TINJAUAN KEPUSTAKAAN
Oleh:
Abudzar Alghifari
NIM. 200070200011169
Residen Pembimbing :
dr. Fika
Supervisor Pembimbing:
2022
DAFTAR ISI
Halaman
BAB 1 PENDAHULUAN
BAB 3 PENUTUP
Halaman
Tabel 2.1 Faktor Risiko Toksoplasmosis di Indonesia ........................................... 5
Halaman
Gambar 2.1 Distribusi Toksoplasmosis .................................................................. 6
Gambar 2.5 Bentukan parasit yang dapat Menginfeksi Ibu Hamil ......................... 11
PENDAHULUAN
distribusi di seluruh dunia. Diperkirakan lebih dari sepertiga populasi dunia telah
terinfeksi parasit hanya saja seroprevalensinya tidak merata di seluruh negara akibat
strata sosial ekonomi yang berbeda. Toksoplasmosis biasanya tanpa gejala pada
wanita hamil, tetapi dapat menimbulkan dampak yang parah pada janin. Infeksi
ditransmisikan ke janin pada sekitar 40% kasus. Sekitar 30-70% bayi baru lahir dengan
toksoplasmosis kongenital tidak memiliki tanda klinis penyakit ini saat lahir. Namun,
and Montoya, 2014). Hal tersebut diperparah dengan adanya gejala sisa jangka
Mastroiacovo, 2013).
Angka kejadian (insidensi) yang diperkirakan oleh WHO tahun 2013 adalah 1.5
kasus toxoplasmosis kongenital per 1000 kelahiran hidup. Secara umum, prevalensi
berbagai faktor di setiap negara. Infeksi tertinggi ditemukan di wilayah dunia yang
1
pengenalan dini dan pengobatan agresif infeksi pada ibu (Torgerson and
Mastroiacovo, 2013). Penyakit yang tidak terlalu parah umumnya dilaporkan di negara-
negara di mana skrining dan pengobatan pranatal telah diterapkan secara sistematis.
Sebaliknya, penyakit ini dapat sangat parah dan dengan mudah ditemukan terutama
pada bayi yang lahir dari ibu yang tidak diobati. Untuk tujuan definisi, istilah terbaik
adalah menggunakan istilah toksoplasma atau infeksi Toxoplasma gondii saat merujuk
pada pasien asimtomatik dengan infeksi primer atau kronis, dan toksoplasmosis saat
merujuk pada pasien dengan gejala atau tanda (Kieffer and Wallon, 2013).
1.2. Tujuan
2
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Definisi
sebuah parasit pada hewan yang dapat ditularkan ke manusia. Parasit ini termasuk
golongan protozoa yang bersifat obligat intraseluler. Infeksi toksoplasmosis saat hamil
dapat menyebabkan abortus spontan atau anak yang dilahirkan mengalami kelainan
2017)
2.2. Epidemiologi
hakekatnya mampu menginfeksi setiap sel pejamu yang berinti. Sekitar 85% wanita
usia produktif di Amerika Serikat mengalami infeksi akut parasit Toxoplasma gondii.
antara 1 per 3000 sampai 1 per 10.000 kelahiran. Berdasarkan data studi regional, 400
menuturkan bahwa prevalensi zat anti IHA terhadap T.gondii berkisar 2–51%. Pada
penelitian prevalensi seropositif pada ibu hamil di RS. Cipto Mangunkusumo Jakarta
berturut – turut 14.3%, 21.5%, dan 22.8% pada ibu hamil, riwayat abortus dan lahir
serokonversi ditemukan pada 36.7% wanita usia subur (FKUI, 2010). Penelitian terbaru
3
Epidemiologi Toksoplasmosis di Indonesia dipaparkan oleh Retmanasari dkk (2016)
khususnya di Jawa Tengah. Dari total 630 sampel rumah tangga yang di survey,
sebanyak 394 (62.5%) teridentifikasi toksoplasmosis dengan 9.9% seropositif IgG dan
Wanita tersebut mungkin tidak memiliki gejala, tetapi dapat menimbulkan konsekuensi
yang parah pada janinnya, seperti penyakit pada sistem saraf dan mata. Beberapa
faktor risiko berhasil di Identifikasi, khusunya di Jawa Tengah (Tabel 1). Risiko terbesar
ketinggian lebih dari 200m. Responden yang pekerjaan sehari-hari atau aktivitas
lainnya termasuk kontak langsung dengan daging mentah berisiko lebih tinggi
dibandingkan dengan mereka yang tidak rutin melakukan kontak dengan daging
mentah. Risiko toksoplasmosis juga lebih tinggi pada responden yang tidak menyaring
4
airnya, serta pada mereka yang tinggal di daerah dengan populasi kucing yang tinggi
Wonosobo memiliki proporsi responden yang tidak menggunakan air saring tertinggi,
terbesar dengan tingkat kontak dengan daging mentah yang tinggi selama bekerja atau
melakukan kegiatan lain, berkisar dari 75% di Kebumen hingga 57.1% di Purbalingga.
