Anda di halaman 1dari 36

PROPOSAL PENELITIAN

PREVALENSI PENCEMARAN LINGKUNGAN OLEH


OOKISTA Toxoplasma gondii DALAM FESES KUCING
PADA KOTAK PASIR DI SURABAYA

Disusun Oleh :

NURUL TRI WAHYUDI


NIM. 061311133165

FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN

UNIVERSITAS AIRLANGGA
SURABAYA
2016
PREVALENSI PENCEMARAN LINGKUNGAN OLEH
OOKISTA Toxoplasma gondii DALAM FESES KUCING
PADA KOTAK PASIR DI SURABAYA

Proposal Penelitian

Sebagai salah satu syarat untuk mengajukan skripsi dan untuk memperoleh gelar

Sarjana Kedokteran Hewan

Fakultas Kedokteran Hewan, Universitas Airlangga

Oleh :

Nurul Tri Wahyudi

061311133165

Menyetujui

Komisi Pembimbing,

(Ira Sari Yudaniayanti drh., M.P.) (Dr. Maslichah Mafruchati, M.Si., Drh.)

Pembimbing Utama Pembimbing Serta

ii
DAFTAR ISI

Halaman

HALAMAN JUDUL ………………………………………………….. i

HALAMAN PERNYATAAN ………………………………………… ii

DAFTAR ISI ………………………………………………………….. iii

DAFTAR GAMBAR …………………………………………………. v

BAB I PENDAHULUAN ……………………………………………. 1

1.1 Latar Belakang ………………………………………………... 1

1.2 Rumusan Masalah …………………………………………….. 3

1.3 Landasan Teori ………………………………………………... 3

1.4 Tujuan penelitian ……………………………………………… 4

1.5 Manfaat Hasil penelitian ………………………………………. 4

BAB II TINJAUAN PUSTAKA ……………………………………… 5

2.1 Tinjauan Tentang Kucing …………………………………….. 5

2.2 Pencemaran Lingkungan oleh Feses Kucing …………............ 6

2.3 Tinjauan Tentang Toxoplasma gondii …………......………… 7

2.3.1 Klasifikasi Toxoplasma gondii ………………………. 7

2.3.2 Morfologi Toxoplasma gondii ……………………….. 8

2.3.3 Siklus Hidup Toxoplasma gondii ……………………. 11

2.3.4 Penularan Toxoplasma gondii ……………………….. 14

2.3.5 Patogenesis Toxoplasmosis ………………………….. 16

2.3.6 Gejala Klinis Toxoplasmosis ………………………… 17

2.3.7 Diagnosis Toxoplasmosis ……………………………. 18

2.3.8 Pengobatan Toxoplasmosis ………………………….. 19


iii
2.3.9 Pencegahan Toxoplasmosis ………………………….. 20

BAB III METODE PENELITIAN …………………………………… 22

3.1 Tempat dan Waktu Penelitian ………………………………… 22

3.2 Rancangan Penelitian …………………………………………. 22

3.2.1 Rancangan Penelitian …………………………………… 22

3.2.2 Perhitungan Sampel Penelitian …………………………. 22

3.3 Variabel Penelitian ……………………………………………. 23

3.4 Defenisi Operasional Penelitian ………………………………. 23

3.5 Materi Penelitian …………………………………………….. 24

3.5.1 Bahan Penelitian ………………………………………. 24

3.5.2 Alat Penelitian …………………………………………. 24

3.6 Metode Penelitian ……………………………………………... 24

3.6.1 Koleksi Sampel Penelitian ……………………………… 24

3.6.2 Tahapan Identifikasi Ookista …………………………… 25

3.6.3 Prevalensi ………………………………………............. 25

3.6.4 Analisis Data …………………………………………… 26

3.7 Alur Penelitian …………………………………………………… 26

DAFTAR PUSTAKA ………………………………………………... 27

iv
DAFTAR GAMBAR

Halaman

Gambar 2.1 Takizoit Toxoplasma gondii ……..…………………… 9

Gambar 2.2 Bradizoit Toxoplasma gondii ...……………………..... 10

Gambar 2.3 Ookista Toxoplasma gondii …..………………………. 11

Gambar 2.4 Siklus Hidup Toxoplasma gondii …..……………….… 12

Gambar 2.5 Penularan Toxoplasma gondii ………………................ 15

Gambar 3. Alur Kerangka Penelitian ……………………............... 26

v
1

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Toxoplasmosis merupakan penyakit zoonosis yang disebabkan oleh

Toxoplasma gondii. Toxoplasma gondii adalah protozoa intraseluler dan bersifat

obligat parasit yang mempunyai hospes definitif kucing dan keluarga Felidae serta

dapat menyerang semua hewan berdarah panas seperti sapi, kambing, babi, kuda,

domba, ayam, rodensia dan manusia (Manahan dkk, 2013). Infeksi Toxoplasma

gondii umumnya tidak menunjukkan gejala klinis yang jelas baik pada inang

definitif maupun inang perantara (Soedarto, 2011). Di Indonesia kejadian

toxoplasmosis bervariasi, pada kucing 5,56% - 40%, kambing 23,5 - 60%, domba

32,18 - 71,97%, sapi 36,4%, kerbau 27,3 %, ayam 19,24%, itik 6,1%, babi 28 -

32% dan secara serologis pada manusia di atas 40% (Direktorat Kesehatan

Hewan, 2014).

Penularan toxoplasmosis pada hewan dan manusia dapat secara peroral

dan transplasental (Hanafiah dkk, 2009). Kerugian toxoplasmosis terbesar dapat

terjadi selama kehamilan. Janin yang termanifestasi toxoplasmosis dapat terjadi

abortus, kelahiran prematur, lahir mati, encephalitis, koriorenitis, microcephalus,

hydrocephalus, mumifikasi dan kelainan kongental (Mufasirin, 2011).

Infeksi toxoplasmosis pada hewan dan manusia disebabkan oleh penularan

stadium infektif Toxoplasma gondii. Stadium bradizoit merupakan kronis dengan

membentuk kista jaringan. Bradizoit Toxoplasma gondii dapat berkembang biak

pada hampir seluruh sel berinti seperti hati, sumsum tulang, paru-paru, jantung,

otak, ginjal, urat daging, jantung dan testis (Subekti dan Arrasyid, 2006;

Dharmana, 2007; Ayu, 2012). Stadium Bradizoit merupakan sumber penularan


2

apabila manusia atau hewan mengkonsumsi daging kurang matang dari inang

terinfektif. Stadium takizoid merupakan bentuk Toxoplasma gondii yang beredar

dalam darah. Stadium takizoit merupakan sumber penularan melalui transfusi

darah atau intraplasental induk. Stadium ookista yaitu bentuk telur infektif

Toxoplasma gondii dalam feses yang dikeluarkan kucing (Priyana, 2003). Stadium

ookista merupakan stadium yang sangat berpotensi mencemari lingkungan dan

menularkan pada hewan dan manusia (Dubey et al, 1998).

