Anda di halaman 1dari 20

TREMATODA PARU

Paragonimus westermani
Hospes dan Nama Penyakit
Manusia dan binatang yang memakan ketam/udang batu, seperti kucing, luak, anjing, harimau,
serigala dan lain-lain merupakan hospes cacing ini.

Pada manusia parasit ini menyebabkan paragonimiasis.

Penyebaran Geografik
Cacing ini ditemukan di RRC, Taiwan, Korea, Jepang, filipina, Vietnam, Thailand, India,
Malaysia, Afrika dan Amerika Latin. Di Indonesia ditemukan autokton pada binatang, sedangkan
pada manusia hanya sebagai kasus impor saja.

Cacing dewasa hidup dalam kista di paru. Bentuknya bundar lonjong menyerupai biji kopi,
dengan ukuran 8 – 12 x 4 – 6 mm dan berwarna coklat tua. Batil isap mulut hampir sama besar
dengan batil isap perut. Testis berlobus terletak berdampingan antara batil isap perut dan ekor.
Ovarium terletak di belakang batil isap perut. Telur berbentuk lonjong berukuran 80 – 118
mikron x 40 – 60 mikron dengan operkulum agak tertekan ke dalam. Waktu keluar bersama tinja
atau sputum, telurnya belum berisi mirasidium.

Telur menjadi matang dalam waktu kira-kira 16 hari, lalu menetas. Mirasidium mencari keong
air dan dalam keoang air terjadi perkembangan :

M → S → R1 → R2 → SK

Serkaria keluar dari keong air, berenang mecari hospes perantara Ii, yaitu ketam atau udang batu,
lalu membentuk metaserkaria di dalam tubuhnya.

Infeksi terjadi dengan makan ketam atau udang batu yang tidak dimasak sampai matang.

Dalam hospes definitif, metaserkaria menjadi cacing dewasa mudadi duodenum. Cacing dewasa
muda bermigrasi menembus dinding usus, masuk ke rongga perut, menembus diafragma dan
menuju ke paru. Jaringan hospes mengadakan reaksi jaringan sehingga cacing dewasa
terbungkus dalam kista, biasanya ditemukan 2 ekor di dalamnya.

Karena cacing dewasa berada dalam kista di paru, maka gejala dimulai dengan adanya batuk
kering yang lama kelamaan menjadi batuk darah. Keadaan ini disebut endemic hemoptysis.
Cacing dewasa dapat pula bermigrasi ke alat-alat lain dan menimbulkan abses pada alat tersebut
(antara lain hati, limpa, otak, otot, dinding usus).
Siklus Hidup

Diagnosis
Diagnosis dibuat dengan menemukan telur dalam sputum atau cairan pleura. Kadang-kadang
telur juga ditemukan dalam tinja. Reaksi serologi sangat membantu untuk menegakkan
diagnosis.

Pengobatan
Prazikuantel dan bitionol merupakan obat pilihan.

Epidemiologi
Penyakit ini berhubungan erat dengan kebiasaan makan ketam yang tidak dimasak dengan baik.
Penyuluhan kesehatan yang berhubungan erat dengan cara masak ketam dan pemakaian jamban
yang tidak mencemari air sungai dan sawah dapat mengurangi transmisi paragonimiasis.

TREMATODA USUS

Trematoda usus yang berperan dalam ilmu kedokteran adalah dari keluarga FASCIOLIDAE,
ECHINOSTOMATIDAE dan HETEROPHYIDAE. Dalam daur hidup trematoda usus tersebut,
seperti pada trematoda lain, diperlukan keong sebagai hospes perantara I, tempat mirasidium
tumbuh menjadi sporokista, berlanjut menjadi redia dan serkaria. Serkaria yang dibentuk dari
redia, kemudian melepaskan diri untuk keluar dari tubuh keong dan berenang bebas dalam air.
Tujuan akhir serkaria tersebut adalah hospes perantara II, yang dapat berupa keong jenis lain
yang lebih besar, beberapa jenis ikan air tawar atau tumbuh-tumbuhan air.

Manusia mendapatkan penyakit cacing daun karena memakan hospes perantara II yang tidak
dimasak sampai matang.

Siklus Hidup

Keluarga FASCIOLIDAE

Cacing trematoda Fasciolopsis buski adalah suatu trematoda yang didapatkan pada manusia atau
hewan. Trematoda tersebut mempunyai ukuran tersebar di antara trematoda lain yang ditemukan
pada manusia.
Cacing ini pertama kali ditemukan oleh Busk (1843) pada autopsi seorang pelaut yang
meninggal di London.

Hospes dan Nama Penyakit


Kecuali manusia dan babi yang dapat menjadi hospes definitif cacing tersebut, hewan lain seperti
anjing dan kelinci juga dapat dihinggapi. Penyakit yang disebabkan cacing ini disebut
fasiolopsiasis.

Siklus Hidup

Distribusi Geografik
Fasciolopsis buski adalah cacing trematoda yang sering ditemukan pada manusia dan babi di
RRC. Cacing ini juga dilaporkan dari berbagai negara seperti Taiwan, Vietnam, Thailand, India
dan Indonesia.
Cacing dewasa yang ditemukan pada manusia mempunyai ukuran panjang 2 – 7,5 cm dan lebar
0,8 – 2,0 cmm. Bentuknya agak lonjong dan tebal. Biasanya kutikulum ditutupi duri-duri kecil
yang letaknya melintang. Duri-duri tersebut sering rusak karena cairan usus. Batil isap kepala
berukuran kira-kira seperempat ukuran batil isap perut. Saluran pencernaan terdiri dari prefaring
yang pendek, faring yang menggelembung, esofagus yang pendek, serta sepasang sekum yang
tidak bercabang dengan dua indentasi yang khas. Dua buah testis yang bercabang-cabang
letaknya agak tandem di bagian posterior dari cacing. Vitelaria letaknya lebih lateral dari sekum,
meliputi badan cacing setinggi batil isap perut sampai ke ujung badan. Ovarium bentuknya agak .
Uterus berpangkal pada ootip, berkelok-kelok ke arah anterior badan cacing, untuk bermuara
pada atrium genital, pada sisi anterior batil isap perut.