Selain itu, 570 responden (90.5%) tidak menggunakan sarung tangan saat menangani
Sex 0.023*
5
Without filtration (n = 458) 303 (66.16)
Temperature 0.002*
Elevation 0.000*
2014
Bentuk jaringan parasit (kista mikroskopis yang terdiri dari bradyzoites) dapat
6
Makan daging yang kurang matang dan terkontaminasi (terutama babi, domba,
dan daging rusa) atau kerang (seperti tiram, kerang, dan kerang)
Secara tidak sengaja menelan daging atau kerang yang kurang matang,
terkontaminasi.
Domain : Eukaryota
Kingdom : Alveolata
Filum : Apicomplexa
Kelas : Coccidia
Ordo : Eimeriorina
Famili : Sarcocystidae
7
Genus : Toxoplasma
anggota famili Felidae (kucing domestik). Ookista yang belum bersporulasi akan keluar
dari kotoran kucing (1). Ookista membutuhkan waktu 1-5 hari untuk bersporulasi di
lingkungan dan menjadi infektif. Inang perantara di alam (termasuk burung dan hewan
pengerat) terinfeksi setelah menelan tanah, air, atau bahan tanaman yang
setelah terkonsumsi. Tachyzoites ini terlokalisasi di jaringan saraf dan otot kemudian
berkembang menjadi bradyzoites kista jaringan (3). Kucing menjadi terinfeksi setelah
8
memakan inang perantara yang menyimpan kista jaringan (4). Kucing juga dapat
diternakkan untuk tujuan konsumsi manusia juga dapat terbentuk kista jaringan setelah
menelan ookista bersporulasi di lingkungan (5). Manusia dapat terinfeksi melalui salah
Makan daging hewan yang kurang matang yang mengandung kista jaringan (6)
peliharaan) (7)
Dalam tubuh manusia, parasit membentuk kista jaringan, paling sering di otot
rangka, miokardium, otak, dan mata. Kista ini mungkin tetap ada sepanjang hidup
inang. Diagnosis biasanya ditegakkan melalui serologi, meskipun kista jaringan dapat
diamati pada pewarnaan spesimen biopsi (10). Diagnosis infeksi kongenital dapat
dilakukan dengan mendeteksi DNA T. gondii dalam cairan ketuban (amniotic fluid)
Bentukan aseksual terdiri dari tachyzoites dan bradyzoites atau kista jaringan
sedangkan bentukan seksual merupakan ookista. T. gondii memiliki 3 fase hidup, yaitu
takizoit (bentuk proliferatif), kista (berisi bradizoit, dan ookista (berisi sporozoit). Bentuk
takizoit menyerupai bulan sabit dengan satu ujung runcing dan ujung lain agak
9
membulat. Takizoit ditemukan pada infeksi akut berbagai organ tubuh, seperti otot
termasuk otot jantung, hati, limpa, limfonodi, dan sistem saraf pusat. Selanjutnya, kista
dibentuk di dalam sel hospes bila takizoit yang membelah telah membentuk dinding.
Kista dapat ditemukan dalam tubuh hospes seumur hidup terutama di otak, otot
jantung, dan otot bergaris. Fase hidup ketiga T. gondii adalah sporozoit; pada fase ini
8x2 mikron dan sebuah benda residu (Maeda et al., 2011; CDC, 2020).
Infeksi akut bisa menjadi kronis jika tachyzoite berubah menjadi bradyzoite.
Bradyzoite masuk ke jaringan inang (otak, jantung, otot dan retina) dan tinggal di sana
selama hidup inang dalam kondisi dorman. Perubahan tahapan tachyzoite menjadi
bradyzoite tergantung pada kecepatan perkalian, pH, suhu area dan adanya anti
mitokondria Nitric Oxide (NO) dalam tubuh inang. Jika manusia mengkonsumsi daging
atau air minum yang tercemar oocyst maka bradiizoit atau spozoite yang resisten
dengan pH asam dan enzim pencernaan akan mencapai usus, menyerang sel epitel
dan setelah beberapa jam berubah menjadi tachyzoite (Maeda et al., 2011).
10
Gambar 4 Toxoplasma gondii stadium Tachyzoites (Maeda et al., 2011).
