Anda di halaman 1dari 13

Fasciola hepatica

MAKALAH

Untuk Memenuhi Tugas Matakuliah Parasitologi Veteriner

Yang Dibina Oleh drh. Rahadi Swastomo, M. Biomed.

Oleh:

Dina Fahmia Aristia

185130100111054

PENDIDIKAN DOKTER HEWAN

FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN

UNIVERSITAS BRAWIJAYA

MALANG

2019
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Parasitologi merupaka ilmu yang mempelajari tentang semua organisme yang merugikan atau parasit
bagi makhluk hidup di sekitarnya. Tetapi dengan adanya kemajuan ilmu, parasitologi kini terbatas

mempelajari organisme parasit yang tergolong hewan parasit, meliputi: protozoa, helminthes,
arthropoda dan insekta parasit, baik yang zoonosis ataupun anthroponosis. Cakupan parasitologi
meliputi taksonomi, morfologi, siklus hidup masing-masing parasit, serta patologi dan epidemiologi
penyakit yang ditimbulkannya. Parasit merupakan organisme yang hidup pada atau di dalam organisme
lain dan mengambil makanan dari organisme yang ditumpanginya untuk berkembang biak. Parasit dapat
merugikan inangnya karena mengambil makanan pada tubuh inangnya selain itu, parasit adalah suatu
organisme yang mengambil bahan untuk kebutuhan metabolismenya (makanan) dari tubuh inangnya dan
merugikan bagi inang tersebut. Sehingga parasit tidak dapat hidup lama di luar tubuh inangnya (Wiyatno
dkk, 2012).

Parasit berasal dari kata parasitos yang berarti jasad yang mengambil makanan. Parasit dapat
didefenisikan sebagai hewan atau tumbuhan yang hidup di atas atau di dalam tubuh maklhuk hidup lain
dan hidupnya tergantung pada maklhuk hidup tersebut serta memperoleh keuntungan darinya. Secara
umum parasit terbagi atas empat jenis yaitu zooparasit, fitoparasit, spirochaeta dan virus. Zooparasit
adalah berupa hewan yang terbagi menjadi 2 yaitu protozoa dan metazoa. Protozoa merupakan
organisme bersel satu protozoa,sedangkan metazoa contohnya cacing dan arthropoda. Fitoparasit
adalah parasit berupatumbuh-tumbuhan seperti fungi dan bakteri (Sibarani, 2018).

Terdapat dua jenis parasit yang terbagi berdasarkan letak dan tempat parasit hidup, yaitu ektoparasit
dan endoparasit. Ektoparasit adalah parasit yang hidup berparasitnya pada permukaan tubuh host atau
di dalam liang-liang pada kulit yang masih mempunyai hubungan bebas dengan dunia luar sedangkan
endoparasit merupakan parasit yang hidup dan menginfeksi di dalam tubuh host. Istilah infeksi dan
infestasi umum digunakan pada parasit. Istilah infeksi biasa digunakan untuk menyatakan tentang
masuknya kuman penyakit ke dalam tubuh makhluk hidup. Istilah tersebut berlaku pada parasit-parasit
yang masuk dan hidup dalam tubuh makhluk hidup. Sementara untuk ektoparasit yang hidup di atas
tubuh makhluk hidup memiliki istilah sendiri, yaitu infestasi (Khairana, 2017).

Penyakit yang disebabkan parasit terutama cacing pada hewan di peternakan merupakan salah satu
permasalahan yang sering dihadapi peternak. Pola pemberian pakan, faktor-faktor lingkungan (suhu,
kelembapan, dan curah hujan), serta sanitasi kandang yang kurang baik dapat mempengaruhi
berkembangnya parasit khususnya cacing saluran pencernaan pada hewan ternak (Larasati dkk, 2017).
Faktor lingkungan sangat berpengaruh terhadap ketersediaan pakan juga berhubungan erat dengan
serangan parasit pada ternak sapi. Kekurangan gizi dalam pakan dan disertai adanya penyakit parasit
terutama cacingan sebagai akibat pola pemeliharaan yang belum menerapkan teknologi budidaya ternak
yang sesuai. Lebih lanjut faktor lingkungan memiliki hubungan erat dengan sistem pemeliharaan ternak,
khususnya pada sistem pemeliharaan ekstensif (digembalakan) dan semi-ekstensif dimana usaha ternak
dilakukan dengan cara memelihara ternak di lingkungan tempat tinggal dan tidak dikandangkan
(Bhermana dkk, 2017).