Telur berbentuk agak lonjong, berdinding tipis transparan, dengan sebuah operkulum yang nyaris
terlihat pada sebuah kutubnya, berukuran panjang 130 – 10 mikron dan lebar 80 – 85 mikron.
Setiap ekor cacing dapat mengeluarkan 15.000 – 48.000 butir telur sehari. Telur-telur tersebut
dalam air bersuhu 27° – 32 °C, menetas setelah 3 sampai 7 minggu. Mirasidium yang bersilia
keluar dari telur yang menetas, berenang bebas dalam air untuk masuk ke dalam tubuh hospes
perantara I yang sesuai. Biasanya hospes perantara I tersebut adalah keong air tawar, seperti
genus Segmentina, Hippeutis dan Gyraulus. Dalam keong, mirasidium tumbuh menjadi
sporokista yang kemudian berpindah ke daerah jantung dan hati keong. Bila sporokista matang,
menjadi koyak dan melepaskan banyak redia induk. Dalam redia induk dibentuk banyak redia
anak, yang pada gilirannya membentuk serkaria.
Serkaria, seperti mirasidium, dapat berenang bebas dalam air, berbentuk seperti kecebong,
ekornya lurus dan meruncing pada ujungnya, berukuran kira-kira 500 mikron dengan badan agak
bulat berukuran 195 mikron x 145 mikron. Badan serkaria ini mirip cacing dewasa yaitu
mempunyai batil isap kepala dan batil isap perut. Mirasidium atau serkaria yang dalam batas
waktu tertentu belum menemukan hospes, akan punah sendiri. Serkaria dapat berenang dengan
ekornya, atau merayap dengan menggunakan batil isap. Serkaria tidak menunjukkan
kecenderungan memilih tumbuh-tumbuhan tertentu untuk tumbuh menjadi metaserkaria yang
berbenruk kista. Tumbuh-tumbuhan yang banyak dihinggapi metaserkaria
adalah Trapa, Eliocharis, dan Zizania. Laporan peneliti-peneliti lain menyatakan bahwa tumbuh-
tumbuhan seperti Nymphoea lotus dan Ipomoea juga dihinggapi metaserkaria. Bila seorang
memakan tumbuh-tumbuhan air yang mengandung metaserkaria tanpa dimasak sampai matang,
maka dalam waktu 25 sampai 30 hari metaserkaria tumbuh menjadi cacing dewasa dan dalam
waktu 3 bulan ditemukan telur-telurnya dalam tinja.

Patologi dan Gejala Klinis


Cacing dewasa Fasciolopsis buski, melekat dengan perantaraan batil isap perutnya pada mukosa
usus muda seperti duodenum dan yeyunum. Cacing ini memakan isi usus, maupun permukaan
mukosa usus. Pada tempat perlekatan cacing tersebut, terdapat, tukak (usus), maupun abses.
Apabila terjadi erosi kapiler pada tempat tersebut, maka timbul perdarahan. Cacing dalam jumlah
besar dapat menyebabkan sumbatan yang menimbulkan gejala ileus akut. Pada infeksi berat,
gejala intoksikasi dan sentisitasi oleh karena metabolit cacing lebih menonjol, seperti edema
pada muka, dinding perut dan tungkai bawah. Kematian dapat terjadi karena keadaan merana
(exhaustion) atau intoksikasi.
Gejala klinis yang dini pada akhir masa inkubasi, adalah diare dan nyeri ulu hati (epigastrium).
Diare yang mulanya diselingi konstipasi, kemudian menjadi persisten. Warna tinja menjadi hijau
kuning, berbau busuk dan berisi makanan yang tidak dicerna. Pada beberapa pasien, nafsu makan
cukup baik atau berlebihan, walaupun ada yang mengalami gejala mual, muntah, atau tidak
mempunyai selera; semua ini tergantung dari berat ringannya penyakit.
Diagnosis
Sering gejala klinis seperti diatas bila didapatkan di suatu daerah endemi, cukup untuk
menunjukkan adanya penderita fasiolopsiasis; namun diagnosis pasti adalah dengan menemukan
telur dalam tinja.

Morfologi telur Fasciolopsis buski hendaknya dapat dibedakan dari telur cacing Fasciola
hepatica, Gastrodiscoides hominis atau Echinochamus perfoliatus.
Pengobatan
Obat yang efektif untuk cacing ini, adalah diklorofen, niklosamid, dan prazikuantel.

Prognosis
Penyakit fasiolopsiasis yang berat mungkin menyebabkan kematian, akan tetapi bila dilakukan
pengobatan sedini mungkin, masih dapat memberi harapan untuk sembuh. Masalah yang penting
adalah reinfeksi, yang sering terjadi pada penderita.

Infeksi pada manusia tergantung dari kebiasaan makan tumbuh-tumbuhan air yang mentah dan
tidak dimasak sampai matang. Membudidayakan tumbuh-tumbuhan air di daerah yang tercemar
dengan kotoran manusia maupun babi, dapat menyebarluaskan penyakit tersebut. Kebiasaan
mengenai defekasi, pembuangan kotoran ternak dan cara membudidayakan tumbuh-tumbuhan
air untuk konsumsi harus diubah atau diperbaiki, untuk mencegah meluasnya penyakit
fasiolopsiasis.

Fasiolopsiasis adalah endemik di desa Sei Papuyu, Kalimantan Selatan. Prevalensinya adalah
27,0%. Prevalensi tertinggi terdapat pada kelompok umur 5 – 14 tahun, yaitu 56,8%, sedangkan
prevalensi pada anak sekolah adalah 79,1%. Survei 12 bulan setelah pengobatan menunjukkan
prevalensi yang tidak banyak berbeda, karena kemungkinan terjadinya reinfeksi.

