Anda di halaman 1dari 24

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Penyakit Skabies
Skabies adalah infeksi kulit yang disebabkan oleh Sarcoptes Scabiei
tungau ( mite ) berukuran kecil yang hidup dalam kulit penderita. Tungau yang
tersebar luas di seluruh dunia ini dapat ditularkan dari hewan ke manusia dan
sebaliknya. Skabies adalah suatu infrestasi tungau ( Sarcoptes Scabie).
1. Sarcoptes Sacbiei
Tungau Sarcoptes scabie ini termasuk kingdom Animalia atau
dunia hewan dengan urutan taksonomi sebagai berikut.
Filum :Arthropoda
Kelas :Arachnida
Subkelas :Acari
Ordo :Acarina
Famili :Sarcoptidae
Genus :Sarcoptes
Spesies :Sarcoptes scabiei var. Hominis
a. Ciri Morfologi
Tungau penyebab skabies berwarna putih agak krem kecokelatan
pada bagian tepi tubuhnya. Tungau ini tidak terlihat dengan mata
telanjang, untuk melihatnya diperlukan alat bantu berupa mikroskop.
Tungau tampak dorsal berbentuk cembung, sedangkan tampak ventral
berbentuk datar.

Gambar II. 1Tungau Sarcoptes Scabiei


( Sumber : buku skabies dan pencegahan )

8
Tubuh tungau dewasa berukuran antara 0,2–0,4 mm x 0,2–0,5 mm.
Tungau tampak dorsal terlihat kepala,badan, dan 4 pasang kaki.
Tungau tampak ventral terlihat kepala, badan, lengan, 4 pasang kaki,
dan anus.

Gambar II. 2Bagian-bagian tungau Sarcoptes Scabiei


( Sumber : Journal of the Korean Medical Association )
b. Habitat
Tempat hidup tungau penyebab skabies di kulit manusia, terutama di
bagian epidermis kulit. Bagian epidermis kulit antara lain: stratum
korneum, stratum lucidum, stratum granulosum, stratum spinosum,
stratum basale, dan basement membrane.
2. Etiologi
Penyebabnya penyakit skabies sudah dikenal lebih dari 100 tahun
lalu sebagai akibat infestasi tungau yang dimakan Acarus scabiei atau
pada manusia disebut Sarcoptes scabiei varian hominis. Sarcoptes scabiei
termasuk filum Arthropoda, kelas Arachnida, ordo Acarina, super family
Sarcoptes ( Sudirman, 2006 ).
Secara morfologi tungau ini berbentuk oval dan gepeng, berwarna
putih kotor, transulen dengan bagian punggung lebih lonjong
dibandingkan perut, tidak berwarna, yang betina berukuran 300-350
mikron, sedangkan yang jantan berukuran 150-200 mikron. Stadium
dewasa mempunyai 4 pasang kaki, 2 pasang merupakan kaki depan dan 2
pasang lainnya kaki belakang. Siklus hidup dari telur sampai menjadi
dewasa berlangsung satu bulan. Sarcoptes Scabiei betina terdapat bulu
cambuk pada pasangan kaki ke-3 dan ke-4. Sedangkan pada yang jantan

9
bulu cambuk demikian hanya dijumpai pada pasangan kaki ke-3 saja
(Iskandar, 2000)
3. Epidemiologi
Skabies merupakan penyakit epidemik pada banyak masyarakat.
Ada dugaan bahwa setiap siklus 30 tahun terjadi epidemik skabies.
Penyakit ini banyak dijumpai pada anak dan orang dewasa muda, tetapi
dapat juga mengenai semua umur. Insidensi sama pada pria dan wanita.
Insidensi skabies di negara berkembang menunjukkan siklus fluktasi yang
sampai saat ini belum dapat dijelaskan. Interval antara akhir dari suatu
epidemik dan permulaan epidemik berikutnya kurang lebih 10-15 tahun.
Beberapa faktor yang dapat membantu penyebarannya adalah
kemiskinan, hygiene yang jelek, seksual promiskuitas, diagnosis yang
salah, demografi, ekologi dan derajat sensitasi individual. Insidensinya di
Indonesia masih cukup tinggi, terendah di Sulawesi Utara dan tertinggi di
Jawa Barat. Selain itu faktor penularannya bisa melalui tidur bersama
dalam satu tempat tidur, lewat pakaian, perlengkapan tidur atau benda-
benda lainnya. Seperti yang terjadi di pondok pesantren. Sebagian besar
santri mempunyai kebiasaan untuk bertukar pakaian, alat sholat ataupun
alat mandi dengan teman sehingga penyebaran penyakit skabies menjadi
sangat mudah mengingat salah satu penyebab penularan skabies adalah
hygiene yang jelek (Djuanda, 2007).
Penyebab dan proses terjadinya penyakit skabies berkembang dari
rantai sebab akibat ke suatu proses kejadian penyakit, yakni proses
interaksi antara manusia (pejamu) dengan berbagai sifatnya (biologis,
fisiologis, psikologis, sosiologis dan antropologis) dengan penyebab
(agent) serta dengan lingkungan (environment).

