Anda di halaman 1dari 5

PENDAHULUAN

Penyakit infeksi jamur, masih memiliki prevalensi yang cukup tinggi di Indonesia,
mengi- ngat negara kita beriklim tropis yang mempunyai kelembapan tinggi. Jamur bisa
hidup dan tumbuh di mana saja, baik di udara, tanah, air, pakaian, bahkan di tubuh
manusia. Jamur bisa menyebabkan penyakit yang cukup parah bagi manusia. Penyakit
tersebut antara lain mikosis yang menyerang langsung pada kulit, mikotoksitosis akibat
mengonsumsi toksin jamur yang ada dalam produk makanan, dan misetismus yang
disebabkan oleh konsumsi jamur beracun.
Banyak jamur yang menyebabkan penyakit-penyakit tumbuh-tumbuhan, tetapi hanya
sekitar 100 dari beribu-ribu spesies ragi dan jamur yang dikenal menyebabkan penyakit
pada manusia dan binatang. Infeksi mikotik manusia dikelompokkan dalam infeksi jamur
superfisial (pada kuku, kulit, dan rambut), subkutan, dan profunda (sistemik). Mikosis
superfisial disebabkan oleh jamur yang hanya menyerang jaringan keratin tetapi tidak
menyerang jaringan yang lebih dalam. Jamur yang sering menimbulkan mikosis superfisial
adalah golongan dermatofita. Salah satu spesies yang termasuk di dalamnya adalah
Microsporum. Banyak binatang domestik dan binatang lainnya terinfeksi oleh dermatofita
dan dapat memindahkannya ke manusia (misalnya Microsporum canis dari kucing dan
anjing).

TUJUAN
Praktikum ini bertujuan agar mahsiswa dapat melakukan pemeriksaan dermatofitosis
pada hewan melalui pengerokan kulit dan identifikasi makroskopis dan mikroskopis.
TINJAUAN PUSTAKA

Dermatomikosis adalah penyakit pada kulit, kuku, rambut, dan mukosa yang
disebabkan infeksi jamur. Dermatomikosis mempunyai arti umum, yaitu semua penyakit
jamur yang menyerang kulit (Mawarli 2000).
Microsporum pada kucing adalah masalah penting dan umum terjadi yang
menyerang kulit pada kucing. Kurap adalah penyakit menular yang disebabkan karena
infeksi. Salah satu jamur yang sering menginfeksi kucing dan anjing adalah Microsporum
canis. Penyakit ini rentan terhadap kucing yang masih muda dan tua. Selain kucing, kurap
juga dapat terjadi pada semua hewam (seperti anjing, kelinci, dan) dan bahkan manusia.
Kucing dengan rambut pendek jika memiliki kekebalan tubuh yang baik, maka penyakit ini
dapat sembuh sendiri dalam waktu 4 sampai 6 bulan. Walaupun kucing yang memiliki
kekebalan tubuh yang baik dapat terkena penyakit ini, tetapi tidak akan memunculkan
gejala-gejala tertular (Amiruddin 2003).
Microsporum canis memiliki konidia yang besar, berdinding kasar, multiseluler,
berbentuk kumparan, dan terbentuk pada ujung-ujung hifa. Konidia yang seperti ini disebut
makrokonidia. Spesies ini membentuk banyak makrokonidia yang terdiri dari 8-15 sel,
berdinding tebal dan sering kalu mempunyai ujung-ujung yang melengkung atau kail berduri.
Pigmen kuning-jingga biasanya terbentuk pada sisi berlawanan dari koloni (Budimulja U,
dkk. 2005).
Microsporum canis dalam melakukan reproduksi secara aseksual dan seksual.
Reproduksi aseksual, Microsporum canis menggunakan konidia yang disebut juga
mitospora. Konidia ini memiliki satu nukleus dan dapat disebarkan oleh angin, air, dan
hewan. Konidia ini dibentuk oleh konidiospora. Cara perkembangbiakan ini paling dominan
dan berlangsung secara cepat. Reproduksi seksual, Microsporum canis menggunakan
askus yang sering disebut askospora. Alat perkembangbiakan inilah yang membedakan
dengan yang lain. Askus adalah pembuluh yang berbentuk tabung/saluran yang
mengandung meiosporangium yang merupakan spora seksual yang diproduksi secara
meiosis. Yang terjadi pada reproduksi seksual ini adalah bertemunya hifa yang terdiri dari
antheridium dan arkegonium. Setelah keduanya bertemu maka akan terjadi pertukaran
materi genetik yang diberikan oleh antheridium dan arkegonium masing-masing separuhnya.
Peristiwa ini disebut dikariofase (Jawetz 1995).
Ada dua cara pengobatan, yaitu pengobatan secara topikal(pengobatan luar: salep,
obat gosok, shampoo) dan obat oral(makan). Pemberian obat antijamur topikal seperti krim,
larutan, salep yang mengandung mikonazol, klotrimazol, haloprogin, dan ketokonazol. Salep
dan obat gosok bisa digunakan untuk menyembuhkan ringworm yang terlokalisasi
(terpusat). Sedangkan untuk membasmi spora dan ringworm yang luas daerahnya atau
carrier, sebaiknya ditambah dengan penggunaan shampoo anti jamur. Pengobatan peroral
pun diberikan untuk jangka waktu lama. Sebagian besar obat oral mempunyai efek samping
kurang baik, apalagi bila digunakan untuk jangka panjang. Beberapa reaksi buruk terhadap
obat bisa saja muncul, oleh karena itu pemberian obat harus diawasi dengan seksama oleh
dokter hewan.