Keluarga ECHINOSTOMATIDAE

Sejarah
Cacing genus Echinostoma yang ditemukan pada manusia kira-kira 11 spesies atau lebih.
Garrison (1907) adalah sarjana yang pertama kali menemukan telur Echinostoma ilocanum pada
narapidana pribumi di Filipina. Tubangui (1931), menemukan bahwa Ratus rattus
norvegicus, merupakan hospes reseroar cacing RRC, dihinggapi cacing tersebut. Brug dan Tesch
(1937), melaporkan spesies Echinostoma lindoense pada manusia di Sulawesi Tengah, Bonne,
Bras dan Lie Kian Joe (1948), menemukan Echinostoma ilocanum pada penderita sakit jiwa di
Jawa.
Berbagai sarjana telah melaporkan, bahwa di Indonesia ditemukan lima spesies cacing
Echinostoma, yaitu : Echinostoma ilocanum, Echinostoma malayanum, Echinostoma lindoense,
Echinostoma recurvatum dan Echinostoma revolutum.
Hospes dan Nama Penyakit
Hospes cacing keluarga ECHINOSTOMATIDAE sangat beraneka ragam yaitu manusia, tikus,
anjing, burung, ikan dan lain-lain (poliksen). Nama penyakitnya disebut ekinostomiasis.

Distribusi Geografik
Cacing tersebut kecuali ditemukan di Filipina, Cina dan Indonesia juga dilaporkan dari India.
Morfologi dan Daur Hidup
Cacing trematoda dari keluarga ECHINOSTOMATIDAE, dapat dibedakan dari cacing
trematoda lain, dengan adanya ciri-ciri khas berupa duri-duri leher dengan jumlah antara 37 buah
sampai kira-kira 51 buah, letaknya dalam dua baris berupa tapal kuda, melingkari bagian
belakang serta samping batil isao kepala. Cacing tersebut berbentuk lonjong, berukuran panjang
dari 2,5 m hingga 13 – 15 mm dari lebar 0,4 – 0,7 mm hingga 2,5 – 3,5 mm.

Testis berbentuk agak bulat, berlekuk-lekuk, letaknya bersusun tandem pada bagian posterior
cacing. Vitelaria letaknya setelah lateral, meliputi 2/3 badan cacing dan melanjut hingga bagian
posterior. Cacing dewasa hidup di usus halus, mempunyai warna agak merah ke abu-abuan.
Telur mempunyai operkulum, besarnya berkisar antara 103 – 137 x 59 – 75 mikron. Telur
setelah 3 minggu dalam air, berisi termpayak yang disebut mirasidium. Bila telur menetas,
mirasidium keluar dan berenang bebas untuk hinggap pada hospes perantara I yang berupa keong
jenis kecil seperti genus Anisus,Gyraulus,Lymnaea dan sebagainya.
Dalam hospes perantara I, mirasidium tumbuh menjadi sporokista kemudian melanjut menjadi
redia induk, redia anak yang kemudian membentuk serkaria. Serkaria yang pada suatu saat
berjumlah banyak, dilepaskan ke dalam air oleh redia yang berada dalam keong. Serkaria ini
kemudian hinggap pada hospes perantara II untuk menjadi metaserkaria yang efektif. Hospes
perantara II adalah jenis keong yang besar, seperti genus Vivipar/Bellamya, Pila atau Corbicula.
Ukuran besar cacing, jumlah duri-duri sirkumoral, bentuk testis, ukuran telur dan jenis hospes
perantara, digunakan untuk mengidentifikasi spesies cacing.

Siklus Hidup
Patologi dan Gejala Klinis
Biasanya cacing Echinostoma menyebabkan kerusakan ringan pada mukosa usus dan tidak
menimbulkan gejala yag berarti. Infeksi berat menyebabkan timbulnya radang kataral pada
dinding usus, atau ulserasi. Pada anak dapat menimbulkan gejala diare, sakit perut, anemia dan
sembab (edema).
Diagnosis
Diagnosis ditegakkan dengan menemukan telur dalam tinja.

Pengobatan
Tetrakloroetilen adalah obat yang dianjurkan, akan tetapi penggunaan obat-obat baru yang lebi
aman, seperti prazikuantel dapat dipertimbangkan.

Prognosis
Penderita biasanya tidak menunjukkan gejala yang berat, dapat sembuh setelah pengobatan.

Epidemiologi
Keong sawah yang digunakan untuk konsumsi sebaiknya dimasak sampai matang, sebab bila
tidak, metaserkaria dapat hidup dan tumbuh menjadi cacing dewasa.

Keluarga HETEROPHYIDAE

Sejarah
Cacing keluarga Heterophyidae adalah cacing trematoda kerdil, berukuran sangat kecil, hanya
kurang lebih beberapa millimeter.

Cacing ini pertama kali ditemukan oleh Bilharz (1851) pada autopsi seorang Mesir di Kairo.

Hospes dan Nama Penyakit


Hospes cacing ini sangat banyak, umumnya makhluk pemakan ikan seperti manusia, kucing,
anjing, rubah, dan jenis burung-burung tertentu.

Nama penyakitnya adalah heterofiiasis.


Distribusi Geografik
Cacing ini ditemukan di mesir, Turki, Jepang, Korea, RRC, Taiwan, Filipina dan Indonesia.