Gambar II. 3 Hubungan Interaksi Host, Agent dan Environment


( Sumber : Teori John Gordon )

10
Dalam teori keseimbangan, interaksi antara ketiga unsur tersebut
harus dipertahankan keseimbangannya. Bila terjadi gangguan
keseimbangan antara ketiganya, akan menyebabkan timbulnya penyakit
tertentu, termasuk penyakit kulit skabies (Noor, 2008).
a. Unsur penyebab (agent)
Pada umumnya, kejadian setiap penyakit sangat dipengaruhi oleh
berbagai unsur yang berinteraksi dengan unsur penyebab dan ikut
dalam proses sebab akibat. Faktor yang terinteraksi dalam proses
kejadian penyakit dalam epidemiologi digolongkan dalam faktor
resiko. Dalam hal ini yang menjadi faktor penyebab dalam terjadinya
penyakit skabies adalah seekor tungau yang bernama sarcoptes
scabiei.
b. Unsur pejamu (host)
Unsur pejamu terutama pejamu manusia dapat dibagi dalam dua
kelompok sifat utama, yakni: pertama, sifat yang erat hubungannya
dengan manusia sebagai makhluk biologis dan kedua, sifat manusia
sebagai makhluk sosial. Manusia sebagai makhluk biologis memiliki
sifat biologis tertentu, seperti: umur, jenis kelamin, keadaan imunitas
dan reaksi tubuh terhadap berbagai unsur dari luar maupun dari dalam
tubuh sendiri. Sedangkan manusia sebagai makhluk sosial mempunyai
berbagai sifat khusus seperti: kelompok etnik termasuk adat,
kebiasaan, agama, kebiasaan hidup dan kehidupan sehari-hari termasuk
kebiasaan hidup sehat.
Keseluruhan unsur tersebut di atas merupakan sifat karakteristik
individu sebagai pejamu akan ikut memegang peranan dalam proses
kejadian penyakit, termasuk penyakit kulit terjadinya skabies yang
dapat berfungsi sebagai faktor resiko.
c. Unsur lingkungan (Environment)
Lingkungan memegang peranan yang cukup penting dalam
menentukan proses penyakit. Secara garis besarnya, maka unsur

11
lingkungan dapat di bagi dalam tiga bagian utama, yakni: lingkungan
fisik, lingkungan biologis dan lingkungan sosial (Noor,2008).
4. Patogenesis
Keluhan pertama yang dirasakan penderita adalah rasa gatal
terutama pada malam hari (pruritus noktural) atau bila cuaca panas serta
sedang berkeringat. Gatal yang hebat terutama pada malam hari sebelum
tidur. Adanya tanda tanda yaitu papula (bintil), pustula (bintil bernanah),
ekskoriasi (bekas garukan), bekas -bekas lesi yang berwarna hitam
(Sudirman, 2006).
Gatal yang terjadi disebabkan oleh sensitisasi terhadap sekreta dan
ekskreta tungau yang kira-kira memerlukan waktu sebulan setelah
infestasi. Pada saat inikelainan kulit menyerupai dermatitis dengan
ditemukannya papula, vesikel, urtika,dan lain-lain. Dengan garukan dapat
timbul erosi, ekskorisasi (lecet sampai epidermisdan berdarah), krusta
(cairan tubuh yang mengering pada permukaan kulit) dan infeksi sekunder
(Djuanda, 2007).
Selain itu, skabies juga bisa timbul akibat garukan oleh penderita
itu sendiri. Gatal yang terjadi disebabkan oleh sensitisasi terhadap sekret
dan ekskret tungau yang memerlukan waktu kira-kira sebulan setelah
infestasi. Pada saat itu kelainan kulit menyerupai dermatitis dengan
ditemukannya papul, vesikel, urtika dan lain-lain. Dengan garukan dapat
timbul erosi, ekskoriasi, krusta dan infeksi sekunder. Kelainan kulit dan
gatal yang terjadi dapat lebih luas dari lokasi tungau (Djuanda, 2007).
Infestasi pertama skabies akan menimbulkan gejala klinis setelah satu
bulan kemudian. Tetapi yang telah mengalami infestasi sebelumnya, gejala
klinis dapat timbul dalam waktu 24 jam. Hal ini terjadi karena pada
infestasi ulang telah ada sensitisasi dalam tubuh pasien terhadap tungau
dan produknya yang antigen dan mendapat respons dari sistem imun tubuh
(Sudirman, 2006).
Infestasi dimulai saat tungau betina yang telah dibuahi tiba di
permukaan kulit. Dalam waktu satu jam, tungau tersebut akan mulai
menggali terowongan. Setelah tiga puluh hari, terowongan yang awalnya

12
hanya beberapa millimeter bertambah panjang menjadi beberapa
sentimeter. Meskipun begitu, terowongan ini hanya terdapat di stratum
korneum dan tidak akan menembus lapisan kulit di bawah epidermis.
Terowongan ini dibuat untuk menyimpan telur- telur tungau, kadang-
kadang juga ditemukan skibala di dalamnya. Tungau dan produk-
produknya inilah yang berperan sebagai iritan yang akan merangsang
sistem imun tubuh untuk mengerahkan komponen- komponennya (Habif,
2003).
Dalam beberapa hari pertama, antibodi dan sel sistem imun
spesifik lainnya belum memberikan respon. Namun, terjadi perlawanan
dari tubuh oleh sistem imun non spesifik yang disebut inflamasi. Tanda
dari terjadinya inflamasi ini antara lain timbulnya kemerahan pada kulit,
panas, nyeri dan bengkak. Hal ini disebabkan karena peningkatan
persediaan darah ke tempat inflamasi yang terjadi atas pengaruh amin
vasoaktif seperti histamine, triptamin dan mediator lainnya yang berasal
dari sel mastosit. Mediator- mediator inflamasi itu juga menyebabkan rasa
gatal di kulit. Molekul- molekul seperti prostaglandin dan kinin juga ikut
meningkatkan permeabilitas dan mengalirkan plasma dan protein plasma
melintasi endotel yang menimbulkan kemerahan dan panas (Baratawidjaja,
2007).
Faktor kemotaktik yang diproduksi seperti C5a, histamine,
leukotrien akan menarik fagosit. Peningkatan permeabilitas vaskuler
memudahkan neutrofil dan monosit memasuki jaringan tersebut. Neutrofil
datang terlebih dahulu untuk menghancurkan/menyingkirkan antigen.
Meskipun biasanya berhasil, tetapi beberapa sel akan mati dan
mengeluarkan isinya yang juga akan merusak jaringan sehingga
menimbulkan proses inflamasi. Sel mononuklear datang untuk
menyingkirkan debris dan merangsang penyembuhan (Baratawidjaja,
2007).
Bila proses inflamasi yang diperankan oleh pertahanan non spesifik
belum dapat mengatasi infestasi tungau dan produknya tersebut, maka
imunitas spesifik akan terangsang. Mekanisme pertahanan spesifik adalah