METODOLOGI
Alat
Alat yang digunakan pada praktikum ini adalah scalpel, plastik, kertas
saring,gelas penyangga, gelas objek, dan gelas penutup.

Bahan
Bahan yang digunakan pada praktikum ini adalah KOH 20 %, Alkohol 70 %,
media SDA, lactophenol cotton blue (LPBC), potongan agar, akuades,

Metode
Pada praktikum ini digunakan sampel seekor kucing dengan gejala klinis dari
dermatofitosis dari daerah Dramaga. Bagian yang terinfeksi dermatofitosis dibersihkan
dengan alkohol 70%, lalu dikerok dengan KOH 20% dan swab. Kemudian sampel
dimasukkan kedalam 10 ml pepton water cair untuk dihomogen dan dieramkan selama 24
jam di dalam inkubator pada suhu 37 C. Biakan sampel diambil sebanyak 1 ml dimasukkan
ke dalam cawan petri yang berisi 10 ml SDA. Biakan kapang yang ditanam pada medium
diinkubasikan pada suhu 37 C selama 5-7 hari. Selanjutnya untuk mengamati
perkembangan dan pertumbuhan, kapang ditanam pada slide kultur dan dilakukan
pewarnaan dengan lactophenol cotton blue (LPBC). Kapang yang tumbuh diamati di bawah
mikroskop pada pembesaran 20, 40, dan 100. Kapang diidentifikasi berdasarkan morfologi,
hifa, konidia, dan konidioforanya. Metode lain yang digunakan yakni metode Riddle yakni
dengan menyusun beberapa alat di dalam cawan petri dimulai dari kertas saring, gelas
penyangga, potongan agar yang diletakkan diatas gelas objek, lalu diambi jamur yang telah
diisolasi dan diletakkan dipinggir dari potongan agar lalu ditutup dengan gelas penutup.
Terakhir diberikan akuades agar kondisi didalam cawan petri lembab dan mempercepat
pertumbuhan jamur. Metode ini dilakukan untuk melihat morfologi dari dermatofita.
Jawetz E.1995. Mikrobiologi edisi 16. Jakarta (ID): EGC
Tarigan J. 1988. Pengantar Mikrobiologi. Jakarta(ID): Depdikbud.
Budimulja U, dkk. 2005. Dermatomikosis superfisial. Jakarta(ID): FKUI Pr.
Mawarli. 2000. Ilmu Penyakit Kulit. Jakarta(ID): Hipokrates
Amiruddin Dali. 2003. Ilmu Penyakit Kulit. Yogyakarta(ID) : LkiS

Anda mungkin juga menyukai