Anda di halaman 1dari 13

MAKALAH PARASITOLOGI

“CACING FASCIOLA HEPATICA (CACING HATI)”

Disusun Oleh :

Nurul Wahyu Widianti (P21345119056)

TINGKAT 1 PRODI D-IIIB

JURUSAN KESEHATAN LINGKUNGAN

POLITEKNIK KESEHATAN KEMENTRIANKESEHATAN JAKARTA II

TAHUN 2020
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah Subhanallahu Wa Ta’ala yang telah
memberikan kesehatan jasmani dan rohani, sehingga kami bisa menyelesaikan makalah mata
kuliah Parasitologi dengan baik tepat pada waktunya. Sholawat serta salam kami haturkan
kepada Nabi Besar Muhammad Shallallahu ‘Alaihi Wasallam, beserta keluarganya,
sahabatnya dan para pengikutnya.

Sekilas tentang isi dari makalah ini yaitu membahas tentang Cacing Fasciola Hepatica
(Cacing Hati). Semoga dengan adanya makalah ini dapat menambah ilmu pengetahuan dan
kami bisa mengaplikasikannya.

Tujuan dari penulisan makalah ini adalah untuk memenuhi tugas mata kuliah
Parasitologi. Kami juga mengucapkan terimakasih kepada semua pihak yang turut serta
dalam pembuatan makalah ini. Dan saya ucapkan terima kasih kepada dosen pembimbing.
Tanpa kalian, mungkin makalah ini tidak akan selesai tepat pada waktunya.

Selain itu, kami sadar bahwa dalam menyusun makalah ini masih banyak yang harus
diperbaiki, maka dari itu saran dan kritik yang sifatnya membangun sangat kami harapkan
agar kedepannya bisa lebih baik lagi.

Jakarta, Maret 2020

Penulis

BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Trematoda disebut sebagai cacing hisap karena cacing ini memiliki alat penghisap. Alat
penghisap terdapat pada mulut di bagian anterior alat hisap (Sucker) ini untuk menempel
pada tubuh inangnya, makanya disebut pula cacing hisap. Pada saat menempel cacing ini
menghisap makanan berupa jaringan atau cairan tubuh inangnya. Dengan demikian maka
trematoda merupakan hewan parasit karena merugikan dengan hidup di tubuh organisme dan
mendapatkan makanan tersedia di tubuh inangnya. Trematoda dewasa pada umumnya hidup
di dalam hati, usus, paru-paru, ginjal, kantong empedu, dan pembuluh darah ruminansia
maupun manusia. Trematoda berlindung di dalam tubuh inangnya dengan melapisi
permukaan tubuhnya dengan kutikula, permukaan tubuhnya tidak memiliki silia. Contohnya
Trematoda adalah cacing hati (Fasciola hepatica).

Fasciolosis adalah penyakit cacing yang disebabkan oleh dua trematoda Fasciola


hepatica dan Fasciola gigantica. Penyakit ini disebabkan oleh trematoda yang bersifat
zoonosis. Fasciola hepatica menimbulkan banyak kekhawatiran, karena distribusi dari kedua
inang definitif cacing sangat luas dan mencakup mamalia herbivora, termasuk manusia.
Siklus hidup dari siput air tawar sebagai hospes perantara parasit (Levine, 1990).

Fasciolosis merupakan penyakit parasiter yang disebabkan oleh cacing pipih (trematoda)


dan umumnya menyerang ruminansia, seperti sapi, kerbau, dan domba. CHEN dan MOTT
(1990) dan ESTEBAN (1998) malaporkan bahwa sejak 20 tahun terakhir ini, kasus kejadian
fasciolosis pada manusia semakin banyak. Umumnya kasus tersebut terjadi di negara empat
musim atau subtropis dan disebabkan oleh cacing trematoda Fasciola hepatica. Mengingat
tingginya prevalensi penyakit ini pada ternak dibeberapa daerah di Indonesia, maka perlu
diwaspadai kemungkinan terjadinya penularan penyakit ini pada manusia di Indonesia. Ada
dugaan bahwa pola makan tertentu pada manusia dapat mengakibatkan terjadinya fasciolosis
pada manusia di Indonesia ( S.Widjajanti: 2004).

BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Sejarah Berkembangnya Fasciola Hepatica

Menurut Prof Kurniasih, Fasiolosis adalah penyakit yang umumnya dijumpai pada
ternak herbivora yang disebabkan oleh ''Fasciola hepatica'' atau ''Fasciola gigantica''. Spesies
tersebut dapat menular ke manusia dan kurang lebih 2,5 juta manusia di dunia terinfeksi oleh
fasciolosis tersebut (WHO, 1995). Fasciola hepatica berasal dari Eurasia dan menyebar ke
Amerika dan Australia.