Kucing merupakan salah satu hewan paling dekat dengan kehidupan

manusia (Sulaiman, 2010). Kucing sangat mudah ditemui di lingkungan

masyarakat, baik secara sengaja dipelihara maupun kucing liar. Kucing hidup di

tempat-tempat umum memiliki kebiasaan untuk membuang kotoran diberbagai

tempat seperti tanah, pot bunga, penampungan pasir, tempat sampah dan bahkan

tempat bermain anak. Faktor lingkungan dan kenaikan jumlah populasi kucing

dapat meningkatkan kenaikan kontaminasi lingkungan oleh feses dan telur

Toxoplasma gondii. Ookista yang bersporulasi dapat bertahan hidup ditanah

selama setahun dan tahan terhadap pestisida sehingga hal tersebut berpeluang

besar menjadi sumber penularan toxoplasmosis pada hewan dan manusia

(Soedarto, 2011; Florence, 2012).

Penelitan ini dilakukan untuk mengetahui tingkat pencemaran lingkungan

yang disebabkan telur Toxoplasma gondii dalam feses kucing di Surabaya.

Penelitian ini dapat digunakan untuk memperkirakan potensi bahaya yang dapat

ditimbulkan dari pencemaran lingkungan oleh feses kucing dan informasi untuk

meningkatkan kesadaran masayarakat terhadap penyakit menular pada hewan dan

manusia.
3

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah dikemukakan diatas maka dapat

dirumuskan permasalahan berapa prevalensi pencemaran lingkungan oleh ookista

Toxoplasma gondii dalam feses kucing pada kotak pasir di Surabaya?

1.3 Landasan Teori


Toxoplasma gondii memiliki tiga bentuk stadium antara lain takizoit,

bradizoit dan ookista. Toxoplasma gondii merupakan protozoa yang dapat

berkembangbiak secara aseksual dan seksual. Perkembangbiakan secara aseksual

melalui perkembangan vegetatif dengan cara membelah diri yang terjadi pada

hospes perantara. Pada hospes definitif terjadi perkembangbiakan aseksual dan

seksual. Perkembangbiakan secara seksual terjadi peleburan antara mikrogamet

dan makrogamet dalam usus halus sehingga dapat mengeluarkan telur atau ookista

Toxoplasma gondii dalam feses kucing yang menyebabkan pencemaran

lingkungan (Robert dan Janovy, 2000).

Kucing merupakan hewan yang paling dekat dengan manusia dan mudah

ditemukan di tempat-tempat umum. Meningkatnya populasi kucing semakin

meningkatkan pencemaran lingkungan oleh telur Toxoplasma gondii dari feses

kucing. Menurut Torrey dan Yolken (2013) di Amerika Serikat, Prevalensi

Toxoplasma gondii dari feses kucing 0 - 1%, secara serologis 15% - 40% dari

populasi. Namun, dari sampel tanah yang diambil dari daerah yang sering

dikunjungi oleh kucing terdapat 9 - 434 ookista Toxoplasma gondii per kaki

persegi. Di Brazil, ookista Toxoplasma gondii yang diisolasi 10 sampel positif dari

31 sampel yang diambil dari taman bermain di sekolah dasar. Di Perancis, studi

ookista Toxoplasma gondii diidentifikasi 8 positif dari 62 tanah sampel. Di


4

Polandia, ookista Toxoplasma gondii yang terisolasi 18 positif dari 101 sampel

tanah yang diambil dari tempat-tempat yang dianggap disukai oleh kucing antara

lain : kotak pasir, taman bermain, taman, kebun, dan daerah sekitar tempat

sampah. Di Wuhan (China) pada tahun 2009 dan 2010, 58 sampel (23%) positif

dari 252 sampel yang diambil dari enam taman.

1.4 Tujuan Penelitian

Penelitian ini dilakukan dengan tujuan mengetahui prevalensi pencemaran

lingkungan oleh ookista Toxoplasma gondii dalam feses kucing pada kotak pasir

di Surabaya.

1.5 Manfaat Penelitian

Manfaat dari penelitian ini adalah memberikan informasi tingkat kejadian,

potensi bahaya, meningkatkan kesadaran masayarakat dan pencegahan terhadap

penyakit menular pada hewan dan manusia yang disebabkan pencemaran

lingkungan oleh telur Toxoplasma gondii dalam feses kucing di Surabaya.

Penelitian ini diharapkan dapat menjadi masukan dan bahan pustaka bagi

perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang lebih lanjut serta semua

pihak yang berkepentingan.


5

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Tinjauan tentang Kucing

Menurut Ereshefsky (2000), klasifikasi kucing adalah Kingdom Animalia,

Phylum Chordata, Sub Phylum Vertebrata, Kelas Mamalia, Sub Kelas Theria, Sub

Ordo Fissipedia, Famili Felidae, Sub Famili Fellidae, Genus Fellis, Spesies Fellis

silvestris. Kucing merupakan sejenis karnivora kecil dari Famili Felidae yang

telah dijinakkan selama ribuan tahun, memiliki kharakter yang unik berbeda dari

hewan kesayangan lainnya. Keluarga kucing terbagi menjadi tiga kelompok yaitu

Panthera, Ancininyx dan Fellis (Suwed dan Budiana, 2006).

Panjang tubuh kucing dewasa umumnya 50 cm dengan panjang ekor

(normal) 25 sampai 30 cm dan berat tubuh berkisar antara 3,2 hingga 4 kg

(Pugnetti 1983). Warna dan pola warna rambut kucing domestik lebih beragam

daripada warna dan pola warna rambut keluarga kucing besar, karena kucing besar

memerlukan pola warna dan warna tertentu agar dapat berkamuflase saat berburu

(Kent & Robert 2001). Panjang rambut kucing umumnya sekitar 4,5 cm,

sedangkan pada kucing longhair yang sehat dapat mencapai sekitar 12,5 cm

(Wright & Walters 1980). Karakter morfologi pada kucing seperti warna, pola,

dan panjang rambut, warna mata, bentuk tubuh, panjang ekor, ukuran dan bentuk

telinga sangat bervariasi dalam setiap kelompok.

Struktur tulang kucing memiliki tubuh yang ramping dan proporsional.

Ditunjang dengan tulang yang kuat membuat gerakan kucing semakin lincah dan

mampu berlari kencang (Suwed dan Budiana, 2006). Kucing memiliki indra

penciuman yang tajam dilengkapi organvomeronasal yang membantu mendeteksi

bau (Meadows dan Flint, 2006).


6

Kucing merupakan hewan soliter kecuali makanan yang tersedia memadai.

