Anda di halaman 1dari 52

LAPORAN KASUS

Morbili+Kejang Demam
Sederhana+Community Acquired Pneumonia

Oleh :

Huzlifatil Jannah

NIM. 2130912320140

Pembimbing:

Dr. dr. Edi Hartoyo, Sp.A(K)

BAGIAN/KSM ILMU KESEHATAN ANAK

FAKULTAS KEDOKTERAN ULM/RSUD ULIN

BANJARMASIN

November, 2022
DAFTAR ISI

Halaman

HALAMAN JUDUL ................................................................................. i

DAFTAR ISI ............................................................................................. ii

BAB I PENDAHULUAN....................................................................... 1

BAB II TINJAUAN PUSTAKA.............................................................. 4

A. Morbili ................................................................................... 4

1. Definisi.............................................................................. 4

2. Etiologi.............................................................................. 4

3. Epidemiologi ..................................................................... 5

4. Manifestasi Klinis ............................................................. 6

5. Diagnosis........................................................................... 7

6. Tatalaksana........................................................................ 7

7. Pencegahan........................................................................ 9

B. Kejang Demam Sederhana..................................................... 12

1. Definisi............................................................................. 12

2. Etiologi............................................................................. 13

3. Manifestasi Klinis ............................................................ 13

4. Diagnosis........................................................................... 14

5. Tatalaksana ...................................................................... 16

ii
C. Community Acquired Pneumonia................................................17

1. Definisi...................................................................................17

2. Etiologi...................................................................................17

3. Manifestasi Klinis..................................................................18

4. Diagnosis...............................................................................18

5. Tatalaksana............................................................................19

BAB III LAPORAN KASUS.........................................................................21

A. Identitas...........................................................................................21

B. Anamnesis.......................................................................................22

C. Pemeriksaan Fisik...........................................................................26

D. Status Gizi.......................................................................................31

E. Pemeriksaan Penunjang..................................................................33

F. Resume...........................................................................................35

G. Diagnosis Kerja..............................................................................37

H. Prognosis.........................................................................................37

I. Penatalaksanaan..............................................................................38

J. Usulan/saran...................................................................................38

K. Follow up........................................................................................41

BAB IV PEMBAHASAN................................................................................43

BAB V PENUTUP...........................................................................................48

DAFTAR PUSTAKA......................................................................................49

iii
1

BAB I

PENDAHULUAN

Morbili merupakan penyakit infeksi yang disebabkan karena virus morbili dan

bersifat akut serta dapat menular. Penyakit morbili biasanya muncul pada anak-anak

sehingga dapat menjadi sistem kekebalan tubuh seumur hidup. Morbiditas dan mortalitas

yang tercatat di negara berkembang jauh lebih tinggi dari negara maju dikarenakan faktor

malnutrisi dan infeksi sekunder.1

Pada dasarnya, terdapat program imunisasi dan sosialisasi untuk pengenalan

terhadap penyakit morbili yang dijalankan dengan baik sehingga penyakit ini jarang

muncul. Tujuan pengenalan tersebut adalah untuk mencegah komplikasi lebih lanjut yang

bisa terjadi.2

Morbili adalah penyakit infeksi virus yang menular dan biasanya ditandai dengan

3 stadium, yaitu : stadium kataral, stadium erupsi, dan stadium konvalesensi. Nama lain

morbili adalah campak, measles, atau rubella. Morbili disebabkan oleh virus yang

tergolong Famili Paramyxovirus, yaitu genus virus morbili yang terdapat dalam sekret

nasofaring dan darah selama masa prodromal sampai 24 jam setelah timbul bercak-bercak

dan bintik merah dikulit.1,2

Kejang demam ialah suatu kondisi perubahan pada fungsi otak secara mendadak

yang berlangsung singkat atau sementara dimana terjadi bangkitan kejang saat suhu tubuh

meningkat (suhu rektal di atas 38oC) yang disebabkan oleh proses ekstrakranium. Kejang

demam biasa terjadi pada anak terutama usia 6 bulan sampai 5 tahun. Kejang demam

terjadi bisa secara sederhana maupun kompleks. Kejang demam sederhana ialah kejang

yang berlangsung singkat kurang dari 15 menit dan umumnya akan berhenti sendiri.

Infeksi respiratori akut menjadi penyebab lebih dari 4 juta kematian yang ada di
2

negara berkembang.3 Pneumonia hingga saat ini masih tercatat sebagai masalah kesehatan

utama pada anak di negara berkembang. Pneumonia merupakan inflamasi pada paru yang

disebabkan oleh berbagai mikroorganisme seperti bakteri, virus dan jamur.4 Namun,

penyakit pneumonia yang disebabkan karena jamur sangatlah jarang. Hasil penelitian

menunjukkan bahwa 70% penyakit pneumonia disebabkan oleh bakteri. Bakteri penyebab

pneumonia tersering adalah Streptococcus pneumoniae (50%) dan Haemophilus

influenzae (20%).5

Pneumonia merupakan penyebab utama morbiditas dan mortalitas anak berusia di

bawah lima tahun (balita). Menurut survei kesehatan nasional (SKN) 2001, kematian

balita di indonesia disebabkan oleh penyakit respiratori, terutama pneumonia.6 Indonesia

merupakan negara dengan tingkat kejadian pneumonia tertinggi keenam di seluruh dunia,

Berdasarkan data RISKESDAS tahun 2013 disebutkan bahwa insidens dan prevalensi

pneumonia sebesar 1,8 persen dan 4,5 persen. Sedangkan menurut laporan UNICEF 2015

terdapat 14% dari 147.000 anak di 7 bawah usia 5 tahun meninggal karena pneumonia.7, 8

Oleh karena tingginya angka kematian akibat pneumonia akan tetapi sering tidak disadari

maka pneumonia mendapat julukan “the forgotten pandemic”.9

Terdapat faktor risiko yang menyebabkan tingginya angka mortalitas pneumonia

pada anak balita di negara berkembang. 6 Ada dua faktor yang berhubungan dengan

kejadian pneumonia yaitu faktor intrinsik dan faktor ekstrinsik. Faktor intrinsik

merupakan faktor yang ada pada balita meliputi umur balita, jenis kelamin, berat badan

lahir rendah, status imuniasi, pemberian ASI, pemberian vitamin A, dan status gizi. Faktor

ekstrinsik merupakan faktor yang tidak ada pada balita meliputi tipe rumah, ventilasi,

jenis lantai, pencahayaan, kepadatan hunian, kelembaban, jenis bahan bakar, penghasilan

keluarga, serta faktor ibu baik pendidikan, umur ibu juga pengetahuan ibu dan keberadaan

keluarga yang merokok.10


3

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Morbili

1. Definisi

Morbili atau dikenal juga dengan campak atau measles dalam bahasa Inggris.

Morbili merupakan salah satu penyakit infeksi yang sangat menular yang disebabkan

oleh Paramixovirus yang menyerang anak-anak bahkan juga orang dewasa.

Seseorang yang terkena penyakit ini ditandai dengan demam tinggi, terjadi

peradangan pada mata (mata merah), serta timbul bercak kemerahan pada kulit.

Penyakit ini dapat menular melalui percikan droplet dari mulut, hidung, maupun dari

tenggorokan penderita. Kelompok paling rentan untuk terkena penyakit ini adalah

bayi dan anak-anak yang belum pernah mendapatkan imunisasi campak.11,12

2. Etiologi

Agen campak adalah measles virus yang termasuk dalam famili

Paramyxoviridae anggota genus morbili virus. Virus campak sangat sensitif

terhadap temperatur sehingga virus ini menjadi tidak aktif pada suhu 37 °C atau bila

dimasukkan ke dalam lemari es selama beberapa jam. Dengan pembekuan lambat

maka infektivitasnya akan hilang. Virus berada dalam lendir di hidung dan

tenggorokan orang yang terinfeksi, sehingga penularan biasanya terjadi melalui

udara dan pernapasan (batuk dan bersin). Virus ditularkan secara langsung dari

droplet infeksi.11

3. Epidemiologi

Angka kesakitan morbili di seluruh dunia mencapai 5-10 kasus per 10.000
4

dengan jumlah kematian 1-3 kasus per 1000 orang. Campak masih ditemukan di

negara maju. Sebelum ditemukan vaksin pada tahun 1963 di Amerika serikat,

terdapat lebih dari 1,5 juta kasus campak setiap tahun. Pada tahun 2005 terdapat

345.000 kematian di dunia akibat penyakit campak dan sekitar 311.000 kematian

terjadi pada anak-anak usia dibawah lima tahun. Pada tahun 2006 terdapat 242.000

kematian karena campak atau 27 kematian terjadi setiap jamnya. Kematian campak

di seluruh dunia pada tahun 2007 adalah 197.000 dengan interval 141.000 hingga

267.000 kematian dimana 177.000 kematian terjadi pada anak-anak usia dibawah

lima tahun. Lebih dari 95% kematian campak terjadi di negara-negara

berpenghasilan rendah dengan infrastruktur kesehatan lemah. Hal ini sangat

disayangkan meningat campak adalah salah satu penyakit yang dapat dicegah

dengan imunisasi.13

Di Indonesia, campak masih menempati urutan ke-5 dari 10 penyakit utama

pada bayi dan anak balita (1-4 tahun) berdasarkan laporan survey kesehatan rumah

tangga (SKRT) tahun 1985/1986. Kejadian luar biasa (KLB) masih terus dilaporkan.

