Anda di halaman 1dari 9

2.

1 Deskripsi Nematoda
Nematoda berasal dari bahasa Yunani, Nema artinya benang. Nematoda adalah cacing
yang bentuknya panjang, silindrik, tidak bersegmen dan tubuhnya bilateral simetrik, panjang
cacing ini mulai dari 2 mm sampai 1 m. Nematoda yang ditemukan pada manusia terdapat
dalam organ usus, jaringan dan sistem peredaran darah, keberadaan cacing ini menimbulkan
manifestasi klinik yang berbeda-beda tergantung pada spesiesnya dan organ yang dihinggapi.
Menurut tempat hidupnya Nematoda pada manusia digolongkan menjadi dua yaitu
Nematoda Usus dan Nematoda Jaringan/Darah. Spesies Nematoda Usus banyak, tetapi yang
ditularkan melalui tanah ada tiga yaitu: Ascaris lumbricoides, Trichuris trichiura dan cacing
tambang (Onggowaluyo, 2001).
Cara penularan (transmisi) Nematoda dapat terjadi secara langsung dan tidak
langsung. Mekanisme penularan berkaitan erat dengan hygiene dan sanitasi lingkungan yang
buruk. Penularan dapat terjadi dengan: menelan telur infektif (telur berisi embrio), larva
(filariorm) menembus kulit, memakan larva dalam kista, dan perantaraan hewan vektor.
Dewasa ini cara penularan Nematoda yang paling banyak adalah melalui aspek Soil
Trasmitted Helminth yaitu penularan melalui media tanah (Onggowaluyo, 2001).
2.2 Jenis Nematoda yang Ditularkan Melalui Tanah (Soil Trasmitted Helminth)
Soil Trasmitted Helminth adalah cacing golongan Nematoda yang memerlukan tanah
untuk perkembangannya. Di Indonesia golongan cacing ini yang penting menyebabkan
masalah kesehatan masyarakat adalah: Ascaris lumbricoides, Trichuris trichiura dan cacing
tambang (Tjitra, 2005).
2.2.1 Ascaris lumbricoides (Cacing gelang)
a. Hospes dan Nama Penyakit
Satu-satunya hospes definitive Nematoda ini adalah manusia. Penyakit yang
disebabkan Nematoda ini disebut Ascariasis.
b. Distribusi Geografis
Karena parasit ini terdapat di seluruh dunia, maka bersifat kosmopolitan. Penyebaran
parasit ini terutama berada di daerah tropis yang tingkat kelembabannya cukup tinggi
(Hart, 1997).

c. Morfologi dan Daur Hidup


Cacing betina panjangnya sampai 20 sampai 35 cm, sedangkan yang jantan
panjangnya 15 sampai 31 cm. Pada cacing jantan ujung posteriornya lancip dan
melengkung ke arah ventral dilengkapi pepil kecil dan dua buah speculum berukuran
2 mm, sedangkan pada cacing betina bagian Universitas Sumatera Utara posteriornya
membulat dan lurus, dan 1 /3 anteriornya tubuhnya terdapat cincin kopulasi, tubuhnya
berwarna putih sampai kuning kecoklatan dan diselubungi oleh lapisan kutikula yang
bergaris halus. Telur yang dibuahi besarnya 60 x 45 mikron, telur yang tidak dibuahi
besarnya 90 x 45 mikron, telur matang berisi larva (embrio), menjadi infektif setelah
berada di tanah kurang lebih 3 minggu (Gandahusada, 1998).
Telur yang infektif bila tertelan manusia menetas menjadi larva di usus halus. Larva
menembus di dinding usus halus menuju pembuluh darah atau saluran limfe
kemudian terbawa oleh darah sampai ke jantung menuju paru-paru. Larva di paruparu menembus dinding alveolus masuk ke rongga alveolus dan naik ke trakea, dari
trakea larva menuju faring dan menimbulkan iritasi yang menyebabkan penderita
akan batuk karena adanya rangsangan dari larva ini. Larva di faring tertelan dan
terbawa ke esofagus, terakhir sampai di usus halus dan menjadi dewasa. Proses mulai
dari telur sampai menjadi cacing dewasa membutuhkan waktu kurang lebih 2 bulan
(Onggowaluyo, 2001).
d. Aspek Klinis
Cairan tubuh cacing dewasa dapat menimbulkan reaksi toksik sehingga terjadi gejala
mirip demam tifoid yang disertai alergi seperti urtikaria, udema di wajah,
konjungtivitas, dan iritasi pada alat pernafasan bagian atas. Apabila jumlahnya banyak
cacing dewasa dalam usus dapat menimbulkan gangguan gizi, kadang-kadang cacing
dewasa juga Universitas Sumatera Utara bermigrasi karena adanya rangsangan, efek
dari migrasi ini dapat menimbulkan obstruksi usus, kemudian masuk ke dalam saluran
empedu, saluran pankreas dan organ-organ lainnya. Migrasi sering juga menyebabkan
cacing dewasa keluar spontan melalui anus, mulut dan hidung (Onggowaluyo, 2001).
Menurut Harian Sriwijaya Post (10 Januari 2003) setiap ekor cacing gelang yang ada
di tubuh manusia menghisap 0,04 gram karbohidrat setiap harinya dan bila jumlah
cacing ini terlalu banyak maka dapat menyumbat usus dan saluran empedu.