Kucing merupakan hospes definitif T. gondii. Selama infeksi akut, ookista yang
keluar bersama tinja kucing belum bersifat infektif. Setelah beberapa minggu,
tergantung kondisi lingkungan, ookista akan mengalami sporulasi dan menjadi bentuk
infektif. Manusia dan hospes perantara lain, seperti kambing dan domba, akan
terinfeksi jika menelan ookista tersebut. Kondisi cuaca panas dan tanah lembap dapat
mempertahankan ookista selama sekitar 1 tahun. Ookista tidak dapat bertahan hidup
11
Gambar 5 Toxoplasma gondii (Kiri) stadium bradyzoites (Kanan) Ookista (Maeda et
al., 2011)
Gambar 5 Bentukan Parasit yang dapat menginfeksi manusia khususnya wanita hamil
(McAuley, 2014)
2.5. Patofisiologi
asimtomatik akibat adanya proteksi dari sistem imun. Pada bayi dan pasien
dari jaringan lokal. Hal ini menyebabkan terjadinya komplikasi dan gejala
Secara rinci, respons imun seluler, humoral, dan bawaan akan segera
teraktovasi saat invasi parasit, ini penting untuk mencegah proliferasi tachyzoite yang
tidak terkendali. Respon imun telah diketahui bertanggung jawab untuk mengendalikan
replikasi parasit, termasuk aktivasi sistem monosit-makrofag, sel dentritik, sel Natural
Killer (NK), Sel T CD4+ sitotoksik dan sel T CD8+. Molekul-molekul kostimulatori
(misalnya ligan CD28 dan CD40) dan sitokin, termasuk IFN-g, IL-12, TNF-a, IL-10 dan
12
TGF-β juga terlibat. Peran Toll-like receptors (TLRs) dalam respon imunitas bawaan
terhadap T. gondii baru-baru ini diketahui dalam percobaan model tikus. Tampaknya
pengenalan TLR, seperti TLR11, juga dapat menjadi step penting untuk pencegahan
kerusakan kekebalan yang disebabkan oleh patogen pada jaringan diri (self
destruction). MyD88, IL-12 dan IFN-ϒ memiliki peran utama selama tahap awal infeksi
(di tempat masuknya parasit di mukosa dan organ perifer lainnya), sedangkan sel T
CD8+ akan berperan dalam pengendalian replikasi parasit serta pembentukan kista di
SSP. Dalam kasus infeksi toksoplasma kongenital, respons sel T CD4 spesifik antigen
menurun. Padahal peran sel tersebut efektif dalam membunuh sebagian besar
dalam kista jaringan, berhasil lolos dari kapasitas efektor sistem kekebalan. Jika terjadi
penipisan yang signifikan dari respon imun yang dimediasi oleh sel-T, transformasi
ensefalitis toksoplasma atau toksoplasmosis diseminata pada pasien AIDS atau pasien
gangguan sistem imun lainnya, juga pada bayi yang secara umum belum matur
terjadi pada trimester pertama kehamilan dan meningkat hingga 60 – 90% apabila
parah jika infeksi terjadi pada trimester pertama imunnya (Wellington et al., 2010;
Aryani, 2017).
13
Gambar 6 Patofisiologi Toxoplasma pada Ibu Hamil (Montoya, 2016)
Setelah terjadi infeksi T. gondii akan terjadi proses parasitemia, di mana parasit
menyerang organ dan jaringan serta memperbanyak diri dan menghancurkan sel
inang. Pada toksoplasmosis kongenital, infeksi primer pada janin diawali dengan
masuknya darah ibu yang mengandung parasit ke dalam plasenta, sehingga terjadi
plasentitis. Hal ini ditandai dengan gambaran plasenta dengan reaksi inflamasi
menahun pada desidua kapsularis dan fokal reaksi pada vili. Inflamasi tali pusat jarang
Secara lebih rinci, ketika infeksi terlah terjadi, parasit harus melewati plasenta.
Penularan vertikal umumnya terbatas pada kasus-kasus di mana ibu mengalami infeksi
T. gondii primer selama masa gestasi. Di dalam plasenta, satu lapisan sel trofoblas
janin bersentuhan dengan darah ibu untuk pertukaran metabolisme gas dan nutrisi.
Lapisan ini juga dapat berperan sebagai penghalang, melindungi janin dari infeksi yang
14
terjadi pada ibunya. Namun terdapat patogen parasit, bakterial dan virus, seperti T.
gondii yang dapat membahayakan janin melalui infeksi langsung. Meskipun infeksi
awal pada janin menyebabkan manifestasi yang parah, penularan melalui plasenta
lebih sering terjadi pada tahap akhir infeksi dan efek jangka panjang dapat mencakup
retinochoroiditis selama masa kanak-kanak dan remaja (McAuley, 2014; Aryani, 2017).
secara alami akan memungkinkan parasit melewati plasenta walaupun terdapat tanda
ini atau tidak. Studi in vitro menunjukkan bahwa sel trofoblas manusia mengatur ICAM-
1 dan molekul adhesi lainnya di hadapan sel yang terinfeksi T. Gondii. Hasilnya ialah
ICAM-1 diperlukan untuk pengikatan sel-sel ini ke trofoblas. Mengingat bahwa sel yang
lain, dan memberikan dukungan untuk model kuda Troya (suatu mekanisme T. gondii
asimtomatik. Bila seorang ibu hamil mendapat infeksi primer, kemungkinan 50% bayi
bagian belakang, dapat menyebar atau terlokalisasi pada satu nodul di area tertentu.