Cacing dari keluarga Heterophyidae adalah : Heterophyes heterophyes, Metagonimus


yokogawai dan Haplorchis yokogawai.
Di Indonesia, Lie Kian Joe (1951) menemukan cacing Haplorchis yokogawai pada autopsi 3
orang mayat.
Morfologi dan Daur Hidup
Cacing dari keluarga HETEROPHYIDAE berukuran panjang antara 1 – 1,7 mm dan lebar antara
0,3 – 0,75 mm, kecuali genus Haplorchis yang jauh lebih kecil, yaitu panjang 0,41 – 0,51 mm
dan lebar 0,24 – 0,3 mm. Di samping batil isap perut, ciri-ciri khas yang lain adalah, batil isap
kelamin yang terdapat di sebelah kiri belakang.
Cacing ini mempunyai 2 buah testis yang lonjong, ovarium kecil yang agak bulat dan 1 buah
folikel vitelin yang letaknya sebelah lateral. Bentuk uterus sangat berkelok-kelok, letaknya
diantara kedua sekum. Telur berwarna agak coklat muda, mempunyai operkulum, berukuran
26,5 – 30 x 15 – 17 mikron, berisi mirasidium. Mirasidium yang keluar dari telur, menghinggapi
keong air tawar/payau, seperti genus Pirenella, Cerithidia, Semisulcospira, sebagai hospes
perantara I dan ikan dari genus Mugil, Tilapia, Aphanius, Acanthogobius, Clarias dan lain-lain
sebagai hospes perantara II. Dalam keong, mirasidium tumbuh menjadi sporokista, kemudian
menjadi banyak redia induk, berlanjut menjadi banyak redia anak untuk pada gilirannya
membentuk banyak serkaria. Serkaria ini mengghinggapi jenis ikan-ikan tersebut di atas dan
masuk ke dalam otot-ototnya untuk tumbuh menjadi metaserkaria.
Manusia mendapatkan infeksi karena makan daging ikan mentah, atau yang dimasak kurang
matang. Pada ikan genus Plectoglossus dan sejenisnya, metaserkaria tidak masuk ke dalam otot,
akan tetapi hinggap di sisik dan siripnya.
Metaserkaria yang turut dimakan dengan daging ikan mentah, tumbuh menjadi cacing dewasa
dalam 14 hari dan bertelur.

Siklus Hidup
Patologi dan Gejala Klinis
Pada infeksi cacing keluarga HETEROPHYIDAE, biasanya stadium dewasa menyebabkan iritasi
ringan pada usus muda, tetapi ada beberapa ekor cacing yang mungkin dapat menembus vilus
usus. Telurnya dapat menembus masuk aliran getah bening dan menyangkut di katup-katup atau
otot jantung dan mengakibatkan payah jantung. Kelainan ini terutama dilaporkan pada infeksi
cacing Megatonimus dan Haplorchis yokogawai. Telur atau cacing dewasa dapat bersarang di
jaringan otak dan menyebabkan kelainan disertai gejala-gejalanya. Gejala klinis yang
ditimbulkan oleh infeksi berat cacing tersebut adalah mulas-mulas atau kolik dan diare dengan
lendir, serta nyeri tekan pada perut.
Diagnosis
Diagnosis ditegakkan dengan menemukan telur dalam tinja.

Pengobatan
Obat yang tepat untuk penyakit cacing ini, adalah pirazikuantel. Obat yang dapat dianjurkan
adalah tetrakloroetilen.

Epidemiologi
Manusia, terutama pedagang ikan dan hwan lain seperti kucing, anjing dapat merupakan sumber
infeksi bila menderita penyakit cacing tersebut, melalui tinjanya. Telur cacing dalam tinja dapat
mencemari air serta ikan yang hidupo di dalamnya. Hospes definitif mendapatkan infeksi karena
memakan daging ikan mentah yang mengandung metaserkaria hidup. Ikan yang diproses kurang
sempurna untuk konsumsi, seperti fessikh, dapat juga menyebabkan infeksi. Sebagai usaha untuk
mencegah meluasnya infeksi cacing HETEROPHYIDAE, kebiasaan memakan daging ikan
mentah harus diubah.

TREMATODA DARAH
Shistosoma atau Bilharzia
Pada manusia ditemukan 3 spesies penting : Schistosoma japonicum, Schistosoma mansoni,
dan Schistosoma haematobium.
Selain spesies yang ditemukan pada manusia, masih banyak spesies yang hidup pada bianatang
dan kadang-kadang dapat menghinggapi manusia.

Hospes dan Nama Penyakit


Hospes definitif adalah manusia. Berbagai macam binatang dapat berperan sebagai hospes
reservoar.
Pada manusia, cacing ini menyebabkan penyakit skistomiasis atau bilharziasis.

Morfologi dan Daur Hidup


Cacing dewaasa jantan berwarna kelabu atau putih kehitam-hitaman, berukuran 9,5 – 19,5 mm x
0,9 mm. Badannya berbentuk gemuk bundar dan pada kutikulumnya terdapat benjolan halus
sampai kasar, tergantung spesisesnya. Di bagian ventral badan terdapat canalis gynaecophorus ,
tempat cacing betina, sehingga tampak seolah-olah cacing betina ada di dalam pelukan cacing
jantan. Cacing betina badannya lebih halus dan panjang, berukuran 16,0 – 26,0 mm x 0,3 mm.
Pada umumnya uterus berisi 50 – 300 butir telur. Cacing trematoda ini hidup di pembuluh darah
terutama dalam kapiler darah dan vena kecil dekat permukaan selaput lendir usus atau kandung
kemih.
Cacing betina meletakkan telur di pembuuluh darah. Telur tidak mempunyai operkulum. Telur
cacing Schistosoma mempunyai duri dan lokalisasi dari tergantung pada spesiesnya. Telur
berukuran 95 – 135 x 50 – 60 mikron. Telur dapat menembus keluar dari pembuluh darah,
bermigrasi di jaringan dan akhirnya masuk ke lumen usus atau kandung kemih untuk kemudian
ditemukan di dalam tinja atau urin. Telur menetas di dalam air, larva yang keluar disebut
mirasidium.
Cacing ini hanya mempunyai satu macam hospes perantara yaitu keong air, tidak tterdapat
hospes perantara kedua. Mirasidium masuk ke dalam tubuh keong air dan berkembang menjadi
sporokista I dan sporookista II dan kemudian menghasilkan serkaria yang banyak. Serkaria
adalah bentuk infektif cacing Schistosoma. Cara infeksi pada manusia adalah serkaria menembus
kulit pada waktu manusia masuk ke dalam air yang mengandung serkaria. Waktu yang
diperlukan untuk infeksi adalah 5 – 10 menit. Setelah serkaria menembus kulit, larva ini
kemudian masuk ke dalam kapiler darah, mengalir dengan aliran darah masuk ke jantung kanan,
lalu paru dan kembali ke jantung kiri; kemudian masuk ke sistem peredaran darah besar, ke
cabang-cabbang vena portae dan menjadi dewasa di hati. Setelah dewasa cacing ini kembali ke
vena portae dan vena usus atau vena kandung kemih dan kemudiann cacing betina bertelur
setelah berkopulasi.
Siklus Hidup

