Anda di halaman 1dari 32

MAKALAH PARASITOLOGI I

MORFOLOGI, SIKLUS HIDUP, PATOGENITAS, GEJALA KLINIS, DAN


PATOGENITAS TREMATODA

DISUSUN OLEH

TINGKAT 2A
KELOMPOK 2

1. ANNAFI NUR LAILI

2. DEVI ERIKE OLIVIA NINGSIH

3. FIRDA JULFIANI

4. FITRIA RUSWANDARI

AHLI TEKNOLOGI LABORATORIUM MEDIK


POLITEKNIK KESEHATAN KEMENTERIAN KESEHATAN BANTEN
TAHUN 2016-2017

1
TREMATODA
Trematoda (Cacing Daun) adalah cacing yang termasuk ke dalam
filum PLATYHELMINTES dan hidup sebagai parasit. Berbagai hewan yang
dapat berperan sebagai hospes definitif cacing trematoda antara lain; kucing,
anjing, kambing, sapi, babi, tikus, burung, luak, harimau, dan manusia. Pada
umumnya cacing trematoda ditemukan di RRC, Korea , Japan, Filipiina,
Thailand, Vietnam, Taiwan, India, dan Afrika. Berbagai spesies ditemukan di
Indonesia seperti Fasciolopsis buski di Kalimantan, Echinostoma di Jawa dan
Sulawesi, serta Heterophyidae di Jakarta. Cacing dewasa hidup di dalam tubuh
hospes definitif. Telur diletakkan di saluran hati, rongga usus, paru, pembuluh
darah atau di jaringan tempat cacing hidup, dan telur biasanya keluar bersama
tinja, dahak atau urin. Pada umumnya telur berisi sel telur, hanya pada
beberapa spesies telur sudah mengandung mirasidium (M) yang mengandung
bulu getar. Di dalam air telur menetas bila sudah mengandung mirasidium
(telur matang). Telur matang sekitar 2-3 minggu. Pada beberapa spesies
termatoda, telur matang menetas bila ditelan keong (hospes parantara) dan
keluarlah mirasidium yang masuk ke dalam jaringan keong.

1. TREMATODA USUS
Trematoda usus yang berperan dalam ilmu kedokteran adalah dari
keluarga Fasciolidae, Echinostomatidae dan Heterophyidae.
1.1 Fasciolopsis buski

a) Morfologi
Cacing dewasa yang ada pada manusia mempunyai ukuran
panjangnya 20-75 mm dan lebar 8-20 mm. Bentuknya agak lonjong dan
tebal. Kutikulum biasanya ditutupi oleh duri-duri kecil yang melintang
letaknya, dan sering rusak akibat cairan usus. Ukuran dari batil isap kepala
kira-kira seperempat ukuran dari batil isap perut. Saluran pencernaan

1
terdiri dari prefaring yang pendek, faring yang menggelembung, esofagus
yang pendek, serta sepasang sekum yang tidak bercabang dengan dua
indentasi yang khas. Dua buah testis yang bercabang-cabang letaknya agak
tandem di bagian posterior cacing. Vitelaria letaknya lebih lateral dari
sekum.
Ovarium bentuknya agak bulat. Uterus berpangkal pada ootip,
berkelok-kelok ke arah anterior badan cacing. Telurnya berbentuk agak
lonjong, berdinding tipis transparan, dengan sebuah operkulum yang
nyaris terlihat pada sebuah kutubnya. Berukuran panjang 130-140 mikron
dan lebarnya 80-85 mikron.

b) Epidemiologi dan Distribusi Geografis


Fasciolopsiasis adalah endemik di Cina, India, Malaysia, Asia
Tenggara dan Taiwan terutama di daerah di mana babi dipelihara dan
diberi makan dengan tanaman air tawar. Menurut beberapa perkiraan ada
lebih dari 10 juta orang terinfeksi di Asia Timur (Anonim, 2011). Di
Indonesia Fasciolopsiasis endemik di desa Sei Papuyu dan Kalimantan
Selatan.

c) Siklus Hidup

Telur dikeluarkan dari manusia bersama tinja yang terinfeksi, di


dalam air selama 3-7 minggu menjadi matang dan menetas dalam air yang
bersuhu 27o -32oC. Mirasidium yang bersilia keluar dari telur, berenang

1
bebas dalam air lalu masuk ke dalam tubuh hospes perantara I yaitu keong
air. Mirasidium tumbuh menjadi sporokista yang kemudian berpindah ke
daerah jantung dan hati keong. Sporokista matang menjadi koyak dan
melepaskan banyak redia induk. Redia induk membentuk banyak redia
anak, yang kemudian membentuk serkaria.
Serkaria dalam batas waktu tertentu belum menemukan hospes,
akan punah dengan sendirinya. Tetapi bila serkaria menemukan hospesnya,
maka serkaria akan menempel pada tumbuhan air lalu berubah menjadi
metaserkaria yang berbentuk kista. Tumbuhan yang mengandung serkaria
tidak dimasak sampai matang, dalam waktu 25-30 hari metaserkaria
tumbuh menjadi cacing dewasa dan dalam waktu 3 bulan telurnya akan
ditemukan dalam tinja. Ekskitasi itu terjadi dalam rongga usus halus.

d) Patologi
Gejala klinis yang terjadi akibat cacing dewasa Fasciolopsis buski
yang melekat pada usus halus menyebabkan peradangan, ulkus yang
menimbulkan diare dan cachexim. Cacing dalam jumlah besar
menyebabkan sumbatan yang menimbulkan gejala ileus akut. Pada infeksi
berat gejala intoksikasi dan sensitifitasi oleh karena metabolit cacing lebih
menonjol, seperti edema pada muka, dinding perut dan tungkai bawah.
Kematian dapat terjadi karena keadaan merana (exhaustion) atau
intoksikasi.

e) Pencegahan dan Pengendalian


1. Mengadakan penyuluhan
2. Diadakan pengawasan terhadap peternakan babi
3. Tidak memakan tumbuhan air yang mentah
4. Mencuci bersih juga masak sampai matang tumbuhan air yang akan
dimasak

1.2 Echinostomatidae

1
Echinostoma genus secara umum mempunyai 12 spesies yang
dilaporkan menyebabkan penyakit pada manusia.
a) Morfologi
Morfologi khusus dari keluarga Echinostomatidae adalah adanya
duri-duri yang melingkar pada bagian belakang dan samping oral sucker ,
yang terdiri dari dua baris duri dengan jumlah berkisar antara 37-51 buah
dengan aturan atau pola seperti tapal kuda. Cacing ini berbentuk lonjong
dengan ukuran panjang 2,5 mm - 15 mm dan lebar 0,4-0,7 mm hingga 2,5-
3,5 mm.
Testis berbentuk bulat berlekuk-lekuk terletak di bagian posterior
tubuh. Vitellaria meliputi 2/3 bagian badan cacing dari arah posterior.
Warna cacing agak merah keabu-abuan. Telurnya mempunyai operkulum
yang besarnya 103-137 x 59-75 mikron.

b) Epidemiologi dan Distribusi Geografis


Cacing dari genus Echinostomatidae ini ditemukan di Filipina,
Cina, Indonesia dan India. Pada tahun 1937 Brug dan Tesch menemukan
salah satu spesies Echinostomatidae yaitu E. lidoense pada manusia di
Palu, Sulawesi Tengah dan Bone. Sedangkan Bras dan Lie Kian Joe tahun
1948 menemukan E. Ilocanum pada penderita sakit jiwa di pulau Jawa.

c) Siklus Hidup

1
Cacing dewasa berhabitat di usus halus. Telur yang di keluarkan
setelah 3 minggu dalam air akan mengandung mirasidium lalu menetas.
Mirasidium keluar dan berenang bebas untuk mencari hospes perantara I
yaitu keong kecil. Dalam hospes perantara I, mirasidium tumbuh menjadi
sporokista, kemudian melanjut menjadi redia induk, redia anak yang
akhirnya membentuk serkaria.
Serkaria yang pada jumlah banyak dilepaskan oleh redia yang ada
pada keong kedalam air untuk kemudian hinggap pada hospes perantara II
untuk menjadi metaserkaria yang efektif, yaitu pada keong jenis besar.

d) Patologi
Umumnya cacing Echinostoma menyebabkan kerusakan ringan
pada mukosa usus dan tidak menimbulkan gejala yang berarti. Infeksi
berat menyebabkan timbulnya radang kataral pada dinding usus, atau
ulserasi. Pada anak dapat menimbulkan gejala diare, sakit perut, anemia
dan edema.

e) Pencegahan dan Pengendalian


Keong sawah yang hendak dikonsumsi dimasak sampai matang
agar metaserkaria tidak tumbuh dewasa atau mati.