Kucing merupakan hewan yang memiliki wilayah kekuasaan dengan menandai

dengan urinasi di berbagai tempat. Kucing reproduksi, kucing suka berburu,

kucing suka mengubur kotoran dalam tanah. Kucing telah hidup berdampingan

dengan manusia sebagai hewan peliharaan atau pemburu rodensia terutama tikus

dan mencit (Morgan, 1995).

2.2 Pencemaran Lingkungan oleh Feses kucing

Habitat kucing berada di lingkungan manusia. Sehingga kehidupan

manusia tidak dapat lepas dari kehadiran kucing. Tempat yang terdapat kucing

dipastikan akan mengalami pencemaran lingkungan oleh feses kucing. Berbagai

tempat yang digemari kucing sebagai tempat tinggal antara lain tempat sampah,

pasar, kantin, perumahan, taman dan sekolah. Kucing memegang peran penting

pada penularan toksoplasmosis. Hewan ini terinfeksi karena memakan tikus dan

rodensia yang terinfeksi, burung, atau binatang-binatang kecil lainnya. Parasit

kemudian akan berkembang biak di dalam tubuh kucing, memasuki saluran

pencernaan kucing, lalu parasit dikeluarkan bersama feses kucing. Kucing

memiliki kebiasaaan yaitu tidak buang air besar secara acak, melainkan memilih

tempat dengan tanah yang gembur sehingga mereka dapat menutupi kotoran

mereka. Kucing biasanya membuang kotoran pada kebun, area bermain anak-anak

dan khususnya kotak pasir. sehingga fesesnya yang mengandung stadium infektif

Toxoplasma gondii akan mencemari benda benda tersebut (Soedarto, 2011).

Saat ini terjadi peningkatan populasi kucing diberbagai tempat, hal

tersebut secara tidak langsung akan semakin memperbesar pencemaran

lingkungan oleh feses kucing. Ketika terinfeksi, kucing menyetorkan ookista


7

dalam feses di tanah, rumput, pakan ternak, air atau di tempat lain. Mengeluarkan

ookista selama rata-rata 8 hari dengan total mencapai 55 juta ookista per hari.

Pencemaran kotoran kucing setiap hari per kucing mencapai 40,2 g untuk kucing

dewasa dan 31,7 g untuk anak kucing (Torrey dan Yolken, 2013).

Ookista tahan dan resisten terhadap kondisi lingkungan yang umum dan

dalam lingkungan yang lembab ookista dapat tetap bertahan hidup selama

berbulan-bulan, bahkan bertahun-tahun. Hewan-hewan invertebrata, misalnya

lalat, lipas (kecoa), dan cacing tanah dapat menyebarkan secara mekanik ookista

Toxoplasma gondii (Soedarto, 2011). Kontrol terhadap penularan ookista

Toxoplasma gondii dapat dilakukan dengan memperhatikan pembuangan kotoran

kucing, menjaga kucing dalam ruangan, mengurangi popolasi kucing liar dan

melindungi area bermain anak-anak (Torrey dan Yolken, 2013).

2.3 Tinjauan tentang Toxoplasma gondii

Toxoplasmosis merupakan salah satu penyakit zoonosis yang cukup

banyak ditemukan pada hewan dan manusia diseluruh dunia yang disebabkan oleh

protozoa Toxoplasma gondii (Arrasyid, 2006). Hospes perantara antara lain

manusia dan hewan berdarah panas termasuk herbivora, karnivora dan omnivora,

sedangan inang definitif adalah kucing dan keluarga kucing yang termasuk dalam

keluarga Felidae (Rasmaliah, 2003).

2.3.1 Klasifikasi

Toxoplasma gondii termasuk dalam golongan koksidia Karena dalam

siklus hidupnya mengalami perkembangan secara skizogoni, gametogonia dan

sporogoni dan perkembangan tersebut terjadi di usus kucing sebagai hospes


8

definitif (mufasirin dkk., 2012). Menurut Livine (1990) klasifikasi Toxoplasma

gondii sebagai berikut :

Kingdom : Animalia

Phylum : Apicomplexa

Class : Sporozoa

Sub Class : Coccidia

Ordo : Eucoccidia

Famili : Sarcocystidae

Genus : Toxoplasma

Spesies : Toxoplasma gondii

2.3.2 Morfologi

Toxoplasma gondii merupakan protozoa obligat intraseluler yang memiliki

tiga bentuk yaitu takizoit (poliferatif atau tropozoit), bradizoit (kista jaringan), dan

ookista (sporozoit) yang terdapat dalam feses kucing (Sasmita, 2006). Takizoit

berbentuk menyerupai bulan sabit dengan bentuk yang runcing dan ujung lain

membulat. Ukuran panjang 4 – 8 mikron, lebar 2 -4 mikron dan mempunyai

selaput sel serta memiliki organel seperti mitokondria, ribosom, badan golgi,

reticulum endoplasma, tidak memiliki kinetoplas dan sentrosom serta tidak

berpigmen. Bentuk ini terdapat dalam tubuh hospes kucing, hewan dan manusia

(Levine, 1990).
9

Gambar 2.1 Takizoit Toxoplasma gondii (Tabbara, 2014).

Takizoit ditemukan pada infeksi akut dalam berbagai jaringan tubuh

hospes. Apabila berlanjut kearah infeksi kronis dalam jaringan takizoit akan

membelah secara lambat membentuk bradizoit. Bradizoit merupakan bentuk yang

terdapat pada fase laten toksoplasmosis yang dialami oleh penderita dengan

imunokompeten, berada di dalam bentuk kista berukuran antara 10-100 mikron di

dalam jaringan otot dan saraf (Soedarto, 2011). Bradizoit hidup pada suhu 36 0 C -

370 Cdalam jaringan hidup namun dapat bertahan hidup sampai -40 C selama 3

minggu. Kista jaringan ini dapat mati jika daging dimasak pada suhu 70 0 C Atau

didinginkan dalam keadaan beku -150 C selama 3 Hari atau -200 C selama dua hari

(Chahaya, 2003). Bentuk bradizoit dapat ditemukan dalam tubuh hospes

sepanjang hidup terutama pada otak, otot jantung dan otot bergaris. Bentuk kista

berbeda-beda menurut organ predileksi, pseudokista memiliki dinding tipis

sehingga apabila pecah, maka parasit akan keluar menyerang sel lain

(Gandahusada, 2003).
10

Gambar 2.2 Bradizoit Toxoplasma gondii (http://www.uaz.edu.mx)

Ookista yang terdapat di dalam tinja kucing. Dibentuk dalam mukosa usus

halus kucing melalui proses seksual (gametogonia) yang merupakan pertemuan

antara mikrogamet dan makrogamet sehingga terjadi fertilisasi membentuk zigot

yang selanjutnya berkembang menjadi ookista. Ookista berukuran garis tengah

antara 10-13 mikron. Setiap okista mengandung dua sporokista yang masing-

masing mengandung 4 sporozoit (Palgunadi, 2011). Ookistaa keluar bersama

feses, dihasilkan dalam feses selama tujuh sampai dua belas hari dan puncak

produksi ookista terjadi antara hari kelima dan delapan (Sasmita, 2006). Kucing

akan selalu menghasilkan ookista apabila terjadi reinfeksi. Ookista mati dalam

suhu 450 - 500 C, dikeringkan, dicampur formali, amoniak atau larutan yodiun

namun, pada keadaan lingkungan yang panas dan lembab ookista dapat bertahan

tetap infektif sampai satu tahun lamanya, sedangkan di dalam air kista tersebut

dapat tetap infektif sampai enam bulan (Dubey dan Frenkel, 1972; Soedarto,

2011).
11

Gambar 2.3 Ookista Toxoplasma gondii. A. ookista belum bersporulasi.