Tanda dan gejala yang sering timbul pada ibu hamil ialah demam, sakit kepala, dan
demam, ruam makulopapular (Blueberry muffin) yang mirip dengan kelainan kulit pada
15
Pada janin, transmisi toksoplasmosis kongenital terjadi bila infeksi T. gondii
didapat selama masa gestasi. Terdapat korelasi positif yang sangat bermakna antara
isolasi toksoplasma dari jaringan plasenta dan infeksi neonatus. Korelasi ini
bahwa infeksi tersebut didapat melalui sirkulasi uteroplasenta. Sekitar setengah dari
janin in utero. Transmisi penyakit ke janin lebih jarang terjadi pada awal kehamilan,
namun infeksi pada awal kehamilan ini dapat menyebabkan gejala yang lebih parah
pada janin, meskipun ibunya tidak merasakan tanda dan gejala infeksi toksoplasma
Hidrosefalus, Korioretinitis, dan Kalsifikasi intrakranial. Pada bayi baru lahir yang
bergejala, salah satu atau keseluruhan tanda dari trias klasik mungkin timbul, disertai
limfadenopati, dan kelainan susunan saraf pusat (Maldonado and Read, 2017).
Lesi pada mata merupakan salah satu manifestasi yang paling sering pada
nekrosis pada retina. Pada fase akut, lesi ini timbul sebagai bercak putih kekuningan di
fundus dan biasanya berhubungan dengan ruam pada vitreus. Gejala yang timbul pada
infeksi mata antara lain penglihatan kabur, fotofobia, nistagmus, strabismus epifora,
16
Sekuele yang didapatkan pada bayi baru lahir dapat dikategorikan atas sekuele
ringan dan berat. Pada sekuele ringan, ditemukan sikatriks korioretinal tanpa
gangguan visus atau adanya kalsifikasi serebral tanpa diikuti kelainan neurologik. Pada
sekuele berat, terjadi kematian janin intrauterin atau neonatal, adanya sikatriks
korioretinal dengan gangguan visus berat atau kelainan neurologik. Sebagian besar
bayi yang terinfeksi intrauterin lahir dengan gejala tidak khas, lebih dari 80%
yang lebih rendah pada masa anak-anak. Hal tersebut sangat mengganggu dan
infeksi selama hamil. Satu-satunya cara untuk menentukan infeksi pada saat
kehamilan adalah dengan skrining serologi. Tidak semua wanita hamil menunjukkan
gejala saat terinfeksi toksoplasmosis dan hanya sebagian kecil janin yang
menunjukkan tanda abnormal yang dapat dideteksi dengan ultrasonografi rutin. Hal ini
menjadi pertimbangan perlunya skrining dan tes serial terhadap setiap wanita hamil.
lain Austria, Belgia, Prancis, Norwegia, Uruguay, dan beberapa wilayah di Italia dan
Kehamilan dengan imun seropositif, yaitu ditemukan adanya antibodi IgG anti-
17
Kehamilan dengan antibodi IgG atau IgM spesifik dengan titer tinggi (biasanya
disertai juga hasil positif uji Sabin-Feldman), yang menunjukkan bahwa ibu
hamil dengan seropositif mengalami reinfeksi. Keadaan ini sering juga disebut
spesifik. Dalam hal ini ibu hamil dianjurkan untuk mengulangi uji serologik
18
Gambar 7 Linimasa pembentukan Antibodi oleh Infeksi Toksoplasma (Elseikha, 2020)
bayi, dan anak-anak, serta kebutuhan akan konfirmasi infeksi janin prenatal pada ibu
hamil, maka para klinisi/ahli kedokteran kebidanan memperkenalkan metode baru yang
lampau. Diagnosis prenatal umumnya dilakukan pada usia kehamilan 14-27 minggu
1. Kordosintesis, yaitu pengambilan sampel darah janin melalui tali pusat (1.5-3
mL) atau amniosentesis (aspirasi cairan ketuban 15-20 mL) dengan tuntunan
ultrasonografi
2. Biakan darah janin atau cairan ketuban dalam kultur fibroblas, atau
3. Pemeriksaan PCR untuk identifikasi DNA T. gondii pada darah janin atau cairan
ketuban
4. Pemeriksaan ELISA pada darah janin untuk mendeteksi antibodi IgM spesitik
5. Petanda nonspesifik darah fetus yang terinfeksi seperti hitung trombosit, hitung
19
Diagnosis toksoplasmosis kongenital ditegakkan dengan adanya IgM dan IgA spesifik
dari darah janin, ditemukannya parasit dari hasil kultur atau inokulasi pada tikus, dan
adanya DNA T. gondii pada pemeriksaan PCR darah janin atau cairan ketuban
identifikasi antigen spesifik Toksoplasma pada jaringan, dan isolasi parasit. Selama
kehamilan, adanya parasit dalam cairan atau jaringan fetus (amplifikasi DNA,
kongenital selama kehamilan adalah PCR dalam cairan amnion; hasil tes positif
kongenital yaitu dengan adanya penurunan titer IgG Toksoplasma yang menghilang
dalam usia 12 bulan. Pada keadaan terbatasnya riwayat klinis dan hasil tes
laboratorium, diagnosis toksoplasma kongenital pada satu tahun awal kehidupan dapat
rancu dengan kemungkinan bayi mendapat infeksi selama periode postnatal. Oleh
periode gestasi atau satu tahun awal kehidupan (Cunningham et al., 2005; Hoshino et
al., 2014).