Patologi dan Gejala Klinis

Perubahan-perubahan yang terjadi disebabkan oleh 3 stadium cacing ini, yaitu serkaria, cacing
dewasa dan telur.

Perubahan-perubahan pada skistomiasis dapat dibagi dalam 3 stadium :

1. 1. Masa tunas biologik


Gejala kulit dan alergi

Waktu antara serkaria menembus kulit sampai menjadi dewasa disebut masa tunas biologik.
Perubahan kulit yang timbul berupa eritema dan papula yang disertai perasaan gatal dan panas.
Bila banyak jumlah serkaria menembus kulit, makka akan terjadi dermatitis. Biasanya kelainan
kulit hilang dalam waktu dua atau tiga hari.

Selanjutnya dapat terjadi reaksi alergi yang dapat timbul oleh karena adanya hasil metabolik
skistosomula atau cacing dewasa, atau dari protein asing yang disebabkan adanya cacing yang
mati. Manifestasi klinisnya dapat berupa urtikaria atau edema angioneutrik dan dapat disertai
demam. Kira-kira 22% penderita menunjukkan urtikaria dan 18% menunjukkan edema
angioneuretik kira-kira 10 hari setelah timbul demam.

Gejala Paru
Gejala batuk sering ditemukan, kadang-kadang disertai dengan pengeluaran dahak yang
produktif dan pada beberapa kasus bercampur dengan sedikit darah. Pada kasus yang rentan
gejala dapat menjadi berat sekali sehingga timbul serangan asma.

Gejala Toksemia
Manisfestasi akut atauu toksik mulai timbul antara minggu ke 2 sampai minggu ke 8 setelah
terjadi infeksi. Berat gejala tergantung dari dahaknya serkaria yang masuk. Pada infeksi berat
jika terdapat banyak serkaria yang masuk, terutama infeksi yang berulang, maka dapat timbul
gejala toksemia yang berat disertai demam tinggi.

Pada stadium ini dapat timbul gejala lain seperti : lemah, malaise, tidak nafsu makan, mual dan
muntah, sakit kepala dan nyeri tubuh. Diare disebabkan oleh keadaan hipersensitif terhadap
cacing. Pada kasus berat gejala tersebut dapat bertahan 3 bulan. Kadang-kadang terjadi sakit
perut dan tenesmus. Hati dan limpa membesar dan nyeri pada peradaban.

1. 2. Stadium akut
Stadium ini dimulai sejak cacing betina bertelur. Telur yang diletakkan di dalam pembuluh darah
dapat keluar dari pembuluh darah, masuk ke dalam menembus mukosa, biasanya mukosa usus.
Efek patologis maupun gejala klinis yang disebabkan telur tergantung dari jumlah telur yang
dikeluarkan, yang berhubungan langsung dengan jumlah cacing betina. Dengan demikian
keluhan/gejala yang terjadi pada stadium ini adalah demam, malaise, berat badan menurun.
Sindrom disentri biasanya ditemukan pada infeksi beeerat dan pada kasus yang ringan hanya
ditemukan diare. Hepatomegali timbul lebih dini dan disusul dengan splenomegali; ini dapat
terjadi dalam waktu 6 – 8 bulan setelah infeksi.
1. 3. Stadium Menahun
Pada stadium ini terjadi penyembuhan jaringan dengan pembentukan jaringan ikat atau fibrosis.
Hepar yang semula membesar karena peradangan kemudian mengalami pengecilan karena
terjadi fibrosis; hal ini disebut sirosis. Pada skistosomiasis, sirosis yang terjadi adalah sirosis
periportal, yang mengakibatkan terjadinya hipertensi portal karena adanya bendungan di dalam
jaringan hati. Gejala yang timbul adalah : splenomegali, edema yang biasanya ditemukan pada
tungkai bawah, bisa pula pada alat kelamin. Dapat ditemukan asites dan ikterus. Pada stadium
lanjut sekali dapat terjadi hematemesis yang disebabkan karena pecahnya varises pada esofagus.

Diagnosis
Diagnosis dibuat dengan menemukan telur damal tinja, urin atau jaringan biopsi. Reaksi serologi
dapat membantu menegakkan diagnosis.