1.3 Heterophyes heterophyes

a) Morfologi
Cacing dari keluarga Heterophyidae berukuran panjang antara 1-
1,7 mm dan lebar antara 0,3-0,75 mm. Di samping batil isap perut, ciri
khas yang lain adalah batil isap kelamin yang terdapat di sebelah kiri
belakang.
Cacing ini mempunyai dua buah testis yang bentuknya lonjong,
ovarium kecil yang agak bulat dan 14 buah folikel vitelin yang letaknya
sebelah lateral. Bentuk dari uterusnya sangat berkelok-kelok, letaknya di

1
antara kedua sekum. Telurnya berwarna coklat muda, mempunyai
operkulum, berukuran 26,5 30 x 15 -17 mikron, berisi mirasidium.

b) Epidemiologi dan Distribusi Geografis


Manusia, terutama pedagang ikan, kucing, anjing dapat merupakan
sumber infeksi bila menderita penyakit cacing tersebut. Cacing ini
ditemukan di Mesir, Turki, Jepang, Korea, RRC, Taiwan, Indonesia dan
Filipina. Di Indonesia pada tahun 1951 Lie Kian Joe menemukan salah
satu cacing dari Haplorchis yokogawai pada autopsi tiga orang mayat.

c) Siklus Hidup

Mirasidium yang keluar dari telur, menghinggapi keong air tawar


atau payau seperti dari genus Pirenella sebagai hospes perantara I dan ikan
dari genus Mugil, Tilapia dan lainnya sebagai hospes perantara II. Dalam
keong mirasidium tumbuh menjadi sporokista, kemudian menjadi banyak
redia induk, berlanjut menjadi banyak redia anak yang untuk gilirannya
membentuk banyak serkaria. Serkaria ini menghinggapi ikan-ikan tersebut
dan masuk kedalam otot-ototnya untuk tumbuh menjadi metaserkaria.
Manusia mendapatkan infeksi ikan mentah, atau yang dimasak
kuarang matang. Pada genus Plectoglossus dan sejenisnya, metaserkaria
tidak masuk ke dalam otot, tetapi hingga ke sisik dan siripnya.
Metaserkaria yang turut dimakan dengan daging ikan mentah,
tumbuh menjadi cacing dewasa dalam 14 hari dan kemudian bertelur.

d) Patologi

1
Pada infeksi cacing ini biasanya stadium dewasa menyebabkan
iritasi ringan pada usus halus, tetapi ada beberapa ekor cacing yang
mungkin dapat menembus vilus usus. Telurnya dapat menembus masuk
aliran getah bening dan menyangkut di katup-katup atau otot jantung.
Telur atau cacing dewasa dapat bersarang di jaringan otak dan
menyebabkan kelainan disertai gejala-gejalanya. Gejala klinis yang
ditimbulkan oleh infeksi berat cacing tersebut adalah mulas atau kolik, dan
diare berlendir, serta nyeri tekan pada perut.

e) Pencegahan dan Pengendalian


1. Membiasakan untuk tidak mengkonsumsi ikan mentah
2. Ikan yang akan dimakan dimasak dulu sampai matang
3. Menggunakan safety self seperti sarung tangan, masker dan lainnya dalam
membersihkan kotoran kucing ataupun anjing.

1.4 Gastrodiscoides hominis

a) Morfologi
Cacing ini berbentuk piriform, panjangnya 5-10 mm dan lebarnya
4-6 mm. Cacing berwarna kemerah-merahan, bagian anterior tubuhnya
seperti kerucut dan bagian posteriornya bulat. Bagian posterior ini berupa
cakram yng besar dengan bati isap perut besar yang mempunyai piringan
tebal dan melebar keluar, caecumnya pendek melebar hanya sampai
pertengahan badan. Testis berlobus dengan susunan tiap-tipa testis terletak
sebelah anterior atau posterior yang lainnya.
Telurnya berbentuk oval dan mempunyai operkulum dengan
ukuran 130 x 60 mikron pada bagian yang paling lebar. Telurnya berwarna
abu-abu kehijauan.

b) Epidemiologi dan Distribusi Geografis

1
G. Hominis dapat ditemukan di Vietnam, Filipina, Bangladesh, dan
paling sering di negara bagian Assam di India. Biasanya terjadi di daerah
yang menggunakan "tanah malam" seperti di Tenggara dan Asia Tengah.
Beberapa kasus yang telah didokumentasikan ada di Nigeria.

c) Siklus Hidup

Telur dikeluarkan oleh tinja lalu masuk ke air mencari hospes


perantara yaitu siput. Telur menetas menjadi mirasidium yang kemudian
berkembang menjadi sporokista diikuti oleh beberapa redia. Redia berubah
menjadi serkaria, dan proses tersebut berlangsung selama kurang lebih 20
hari.
Serkaria mencari hospes perantara II, kemudian menembus masuk
ke dalam tubuh hospes seperti ikan, dimana serkaria yang telah menembus
itu berubah menjadi metaserkaria. Metaserkaria ini melekatkan diri untuk
vegetasi. Metaserkaria itu masuk ke dalam tubuh manusia karena
mengkonsumsi ikan yang sudah terifeksi atau terkontaminasi. Cacing
tersebut akan berjalan melalui saluran pencernaan ke dalam duodenum
kemudian berlanjuet ke usus untuk bertelur. Kemudian telurpun akan
keluar lagi bersama tinja.

d) Patologi
Terjadi peradangan caecum dan colon ascendens menyebabkan diare.

e) Pencegahan dan Pengendalian


1. Tidak menggunakan night soil dalam pupuk
2. Semua makanan harus dicuci bersih sebelum dimasak.
3. Ikan yang akan dikonsumsi haruslah dimasak hingga matang.