kongenital pada bayi baru lahir adalah deteksi serologi berbagai antibodi Toksoplasma
20
dalam serum darah perifer. IgG, IgM, IgA Toksoplasma harus selalu diperiksa.
Kombinasi hasil pemeriksaan IgM dan IgA, ditambah dengan pemeriksaan IgG
memiliki sensitivitas lebih tinggi dibandingkan dengan hanya satu jenis pemeriksaan.
Pemeriksaan Toksoplasma PCR pada cairan serebrospinal (CSF), darah perifer, dan
urin dapat menjadi cara lain untuk diagnosis awal toksoplasmosis kongenital
21 Terapi
pada IgG maternal yang dapat menembus plasenta secara pasif. Pada periode awal
kehidupan, IgG neonatus masih diperoleh dari IgG ibu, setelah 2 bulan akan mulai
menurun. Pada usia 6 bulan IgG akan hilang 50% dan 100% saat usia 1 tahun. Deteksi
IgM dan IgA Toksoplasma pada neonatus juga dapat terkontaminasi oleh IgM maternal
pada 5 hari pertama kehidupan dan IgA pada 10 hari awal. Oleh karena itu,
pemeriksaan IgA ataupun IgM dilakukan saat usia >10 hari. Apabila diagnosis belum
dapat ditegakkan, pemeriksaan IgG, IgM, dan IgA selanjutnya dilakukan pada usia 1
bulan dan setiap 2 bulan sesuai indikasi. Diagnosis toksoplasmosis kongenital dapat
dieksklusi jika tidak terdapat titer IgG tanpa terapi hingga usia 12 bulan (Hariadi, 2008;
22
2.8. Tata Laksana
2.8.1. Tujuan
fetus, sedangkan tujuan terapi post-natal adalah untuk mengobati infeksi pada bayi
kongenital masih jarang dilakukan. Pada sebuah studi kohort oleh Phan, dkk. tahun
tahun pada anak yang diterapi post-natal dengan anak yang diterapi postnatal dan pre-
Spiramisin
gondii dibandingkan dengan antibiotika lainnya, dengan mekanisme kerja yang serupa
dengan cara menghambat 50s ribosom, sehingga sintesis protein bakteri/parasit akan
hingga 60%. Proteksi ini terlihat lebih nyata pada wanita yang terinfeksi selama
trimester pertama. Spiramisin tidak dapat melewati plasenta, dan sebaiknya tidak
23
digunakan sebagai monoterapi pada kasus yang diduga telah terjadi infeksi pada janin.
Sampai saat ini, tidak terdapat fakta bahwa obat ini bersifat teratogenik. Pada wanita
yang diduga mengalami infeksi toksoplasma akut pada trimester pertama atau awal
PCR negatif. Hal ini berdasarkan teori yang menyatakan bahwa kemungkinan infeksi
janin dapat terjadi pada saat kehamilan dari plasenta yang sebelumnya telah terinfeksi
pemeriksaan cairan amnion negatif, karena secara teoritis kemungkinan infeksi janin
dapat terjadi pada kehamilan lanjut dari plasenta yang terinfeksi pada awal kehamilan.
Untuk ibu hamil yang memiliki kemungkinan infeksi tinggi atau infeksi janin telah
dan asam folat setelah usia kehamilan 18 minggu. Pada beberapa pusat pengobatan,
penggantian obat dilakukan lebih awal (usia kehamilan 12-14 minggu). Spiramisin
sebaiknya tidak diberikan pada pasien yang hipersensitif terhadap antibiotik makrolid.
Sejumlah kecil ibu hamil menunjukkan gejala gangguan saluran cerna atau reaksi
alergi. Dosis spiramisin yang diberikan ialah 3 gram/hari (Hariadi, 2008; Paquet et al.,
2013).