Berdasarkan sejarah pemerintah Belanda telah mengimpor sapi dari Inggris dan India
untuk memperbaiki jenis sapi lokal, kedua spesies Fasciola itu mungkin telah terbawa dan
menulari sapi lokal. Kurang lebih 80 persen ternak ruminansia terutama kerbau di Indonesia
terserang fasciolosis sedangkan prevalensi fasciolosis di Indonesia berkisar antara 60-90 . Di
Indonesia Fasciola hepatica pertama kali dilaporkan oleh Van Velzen (1891) dari kerbau,
kemudian Kraneveld (1924) menemukan cacing tersebut pada sapi. Kemudian Fasciola
hepatica ditemukan juga pada hewan domestik dan hewan liar lainnya.

2.2 Penyebaran Fasciola Hepatica

Fasciola hepatica umumnya ditemukan di negara empat musim atau subtropis seperti


Amerika Selatan, Amerika Utara, Eropa, Afrika Selatan, Rusia, Australia dan lain
sebagainya. (S. Widjajanti: 2004). Dalam siklus hidupnya, cacing Fasciola
hepatica memerlukan induk semang utama, yaitu siput Lymnaea truncatula di Eropa dan
Asia, Lymnaea tomentosa di Australia, Lymnaea Bulimoides di Amerika Utara dan Lymnaea
collumella di Hawaii, Puerto Rico, New Zealand dan Afriko Selatan. Di Perancis ditemukan
secara alami, siput Lymnaea ovula dan siput Planorbis leucostoma dapat terinfeksi Fasciola
hepatica dengan prevalensi masing-masing sebesar 1,4% don 0,1%.

2.3 Taksonomi Fasciola Hepatica

Kingdom : Animalia

Phyulm   : Platyhelminthes
Kelas       : Trematoda

Ordo        : Echinostomida

Famili      : Fasciolidea

Genus      : Fasciola

Spesies    : Fasciola hepatica  

2.4 Morfologi Cacing Hati

Fasciola hepatica atau disebut juga Cacing hati merupakan anggota


dari Trematoda (Platyhelminthes). Cacing hati mempunyai ukuran panjang 2,5 – 3 cm dan
lebar 1 - 1,5 cm. Pada bagian depan terdapat mulut meruncing yang dikelilingi oleh alat
pengisap, dan ada sebuah alat pengisap yang terdapat di sebelah ventral sedikit di belakang
mulut, juga terdapat alat kelamin. Bagian tubuhnya ditutupi oleh sisik kecil dari kutikula
sebagai pelindung tubuhnya dan membantu saat bergerak.

Ciri-ciri cacing dewasa :

1. Berbentuk pipih seperti daun dengan bentuk bahu yang khas, karena adanya cephalic
cone (tonjolan konis), sedangkan bagian posterior lebih besar
2. Ukuran : panjang 20 – 30 mm dan lebar 8 – 13 mm
3. Mempunyai 2 buah batil isap (sucker) yaitu oral sucker dan ventral sucker yang sama
besarnya (diameter ± 1 – 1,5 mm) Tractus digestivus mulai pharynx dajnoesophagus
yang pendek dan khas, intestinal pecah menjadi dua coecum yang berbentuk seperti
huruf Y yang terbalik dan masing-masing coecum bercabang sampai ujung posterior
4. Testis sebanyak 2 buah dan bercabang-cabang kecil sehingga disebut Dendritic
5. Ovarium bercabang-cabang terletak dekat testis
6. Kelenjar vitelaria bercabang-cabang secara merata fi bagian lateral dan posterior
7. Uterus relatif pendek dan berkelok-kelok

Ciri-ciri telur Fasciola hepatica :


1. Telur besar, berbentuk ocal dan beropeculum
2. Ukuran : panjang 130 -150 μm dan lebar 60 – 90 μm
3. Dinding satu lapis tipis
4. Berwarna kuning kecoklatan

Ciri umum :