B. ookista bersporulasi (dinding ookista, panah putih), (dinding sporozoit, panah

hitam). C. ookista bersporulasi dengan sporokista. D. ookista bersporulasi dengan

2 sporokitsa dan masing masing sporokista berisi 4 sporozoit. (Dubey, 2010).

Pada suhu kamar proses sporulasi terjadi antara 1-5 hari, sedangkan pada

udara yang bersuhu dingin ookista membutuhkan waktu yang lebih lama untuk

membentuk spora. Pada suhu 11o Celsius proses pembentukan spora

membutuhkan waktu sekitar 3 minggu lamanya. Sesudah membentuk spora,

ookista dapat bertahan lebih lama di lingkungan luar dan tahan terhadap paparan

berbagai macam desinfektan (Soedarto, 2011).

2.3.3 Siklus Hidup Toxoplasma gondii

Siklus hidup parasit ini terdiri dari dua fase yaitu fase intestinal atau

enteroepitelial dan fase extraintestinal. Fase intestinal terjadi pada kucing terdiri

dari pembelahan aseksual dan seksual didalam epitel usus halus. Fase intestinal
12

hanya terjadi pada golongan kucing dan menghasilkan ookista yang ditemukan di

dalam feses kucing. Fase extraintestinal dapat terjadi pada semua hewan yang

terinfeksi. Stadium perkembangan yang cepat menghasilkan takizoit dalam cairan

sekresi dan ekskresi. Stadium yang lambat akan menetap pada jaringan

menghasilkan bradizoit. Stadium ookista merupakan stadium resisten (Candra,

2001).

Gambar 2.4. Siklus Hidup Toxoplasmosis (Florence, 2012).

Kucing dapat mengalami infeksi karena termakan ookista infektif yang

terdapat di dalam feses kucing yang menderita toksoplasmosis atau memakan

daging yang yang mengandung kista yang berisi bradizoit. Oleh adanya enzim

proteolitik dalam usus dan lambung kucing, dinding kista dan ookista akan hancur

dan sporozoit akan keluar dari ookista serta bradizoit dari kista. Zoit yang bebas

akan menembus lamina propria usus halus kucing dan berubah menjadi tropozoit

atau takizoit. Inti tropozoit berkembang biak menjadi skizogoni, menghasilkan


13

skizon, skizon pecah membebaskan merozoit dan merozoit akan menginfeksi sel

sel baru (Mufasirin dkk, 2012).

Periode prepaten kucing jika yang tertelan kista jaringan adalah 2 – 3 hari.

Tetapi apabila yang tertelan adalah takizoit atau ookista maka waktu infeksi yang

diperlukan antara 20 - 24 hari (Cox, 1982; Levine, 1990). Toxoplasma gondii

dalam usus kucing akan terbentuk makrogamet dan mikrogamet. Gamet-gamet ini

kemudian akan menghasilkan ookista, dan terus menerus dikeluarkan dalam feses

kucing selama beberapa minggu. Selama infeksi primer berlangsung selama

beberapa minggu, kucing dalam waktu sehari dapat menghasilkan berjuta-juta

ookista. Ookista ini dapat mencemari lingkungan dan benda-benda yang ada di

lingkungan (Soedarto, 2011). Pada siklus hidup seksual (intraintestinal) sangat

berperan penting pada penularan toxoplasmosis pada hewan dan manusia (Dubey

dkk, 1998).

Pada infeksi akut toksoplasmosis parasit terdapat dalam bentuk takizoit

yang dapat memperbanyak diri dengan cepat. Takizoit bebas dapat ditemukan

dalam media cairan seperti darah, cairan serebrospinal, sedangkan intraseluler

dapat ditemukan pada sel berinti seperti fibroblas, epitel, endotel, monosit dan

makrofag (Carruthers et al., 2000; Chahaya, 2003). Pada penderita dengan daya

tahan tubuh atau imunitas normal, parasit akan membentuk kista yang

mengandung bentuk bradizoit yang lambat dalam memperbanyak diri. Bradizoit

akan tetap bertahan hidup pasif dalam keadaan istirahat (dorman) sepanjang hidup

penderita (Soedarto, 2011)

Jika ookista termakan hewan hospes berdarah panas, termasuk manusia,

sporozoit akan keluar dari kista lalu memasuki sel-sel usus dan kemudian
14

membelah diri secara aseksual dan membentuk takizoit. Takizoit akan menyebar

ke semua bagian tubuh, memasuki sel-sel jaringan dan memperbanyak diri di

dalamnya sehingga sel-sel tersebut akan pecah. Takizoit akan membentuk

pseudokista memiliki dinding tipis sehingga apabila pecah, maka parasit akan

keluar menyerang sel lain (Gandahusada, 2003). Takizoit akan berkembang

menjadi bradizoit yang kemudian membentuk kista jaringan di dalam sel-sel

sistem saraf pusat, sel-sel otot, dan juga di beberapa organ. Kista dapat tetap hidup

sampai terjadi kematian hospes tanpa menimbulkan gejala-gejala klinis. Jika

hospes termakan oleh hewan lain, di dalam usus bradizoit akan keluar dari kista

dan proses pembentukan kista jaringan yang baru akan berulang kembali

(Soedarto, 2011).

2.3.4 Penularan Toxoplasma gondii

Infeksi Toxoplasma gondii pada manusia, hewan dan kucing terjadi secara

langsung atau melalui media utama. Penularan terjadi Karena mengkonsumsi

daging kurang masak yang mengandung kista, mengkonsumsi sayur buah dan air

yang tercemar ookista yang berasal dari feses kucing yang terinfeksi serta

transplasental dari ibu yang terinfeksi selama masa kehamilan (Hanifah, 2009).