13
mekanisme pertahanan yang diperankan oleh sel limfosit, dengan atau
tanpa bantuan komponen sistem imun lainnya seperti sel makrofag dan
komplemen. Antigen akan berikatan dengan imunoglobulin permukaan sel
B dan dengan bantuan sel Th, kemudian akan terjadi aktivasi enzim dalam
sel B sedemikian rupa hingga terjadilah transformasi blast, proliferasi, dan
diferensiasi menjadi sel plasma yang mensekresi antibodi dan membentuk
sel B memori. Antibodi yang disekresi dapat menetralkan antigen sehingga
infektivitasnya hilang, atau berikatan dengan antigen sehingga lebih
mudah difagosit oleh makrofag dalam proses yang dinamakan opsonisasi.
Kadang fagositosis dapat pula dibantu dengan melibatkan komplemen
yang akan berikatan dengan bagian Fc antibodi sehingga adhesi kompleks
antigen-antibodi pada sel makrofag lebih erat, dan terjadi endositosis serta
penghancuran antigen oleh makrofag. Adhesi kompleks antigen-antibodi
komplemen dapat lebih erat karena makrofag selain mempunyai reseptor
Fc juga mempunyai reseptor C3b yang merupakan hasil aktivasi
komplemen. Selain itu, ikatan antibodi dengan antigen juga mempermudah
lisis oleh sel Tc yang mempunyai reseptor Fc pada permukaannya.
Peristiwa ini disebut antibody-dependent cellular mediated cytotoxicity
(ADCC). Lisis antigen dapat pula terjadi karena aktivasi komplemen.
Komplemen berikatan dengan bagian Fc antibodi sehingga terjadi aktivasi
komplemen yang menyebabkan terjadinya lisis antigen (Kresno, 2007).
Hasil akhir aktivasi sel B adalah eliminasi antigen dan
pembentukan sel memori yang kelak bila terpapar lagi dengan antigen
serupa akan cepat berproliferasi dan berdiferensiasi. Walaupun sel plasma
yang terbentuk tidak berumur panjang, kadar antibodi spesifik yang cukup
tinggi akan mencapai kadar protektif yang berlangsung dalam waktu
cukup lama. Hal ini disebabkan karena adanya antigen yang tersimpan
dalam sel dendrit dalam kelenjar limfe yang akan dipresentasikan pada sel
memori sewaktu-waktu di kemudian hari (Kresno, 2007).
5. Gejala Klinis
Tungau Sarcoptes Scabiei tersebut yang menyebabkan bintil-bintil
kecil kemerahan dan rasa gatal di sela-sela jari tangan, pergelangan

14
tangan, sikut, ketiak, disekitar puting payudara wanita, alatkelamin pria
(penis dan kantung zakar), di sepanjang garis ikat pinggang dan sekitar
pantat bagian bawah ( Susanto, Made 2013 ).
Penyakit skabies memiliki 4 gejala klinis utama ( gejala cardinal /
cardinal sign ) sebagai berikut :
a. Pruritus nokturna atau rasa gatal di malam hari, disebabkan aktivitas
kutu yang lebih tinggi dalam suhu lembab. Rasa gatal dan kemerahan
diperkirakan timbul akibat sensitisasi oleh kutu.
b. Penyakit ini dapat menyerang manusia secara berkelompok, mereka
yang tinggal di asrama, barak-barak tentara, pesantren maupun panti
asuhan berpeluang lebih besar terkena penyakit ini. Penyakit ini sangat
mudah menular melalui pakaian, handuk, baju maupun seprei secara
bersama-sama. Skabies mudah menyerang daerah yang tingkat
kebersihan diri dan lingkungan masyarakatnya rendah.
c. Adanya lesi kulit yang khas, berupa papula, vesikel pada kulit atau
terowongan-terowongan di bawah lapisan kulit ( kanalikuli ) yang
berbentuk lurus atau berkelok-kelok berukuran 1-10 mm. Jika terjadi
infeksi sekunder oleh bakteri maka akan timbul gambaran pustule
(bisul kecil). Kanalikuli ini berada pada daerah lipatan kulit yang tipis,
seperti sela-sela jari tangan, daerah sekitar kemaluan, wajah dan kulit
kepala ( pada anak ), siku bagian luar, kulit sekitar payudara, bokong
serta pada bagian bawah.
d. Pemeriksaan kerokan kulit secara mikroskopis positif, adanya kutu
telur atau skibala ( butiran feses ).
6. Klasifikasi Penyakit Skabies
Menurut Sudirman ( 2006 ) dalam jurnal penelitian Riris Nur
Rohmawati ( 2010 ), skabies dapat diklasifikasikan sebagai berikut :
a. Skabies pada bayi dan anak kecil
Gambaran klinis tidak khas, kunikulus sulit ditemukan namun vesikel
lebih banyak, dapat mengenai seluruh tubuh, termasuk kepala, leher,
telapak tangan dan telapak kaki.