Fasciolosis adalah penyakit zoonosis yang disebabkan oleh parasit cacing trematoda Fasciola
gigantica maupun Fasciola hepatica, termasuk kelas Trematoda filum Platyhelmintes dan genus Fasciola.
Cacing tersebut bermigrasi dalam parenkim hati, berkembang dan menetap dalam saluran empedu.
Penyakit tersebut membawa kerugian pada hewan ternak sapi yaitu terjadi fibrosis hepatis, peradangan
kronis pada saluran empedu, selanjutnya terjadi gangguan pertumbuhan, penurunan produksi susu dan
berat badan (Majawati dan Matatula, 2018).

Diagnosis berdasarkan gejala klinis sulit dilakukan. Pada hewan diagnosis terdahap Fasciola sp
berdasarkan gejala klinis harus diperkuat dengan pemeriksaan laboratorium yang dilakukan melalui
pemeriksaan feses yaitu ditemukan telur cacing dalam tinja. Infeksi terjadi karena menelan metaserskaria
(bentuk infektif Faciola hepatica) yang melekat pada tumbuhan air seperti watercress. Fasciola sp
merupakan cacing Trematoda yang memiliki siklus hidup yang cukup panjang. Terdapat beberapa faktor
yang dapat mempengaruhi infeksi Fasciola sp, antara lainfaktor intrinsik yaitu jenis kelamin dan usia,
faktor ekstrinsik yaitu makanan, kebersihan lingkungan yang sesuai dan sistem pengelolaan sapi ternak
(Majawati dan Matatula, 2018).

Selain menginfeksi pada sapi, Fasciola hepatica merupakan salah satu spesies cacing yang
merupakan parasit dalam tubuh manusia, penularan pada manusia jika memakan sayur yang
mengandung metaserkaria dan ketika memakan hati sapi yang kurang matang dapat menimbulkan
faringeal fascioliasis yang disebut halzoun yaitu edema laring karena penempelan cacing dewasa pada
mukosa faring posterior. Kadan -kadang sumbatan cacing dewasa pada faring menimbulkan kongesti,
edema dari palatum molle, faring, dilanjutkan dengan sesak, disfagia, tuli, kadang kadang asfiksia
(Majawati dan Matatula, 2018).

1.2 Rumusan Masalah


a. Bagaimana klasifikasi dari cacing Fasciola hepatica?
b. Bagaimana siklus hidup dari cacing Fasciola hepatica?
c. Bagaimana morfologi dari cacing Fasciola hepatica?
d. Bagaimana predileksi dari cacing Fasciola hepatica?
e. Bagaimana hospes dari cacing Fasciola hepatica?
f. Bagaimana penyakit yang di timbulkan dari cacing Fasciola hepatica?
1.3 Tujuan
a. Untuk mengetahui klasifikasi dari cacing Fasciola hepatica.
b. Untuk mengetahui siklus hidup dari cacing Fasciola hepatica.
c. Untuk mengetahui morfologi dari cacing Fasciola hepatica.
d. Untuk mengetahui predileksi dari cacing Fasciola hepatica.
e. Untuk mengetahui hospes dari cacing Fasciola hepatica.
f. Untuk mengetahui penyakit yang di timbulkan dari cacing Fasciola hepatica.
BAB II

ISI

2.1 Klasifikasi
Kingdom : Animalia

Filum : Platyhelmintes

Kelas : Trematoda

Sub Kelas : Digenea

Ordo : Echinostomatida

Famili : Fasciolidae

Genus : Fasciola

Spesies : Fasciola hepatica (Taylor, 2016)

2.2 Siklus Hidup

Siklus hidup berbagai spesiesFasciola sp.umumnya memiliki pola yang sama, dengan variasi
pada ukuran telur, jenis siput sebagai hospes perantaranya dan panjang waktu yang diperlukan untuk
berkembang di dalam hospes tersebut. maupun pertumbuhannya dalam hospes definitif (Anggriana,
2014).

