Anda di halaman 1dari 4

BAB 1

1.1 Latar Belakang


Penyakit karena cacing (helminthiasis), banyak tersebar di seluruh dunia, terutama di
daerah tropis. Hal ini berkaitan dengan faktor cuaca dan tingkat sosio-ekonomi masyarakat.
Kebanyakan cacing memerlukan suhu dan kelembaban udara tertentu untuk hidup dan
berkembang biak. Sebagian cacing memerlukan vertebrata atau invertebrata tertentu sebagai
host, misalnya ikan, siput, crustacea atau serangga, dalam siklus (lingkaran) hidupnya. Di
daerah tropis, host-host ini juga banyak berhubungan dengan manusia, karena tidak adanya
pegendalian dari masyarakat setempat.
Serangga, seperti nyamuk dan lalat pengisap darah, di samping sebagai intermediate host,
juga merupakan bagian dari lingkaran hidup cacing. Penyebaran telur cacing yang ke luar
bersama feses penderita, tidak hanya berkaitan dengan cuaca, seperti hujan, suhu dan
kelembaban udara, tetapi juga berkaitan dengan pengetahuan dan kesadaran masyarakat
tentang sanitasi. Kebiasaan penggunaan feses manusia sebagai pupuk tanaman menyebabkan
semakin luasnya pengotoran tanah, persediaan air rumah tangga dan makanan tertentu,
misalnya sayuran, akan meningkatkan jumlah penderita helminthiasis.
Kelainan patologis karena infeksi cacing bisa bervariasi bergangung pada jenis
cacingnya. Misalnya, Ancylostoma duodenale, mengisap darah setelah melukai usus halus
(intestinum) dengan giginya. Taenia saginata, menyerap makanan dari usus halus sedangkan
Toxocara canis, penyebab penyakit cacing pada anjing, di dalam tubuh manusia hanya terdapat
dalam bentuk larvanya, yang bermigrasi bersama aliran darah masuk ke berbagai organ tubuh,
seperti liver, paru-paru, dan otak. Trichinella spiralis bersarang dalam bentuk kista di dalam
otot. Dracunculus medinensis menyerang jaringan ikat dan jaringan subcutis. Wuchereria
bancrofti yang hidup di dalam pembuluh lympha, menimbulkan peradangan yang akut maupun
kronis yang bisa diikuti dengan tersumbatnya saluran lympha. Telur Schistosoma
haematobium yang bertumpuk pada dinding kandung kencing (vesica urinaria) menimbulkan
ulcerasi dan perdarahan. Selanjutnya, iritasi (rangsangan) mekanis atau kimiawi dari telur
cacing yang dapat merangsang terjadinya hyperplasia atau metaplasia yang dapat menimbulkan
carcinoma. Dapat disimpulkan bahwa berat-ringannya serta jenis perubahan patologis akibat
infeksi cacing bisa bervariasi, dapat menimbulkan gejala akut maupun kronis.
1.2 Rumusan Masalah
1. Apa definisi Dracunculus Medinensis ?
2. Bagaimana morfologi Dracunculus Medinensis ?
3. Bagaimana siklus hidup Dracunculus Medinensis ?
4. Patologis dan proses infeksi Dracunculus Medinensis ke tubuh hospes ?
5. Tanda gejala yang ditimbulkan parasite Dracunculus Medinensis ?
6. Bagaimana mengobatinya ?
7. Bagaimana penanganan keperawatannya?
1.2 Tujuan
1 Mengetahui definisi Dracunculus Medinensis
2 Mengetahui morfologi Dracunculus Medinensis
3 Mengetahui siklus hidup Dracunculus Medinensis
4 Mengetahui Patologis dan proses infeksi Dracunculus Medinensis
5 Mengetahui tanda gejala yang ditimbulkan Dracunculus Medinensis
6 Mengetahui cara mengobatinya
7 Mengetahui penanganan keperawatannya