Dilaporkan terjadi KLB di pulau Bangka pada tahun 1971 dengan angka kematian

sekitar 12%, KLB di Provinsi Jawa Barat pada tahun 1981 (CFR= 15%), dan KLB di

Palembang, Lampung, dan Bengkulu pada tahun 1998. Pada tahun 2003, di

Semarang masih tercatat terdapat 104 kasus campak dengan CFR 0%. Berdasarkan

data dari Departemen Kesehatan (Depkes) tahun 2003, di Provinsi Bali terdapat 32,5

per 100.000 balita/tahun, dan di Jawa Barat terdapat 45 per 100.000 balita/tahun.

Berdasarkan data Dinas Kesehatan Sumatera Selatan pada tahun 2005 terdapat 2.189

penyakit Campak, yaitu 42,5% di antaranya terjadi pada anak usia balita.14

4. Manifestasi Klinis

Gejala yang nampak pada penderita campak antara lain:11,15


5

a. Demam dengan suhu yang tinggi serta selsema

b. Mata merah (konjungtivitis), berair, dan sensitif pada cahaya (fotofobia)

c. Nyeri tenggorokan

d. Hidung berair (Koriza)

e. Batuk

f. Bercak Koplik.

5. Diagnosis

Diagnosis campak atau measles atau rubeola didapat dari karakteristik

gejala demam, coryza, konjungtivitis, dan koplik spot yang dilanjutkan dengan

ruam makulopapular khas. Periode paling menular dalam infeksi campak adalah

5 hari sebelum dan 4 hari setelah ruam muncul. Alur mendiagnosis dimulai dari

anamnesis, pemeriksaan fisik dan kemudian pemeriksaan Penunjang.16

Anamnesis pada infeksi campak diawali dengan riwayat kontak dengan

penderita campak ataupun bepergian ke wilayah yang berstatus kejadian luar

biasa (KLB) campak pada masa inkubasi. Selain itu, tanda dan gejala klinis yang

khas seperti keluhan demam, batuk, pilek, dan ruam harus ditanyakan. Selain itu,

pasien juga dapat mengeluh mual, muntah, dan diare, sehingga pada keadaan ini,

selain menanyakan gejala, tenaga kesehatan juga harus menilai status hidrasi

pasien. Terdapat pula fase atau masa pada campak dengan diikuti beberapa

gejala khas yang dapat membantu menegakkan diagnosis, diantaranya yaitu :16

Fase Inkubasi

Fase inkubasi infeksi campak dimulai dari paparan hingga muncul gejala

prodromal berkisar antara 11 sampai 12 hari dan waktu dari paparan hingga

timbul rash 7 sampai 21 hari, rata-rata 14 hari. Pada fase ini, pasien bisa tidak
6

mengalami keluhan atau mengalami keluhan demam, konjungtivitis dan

ruam.16,17

Fase Prodromal

Gejala pada fase prodromal campak berlangsung selama 2 sampai 4 hari.

Gejala tersebut meliputi keluhan demam yang semakin tinggi, minimal salah

satu dari 3c, yaitu cough, coryza, conjunctivitis. Muncul koplik spot membran

mukosa terutama di bagian dalam pipi.16,18

Identifikasi gejala prodromal infeksi campak, pada saat anamnesis dapat

ditanyakan mengenai gejala yang dirasakan pasien seperti demam, batuk, pilek;

mata merah, berair, dan fotofobia. Adanya koplik spot dapat ditanyakan

mengenai bercak putih seperti garam dengan dasar kemerahan di dalam mulut.17

Tanda koplik spot merupakan tanda patognomonik yang hanya muncul

pada campak sebelum ruam makulopapular muncul, sehingga sangat penting

mengidentifikasi hal ini dalam usaha diagnosis campak.16

Fase Exanthema

Gejala selanjutnya pada infeksi campak di fase exanthema adalah ruam

makulopapular yang muncul 2 sampai 4 hari dari onset demam dan berlangsung

selama 5 sampai 6 hari. Saat anamnesis dapat ditanyakan mengenai munculnya

bintik-bintik merah yang bermula pada garis rambut atau belakang telinga

kemudian menyebar ke wajah dan leher bagian atas. Setelah 3 hari, bintik merah

tersebut menyebar hingga ekstremitas.17,18 Ruam ini kemudian akan menghilang

sesuai dengan urutan bagian tubuh yang pertama kali muncul. Hal lain yang
7

perlu ditanyakan pada saat anamnesis adalah adanya penurunan nafsu makan

serta riwayat vaksinasi campak sebelumnya.18

Fase Inkubasi

Fase inkubasi infeksi campak dimulai dari paparan hingga muncul gejala

prodromal berkisar antara 11 sampai 12 hari dan waktu dari paparan hingga

timbul rash 7 sampai 21 hari, rata-rata 14 hari. Pada fase ini, pasien bisa tidak

mengalami keluhan atau mengalami keluhan demam, konjungtivitis dan

ruam.16,17,18

Fase Prodromal

Gejala pada fase prodromal campak berlangsung selama 2 sampai 4 hari.

Gejala tersebut meliputi keluhan demam yang semakin tinggi, minimal salah

satu dari 3c, yaitu cough, coryza, conjunctivitis. Muncul koplik spot membran

mukosa terutama di bagian dalam pipi. 21, 22 Identifikasi gejala prodromal infeksi

campak, pada saat anamnesis dapat ditanyakan mengenai gejala yang dirasakan

pasien seperti demam, batuk, pilek; mata merah, berair, dan fotofobia. Adanya

koplik spot dapat ditanyakan mengenai bercak putih seperti garam dengan dasar

kemerahan di dalam mulut.17,18

Tanda koplik spot merupakan tanda patognomonik yang hanya muncul

pada campak sebelum ruam makulopapular muncul, sehingga sangat penting

mengidentifikasi hal ini dalam usaha diagnosis campak.16

Fase Exanthema

Gejala selanjutnya pada infeksi campak di fase exanthema adalah ruam

makulopapular yang muncul 2 sampai 4 hari dari onset demam dan berlangsung

selama 5 sampai 6 hari. Saat anamnesis dapat ditanyakan mengenai munculnya


8

bintik-bintik merah yang bermula pada garis rambut atau belakang telinga

kemudian menyebar ke wajah dan leher bagian atas. Setelah 3 hari, bintik merah

tersebut menyebar hingga ekstremitas.17,18 Ruam ini kemudian akan menghilang

sesuai dengan urutan bagian tubuh yang pertama kali muncul. 16 Hal lain yang

perlu ditanyakan pada saat anamnesis adalah adanya penurunan nafsu makan

serta riwayat vaksinasi campak sebelumnya.18

a. Pemeriksaan Fisik

Pemeriksaan fisik khas pada infeksi campak sebenarnya mulai dapat

diidentifikasi mulai fase prodromal, yaitu munculnya demam, cough, coryza,

dan konjungtivitis. Selain itu, pada fase exanthema dapat muncul ruam

makulopapular, limfadenopati, dan splenomegaly.17,18 Selain pemeriksaan ini,

pemeriksaan menyeluruh mengenai status hidrasi pasien juga sangat diperlukan,

terutama pada mereka yang datang dengan mual dan muntah serta diare.18

Demam

Demam pada infeksi campak dapat mencapai suhu ≥38°C. Demam

biasanya bertambah tinggi sampai hari ke 4 sampai 6 dari onset gejala,

kemudian perlahan turun.16

Koplik Spot

Koplik spot muncul sebagai plak putih kecil kebiruan pada mukosa bukal.

Koplik spot terdapat pada 70% kasus campak dan dianggap sebagai tanda

patognomonik campak. Koplik spot muncul 1-2 hari sebelum timbul rash dan

mungkin berlangsung 1-2 hari setelah timbul rash.17

Ruam Makulopapular

Ruam makulopapular adalah khas pada campak. Lesi makulopapular ini

muncul dari muka atau belakang telinga, kemudian menyebar secara


9

sefalokaudal ke leher, dada, abdomen, kemudian ke ekstremitas. Pada awalnya

lesi memucat dengan tekanan menggunakan ujung jari. Sekitar 3 sampai 4 hari

kemudian sebagian besar lesi tidak memucat dengan tekanan. Ruam akan

memudar dengan urutan sama seperti kemunculannya.17

b. Pemeriksaan Penunjang

Pemeriksaan penunjang pada infeksi campak dilakukan untuk menemukan

mendeteksi antibodi IgM spesifik virus campak dan melihat gambaran klinis

trombositopenia, leukopenia, serta pencitraan toraks untuk melihat adanya

pneumonia interstitial. Penegakkan diagnosis dilakukan dengan pemeriksaan

serologis, namun karena keterbatasan sumber daya dan manifestasi klinis yang

khas pada campak, gambaran klinis saja sudah cukup untuk melakukan

diagnosis.17,18

Pemeriksaan laboratorium untuk infeksi campak meliputi pemeriksaan

spesifik yaitu serologi dan real-time polymerase-chain-reaction (RT-PCR) serta

pemeriksaan tidak spesifik.18

Serologi

Pemeriksaan serologi dengan metode enzyme-linked immunosorbent

assay (ELISA) digunakan untuk mendeteksi keberadaan IgM spesifik virus

campak. Pemeriksaan serologi memiliki sensitivitas 83-89% dan spesifisitas 95-

99%. Pemeriksaan ini sebaiknya dilakukan pada hari ke empat setelah muncul

rash.17,19

Real-time Polymerase-chain-reaction (RT-PCR)

Pemeriksaan RT-PCR digunakan untuk mendeteksi adanya RNA virus

campak pada urin, darah, cairan oral, sekret orofaring dan nasofaring, cairan
10

serebrospinal, ataupun jaringan. Pemeriksaan ini sebaiknya dilakukan 3 hari

setelah muncul gejala sebelum terbentuk IgM.17,19

Pemeriksaan Radiologi

Pemeriksaan radiologi pada infeksi campak dilakukan untuk mengetahui

adanya komplikasi berupa pneumonia. Pemeriksaan yang dapat dilakukan

meliputi rontgen toraks atau CT scan toraks.20

6. Tatalaksana

Pasien campak tanpa penyulit dapat berobat jalan. Anak harus diberikan

cukup cairan dan kalori, sedangkan pengobatan bersifat asimtomatik dengan

pemberian antipiretik, antitusif, ekspektoran, dan antikonvulsan bila diperlukan.

