Anda di halaman 1dari 7

TREMATODA USUS

Trematoda usus yang berperan dalam ilmu kedokteran adalah dari keluarga Fasciolidae,
Echinostomatidae dan heterophydae. Dalam daur hidup trematoda usus tersebut, seperti pada
trematoda lain, diperlukan keong sebagai hospes perantara I, tempat mirasidium tumbuh menjadi
sporokista, berlanjut menjadi redia dan serkaria. Serkaria yang dibentuk kemudian melepaskan diri
untuk keluar dari tubuh keong berenang bebas dalam air.Tujuan akhir serkaria tersebut adalah hospes
perantara II, yang dapat berupa keong jenis lain yang lebih besar, beberapa jenis ikan air tawar atau
tumbuh-tumbuhan air.
Manusia mendapatkan penyakit cacing daun karena memakan hospes perantara II yang tidak
dimasak sampai matang.

Keluarga Fasciolidae
Cacing trematoda Fasciolopsis buski adalah suatu trematoda yang didapatkan pada manusia
atau hewan. Trematoda tersebut mempunyai ukuran terbesar diantara trematoda lain yang ditemukan
pada manusia. Cacing ini pertama kali ditemukan oleh Busk (1843) pada autopsi seorang pelaut yang
meninggal di London.
Manusia dan babi dapat menjadi hospes definitif cacing tersebut, kelinci juga dapat dihinggapi.
Penyakit yang disebabkan cacing ini disebut fasiolopsiasis.
Fasciolopsis buski adalah cacing trematoda yang sering ditemukan pada manusia dan babi di
RRC. Cacing ini juga dilaporkan dari berbagai Negara seperti Taiwan, Vietnam, Thailand, India dan
Indonesia.
Cacing dewasa pada manusia mempunyai ukuran panjang 2-7,5 dan lebar 0,8-2,0 cm. Bentuknya
agak lonjong dan tebal. Biasanya kutikulum ditutupi duri-duri kecil yang letaknya melintang. Duri-duri
tersebut sering rusak karena cairan usus. Batil isap kepala berukuran seperempat ukuran batil isap
perut. Saluran pencernaan terdiri dari prefaring yang pendek, faring yang menggelembung, esophagus
yang pendek, serta sepasang sekum yang tidak bercabang dengan dua indentasi yang khas. Dua buah
testis yang bercabang-cabang letaknya agak tendem di bagian posterior dari cacing.ovarium benuknya
agak bulat.
Telur berbentuk agak lonjong, berdinding tipis transparan, dengan sebuah operculum yang agak
terlihat pada sebuah kutubnya, berukuran panjang 130-140 mikron dan lebar 80-85 mikron.
Setiap ekor cacing dapat mengeluarkan 15.000-48.000 butir telur sehari. Telur-telur tersebut
dalam air bersuhu 27-32 C, menetas setelah 3 sampai 7 minggu. Mirasidium yang bersilia keluar dari
hospes perantara I yang sesuai. Biasnya hospes perantara I tersebut adalah keong air tawar. Dalam
keong mirasidium tumbuh menjadi sporokista yang kemudian yang kemudian berpindah ke daerah hati
jantung dan hati keong. Bila sporokista matang melepaskan banyak redia induk. Dalam redia induk
dibentuk banyak redia anak, yang pada gilirannya membentuk serkaria.
Serkaria dapat berenang bebas dalam air, berbentuk seperti kecebong, ekornya lurus dan
meruncing pada ujungnya, berukuran kira-kira 500 mikron dengan badan agak bulat berukuran 195x145
mikron. Serkaria yang dalam batas waktu tertentu belum menemukan hospes, akan punah sendiri.
Serkaria akan mencari hospes perantara II berupa tumbuh-tumbuhan air untuk tumbuh menjadi
metaserkaria.
Bila seseorang memekan tumbuh-tumbuhan air yang mengandung metaserkaria tanpa dimasak
kurang matang maka dalam waktu 25-30 hari metaserkaria tumbuh menjadi cacing dewasa dan dalam
waktu 3 bulan ditemukan telur-telurnya dalam tinja.