1. Bentuk tubuh seperti daun


2.  Bentuk luarnya tertutup oleh kutikula yang resisten merupakan modifikasi dari
epidermis
3. Cacing dewasa bergerak dengan berkontraksinya otot-otot tubuh, memendek,
memanjang dan membelok
4. Dalam daur hidup cacing hati ini mempunyai dua macam inang yaitu: inang perantara
yakni siput air dan inang menetapnya yaitu hewan bertulang belakang pemakan
rumput seperti sapi dan domba
5. Merupakan entoparasit yang melekat pada dinding duktusbiliferus atau pada
epithelium intestinum atau pada endothelium venae dengan alat penghisapnya
6. Makanan diperoleh dari jaringan-jaringan, sekresi dan sari-sari makanan dalam
intestinum hospes dalam bentuk cair, lendir atau darah.
7. Di dalam tubuh, makanan dimetabolisir dengan cairan limfa, kemudian sisa-sisa
metabolisme tersebut dikeluarkan melalui selenosit.
8. Perbanyakan cacing ini melalui auto-fertilisasi yang berlangsung pada Trematoda
bersifat entoparasit, namun ada juga yang secara fertilisasi silang melalui canalis
laurer.

2.5 Habitat Fasciola Hepatica

Cacing ini hidup pada habitat air tawar dan tempat-tempat yang lembab dan
basah. Cacing memang memerlukan kondisi lingkungan yang basah, artinya cacing tersebut
bisa tumbuh dan berkembang biak dengan baik bila tempat hidupnya berada pada kondisi
yang basa dan lembab. Pada kondisi lingkungan yang basah atau lembab, perlu juga
diwaspadai kehadiran siput air tawar yang menjadi inang perantara cacing sebelum masuk ke
tubuh ternak. Pada umumnya Fasciola hepatica hidup di dalam hati, usus, paru-paru, ginjal,
kantong empedu, dan pembuluh darah ruminansia maupun manusia.

2.6 Siklus Hidup Fasciola Hepatica

Dalam daur hidup cacing hati ini mempunyai tiga macam hospes yaitu:

1. Hospes definitive (fase seksual)    : Manusia, kambing, sapi dan biri – biri
2. Hospes perantara I (fase aseksual) : Keong air / siput
3. Hospes perantara II : Tumbuhan air

Siklus Hidup Cacing Fesciola Hepatica :

1. Cacing dewasa bertelur di dalam saluran empedu dan kantong empedu sapi atau
domba. Kemudian telur keluar ke alam bebas belum berembrio dan belum infektif
selama 8-12 minggu bersama feses domba. Bila mencapai tempat basah, telur ini akan
menetas menjadi larva bersilia yang disebut mirasidium. Mirasidium akan mati bila
tidak masuk ke dalam tubuh siput air tawar (Lymnea auricularis-rubigranosa).
2. Di dalam tubuh siput ini, mirasidium tumbuh menjadi sporokista (menetap dalam
tubuh siput selama + 2 minggu).
3. Sporokista akan menjadi larva berikutnya yang disebut Redia. Hal ini berlangsung
secara partenogenesis.
4. Redia akan menuju jaringan tubuh siput dan berkembang menjadi larva berikutnya
yang disebut serkaria yang mempunyai ekor. Dengan ekornya serkaria dapat
menembus jaringan tubuh siput dan keluar berenang dalam air.
5. Di luar tubuh siput, larva dapat menempel pada rumput untuk 5-7 minggu. Serkaria
melepaskan ekornya dan menjadi metaserkaria. Metaserkaria membungkus diri
berupa kista yang dapat bertahan lama menempel pada rumput atau tumbuhan air
sekitarnya.
6. Apabila rumput atau tumbuhan air tersebut termakan oleh domba atau manusia, maka
kista dapat menembus dinding ususnya, kemudian masuk ke dalam hati, saluran
empedu dan dewasa di sana untuk beberapa bulan. Cacing dewasa bertelur kembali
dan siklus ini terulang lagi.

2.7 Cara Penularan

Sumber utama penularan fasciolosis pada manusia adalah dari kebiasaan masyarakat yang
gemar mengkonsumsi tanaman/tumbuhan air, seperti selada air dalam keadaan mentah yang
tercemar metaserkaria cacing Fasciola hepatica.

Penularan ditentukan oleh keberadaan siput dari Famili Lymnaeidae, keberadaan hewan
mamalia peka lain di sekitar tempat tinggal penduduk. Penggunaan air yang tercemar
metaserkaria Fasciola hepatica. (BARGUES et al., 1996), misalnya air tersebut diminum
dalam keadaan mentah. (TAIRA et al., 1997) menduga bahwa penularan fasciolosis yang
disebabkan oleh Fasciola hepatica pada manusia dapat pula terjadi akibat kebiasaan sebagian
masyarakat di Eropa yang gemar mengkonsumsi hati mentah. (S. Widjajanti: 2004)