15
b. Skabies noduler ( Noduler skabies )
Lesi berupa nodul coklat kemerahan yang gatal pada daerah tertutup.
Nodul dapat bertahan beberapa bulan hingga beberapa tahun walaupun
telah diberikan obat anti skabies.
c. Skabies in cognito
Skabies akibat pengobatan dengan menggunakan kostikosteroid topical
atau sistemik. Pemberian obat ini hanya dapat memperbaiki gejala
klinik ( rasa gatal ) tapi penyakitnya tetap ada dan tetap menular.
d. Skabies yang ditularkan oleh hewan ( Animal transmited Skabies )
Gejala ringan, rasa gatal kurang, tidak timbul kunikulus, lesi terutama
terdapat pada tempat tempat kontak, dapat sembuh sendiri bila
menjauhi hewan tersebut dan mandi yang bersih.
e. Skabies krustosa ( Crustes skabies / skabies keratonik )
Tipe ini jarang terjadi, namun bila ditemui kasus ini dan terjadi
keterlambatan diagnosis maka kondisi ini akan sangat menular.
f. Skabies terbaring di tempat tidur ( Bed ridden )
Penderita penyakit kronis dan orang tua yang terpaksa harus terbaring
di tempat tidur dapat menderita skabies yang lesinya terbatas.
g. Skabies yang disertai penyakit menular seksual yang lain
Apabila ada skabies di daerah genital perlu dicari kemungkinan
penyakit menular seksual lainnya, dimulai dengan pemeriksaan biakan
atau gonore dan pemeriksaan serologi untuk sifilis.
h. Skabies dan Aquired Immuodeficiency Syndrome ( AIDS )
Ditemukan skabies atipik dan pneumonia pada seoraang penderita.
i. Skabies dishidrosiform
Jenis ini ditandai oleh lesi berupa kelompok vesikel dan pustule pada
tangan dan kaki yang sering berulang dan selalu sembuh dengan obat
antiskabies ( Sudirman, 2006 dalam jurnal penelitian Riris Nur
Rohmawati, 2010 ).

16
7. Diagnosis
Diagnosis pada penyakit skabies dapat diketahui melalui diagnosis
lapangan dan diagnosis laboratorium.
a. Diagnosis lapangan
Diagnosis ditegakkan berdasarkan adanya keropeng dan
kerontokan bulu pada daerah kulit bagian oral, aurikularis, abdomen,
testis dan sela-sela antara digiti ekstremitas depan dan belakang
(Bowman, 2003).
Anak-anak sering mengalami infeksi sekunder, terutama pada
daerah tropis. Negara-negara tropis seperti Asia Tenggara merupakan
lingkungan yang baik untuk berkembangnya penyakit ini. Pada
keadaan tertentu, anak-anak yang berada pada lingkungan buruk juga
memiliki faktor risiko untuk terkena penyakit ini.
b. Diagnosis laboratorium
Diagnosis investasi tungau dibuat dengan identifikasi tungau pada
kelinci. Tungau dapat diidentifikasi melalui pemeriksaan mikroskopis
dengan kerokan kulit, kemudian diletakkan di gelas objek dan
dijernihkan dengan larutan KOH 5-10%, kemudian ditutup dengan
cover gelas dan selanjutnya diperiksa di bawah mikroskop ( Iskandar,
1982 ; Iskandar,eta.,1984 ; Smith & Mangkoewidjojo, 1988 ).
8. Karakteristik Individu Dalam Kejadian Skabies
Perbedaan sifat atau keadaan karakteristik individu secara tidak
langsungdapat memberikan perbedaan pada sifat atau keadaan
keterpaparan maupun derajat risk (relative exposure) dan reaksi individu
terhadap setiap keadaan keterpaparan, sangat berbeda atau dapat
dipengaruhi oleh berbagai sifat karakteristik tertentu. Pertama, faktor
genetis yang lebih bersifat tetap, seperti jenis kelamin, ras, data kelahiran,
dan lain-lain. Kedua, faktor biologis yang berhubungan erat dengan
kehidupan biologis seperti umur. Ketiga, faktor perilaku yang berpengaruh

17
seperti tingkat pendidikan, daerah tempat tinggal dan sebagainya.
a. Umur
Adapun hubungan antara kejadian frekuensi penyakit dengan
umur biasanya dinyatakan dalam bentuk age specific incidence
maupun prevalence (angka kejadian umur khusus) yakni jumlah
kejadian suatu penyakit pada suatu kelompok umur tertentu. Selain
faktor tersebut di atas, umur merupakan salah satu sifat karakteristik
yang sangat utama karena umur juga mempunyai hubungan yang erat
dengan keterpaparan. Umur juga mempunyai hubungan dengan
besarnya resiko terhadap penyakit tertentu dan sifat resistensi pada
berbagai kelompok umur tertentu. Dengan demikian maka dapat di
mengerti bahwa adanya perbedaan pengalaman terhadap penyakit
menurut umur sangat mempunyai kemaknaan (pengaruh) yang
berhubungan dengan adanya perbedaan tingkat keterpaparan dan
kerentanan menurut umur, adanya perbedaan dalam proses kejadian
patogenesis, maupun adanya perbedaan pengalaman terhadappenyakit
tertentu. Beberapa penyakit menular tertentu menunjukkan bahwa
umur muda mempunyai resiko yang tinggi, bukan saja karena tingkat
kerentanannya ,melainkan juga pengalaman terhadap penyakit tersebut
yang biasanya sudah dialami oleh mereka yang berumur lebih tinggi
(Noor, 2008). Dalam kaitannya dengan kejadian skabies pada
seseorang, pengalaman keterpaparan sangat berperan karena mereka
yang berumur lebih tinggi dan mempunyai pengalaman terhadap
skabies tentu mereka akan lebih tahu cara pencegahan serta
penularannya (Muin, 2009).
b. Jenis kelamin
Perbedaan insiden penyakit menurut jenis kelamin, dapat timbul
karena bentuk anatomis, fisiologis dan faktor hormonal yang berbeda.
Selain ituperlu diperhitungkan pula bahwa sifat karakteristik jenis
kelamin mempunyai hubungan tersendiri yang cukup erat dengan sifat
keterpaparan dan tingkat kerentanan terhadap penyakit tertentu.
Orang dengan jenis kelamin perempuan akan lebih kecil resiko