Pengobatan
Pada umumnya dapat dikatakan bahwa obat-obat anti Schistosoma tidak ada yang aman atau
agak toksik dan semuanya mempunyai resiko masing-masing.
Seperti telah diketahui cacing dewasa hidup di dalam vena mesenterika manusia dan binatang.
Pengaruh obat anti Schistosoma dapat menyebabkan terlepasnya pegangan cacing dewasa pada
pembuluh darah dan mengakibatkan tersapunya cacing tersebut ke dalam hati oleh sirkulasi
portal; keadaan ini disebut hepatic shift.
Ada beberapa obat yang mempengaruhi cacing dewasa ini menghambat sistem enzim tertentu,
seperti persenyawaan antimon trivalen yang menghambat istem ensim
fosfofruktokinase S.mansoni, sehingga cacing tersebut tidak dapat memanfaatkan gilikogen.
Obat-obat anti Schistosoma Schistosoma yang telah dikenal adalah sebagai berikut :
1. 1. Emetin (Tartras emetikus)
Pada tahun 1918 Chistopherson mengobati penyakit kala azar yang tartras emetikus. Secara
kebetulan obat ini ditemukan efektif terhadap infeksi S.haematobium bila diberikan secara
intravena. Bonne (1919) melaporkan penyembuhan infeksi dengan Schistosoma mansoni pada
penderita disentri ameba yang diobati dengan tatras emetikus (nama lain adalah antimon kalium
tartrat).
Tartras emetikus atau antimon kalium tartrat dapt dikatakan sebagai obat schistosomisida yang
cukup efektif, akan tetapi mempunyai efek samping yang agak berat, antara lain ialah mual,
muntah, batuk, pusing, sakit kapala, nyeri pada tubuh, miokarditis yang tampak pada EKG, bradi
atau takikardia, syok (shok) dan kadang-kadang mati mendadak.
Dalam tahun 1945, Alves dan Blair mengemukakan cara baru untuk memperoleh angka
penyembuhan yang lebih tinggi, yaitu dengan mempergunakan persenyawaan antimon natrium
tartrat. Dengan pengobatan ini, penyembuhan penderita skistosomiasis dapat dicapai dalam
waktu 3 hari, tetapi pengobatan tersebut menimbulkan efek samping yang lebih berat.

1. 2. Fuadin Stibofen, Reprodal, Neo-antimosan (Antimoni-bispyroca-techin-disulfonic-


Na Compound)
Obat ini pertama kali diperkenalkan di Mesir pada tahun 1929. Obat ini
merupakan trivalent antimony salt yang dapat disuntikkan secara intramuskular sebagai larutan
7%. Penyembuhan padat diharapkan pada pemakaian obat jangka waktu pendek. Cara
pengobatan adalah sebagai berikut :
Hari Pertama : 1,5 ml
Hari Kedua : 3,5 ml

Hari Ketiga : 5,0 ml dan selanjutnya 5,0 ml tiap hari sampai dicapai dosis total 80
ml. Untuk anak-anak dosis total adalah 1 ml.kg berat badan dan diberikan dalam 5 kali injeksi,
tiap 2 hari/sekali.
Obat ini memberikan reaksi toksik yang cukup berat dan kematian pernah dilaporkan. Selain
syok, efek samping lain adalah neuritis retrobulbar, skotoma sentralis dan buta warna. Sering
pula dilaporkan efek samping seperti muntah-muntah, tidak nafsu makan, nyeri tubuh, sakit
kepala, reaksi alergi, syok dananuria. Kematian pernah dilaporkan. Hasil penyembuhan adalah
40 – 70%.

1. 3. Astiban TW 56 (Stibocaptate atau antion-dimercaptosuccinate, garam Na dan K)


Obat ini diperkenalkan pada tahun 1954 oleh Friedheim dkk, dengan angka penyembuhan pada
infeksi S.haematobium yang hampir mencapai 100%. Jordan dan Randall (1962) memperoleh
hasil penyembuhan yang agak rendah pada pengobatan infeksi S.mansoni dengan Astiban; dosis
yang dipakai adalah 30 mg per kg berat badan. Dosis ini ternyata efektif untuk
infeksi S.haeatobium, akan tetapi dosis tersebut agak terlalu rendah untuk infeksi S.mansoni.
Astiban diberikan secara intramuskular dalam bentuk larutan 10%. Dosis tergantung dari
beberapa faktor seperti : umur, keadaan umum penderita, spesies parasit, pengobatan perorangan
atau masal dan pengobatan radikal atau supresif.

Dosis total untuk dewasa adalah 30 – 50 mg/kg berat badan, dengan dosis maksimum 2,5 gram.
Dosisi total ini harus dibagi dalam 5 kali suntikan. Pada anak-anak dengan berat badan kurang
dari 20 kg, dosis total adalah 40 – 60 mg/kg berat badan.

Pada infeksi S.mansoni atau S.japonicum harus dipakai dosis yang lebih tinggi. Suntikan
diberikan satu atau dua kali seminggu pada penderita yang berobat jalan. Efek samping hampir
sama dengan obat antimon lainnya, akan tetapi lebih ringan seperti pada pengobatan dengan
tatras emetikus.
1. 4. Lucanthone- HCl, Miracil D. Nilodin (1- R. B-diethyl amino-ethylamino-4methyl
thioxanthone-hydro chloride)
Obat ini untuk pertama kali diperkenalkan oleh Kikuth dan Gonnert dalam tahun 1948 sebagai
obat anti skitosomiasis pertama yang dipakai secara oral dan bukan persenyawaan antimon.
Dosis total adalah 60 mg/kg berat badan, yang diberikan 2 kali sehari selama 3 hari. Untuk
infeksi cacing S.mansoni diperlukan dosis lebih tinggi yaitu 75 mg/kg berat badan.
Sejak tahun 1960, obat ini dipakai untuk pengobatan masal di Suriname. Untuk mengobati efek
samping dipakai obat anti histamin (Bonanime) walaupun hasilnya tidak begitu memuaskan.
Oostburg menggunakan dosis untuk anak-anak dan dewasa > 12 tahun adalah 200 mg tiga kali
sehari selama 10 hari. Dosis optimal adalah 10 – 20 mg/kg berat badan/hari. Dia memperoleh
hasil cukup baik dengan angka penyembuhan 97,7 – 99,5% dalam waktu 3 bulan setelah
pengobatan. Efek samping yang ditemukan adalah pusing, muntah, tidak nafsu makan, demam,
mual dan semua penderita menunjukkan warna kekuning-kuningan pada . kelainan psikis tidak
ditemukan.