24
Gambar 9 Sediaan Spiramisin (Google Images)
hamil yang mengalami infeksi T. gondii akut pada akhir trimester kedua (>18 minggu)
atau pada trimester ketiga. Kombinasi ini juga diindikasikan untuk ibu hamil dengan
infeksi janin atau janin dengan toksoplasmosis kongenital yang terdeteksi melalui
sumsum tulang belakang sehingga perlu dilakukan perhitungan jumlah sel darah
kongenital pada bayi ibu hamil yang terinfeksi sebelum kehamilan hampir tidak pernah
ditemukan. Di beberapa negara, pengobatan tetap diberikan pada ibu hamil sehat
dengan diagnosis infeksi T. gondii laten. Hal tersebut didasarkan fakta bahwa kondisi
imun setiap individu berbeda, fluktuatif, dan tidak dapat terkontrol sebelumnya.
Reaktivasi mungkin saja terjadi ketika imunitas seseorang menurun, terutama pada ibu
hamil yang memiliki kondisi untuk berbagi nutrisi dengan janinnya. Selain itu, aviditas
IgG setiap individu juga belum tentu tinggi dan matang meskipun infeksi terjadi setelah
bertahun-tahun yang lalu. Jika pemberian terapi ditunda hingga hasil pemeriksaan
aviditas IgG pada trimester pertama hasil IgG dan IgM (-), maka infeksi terjadi akibat
reaktivasi. Untuk lebih memastikan bahwa infeksi tidak terjadi, maka pemberian terapi
menggunakan spiramisin tetap dilakukan. Disamping itu risiko minimal spiramisin tidak
25
Pirimetamin merupakan antiparasit yang secara kimiawi dan farmakologi
sebagai inhibitor poten dari enzim dihidrofolat reduktase dan bekerja secara sinergis
dengan sulfonamid. Dosis pirimetamin 25-50 mg per oral sekali sehari dan
dikombinasikan dengan sulfonamid selama 1-3 minggu; kemudian dosis obat dikurangi
setengah dari dosis sebelumnya, dan terapi dilanjutkan 4-5 minggu. Kekurangan asam
serta menghambat enzim yang membentuk asam folat dan paraamino benzoic acid
karboksilase yang berperan pada respirasi bakteri. Dosis pemberian 2-4 gram per oral
sehari sekali selama 1-3 minggu, kemudian dosis dikurangi setengah dari dosis
sebelumnya dan terapi dilanjutkan hingga 4-5 minggu (Hariadi, 2008; Paquet et al.,
2013).
26
Kombinasi sulfadiazin, pirimetamin, dan asam folat biasanya diberikan untuk
bayi yang lahir dari ibu dengan hasil positif pada cairan amnionnya atau yang sangat
dilanjutkan 1mg/kgBB/hari untuk 2-6 bulan, dan setelah itu 1mg/kgBB/hari 3 kali
perminggu. Dosis sulfadiazin 50 mg/kgBB setiap 12 jam, dan dosis asam folat 5 – 20
trimester pertama mempengaruhi kehamilan dalam waktu kurang dari 5% kasus, tetapi
keguguran atau, pada beberapa kehamilan yang berlanjut, ke lesi janin mayor,
terutama SSP. Kedua, infeksi ibu trimester lanjut dikaitkan dengan peningkatan
dengan lesi janin yang terutama terdiri dari korioretinitis toksoplasma. Lesi ini juga
dapat muncul di kemudian hari selama masa kanak-kanak atau awal masa dewasa
dan terkadang mengganggu fungsi visual. Kerusakan janin yang disebabkan oleh
anomali SSP yang parah. Namun, korioretinitis toksoplasma, yang terjadi terutama
setelah infeksi ibu lanjut, biasanya tidak terdeteksi pada skrining antenatal bahkan
ditegakkan dengan pemeriksaan fundus okular, yang dilakukan saat lahir dan secara
teratur selama masa tindak lanjut pascakelahiran. Padahal, fungsi penglihatan begitu
vital dalam proses perkembangan anak (Berrebi et al., 2010; Basri, 2017).