Sedangkan campak dengan penyulit perlu dirawat inap.21

Penatalaksanaan untuk infeksi campak atau measles atau rubeola terdiri

dari terapi suportif pemberian nutrisi dan cairan untuk mencegah dehidrasi,

pemberian vitamin A dan pemberian nutrisi yang adekuat sangat penting dalam

infeksi campak.16

Terapi medikamentosa yang diberikan kepada pasien dengan infeksi

campak berupa pengobatan simtomatis berdasarkan gejala yang dirasakan pasien

misalnya antipiretik, seperti paracetamol, untuk mengatasi demam. Pemberian

antibiotik dapat dipertimbangkan apabila terdapat kecurigaan infeksi sekunder

bakteri seperti pneumonia dan otitis media. Pemberian antibiotik ini oleh WHO

dapat disarankan diberikan empiris untuk gram positif dan Staphylococcus

aureus, seperti ampicillin, bila tidak terdapat fasilitas untuk melakukan kultur

atau sesuai kultur bila dapat dilakukan.17

Terapi suportif yang dapat dilakukan terhadap pasien dengan infeksi


11

campak antara lain pemberian cairan yang cukup untuk menghindari dehidrasi.

Rekomendasi WHO adalah pemberian ORS sebagai pengganti cairan yang hilang

melalui diare dan muntah. Kecukupan nutrisi, baik dengan makanan dan ASI

yang adekuat juga perlu diperhatikan. Berat badan dan asupan nutrisi anak

dipantau setiap hari. Selain itu, pasien juga dapat dikonsultasikan pada ahli gizi,

terutama pada keadaan malnutrisi atau kurang gizi.21,22,23

Kebutuhan Cairan pada Anak Muntah atau Diare tanpa Dehidrasi

Terapi suportif terutama rehidrasi sangat diperlukan pada campak, baik

dengan rehidrasi oral bila pasien masih dapat makan dan minum, maupun

parenteral. Cairan rehidrasi yang disarankan WHO pada anak dehidrasi adalah

oral rehydration salts (ORS) yang mengandung glukosa 13,5 g/L, natrium

klorida 2,6 g/L, kalium klorida 1,5 g/L, trisodium citrate dihydrate 2.9 g/L,

dengan total osmolaritas 245 mOsm/L.23,24

7. Pencegahan

Prinsip Upaya pencegahan dan pemberantasan penyakit campak yang dewasa

ini dianggap paling efektif adalah dengan cara imunisasi, dengan tujuan

menurunkan angka kesakitan dan angka kematian akibat penyakit campak.

Imunisasi dapat memberikan kekebalan aktif terhadap balita dimana kekebalan

aktif dapat berlangsung lama daripada kekebalan pasif sehingga seseorang tidak

mudah terkena campak, hal ini sesuai dengan pernyataan bahwa imunisasi adalah

suatu cara untuk meningkatkan kekebalan seseorang secara aktif terhadap suatu

antigen, sehingga bila kelak ia terpajan pada antigen yang serupa tidak terjadi

penyakit. Kekebalan pasif adalah kekebalan yang diperoleh dari luar tubuh,

bukan dibuat oleh individu itu sendiri. Contohnya adalah kekebalan pada janin

yang diperoleh dari ibu atau kekebalan yang diperoleh setelah pemberian
12

suntikan imunoglobulin. Kekebalan pasif tidak berlangsung lama karena akan

dimetabolisme oleh tubuh. Kekebalan aktif adalah kekebalan yang dibuat oleh

tubuh sendiri akibat terpajan pada antigen seperti pada imunisasi, atau terpajan

secara alamiah. Kekebalan aktif biasanya berlangsung lebih lama karena adanya

memori imunologik.25

Pencegahan utama penyakit campak adalah melalui imunisasi MR

(Measles/Rubella). Imunisasi diberikan saat anak berusia 9 bulan, dilakukan

pengulangan saat anak berusia 18 bulan, dan diulang pada kelas 1 SD/sederajat.

Sementara untuk mencegah penularan campak, penderita dianjurkan untuk tidak

melakukan kontak dengan orang lain, termasuk keluarga, setidaknya sampai 4

hari setelah muncul ruam.24,25,26 Vaksin MR memiliki efikasi vaksin diperkirakan

sekitar 90% - 100%. Tidak selamanya imunisasi campak memastikan seseorang

tidak mungkin terkena campak di kemudian hari. Kemenkes RI menyarankan

pengulangan pemberian imunisasi campak juga meningkatkan kekebalan

imunitas tubuh, sehingga dapat mencegah perburukan gejala dan komplikasi.


25,26,27

B. Kejang Demam Sederhana

1. Definisi

Kejang demam ialah bangkitan kejang yang terjadi pada kenaikan suhu tubuh

(suhu rektal di atas 380 C) yang disebabkan oleh suatu proses ekstrakranium. Kejang

demam terjadi pada 2-4% anak berumur 6 bulan – 5 tahun. Anak yang pernah

mengalami kejang tanpa demam, kemudian kejang demam kembali tidak termasuk

dalam kejang demam. Kejang disertai demam pada bayi berumur kurang dari 1 bulan

tidak termasuk dalam kejang demam. Jika anak berumur kurang dari 6 bulan atau lebih

dari 5 tahun mengalami kejang didahului demam, maka dicurigai atau kemungkinan
13

lain misalnya infeksi SSP, atau epilepsi yang kebetulan terjadi bersama demam. 28

2. Etiologi

Salah Penyebab kejang demam ,yaitu29

Faktor –faktor perinatal, malformasi otak kongenital

a. Faktor genitika Faktor keturunan dari salah satu penyebab terjadinya

kejang demam, 25-50% anak yang mengalami kejang demam memiliki anggota

keluarga yang pernah mengalami kejang demam.

b. Penyakit infeksi 1) Bakteri : penyakit pada traktus respiratorius,

pharingitis, tonsillitis, otitis media. 2) Virus : varicella (cacar), morbili

(campak), dengue (virus penyebab demam berdarah).

c. Demam

Kejang demam cenderung timbul dalam 24 jam pertama pada waktu sakit

dengan demam tinggi.

d. Gangguan metabolisme

Gangguan metabolism seperti uremia, hipoglikemia, kadar gula darah

kurang dari 30 mg% pada neonates cukup bulan dan kurang dari 20 mg% pada

bayi dengan berat badan lahir rendah atau hiperglikemia.

e. Trauma.

Kejang berkembang pada minggu pertama setelah kejadian cedera kepala

f. Neoplasma,toksin.

Neoplasma dapat menyebabkan kejang pada usia berapa pun, namun

mereka merupakan penyebab yang sangat penting dari kejang pada usia

pertengahan dan kemudian ketika insiden penyakit neoplastik meningkat.28,29

3. Manifestasi Klinis
Manifestasi atau tanda dan gejala kejang demam yaitu:29,30
14

a. Kejang demam menpunyai kejadian yang tinggi pada anak yaitu 34%
b. Kejang biasanya singkat, berhenti sendiri, banyak dialami oleh anak
laki-laki
c. Kejang timbul dalam 24 jam setelah suhu badan naik diakibatkan infeksi
disusunan saraf pusat seperti otitis media dan bronkitis
d. Bangkitan kejang berbentuk tonik-klonik
e. Takikardi: pada bayi, frekuensi sering di atas 150-200 kali permenit
4. Diagnosis

Pemeriksaan laboratorium tidak dikerjakan secara rutin pada kejang

demam, tetapi dapat dikerjakan untuk mengevaluasi sumber infeksi penyebab

demam, atau keadaan lain misalnya gastroenteritis dehidrasi disertai demam.

Penegakan diagnosis didapatkan dari anamnesis berupa keluhan kejang pada

saat demam tinggi dan pemeriksaan laboratorium yang dapat dikerjakan

misalnya darah perifer, elektrolit dan gula darah. Selain itu juga dapat

dilakukan perekaman otak atau pemeriksaan elektroensefalografi (EEG) tidak dapat

memprediksi berulangnya kejang, atau memperkirakan kemungkinan kejadian epilepsi

pada pasien kejang demam. Oleh karenanya tidak direkomendasikan. 28,29

5. Tatalaksana

Penatalaksanaan non medika mentosa untuk kejang demam yaitu :28,29

1) Saat terjadi serangan mendadak yang harus diperhatikan pertama kali adalah

ABC ( Airway, Breathing, Circulation.