18
terpapar skabies karena perempuan cenderung lebih selalu merawat
dan menjaga penampilan, dengan begitu kebersihan diri perempuan
juga lebih terawat. Sedangkan laki-laki cenderung tidak
memperhatikan penampilan diri, hal itu tentunya akan berpengaruh
terhadap perawatan kebersihan diri, dan kebersihan diri yang buruk
tersebut yang akan sangat berpengaruh terhadap kejadian skabies
(Muin,2009).
c. Tingkat pendidikan
Tingkat pendidikan adalah proses pengembangan diri dari
individu dan kepribadian seseorang yang dilaksanakan secara sadar
dan penuh tanggung jawab untuk meningkatkan pengetahuan,
ketrampilan dan sikap serta nilai-nilai sehingga mampu menyesuaikan
diri dengan lingkungannya, pada umumnya semakin tinggi pendidikan
formal yang dicapai, maka semakin baik pula proses pemahaman
seseorang dalam menerima sebuah informasi baru (Notoatmodjo,
2003). Dalam hal ini khususnya penerimaan informasi tentang skabies
d. Kelompok etnik
Kelompok etnik meliputi kelompok homogen berdasarkan
kebiasaan hidup maupun homogenitas biologis/genetis. Dari segi
epidemiologi kelompok orang-orang yang tinggal dan hidup bersama
dalam waktu yang cukup lama dan membutuhkan karakteristik tertentu
baik secara biologis maupun dalam hal mekanisme sosial merupakan
salah satu hal yang harus diperhatikan. Perbandingan sifat karakteristik
meliputi keadaan frekuensi penyakit/kematian pada etnik tertentu dan
pengalaman terhadap penyakit tertentu. Dalam hal ini, pengaruh
lingkungan harus di perhitungkan dengan seksama. Santri di pondok
merupakan kelompok orang yang hidup bersama dalam waktu yang
cukup lama. Pengaruh lingkungan, baik lingkungan fisik maupun
lingkungan sosial sangat berpengaruh terhadap kejadian atau
penyebaran penyakit ini (Handri, 2008).

19
9. Penularan penyakit skabies
Penularan terjadi secara kontak langsung manusia ke hewan atau
hewan ke manusia. Penularan tertinggi pada manusia terjadi pada
kelompok masyarakat yang hidup berhimpitan seperti di asrama, rumah
jompo, pesantren, rumah tahanan, barak militer dan rumah sakit jiwa
ketika kondisi lingkungan dan hygiene perorangan sangat buruk. Skabies
ditularkan dari seorang penderita pada orang lain melalui kontak langsung
yang erat, misalnya dari ibu ke anak bayinya, antara anggota keluarga, dan
antara anak-anak penghuni panti asuhan yang tidur bersama-sama di satu
tempat tidur. Anjing dan kucing penderita skabies yang hidup di dalam
rumah dapat menjadi sumber penularan yang penting bagi keluarga yang
memeliharanya ( Soedarto, 2009 ).
10. Cara pencegahan penyakit skabies
Pencegahan penyakit skabies dapat dilakukan dengan berbagai
cara, yaitu:
a. Mandi secara teratur dengan menggunakan sabun.
b. Mencuci pakaian, sprei, sarung bantal, dan selimut secara
teratur minimal dua kali dalam seminggu.
c. Menjemur kasur dan bantal minimal 2 minggu sekali.
d. Tidak saling bertukar pakaian dan handuk dengan orang lain.
e. Hindari kontak dengan orang-orang atau kain serta pakaian
yang dicurigai terinfeksi tungau skabies.
f. Menjaga kebersihan rumah dan berventilasi cukup. Menjaga
kebersihan tubuh sangat penting untuk menjaga infestasi
parasit. Sebaiknya mandi dua kali sehari, serta menghindari
kontak langsung dengan penderita, mengingat parasit mudah
menular pada kulit. Walaupun penyakit ini hanya merupakan
penyakit kulit biasa dan tidak membahayakan jiwa, namun
penyakit ini sangat mengganggu kehidupan sehari-hari.
Bila pengobatan sudah dilakukan secara tuntas, tidak menjamin
terbebas dari infeksi ulang, langkah yang dapat diambil adalah

20
sebagai berikut:
1) Cuci sisir, sikat rambut, dan perhiasan rambut dengan cara
merendam di cairan antiseptik.
2) Cuci semua handuk, pakaian, sprei dalam air sabun
hangat, dan gunakan setrika panas untuk membunuh
semua telurnya, atau dicuci kering.
3) Keringkan peci yang bersih, kerudung, dan jaket.
4) Hindari pemakaian bersama sisir, mukena, atau jilbab
(Depkes, 2007).
10. Pengobatan
Pengobatan lazimnya dengan pemberian obat-obat topical. Belum
ditemukan cara pengobatan sistemik. Kandungan salep yang tersedia di
apotik sangat beragam seperti sulfur, linden, permetrin 5%,
benzylbenzoate, malation, dan krotamiton. Pada hewan dapat dicobakan
ivermektin dan krotamin.
Penyakit ini bisa diatasi dengan mengoleskan krim yang
mengandung permetrin atau larutan lindane. Kedua obat tersebut efektif,
tetapi lindane cenderung mengiritasi kulit, lebih toksik dan tidak boleh
diberikan kepada anak-anak. Kadang-kadang digunakan krim yang
mengandung corticosteroid ( misalnya : hydrocortisone ) selama beberapa
hari setelah peremetrin atau lindae, untuk mengurangi gatal-gatal sampai
semua tungau mati pengobatan juga harus dilakukan terhadap seluruh
penghuni.
Parasit dapat diberantas dengan emulsi benzoas bensilikus 25%,
gamma bensen heksaklorida 1% atau monosulfiram 25%. Antibiotika
diberikan jika terjadi infeksi sekunder oleh kuman, dan anthistamin
diberikan untuk mengatasi gatal-gatal hebat yang dikeluhkan oleh
penderita. Sarcoptes scabiei peka terhadap obat. Oleh karena itu, terdapat
berbagai macam komposisi genetic dan enzim yang berperan dalam
mengobati penyakit ini sebagai berikut :
a. Lindane ( Gamma Benzene Hexachloride )
Lindane merupakan obat pilihan untuk skabies karena dapat
membunuh tungau S. scabiei ( bersifat skabisid ) dan nimfa serta