e. Diagnosis
Diagnosis dapat dibuat dengan menemukan telur dan cacing dewasa dalam tinja. Telur
cacing ini dapat ditemukan dengan mudah pada sediaan basah langsung atau sediaan
basah dari sedimen yang sudah dikonsentrasikan. Cacing dewasa dapat ditemukan
dengan pemberian antelmintik atau keluar dengan sendirinya melalui mulut karena
muntah atau melalui anus bersama tinja (Adam, 1995).
f. Pencegahan
Karena penularan Ascariasis terutama tergantung dari kontaminasi tanah dengan tinja,
penggunaan sanitasi yang baik merupakan tindakan pencegahan yang terpenting.
Belum ada cara yang praktis untuk membunuh telur cacing yang terdapat di tanah liat
dan lingkungan yang sesuai (Garcia, 1996).
2.2.2 Trichuris trichiura
a. Hospes dan Nama Penyakit
Hospes definitive cacing ini adalah manusia dan penyakit yang disebabkannya disebut
Trikuriasis.

b. Distribusi Geografis
Cacing ini tersebar luas di daerah beriklim tropis yang lembab dan panas, namun
dapat juga ditemukan di seluruh dunia (kosmopolit), termasuk di Indonesia (Hart,
1997).
c. Morfologi dan Daur Hidup Cacing dewasa betina panjangnya 35 sampai 50 mm,
sedangkan cacing dewasa jantan penjangnya 30 sampai 45 mm. Telurnya berukuran
50 sampai 54 x 32 mikron. Bentuknya seperti tempayan (tong) dan kedua ujungnya
dilengkapi dengan tutup (operkulum) dari bahan mucus yang jernih. Kulit luar telur
berwarna kuning tengguli dan bagian dalam jernih. Telur yang sudah dibuahi dalam
waktu 3 sampai 6 minggu akan menjadi matang, manusia akan terinfeksi cacing ini
apabila menelan telur matang, di dalam usus halus telur ini akan menjadi dewasa dan
berkumpul di kolon terutama di daerah seklum. Proses dari telur sampai menjadi
cacing dewasa memerlukan waktu kurang lebih 1 sampai 3 bulan (Prianto dkk, 2004).

d. Aspek Klinis
Infeksi berat terjadi terutama pada anak-anak, cacing ini tersebar di seluruh kolon dan
rektum, cacing ini menyebabkan pendarahan di tempat Universitas Sumatera Utara
perlekatannya dan dapat menimbulkan anemia. Pada anak-anak infeksi terjadi
menahun dan berat (hiperinfeksi), gejala-gejala yang terjadi adalah diare yang disertai
sindrom, anemia, prolapsus rektal dan berat badan menurun (Onggowaluyo, 2001).
Anemia ini terjadi karena penderita mengalami malnutrisi dan kehilangan darah
akibat cacing menghisap darah dan kolon yang rapuh.
e. Diagnosis
Diagnosis dapat ditegakkan dengan menemukan telur dalam tinja atau menemukan
cacing dewasa pada penderita prolapsusrekti (pada anak).
f. Pencegahan
Infeksi yang disebabkan oleh Trichuris trichiura dapat dicegah dengan pengobatan,
pembuatan jamban yang sehat dan penyuluhan tentang hygiene dan sanitasi kepada
masyarakat (Onggowaluyo, 2001).
2.2.3 Cacing Tambang (Hookworm)
Terdapat dua spesies yaitu: Necator americanus (new world Hookworm) dan
Ancylostoma duodenale (old world Hookworm).
a. Hospes dan Nama Penyakit Hospes definitive kedua cacing ini adalah manusia.
Tempat hidupnya dalam usus halus, terutama jejunum dan duodenum. Penyakit
yang disebabkan disebut Nekatoriasis dan Ankilostomiasis.