2.8 Gejala Klinis


1. Terjadi sejak larva masuk kesaluran empedu sampai menjadi dewasa. Parasit ini dapat
menyebabkan iritasi pada saluran empedu dan penebalan dinding saluran. Selain itu,
dapat terjadi perubahan jaringan hati berupa radang sel hati. Pada keadaan lebih lanjut
dapat timbul sirosis hati disertai asites dan edema. Luasnya organ yang mengalami
kerusakan bergantung pada jumlah cacing yang terdapat disaluran empedu dan
lamanya infeksi;
2. Masa inkubasi Fascioliasis menginfeksi pada manusia sangat bervariasi, karena dapat
berlangsung dalam beberapa hari dalam 6 minggu atau antara 2-3 bulan. Bahkan
dapat lebih lama dari waktu tersebut;
3. Gejala klinik yang paling menonjol adalah anemia, selain itu dapat pula terjadi
demam dengan suhu 40-42 derajat, nyeri di bagian perut dan gangguan pencernaan;
4. Bila penyakit berlanjut, dapat terjadi hematomegaliasites di rongga perut, sesak nafas
dan gejala kekuningan;
5. Gejala dari penyakit fasioliasis biasanya pada stadium ringan tidak ditemukan gejala.
Stadium progresif ditandai dengan menurunnya nafsu makan, perut terasa penuh,
diare dan pembesaran hati. Pada stadium lanjut didapatkan sindrom hipertensi portal
yang terdiri dari perbesaran hati, kanker hati, ikterus, asites, terbentuknya batu
empedu, dan serosis hepatis.

2.9 Diagnosa Penyakit Fasciola Hepatica


1. Pemeriksaan tinja

Merupakan cara yang paling umum dan sederhana yang bertujuan untuk menemukan
adanya telur cacing dengan menggunakan uji sedimentasi.

2. Pemeriksaan darah

Dilakukan dengan uji ELISA (enzyme linked Immunosorbent Assay) untuk mengetahui
adanya antibody atau antigen didalam tubuh penderita. Pada infeksi parasite umumnya sel
darah putih yang meningkat tajam adalah eosinofil, walaupun hal ini tidak spesifik dan
seringkali di ikuti dengan peningkatan isotope antibody immunoglobulin (IgE) di serum
darah.Menurut Sampaio Silva et al(1985), tingkat isotope antibody IgE berkorelasi positif
dengan jumlah telur cacing dalam tinja,usia penderita,gejala klinis dan jumlah eosinofil.

2.10 Pencegahan Penyakit Fasciola Hepatica


1. Industri

Pembuangan air limbah/air kotor secara aman, pengobatan ternak terhadap parasit
tersebut, pencegahan agar tidak ada hewan yang datang ke tempat pembudidayaan
tanaman selada air dan pengontrolan air yang digunakan untuk irigasi pembudidayaan
tersebut.

2. Tempat pengelolaan makanan/rumah tangga

Memasak makanan sampai benar-benar matang, konsumen harus menghindari


konsumsi selada air yang mentah. Kalaupun tetap harus mengkonsumsi sayuran
mentah, sebaiknya sayuran tersebut dicuci dahulu dengan larutan cuka atau larutan
potassium permanganat sebelum dikonsumsi.

3. Pengendalian Siput

Pengendalian siput dengan moluskisida agar terputusnya siklus hidup


dari Fasciola hepaticajika memungkinkan.

4. Pengendalian pada hewan ternak

Kandang harus dijaga agar tetap bersih, dan kandang sebaiknya tidak dekat kolam
atau selokan.