1
1.5 Metagonimus yokogawai

a) Morfologi
Cacing ini memiliki ukuran 1,0-2,5 x 0,4-0,75 mm Acetabulum
terletak sebelah lateral dari garis tengah badannya, sedangkan genital
porenya terletak di bagian anterior acetabulum. Cacing ini berbentuk
piriformis dengan ujung posterior lebih bundar, mirip H. heterophyes.
Sebagai patokan yang dipakai untuk membedakannya, yaitu pada batil
hisap perut dengan panjang 66-165 meter dan lebar 55-115 meter sebelah
lateral dari garis tengah, memanjang searah diagonal tubuh, diameter oral
sucker 90 meter, terletak pada 1/3 anterior tubuh, pada garis median.
Testis, ovoid berdampingan pada 1/5 posterior tubuh, terletak sebelah
posterior dari ovarium.
Telur berukuran 28 x 17 meter, memiliki operkulum yang terdapat
penebalan pada ujung posterior : kulit telur tipis. Telur ini keluar bersama
tinja dalam keadaan sudah matang, tetapi untuk menetas harus ditelan
terlebih dahulu oleh tuan rumah perantara I. Perubahan yang terjadi pada
hospes perantara I yaitu mirasidium berubah menjadi sporokista, serta dua
generasi redia yang akhirnya menjadi serkaria.

b) Epidemiologi dan Distribusi Geografis


Trematoda usus ini tersebar di timur jauh RRC, Korea, Philiphina,
Thailand, Taiwan, dan Siberia. Parasit ini terdapat juga di Indonesia serta
ditemukan juga di Semenanjung Balkan, Yunani, dan Spanyol.
Trematoda usus ini habitatnya terutama di jejunum bagian atas dan
tengah. Biasanya terdapat pada lumen usus tetapi mungkin juga menembus
diantara villi ataupun melekat pada mukosa usus. Sebagai hospes definitif
selain manusia juga kucing, anjing, babi, burung pemakan ikan, dan
binatang lain pemakan ikan. Yang bertindak sebagai hospes perantara I

1
adalah siput, air tawar, Semisulcospira libertina, spesies lain dari
Semisulcospira dan Thiara granifera, sedangkan hospes perantara II dari
jenis ikan Plecoglossus altivelis, Odonobutis obscurus, Salmoperryi, dan
Tribolodon haconensis.

c) Siklus Hidup

Hospes definitif dari cacing ini adalah manusia, babi, anjing,


kucing, dan pelikan. Hospes perantara I adalah keong melania, dimana
terjadi proses atau siklus mirasidium berubah menjadi serkaria kemudian
langsung menjadi redia anak dan terakhir menjadi serkaria. Hospes
perantara II adalah ikan tawar, dimana serkaria berubah menjadi
metaserkaria. Manusia kemudian memakan ikan yang sudah terinfeksi
metaserkaria.

d) Patologi
Penyakit yang ditimbulkan pada manusia adala gejala diare ringan.
Parasit ini menimbulkan penyakit yang disebut metagonimiasis pada
mukosa usus tempat melekatnya cacing terjadi peradangan sedang. Sering
kali diikuti nekrosis sel mukosa. Batil isap dapat mengiritasi mukosa usus
dan menimbulkan keluarnya lendir dalam jumlah banyak disertai erosi sel
mukosa. Sering kali terjadi infiltrasi sel eosinofil dan neutrofil. Pada
dinding usus, terutama sekeliling telur yang diletakkan dalam jaringan atau
menginfiltrasi kapiler dan limfatik. Telur dapat terbawa ke miokardium,

1
otak, medula spinalis, dan jaringan lainnya serta dibentuk jaringan
granulomatus. Sering kali timbul gejala diare ringan, tetapi gejala ini di
tentukan oleh jumlah cacing, dalamnya luka dan reaksi individual dari
penderita.

e) Pencegahan dan Pengendalian


1. Mengadakan penyuluhan
2. Memasak ikan sampai matang.
3. Mencuci bersih ikan yang akan dikonsumsi.

2. TREMATODA DARAH DAN JARINGAN

2.1 Schistosoma japonicum

a. Morfologi
Klasifikasi
1. Telur
Telur berhialin, subsperis atau oval dilihat lateral, dekat salah satu kutub
terdapat daerah melekuk tempat tumbuh semacam duri rudimeter. Telur
berukuran 70-100 x 50-65 . Telur diletakan dengan memusatkanya
pada vena kecil pada submukosa atau mukosa organ yang berdekatan.

2. Cacing dewasa

Kulit tubuhnya halus, tidak mempunyai tuberkel dan bersifat gonoturistik,

walaupun dalam hospes sering ditemukan berpasangan (cacing betina

berada dalam kanalis ginekoporalis cacing jantan).


a. Cacing Dewasa Jantan
Cacing jantan lebih gemuk seperti daun melipat mempunyai kanalis
ginekoforalis, berukuran 12-20 x 50-65 mm, kulit ditutupi duri-duri halus

1
dan lancip, mempunyai batil isap kepala dan perut, testisnya berjumlah 6-9
buah.
b.Cacing Dewasa Betina
Cacing betina berukuran 26 x 0,3 mm, langsing dan memanjang, ovarium
terletak di bagian lateral, uterus memanjang dan lurus berisi 50-100 telur.

b. Siklus Hidup
Siklus hidup Schistosoma japonicum dan Schistosoma mansoni sangat
mirip. Secara singkat, telur dari parasit dilepaskan dalam tinja dan
jika mengalami kontak dengan air mereka menetas menjadi
larva yang berenang bebas, yang disebut miracidia . Larva kemudian harus
menginfeksi keong dari genus Oncomelania seperti jenis lindoensis
Oncomelania dalam satu atau dua hari. Di dalam keong, larva mengalami
reproduksi aseksual melalui serangkaian tahapan yang disebut sporocysts.
Setelah tahap reproduksi aseksual, cercaria yang dihasilkan dalam jumlah
besar, yang kemudian meninggalkankeong dan harus menginfeksi inang
vertebrata yang cocok. Setelah cercaria menembus kulit tuan rumah
kehilangan ekornya dan menjadi sebuah schistosomule, cacing kemudian
bermigrasi melalui sirkulasi, berakhir di pembuluh darah mesenterika
dimana mereka kawin dan mulai bertelur. Setiap pasangan desposits
sekitar 1500 - 3500 telur per hari dalam dinding usus. Telur menyusup
melalui jaringan dan terdapat dalam tinja.

c. Epidemiologi
Di Indonesia penyakit ini ditemukan endemi di dua daerah di Sulawesi
Tengah, yaitu di daerah danau Lindu dan lembah Napu. Di daerah danau

1
Lindu penyakit ini ditemukan pada tahun 1937 dan di lembah Napu pada
tahun 1972.
Sebagai sumber infeksi, selain manusia ditemukan pula hewan-hewan lain
sebagai hospes reservoar; yang terpenting adalah berbagai spesies tikus
sawah (rattus). Selain itu rusa hutan, babi hutan, sapi, dan anjing
dilaporkan juga mengandung cacing ini.
Hospes perantaranya, yaitu keong air Oncomelania hupensis
Lindoensis baru ditemukan pada tahun 1971 (Carney dkk, 1973). Habitat
keong di daerah danau Lindu ada 2 macam, yaitu:
1. Fokus di daerah yang digarap seperti ladang, sawah yang tidak dipakai
lagi, atau di pinggir parit di antara sawah.
2. Fokus di daerah hutan di perbatasan bukit dan dataran rendah.
Cara penanggulangan skistomiasis di Sulawesi Tengah, yang sudah
diterapkan sejak tahun 1982 adalah pengobatan masal dengan prazikuantel
yang dilakukan oleh Departemen Kesehatan melalui Subdirektorat
Pemberantasan Penyakit Menular dan Penyehatan Lingkungan Pemukiman
(Subdit, P2M dan PLP) dengan hasil cukup baik. Prevalensi dari kira-kira
37% turun menjadi kira-kira 1,5% setelah pengobatan.

d. Patologi dan Gejala Klinis


Kelainan tergantung dari beratnya infeksi. Kelainan yang ditemukan pada
stadium I adalah gatal-gatal (uritikaria). Gejala intoksikasi disertai demam
hepatomegali dan eosinofilia tinggi. Pada stadium II ditemukan pula
sindrom disentri. Pada stadium III atau stadium menahun ditemukan
sirosis hati dna splenomegali; biasanya penderita menjadi lemah
(emasiasi). Mungkin terdapat gejala saraf, gejala paru dan lain-lain.

e. Diagnosis, pengobatan, dan pencegahan


Diagnosis ditegakkan dengan menemukan telur di dalam tinja atau
jaringan biopsi hati dan biopsi rektum. Reaksi serologi dapat dipakai untuk
membantu menegakkan diagnosis. Reaksi serologi dapat dipakai adalah
COPT (Circumoval precipitin test), IHT (Indirect Haemagglutation test),
CFT (Complement fixation test), FAT (Fluorescent antibody test) dan
ELISA (Enzyme linked immuno sorbent assay).
Praziquantel 20 mg/kg BB, dosis tunggal untuk pengobatan ternak cukup
efektif. Sedangkan untuk manusia dosis 60 mg/kg BB, dibagi dalam 2
dosis dan diberikan selama 1 hari, cukup efektif. Pemberantasan
multiintervensi dengan pengobatan penderita, pemberantasan siput
dengan mulluscide dan perbaikan kebersihan lingkungan serta
penyuluhan kesehatan berhasil menurunkan angka infeksi skistosomiasi.