2) Setelah ABC aman. Baringkan pasien ditempat yang rata untuk mencegah

terjadinya perpindahan posisi tubuh kearah Danger.

3) Kepala dimiringkan dan pasang sundip lidah yang sudah dibungkus kasa

4) Singkarkan benda-benda yang ada di sekitar pasien yang bisa menyebabkan

bahaya.

5) Lepaskan pakaian yang mengganggu pernapasan


15

6) Bila suhu tinggi berikan kompres hangat

7) Setelah pasien sadar dan terbangun berikan minum air hangat

8) Jangan diberikan selimut tebal karena uap panas akan sulit akan dilepaskan

Penatalaksanaan medika mentosa :

1) Bila pasien datang dalam keadaan kejang obat utama adalah diazepam untuk

membrantas kejang secepat mungkin yang diberi secara IV (intravena), IM

(Intra muskular), dan rektal. Dosis sesuai BB:< 10 kg;0,5,0,75 mg/kg BB

dengan minimal dalam spuit 7,5 mg, > 20 kg ; 0,5 mg/kg BB. Dosis rata-rata

dipakai 0,3 mg/kg BB/kali dengan maksimal 5 mg pada anak berumur kurang

dari 5 tahun,dan 10 mg pada anak yang lebih besar.

2) Untuk mencegah edema otak , berikan kortikosteroid dengan dosis 20-30

mg/kg BB/ hari dan dibagi dalam 3 dosis atau sebaiknya glukortikoid misalnya

deksametazon 0,5-1 ampul setiap 6 jam.

3) Setelah kejang teratasi dengan diazepam selama 45-60 menit disuntikan

antipileptik dengan daya kerja lama misalnya fenoberbital, defenilhidation

diberikan secara intramuskuler.Dosis awal neonatus 30 mg: umur satu

bulansatu tahun 50 mg, umur satu tahun keatas 75 mg.

C. Community Acquired Pneumonia

1. Definisi

Menurut World Health Organitation (WHO), pneumonia merupakan infeksi

saluran pernapasan akut yang mengenai paru-paru. Paru-paru yang terinfeksi

pneumonia, alveolusnya akan terisi oleh nanah dan cairan, yang dapat menyebabkan

sesak napas dan mengurangi pemasukan oksigen.31

Pneumonia adalah peradangan akut pada parenkim paru, bronkiolus

respiratorius dan alveoli, menimbulkan konsolidasi jaringan paru sehingga dapat


16

mengganggu pertukaran oksigen dan karbon dioksida di paru-paru.32

Menurut Kementerian Kesehatan Republik Indonesia (RI), pneumonia

adalah radang paru yang disebabkan oleh bakteri dengan gejala panas tinggi

disertai batuk berdahak, napas cepat, sesak, dan gejala lainnya (sakit kepala,

gelisah dan nafsu makan berkurang).31

2. Etiologi

Usia pasien merupakan faktor yang memegang peranan penting pada

perbedaan dan kekhasan pneumonia anak, terutama dalam spektrum etiologi,

gambaran klinis, dan strategi pengobatan. Spektrum mikroorganisme penyebab

pada neonatus dan bayi kecil berbeda dengan anak yang lebih besar. Pada bayi

yang lebih besar dan anak balita, pneumonia sering disebabkan oleh infeksi

Streptoccus pneumoniae, Haemophillus influenzae tipe B, dan Staphylococcus

aureus. Secara klinis, umumnya pneumonia bakteri sulit dibedakan dengan

pneumonia virus. Demikian juga dengan pemeriksaan radiologis dan

laboratorium, biasanya tidak dapat menentukan etiologi.6

3. Manifestasi klinis

Sebagian besar gambaran klinis pneumonia pada anak berkisar antara

ringan hingga sedang, sehingga dapat berobat jalan saja. Hanya sebagian kecil

yang berat, mengancam kehidupan, dan mungkin terdapat komplikasi sehingga

memerlukan perawatan di RS. Gambaran klinis pneumonia pada bayi dan anak

bergantung pada berat-ringannya infeksi, tetapi secara umum adalah sebagai

berikut :6

a. Gejala infeksi umum, yaitu demam, sakit kepala, gelisah, malaise,

penurunan nafsu makan keluhan gastrointestinal seperti mual, muntah atau

diare, kadangkadang ditemukan gejala infeksi ekstrapulmoner.


17

Gejala gangguan respiratori, yaitu batuk, sesak nafas, retraksi dada, takipnea,

nafas cuping hidung, air hunger, merintih, dan sianosis.6,32

4. Diagnosis

Diagnosis pneumonia pada anak ditegakkan berdasarkan anamnesis,

pemeriksaan fisik dan pemeriksan penunjang. Pada anamnesis dapat ditemukan

keluhan yang dialami penderita, meliputi: demam, batuk, gelisah, rewel dan sesak

nafas. Pada bayi, gejala tidak khas, seringkali tanpa gejala demam dan batuk.

Anak besar, kadang mengeluh nyeri kepala, nyeri abdomen, muntah. Manifestasi

klinis yang terjadi akan berbeda-beda, tergantung pada beratnya penyakit dan usia

penderita. Pada bayi jarang ditemukan grunting. Gejala yang sering terlihat pada

bayi adalah: batuk, panas, iritabel. Pada anak balita, dapat ditemukan batuk

produktif atau non produktif dan dipsnea. Sebaliknya, pada anak sekolah dan

remaja: gejala lain yang sering dijumpai adalah: nyeri kepala, nyeri dada, dan

lethargi.33,34

Pada pemeriksaan fisik dapat ditemukan sejumlah tanda fisik patologis,

terutama adanya nafas cepat (takipnea) dan kesulitan bernafas (dyspnea). Demam

dapat mencapai suhu 38,50 C sampai menggigil.33, Gejala paru muncul beberapa

hari setelah proses infeksi tidak terkompensasi dengan baik. Gejala distress

pernapasan seperti takipneu, dispneu, adanya retraksi (suprasternal, interkosta,

subkosta), grunting, napas cuping hidung, apneu dan saturasi oksigen < 90% dapat

ditemukan pada pasien jika oksigenasi paru sudah berkurang. Takipneu

menunjukkan beratnya penyakit pada pasien dengan kategori usia sebagai berikut :

> 60x/ menit pada 0-2 bulan, > 50x/menit pada 2-12 bulan, > 40x/menit pada 1-5

tahun, > 20x/menit pada anak diatas 5 tahun.34,35,36

Pemeriksaan laboratorium yang dilakukan pada anak dengan pneumonia


18

meliputi pemeriksaan darah rutin, Analisa Gas Darah (AGD), C-Reaktif Protein

(CRP), uji serologis dan pemeriksaan mikrobiologik. Pada pemeriksaan darah

rutin, dapat dijumpai leukositosis, umumnya berkisar 15.000 – 30.000/ mm3

dengan predominan polimorphonuklear (PMN). Jumlah leukosit dan hitung jenis

leukosit dapat membantu menentukan pilihan pemberian antibiotik. Pada beberapa

kasus didapatkan anemia dan laju endap darah (LED) yang meningkat. Pada anak

dengan distress pernapasan berat, hiperkapnia harus dievaluasi dengan

pemeriksaan AGD, karena kadar oksigen harus dipertahankan.37,38

Pemeriksaan foto toraks dilakukan untuk melihat luasnya kelainan patologis

pada jaringan paru. Gambaran infiltrat di bagian lobar, interstisial, unilateral atau

bilateral memberikan petunjuk organ paru yang terlibat. Pada umumnya, infiltrat

alveolar menunjukkan gambaran kuat adanya pneumonia pada anak.37, 38,39 Hasil

foto torak adanya infiltrat alveolar yang disertai konsolidasi lobar dengan efusi

pleura, bronkopneumonia dan air bronchogram kemungkinan besar dapat

disebabkan oleh bakteri. Peribronkhial yang menebal, infiltrat interstisial merata,

bilateral dan adanya hiperinflasi dapat terlihat pada pneumonia akibat virus.

Gambaran foto torak pneumonia akibat mikoplasma dapat bervariasi yang

terkadang dapat menyerupai pneumonia virus. Selain itu, dapat juga ditemukan

bronkopneumonia di lobus bagian bawah, infiltrat intertisisial bilateral, atau

gambaran paru yang berkabut (ground-glass consolidation) serta transient

pseudoconsolidation yang disebabkan oleh infiltrat intertisial yang konfluens.