Cacing dewasa Fasciolopsis buski, melekat dengan perantaraan batil isap perutnya pada mukosa
usus muda seperti duodenum dan yeyenum. Cacing ini memakan isi usus maupun permukaan mukosa
usus. Pada tempat pelekatan cacing tersebut terdapat peradangan,dan bila terjadi erosi kapiler pada
tempat tersebut maka timbulah perdarahan. Cacing dalam jumlah besar dapat menimbulkan sumbatan,
pada infeksi berat gejala karena metabolit cacing lebih menonjol, seperti edema pada muka dinding
perut dan tungkai bawah.
Gejala klinis yang dini pada akhir inkubasi, adalah diare dan nyeri ulu hati (epigastrium). Diare
yang mulanya diselingi konstipasi. Warna tinja menjadi hijau kuning, berbau bususk dan berisi makanan
yang tidak dicerna. Pada beberapa pasien , napsu makan cukup baik atau berlebihan, walaupun ada
yang mengalami gejala mual, muntah atau tidak mempunyai selera, semua tergantung dari berat
ringannya penyakit.
Sering gejala klinis seperti diatas bila didapatkan disuatu daerah endemi cukup untuk
menunjukkan adanya penderita faisolopsiasis, namun diagnosis pasti adalh dengan menemukan telur
dalam tinja.
Penyakit fasciolopsis yang berat mungkin menyebabkan kematian, akan tetapi bila dilakukan
pengobatan sedini mungkin, masih dapat member harapan untuk sembuh. Masalah yang penting
adalah reinfeksi, yang sering terjadi pada penderita.
Infeksi pada manusia tergantung dari kebiasaan makan tumbuh-tumbuhan air yang dimasak
kurang matang. Membudidayakan tumbuh-tumbuhan air yang mentah dan tidak dimasak sampai
matang. Membudidayakan tumbuh-tumbuhan air didaerah tercemar dengan kotoran manusia maupun
babi, dapat menyebarluaskkan penyakit tersebut. Kebiasaan mengenai defekasi, pembuangan kotoran
ternak dan cara membudidayakan tumbuh-tumbuhan air untuk konsumsi harus diubah atau diperbaiki,
untuk mencegah meluasnya penyakit fasiolopsiasis.
Fasiolopsiasis adalah endemic di desa Sei Papuyu, Kalimantan Selatan. Prevalensinya adalah
adalah 27,0%. Prevalensi tertinggi terdapat pada kelompok umur 5-14 tahun, yaitu 56,8%, sedangkan
prevalensi pada anak sekolah adalah 79,1%. Survei 12 bulan setelah pengobatan menunjukkan
prevalensi yang tidak banyak berbeda, karena kemungkinan terjadinya reinfeksi.
Keluarga Echinostomatidae

Cacing genus Echinostoma yang ditemukan pada manusia kira-kira 11 spesies atau lebih.
Garrison adalah sarjana yang pertama kali menemukan telur Echinostoma ilocanum pada narapidana
pribumi di Filipina. Tubangui (1931), menemukan bahwa Rattus rattus norvegicus, merupakan hospes
reservoir cacing tersebut. Chen (1934) melaporkan bahwa anjing-anjing setempat di Canton, RRC,
dihinggapi cacing tersebut. Brug dan Tessch (1937), melaporkan spesies Echinostoma lindoense pada
manusia di Palu, Sulawesi Tengah. Bonne, Bras dan Lie Kian Joe (1948), menemukan Echinostoma
ilocanum pada penderita sakit jiwa di Jawa.
Berbagai sarjana telah melaporkan, bahwa di Indonesia ditemukan lima spesies cacing
Echinostoma, yaitu: Echinostomailocanum, Echinostoma malayanum, Echinostoma Lindoense,
Echinostoma recurvatum.
Hospes cacing keluarga Echinostomatidae sangat beraneka ragam, yaitu manusia, tikus, anjing,
burung, ikan. Penyakit yang disebabkan disebut ekinostomiasis. Cacing tersebut ditemukan di Filipina,
Cina, Indonesia dan juga India.