2.2 Schistosoma mansoni

a. Morfologi

1
Cacing dewasa jantan berukuran kira-kira 1 cm dan yang betina kira- kira
1,4 cm. Pada badan cacing jantan S.mansoni terdapat tonjolan lebih kasar
bila dibandingkan dengan S.hematobium dan S.japonicum. Badan
S.japonicum mempunyai tonjolan yang lebih halus. Tempat hidupnya di
vena, kolon dan rektum. Telur berukuran 140 x 60 atau lebih besar dari
S. japonicum. Telur juga tersebar ke alat-alat lain seperti hati, paru dan
otak.

b. Siklus Hidup
Telur berisi embrio menembus keluar dinding pembuluh darah,
masuk ke rongga usus atau kandung kemih dan dikeluarkan melalui tinja.
Masuk ke dalam air dan menetas menjadi mirasidium ( larva )
mirasidium berenang aktif dalam air, mencari hospes perantaranya
yaitu keong. Mirasidiun menembus masuk tubuh keong, dalam keong air
mirasidium berkembang menjadi sporokista I dan sporokista II dan
membentuk banyak serkaria. Serkaria adalah bentuk infektif cacing
Schistosoma. Serkaria keluar dari keong air, berenang aktif di dalam air,
serkaria menembus kulit manusia pada waktu manusia masuk ke dalam
air yang mengandung serkaria, waktu yang diperlukan untuk infeksi adalah
5-10 menit. Setelah serkaria menembus kulit, kemudian masuk ke dalam
kapiler darah, mengalir dengan aliran darah masuk ke jantung kanan, lalu
paru dan kembali ke jantung kiri kemudian masuk ke dalam sistem
peredaran darah besar, ke cabang-cabang vena portae dan menjadi
dewasa di hati. Setalah dewasa cacing ini kembali ke vena portae dan
vena usus kemudian cacing betina bertelur setelah berkopulasi.

c. Epidemiologi

1
Daerah penyebaran S. mansoni di Afrika meliputi Mesir, Sudan,
Libia, Uganda, Tanzania, Mozambique, Rhodesia, Zambia, Congo,
Senegal, Gambia, Nigeria, Gabon, Togo, Ghana, Pantai Gading,
Liberia dan Sierra Lione. Sedangkan di Amerika Selatan ditemukan
endemik di Venezuela, Brazil, Suriname, Republik Dominika,
Pueterico, Guadelope, St. Marten, St. Lucia, St. Kitts dan Antiqua.
Cacing ini mempunyai hospes perantara berupa siput/keong air
tawar dari genus Biomphalaria (keluarga Planorbidae). S. mansoni
ditemukan pada hewan pengerat dan primata tetapi target utama infeksi
adalah manusia.

d. Patologi
Kelainan tergantung dari beratnya infeksi, kelainan yang ditemukan pada
stadium I adalah gatal-gatal (urtikaria). Gejala intoksikasi disertai
demam, hepatomegali dan eosinifilia tinggi. Pada stadium II ditemukan
pula sindrom disentri. Pada stadium III ditemukan sirosis hati
splenomegalia yang biasanya si penderita menjadi lemah, mungkin
terdapat gejala syaraf, gejala paru dan lain-lain.

e. Diagnosis, pengobatan, dan pencegahan


Diagnosis dan pengobatan sama dengan S. japonicum.
Diagnosis ditegakkan dengan menemukan telur di dalam tinja atau
jaringan biopsi hati dan biopsi rektum. Reaksi serologi dapat dipakai untuk
membantu menegakkan diagnosis. Reaksi serologi dapat dipakai
adalah COPT (Circumoval precipitin test), IHT (Indirect
Haemagglutation test), CFT (Complement fixation test), FAT
(Fluorescent antibody test) dan ELISA (Enzyme linked
immunosorbent assay).
Praziquantel 20 mg/kg BB, dosis tunggal untuk pengobatan ternak
cukup efektif. Sedangkan untuk manusia dosis 60 mg/kg BB, dibagi dalam
2 dosis dan diberikan selama 1 hari, cukup efektif.
Pemberantasan multiintervensi dengan pengobatan penderita,
pemberantasan siput dengan mulluscide dan perbaikan kebersihan
lingkungan serta penyuluhan kesehatan berhasil menurunkan angka infeksi
skistosomiasi.

2.3 Schistosoma haematobium

a. Morfologi
Cacing Dewasa
Cacing jantan dewasa berukuran 10-15 mm. Mereka memiliki alur yang
mendalam yang disebut canal gynecophoral dimana cacing betina dewasa
biasanya melekat. Cacing jantan memiliki nodul kecil (tuberkel) pada
permukaan dorsal dan banyak duri kecil pada alat hisap dan gynecorphoral
calanya. Cacing betina lebih panjang yaitu sekitar 16-22 mm, halus dan
lebih ramping. Kedua jenis kelamin ini memiliki dua alat hisap, satu

1
di anterior ventral dan satu lagi digunakan sebagai peganangan pada
dinding venula.

Telur
Telur dapat ditemukan dalam urin dari hospes yang terinfeksi. Ukuranya
110-170 panjang sampai 70 . Bentuknya memanjang dengan tulang
belakang terminal yang khas dan terlihat seperti bola rugby dengan
tonjolan tajam pada salah satu ujungnya.

b. Siklus Hidup
Mirasidium masuk kedalam tubuh keong air dan berkembang menjadi
sporokista I dan sporokista Iinkemudian menghasilkan serkaria yang
banyak. Serkaria merupakan bentuk infektif dari cacing ini. Cara
infeksinya yaitu serkaria menembus kulit pada waktu manusia
masuk kedalam air yang mengandung serkaria. Waktu yang diperlukan
untuk infeksi adalah 5-10 menit. Setelah serkaria menembus kulit
larva ini memutus ekor menjadi skistosomula kemudian masuk ke
dalam kapiler darah, mengalir dengan aliran darah masuk ke jantung
kanan, lalu ke paru dan kembali ke jantung kiri, kemudian masuk ke
sistem peredaran darah besar, ke cabang - cabang vena porta dan menjadi
dewasa di hati. Setelah dewasa cacing ini meninggalkan hati dan
bermigrasi, pada akhirnya berakhir di pembuluh darah disekitar
kandung kemih (vena kandung kemih) kemudian cacing betina
bertelur setelah bekopulasi. Telur dilepaskan pada dinding kandung kemih,
kemudian masuk kedalam dan keluar bersama urin untuk memulai siklus
lagi.