27
Penelitian prospektif oleh Berrebi dkk (2010) pada 666 anak lahir hidup di
terinfeksi kemudian di follow-up setiap 3-6 bulan. Dari 666 anak lahir hidup (676 ibu),
2.9.1. Korioretinitis
Toxoplasma gondii yang merupakan penyebab potensial uveitis posterior yang dapat
menyebabkan kebutaan. Ini adalah kondisi progresif, berulang, dan nekrosis, dikaitkan
dengan peradangan pada struktur vaskular retina dan vitreous, dan memiliki predileksi
untuk terjadi di kutub posterior pada lebih dari 50% kasus. Gejala toksoplasmosis mata
tanda uveitis anterior, dan sekitar 20% pasien mengalami peningkatan tekanan
intraokular. Pada segmen posterior, kondisi klasik muncul sebagai fokal, retinitis putih
dengan bekas luka chorioretinal berpigmen. Meskipun dalam banyak kasus diagnosis
mendukung diagnosis sampai batas tertentu, sedangkan titer antibodi negatif pada
28
Gambar 11 Toxoplasmosis Chorioretinitis (atlasophtalmology.net)
Pada pasien dalam penelitian oleh Berrebi dkk, didapatkan 20 pasien unilateral
peripheral (71%), 2 pasien bilateral peripheral (7%), dan 6 pasien unilateral macular
(21%). Faktor-faktor yang terkait dengan krparahan korioretinitis adalah diagnosis yang
atau keterlibatan okular saat lahir, dan adanya lesi intrakranial terkait. Berrebi dkk
menganggap infeksi dini sebagai faktor keparahan, sedangkan yang lain melaporkan
bahwa infeksi hanya mempengaruhi persentase lesi intrakranial. Output ini tidak begitu
Hasil ini mendorong penulis untuk menyarankan sebuah kebijakan manajemen pasien
29
Penelitian terbaru dari Cicendo Eye Center, Bandung, Indonesia,
Dalam studi oleh Kartasasmita dkk tersebut, efek terapeutik dari terapi paket-4-
obat mencapai efek maksimal pada minggu pertama masa follow-up. Oleh karena itu,
pengurangan lesi pada follow-up minggu pertama pada kelompok ini lebih tinggi
paket-4-obat memiliki efek terapeutik yang lebih cepat, sehingga mengurangi durasi
samping pengobatan. Pengurangan lesi yang cepat ini juga memiliki keuntungan dari
pemulihan yang cepat pada ketajaman visual, menghasilkan proses pemulihan yang
keterlibatan SSP. Itupun membaik seiring waktu. Barrabe dkk berpendapat manifestasi
neonatal yang parah, termasuk gangguan neurologis, menjadi jarang terjadi akibat
terjadi kelainan SSP parah, maka terminasi kehamilan dapat dipertimbangkan. Faktor
pendukung keterlibatan SSP terjadi pada kasus infeksi ibu trimester awal, kurangnya
perawatan prenatal, dan adanya korioretinitis ataupun tanda klinis saat lahir.
30
Pengobatan yang tepat untuk anak-anak dengan kelainan neurologis (hidrosefalus,
kejang, tonus otot abnormal) dapat secara nyata memperbaiki prognosis dan
menghasilkan hasil yang hampir normal. Ini adalah kasus untuk satu-satunya anak
dalam penelitian Barbara yang memiliki gangguan neurologis serius dan membaik
baik oleh pengasuh, terapis, maupun pediatrik. Faktor prognostik keparahan dalam
kasus keterlibatan SSP ini ialah infeksi ibu dini di trimester pertama (12 minggu),
korioretinitis didiagnosis saat lahir, dan toksoplasmosis simtomatik (kejang) pada hari-
2020)
31
2.10. Pencegahan Infeksi Toksoplasma pada Ibu Hamil
permasalahan tumbuh kembang yang akan memengaruhi kualitas hidup anak akibat
ataupun melakukan skrining. Beberapa langkah antisipatif baik oleh ibu hamil ataupun
oleh tenaga kesehatan yang dapat dilakukan antara lain (Moncada and Montoya,
2014):
Ibu hamil dapat memasak masakan khususunya daging dengan suhu diatas
toksoplasmosis
kontak dengan daging mentah, daging unggas, seafood, atau buah dan sayur
kucing. Setelah itu mencuci tangan dengan sabun dan air mengalir
seperti menggantu pasir kucing. Jika terpaksa, memakai sarung tangan dan
mencuci tangan dengan sabun dan air mengalir. Selain itu, diusahakan pasir
32
Ibu hamil harus meyakinkan bahwa kucing mereka tetap diam di dalam rumah
dan tidak mengadopsi atau merawat kucing liar. Kucing diusahakan diberi
makan makanan kaleng atau makanan yang dimasak matang. Jangan beri
Penyedia layanan kesehatan yang merawat ibu hamil harus dididik tentang
dua masalah potensial yang terkait dengan tes serologi T. gondii: (1) tidak ada
tes yang dapat menentukan secara tepat kapan infeksi awal T. gondii terjadi;
(2) pada populasi dengan insiden infeksi T. gondii yang tinggi (populasi
padat), sebagian besar hasil tes IgM positif mungkin akan menjadi benar-
upaya skrining TORCH yang termasuk toksoplasma bagi seluruh wanita subur
33
BAB 3
PENUTUP
3.1. Penutup
Pemeriksaan laboratorium yang lazim dilakukan ialah IgG dan IgM anti-toksoplasma
serta aviditas anti-toksoplasma IgG. Pemeriksaan tersebut perlu dilakukan pada ibu
yang diduga terinfeksi T. gondii dan juga pada janin, umumnya dilakukan pada usia
kehamilan 14-27 minggu. Untuk ibu hamil yang memiliki kemungkinan infeksi tinggi
atau infeksi janin telah terjadi, pengobatan dengan spiramisin harus ditambahkan
prevalensinya rendah namun memiliki tingkat keparahan dan kecacatan janin tinggi.