Di dalam tubuh hospes yaitu ternak, ikan, dan manusia, cacing dewasa hidup di dalam hati dan
bertelur di usus, kemudian telur keluar bersama dengan feses.Telur menetas menjadi larva dengan cilia
(rambut getar) diseluruh permukaan tubuhnya yang disebut mirasidium.Larva mirasidium kemudian
berenang mencari siput Lymnea. Mirasidium akan mati bila tidak masuk ke dalam siput air tawar (Lymnea
rubiginosa).Setelah berada dalam tubuh siput selama 2 minggu, mirasidium akan berubah menjadi
sporosis. Larva tersebut mempunyai kemampuan reproduksi secara aseksual dengan cara paedogenesis
di dalam tubuh siput, sehingga terbentuk larva yang banyak. Selanjutnya sporosis melakukan
paedogenesis menjadi beberapa redia, kemudian rediamelakukan paedogenesis menjadi serkaria.Larva
serkaria kemudian berekor menjadi metaserkaria, dan segera keluar dari siput dan berenang mencari
tanaman yang ada dipinggir perairan misalnya rumput, tanaman padi atau tumbuhan air lainnya. Setelah
menempel, metaserkaria akan membungkus diri dan menjadi kista yang dapat bertahan lama pada
rumput, tanaman padi, atau tumbuhan air. Apabila tumbuhan tersebut termakan oleh hewan ruminansia
maka kista tersebut dapat menembus dinding usus, kemudian masuk ke dalam hati, lalu ke saluran
empedu dan menjadi dewasa selama beberapa bulan sampai bertelur dan siklus ini terulang kembali
(Ditjennak,2012).

Secara umum, siklus hidup Fasciola sp.seperti ditunjukkan pada Gambar 4.

Gambar 2.2.1 Siklus Hidup Fasciola gigantica (Elsheikha, 2018)

2.3 Morfologi

Cacing Fasciola sp. berwarna coklat abu-abu dengan bentuk seperti daun, pipih, melebar dan lebih
melebar ke anterior dan berakhir dengan tonjolan berbentuk conus. Ukuran tubuh cacing dewasa dapat
mencapai panjang 30 mm dan lebarnya 13 mm. Mempunyai batil isap mulut (oral sucker) yang besarnya
± 1 mm dan batil isap perut (ventral sucker) yang besarnya ± 1,6 mm. Secara morfologi , Fasciola sp.
terdiri dari pharinx yang letaknya terdapat di bawah oral. Cacing jenis ini tidak mempunyai anus dan alat
ekskresinya berupa sel api. adapun terdapat sebuah pharinx, namun pharinx tersebut tidak berotot.
Tegumen atau lapisan kutikula berfungsi memberi perlindungan terhadap pengaruh enzim pencernaan.
Tegumen padat endoparasit membantu menyerap glukosa dan asam amino. Selain itu terdapat arterium
yang letaknya di bawah penis dan esofagus, uterus, vasikula seminalis, ovarium serta oviduk pada
hewan ini (Ismail, 2019).

a. b.

Gambar 2.3.2. morfologi cacing dewasa (a) dan telur Fasciola hepatica (b)( Purwanta, dkk. 2009).