c. Epidemiologi

1
Cacing ini mempunyai hospes perantara berupa keong dari genus
bulinus. Hospes deinitif adalah manusia, sedangkan baboon dan beberapa
jenis kera dilaporkan menjadi hospes reservoir. Cacing ini menyebabkan
penyakit schistosomiasis urinary (kandung kemih).
Schistosomiasis haematobium endemik di lebih dari 50 negara di
Afrika dan Timur Tengah. Hal ini juga kadang-kadang terlihat di Asia
Barat. S. haematobium di temukan di Timur Tengah antara lain di Yaman,,
Aden, Saudi Arabia, Libanon, Syria, Turki, Irak dan Iran. S. interculatum
di temukan di Libanon, Uganda, Kenya, dan Madagaskar.
WHO memperkirakan bahwa di seluruh dunia, 180 juta orang
tinggal di daerah endemik dan 90 juta terinfeksi dengan parasit.
Sebagian besar hidup di Sub-Sahara Afrika. Sekitar 70 juta orang
menderita hematuria schistosomal (darah dalam urin), 18 juta orang
terkait gangguan dari dinding kandung kemih, dan 10 juta dari
hidronefrosis (akumulasi urin terkait di ginjal akibat obstruksi ureter).
Diperkirakan 150.000 orang meninggal setiap tahun akibat gagal
ginjal resultan dan sejumlah tapi signifikan dari kandung kemih dan
kanker genitourinari lainnya. Angka kematian keseluruhan
diperkirakan minimal 2 per 1.000 pasien yang terinfeksi per tahun. Di
banyak tempat, ada insiden yang lebih tinggi infeksi pada anak laki-laki
dan perempuan. Hal ini terjadi karena kontak dengan air meningkat
dibandingkan dengan kelompok masyarakat lainnya dalam budaya di mana
perempuan biasanya mengambil air untuk keperluan rumah tangga dan
anak laki-laki sering bermain di atau dekat air. Di beberapa daerah di mana
pria terutama nelayan air tawar atau petani menggunakan irigasi, mereka
memiliki tingkat lebih tinggi terkena schistosomiasis.

d. Patologi
Kelainan terutama ditemukan di dinding-dinding kandung
kemih. Gejala yang ditemukan adalah hematuria dan disuria bila
terjadi sistisis. Syndrome disentri ditemukan bila terjadi kelainan di
rectum. Gatal-gatal atau ruam kulit atau disebut swimmer itch dan
pembengkakan lokal sering terjadi 24 jam setelah infeksi awal dan
berlangsung selama 4 hari. Pada satu atau dua bulan, mungkin muncul
gejala berupa demam, hepatitis, pembesaran hati, limpha dan kelenjar
getah bening. Gejala ini berlangsung selama 2-3 minggu. Tidak semua
orang mengalami manifestasi klinik pada tahap awal ini. Setelah
berbulan-bulan atau bertahun-tahun, individu yang terinfeksi dapat
mengalami buang air kecil sakit atau sulit (disuria), darah di urin
(hematuria), obstruksi uretra, kerusakan ginjal dari obstruksi air seni
(nefropati obstruktif), tidak buang air kecil (disuria), dan / atau kaki gajah
penis. 50-70% orang dengan infeksi jangka panjang memiliki semacam
gejala saluran kemih pada pemeriksaan.
Infeksi saluran kencing kronis oleh bakteri adalah komplikasi yang
sering terjadi dari disfungsi saluran kemih yang disebabkan oleh parasit.
Kandung kemih juga dapat mengembangkan tuberkel, polip, tukak, patch
berpasir, sistitis cystica, dan / atau leukoplakia yang terlihat pada
pemeriksaan endoskopi. Kanker kandung kemih (karsinoma sel

1
skuamosa) dikaitkan dengan jangka panjang schistosomiasis kemih,
tetapi kejadian ini tidak diketahui.

e. Diagnosis, pengobatan, dan pencegahan


Cara yang paling umum untuk mendiagnosis infeksi
S.haematobium adalah dengan identifikasi ova (telur) dalam urin atau
dibiopsi kandung kemih, rektum, atau dinding vagina. Urinalisis juga
dapat mengungkapkan darah dalam urin. Orang yang terinfeksi sering
mengalami anemia, eosinofil tinggi tingkat, dan / atau trombosit
rendah dalam darah mereka. Tes antibodi juga dapat digunakan untuk
mendiagnostik, meskipun jarang dilakukan.
Praziquantel (20 mg / kg secara oral 3 kali selama 1 hari) atau
metrifonate (10mg/kg 1x seminggu setiap minggu, dengan total 3 dosis)
adalah obat pilihan. Kortikosteroid juga dapat diberikan dengan infeksi
akut. Sementara terapi obat yang efektif untuk membunuh parasit sudah
dalam tubuh, tidak mencegah infeksi baru. Pasien harus didorong untuk
mengembangkan strategi pencegahan serta memiliki perawatan ulang jika
perlu.
Pencegahan dapat dilakukan dengan mengobati penderita
untuk menghilangkan sumber infeksi. Menyediakan air bersih untuk
memasak, minum, dan mandi memberi alternatif lain untuk
melakukan kontak dengan air yang terdapat serkaria. Menyediakan sistem
pembuangan kotoran yang sehat sehingga penularan bisa dicegah.
Pemberantasan siput dengan bahan kimia maupun secara biologis
menggunakan predator alami siput

3. TREMATODA PARU

3.1 Paragonimus westermani


a. Morfologi
Morfologi Telur
Ukuran telur: 80 120 x 50 60 mikron bentuk oval cenderung asimetris,
terdapat operkulum pada kutub yang mengecil. Ukuran operkulum relatif
besar, sehingga kadang tampak telurnya seperti terpotong berisi embrio.

1
Morfologi Cacing Dewasa
Bersifat hermaprodit, sistem reproduksinya ovivar. Bentuknya seperti daun
berukuran 7 12 x 4 6 mm dengan ketebalan tubuhnya antara 3 5 mm.
Memiliki batil isap mulut dan batil isap perut. Uterus pendek berkelok-
kelok. Testis bercabang, berjumlah 2 buah. Ovarium berlobus terletak di
atas testis. Kelenjar vitelaria terletak di 1/3 tengah badan.

b. Siklus hidup

Hospes definitif : Manusia, kucing, anjing


Hospes perantara I : Keong air / siput (Melania/Semisulcospira spp)
Hospes perantara II : Ketam / kepiting.
Telur keluar bersama tinja atau sputum, dan berisi sel terlur. Telur menjadi
matang dalam waktu kira-kira 16 hari lalu menetas. Mirasidium lalu
mencari keong air dan dalam keong air terjadi perkembangan. Serkaria
keluar dari keong air, berenang mencari hospes perantara II, lalu
membnetuk metaserkaria di dalam tubuhnya. Infeksi terjadi dengan
memakan hospes perantara ke II yang tidak dimasak sampai matang.
Dalam hospes definitive, metaserkaria menjadi dewasa muda di
duodenum. Cacing dewasa muda bermigrasi menembus dinding usus,
masuk ke rongga perut, menembus diafragma dan menuju ke paru.
Jaringan hospes mengadakan reaksi jaringan sehingga cacing dewasa
terbungkus dalam kista, biasanya ditemukan 2 ekor didalamnya.

c. Paragonimiasis
Adalah penyakit dimana bagian tubuh yang diserang adalah paru-paru.
Penyakit yang disebabkan oleh cacing Paragonimus westermani ini biasa

1
disebut paragonimiasis, paragonimiasis adalah infeksi parasit makanan
terdapat pada paru-paru yang bisa menyebabkan sub-akut untuk penyakit
radang paru-paru kronis dapat juga melalui udara. Lebih dari 30 spesies
trematoda (cacing) dari genus Paragonimus telah dilaporkan menginfeksi
hewan dan manusia. Di antara lebih 10 spesies dilaporkan menginfeksi
manusia, yang paling umum adalah Paragonimus westermani yang
menyerang bagian paru-paru.