Penularan secara vertical dan kongental melalui plasenta dari induk ke janin

sewaktu dalam kandungan atau diperoleh setelah lahir (Janovy dan Robert, 2000).
15

Gambar 2.4 penularan toxoplasmosis (Flourence, 2012).

Infeksi ookista dapat ditular oleh vector lalat, kecoa, tikus dan melalui

tangan yang tidak bersih. Tikus dan burung sebagai hospes perantara yang

merupakan binatang buruan kucing. Serta sejumlah vector seperti kecoa dan lalat

dapat memindahkan ookista dari feses kucing kemakanan. Ternak domba, sapi,

babi, ayam dan kuda terinfeksi toxoplasmosis Karena pakan dan air minum yang

tercemar ookista dari feses kucing (Seizt, 2009). Infeksi Toxoplasma gondii juga

dapat terjadi pada para peneliti yang menggunakan hewan percobaan yang

terinfeksi Toxoplasma gondii melalui jarum atau media yang terkontaminasi.

Transplantasi organ dan transfuse darah dari penderita toxoplasmosis dapat

meyebabkan infeksi (Susanto dkk, 2008).


16

2.3.5 Patogenesis Toxoplasmosis

Setelah terjadi infeksi Toxoplasma gondii kedalam tubuh akan terjadi

proses yang terdiri dari tiga tahap menurut Chahaya (2003) yaitu Fase pertama

parasetiamia, yaitu Toxoplasma gondii yang tertelan akan menembus epitel usus

dan difagositosis oleh makrofag atau masuk kedalam limfosit kemudian terjadi

penyebaran limfogen. Fase kedua, Toxoplasma gondii menyerang seluruh sel

berinti, membelah diri dan menimbulkan lisis, sel tersebut didestruksi dan akan

berhenti ketika hospes telah membentuk antibodi. Anti bodi dalam susunan saraf

dan mata tidak dapat melalui barrier otak, sehingga destruksi akan terus

berlansung. Perbanyakan diri Toxoplasma gondii paling banyak terjadi pada

jaringan retikulo endothelial dan otak. Tahap ketiga merupakan fase kronik, kista

terbentuk, menyebar pada jaringan dan menetap menimbulkan peradangan lokal.

Lesi pada susunan saraf pusat dan mata biasanya lebih berat dan

permanen, oleh Karena jaringan ini tidak mempunyai kemampuan untuk

regenerasi. Kelainan pada susunan saraf pusat berupa nekrosis yang disertai

dengan klasifikasi. Pada toksoplasmos kongnital, nekrosis pada pada otak lebih

sering di korteks, ganglia basal dan daerah periventrikular. Penyumbatan

akuaduktus Sylvii oleh karena ependimitis mengakibatkan hidrosefalus pada bayi.

Pada infeksi akut di retina ditemukan reaksi peradangan focal dengan edema dan

infitrasi leukosit yang dapat menyebabkan kerusakan total dan pada proses

penyembuhan menjadi parut dengan atrofi retina dan koroid, disertai pigmentasi.

Di otot jantung dan otot bergaris ditemukan Toxoplasma gondii tanpa

menimbulkan peradangan (Soedarto, 2011). Pada lambung dan usus terjadi

gastroenteritis, kelenjar limfa terkadang membekak, ditemukan radang atau


17

pseudokista dalam otak, otot skeletal, jantung, diafragma, paru-paru, hati, limpa,

ginjal dan testis (Dubey et al., 1998; Hismawani, 2005; ayu, 2012). Toxoplasma

gondii juga menyebabkan infeksi oportunistik yang disebabkan imunosupresi

(Soedarto, 2011).

2.3.6 Gejala Klinis Toxoplasmosis

Sebagian besar orang yang tertular Toxoplasma gondi tidak

memperlihatkan adanya gejala klinis (asimtomatis). Sebagian kecil penderita

toksoplasmosis menunjukkan gejala-gejala penyakit mirip flu, disertai adanya

pembesaran kelenjar limfa atau mengeluh sakit otot dan nyeri yang berlangsung

selama satu bulan atau lebih. Toksoplasmosis yang berat menimbulkan kerusakan

seluler akibat pembelahan diri takizoit yang umumnya terjadi di otak, hati, paru,

otot rangka dan mata. Infeksi dapat menimbulkan penyakit yang berat pada hewan

atau manusia yang sedang hamil atau berada dalam keadaan imunitas yang rendah

(Soedarto, 2011). Namun dengan uji serologis prevalensi Toxoplasmosis lebih

tinggi. Gejala yang tidak Nampak diduga berkaitan dengan virulensi parasit,

kerentanan hospes, umur dan status imunitas (Hartati, 2011).

Garis besar gejala kilinis sesuai cara penularannya dibedakan menjadi

toxoplasmosis kongental dan toxoplasmosis akuista atau dapatan. Gambaran

klinis toxoplasmosis kongental terjadi penularan dari wanita yang terinfeksi

Toxoplasma gondii secara akut selama kehamilan dan parasite menginfeksi janin

yang sedang berkembang. Toxoplasmosis dapat menyebabkan gejala abortus,

cacat lahir atau kematian janin, tetapi induk yang terinfeksi biasanya tidak

menunjukkan gejala klinis (Robert dan Janovy, 2000). Toksoplasmosis kongental

tingkat keparahan kerusakan organ tergantung umur janin saat terjadi infeksi.
18

Semakin muda usia janin saat terjadi infeksi maka akan memberikan efek semakin

parah. Namun, semakin tua usia kehamilan saat terjadi infeksi primer pada ibu

maka semakin kecil presentasi kerusakan pada janin. Bila bayi terinfeksi secara

kongental dan dapat lahir normal, gejala klinis baru timbul beberapa hari atau

minggu setelah lahir atau sampai bertahun-tahun berupa eritroblastosis,

mikrochefalus, hydrocefalus, retikoroiditis dan perkapuran retina, renitis,

meningoensefalitis dan kemunduran mental (Gandahusada, 2003; Mufasirin

2011).

Toxoplasmosis akuista atau dapatan, pada infeksi akut dan sub akut sering

dijumpai limfadenopati yang terjadi pada kelenjar getah bening daerah leher dan

terjadi keradangan pada organ diantaranya saraf pusat, limfa, hepar, pulmo,

jantung dan mata (Soedarto, 2011).

2.3.7 Diagnosis Toxoplasmosis

Diagnosis toxoplasmosis pada hewan dan manusia berdasarkan gejala sulit

ditentukan karna asimtomatis, sehingga dibutuhkan pemeriksaan laboratorium.

Isolat Toxoplasma gondii dapat berasal dari feses, jaringan otak, otot, saliva dan

darah (Gandahusada, 2000; Sasmita, 2006). Dianosa ditetapkan setelah melakukan

pemeriksaan mikroskopis, histologi, isolasi organisme dalam kultur jaringan,


19
biopsi jaringan penderita dan inokulasi pada hewan coba (Soedarto, 2008).