Purwanta, dkk. (2009) mengemukakan unsur-unsur yang tampak jelas pada telur Fasciola
sp.yang dilihat di bawah mikroskop dengan perbesaran 10 x 10 ialah sel-sel kuning telur (yolk)
dan sel germinal yang tampak transparan di daerah operkulum pada salah satu kutubnya. Telur
berbentuk lonjong, berukuran panjang 130-150 mikron dan lebar 63-90 mikron

2.4 Predileksi

Predileksi cacing ini berada di dalam hati lebih tepatnya ductus biliverus dari ternak yang
terserang. Cacing ini dapat melakukan migrasi. Migrasi cacing di dalam organ hati menyebabkan
kerusakan pada parenkim hati. Parenkim hati yang rusak akibat migrasi cacing akan digantikan oleh
jaringan ikat atau fibrosis sehingga akan mengubah struktur hati. Akibatnya hati yang mengalami
fasciolosis memiliki konsistensi yang lebih keras daripada hati yang normal. Pengerasan yang terjadi
lama kelamaan akan menyebabkan sirosis hati (Damayanti dkk, 2019).

2.5 Hospes

Hospes adalah mahluk hidup yang ditinngali oleh Fasciola hepatica. Hospes terbagi menjadi dua
yaitu hospes definitif dan hospes intermediet.Hospes intermediet merupakan hospes yang ditinggali
sementara ole cacing, sedangkan hospes definitif adalah tempat tinggal asli cacing. Hospes intermediet
Fasciola gigantica adalah pada ruminansia, sedangkan hospes definitifya adalah manusia (Jhoni, 2016).

2.6 Penyakit yang ditimbulkan

Fasciolosis merupakan salah satu penyakit parasiter penting yang disebabkan oleh infeksi cacing
famili Trematoda, yaitu Fasciola sp. Penyakit ini menginfeksi ternak ruminansia, beberapa satwa langka,
bahkan manusia, melalui berbagai kontaminasi dan telah tersebar di seluruh dunia, dengan daerah
penyebaran yang berbeda. Fasciola hepatica terutama ditemukan di wilayah beriklim sedang dan iklim
dingin, sedangkan Fasciola gigantica mendominasi wilayah penyebaran di daerah beriklim tropis dan
subtropis, seperti Afrika dan Asia, termasuk India, Pakistan, dan Bangladesh serta Indonesia. Kejadian
fasciolosis pada ternak ruminansia berkaitan dengan daur hidup cacing Fasciola sp. Ternak terinfeksi
karena memakan hijauan yang mengandung metaserkaria (larva infektif Fasciola sp.). Siklus hidup
Fasciola sp. bersifat tidak langsung dan memerlukan siput air tawar sebagai hospes antara. Hospes
antara yang berperan dalam siklus hidup Fasciola gigantica di Indonesia adalah Lymnaea rubiginosa.
Penyebaran Fasciola sp tidak luput dari peran hospes antara. Infeksi pada hewan ternak terjadi secara
pasif, yaitu dengan meminum air ataupun memakan tanaman yang mengandung metaserkaria
(Purwaningsih dkk, 2017).

Fasciolosis adalah penyakit yang diakibatkan oleh infeksi cacing Fasciola hepatica. Penyakit
tersebut merupakan penyakit penting pada ternak di daerah tropis seperti Afrika, sub-kontinen India dan
Asia Tenggara. Di Indonesia, fasciolosis lebih sering terjadi pada sapi dan kerbau daripada domba dan
kambing, umumnya disebabkan oleh Fasciola gigantica. Fasciolosis terjadi dalam sebaran yang luas
terutama di lahan-lahan basah (Budianto, 2019). Fasciola sp. dapat menyebabkan penderitaan kronis
yang menahun, kekurangan darah dan gizi, pertumbuhan menjadi lambat serta menimbulkan
peradangan hati dan empedu pada ternak. Infeksi ringan yang berkepanjangan juga mengakibatkan
ternak tidak dapat gemuk, kondisi tubuh melemah, nafsu makan menurun, pembengkakan di bawah
rahang, perut busung dan dapat menyebabkan kematian (Kardena, 2016).