Manifestasi klinis dan laboratorium yang mengarah disertai hasil foto torak positif

merupakan standar emas penegakan diagnosis pneumonia.38,39

Pengukuran saturasi oksigen (SpO2) harus selalu dilakukan pada anak yang

mengalami distress pernapasan terutama anak dengan retraksi dinding dada atau
19

penurunan aktivitas. Pengukuran tersebut dapat mendeteksi dini terjadinya

hipoksemia pada jaringan dan juga dapat menunjukkan beratnya pneumonia pada

anak. Pembacaan saturasi anak diperoleh minimal 30 detik setelah bacaan yang

direkam sudah stabil.34,39

5. Tatalaksana

Prinsip dasar tatalaksana pneumonia anak adalah eliminasi

mikroorganisme penyebab dengan antibiotik yang sesuai disertai dengan

tatalaksana supportif lainnya. Tata laksana supportif meliputi terapi oksigen,

pemberian cairan intravena dan koreksi gangguan elektrolit pada dehidrasi serta

pemberian antipiretik untuk demam.35, 37,39

- Eliminasi mikroorganisme

Identifikasi mikroorganisme penyebab sebagian besar tidak dapat

dilakukan karena keterbatasan fasilitas di lapangan. Oleh karena itu, pasien

pneumonia tetap harus diberikan antibiotik secara empiris berdasarkan

kemungkinan kuman penyebab dengan mempertimbangkan usia dan kondisi klinis

pasien.35,37 Mukolitik, ekspektoran dan antipiretik sebaiknya tidak diberikan pada

72 jam pertama karena akan mengaburkan interpretasi reaksi antibiotik awal. Obat

antipiretik diberikan hanya pada penderita dengan suhu tinggi, takikardi, atau

penderita kelainan jantung.

Identifikasi mikroorganisme penyebab pneumonia pada rawat jalan

umumnya tidak dilakukan, oleh karena itu terapi antibiotik ditargetkan pada

kuman penyebab pada umumnya. Infectious Diseases Society of America (IDSA)

dan Pediatric Infectious Diseases Society (PIDS) pada tahun 2011 menerbitkan

pedoman bersama yang merekomendasikan pengobatan antibiotik berdasarkan

kelompok usia. Pada bayi dan anak yang sudah diimunisasi, amoksisilin
20

direkomendasikan pada pneumonia anak ringan sampai sedang dengan dugaan

streptococcus pneumonia sebagai penyebabnya selama 7-10 hari. Untuk anak yang

alergi terhadap amoksisilin, alternatif yang dapat diberikan yaitu antibiotik

sefalosporin generasi kedua-ketiga dan levofloxacin oral. Golongan makrolid

diberikan selama 5 hari jika dicurigai penyebab patogen atipikal karena

mycoplasma pneumonia. Terapi antivirus influenza diberikan segera pada anak

dengan pneumonia sedang-berat terutama yang mengalami perburukan klinis

selama pengobatan rawat jalan.35,39

Pada kasus rawat inap, neonatus dengan gangguan pernapasan harus selalu

diasumsikan dengan pneumonia bakteri sampai terbukti tidak. Pemberian

antibiotik ampisilin dan gentamisin dengan atau tanpa sefotaxim harus dimulai

sesegera mungkin. Azitromisin pada neonatus direkomendasikan untuk chlamydia

trachomatis, ureaplasma dan pertusis dengan dosis 10 mg/kg/ hari selama 5

hari.35,39 Ampisilin juga merupakan antibiotik lini pertama yang diberikan pada

anak usia > 3 bulan yang sudah diimunisasi dengan pneumonia tanpa komplikasi.

Untuk anak-anak yang mengalami infeksi berat (mereka yang dirawat di ruang

ICU), mereka yang tidak diimunisasi,atau di daerah dengan pneumokokus tinggi ,

resisten terhadap penisilin, antibiotik sefalosporin generasi ketiga (ceftriaxone atau

cefotaxime) harus diberikan. Apabila ada kecurigaan patogen atipikal atau tidak

membaik dengan regimen ini, maka golongan makrolida dapat ditambahkan.

Antibiotik non β laktam tidak terbukti lebih efektif daripada sefalosporin generasi

ketiga.39,40

-Tatalaksana suportif

Hipoksia pada anak harus diwaspadai, yang ditandai terjadinya agitasi.

Anak dengan saturasi oksigen ≤ 92% harus diberikan terapi oksigen 2-4 liter/menit
21

di Rumah Sakit dengan nasal kanul, head box atau sungkup guna mempertahankan

saturasi oksigen > 92%. Sebuah studi menyimpulkan bahwa pemberian oksigen

pada anak usia < 5 tahun dengan gangguan pernapasan akut dengan nasal kanul

dan oksigen kotak kepala sama efektifnya untuk aliran oksigen yang diterima.

Apabila hidung anak tersumbat dengan sekret, maka dapat dilakukan penyedotan

(suction) guna membuka jalan nafas.40,41 Terapi cairan diperlukan karena kondisi

anak yang lemas. Hal ini terjadi karena banyaknya energi yang digunakan anak

sebagai bentuk kompensasi pernapasan yang terlihat dari penggunaan otot-otot

bantu pernapasan pada pneumonia sedang sampai berat. Selain itu, pasien dengan

dehidrasi dan asupan oral tidak adekuat harus dikoreksi dengan cairan dan

pemeriksaan keseimbangan elektrolit bila diperlukan.41


[Type text]

BAB III

LAPORAN KASUS

A. Identitas

I. Penderita

Nama : Syafina Nor Aulia

Jenis Kelamin : Perempuan

Tempat & tanggal lahir : Banjarmasin, 8 Januari 2021

Umur : 1 tahun 9 bulan

Alamat : : Jl. A. Yani, Komplek Bunyamin Residence

MRS : 13 Oktober 2022

II. Identitas Orang Tua

Nama Ayah : Tn. Syahrul

Pekerjaan : Guru

Pendidikan : S1

Nama Ibu : Ny. Syarihin

Pekerjaan : Guru

Pendidikan : S1

Alamat : Jl. A. Yani, Komplek Bunyamin Residence

Agama : Islam
23

B. Anamnesis

Kiriman dari :-

Dengan diagnosis :-

Alloanamnesis dengan : Orangtua pasien

Tanggal/jam : 16 Oktober 2022 / 15.00

WITA

1. Keluhan utama : Kejang

2. Riwayat penyakit sekarang :

Pasien datang ke IGD RSUD Ulin Banjarmasin diantar oleh kedua orang

tuanya dengan keluhan kejang. Kejang sebanyak 1x terjadi kurang lebih 15 menit

SMRS. Lamanya kejang kurang lebih 10 menit. Kejang seluruh tubuh dengan

mata menedelik keatas dan kaki tangan kaku. Sebelum kejang, pasien sedang

sadar dan setelah kejang pasien sadar kemudian langsung tertidur. Suhu sebelum

kejang yang diukur adalah 39oC.

Keluhan disertai demam ini sejak 4 hari SMRS. Demam tidak mendadak

tinggi namun perlahan naik. Demam terus menerus dan tidak menurun dengan

pemberian paracetamol. Mengigil (-).

Keluhan lain adalah keluar bercak kemerahan beberapa jam setelah

demam, bercak mulai muncul dari belakang telinga kemudian menyebar ke

seluruh wajah dan menjalar ke bagian tubuh lainnya sampai saat ini sudah hampir

seluruh tubuh. Bercak tidak gatal dan tidak nyeri. Keluhan mata merah, berair dan

disertai sekret pada mata. Pilek sejak 4 hari SMRS, sekret warna bening tanpa

darah.

Riwayat batuk sejak 1 bulan SMRS, batuk sesekali setiap hari, tidak

berdahak dan tidak ada darah. Pasien sudah berobat namun tidak tahu nama
24

obatnya. Pasien mendapatkan obat demam, antibiotik dan oobat nyeri tapi belum

ada perbaikan.

Ibu pasien mengeluhkan adanya bercak putih pada lidah, langit-langit

mulut dan mukosa pipi. Tidak ada keluhan sesak napas, mual muntah,nyeri

tenggorokan, BAB cair, nyeri BAK, dan nyeri perut. Ibu mengatakan ada

penurunan berat badan sebanyak kurang lebih 1 kg dalam 1 bulan ini. Penurunan

napsu makan sejak 3 hari SMRS. Pasien hanya mau makan 1-2x/hari sebanyak 2-

4 sendok makan.

3. Riwayat Penyakit Dahulu

Pasien tidak memiliki riwayat kelainan bawaan, riwayat kejang, riwayat

alergi, riwayat rawat inap, maupun riwayat operasi sebelumnya.

4. Riwayat Penyakit Keluarga

Keluarga tidak pernah mempunyai keluhan yang sama. Tidak ada yang

mengalami keluhan serupa seperti batuk, ruam merah ataupun demam. Riwayat

TB paru disangkal.Tidak ada yang sedang campak dikeluarga. Tidak ada riwayat

alergi atau atopi. Teman teman tidak ada yang sedang campak. Tante memiliki

riwayat kejang demam. HT dan DM (+) pada nenek dan kakek.

5. Riwayat Kehamilan dan Persalinan

Riwayat antenatal :

Ibu rutin melakukan kontrol kehamilan dan melakukan pemeriksaan USG

ke dokter kandungan. Selama hamil ibu meminum tablet zat besi. Riwayat

pendarahan dan infeksi saat kehamilan disangkal.

Riwayat natal :

Spontan/tidak spontan : Sectio caesarea (9 bulan kurang 5 hari)

Nilai APGAR : Bayi langsung menangis, kulit kemerahan, dan gerakan aktif.
25

Berat badan lahir : 2400 gr

Panjang badan lahir : 47 cm

Lingkar kepala : ibu lupa.