21
mencegah menetasnya telur. Tersedia dalam bentuk krim, losion serta
gel yang tidak berbau dan tidak berwarna dengan konsentrasi 1%. Cara
pemakaiannya adalah dengan mengoleskan ke seluruh tubuh dan
didiamkan selama 12-24 jam, lalu dicuci bersih. Penggunaan hanya
satu kali dan dapat diulang seminggu kemudian, dengan maksimum
pengobatan 2 kali ( interval 1 minggu ).
b. Permethrin
Permethrin tersedia dalam bentuk krim 5%. Permethrin
merupakan obar anti skabies yang relatif baru. Sifat skabisidnya
sangat baik, merupakan sintesis piretroid, aman karena efek
toksisitasnya terhadap mamalia sangat rendah, kemungkinan
keracunan akibat salah penggunaan sangat kecil. Obat ini tidak
dianjurkan pada bayi di bawah umur 2 bulan, wanita hamil dan ibu
menyusui. Efek samping berupa rasa terbakar, perih dan gatal jarang
ditemukan.
c. Krotamiton ( Croronyl–N–Ethyl–O–Toluidine )
Krotamiton tersedia dalam bentuk krim atau losion 10%, bersifat
skabicid, namun tidak mempunyai efektivits yang tinggi terhadap
sabies, tidak mempunyai efek sistematik, serta aman digunakan pada
bayi, wanita hamil dan anak-anak.
d. Sulfur
Sulfur tersedia dalam bentuk parafin padat, lunak dan berwarna
dengan konsentrasi 10%, yang bila kontak dengan jaringan hidup akan
membentuk hydrogen sulfide dan asam pentationat yang bersifat
germisid dan fungisid. Umumnya aman dan efektif sehingga dapat
dipakai pada bayi, anak-anak, serta wanita hamil dan menyusui dengan
konsentrasi 2-4% ( anak ), 6-8% ( wanita) dan 10% ( pria ).
e. Benzil benzoat
Benzil benzoat tersedia dalam bentuk emulsi atau losion dengan
konsentrasi 25-30%. Pada anak-anak dilakukan pengenceran dengan 2
atau 3 bagian cair. Cara pemakaian adalah dengan dioleskan dan
dibiarkan pada kulit berturut-turut dengan interval 1 minggu. Obat ini

22
efektif dan secara kosmetik dapat diterima walaupun dapat
menimbulkan gatal dan iritasi.
f. Ivermektin
Bahan semisintetik yang dihasilkan oleh Streptomyces
avermitilis, merupakan antiparasit yang strukturnya mirip antibiotik
makrolid, diketahui aktif melawan ektoparasit dan endoparasit.
Ivermektin merupakan suatu lakton makrosiklik dan ternyata sangat
efektif sebagai antiparasit berspektrum luas untuk melawan berbagai
jenis nematode dan antropoda, termasuk kutu, tungau dan kutu anjing.

B. Sanitasi Pondok Pesantren


Pondok pesantren merupakan salah satu tempat-tempat umum yang
berbentuk lembaga pendidikan keagamaan yang didukung asrama sebagai
tempat tinggal santri yang bersifat permanen dan berkembang untuk
masyarakat yang berperan penting dalam pengembangan sumber daya
manusia, diharapkan para santri dan para pemimpin serta pengelola
pondok pesantren tidak saja mahir dalam aspek pembangunan moral dan
spiritual dengan intelektual yang bernuansa agamis, namun dapat pula
menjadi penggerak atau motivator dan inovator dalam pembangunan
kesehatan, serta menjadi teladan dalam berperilaku hidup bersih dan sehat
bagi masyarakat sekitar ( Permenkes RI No 1 Tahun 2013 Tentang
Poskestren ).
Sanitasi pondok pesantren pada dasarnnya adalah usaha
masyarakat yang menitik beratkan pada pengawasan terhadap struktur
fisik, dimana orang menggunakannya sebagai tempat berlindung yang
mempengaruhi derajat kesehatan manusia. Sarana tersebut antara lain
adalah ventilasi, suhu, kelembaban, kepadatan hunian, penerangan alami,
konstruksi bangunan, sarana pembuangan sampah, sarana pembuangan
kotoran manusia dan penyediaan air bersih.
Penyakit yang berkembang pada keadaan lingkungan yang padat
penduduk dan personal hygiene yang buruk antara lain Diare / Disentri,