b. Distribusi Geografis
Kedua parasit ini tersebar di seluruh dunia (kosmopolit), penyebaran yang paling
banyak di daerah tropis dan sub tropis. Lingkungan yang paling cocok adalah habitat
dengan suhu kelembaban yang tinggi, terutama daerah perkebunan dan pertambangan
(Onggowaluyo, 2001).

c. Morfologi dan Daur Hidup


Ukuran cacing betina 9 13 mm dan cacing jantan 5 19 mm. Bentuk Necator
americanus seperti huruf S, mulut dilengkapi gigi kittin, dengan waktu 1 15 hari
telur telah menetas dan mengeluarkan larva rabditiform yang panjangnya kurang lebih
250 mikron. Selanjutnya dalam waktu kirakira 3 hari, satu larva rabditiform
berkembang menjadi larva filariform (bentuk infektif) yang panjangnya kira-kira 500
mikron. Infeksi pada manusia terjadi apabila larva filariform menembus kulit atau
tertelan (Jawetz, 2005).
Daur hidup kedua cacing tambang ini dimulai dari larva filariform menembus kulit
manusia kemudian masuk ke kapiler darah dan berturutturut menuju jantung kanan,
paru-paru, bronkus, trakea, laring dan terakhir dalam usus halus sampai menjadi
dewasa (Prianto dkk, 2004).
d. Aspek Klinis
Gejala permulaan yang timbul setelah larva menembus kulit adalah timbulnya rasa
gatal-gatal biasa. Apabila larva menembus kulit dalam jumlah yang banyak, rasa
gatal-gatal semakin hebat dan kemungkinan terjadi infeksi sekunder. Apabila larva
mengadakan migrasi ke paru maka dapat menyebabkan pneumonitis yang tingkat
gejalanya tergantung pada jumlah larva (Prianto dkk, 2004).
e. Pencegahan
Gandahusada (2000) mengemukakan hal-hal yang perlu dibiasakan agar terhindar dari
penyakit cacingan adalah sebagai berikut: membiasakan buang air besar di WC atau
kakus dan menjaga WC atau kakus tetap bersih, membiasakan mencuci tangan dengan
air memakai sabun setelah buang air besar, setelah bekerja dan sebelum makan. Data
hasil penelitian (Setyawan, 2003) mengemukakan bahwa 80% infeksi kecacingan
terjadi karena kontak dengan tanah melalui kuku yang kotor, makan menggunakan
tangan tanpa menggunakan sendok dan sering lupa mencuci tangan sebelum makan
yang semuanya merupakan potensi tertelannya telur cacing (yang akan menetas di
dalam tubuh manusia), pencegahan dapat dilakukan dengan cara mencuci makanan,
buah dan sayuran yang akan dimakan dengan memakai air bersih, memakan daging
yang dimasak dengan matang, memakai sepatu atau sandal, minum air yang bersih,
memberi pengobatan dengan obat antelmintik yang efektif, terutama golongan rawan,

memberi penyuluhan kepada masyarakat mengenai sanitasi lingkungan yang baik dan
cara menghindari infeksi cacing-cacing ini (Gandahusada, 2000).