Penolong : Dokter spesialis kandungan

Tempat : Rumah Sakit Bhayangkara Banjarmasin

Riwayat neonatal : bayi langsung pulang ke rumah

Kesimpulan : Riwayat antenatal baik, riwayat natal dan

riwayatneonatal baik.

6. Riwayat Perkembangan

Tiarap : 3 bulan

Mengangkat kepala : 4 bulan

Duduk : 7 bulan

Merangkak : 8 bulan

Berdiri : 9 bulan

Pasien saat ini dapat mengikuti objek dengan mata, melihat wajah orang lain

dengan tersenyum, dan merespon jika mendengar suara

Kesimpulan : Perkembangan sesuai dengan usianya

7. Riwayat Imunisasi

Tabel 2.1 Imunisasi dasar sesuai dengan imunisasi KEMENKES 2020

Dasar Ulangan
Nama
(Umur dalam hari/bulan) (umur dalam bulan )
BCG 1 -
Polio - - - - -
Hepatitis B 1 - - -
DPT - - - -
HiB - - - -
MR - -
Kesimpulan : Imunisasi anak tidak lengkap menurut rekomendasi
KEMENKES 2020
26

8. Riwayat Makanan

 ASI : diberikan usia 0-1 minggu. Pemberian ASI dihentikan sejak usia 1

minggu, digantikan dengan susu formula.

 Susu formula : diberikan susu formula Lactogrow.

 MPASI diberikan bubur, nasi lembek, dan buah buahan.

Kesimpulan : Intake nutrisi secara kuantitas baik, tetapi secara kualitas kurang baik

9. Riwayat Keluarga

Iktisar keturunan

: Laki-laki : Perempuan

: Sakit

Tabel 2.2 Susunan keluarga

Jelaskan : Sehat,
No. Nama Umur L/P
sakit

1. Tn.S 29 tahun L Sehat

Sehat
2. Ny. S 22 tahun P
27

3. An. S 1 tahun P Sakit

Kesimpulan : Terdapat riwayat keluhan sama pada keluarga pasien.

10. Riwayat Sosial Lingkungan

• Pasien tinggal bersama orang tuanya di Komplel Bunyamin Residence. Satu

rumah ada 5, yaitu pasien dengan ayah, ibu, dan kakek nenek.

• Pasien tidak tinggal di dekat sungai, dan jauh dari pabrik, tambang, ataupun

pembuangan sampah.

• Setiap kamar ada ventilasi. Pasien tidur bersama ibu dan ayahnya. Kadang

bersama nenek

• Keluarga minum menggunakan air galon isi ulang, untuk mandi dan mencuci

menggunakan air PDAM.

• Tidak Terdapat riwayat penggunaan obat nyamuk bakar di rumah pasien.


• Tidak ada disektar pasien yang memiliki keluhan serupa atau sakit campak

Kesimpulan: Tidak Terdapat faktor risiko infeksi

C. Pemeriksaan Fisik

Tanggal : 16 Oktober 2022 15.00 WITA

1. Keadaan umum : Tampak sakit sedang

2. Kesadaran : Kompos mentis

3. Tanda vital

Tekanan darah : - mmHg

Nadi : 110 x/menit kuat angkat, regular

Suhu : 36.9oC

Respirasi : 23 x/menit, reguler, simetris


28

SpO2 : 98% RA

4. Antropometri

Berat badan : 11.6 kg

Panjang badan : 81 cm

Lingkar lengan atas: 14 cm

Lingkar kepala : 46 cm

5. Kulit

Warna : kuning langsat, xerosis (-), ruam merah (+)

Sianosis : Tidak ada

Hemangioma : Tidak ada

Turgor : Cepat kembali

Kelembaban : Cukup

Pucat : Tidak ada

Lain-Lain : Ruam merah (+) hampir seluruh tubuh

6. Kepala/leher

Rambut : Warna hitam, distribusi merata, tipis, alopesia(-)

Kepala : Normosefali, UUB dan UUK terbuka

Mata : Palpebra edema tidak ada, alis dan bulu mata tipis,

konjungtiva merah (+), sklera merah (+), ptosis (-/-), pupil

berdiameter 3 mm/3 mm, isokor, reflek cahaya +/+, produksi air

mata baik, sekret pada mata (+).

Hidung : Hidung berbentuk normal, simetris, terdapat pernapasan cuping

hidung, epistaksis tidak ada, sekret minimal(+), deviasi tidak ada.

Telinga : normotia, sekret(-), serumen minimal, nyeri tekan tragus(-)

Mulut : Simetris, bibir pucat(+), sianosis(-) , mukosa bibir lembab, gusi


29

tidak mudah berdarah, sariawan(+), lidah kotor (+), mukosa oral

basah, faring hiperemis (-), Tonsil T1/T1, pseudomembran (-),

bercak koplik (+)

Lidah : Normoglossus, warna merah muda, lidah kotor (+)

Leher : Pembesaran tiroid tidak ada, pembesaran KGB leher tidak ada,

kaku kuduk tidak ada

7. Toraks

a. Dinding dada/paru

Inspeksi : Bentuk simetris, tidak terdapat retraksi subcostal dan

substernal, pernafasan simetris

Palpasi : Pengembangan dada simetris

Perkusi : Sonor di seluruh lapang paru

Auskultasi : Suara napas vesikuler, t i d a k terdapat rhonki (---/---),

tidak terdapat wheezing (---/---)

b. Jantung

Inspeksi : Iktus kordis tidak terlihat

Palpasi : Tidak teraba thrill

Perkusi : Batas jantung sulit dievaluasi

Auskultasi : S1tunggal S2 tunggal, murmur (-), gallop (-)

8. Abdomen

Inspeksi : Tampak cembung, distensi (-), venektasi (-)

Palpasi : Tidak teraba pembesaran hati maupun limpa, nyeri tekan

tidak ada, turgor kembali cepat.

Perkusi : Timpani seluruh regio abdomen.

Auskultasi : Bising usus (+) normal


30

9. Ekstremitas

a. Umum : Akral hangat, CRT < 2 detik, lemak subkutis minimal,

edema (-)

b. Neurologis :

Lengan Tungkai
Tanda
Kanan Kiri Kanan Kiri
Gerakan Aktif Aktif Aktif Aktif
Tonus Eutonus Eutonus Eutonus Eutonus
Trofi Eutrofi Eutrofi Eutrofi Eutrofi
Klonus Tidak ada Tidak ada Tidak ada Tidak ada
Refleks Fisiologis ++/++ ++/++ ++/++ ++/++
Refleks patologis - - - -
Sensibilitas + (baik) + (baik) + (baik) + (baik)
Kaku kuduk (-)
Tanda meningeal
Brudzinki I (-), Brudzinzki II (-), Kernig (-)
31

10. Susunan Saraf

Nervus I : sulit dievaluasi

Nervus II : refleks pupil (+/+)

Nervus III, IV, VI : gerak bola mata (+), strabismus (-)

Nervus V : refleks kornea (+)

Nervus VII : wajah simetris

(+) Nervus VIII : sulit dievaluasi

Nervus IX : sulit dievaluasi

Nervus X : sulit dievaluasi

Nervus XI : sulit dievaluasi

Nervus XII : deviasi lidah (-)

11. Genitalia : Perempuan

12. Anus : Ada, hemoroid (-), massa (-)


32

D. Status Gizi
33

 Perempuan, 1 tahun 9 bulan

 BB: 11.6 kg

 PB: 81 cm

 LK: 46 cm (Normal)

 LiLA: 14 cm (Normal)

 HA: 1 tahun 6 bulan

 BBI: 10.2 kg

 WA: 1 tahun 11 bulan

 BB/U: 0 < Z < +2 (normoweight)

 PB/U: -2 < Z < 0 SD (normoheight)

 BB/PB: 1 < Z < 2 SD (Gizi baik)


34

E. Pemeriksaan Penunjang

Hasil Pemeriksaan Lab 13/10/2022

Pemeriksaan Hasil Nilai Rujukan Satuan

HEMATOLOGI
Hemoglobin 11.7 12.0-16.0 g/dl
Leukosit 9.1 4.0-10.5 ribu/ul
Eritrosit 4.07 4.0-5.30 juta/ul
Hematokrit 34.8 37.0-47.00 vol%
Trombosit 164 150-450 ribu/ul
RDW-CV 13.1 12.1-14.0 %
MCV, MCH, MCHC
MCV 85.5 75.0-96.0 fl
MCH 28.7 28.0-32.0 pg
MCHC 33.6 33.0-37.0 %
HITUNG JENIS
Basofil % 0.1 0.0-1.0 %
Eosinofil % 0.0 1.0-3.0 %
Neutrofil % 25.6 50.0-81.0 %
Limfosit % 70.8 20.0-40.0 %
Monosit % 3.5 2.0-8.0 %
Basofil # 0.01 <1.00 ribu/ul
Eosinofil # 0.00 <3.00 ribu/ul
Neutrofil # 2.32 2.50-7.00 ribu/ul
Limfosit # 6.43 1.25-4.00 ribu/ul
Monosit # 0.32 0.30-1.00 ribu/ul

Kesan :

 Dalam batas normal


35

Pemeriksaan Hasil Nilai Rujukan Satuan

KIMIA
GDS 180 <200.00 mg/dl
ELEKTROLIT
Natrium 132 136-145 Meq/l
Kalium 3.9 3.5-5.1 Meq/l
Chlorida 103 98-107 Meq/l
IMUNO SEROLOGI
CRP 0.6 <=5.00 mg/l

Hasil Pemeriksaan Lab 13/10/2022

Kesan :

 Mild Hiponatemi
36

Hasil pemeriksaan foto rontgen thorax AP

 Infiltrat minimal pada paracardial paru kanan

 Tidak tampak pemadatan kedua hilus


 Cor : ukuran dalam batas normal, aorta normal

 Kedua sinus dan diafragma baik

 Tulang-tulang intak

Kesan : Pneumoni

F. Resume

Nama : An. SNA

Jenis Kelamin : Perempuan

Umur : 1 tahun 9 bulan

Berat Badan : 11.6 kg

Panjang Badan : 81 cm

Keluhan Utama : Kejang


37

Uraian

Pasien datang ke IGD RSUD Ulin Banjarmasin (13 Oktober2022) dengan keluhan kejang.