Cacing Trematoda dari keluarga Echinostomatidae, dapat dibedakan dari cacing trematoda lain,
dengan adanya cirri-ciri khas berupa duri-duri leher dengan jumlah antara 37 buah sampai kira-kira 51
buah, letaknya dalam dua baris beruppa tapal kuda, melingkari bagian belakang serta samping batil isap
kepala. Cacing tersebut berbentuk lonjong, berukuran panjang dari 2,5 mm hingga 13-15 mm dan lebar
0,4-0,7 mm hingga 2,5-3,5 mm.
Testis berbentuk agak bulat, berlekuk-lekuk, letaknya bersusun tandem pada bagian posterior
cacing. Cacing dewasa hidup di usus halus, mempunyai warna agak merah ke abu-abuan. Telur
berukuran antara 103-137 x 59-75 mikron. Telur setelah 3 minggu dalam air, berisi mirasidium. Bila telur
menetas, mirasidium keluar dan berenang bebas untuk hinggap pada hospes perantara I yang berupa
keong jenis kecil.
Dalam hospes perantara I, mirasidium tumbuh menjadi sporokista, kemudian menjadi redia
induk, redia anak, yang kemudian membentuk serkaria. Serkaria yang pada suatu saat berjumlah
banyak, dilepaskan ke dalam air. Serkaria ini kemudian hinggap pada hospes perantara II untuk menjadi
metaserkaria yang efektif. Hospes perantara II adalah jenis keong yang besar.
Biasanya cacing Echinostoma meneybabkan kerusakan ringan pada mukosa usus dan tidak
menimbulkan gejala yang berarti. Infeksi yang berat dapat menyebabkan timbulnya radang kataral pada
dinding usus, atau ulserasi. Pada anak dapat menimbulkan gejala diare, sakit perut, anemia dan sembab
(edema).
Diagnosis ditegakan dengan menemukan telur dalam tinja. Dan penderita yang tidak
menunjukkan gejala yang berat dapat sembuh setelah pengobatan.
Keluarga Heterophyidae

Cacing keluarga heterophyidae adalah cacing trematoda kerdil, berukuran sangat kecil, hanya
kurang lebih beberapa millimeter. Hospes cacing ini sangat banyak, umumnya makhluk pemakan ikan
seperti manusia, kucing, anjing, rubah dan jenis burung-burung tertentu. Nama penyakitnya adalah
heterofiiasis.
Cacing ini ditemukan di Mesir, Turki, Jepang, Korea dan RRC, Taiwan, Filipina, dan Indonesia.
Cacing dari keluarga Heteropyidae adalah: Heterophyes heterophyes, Metagonimus yokogawai,
Haplorchis yokogawai. Di Indonesia, Lie Kian Joe (1951) menemukan cacing Haplorchis yokogawai pada
autopsi 3 orang mayat.
Cacing dari keluarga heteropyidae berukuran panjang antara 1- 1,7 mm, dan lebar 0,3-0,75 mm,
kecuali genus haplorchis yang jauh lebih kecil, yaitu panjang 0,41-0,51 mm dan lebar 0,24-0,3 mm.
Disampaing batil isap perut, cirri-ciri khas yang lain adalah batil isap kelamin yang terdapat disebelah kiri
belakang.
Cacing ini mempunyai 2 buah testis yang lonjong, ovarium kecil yang agak bulat, bentuk uterus
sangat berkelok-kelok, letaknya diantara sekum. Telur berwarna agak coklat muda, mempunyai
operculum, berukuran 26,5 – 30 x 15-17 mikron, berisi mirasidium. Mirasidium yang keluar dari telur,
menghinggapi keong air tawar/payau sebagai hospes perantara I dan ikan sebagai hospes perantara II.
Dalam keong, mirasidium tmbuh menjadi sporokista, kemudian menjadi redia induk, redia anak dan
membentuk serkaria. Serkaria masuk ke tubuh ikan dan menjadi metaserkaria.
Manusia mendapat infeksi karena makan daging ikan mentah atau yang dimasak kurang
matang. Metaserkaria yang dimasak kurang matang tumbuh menjadi cacing dewasa dalam 14 hari dan
bertelur.