CARA INFEKSI:
Manusia dapat terinfeksi oleh Paragonimus westermani karena memakan
hospes perantara II yang mengandung metaserkaria.

d. Epidemiologi

Paragonimus westermani adalah kosmopolit terhadap mamalia,


kosmopolit terhadap manusia banya ditemukan di daerah Timur Jauh.
Daerah endemic utama adalah Jepang, Korea Selatan, Taiwan, Tiongkok
dan Filiphina. Manusia mendapat infeksi bila memakan ketam air tawar
atau udang batu mentah yang terkena infeksi. Kebiasaan di daerah Timur
adalah memakan udang batu yang diasinkan atau disajikan menjadi ketam
mabuk. Ketam mabuk dibuat dengan dicampurkan anggur dan
metaserkaria masih dapat hidup selama beberapa ajm dalam cairan anggur.
(Brown, 1979).
Infeksi pada anak terjadi karena ketam air tawar digunakan sebagai obat
campak dengan cara ditumbuk dan diambil cairannya. Hal ini sering
dilakukan di daerah Korea. (Brown, 1979)

e. Patologi dan Gejala Klinis

Apabila cacing dewasa berada dalam kista paru-paru atau bronkus,


penderita dapat mengalami gejala batuk kering dan sesak nafas, sakit dada
dan demam. Kasus ini disebut dengan hemoptisis endemis dan kejadiannya
terjadi pada pagi hari. Sepintas gejala ini mirip dengan tuberculosis aktif.
Penderita biasanya mengeluarkan sputum berdarah (berwarna karat). Pada
pemeriksaan fisik menunjukkan suatu bronkopneumoni dengan efusi
pleural. (Onggowaluyo, 2001)
Migrasi cacing dewasa ke organ lainnya dapat menimbulkan gejala yang
berbeda-beda tergantung dari organ yang diserang. Keadaan selanjutnya,
cacing berada pada otak dan dapat menimbulkan desakan jaringan yang
ada disekitarnya. Hal ini menyebabkan prognosis yang buruk karena

1
penderita akan mengalami epilepsy, hemiplegia atau monoplegia. Cacing
yang ada di bawah kulit dapat menimbulkan tumor yang dapat digerakkan.
Secara patologis, lokalisasi di paru terdapat reaksi-reaksi jaringan yang
mendahului pembentukan kapsul jaringan fibrosis (bungkus berwarna biru
mengandung sepasang cacing, telur dan infiltrasi radang). (Onggowaluyo,
2001)
f. Diagnosis

Diagnosis kuat dibuat dengan menemukan telur di dalam sputum maupun


cairan pleura. Kadang-kadang telur juga dapat ditemukan di dalam tinja
orang yang terinfeksi. Reaksi serologi merupakan cara yang efektif di
dalm melakukan diagnosis (Bagian Parasitologi FKUI,1998).

g. Pengobatan

Klorokuin yang diberikan pada orang dewasa hasilnya cukup baik. Bitiono
dan tiobisdiklorofenol yang diberikan peroral dapat menyembuhkan 90%
dari 1.315 penderita yang diobati, tetapi memberikan reaksi efek samping
seperti diare, kemerahan kulit dan sakit perut. (Onggowaluyo, 2001)

h. Pencegahan

Pencegahan dapat dilakukan dengan memasak setiap udang, keong, ketam


maupun kepiting hingga matang dan menghindari memakannya secara
langsung (mentah). Pembuangan tinja dan sputum pada tempatnya
(jamban) juga dapat mengurangi penyebaran cacing ini.

4. TREMATODA HATI

1. Clonorchis sinensis (Opisthorchis sinensis)

Morfologi

Cacing dewasa berbentuk cacing pipih memanjang, transparan dan bagian


posterior membulat. Memiliki ukuran 10-25 x 3-5 mm dengan integument tidak
berduri, batil isap kepala sedikit lebih besar dibandingkan batil isap perut dan
terletak pada 1/3 anterior tubuh. Gambaran khas pada besar dan dalamnya lekuk
lobus/cabang testis, dengan cabang ke lateral. Letak testis berurutan, sebelah
posterior dari ovarium yang lebih kecil dan juga berlobus. Ovarium ini terletak

1
digaris tengah, pada pertemuan 1/3 posterior dan 1/3 tengah tubuh, uterus tampak
berkelok-kelok, bermuara pada porus genitalis berdampingan dengan muara alat
kelamin jantan.
Organ reproduksi trematoda komplex dan daur hidup biasanya melibatkan
beberapa tuan rumah yang berbeda, yang berakibat dalam penambahan kekuatan
dari reproduksi. Reproduksi dari sebagian besar keturunan diperlukan dalam
hewan parasit kerena kesempatan suatu individual akan mencapai tuan rumah
baru agak enteng. Sebagian besar trematoda hermaphrodit. Telur dari satu cacing
mungkin dibuahi oleh spermatozoa dari cacing yang sama, dengan fertilisasi
silang dapat terjadi. Larva yang ditetaskan dari telur trematoda ectoparasitic
adalah berupa cilia dan berenang kira-kira sampai mereka melekatkan diri ke tuan
rumah yang baru. Trematoda endoparasitic biasanya terlewati melalui daur hidup
terkomplikasi seperti pada cacing hati.
Telur berbentuk oval dengan ukuran 28-35 x 12-19 m, ukuran dinding sedang,
memiliki operculum konveks, bagian posterior menebal. Telur diletakkan dalam
saluran empedu dalam keadaan sudah matang kemudian keluar bersama tinja dan
baru menetas apabila ditelan oleh hospes perantara I. telur dalam tinja dapat
bertahan selama 2 hari pada suhu 26C dan 5 hari pada suhu 4-8C. dalam hospes
perantara I miracidium berubah menjadi sporokista, redia dan serkaria. Serkaria
memiliki kelenjar penetrasi pada bagian kepala untuk menembus ikan tempat akan
membentuk metaserkaria dalam otot atau kulit ikan tersebut. Perkembangan
dalam tubuh ikan berlangsung selama 23 hari. Jika daging ikan yang mengandung
cacing tersebut (kista) dimasak kurang sempurna, jika dimakan hospes maka di
dalam duodenum, larva keluar dari kista masuk ke saluran empedu sebelah
distal dan cabang-cabangnya melalui ampula vateri. Untuk menjadi cacing dewasa
diperlukan waktu satu bulan, sedangkan seluruh siklus diperlukan sekitar 3 bulan.

Siklus Hidup

Cara penularan dan Manusia terinfeksi karena memakan ikan air-tawar contoh
makanan yang mentah atau kurang matang yang mengandung terlibat dalam KLB
larva berbentuk kista (metaserkaria). Pada saat dicerna, larva cacing akan terbebas
dari dalam kista dan bermigrasi melalui duktus koledokus ke dalam percabangan

1
empedu. Telur yang terletak dalam saluran empedu diekskresikan ke dalam tinja.
Telur dalam tinja mengandung mirasidium yang sudah berkembang lengkap.
Kalau telur ini dimakan oleh siput yang rentan, telur akan menetas dalam usus
siput, menembus jaringan tubuhnya dan secara aseksual menghasilkan larva
(serkaria) yang bermigrasi ke dalam air. Jika mengenai pejamu perantara yang
kedua, serkaria akan menembus tubuh pejamu dan membentuk kista, biasanya
dalam otot dan terkadang di bawah sisik. Siklus hidup cacing klonorkis yang
lengkap mulai dari siput, ikan sampai manusia memerlukan waktu sedikitnya 3
bulan.
Ikan yang mengandung metaserkaria akan termakan oleh manusia jika ikan
tersebut tidak dimasak dengan matang. Metaserkaria dalam bentuk kista masuk ke
dalam system pencernaan, kemudian berpindah ke hati melalui saluran empedu
dan tumbuh menjadi cacing dewasa.
Masa inkubasi Tidak bisa diperkirakan, masa inkubasi bervariasi menurut
jumlah cacing yang ada. Gejala dimulai dengan masuknya cacing yang imatur ke
dalam sistem empedu dalam waktu satu bulan sesudah larva yang berbentuk kista
(metaserkaria) termakan oleh pasien. Gejala-gejala gangguan rasa nyaman pada
abdomen kuadran kanan atas dengan awitan yang bertahap, anoreksia, gangguan
pencernaan, nyeri atau distensi abdomen dan buang air besar yang tidak teratur.