2.3 Siklus hidup Nematoda


Nematoda mempunyai siklus hidup yang relatif sederhana, terdiri atas stadia telur, 4
stadia larva, dan stadia dewasa. Setiap pergantian stadia selalu diawali dengan moulting atau
pergantian kulit. Stadia larva tidak mempunyai organ reproduksi, sedangkan stadia dewasa
merupakan stadia yang mempunyai sistem reproduksi lengkap. Durasi siklus hidup diantara
spesies nematoda sangat bervariasi, karena nematoda adalah organisme poiikilothermic
(=cold blooded), tingkat metabolisme tubuhnya sangat dipengaruhi oleh suhu di sekitarnya.
Pada temperature rendah, siklus hidup nematoda menjadi lebih panjang dibandingkan pada
suhu optimal. Secara skematis, siklus hidup nematoda digambarkan sebagai berikut:

Siklus hidup nematoda


2.4 IMUNITAS TERHADAP INFEKSI PARASIT
Akibat dari infeksi parasit dapat disebabkan oleh tidak adanya reaksi imun sehingga
terjadi superinfeksi berat di satu pihak dan di pihak lain terjadi reaksi imunopatologik yang
berlebihan sehingga mengancam jiwa. Parasit harus berada di antara kedua ekstrem ini untuk
menghindari kematian pejamu dan pada saat yang sama menghindar dari reaski imun, supaya
ia sendiri tetap hidup. Pada kenyataannya, setiap parasit mempunyai mekanisme yang sangat
kompleks sampai terjadinya kematian.

2.4.1 Respons Imunitas Humoral


Antibodi yang spesifik ditemukan dalam konsentrasi dan afinitas cukup memadai
efektif untuk memberikan proteksi terhadap parasit. Gambaran reaksi imun terhadap infeksi
cacing adalah eosinofilia dan peningkatan jumlah IgE.
Pada manusia, jumlah IgG dalam serum dapat meningkat dari normal 100 ng/ml
menjadi 10.000 ng/ml. Perubahan ini merupakan tanda dari adanya reaksi terhadap limfokin
tipe Th2.
Kenaikan yang luar biasa dari IgE memperkuat pandangan bahwa IgE mereupakan
parameter penting dalam pertahanan. Rangsangan antigen spesifik untuk untuk terbentuknya
sel mastoid yang dilapisi IgE menyebabkan terjadinya eksudasi serum protein dengan
konsentrasi antibodi protektif yang tinggi untuk semuan kelas imunoglobulin dan
dilepaskannya faktor kemotaktik eosinofil (Roitt, 2002).
Dalam perjalananya, protein utama pembentuk inti dari granula eosinofil padat
elektron dilepaskan ke parasit dan mengakibatkan kerusakan. Peran imunitas seluler tampak
menonjol karena eosinofil dapat mengekspresikan MHC kelas II dan IgG-mediated ADCC
ditingkatkan oleh GM-CSF dan TNF.
Bukti lain tentang keterlibatan sel ini terlihat dari penelitian bahwa proteksi
menggunakan transfer pasif dengan antiserum in vivo dapat dihambat dengan pemberian
serum antieosinofil sebelumnya. Reaksi yang diperantarai IgE mungkin penting dalam
penyembuhan dari infeksi, sedangkan resisitensi pada iundividu yang telah divaksinasi
mungkin lebih tergantung pada adanya antibodi IgG dan IgA. Selanjutnya kemampuan 14
untuk mengatasi cacing tertentu dapat diarahkan kepada produksi limfokin tipe Th1 seperti
IFN dari TH2 yang menghasilkan IgE (Roit, 2002).
2.4.2 Respons Imunitas Seluler
Seperti halnya mikroba, banyak parasit beradaptasi untuk hidup dalam makrofag,
meskipun makrofag mempunyai kemampuan mikrobisidal ampuh termasuk adanya peran NO
(nitric oxide). Seperti pada infeksi mikrobakteri, sel T penghasil sitokin sangat penting untuk
makrofag melaksanakan kemampuan membunuh dan menyingkirkan pengganggu yang tidak
diinginkan. Efek ini bisa dilihat secara in vitro bila IFN- dengan penambahan TNF,
ditambahkan dalam biakan makrofag, yang mendukung pertumbuhan intrasel parasit.