Pada infeksi cacing keluarga heterophyidae, biasanya stadium dewasa menyebabkan iritasi
ringan pada usus muda, tetapi ada beberapa yang dapat menembus vilus usus. Telurnya dapat
menembus masuk ke aliran getah bening dan menyangkut di katup-katup atau otot jantung dan
mengakibatkan kelainan jantung. Kelainan ini terutama dilaporkan pada infeksi Metagonimus dan
Haplorchis yokogawai. Telur atau cacing dewasa dapat bersarang di jaringan otak dan menyebabkan
kelainan disertai gejala-gejalanya. Gejala klinis yang ditimbulkan oleh infeksi berat cacing tersebut
adalah mual atau kolik dan diare dengan lendir, serta nyeri tekan pada perut.
Diagnosis ditegakkan dengan menemukan telur dalam tinja. Penyakit heterofiasis biasanya
ringan dan tidak membahayakan, dapat dioabti dengan sembuh.
Manusia terutama pedagang ikan dan hewan lain seperti kucing, anjing, dapat merupakan
sumber infeksi bila menderita penyakit cacing tersebut, melalui tinjanya. Telur cacing dalam tinja dapat
mencemari air serta ikan yang hidup di dalamnya. Hospes definitive mendapatkan infeksi karena
memakan ikan mentah atau diamasak kurang matang yang mengandung metaserkaria.
Trematoda darah
Schistosoma atau Bilharzia
Pada manusia ditemukan 3 spesies penting: Schistosoma japonicum, Scistososma mansoni dan
Schistosoma haematobium. Selain yang ditemukan pada manusia masih banyak yang ditemukan pada
binatang dan kadang-kadang menghinggapi manusia.
Hospes definitive schistosoma adalah manusia. Berbagai macam binatang dapat berperan
sebagai hospes reservoir. Pada manusia cacing ini dapat menyebabkan penyakit skistosomiasis atau
bilharziasis.
Cacing dewasa jantan berwarna kelabu atau putih kehitam-hitaman, berukuran 9,5-19,5 mm x
0,9 mm. Badannya berbentuk gemuk bundar dan pada kutikulumnya terdapat tonjolan halus sampai
kasar, tergantung spesiesnya. Cacing betina badannya lenih halus dan panjang, berukuran 16-26 mm x
0,3 mm. pada umumnya uterus berisi 50-300 butir telur. Cacing trematoda ini hidup di pembuluh darah
terutama dalam kapiler darah dan vena kecil dekat permukaan selaput lendir usus atau kandung kemih.
Cacing betini meletakkan telur di pembuluh darah, telur tidak mempunyai operculum. Telur
schistosoma mempunyai duri dan lokalisasi duri tergantung pada spesiesnya. Telur berukuran 95-135 x
50-6- micron. Telur dapat menembus keluar dari pembuluh darah, bermigrasi di jaringan dan akhirnya
masuk ke Schistosoma. Cara infeksi pada manusia adalah serkaria menembus kulit pada waktu manusia
masuk ke dalam air yang mengandung serkaria. Waktu yang diperlukan untuk infeksi adalah 5-10 menit.
Setelah serkaria menembus kulit, larva ini kemudian masuk ke dalam kapiler darah, mengakir dengan
aliran darah masuk ke jantung kanan, lalu paru dan kembali ke jantung kiri, kemudian masuk ke system
peredaran darah besar, ke cabang-cabang vena ported an menjadi dewasa di hati. Setelah dewasa
cacing ini kembali ke vena ported an vena usus atau vena kandung kemih dan kemudian cacing betina
bertelur setelah berkopulasi.
Daur hidup schistosoma: Telur berisi embrio menembus dinding pembuluh darah, masuk ke
rongga usus/kandung kemih keluar dengan tinja/urin masuk ke dalam air (telur menetas dalam air)
mirasidium mirasidium berenang aktif dalam air, mencari keong sebagai hospes perantara
(mirasidium menembus masuk tubuh keong) keong air (mirasiium ,mjd sporokista I, sporokista II,
dan menjadi serkaria) Serkaria keluar dari keong air berenang aktif di dalam air (serkaria
menembus kulit manusia atau hewan) Cacing dewasa hidup di dalam pembuluh darah .