Kejang sebanyak 1x terjadi kurang lebih 15 menit SMRS. Lamanya kejang kurang lebih

10 menit. Kejang seluruh tubuh dengan mata menedelik keatas dan kaki tangan kaku.

Sebelum kejang, pasien sedang sadar dan setelah kejang pasien sadar kemudian langsung

tertidur. Suhu sebelum kejang yang diukur adalah 39 oC. Keluhan disertai demam ini sejak

4 hari SMRS. Demam tidak mendadak tinggi namun perlahan naik. Demam terus

menerus dan tidak menurun dengan pemberian paracetamol. Mengigil (-).

Keluhan lain adalah keluar bercak kemerahan beberapa jam setelah demam,

bercak mulai muncul dari belakang telinga kemudian menyebar ke seluruh wajah dan

menjalar ke bagian tubuh lainnya sampai saat ini sudah hampir seluruh tubuh. Bercak

tidak gatal dan tidak nyeri.

Keluhan mata merah, berair dan disertai sekret pada mata. Pilek sejak 4 hari

SMRS, sekret warna bening tanpa darah.

Riwayat batuk sejak 1 bulan SMRS, batuk sesekali setiap hari, tidak berdahak dan

tidak ada darah. Pasien sudah berobat namun tidak tahu nama obatnya. Pasien

mendapatkan obat demam, antibiotik dan oobat nyeri tapi belum ada perbaikan.

Ibu pasien mengeluhkan adanya bercak putih pada lidah, langit-langit mulut dan

mukosa pipi.

Kesimpulan Pemeriksaan Fisik

Keadaan umum : Tampak sakit sedang

Kesadaran : Kompos mentis

Tekanan darah : - mmHg

Nadi : 110 x/menit

Suhu : 36.9oC

Respirasi : 23 x/menit
38

SpO2 : 98% RA

Kulit : Kuning langsat, ruam merah (+) makulopapular,

jaringan lemak subkutis tipis.

Kepala : Normosefali. UUB dan UUK belum menutup

Rambut : Hitam, tipis, distribusi merata

Mata : Simetris, tidak cekung, konjungtiva merah (+), sekret (+)

Telinga : Simetris, sekret (-/-), serumen minimal.

Hidung : Simetris, pernapasan cuping hidung (+), sekret (+)

Mulut : Bibir pucat (+), sianosis (-), faring hiperems (-), Tonsil

T1/T1, pseudomembran (-), bercak koplik (+) di lidah

dan buccal pipi

Leher : pembesaran KGB(-), kaku kuduk (-)

Toraks/Paru : Simetris, vesikuler, retraksi (-), rhonki (-/-), wheezing(-)

Jantung : S1tunggal S2 tunggal, murmur (-)

Abdomen : Cembung, BU (+) normal, tidak teraba hepar lien, nyeri

tekan (-), ruam merah (+)

Ekstremitas : Akral hangat, CRT < 2 detik, ruam merah (+)

Susunan saraf : Meningeal sign (-), kaku kuduk (-), Kernig (-), Brudzinski

I (-), Brudzinsky II (-), parese n. kranialis (-), motorik

dalam batas normal, sensorik sulit dievaluasi, Refleks

palmar grasp (+/+), Refleks moro (+), Rooting refleks sulit

dievaluasi, Sucking refleks sulit dievaluasi, refleks patologis

(-), klonus (-), spastik (-), flaccid (-)

Genitalia : Perempuan

Anus : Ada, hemoroid (-)


39

G. Diagnosis Kerja

Diagnosis banding: Morbili+kejang demam sederhana+Community Aquired


Pneumonia

H. Prognosis

Ad vitam : dubia ad bonam

Ad functionam : dubia ad bonam

Ad sanationam : dubia ad bonam


40

I. Penatalaksanaan

O2 dengan nasal canul 1-2 lpm

IVFD D5 ½ NS 1000 ml

Venflon

IV Ampisilin-sulbactam 3x600 mg

IV Gentamisin 1x90 mg

IV paracetamol 4x15 mg (k/p demam)

IV Diazepam 3mg (k/p kejang)

PO. Ambroxol 4 mg

PO. Salbutamol 1 mg

J. Usulan/saran

 Rontgen Thorax

 Observasi tanda vital

 Edukasi ibu dan keluarga tentang pentingnya pemberian ASI

 Edukasi ibu dan keluarga pentingnya imunisasi dan catch up imunisasi pada
anak
41

K. Follow Up

Tanggal pemeriksaan : 17/10/2022 jam 15.00 WITA

S O A P
- Batuk (+) - Kesadaran : CM • Morbili - O2 dengan nasal
- demam (+) - TD : - • Kejang canul 1-2 lpm
- muntah(-) - N : 137 x/menit demam
- diare(-) - RR : 22 x/menit sederhana - Venflon
- T : 36,8OC • CAP
- SpO2 : 97% room air - IVFD D5 ½ NS
- K/L : Konj. dan sklera 1000ml/ hari
merah (+), sklera ikterik (-),
sekret hidung (-), faring - IV Ampisilin-
hiperemis (-), koplik spot sulbactam 3x600
(+) dilidah dan mukosa mg (H4)
mulut.
-Thoraks:Simetris, retraksi - IV Gentamisin
(-) 1x90 mg (H4)
- Paru :Vesikuler, rhonki(- - IV paracetamol
), wheezing(-) 4x15 mg (k/p
- Jantung : S1-S2 reguler, demam)
murmur (-), gallop (-)
- Abd : Cembung, supel, - PO. Ambroxol 3
BU(+)8x/menit, mg
hepatosplenomegali (-),
ruam merah (+) - PO. Salbutamol 1
- Ekstr : Akral hangat, CRT mg
< 2”, lemak subkutis
minimal, ruam merah
ekstremitas atas dan -Observasi
bawah (+) tanda vital
-Edukasi ibu
- Status neurologis : dan keluarga
Meningeal sign (-), kaku
tentang
kuduk (-), Brudzinski I (-),
Brudzinski II (-), Kernig (-
pentingnya
), pupil isokor 3mm/3mm, pemberian ASI
RC +/+, parese n. kranialis -Edukasi ibu
(-) Refleks palmar grasp (+) dan keluarga
,Refleks moro (+), Rooting pentingnya
refleks (+), Sucking refleks imunisasi dan
(+), refleks patologis (-), catch up
klonus (-), spastik (-), imunisasi pada
flaccid (-) anak
42

Tanggal pemeriksaan : 18/07/2022 jam 15.00 WITA

S O A P
- Batuk (+) kurang - Kesadaran : CM • Morbili - O2 dengan nasal
- demam (-) - TD : - • Kejang canul 1-2 lpm
- muntah(-) - N : 124 x/menit demam
- diare(-) - RR : 28 x/menit sederhana - Venflon
- T : 36,6oC • CAP
- SpO2 : 97% room air - IVFD D5 ½ NS
- K/L : Konj. dan sklera 1000ml/ hari
merah (+), sklera ikterik (-),
sekret hidung (-), faring - IV Ampisilin-
hiperemis (-), koplik spot sulbactam 3x600
(+) dilidah dan mukosa mg (H5)
mulut.
-Thoraks:Simetris, retraksi - IV Gentamisin
(-) 1x90 mg (H5)
- Paru :Vesikuler, rhonki(- - IV paracetamol
), wheezing(-) 4x15 mg (k/p
- Jantung : S1-S2 reguler, demam)
murmur (-), gallop (-)
- Abd : Cembung, supel, - PO. Ambroxol 3
BU(+)8x/menit, mg
hepatosplenomegali (-),
ruam merah (+) - PO. Salbutamol 1
- Ekstr : Akral hangat, CRT mg
< 2”, lemak subkutis
minimal, ruam merah
ekstremitas atas dan -Observasi
bawah (+) tanda vital
-Edukasi ibu
- Status neurologis : dan keluarga
Meningeal sign (-), kaku
tentang
kuduk (-), Brudzinski I (-),
Brudzinski II (-), Kernig (-
pentingnya
), pupil isokor 3mm/3mm, pemberian ASI
RC +/+, parese n. kranialis -Edukasi ibu
(-) Refleks palmar grasp (+) dan keluarga
,Refleks moro (+), Rooting pentingnya
refleks (+), Sucking refleks imunisasi dan
(+), refleks patologis (-), catch up
klonus (-), spastik (-), imunisasi pada
flaccid (-) anak
43

BAB IV

PEMBAHASAN

Pada laporan kasus ini dibahas seorang anak perempuan usia 1 tahun 9 bulan

dengan diagnosis morbili, kejang demam sederhana, dan pneumonia komunitas atau

CAP. Morbili atau dikenal juga dengan campak atau measles dalam bahasa Inggris.