Organ hati yang mengalami fasciolosis memiliki warna yang tidak merata dan lebih pucat,
konsistensi hati mengeras dan tidak teratur, peningkatan ukuran organ hati, penebalan saluran empedu,
dan cacing Fasciola sp. dewasa terdeteksi dalam lumen saluran empedu (Damayanti dkk, 2019).

Hal tersebut juga sama seperti penelitian yang dilakukam Junita (2015) yang menyatakan bahwa
hati yang terinfeksi fasciolosis memiliki ciri-ciri yaitu warna hati tidak merata dan lebih pucat, ukuran hati
membesar, ketika dipalpasi pada beberapa bagian hati berkonsistensi kenyal, sedangkan bagian yang
lain terasa lebih keras dan ciri yang paling khas adalah saluran empedu mengalami dilatasi dan
penebalan serta ditemukan cacing Fasciola sp. pada saluran empedu.
Fasciolosis pada sapi, kerbau, domba, dan kambing dapat berlangsung akut maupun kronis.
Kasus akut umumnya terjadi karena invasi cacing muda berlangsung secara masif dalam waktu singkat
dan merusak parenkim hati sehingga fungsi hati sangat terganggu serta menimbulkan perdarahan pada
rongga peritoneum. Meskipun cacing muda hidup dalam parenkim hati, parasit tersebut juga dapat
menghisap darah, seperti cacing dewasa dan menyebabkan anemia pada minggu ke-4 atau ke-5 fase
migrasi cacing muda. Diperkirakan 10 ekor cacing dewasa dapat menyebabkan kehilangan darah
sebanyak 2 ml/hari. Fasciolosis kronis berlangsung lambat dan disebabkan oleh aktivitas cacing dewasa
di dalam saluran empedu, baik di dalam hati maupun di luar hati (Budianto, 2019).

Keberhasilan pengobatan fasciolosis bergantung pada efektivitas obat terhadap stadium


perkembangan cacing. Obat cacing yang digunakan harus bersifat toksik minimal agar jaringan hati tidak
mengalami kerusakan. Obat yang baik adalah obat yang mampu membunuh Fasciola sp. yang sedang
migrasi dan cacing dewasa, serta tidak toksik pada jaringan. Pengobatan fasciolosis pada sapi, kerbau
dan domba menggunakan Nitroxinil dengan dosis 10 mg/kg sangat efektif dengan daya bunuh 100%
pada infeksi setelah 6 minggu. Namun pengobatan ini perlu diulang 8-12 minggu setelah pengobatan
pertama. Pemberian obat cacing secara berkala minimal 2 kali dalam 1 tahun bertujuan mengeliminasi
migrasi cacing dewasa (Weidson, 2009).

 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Infeksi Cacing Hati (Fasciola sp.)