BAB 3
3.1 Kesimpulan
Helmintologi adalah ilmu cabang dari parasitologi. Helmintologi, diadopsi dari kata
helmintos yang artinya cacing, dan logos yang artinya ilmu. Sementara Parasitologi berasal
dari kata parasitos yang artinya organisme yang mengambil makan, dan logos yang artinya
ilmu, telaah. Helmintologi merupakan suatu bidang ilmu tentang cacing yang berperan sebagai
parasit. Cacing yang bersifat parasit pada manusia termasuk dalam 2 golongan besar, yaitu
cacing bulat (Nemathelminthes) dan cacing pipih (Platyhelminthes). Dari Nemathelminthes
yang terpenting adalah kelas Nematoda sedangkan dari Platyhelminthes adalah kelas
Trematoda dan Cestoda.
Masalah kecacingan di masyarakat, selalu identik dengan kondisi sanitasi dan personal
hygiene. Karena identik itulah maka permasalahan tentang kecacingan di Indonesia berbeda
dari suatu masyarakat ke masyarakat lainnya.
Untuk memberantas cacing harus memutuskan rantai daur hidupnya, yang dapat
dilakukan dengan dua metode yaitu pencegahan dan pengobatan. Metode pencegahan
dilakukan dengan cara: perbaikan cara pembuangan kotoran agar tidak mengotori tanah
permukaan, memakai sepatu bila berada di daerah di mana tanahnya terkontaminasi, menjaga
kebersihan perorangan misalnya dengan selalu mencuci tangan dengan air bersih sebelum dan
sesudah makan dan minum sehingga telur cacing yang infektif tidak tertelan. Metode
pengobatan dilakukan dengan cara: pengobatan semua penderita untuk menghilangkan sumber
penularan.
3.2 Saran
Perlunya menjaga kebersihan diri dan lingkungan untuk mencegah penyakit cacing.
Selain itu, pengolahan makanan maupun minuman harus dengan cara yang benar agar tidak
tercemar oleh telur cacing. Dilakukannya pengobatan pada penderita untuk menghilangkan
sumber penularan.

2.3 Siklus Hidup Dracunculus Medinensis

Siklus hidup Dracunculus medinensis akan berlanjut bila manusia atau hospes terminal
lain termakan Cyclops yang mengandung larva stadium tiga. Larva akan keluar dari Cyclops
dengan bantuan cairan lambung penderita. Selanjutnya larva akan menembus mukosa usus
penderita dan bermigrasi melalui dinding saluran pencernaan menuju jaringan ikat longgar,
biasanya jaringan retroperitoneal. Disanalah larva stadium tiga tersebut berkembang menjadi
cacing dewasa, jantan dan betina. Waktu yang diperlukan untuk proses tersebut sekitar 8-12
bulan. Kopulasi cacing jantan dan betina juga terjadi di jaringan ikat longgar, bukan di saluran
cerna (Siahaan, 2004).
Cacing betina yang telah dibuahi/gravid juga mengalami proses pematangan di jaringan
retro-peritoneal. Hampir keseluruhan tubuh cacing betina gravid ini dipenuhi oleh uterus yang
berkembang dan berisi dengan larva stadium pertama. Selanjutnya cacing tersebut akan
bermigrasi ke jaringan subcutan dan permukaan kulit, terutama bagian tubuh yang banyak
kontak dengan air (Siahaan, 2004).
Saat ujung kepala cacing betina gravid mencapai kulit, terbentuklah lesi berupa papula.
Hal ini terjadi karena dikeluarkannya sejumlah toksin yang merusak jaringan disekitar cacing
itu berada. Dalam waktu 24 jam, lesi dapat berubah menjadi vesikula tetapi terkadang dapat
pula membesar sampai beberapa hari sebelum menjadi vesikula. Dan dalam waktu 2 minggu,
vesikula tersebut akan pecah dan membentuk ulkus. Uterus cacing akan keluar melalui bagian
terdepan dari dinding vesikula yang pecah dan kemudian mengeluarkan larva stadium pertama.
Proses pengeluaran larva ini berlangsung sampai beberapa kali hingga semua larva habis dan
uterus benar-benar kosong. Diperkirakan proses ini terjadi selama 3 minggu. Seekor cacing
betina gravid dapat mengeluarkan larva stadium pertama sampai 3 juta ekor. Larva tersebut
dapat bertahan hidup 1-2 minggu, dan akan mati bila tidak dimakan oleh Cyclops (Siahaan,
2004).
Larva yang dimakan oleh Cyclops masuk ke dalam saluran pencernaan dan mengalami
dua kali perubahan sampai menjadi bentuk infektif. Proses perubahan ini memerlukan waktu
sekitar 14 hari, pada suhu 26oC dan larva tidak akan menjadi infektif jika tidak mengalami
metamorfosis. Dalam kondisi normal Cyclops dapat bertahan hidup sampai 3 bulan dan mampu
memakan 15-20 larva. Bila Cyclops tidak dimakan oleh hospes terminal, dengan sendirinya
Cyclops dan larva di dalamnya akan mati (Siahaan, 2004).
Sementara itu, cacing betina gravid yang gagal mencapai permukaan kulit, akan mati dan
mengalami proses pengapsulan di jaringan ikat. Begitu pula cacing jantan dewasa yang mati
akan mengalami proses yang sama (Siahaan, 2004).

Siahaan, Lambok. 2004. Dracunuliasis : Suatu Infeksi Nematoda Jaringan. Tidak Diterbitkan.
Skripsi. Bagian Parasitologi Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara. Dapat
diakses di http://repository.usu.ac.id/bitstream/handle/123456789/3547/parasitologi-
lambok.pdf.txt;jsessionid=14933C6EEE24CEA39FBF0C4552C5E901?sequence=3.
Diakses pada tanggal 5 Mei 2017 jam 12.05

Anda mungkin juga menyukai