Perubahan-perubahan yang terjadi disebabkan oleh 3 stadium cacing ini, yaitu serkaria, cacing
dewasa dan telur. Yang penting adalah yang disebabkan oleh telur. Perubahan-perubahan pada
skistomiasis dapat dibagi dalam 3 stadium:
1. Masa tunas biologi
a. Gejala kulit dan alergi
Waktu antara serkaria menembus kulit sampai menjadi dewasadi sebut masa tunas
biologic. Perubahan kulit yang timbul berupa eritema dan papula yang diserati perasaan
gatal dan panas. Bila banyak serkaria menembus kulit , maka akan terjadi dermatitis.
Biasanya kelainan kulit hilang dalam waktu 2 atau 3 hari.
Selanjutnya dapat terjadi reaksi alergi yang dapat timbul oleh karena adanya hasil
metabolisme cacing dewasa, atau dari protein asing yang disebabkan adanya cacing
yang mati.
b. Gejala paru
Gejala batuk sering ditemukan, kadang-kadang diserati dengan pengeluaran dahak yang
produktif dan pada beberapa kasus bercampur dengan sedikit darah.
c. Gejala toksemia
Manifestasi akut atau toksisk mulai timbul antara minggu ke 2 sampai minggu ke 8
setelah terjadi infeksi. Berat gejala tergantung dari banyaknya serkaria yang masuk.
Pada infeksi berat jika terdapat banyak serkaria yang masuk, terutama infeksi yang
berulang, maka dapat timbul gejala toksemia yang berat disertai demam tinggi. Pada
stadium ini dapat timbul gejala lain seperti lemah, tidak nafsu makan, mual dan muntah,
sakit kepala dan nyeri tubuh. Diare disebabkan oleh keadaan hipersensitif terhadap
cacing. Pada kasus berat gejala tersebut dapat bertahan sampai 3 bulan. Kadang-
kadang terjadi sakit perut.
2. Stadium akut
Stadium ini dimulai sejak cacing betina bertelur. Telur yang diletakkan dalm pembuluh darah,
masuk ke dalam jaringan sekitarnya dan akhirnya dapat mencapai lumen dg cara menembus
mukosa usus. Efek patologis maupun gejala klinis yang disebabkan telur tergantung dari jumlah
telur yang dikeluarkan.Keluhan yang terjadi pada stadium ini adalah demam, lemas, berat badan
menurun.Disentri biasanya ditemukan pada infeksi berat, pada kasus ringan hanya ditemukan
diare.
3. Stadium menahun
Pada stadium ini terjadi penyembuhan jaringan dengan pembentukan jaringan ikat atau
fibrosis.Hepar yang semula membesar karena peradangan, kemudian mengalami pengecilan
karena terjadi fibrosis. Gejala yang timbul adalah edema yang biasa ditemukan pada tungkai
bawah, bisa pula pada alat kelamin.
Diagnosis ditegakana dengan menemukan telur dalam tinja atau urin.
Schistosoma japonicum
Hospes cacing ini adalh manusia dan berbagai macam binatang seperti anjing, kucing, rusa, tikus
sawah, sapi babi rusa. Parasit ini pada manusia menyebabkan oriental scistosomiasis, skistosomiasis
japonica.
Cacing ini ditemukan di RRC, Jepang, Filipina, Taiwan, Muangtai, Vietnam, Malaisia dan
Indonesia. Di Indonesia hanya ditemukan di Sulawesi Tengah.
Cacing jantan berukuran kira-kira 1,5 cm dan yang betina kira-kira 1,9 cm hidupnya di vena
superior. Telur ditemukan dinding usus halus dan juga di alat-alat dalam seperti hati, paru dan otak.
Kelainan tergantung dari beratnya infeksi. Kelainan yang ditemukan pada stadium I adalah gatal-
gatal (urtikaria). Gejala intoksikasi disertai demam tinggi.

Anda mungkin juga menyukai