Pemeriksaan laboratorium digunakan untuk menunjang secara serologis

untuk mendeteksi antibodi antara lain Complemen Fixation Test (CFT), Tes warna

Sabin dan Fielsmann, ELISA, Indirect Flouroscent Test (IFAT), Indirect

Haemaglutination Test (IHA), Polymerase Cain Reaction (PCR), LAT (lateks

aglutinasi test), immunochromatography (IC), Card Aglutination Test (CATT) dan


Anigen Rapid Feline Antibodi Toxo dan Antigen Rapid Feline Toxoplasma Ab

(Sasmita, 2006; Zhang et al., 2009; Soedarto, 2011). Pada diagnosa pencemaran

lingkungan dapat dipilih dengan melakukan pengamatan umum telur Toxoplasma

gondii secara mikroskopik karna lebih mudah dan ekonomis.

2.3.8 Pengobatan Toxoplasmosis

Obat yang dipakai untuk saat ini hanya membunuh stadium

takizoit Toxoplasma gondii dan tidak membasmi stadium kista, sehingga obat

dapat memberantas infeksi akut, tetapi tidak dapat menghilangkan infeksi

menahun, yang dapat aktif kembali. Pasien dengan okuler toxoplasmosis harus

diobati selama 1 bulan dengan sulfadiazin dan pirimetamin. Preparat alternatif

adalah kombinasi klindamisin dan pirimetamin. Susunan pengobatan paling

mutakhir mencakup pemberian pirimetamin dengan dosis awal 50 – 75 mg / hari,

ditambah sulfadiazin 4 – 6 g / hari dalam dosis terbagi 4. Selain itu diberikan pula

kalsium folinat 10 -15 mg / hari selama 6 minggu. Semua preparat ini hanya

bekerja aktif terhadap stadium takizoit pada toxoplasmosis. Jadi setelah

menyelesaikan pengobatan awal penderita harus mendapat tertapi supresif seumur

hidup dengan pirimetamin (25 -50 mg) dan sulfadiazin (2 – 4 g). Jika pemberian

sulfadiazin tidak dapat ditolerir dapat diberikan kombinasi pirimetamin (75 mg /

hari) ditambah klindamisin (400 mg ) 3x / hari. Pemberian pirimetamin saja (50

-75 mg / hari) mungkin sudah cukup untuk terapi supresif yang lama. Neonatus

yang terinfeksi secara kongenital dapat diobati dengan pemberian pirimetamin

oral (0,5 – 1 mg / kg BB) dan sulfadiazine ( 100 mg / kg BB ). Di samping itu

terapi dengan golongan spiramisin (100 mg / kg BB) ditambah prednisone (1 mg /

kg BB) juga memberikan respon yang baik untuk infeksi kongenital (Ernawati,
20

2012). Obat baru adalah hidroksinaftokuinon (atovaquone) yang bila dikombinasi

dengan sulfadiazine atau obat lain yang aktif terhadap Toxoplasma gondii, dapat

membunuh kista jaringan pada mencit (Soedarto, 2011).

2.3.9 Pencegahan Toxoplasmosis

Menurut Soedarto (2011) Berbagai penelitian menunjukkan bahwa tidak

ada hubungan antara kepemilikan kucing dengan risiko terjadinya infeksi

toksoplasmosis. Jika pemeliharaan kucing dilakukan dengan baik dengan

memperhatikan kebersihan dan sanitasi, ibu-ibu hamil dan orang-orang dengan

gangguan sistem imun tetap boleh memelihara kucingnya. Meskipun demikian

perlu dilakukan penyuluhan kepada orang yang berisiko tinggi toksoplasmosis

yaitu ibu hamil dan penderita imun rendah serta menghindari paparan dengan
21
feses kucing dan kotak kotoran kucing.

Jika seekor kucing diketahui mengeluarkan ookista sebaiknya kucing

diasingkan sementara dari lingkungan tempat tinggal kita dan diobati dengan baik

sampai tidak lagi mengeluarkan ookista. Kucing juga harus tetap dirawat dan

dibersihkan dengan teratur karena ookista mungkin masih ada yang melekat pada

bulu-bulunya. Langkah untuk mencegah terjadinya penularan dan penyebaran

Toxoplasma gondii sebagai berikut: Semua jenis daging harus dimasak sampai

suhu internal (di bagian dalam daging) pada suhu di atas 67 0 C, buah dan sayuran

harus dikupas dan dicuci bersih sebelum dimakan, semua benda yang pernah

terpapar daging mentah harus dibersihkan, hindari paparan dengan litter kucing

dan selalu mencuci tangan sebersih mungkin sesudahnya, jangan memberi daging

mentah pada kucing, kucing harus selalu dipelihara dan berada di dalam rumah

agar tidak terinfeksi Toxoplasmosis karena makan tikus atau mangsa kecil lainnya
yang berada di luar rumah, hindari minum air yang belum diproses, menggunakan

sarung tangan pada waktu berkebun atau setiap kali terpapar tanah atau pasir

karena mungkin telah tercemar tinja kucing yang mengandung telur Toxoplasma

gondii, anak-anak diberi pendidikan pentingnya mencuci tangan untuk mencegah

infeksi, kotak pasir untuk bermain anak selalu ditutupi jika sedang tidak

digunakan, kucing hanya diberi makanan kaleng atau makanan kering atau yang

sudah dimasak, jangan diberi makan daging mentah atau kurang matang,

mengganti litter box tiap hari dan menyiram pasir litterbox dengan air panas

sebelum dibuang (Soedarto, 2011).

22

BAB III METODE PENELITIAN


3.1 Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Parasit Fakultas Kedokteran

Hewan Universitas Airlangga. Pengambilan sampel dilakukan pada kucing

peliharaan masyarakat beberapa wilayah di Surabaya. Waktu penelitian dilakukan

selama 3 bulan, pada bulan Februari – April 2017.

3.2 Rancangan Penelitian

3.2.1 Rancangan penelitian

Penelitian ini merupakan kajian lapang crosssectional study yang

menggunakan dua jenis data yaitu data hasil pemeriksaan sampel feses di

laboratorium dan observasi lingkungan di tempat pengambilan feses kucing.

