, Ditinjau dari Organ
Tubuh yang Diserang. Jakarta: EGC.

Irianto, K. (2013). PARASITOLOGI MEDIS. Bandung: Alfabeta.

Muslim, H. (2009). Buku Ajar Helmintologi Medik. Banjarbaru: Akademi Analis Kesehatan
Borneo Lestari.

Natadisastra, D., & Agoes, R. (2009). PARASITOLOGI KEDOKTERAN; Ditinjau dari Organ
Tubuh yang Diserang. Jakarta: EGC.

Onggowaluyo, D. J. (2012). Buku Ajar Parasitologi Medik. Bandung.

Prianto. (2010). Atlas Parasitologi Kedokteran. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama.

Rosidiana, S. (2009). Protozoologi Helmintologi Entomologi. Bandung: Yrama Widya.

Soedarto. (2016). Buku Ajar Parasitologi Kedokteran Edisi Kedua. Jakarta: Sagung Seto.

Susanto, I., Ismid, I. S., Sjarifuddin, P. K., & Sungkar, S. (2008). Buku Ajar PArasitologi
Kedokteran Edisi Keempat. Jakarta: Fakultas kedokteran universitas indonesia.

Widyawati, R., & Yuliarsih. (2002). Hygiene dan Sanitasi Umum dan Perhotelan. Jakarta:
Gramedia Widiasarana Indonesia.

Yuliana, S., Hartanti, R., & Prasetyowati, I. (2016). Faktor yang berhubungan dengan
penggunaan Alat Pelindung Diri secara lengkap pada Bidan. E-Jurnal Pustaka
Kesehatan, 4, 337-344.

Anda mungkin juga menyukai