2.11 Epidemiologi Fasciola Hepatica


Fasciola gigantica merupakan cacing hati asli Indonesia, sedangkan Fasciola hepatica
diduga masuk Indonesia bersama-sama dengan sapi-sapi yang didatangkan dari luar
negeri. Val velzen, merupakan orang pertama yang melaporkan penemuan adanya cacing
tanah Fasciola spp pada hewan ternak kerbau yang mati karena Rinderpest di tanggerang
pada tahun 1890 (Muchlis 1985). Pada umumnya infeksi Fasciola spp menyerang sapi,
domba dan kambing. Selain itu juga dapat menyerang hewan lain seperti babi, anjing,
rusa, kelinci, marmot, kuda bahkan infeksinya pernah ditemukan pada manusia di cuba,
prancis selatan, inggris dan aljazair (Brown 1979). Infeksi pada manusia kurang dari 1 %
(Noble dan Elmer 1989).
Tingkat prevalensi penyebaran cacing tanah (Fasciola spp) pada ternak masih
menunjukkan angka-angka yang tinggi, terutama di Negara-negara berkembang termasuk
Indonesia. Prevalensi penyebaran Fasciola spp di Indonesia menurut FAO (2012),
mencapai 14 % - 28 %. Infeksi pada sapi dan kerbau lebih tinggi apabila dibandingkan
dengan kambing dan domba, pada sapi dan kerbau mencapai 25-30% pada domba dan
kambing 6-10% (Anonim 2006).
Kejadian infeksi Fasciola spp berkisar antara 50-80% untuk sapi dan kerbau di pulau
jawa dan dibawah 10% untuk pulau sumba (muchlis 1985). Kejadian infeksi cacing hati
di Indonesia, dari dataran rendah sampai ketinggian 2000 m tetap ditemukan Fasciola
gigantica. Hal ini karena Lymnaea rubiginosa merupakan satu-satunya siput yang menjadi
hospes antara manpu hidup baik di dataran rendah maupun dataran tinggi. Siput dapat
ditemukan dalam air yang mengalir dengan kecepatan dibawah 20 cm tiap detik. Dalam
air yang tergenang dan air yang keruh tidak ditemukan, hal ini dimungkinkan kandungan
oksigen yang rendah dan lebih tinggi pada air jernih dan bergerak (Brotowijoyo 1987).
Lymnaea rubiginosa tidak tahan kekeringan, tanpa makanan dalam lumpur yang memiliki
kelembabab 35 % siput mati dalam waktu 2-14 hari, kelembaban 76% mati dalam 4-16
hari dan dalam kelembaban 80% mati dalam 8-16 hari. Kelangsungan hidup cacing hati
tergantung pada kehadiran siput serta kecocokan toleransi siput dan fase hidup bebas
cacing, terutama suhu dan pH air (Kusumamiharja 1992).

BAB III
PENUTUPAN
3.1 Kesimpulan

Fasciolosis adalah penyakit cacing yang disebabkan oleh Fasciola hepatica.


Penyakit ini disebabkan oleh trematoda yang bersifat zoonosis. Pada stadium lanjut
didapatkan sindrom hipertensi portal yang terdiri dari perbesaran hati, kanker hati,
ikterus, asites, terbentuknya batu empedu, dan serosis hepatis.

Didalam usus domba dan manusia Fasciola hepatica merupakan hospes


definitifnya dan di dalam tubuh Lymnaea (siput) sebagai hospes perantara. Cacing ini
pada umumnya hidup di dalam hati, usus, paru-paru, ginjal, kantong empedu, dan
pembuluh darah ruminansia maupun manusia.

3.2 Saran

Dalam menjaga kesehatan, khususnya dalam hal mengkonsumsi makanan dan


minuman, baik sayuran ataupun daging. Sebaiknya dimasak dengan matang, terutama
sayuran yang berhabitat di air, contohnya seperti kangkung, selada air, dan lain
sebagainya. Dalam mengkonsumsi air pun harus mengkonsumsi air yang higenis dan
tidak tercemar dengan metaserkia dari cacing Fasciola hepatica.

Jika sudah terdiagnosis terjangkit penyakit fasciolosis, sebaiknya segera


memeriksakan diri ke dokter untuk penanganan lebih lanjut. Bagi peternak sapi
ataupun sejenis hewan ruminansia lainnya, sebaiknya tidak membiarkan hewan
ternaknya mencari makan sendiri, karena beresiko terkena penyakit fasciolosis dari
rumput yang dikonsumsi.
DAFTAR PUSTAKA

Ahmad, RZ.2005. BEBERAPA PENYAKIT PARASITIK DAN MIKOTIK PADA SAPI


PERAH YANG HARUS DIWASPADAI. Balai Besar Penelitian Veteriner : Bogor. Jurnal.
Diakses pada tanggal 21 April 2013.

Widjajanti,S.2004.FASCIOLOSIS PADA MANUSIA:MUNGKINKAH TERJADI DI


INDONESIA?.Balai Penelitian Veteriner : Bogor. Jurnal. Diakses pada tanggal 21 April
2013.

Soedarto.2009. PENGOBATAN PENYAKIT PARASIT.CV.Sagung Seto: Jakarta

http://wailineal.blogspot.com/2011/12/fascioliasis-etiologi-fasciola-hepatica.html

http://snd-inf.blogspot.com/2011/04/cacing-hati-fasciola-hepatica.html

http://crocodilusdaratensis.wordpress.com/2010/10/16/fasciola-hepatica/

https://currikicdn.s3-us-west-2.amazonaws.com/resourcedocs/54d3781e7e57c.pdf

https://medlab.id/fasciola-hepatica/

Anda mungkin juga menyukai