Patogenitas

Cacing ini menyebabkan iritasi pada saluran empedu dan penebalan dinding
saluran dan perubahan jaringan hati yang berupa radang sel hati.Gejala dibagi 3
stadium:
1. Stadium ringan tidak ada gejala.
2. Stadium progresif ditandai dengan menurunnya nafsu makan, diare, edema, dan
pembesaran hati.
3. Stadium lanjut didapatkan sindrom hipertensi portal terdiri dari pembesaran hati,
edema, dan kadang-kadang menimbulkan keganasan dlm hati, dapat
menyebabkan kematian.
Gejala Klinis

1
Perubahan patologi terutama terjadi pada sel epitel saluran empedu.
Pengaruhnya terutama bergantung pada jumlah cacing dan lamanya menginfeksi,
untungnya jumlah cacing yang menginfeksi biasanya sedikit. Pada daerah
endemik jumlah cacing yang pernah ditemukan sekitar 20-200 ekor cacing.
Infeksi kronis pada saluran empedu menyebabkan terjadinya penebalan epithel
empedu sehingga dapat menyumbat saluran empedu. Pembentukan kantong-
kantong pada saluran empedu dalam hati dan jaringan parenchym hati dapat
merusak sel sekitarnya. Adanya infiltrasi telur cacing yang kemudian dikelilingi
jaringan ikat menyebabkan penurunan fungsi hati.
Gejala asites sering ditemukan pada kasus yang berat, tetapi apakah ada
hubungannya antara infeksi C. sinensis dengan asites ini masih belum dapat
dipastikan. Gejala joundice (penyakit kuning) dapat terjadi, tetapi persentasinya
masih rendah, hal ini mungkin disebabkan oleh obstruksi saluran empedu oleh
telur cacing. Kejadian kanker hati sering dilaporkan di Jepang, hal ini perlu
penelitioan lebih jauh apakah ada hubungannya dengan penyakit Clonorchiasis.

Epidemiologi
Clonorchis Sinensis ditemukan terutama di Asia timur dan selatan juga di Asia
Pasifik.Cacing ini menyebar di berbagai negara seperti China, Korea, Vietnam,
Taiwan, jepang, dan lain-lain. Penyakit yang di temukan di indonesia bukan
infeksi autokon.

Siklus hidup:

1
2. Fasciola hepatica (Cacing Hati)
Morfologi
Menurut (Soedarto : 2009), panjang tubuh cacing dewasa antara 20-30 mm dan
lebar badan antara 8-13 mm. Cacing berbentuk pipih seperti daun, mempunyai
tonjolan khas di daerah anterior ( Cephalia cone ) dan gambaran seperti bahu
(Shoulder); Telur berbentuk lonjong, berukuran panjang 130-150 mikron dan
lebar 63-90 mikron, mempunyai operkulum; Cacing dewasa berwarna coklat abu-
abu.
Siklus Hidup
Pada spesies Fasciola hepatica, cacing dewasa bertelur di dalam saluran
empedu dan kantong empedu hewan ruminansia dan manusia. Kemudian telur
keluar ke alam bebas bersama feses domba. Bila mencapai tempat basah, telur ini
akan menetas menjadilarva bersilia yang disebut mirasidium. Mirasidium akan mati
bila tidak masuk ke dalam tubuh siput air tawar (Lymnea auricularis-rubigranosa).
Di dalam tubuh siput ini, mirasidium tumbuh menjadi sporokista (menetap dalam
tubuh siput selama + 2minggu). Sporokista akan menjadi larva berikutnya yang
disebut Redia. Hal ini berlangsung secara partenogenesis. Redia akan menuju
jaringan tubuh siput dan berkembang menjadi larva berikutnya yang disebut
serkaria yang mempunyai ekor. Dengan ekornya serkaria dapat menembus jaringan
tubuh siput dan keluar berenang dalam air.

Di luar tubuh siput, larva dapat menempel pada rumput untuk beberapa
lama. Serkaria melepaskan ekornya dan menjadi metaserkaria. Metaserkaria
membungkus diri berupa kista yang dapat bertahan lama menempel pada rumput
atau tumbuhan air sekitarnya. Perhatikan tahap perkembangan larva Fasciola
hepatica. Apabila rumput tersebut termakan oleh hewan ruminansia dan manusia,
maka kista dapat menembus dinding ususnya, kemudian masuk ke dalam hati,
saluran empedu dan dewasa disana untuk beberapa bulan. Cacing dewasa bertelur
kembali dan siklus ini terulang lagi.

Dalam daur hidup cacing hati ini mempunyai dua macam tuan rumah yaitu:
1. Inang perantara, yaitu siput;
2. Inang menetap, yaitu hewan bertulang belakang pemakan rumput seperti sapi dan
domba.

Patogenitas
Cara penularan Fasciola melalui induk semang antara yaitu siput genus Limnea,
di Indonesia diperantarai oleh Limnea rubiginosa. Fasciola dewasa hidup dalam
duktus empedu dan kantung empedu dan fasciola muda hidup di jaringan hati.
Telur fasciola masuk melalui duodenum bersamaan dengan empedu dan

1
diekskresikan melalui feses host. Keadaan lingkungan juga mempengaruhi
perkembangan dan penetasan telur. Pada suhu 20-26C telur akan menetas dalam
waktu 10-12 hari dan mengasilkan larva stadium pertama (mirasidium). Pada suhu
lebih dari 40C telur akan mati dan warna berubah kehitaman, meskipun
perkembangan telur tetap berlangsung namun mirasidium tidak dapat keluar dari
telur. Mirasidium berukuran 0,15 mm, pada bagian kepala mirasidium dilengkapi
jaringan untuk penetrasi pada siput dan berenang di air dengan menggunakan silia
yang menutupi tubuhnya. Di lingkungan mirasidium dapat bertahan selama 2-3
jam jika tidak, maka mirasidia akan mati. Bila bertemu dengan siput, mirasidium
menembus jaringan siput membentuk sporosis. Pada stadium lebih lanjut, setiap
sporosis akan terbentuk menjadi 5 8 buah redia yang selanjurnya akan
membentuk serkaria. Serkaria meninggalkan siput dan dalam beberapa waktu
menempel pada lingkungan termasuk tanaman air, kemudian setelah melepaskan
ekornya serkaria akan membentuk kista (metaserkaria) yang merupakan stadium
infektif cacing hati (Satrija et al. 2009). Ternak (sapi, kerbau, kambing, dan
domba) akan terinfeksi apabila makan rumput yang mengandung metaserkaria.
Setelah metaserkaria termakan oleh ternak, akan mengalami eksitasi dalam usus
halus kemudian menembus usus bermigrasi dan tinggal dalam hati yang akan
berkembang selama 5 6 minggu. Dalam tahap akhir larva cacing akan memasuki
saluran empedu untuk tumbuh menjadi dewasa (Satrija et al. 2009). Sapi dan
hewan ternak lainnya terinfeksi melalui rumput yang dimakan, air yang
mengandung metaserkaria dan pada beberapa kasus infeksi dapat terjadi
transplasental. Terdapat dua rute migrasi larva ke hati, yaitu melalui ruang
abdominal, penetrasi melalui kapsula hati, kemudian berpindah melalui parenkim
hati dan dalam beberapa minggu fasciola dapat mencapai duktus empedu. Rute
migrasi lainnya adalah terjadi eksitasi larva dalam duodenum dan larva fasciola
masuk dalam aliran darah intestinal dan selanjutnya masuk ke dalam duktus
empedu. Perkembangan larva Fasciola menjadi Fasciola dewasa membutuhkan
waktu 2,4-4 bulan dan Fasciola dapat bertahan hidup 3-5 tahun dalam tubuh
hewan.