3.2.2 Perhitungan Jumlah Sampel

Sampel adalah bagian dari sebuah populasi yang dianggap dapat mewakili

dari populasi tersebut. Menurut Snedecor dan Cochran (1967) dalam Lemeshowb

dkk, (1997) untuk menentukan jumlah sampel yang dibutuhkan, digunakan rumus

cross sectional dengan besar populasi (n) tidak diketahui sebagai berikut:

Z2α p q Z2 p (1-p)

n = -------------- = --------------

d2 d2

Keterangan :

n = jumlah sampel minimal yang diperlukan

Z = score Z, berdasarkan nilai α yang diinginkan


23
α = derajat kepercayaan

d = toleransi kesalahan
p = proporsi kasus yang diteliti dalam populasi, jika p tidak diketahui maka

gunakan p terbesar. p terbesar yaitu p = 0.5

1-p = q, yaitu proporsi untuk terjadinya suatu kejadian. Jika penelitian ini

menggunakan p terbesar, maka q = 1-p = 1=0.5

Pada penelitian ini, derajat kepercayaan yang digunakan adalah 10%,

maka Z1 – α/2 = 1.64 Jika sudah ditetapkan bawah score Z = 1.64, maka Z 2 = 2.69

atau dibulatkan menjadi 3. Maka jumlah sampel yang dibutuhkan :

3 . 0,5 (1-0,5)
n = -----------------
0,12

n = 0,75
0.001

n = 75

3.3 Variabel Penelitian

Dalam penelitian ini memiliki variabel antara lain :


a. Variabel bebas yaitu usia, jenis, kelamin dan ras kucing.
b. Variabel tergantung yaitu adanya telur Toxoplasma gondii.
c. Variabel terkendali yaitu feses kucing yang diambil dari kotak pasir di pasar,

perumahan dan tempat bermaian anak di wilayah Surabaya.


24
3.4 Defenisi Operasional Penelitian

a. Pencemaran lingkungan adalah masuknya atau dimasukkannya makluk hidup,

zat energi, dan atau komponen lain ke dalam lngkungan atau berubahnya

tatanan lingkungan oleh kegiatan manusia atau oleh proses alam sehingga

kualitas lingkungan turun sampai ke tingkat tertentu yang menyebabkan

lingkungan menjadi kurang atau tidak dapat berfungsi lagi sesuai dengan

peruntukannya. Prevalensi adalah bagian dari studi epidemiologi yang

membawa pengertian jumlah individu dalam populasi yang mengalami


penyakit, gangguan atau kondisi tertentu pada suatu periode waktu

dihubungkan dengan besar populasi dari mana kasus itu berasal.

b. Kotak Pasir merupakan wadah atau tempat yang berisi pasir atau tanah

gembur yang berfungsi sebagai penampungan feses kucing baik secara

alamiah yang berada di pasar, taman bermain anak ataupun sengaja diletakkan.

3.5 Materi Penelitian

3.5.1 bahan Penelitian

Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah feses kucing, kapas,

formalin 10%, air, garam jenuh atau gula.

3.5.2 Alat Penelitian

Alat yang digunakan adalah : plastik, tabung sampel, coolbox, sentrifuse,

saringan teh, pengaduk, gelas ukur, pipet Pasteur, mortar, obyek glass, cover glass

mikroskop cahaya dan kamera.

3.6. Metode Penelitian


25
3.6.1 Koleksi sampel
Pengambilan sampel feses berasal dari kucing dengan mengambil sampel

pada kotak pasir (secara langsung atau membuat penampungan feses yang

diletakkan) diberbagai wilayah. Sampel feses dikoleksi dan disimpan dalam

wadah yang telah diberi formalin 10%, kemudian diberi keterangan menggunakan

kertas label. Sampel feses dibawa ke laboratorium dengan menggunakan cool

box. Sesampainya, di laboratorium sampel disimpan di dalam pendingin hingga

sampel tersebut dilakukan pemeriksaan.

3.6.2 Tahapan Identifikasi Ookista


Sampel yang telah diperoleh dilakukan uji laboratorium dengan

mengamati morfologi telur menggunakan metode apung dengan langkah sebagai

berikut :

a. Feses diambil sebanyak 2 gram, letakkan dalam botol plastik. Tambahkan

larutan gula atau garam jenuh sebanyak 30 ml, aduk feses dan larutan

pengapung sampai homogen.

b. Setelah campuran homogen, saring menggunakan saringan teh dan hasil

saringan masukkan ke dalam tabung sentrifus sampai volume 15 ml.

c. Seimbangkan tabung sentrifus, kemudian sentrifus dengan kecepatan 1500

rpm selama 5 menit.

d. Tambahkan lagi sedikit larutan gula atau garam jenuh sampai permukaan

cairan itu tepat di atas permukaan tabung.

e. Letakkan cover glass di atas tabung, biarkan selama 5 menit, ambil cover

glass letakkan ke dalam object glass dan periksa di bawah mikroskop

dengan pembesaran 400 x.

3.6.3 Prevalensi

Untuk mengetahui prevalensi dari Helminthiasis dapat dihitung dengan

cara sebagai berikut :

Jumlah sampel terinfeksi


Prevalensi = --------------------------------------- x 100%
Jumlah sampel yang diperiksa 26

3.6.4 Analisis Data

Data yang diperoleh dianalisis dengan chi-square menggunakan program

SPSS (Statistical Product and Service Solution) untuk mengetahui hubungan


antara lokasi kotak pasir dengan tingkat kejadian pencemaran lingkungan oleh

telur Toxoplasma gondii dalam feses kucing di Surabaya.

3.7 Alur Penelitian

Pasar, Perumahan, taman bermain di Surabaya

koleksi Feses dan Pengambilan Data observatif

Pemeriksaan metode apung

Pengamatan mikroskopik

Tidak ada ookista T. gondii Ada morfolologi ookista T. gondii

Analisis Data

Hasil dan Kesimpulan

Gambar 3. Kerangka Alur Penelitian 27

DAFTAR PUSTAKA
Ayu K, Saptianingtyas. 2012. Kejadian Infeksi Takizoit Toxoplasma gondii pada

Spermatozoa Mencit Jantan (Mus musculus) melalui inokulasi secara

Intraperitonal. Fakultas Kedokteran Hewan. Universitas Airlangga.

Bradyzoid Toxoplasma gondii. Diakses melalui http://www.uaz.edu.mx pada 17

Januari 2017.

Candra, G. 2001. Toxoplasma gondii : aspek Biologi, diagnosis dan

Penatalaksanaannya. Medika. Universitas hasanudin. Makassar.

Carruthers, H.B., Sherman and Sibley, D.L. 2000. The Toxoplasma Adhesive

Protein MIC2 is Proteolitycally Processed at Multiple Sites by Two

Parasite-devired Proteases. J. Biol. Chem.

Chahaya, I. 2003. Epidemologi Toxoplasma gondii. Fakultas Kesehatan

Masyarakat. Universitas Sumatra Utara.

Cox, F.E.G., 1982. Immunology in : Modern Parasitology. A Text Book of

Parasitology. Blackwell Scientific, Publications. London.

Dharmana, E. 2007. Toxoplasma gondii : Musuh Dalam Selimut (Pengukuhan

Guru Besar). Parasitology Fakultas Kedokteran. Universitas Diponegoro.