Hal tesrsebut terjadi akibat pada trimester awal terjadi pembentukan organogenesis
vital bagi kehidupan. Sedangkan pada trimester lanjut, prevalensi akan semakin
banyak namun keparahan yang ditimbulkan lebih bersifat asimtomatik hanya saja
korioretinitis tetap sering terjadi walau infeksi mengenai trimester lanjut. USG antenatal
dapat digunakan sebagai alat skrining keterlibatan SSP oleh toksoplasmosis. Walau
Skrining TORCH yang mencakup toksoplasmosis pada masa pra-nikah bagi wanita
subur digadang sebagai langkah bijak dalam memerangi permasalah tumbuh kembang
akibat infeksi toksoplasmosis. Hal tersebut didukung oleh beberapa langkah antisipatif
baik bagi Ibu, Pemberi Pelayanan Kesehatan, serta pemerintah dalam menekan dan
34
Ketika permasalahan tumbuh kembang telah terjadi pada anak yang terinfeksi
toksoplasmosis kongenital, Barbara dkk (2010), McLeod dkk (2014), dan Kartasasmita
dkk (2017) telah memberikan banyak pelajaran bagi manajemen permasalah tumbuh
kembang anak dengan gejala toksoplasmosis kongenital seperti keterlibatan SSP dan
korioretinitis bahkan pada minggu pertama dan juga mampu dalam mendukung
perkembangan SSP pada anak dengan gejala neurologis. Hanya saja, pada anak
dengan gejala neurologis, diperlukan follow-up rutin selama 3 bulan sekali selama 2
tahun untuk monitoring terapi yang diberikan baik oleh pengasuh, terapis, dan dokter
anak (pediatrik) Berrebi et al., 2010; McLeod et al., 2014; Kartasasmita et al., 2017).
35
Daftar Pustaka
17(2), pp.133-139.
Berrebi, J., Myringen, S., Kennard, C., Rust, C. and Mahfoudz, J., 2010. Long-term
<https://www.cdc.gov/parasites/toxoplasmosis/biology.html> [Accessed 13
December 2020].
Furtado, J., Smith, J., Belfort, R., Gattey, D. and Winthrop, K., 2011. Toxoplasmosis: A
Hariadi R. 2008. Infeksi Toxoplasma gondii pada kehamilan. In: Ilmu kedokteran
Hiroki Maeda, T., Damdinsuren Boldbattar, R. and Hiroshi Suzuki, R., 2011. Tick
36
Hoshino, T., Kita, M., Imai, Y., Yamakawa, M. and Takoka, H., 2014. Incidence of
Kartasasmita, A., Muntur, W., Enus, S., Iskandar, E. and Sutisna, E., 2017. Rapid
Kieffer, F. and Wallon, M., 2013. Congenital toxoplasmosis. Pediatric Neurology Part II,
pp.1099-1101.
p.e20163860.
McLeod, R., Lykins, J., Gwendolyn Noble, A., Rabiah, P., Swisher, C., Heydemann, P.,
McLone, D., Frim, D., Withers, S., Clouser, F. and Boyer, K., 2014.
pp.166-194.
Moncada, P. and Montoya, J., 2014. Toxoplasmosis in the fetus and newborn: an
Paquet, C., Yudin, M., Yudin, M., Allen, V., Bouchard, C., Boucher, M., Caddy, S.,
Castillo, E., Money, D., Murphy, K., Ogilvie, G., Paquet, C., van Schalkwyk, J.
79.
37
Randall, L. and Hunter, C., 2011. Parasite dissemination and the pathogenesis of
9.
Retmanasari, A., Widartono, B., Wijayanti, M., Artama, W. and Prakoso, D., 2017.
91(7), pp.501-508.
Wellington, A., Oladipo, O., Chimere, O., Oladele, T., Anunobi, C. and Soyebi, K.,
1(1).
pp.100-110.
Bigna, J., Tochie, J., Tounouga, D., Bekolo, A., Ymele, N., Youda, E., Sime, P. and
Elsheikha, H., Marra, C. and Zhu, X., 2020. Epidemiology, Pathophysiology, Diagnosis,
34(1).
38
Montoya, J. and Liesenfeld, O., 2016. Toxoplasmosis. The Lancet, 363(9425),
pp.1965-1976.
39