Gejala Klinis

1
Gejala klinis fasciolosis tidak patognomonis dan gejala umum yang terlihat adalah
adanya gangguan pencernaan berupa konstipasi/ sembelit kemudian disertai
dengan adanya daire (mencret), kurus, lemah, bulu berdiri, depresi, kesulitan
bernafas, anemia, selaput lendir pucat kekuningan, kekurusan, terjadi busung
(oedema) di bawah rahang dan bawah perut.

Epidemiologi
penyakit ini ditemukan tersebar di dunia. Di Indonesia ditemukan hampir
di seluruh daerah, terutama di daerah yang basah.
tingkat morbiditas dilaporkan 50-75 %, rata-rata 30 %.
Dilaporkan bahwa 2,5 juta orang telah terinfeksi di 61 negara terutama
dari Bolivia, Peru, Mesir, Iran, Portugal, dan Perancis, dan bahwa lebih
dari 180 juta orang beresiko.
Di sebelah utara Iran, berdasarkan penelitian carpological menunjukkan
sekitar 7.3 dan 25,4% prevalensi global pada ternak domba.
Fasciola hepatica umumnya ditemukan di Negara empat musim atau
subtropis seperti Amerika Selatan, Amerika Utara, Eropa, Afrika Selatan,
Rusia, Australia dan New Zealand.
CHEN don MOTT (1990), mengatakan bahwa dalam kurun waktu 20
tahun terakhir, yaitu antara tahun 1970 sampai dengan tahun 1990, telah
terjadi kasus kejadian fasciolosis yang disebabkan oleh F. hepatica pada
2594 orang di 42 negara.
Menurut HOPKINS (1992), penderita fasciolosis adalah sekitar 17 juta
orang di seluruh dunia.

Siklus Hidup

1
3. Opistorchis felineus
Morfologi
Ciri-ciri khusus :
1. Ukuran : panjang 7-8 mm
Lebar 2-3 mm
2. Bentuk lebih panjang atau langsing.
3. Kutikula tertutup duri.
4. Oral sucker lebih terminal. asetabulum pada 1setengah bagian tubuh depan (1/4
dari seluruh panjang tubuh)
5. Besar oral sucker = besar ventral sucker.
6. Sekum panjang tak bercabang
7. Testis berlobi miring satu sama lain
8. Kelenjar vitelin S pada tengah badan.
Siklus Hidup
Manusia terinfeksi karena memakan ikan air-tawar contoh makanan yang
mentah atau kurang matang yang mengandung terlibat dalam KLB larva
berbentuk kista (metaserkaria). Pada saat dicerna, larva cacing akan terbebas dari
dalam kista dan bermigrasi melalui duktus koledokus ke dalam percabangan
empedu. Telur yang terletak dalam saluran empedu diekskresikan ke dalam tinja.
Telur dalam tinja mengandung mirasidium yang sudah berkembang lengkap.
Kalau telur ini dimakan oleh siput yang rentan, telur akan menetas dalam usus
siput, menembus jaringan tubuhnya dan secara aseksual menghasilkan larva
(serkaria) yang bermigrasi ke dalam air. Jika mengenai pejamu perantara yang

1
kedua, serkaria akan menembus tubuh pejamu dan membentuk kista, biasanya
dalam otot dan terkadang di bawah sisik. Siklus hidup cacing Opistorchis yang
lengkap mulai dari siput, ikan sampai manusia memerlukan waktu sedikitnya 3
bulan.
Ikan yang mengandung metaserkaria akan termakan oleh manusia jika
ikan tersebut tidak dimasak dengan matang. Metaserkaria dalam bentuk kista
masuk ke dalam system pencernaan, kemudian berpindah ke hati melalui saluran
empedu dan tumbuh menjadi cacing dewasa.
Cacing dewasa juga dihidup dalam saluran emped, jarang ditemukan
dalam pangkreas. Prepaten terletak antara 3 4 minggu. Kerusakan karena cicing
ini tergantung pada beratnya infeksi. Beberapa cacing umumnya tidak mengalami
gejala, tetapi dapat juga menimbulkan pembesaran hati, pembengkakan saluran
dan kandung empedu. Pada infeksi kronis kadang-kadang menyebabkan
karsinoma saluran empedu dan pangkreas.

Patogenitas
Dapat menimbulkan pembesaran hati, pembengkakan saluran dan kandung
empedu. Pada infeksi kronis kadang-kadang menyebabkan karsinoma saluran
empedu dan pangkreas. Pada daerah endemik jumlah cacing yang pernah
ditemukan sekitar 20-200 ekor cacing. Infeksi kronis pada saluran empedu
menyebabkan terjadinya penebalan epithel empedu sehingga dapat menyumbat
saluran empedu. Pembentukan kantong-kantong pada saluran empedu dalam hati
dan jaringan parenchym hati dapat merusak sel sekitarnya. Adanya infiltrasi telur
cacing yang kemudian dikelilingi jaringan ikat menyebabkan penurunan fungsi
hati.

Gejala Klinis
Umumnya tidak mengalami gejala

Epidemiologi
Ditemukan di Eropa Tengah, Siberia dan Jepang. Parasit ini ditemukan
pada Prusia, Polandia dan Siberia ditemukan di Jepang yang bukan daerah

1
endemik Clonorchiasis. Kasus infeksi terjadi pada imigran atau memakan ikan
segar mentah yang mengandung metaserkaria.\

Siklus Hidup

4. Opisthorchis viverrini
Morfologi
Habitat : saluran empedu dan saluran pankreas.
Ukuran :7 12 mm
Batil isap mulut > batil isap perut
Telur : mirip telur Clonorchis sinensis, tapi lebih langsing
Cara infeksi : makan ikan yang mengandung metaserkaria yg dimasak kurang
matang.
Hospes : manusia.
Reservoir : kucing dan anjing.
Penyakit : opistokiasis
Siklus Hidup
Siklus hidup dari Opisthorchis viverrini mirip dengan Opistorchis felinus
hanya berada dalam ukuran yang lebih besar. Infeksi terjadi dengan makan ikan
mentah yang mengandung metaserkia. Di daerah Muangthai timur laut ditemukan
banyak penderita kolangiokarsinoma dan hepatoma pada penderita opistorkiasis.
Hal ini juga karena ada peradangan kronik saluran empedu dan selain itu
berhubungan dengan cara pengawetan ikan yang menjadi hospes perantara
Opistorchis viverrini.

1
Gejala Klinis
Cacing dalam jumblah sedikit tidak akan menimbulkan gejala,kadang-
kadang timbul gejala berupa diare,kurang nafsu makan,perut
kembung/dyspepsia,nyeri perut di bagian atas
kanan,anoreksia,mual,muntah,demam tinggi.Perasaan tidak enak di
epigastrium,nyeri di kuadran kanan atas dapat juga timbul disertai
hepatomegali,ikterus,suhu naik 38,5C.Selanjutnya jika jumblah telur mencapai
10-50 butir per mg tinja,penyakit berat dan jika lebih dari 50 butir,penyakit sangat
berat.

Epidemiologi
Penyebaran geografis thematoda Opisthorchis viverrini ini tersebar daerah Asia
Tenggara dan Thailand,Vietnam,Camboja sebagai daerah endemi.

Siklus Hidup

Anda mungkin juga menyukai