1. Umur
Pengaruh umur erat kaitannya dengan kurun waktu infestasi terutama di lapangan.
Semakin tua umur sapi maka semakin tinggi pula resiko infeksinya terhadap Fasciola sp. Pada
sapi muda, prevalensi fasciolosis lebih rendah, hal ini disebabkan oleh sapi muda relatif lebih
sering dikandangkan dalam rangka penggemukan. Selain itu, intensitas makan rumput sapi muda
masih rendah dibandingkan dengan sapi dewasa, hal ini karena sapi muda masih minum air susu
induknya sehingga kemungkinan untuk terinfeksi larva metaserkaria lebih rendah. Sapi bali
berumur lebih dari 12 bulan lebih rentan terhadap infeksi Fasciola sp. dibandingkan dengan sapi
bali berumur kurang dari 6 bulan dan antara 6-12 bulan (Anggriana, 2014).
2. Sistem Pemeliharaan
Sapi yang dipelihara secara ekstensif lebih beresiko terhadap infeksi Fasciola sp.
dibandingkan dengan sapi yang dipelihara secara intensif. Ternak sapi yang dipelihara secara
ekstensif mempunyai resiko terinfeksi Fasciola sp. yang lebih tinggi karena sapi-sapi tersebut
mencari pakannya sendiri sehingga pakan yang diperoleh tidak terjamin baik secara kuantitas
maupun kualitasnya serta sesuai dengan kebutuhannya. Kekurangan pakan akan menyebabkan
ternak mengalami malnutrisi. Nutrisi merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi
kerentanan seekor sapi terhadap infeksi cacing. Sapi yang mengalami malnutrisi akan lebih peka.
Konsumsi hijauan yang masih berembun dan yang tercemar siput, merupakan salah satu
penyebab terjadinya infeksi larva cacing saluran pencernaan. Kebanyakan jenis parasit saluran
pencernaan masuk ke dalam tubuh hospes definitif melalui mulut dari pakan yang tercemar larva.
Karena suatu sebab, misalnya defisiensi posfor, hewan jadi pica sehingga makan feses
(koprofagi) atau benda lain yang mengandung larva (Anggriana, 2014).
3. Musim
Tidak adanya perbedaan yang signifikan antara infeksi cacing Fasciola sp. pada musim
basah dan musim kering, namun persentase kasus positif cenderung lebih tinggi pada musim
basah. Musim berpengaruh terhadap derajat prevalensi fasciolosis di Kabupaten Karangasem,
Bali. Kejadian fasciolosis banyak terjadi pada awal musim hujan karena pertumbuhan telur
menjadi mirasidium cukup tinggi dan perkembangan di dalam tubuh siput mencapai tahap yang
lengkap pada akhir musim hujan. Selain itu, pelepasan serkaria terjadi pada awal musim kering
seiring dengan terjadinya penurunan curah hujan (Anggriana, 2014).
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan

Dari makalah yang telah penulis tuliskan, dapat disimpulkan bahwa Fasciola hepatica merupakan
cacing jenis trematoda dengan siklus hidup yaitu telur kemudian mirasidium kemudian sporokista
kemudian redia kemudian serkaria kemudian metaserkaria selanjutnya menjadi dewasa. Morfologi
Fasciola hepatica yaitu berbentuk seperti daun dengan panjang 2,5-3,5 cm dan lebar 1 cm serta
berwarna abu-abu kecoklatan. Telur berbentuk lonjong, berukuran panjang 130-150 mikron dan lebar 63-
90 mikron. Predileksi cacing ini pada duktus biliverus. Hospes definitive nya pada hewan ruminant dan
manusia. Cacing ini dapat menyebabkan Fasciolosis. Organ hati yang mengalami fasciolosis memiliki
warna yang tidak merata dan lebih pucat, konsistensi hati mengeras dan tidak teratur, peningkatan
ukuran organ hati, penebalan saluran empedu, dan cacing Fasciola sp. dewasa terdeteksi dalam lumen
saluran empedu. Pengobatan fasciolosis pada sapi, kerbau dan domba menggunakan Nitroxinil dengan
dosis 10 mg/kg sangat efektif dengan daya bunuh 100% pada infeksi setelah 6 minggu. Namun
pengobatan ini perlu diulang 8-12 minggu setelah pengobatan pertama. Pemberian obat cacing secara
berkala minimal 2 kali dalam 1 tahun bertujuan mengeliminasi migrasi cacing dewasa.faktor factor yang
mempengaruhi fasciolisis seperti umur ternak, musim, dan system pemeliharaan.

3.2 Saran
Diharapkan setelah membaca artike ini, pembaca lebih berhati – hati terhadap Fasciola
hepattica.Diharapkan penulis dapat membuat makalah yang lebih kompleks tetnatng Fasciola gigantica
DAFTAR PUSTAKA

Anggriana, Anna. 2014. Prevalensi Infeksi Cacing Hati (Fasciola Sp.) Pada Sapi Bali Di
Kecamatan Libureng Kabupaten Bone [SKRIPSI]. Fakultas Kedokteran.
Universitas Hasanuddin.

Bhermana A., Haryanto B., Adrial., Munier FF. 2017 Identifikasi Spasial Serangan Parasit Cacing pada
Ternak Sapi di Kalimantan Tengah. Prosiding Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan
Veteriner: 173-183.