Eliminasi infestasi cacing usus merupakan pendekatan yang khusus berupa gabungan
reaksi seluluer dan humoral untuk menghilangkan infeksi yang masuk. Penelitian pada tikus
(ogilvie) menunjukkan bahwa meskipun antibodi menyebabkan kerusakan pada cacing, sel T
donor imun juga diperlukan untuk terjadinya ekspulsi kuat yang mungkin terjadi melalui
kombinasi stimulasi motilitas usu oleh sel mastoid dan aktivasi sitokin dari sel goblet usus
yang berjumlah banyak. Kedua jenis sel ini menghasilkan campuran molekul glycosilated
dengan berat molekul tinggi yang membentuk gel viskoelastik disekeliling cacing, sehingga
terjai proteksi permukaan kolon dann usus halus dari invasi (Roitt, 2002).
Pada parasit yang bertahan bertahun-tahun mengahadapi reaksi imunologik, interaksi
dengan antigen asing sering menyebabkan kerusakan jaringan. Reaksi hipersensitivitas
lambat yang disebabkan adanya TNF yang 15 memungkinkan telur meloloskan diri dari
kapiler intestinal kedalam lumen usus untuk meneruskan siklus hidup di luar pejamu.
2.5 PERAN IgE PADA INFEKSI CACING USUS
Peradangan dikendalikan oleh protein pengatur komplemen PGE2, TGF,
glukokortikoid, dan IL-10. LPS ditangkap oleh reseptor spesifik, IL-1, IL-8 dan TNF
terlibat dalam proses terjadinya peradangan. Sementara itu, ketidakmampuan menyingkirkan
penyebab terjadinya reaksi radang menahun yang biasanya dilakukan oleh makrofag,
seringkali membentk granuloma (Roitt, 2002).
Berbagai mekanisme pertahanan dilancarkan oleh pejamu, pada dasarnya dapat
digambarkan bahwa reaksi humoral terbentuk pada organisme yang masuk peredaran darah.
Sedangkan parasit yang hidup di jaringan biasanya merangsang imunitas seluler.
Antibodi akibat infeksi cacing biasanya efekstif terhadap bantuk yang ditularkan
melalui darah. Produksi IgE sangat meningkat pada infestasi cacing dan dapat menyebabkan
masuknya Ig dan eosinofil yang diperantarai oleh sel mastoid (Roitt, 2002)
Infeksi cacing yang kronik akan menimbulkan rangsangan antigen persisten yang
meningkatkan kadar imunoglobulin dalam sirkulasi dan pembentukan kompleks imun.
Antigen-antigen yang dilepas parasit diduga berfungsi sebagai mitogen poliklonal sel B yang
T independen.
Pertahanan terhadap banyak infeksi cacing diperankan oleh aktivasi sel Th2 yang
menghasilkan IgE dan aktivasi eosinofil. IgE yang berikatan dengan 16 permukaan cacing

diikat eosinofil. Selanjutnya eosinofil diaktifkan dan mensekresi granul enzim yang
menghancurkan parasit. Produksi IgE dan eosinofil sering ditemukan pada infeksi cacing.
(Baratawijaya, 2004)
Produksi IgE disebabkan sifat cacing yang merangsang subset Th2 sel CD4+ , yang
melepas IL-4 dan IL-5. IL-4 merangsang produksi IgE dan IL-5 merangsang perkembangan
dan aktivasi eosinofil. Eosinofil lebih efektif dibanding leukosit lain oleh karena eosinofil
mengandung granul yang lebih toksik dibanding enzim proteolitik dan Reactive Oxygen
Intermediate yang diproduksi neutrofil dan makrofag. Cacing dan ekstrak cacing dapat
merangsang produksi IgE yang non-spesifik. Reaksi inflamasi yang ditimbulkannya diduga
dapat mencegah menempelnya cacing pada mukosa saluran cerna. (Baratawijaya, 2004)
Cacing biasanya terlalu besar untuk difagositosis. Degranulasi sel mast/basofil yang
IgE dependen menghasilkan produksi histamin yang menimbulkan spasme usus tempat
cacing hidup. Eosinofil menempel pada cacing melalui IgG/IgA dan melepas protein
kationik, dan neurotoksin. PMN dan makrofag menempel melalui IgA/IgG dan melepas
superoksida, oksida nitrit dan enzim yang membunuh cacing. (Baratawijaya, 2004)

Anda mungkin juga menyukai