23
penyakit cacingan, Hepatitis A, Kolera, Thypoid, Leptosperosis, Malaria,
Demam Berdarah Dengue ( DBD ), dan Skabies.
Unsur sanitasi yang berhubungan dengan penularan penyakit skabies,
meliputi :
1. Penyediaan air bersih
Air merupakan hal yang paling esensial bagi kesehatan, tidak
hanya dalam upaya produksi tetapi juga untuk konsumsi domestik dan
pemanfaatannya ( minum, masak, mandi, dan lain – lain ). Promosi
yang meningkat dari penyakit – penyakit infeksi yang bisa mematikan
ataupun merugikan kesehatan ditularkan melalui air yang tercemar.
Sebagian penyakit yang berkaitan dengan air yang bersifat menular,
penyakit – penyakit tersebut umumnya diklasifikasikan menurut
berbagai aspek lingkungan yang dapat diinterverensi oleh manusia
( WHO, 2001 ).
2. Kepadatan hunian
Kepadatan hunian sangat berpengaruh terhadap jumlah bakteri
penyebab penyakit menular. Selain itu, kepadatan hunian dapat
mempengaruhi kualitas udara di dalam rumah. Dimana semakin
banyak jumlah penghuni maka akan semakin cepat udara dalam rumah
akan mengalami pencemaran oleh CO2 karena dalam rumah akan cepat
meningkat dan akan menurunkan 02 yang berada di udara ( Sukini,
1999 dalam jurnal penelitian Agsa Sajida, 2012 ).
Tingkat kepadatan penghuni di pondok pesantren cenderung
padat namun dalam batas toleransi persyaratan. Kepadatan hunian
merupakan syarat mutlak untuk kesehatan rumah pemondokan
termasuk pondok pesantren, karena dengan kepadatan hunian yang
tinggi terutama pada kamar tidur memudahkan penularan berbagai
penyakit secara kontak dari satu santri kepada santri lainnya ( Soejadi,
2003 ).
Menurut Kepmenkes RI 1999 dalam jurnal penelitian E. Naria,
2012, kepadatan dapat dilihat dari : Kepadatan hunian ruang tidur :

24
Luas ruangan tidur minimal 8 m2 dan tidak dianjurkan lebih dari dua
orang dalam satu ruangan tidur, kecuali anak dibawah usia 5 tahun.
3. Kesehatan ruang tidur
a. Ventilasi dan kelembaban udara
Ventilasi mempunyai fungsi pertama untuk menjaga agar
aliran udara di dalam ruangan tetap segar. Hal ini berarti
keseimbangan O2 yang diperlukan oleh penghuni tetap terjaga.
Kurangnya ventilasi akan menyebabkan kurangnya O2 yang
bersifat racun pada penghuninya menjadi meningkat. Di samping
itu cukupnya ventilasi akan menyebabkan menyebabkan
kelembaban udara di dalam ruangan naik karena terjadinya proses
penguapan cairan dari kulit dan penyerapan. Kelembaban ini akan
merupakan media yang baik untuk bakteri pathogen ( Hafinah,
2011 ).
Kelembaban sangat berperan penting dalam pertumbuhan
kuman penyakit. Kelembaban yang tinggi dapat menjadi tempat
yang disukai oleh kuman untuk pertumbuhan dan
perkembangannya. Keadaan yang lembab dapat mendukung
terjadinya penularan penyakit.
Menurut Keputusan Menteri Kesehatan No. 829 tentang
persyaratan kesehatan rumah dari aspek kelembaban udara ruang,
dipersyaratkan ruangan mempunyai tingkat kelembaban udara
yang diperbolehkan antara 40% - 70%. Tingkat kelembaban yang
tidak memenuhi syarat ditambah dengan perilaku tidak sehat,
misalnya dengan penempatan yang tidak tepat pada berbagai
barang dan baju, handuk, sarung yang tidak tertata rapi, serta
kepadatan hunian ruangan ikut berperan dalam penularan penyakit
berbasis lingkungan seperti skabies ( memudahkan tungau
Sarcoptes Scabiei berpindah dari reservoir ke barang sekitarnya
hingga mencapai pejamu baru ( Soedjadi, 2003 ).
b. Menurut sukini ( 1989 ) dalam jurnal Agsa Sajida ( 2012 ), sinar
matahari berperan secara langsung dalam mematikan bakteri dan

25
mikroorganisme lain yang terdapat di lingkungan rumah, khusunya
sinar matahari pagi yang dapat menghambat perkembangbiakan
bakteri pathogen. Dengan demikian sinar matahari sangat
diperlukan di dalam rumah terutama ruangan tidur. Pencahayaan
alami dan/atau buatan langsung maupun tidak langsung dapat
menerangi seluruh ruangan minimal intensitasnya 60 lux dan tidak
menyilaukan ( Kepmenkes RI, 1999 ).

C. Perilaku Kesehatan
Perilaku kesehatan merupakan suatu respons seseorang (organisme
terhadap stimulus atau objek) yang berkaitan dengan sakit dan penyakit,
sistem pelayanan kesehatan, makanan dan minuman serta lingkungan
( Notoatmodjo, 2012 : 134 ).
Komponen perilaku menurut Bloom dalam Notoatmodjo (2007) dibagi
menjadi tiga komponen, yakni:
1. Pengetahuan (knowledge)
Pengetahuan merupakan hasil dari tahu, dan ini terjadi setelah
orang melakukan penginderaan terhadap suatu objek tertentu.
Penginderaan terjadi melalui panca indera manusia, yakni indera
penglihatan, pendengaran, penciuman, rasa, dan raba. Sebagian besar
pengetahuan manusia diperoleh melalui mata dan telinga
(Notoatmodjo,2012:138). Pengetahuan yang dicakup dalam domain
kognitif mempunyai enam tingkat, yakni :
a. Tahu(know)
Tahu diartikan sebagai mengingat suatu materi yang telah
dipelajari sebelumnya.
b. Memahami (Comprehension )
Memahami diartikan sebagai suatu kemampuan menjelaskan
secarabenar tentang objek yang diketahui, dan dapat
menginterprestasi materi tersebut secara benar.