1. 5. Niridazol (1-Nitro-2, thiazoyl-2 imidazolidnone) (Ambilhar, Ciba-32, 644, Ba)


Obat ini efektif secara oral dapat membunuh cacing dewasa dab telurnya dan ternyata lebih
efektif untuk infeksi S.haematobium dan S.mansoni daripada S.japonicum.
Percobaan binatang menunjukkan bahwa obat ini menghambat bertelurnya cacing
dewasa S.mansoni dan membunuh cacing jantan dan betina pada dosis yang tepat. Parasit
dipaksa untuk meninggalkan vena mesentrika dan menuju ke hati (hepatic-shift) tempat parasit
dimusnakan oleh daya tahan hospes. Niridazol agak lambat diserap dari traktus intestinalis dan
diuraikan di dalam hati menjadi metabolit yang tidak toksik. Efek anti Schistosoma hanya
disebabkan oleh obat yang belum diuraikan. Obat ternyata diserap cacing
betina S.mansoni menyebabkan degenerasi ovarium dan merusak kelenjar vitelina. Cacing jantan
ternyata lebih kurang sensitif terhadap obat ini, walaupun demikian spermatogenesis dihambat.
Dalam beberapa tahun akhir ini obat tersebut dipakai untuk pengobatan percobaan secara besar-
besaran dan ternyata merupakan obat yang cukup baik terhadap infeksi S.haematobium. beberapa
penyelidik memperoleh angka penyembuhan 100% pada infeksi S.haematobium, dengan dosis
25 mg/kg berat badan/hari selama 7 – 10 hari.
Pengobatan infeksi S.japonicum dengan Niridazol telah dilakukan di Jepang, Filipina, dan
Indonesia. Dosis yang dipakai adalah 25 mg/kg berat badan/hari selama 10 hari berturut-turut
dan mendapatkan hasil 20% masih positif 2 bualn setelah pengobatan, 13% masih positif 6 bulan
setelah pengobatan 21,8% positif 11 bulan setelah pengobatan.
Efek samping yang pernah dilaporkan adalah keluhan gastrointestinal seperti mual, muntah,
tidak nafsu makan dan diare.

Yang terpenting adalah gangguan psikis yang dapat terjadi secara akut, berupa psikosis,
halusinasi, confusion, pusing, sakit kepala, anxiety dan kadang-kadang serangan epilepsi.
Ternyata gangguan neuro-psikiatrik dan efek sampig lainnya lebih berat pada
infeksi S.japonicum dan paling ringan pada infeksi S.haematobium.
1. 6. Prazikuantel (Embay (R)
8440; Droncit (R)
, Biltricide (R)
) Bayer, A.G. dan Merck
Darmstadt
Rumus : (2-cyclohexycarbonyl)-1,2,3,6,7,11,β-hexahydro-2H pyrazino (2,1.a)-iso-quinolin-4-
one.

Penelitian toksisitas pada berbagai macam binatang percobaan menimbulkan toleransi cukup
baik terhadap prazikuentel dan sangat efektif terhadap ketiga spesies
cacing Schistosoma manusia, trematoda dan cestoda. Obat ini tidak meunjukkan adanya aktivitas
mutagen pada binatang percobaan. Pada manusia prazikuantel sangat cepat diserap setelah
diminum.
Di Indonesia prazikuantel dipakai untuk pertama kali sebagai pengobatan percobaan pada
infeksi S.japonicum (Joesoef dkk, 1980). Pada 82 kasus skistomiasis dengan variasi umur antara
3 sampai 58 tahun yang telah diobati, 11 kasus diantaranya mempunyai gejala
hepatosplenomegali dan asites.
Dosis yang dipakai adalah 35 mg per kg berat badan, diberikan 2 kali dalam satu hari sehingga
dosis total adalah 70 mg/kg berat badan per hari. Hasil pengobatan menunjukkan angka
penyembuhan sebesar 88,6%, 6 bulan setelah pengobatan dan angka pengurangan telur sebesar
89,5%. Efek samping adalah mual (3,7%) muntah (7,3%), nyeri daerah epigastrium (2,4%), sakit
kepala (7,5%), pusing (6,1%), demam (2,4%) dan disentri (1,8%).

Dari pengobatan yang diuraikan di atas ternyata obat ini cukup baik dengan hasil penyembuhan
cukup besar serta efek samping dapat dikatakan ringan, sehingga prospek obat ini cukup baik
untuk dipakai dalam pengobatan masal sebagai obat anti Schistosoma di daerah Danau Lindu dan
Napu, Sulawesi Tengah.
Epidemiologi
Penyakit skistomiasis atau bilharzasis merupakan masalah kesehatan masyarakat di
berbagai negara. Di Indonesia hanya skistomiasis japonika ditemukan endemik di Sulawesi
Tengah. Penyakit ini berhubungan erat dengan pertanian yang mendapat air dari irigasi. Fokus
keong sebagai hospes perantara biasanya ditemukan di daerah pertanian tersebut. Dengan
meluasnya daerah pertanian dan irigasi maka dapat terjadi penyebaran hospes perantara dan
penyakitnya. Infeksi biasanya berlangsung pada waktu orang bekerja di sawah. Kelompok umur
yang terkena pada umumnya adalah antara 5 – 50 tahun, dapat pula ditemukan infeksi pada umur
lebih muda.

Penanggulangan penyakit ini sampai sekarang terutama ditekankan pada pengobatan masal yang
diberikan 6 bulan sekali. Bila prevalensi sudah turun di bawah 5%, dapat diberikan pengobatan
selektif. Walaupun demikian pemberatasan hospes perantara, perbaikan kesehatan lingkungan
dan penerangan kesehatan sedapat mungkin harus diterapkan.