Direktorat Kesehatan Hewan. 2014. Manual Penyakit Hewan Mamalia. Subdit

Pengamatan Penyakit Hewan Direktorat Kesehatan Hewan. Jakarta.

Dubey, J.P. (1998) Toxoplasma gondii oocyst survival under defined temperatures.

J. Parasitol. 84, 862–865

Dubey, J.P., 2010. Toxoplasmosis of animal and humans. Edisi ke-2 USA. CRC :

press.
28

Dubey, J.P., Linsay D.S. and Sperr C.A. 1998. Structure of Toxoplasma gondii

tachyzoites, bradyzoites and sporozoites and biology and development of

tissue systs. Clin. Microbiol. Rev. 11 : 267 – 299.

Ereshefsky, M. 2000. The Poverty of the Linnean Hierarchy : A Phylosopyacal

Study of Biological Taxonomi. Cambrige University Press. Cambrige.

Ernawati. 2012. Toxoplasmosis, Terapi dan Pencegahannya. Fakultas Kedokteran

Universitas Wijaya Kusuma. Surabaya.

Florence, R.G., and Marie, L.D. 2012. Epidemiology of and Diagnostic Strategies

for Toxoplasmosis. Clinical Micobiology review.

Frenkel, J.K. 1998. Toxoplasmosis in Tropical Medicine and Parasitology.

Appleton and Lange, California. 332.

Gandahusada, S. 2000. Toxoplasma gondii dalam Parasitologi Kedokteran. Edisi

ke-3. Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta

Gandahusada, S. Herry, D. dan Wita, P. 2004. Parasitology Kedokteran. Ed 3.

Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta. 153 – 161.

Hanafiah, M., Nurcahyo, W., Kamarudin, L. dan kamil, F. 2009. Produksi dan

Isolasi Protein membrane Stadium Bradizoit Toxoplasma gondii : Suatu

Usaha untuk Mendapatkan Material Dianostik dalam Mendiagnosa

Toxoplasmosis. Jurnal Veteriner. Yogyakarta.

Hartanti, S. 2011. Toxoplasmosis pada Kucing dan Implementasinya terhadap

Kesehatan Masyarakat. (Pidato pengukuhan Guru Besar). Fakultas

Kedokteran Hewan. Universitas Gajah Mada. Yogyakarta.

Hismawani. 2005. Toxoplasmosis Penyakit Zoonosis yang Perlu Diwaspadai. Info

Kesehatan Masyarakat. Universitas Sumatra Utara. Medan.


29

Kent, G.C., and Robert, K.C. 2001. Comparative Anatomy of The Vertebrates.

New York: The McGraw Companies.

Lemeshow, S., Hosmer, D.W., Klar, J dan Lwanga, S.K. 1997. Besar Sampel

dalam Penelitian Kesehatan, Gadjah Mada. University, Yogyakarta.

Levine, N.D. 1990. Buku Parasitology Veteriner. Universitas Gajahmada Press.

Yogyakarta.

Manahan M. A., Oka. I.B.M. dan Dwinata, I.M. 2013. Bioassay Toxoplasma

gondii pada Kucing. Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Udayana.

Meadow, G., and Flint, E. 2006. Buku Pegangan Bagi Pemilik Kucing. Batam

Karisma Publishing Grup.

Morgan, M.M. 1995. The occurrence of gastrointestinal helminthes parasites of

cats in Khartoun state M.Sc. Thesis. Faculty of Veterinary Science,

University Khartoun. Sudan.

Mufasirin, Lasttuti, N.D.R., Suprihatin, E dan Suwanti, L.T. 2011. Buku Ajar Ilmu

Penyakit Protozoologi. Laboratorium Entomologi dan Protozoologi

Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Airlangga. Surabaya.

Mufasirin, Lasttuti, N.D.R., Suprihatin, E dan Suwanti, L.T. 2012. Buku Ajar Ilmu

Protozoologi Veteriner. Airlangga University Press. Surabaya.

Palgunadi, B.U. 2011. Toxoplasmosis dan Kemungkinan Pengaruh terhadap

Perilaku. Fakultas Kedokteran Hewan Wijaya Kusuma. Surabaya.

Peraturan Kementerian Peternakan. 2009. Undang-undang Republik Indonesia

nomor 18 Tahun 2009 tentang peternakan dan kesehatan hewan. Direktorat

Kementerian Peternakan RI.


30

Pugnetti, G. 1983. Simon & Schuster’s Guide to Cats. New York: Simon &

Schuster, Inc.

Rasmaliah, 2003. Toxoplasmosis dan Upaya Pencegahannya. Digital Library

Fakultas Kesehatan Masyarakat. Universitas Sumatra Utara.

Robert, L.S. and Janovy, J.R. 2000. Gerald Schimdt and Larry s. Robert’s

Foundation of Parasitology, 6 th ed., Mc Graw hill Book Co. Singapura.

Sasmita, R. 2006. Toxoplasmosis Penyebab Keguguran dan kelainan Bayi.

(Pengenalan, pemahaman, Pencegahan dan pengobatan). Airlangga

University Press. Surabaya.

Seitz, R. 2009. Arboprotozoae. Transfuse. Med. Hemother. 36 : 8-31.

Soedarto, 2011. Mencegah dan Mengatasi Penyakit Toxoplasmosis Melindungi

Ibu dan Anak. Sagung Seto.

Soedarto. 2008. Parasitologi Klinik. Airlangga University Press. Surabaya.

Subekti, D.T. dan Arrasyid, N.K. 2006. Imunopatologis Toxoplasma gondii

Berdasarkan Perbedaan Galur. Wartazoa. Fakultas Kedokteran Universitas

Sumatra Utara. Medan.

Sulaiman. 2010. Berbisnis Pembibitan Kucing. Lily Publisher. Yogyakarta.

Susanto I., I.S., Ismid, P.K. Sjarifudin dan Sungkar, S. 2008. Buku Ajar

Parasitologi Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta.

Suwed, M.A., dan Budiana, N.S. 2006. Membiakkan Kucing Ras. Penebar

Swadaya. Jakarta

Tabbara, K.F. 2014. Toxoplasmosis. Diakses melalui

http://www.occulist.net/downaton502/prof/ebook/duanes/pages/v4/v4c046.

html pada 12 Januari 2017.


31

Torrey, E. F. dan Yolken, Robert H. 2013. Toxoplasma oocysts as a public health

problem. Ce Press. USA.

Wright M, and Walters, S. 1980. The Book of The Cat. London: Pan Book Ltd.

Zhang D., X.M., Hu, L., Qian, J.P. O’Callaghan and Hong, J.S. 2010. Astrogliosis

in CNS Pathologies : Is There A Role for Microglia. Moleculer Neurology.

41 (2-3), 232-241.

Anda mungkin juga menyukai