26
c. Aplikasi(Aplication)
Aplikasi diartikan sebagai kemampuan untuk menggunakan materi
yang telah dipelajari pada situasi atau kondisi riil (sebenarnya).
d. Analisis (Analysis)
Analisis adalah suatu kemampuan untuk menjabarkan materi atau
suatu objek kedalam komponen-komponen, tetapi masih dalam
suatu struktur organisasi tertentu, dan masih ada kaitannya satu
sama lain.
e. Sintesis (Synthesis)
Sintesis menunjuk pada kemampuan untuk meletakkan atau
menghubungkan bagian-bagian dalam bentuk keseluruhan yang
baru.
f. Evaluasi (Evaluation )
Evaluasi ini berkaitan dengan kemampuan melakukan penilaian
terhadap suatu materi atau objek. Pengukuran pengetahuan dapat
dilakukan dengan wawancara atau angket yang menanyakan
tentang isi materi yang ingin diukur dari subjek penelitian atau
responden (Notoatmodjo, 2012 : 138 – 139 ) .
2. Sikap (attitude)
Sikap merupakan reaksi atau respons yang masih tertutup dari
seseorang terhadap suatu stimulus atau objek. Manifestasi dari sikap
itu tidak bisa langsung dilihat, tetapi hanya dapat ditafsirkan terlebih
dahulu dari perilaku yang tertutup. Sikap secara nyata menunjukkan
konotasi adanya kesesuaian reaksi terhadap stimulus tertentu yang
dalam kehidupan sehari-hari merupakan reaksi yang bersifat emosional
terhadap stimulus sosial (Notoatmodjo, 2012 : 140 ).
3. Praktik atau tindakan
Suatu sikap belum otomatis terwujud dalam suatu tindakan (overt
behavior). Untuk mewujudkan sikap menjadi suatu perbuatan nyata di
perlukan faktor pendukung atau suatu kondisi yang memungkinkan,
antara lain adalah fasilitas.

27
Disamping faktor fasilitas, juga diperlukan faktor dukungan (support)
dari pihak lain ( Notoatmodjo, 2012 : 143 ).
a. Kebersihan pakaian atau alat shalat
Menurut penelitian Ma’rufi, dkk ( 2005 ), menunjukan bahwa
perilaku kebersihan perseorangan yang buruk sangat
mempengaruhi seseorang menderita skabies. Dan sebaliknya, pada
orang yang perilaku kebersihan dirinya baik maka tungau lebih
sulit menginfestasi individu karena tungau dapat dihilangkan
dengan mandi dan menggunakan sabun, pakaian dicuci dengan
sabun cuci dan kebersihan alat tidur. Hal ini sejalan dengan
penelitian Trisnawati ( 2009 ), bahwa ada hubungan antara praktik
mandi dengan memakai sabun, kebiasaan bertukar pakaian dengan
santri lain dengan kejadian skabies di Pondok Pesantren Al – Itqob
Kelurahan Tlogosari Wetan.
b. Kebersihan handuk
Berdasarkan penelitian Muslih ( 2012 ), di Pondok Pesantren
Cipasung Tasikmalaya menunjukan kejadian skabies lebih tinggi
pada responden yang menggunakan handuk secara bersamaan
(66,7%), dibandingkan dengan responden yang tidak menggunakan
handuk secara bersamaan ( 30,4% ), dan dari hasil uji statistik
perilaku ini mempunyai hubungan dengan kejadian skabies.
c. Kebiasaan tidur berhimpitan
Berdasarkan penelitian Andayani (2005), permasalahan yang
berkaitan dengan kejadian skabies di Pondok Pesantren adalah
penyakit skabies merupakan penyakit kulit yang banyak diderita
oleh santri, kasus terjadi pada daerah padat penghuni dan jumlah
kasus banyak pada anak usia sekolah. Penyakit gudik (skabies)
terdeteksi manakala menjangkiti lebih dari 1 orang dalam sebuah
keluarga (Cakmoki, 2007).

28
D. Kerangka Konsep

AGENT
SARCOPTES SCABIEI

Perilaku :
1. Pengetahuan
2. Sikap
Karakteristik :
3. Tindakan :
1. Umur
KEJADIAN a. Bergantian
2. Jenis
SCABIES pakaian dan alat
kelamin
shalat.
3. Pendidikan
b. Bergantian alat
4. Kode etnik
mandi dan
handuk.
c. Tidur secara
berhimpitan

LINGKUNGAN
1. Kepadatan hunian.
2. Kualitas sanitasi tempat tinggal :
a. Penyediaan air bersih.
b. Kesehatan ruang tidur :
1) Ventilasi dan kelembaban.
2) Pencahayaan.
Gambar II. 4 Kerangka Konsep

Keterangan :
: Diteliti
: Tidak diteliti

29
Penjelasan kerangka konsep :
Skabies merupakan penyakit kulit yang disebabkan oleh agent Sarcoptes
Scabiei. Penyakit kulit skabies merupakan penyakit menular, yang mudah
ditularkan secara langsung maupun tidak langsung. Penularan secara langsung
( kontak kulit dengan kulit ) misalnya perilaku host yaitu pengetahuan, sikap, dan
tindakan. Penularan secara tidak langsung ( melalui benda ) misalnya kondisi
tempat tidur ( sprei, bantal dan selimut ).
Berkembangnya penyakit skabies dapat disebabkan oleh beberapa faktor
yang meliputi host dan lingkungan. Faktor host meliputi Karakteristik yang
meliputi umur, jenis kelamin, pendidikan, kode etnik dan status ekonomi.
Sedangkan perilaku meliputi pengetahuan, sikap dan tindakan. Tindakan yang
mempengaruhi kejadian penyakit skabies meliputi bergantian pakaian dan alat
shalat, bergantian alat mandi dan handuk serta tidur secara berhimpitan. Faktor
lingkungan meliputi kualitas sanitasi tempat tinggal dan kepadatan hunian. Dan
faktor yang mempengaruhi kejadian penyakit skabies yaitu body image, praktik
sosial, status sosial ekonomi, budaya, kebiasaan seseorang dan kondisi fisik.

30
31

Anda mungkin juga menyukai