Budianto, Bambang Heru dan Basuki, Edi. 2019. Kemampuan Serkaria Fasciola
gigantica Asal Beberapa Jenis Siput dalam Membentuk Metaserkaria. Artikel
Pemakalah Paralel. ISSN: 2527-533X.

Damayanti, L. P. E., J. Almet, dan A. I. R. Detha. 2019. Deteksi dan prevalensi fasciolosis pada sapi
bali di Rumah Potong Hewan (RPH) Oeba Kota Kupang. Jurnal Veteriner Nusantara. 2(1): 13-18.

[Ditjennak] Direktorat Jenderal Peternakandan Kesehatan Hewan.2012. Manual Penyakit Hewan


Mamalia. Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan. Jakarta: Subdit Pengamatan
Penyakit Hewan, Direktorat Kesehatan Hewan.

Elsheikha, Hany M; Wright, Ian; McGarry, John. 2018. Parasites and Pets: A Veterinary
Nursing Guide. London: CAB Intenasional.

Ismail, Saldanis. 2019. Mikrobiologi-Parasitologi.

Jhoni, Virgi Alcita Raka. 2016. Karakteristik Morfologi Tipe Cacing Fasciola gigantica
Melalui Kajian Morfometri pada Sapi yang Dipotong di RPH Pegirian Surabuaya
[TESIS]. Fakultas Kedokteran Hewan. Universitas Airlangga.

Junita, Nana. 2015, Prevalensi Fasciolosis pada Sapi Bali di UPTD. RPH Kota Makassar, Tamangapa
Periode Agustus 2014. Makassar. [Skripsi]. Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Hasanuddin

Khairana, ANDI ATIKAH. 2017. Identifikasi Parasit Gastrointestinal pada Anoa (Bubalus Spp.) di Balai
Penelitian dan Pengembangan Lingkungan Hidup dan Kehutanan (Bp2lhk) Manado. SKRIPSI
Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin, Makassar.
Majawati, E. S. dan A. E. Matatula. 2018. Identifikasi Telur Cacing Fasciola hepatica pada Sapi di
Peternakan Sapi Daerah Tangerang. J. Kedokt Meditek. 24 (68).

Purwaningsih, Noviyanti, dan R. P. Putra. 2017. Distribusi dan Faktor Risiko Fasciolosis pada Sapi Bali
di Distrik Prafi, Kabupaten Manokwari, Provinsi Papua Barat. ACTA VETERINARIA
INDONESIANA. 5(2): 120-126.

Purwanta, Nuraeni, Josephina DH, Sri S. 2009. Identifikasi Cacing Saluran Pencernaan (Gastrointestinal)
pada Sapi Bali Melalui Pemeriksaan tinja di Kabupaten Gowa. Jurnal Agrisistem..5 (1)..

Sibarani, Henni Lasria. 2018. Jenis dan Prevalensi Endoparasit pada Feses Rusa Sambar (Cervus
unicolor) dan Rusa Tutul (Axis-axis) di Penangkaran Rusa Universitas Sumatera Utara. SKRIPSI
Fakultas Matematika Dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Sumatera Utara, Medan.

Taylor, M.A; Coop R.L.; Wall R.L. 2016 Veterinary Parasitology Forth Edition. New Delhi Willey Blackwell.
Wiedosari, Ening. 2009. Studi Komparatif Resistensi Antara Sapi Bali Dan Madura
Terhadap Infeksi Fasciola gigantica. Jurnal Balai Besar Penelitian Veteriner.7-14.

Wiyatno, Ferlyn Hendra., Sri Subekti., Rahayu Kusdarwati. 2012. Identifikasi dan Prevalensi Ektoparasit
pada Ikan Kerapu Tikus (Cromileptes Altivelis) di Karamba Jaring Apung Unit Pengelola Budidaya
Laut Situbondo. Jurnal Ilmiah Perikanan dan Kelautan. 4 (1).

Anda mungkin juga menyukai