Schistosoma japonicum

Hospes dan Nama Penyakit

Hospesnya adalah manusia dan berbagai macam binatang seperti anjing, kucing, rusa, tikus
sawah (Rattus), sapi, babi rusa dan lain-lain.
Parasit ini pada manusia menyebabkan oriental schistosomiasis, skistomiasis japonika, penyakit
Katayama atau penyakit demam keong.
Distribusi Geografik
Cacing ini ditemukan di RRC, Jepang, filipina, Taiwan, Muangthai, Vietnam, Malaysia, dan
Indonesia.

Di Indonesia hanya ditemukan di Sulawesi Tengah yaitu daerah danau Lindu dan Lembah Napu.

Morfologi dan Daur Hidup

Cacing dewasa jantan berukuran kira-kira 1,5 cm dan yang betina kira-kira 1,9 cm, hidupnya di
vena mesentrika superior. Telur ditemukan di dinding usus halus dan juga di alat-alat dalam
seperti hati, paru, dan otak.

Patologi dan Gejala Klinis


Kelainan tergantung dari beratnya infeksi. Yang ditemukan pada stadium I adalah gatal-gatal
(urtikaria). Gejala intoksikasi disertai demam, hepatomegali dan eosinofilia tinggi.

Pada stadium II ditemukan pula sindrom disentri. Pada stadium III atau stadium menahun
ditemukan sirosis hati dan splenomegali; biasanya penderita menjadi lemah (emasiasi). Mungkin
terdapat gejala saraf, gejala paru dan lain-lain.
Diagnosis ditegakkan dengan menemukan telur di dalam tinja atau dalam jaringan biopsi seperti
biopsi hati dan biopsi rektum. Reaksi serologi dapat dipakai untuk membantu menegakkan
diagnosis. Reaksi serologi yang biasa dipakai adalah COPT (Circumoval precipitin test), IHT
(Indirect antibody test) dan ELISA (Enzyme linked immuno sorbent assay).
Epidemiologi
Di Indonesia penyakit ini ditemukan endemi di dua daerah di Sulawesi Tengah, yaitu di daerah
danau lindu dan Lembah Napu. Di daerah danau Lindu penyakit ini ditemukan pada tahun 1937
dan di lembah Napu pada tahun 1972.

Sebagai sumber infeksi, selain manusia ditemukan pula hewan-hewan lain sebagai hospes
reservoar; yang terpenting adalah berbagai spesies tikus sawah (Rattus). Selain itu rusa hutan,
babi hutan, sapi dan anjing dilaporkan juga mengandung cacing ini.

Hospes perantara, yaitu keong air Oncomelania hupensis lindoensis baru ditemukan pada tahun
1971 (Carney dkk, 1973). Habitat keong di daerah danau Lindu ada 2 macam, yaitu :
1. Fokus di daerah yang digarap seperti ladang, sawah yang tidak dipakai lagi atau di pinggir
parit di antara sawah.
2. Fokus di daerah hutan di perbatasan bukit dan dataran rendah
Cara penanggulangan skistomiasis di Sulawesi Tengah, yang sudah diterapkan sejak tahun 1982
adalah pengobatan masal dengan prasikuantel yang dilakukan oleh Departemen Kesehatan
melalui Subdirektorat Pemberantasan Penyakit Menular dan Penyehatan lingkungan Pemukiman
(Subdit, P2M & PLP) dengan hasil yang cukup baik. Prevalensi dari kira-kira 37% turun menjadi
kira-kira 1,5% setelah pengobatan.

Schistosoma mansoni

Hospes dan Nama Penyakit


Hospes definitif adalah manusia dan kera baboon di Afrika sebagai hospes reservoar. Pada
manusia cacing ini menyebabkan skistomiasis usus.

Distribusi Geografik
Cacing ini ditemukan di Afrika, berbagai negara Arab (Mesir), Amerika Selatan dan Tengah.

Morfologi dan Daur Hidup


Cacing dewasa jantan berukuran kira-kira 1 cm dan yang betina kira-kira ,4 cm. Pada badan
cacing jantan S.mansoni terdapat tonjolan lebih kasar bila dibandingkan
dengan S.haematobium dan S.japonicum. badan S.japonicum mempunyai tonjolan yang lebih
halus. Tempat hidupnya di vena, kolon dan rektum. Telur juga tersebar ke alat-alat lain seperti
hati, paru dan otak.
Siklus Hidup

Patologi dan Gejala Klinis

Kelainan dan gejala yang ditimbulkannya kira-kira sama seperti pada S.japonicum, akan tetapi
lebih ringan.
Pada penyakit ini splenomegali dilaporkan dapat menjadi berat sekali.

Diagnosis, Pengobatan, Prognosis dan Epidemiologi


Sama seperti pada S.japonicum.
Shistosoma haematobium

Hospes dan Nama Penyakit


Hospes definitif adalah manusia. Cacing ini menyebabkan skistomiasis kandung kemih. Baboon
dan kera lain dilaporkan sebagai hospes reservoar.

Distribusi Geografik
Cacing ini ditemukan di Afrika, Spanyol dan di berbagai negara Arab (Timur Tengah, Lembah
Nil); tidak ditemukan di Indonesia.

Morfologi dan Daur Hidup


Cacing dewasa jantan berukuran kira-kira 1,3 cm dan yang betina kira-kira 2,0 cm. Hidupnya di
vena panggul kecil, terutama di vena kandung kemih.

Telur ditemukan di uri alat-alat dalam lainnya, juga di alat kelamin dan rektum.

Siklus Hidup
Telur Shistosoma haematobium

Patologi dan Gejala Klinis


Kelainan terutama ditemukan pada dinding kandung kemih. Gejala yang ditemukan adalah
hematuria dan disuria bila terjadi sistitis. Sindrom disentri ditemukan bila terjadi kelainan di
rektum.

Diagnosis, Pengobatan, Prognosis dan Epidemiologi


Sama seperti pada skistomiasis lainnya, hanya pada penyakit ini telah ditemukan di dalam urin.

Anda mungkin juga menyukai