Morbili merupakan salah satu penyakit infeksi yang sangat menular yang

disebabkan oleh Paramixovirus yang menyerang anak-anak bahkan juga orang

dewasa. Seseorang yang terkena penyakit ini ditandai dengan demam tinggi, terjadi

peradangan pada mata (mata merah), serta timbul bercak kemerahan pada kulit.

Penyakit ini dapat menular melalui percikan droplet dari mulut, hidung, maupun

dari tenggorokan penderita. Kelompok paling rentan untuk terkena penyakit ini

adalah bayi dan anak-anak yang belum pernah mendapatkan imunisasi campak.11,12

Berdasarkan anamnesis, pasien memiliki keluhan demam dengan disertai

ruam merah mulai dari belakang telinga hingga kemudian menyebar ke wajah, dan

bagian tubuh lain seperti badan tang tangan serta kaki. Bercak merah tidak dirasa

gatal ataupun nyeri. Bercak kemerahan berbentuk makulopapular. Selain anamnesis

dan pemeriksaan fisik, penegakkan diagnosis pada pasien ini juga dilakukan

pemeriksaan penunjang. Pemeriksaan penunjang ditemukan pada pemeriksaan

darah dalam batas normal tetapi limfosit yang meninggi menggambarkan adanya

suatu infeksi yang terjadi. 20,25

Pasien didiagnosis mengalami morbili dengan penyulit kejang demam

sederhana pertama kali dan pneumonia. Pneumonia ditandai dengan batuk,

meningkatnya frekuensi napas. Gambaran infiltrat pada foto toraks dan adanya

leukositosis dapat mempertegas diagnosis. Pasien belum pernah mendapatkan


44

vaksin MR tepat waktu, namun masih dapat menderita penyakit campak. Hal ini

dikarenakan tidak selamanya imunisasi campak memastikan seseorang tidak

mungkin terkena campak di kemudian hari. Namun, dengan diberikan imunisasi,

perlindungan yang dimiliki tubuh saat terpajan virus penyebab infeksi semakin kuat.

Efikasi vaksin MR sendiri adalah 90-100%. Karena itu, potensi komplikasi penyakit

yang berbahaya akibat infeksi bisa diminimalisasi. Pengulangan pemberian

imunisasi campak juga meningkatkan kekebalan imunitas tubuh. Dari pemerintah

dianjurkan setiap bayi mendapatkan imunisasi campak, yakni di usia 9 bulan, 18

bulan, dan 6 tahun.25,26,27 Pasien belum melakukan pengulangan imunisasi ketiga

karena nenek pasien melarang. Atas alasan inilah imunitas pasien belum terbentuk

sempurna. Imunisasi campak bisa juga diberikan dalam bentuk lain bersamaan

dengan imunisasi lainnya, misalnya MMR (measles, mumps, rubella) atau MR

(measles, rubella). Pasien diberikan penambahan cairan secara intravena untuk

menggantikan cairan tubuh yang hilang. Untuk paracetamol diberikan pada saat pasien

mengalami demam. Ambroxol diberikan untuk mengatasi batuk. Dan salbutamol diberikan

sebagai bronkodilator untuk mengatasi sesak nafas. 27

Keluhan selanjutnya yaitu kejang, dimana kejang demam ialah suatu kondisi

perubahan pada fungsi otak secara mendadak yang berlangsung singkat atau

sementara dimana terjadi bangkitan kejang saat suhu tubuh meningkat (suhu rektal

di atas 38oC) yang disebabkan oleh proses ekstrakranium. Kejang demam biasa

terjadi pada anak terutama usia 6 bulan sampai 5 tahun. Pada pasien didapatkan

kejang karena demam yang didapatkan karena infeksi virus dri campak. Suhu tubuh

yang terukur diatas 38oC yaitu 39oC.28

Keluhan selanjutnya pada paru yaitu pneumonia merupakan infeksi saluran

pernapasan akut pada paru-paru yang menjadi penyebab utama morbiditas dan
45

mortalitas pada anak berusia di bawah lima tahun.39 Manifestasi klinis sesuai

dengan kriteria WHO untuk pneumonia yaitu batuk, demam, takipnu, peningkatan

usaha napas, napas cuping hidung, dan hipoksia didukung dengan pemeriksaan

penunjang foto toraks.37 Pada infeksi yang berat dapat dijumpai sianosis dan gagal

napas. Pada pemeriksaan fisik masih dalam batas normal dan tidak didapatkan ronki

dan mengi.37 Diagnosis pasti pneumonia komunitas ditegakkan jika pada foto toraks

terdapat infiltrat baru atau infiltrat progresif ditambah dengan 2 atau lebih gejala di

bawah ini:46,47

a. Batuk-batuk bertambah

b. Perubahan karakteristik dahak/purulen

c. Suhu tubuh > 38C (aksila) /riwayat demam

d. Pemeriksaan fisis: ditemukan tanda-tanda konsolidasi, suara napas bronkial dan

ronki

e. Leukosit > 10.000 atau < 4500.


46

BAB V

PENUTUP

Telah dilaporkan sebuah kasus an. SNA perempuan berusia 1 tahun 9

bulan yang di rawat di RSUD Ulin Banjarmasin dengan diagnosis morbili, kejang

demam sederhana, dan pneumonia komunitas atau CAP. Diagnosis ditegakkan

berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang.

Penatalaksanaan terakhir yang diberikan adalah O2 dengan nasal canul 1-2 lpm,

IVFD D5 ½ NS 1000 ml, venflon, IV Ampisilin-sulbactam 3x600 mg, IV

Gentamisin 1x90 mg, IV paracetamol 4x15 mg (k/p demam), IV Diazepam 3mg

(k/p kejang), PO. Ambroxol 4 mg , PO. Salbutamol 1 mg. Pasien telah di rawat di

ruang anak RSUD Ulin sejak tanggal 13 Oktober 2022 dan pulang pada tanggal

19 Oktober 2022 dengan keadaan membaik.


47

DAFTAR PUSTAKA

1. Staf Pengajar Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia


(1985), ”Infeksi”, dalam: Buku Kuliah Ilmu Kesehatan Anak jilid 2, Bagian Ilmu
Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta, hal. 624-
628.
2. Pedoman Pelayanan Medis Kesehatan Anak. Bagian Ilmu Kesehatan Anak
Fakultas Kedokteran Universitas Udayana Rumah Sakit Umum Pusat Sanglah
Denpasar : 2011.
3. Marcdante, Karen J, Robert M, et al. Nelson Ilmu Kesehatan Anak. 6th ed.
Indonesia: Elsevier Inc.; 2014
4. Kementerian Kesehatan RI. 2018. Hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2018.
Jakarta: Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Kementerian RI
5. Kementerian Kesehatan RI. 2010. Hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2010.
Jakarta: Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Kementerian RI
6. Said M, 2015, Buku Ajar Respirologi Anak, 1th Ed, Ikatan Dokter Anak
Indonesia, Jakarta.
7. Kementerian Kesehatan RI. 2013. Hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2013.
Jakarta: Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Kementerian RI
8. UNICEF. Under-five and infant mortality rates and number of deaths. 2015.
9. Arlini, Yunita. Diagnosis Community Aquired Pneumonia (CAP) dan Tatalaksana
Terkini. Fakultas Kedokteran Universitas Syiah Kuala Banda Aceh. 2015.
10. Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Pedoman Tatalaksana Pneumonia
Balita: Jakarta: DepkesRI; 2009.
11. De Vries RD, Duprex WP, De Swart RL. Morbillivirus Infections: An
Introduction. Viruses. 2015; 7(2):699-706.
12. Cherry J.D. Measles Virus. Dalam: Feigin, Cherry, Demmler, Kaplan, editors.
Textbook of Pediatrics Infectious Disease. Edisi ke-5. Philadelphia. Saunders;
2004.
13. World Health Organization [internet]. Geneva: World Health Organization; 2009.
14. Hamborsky J, Kroger A, Wolfe A, editors. Epidemiology And Prevention Of
Vaccine-Preventable Deseases. Edisi ke-13. USA:U.S. Departement Of Health
48

And Human Services Centers For Desease Control And Prevention. 2015.
15. Nelson, Behrman, Kiegman, Arvin. Ilmu Kesehatan Anak. Edisi Ke 15. Jakarta:
EGC; 2012.
16. Gans H, Maldonado YA. Measles: Clinical Manifestations, Diagnosis, Treatment,
And Prevention. Uptodate. May 2022.
17. Strebel PM, Orenstein WA. Measles. The New England Journal of Medicine.
2019;381(4):349-357.
18. Husada D, Kusdwijono, Puspitasari D, Kartina L, Basuki PS, Ismoedijanto. An
Evaluation Of The Clinical Features Of Measles Virus Infection For Diagnosis In
Children Witjin A Limited Resources Setting. BMC Pediatrics. 2020;20(5):1-10
19. Xavier AR, Rodrigues TS, Santos LS, Lacerda GS, Kanaan S. Clinical,
Laboratorial Diagnosis and Prophylaxis of Measles in Brazil. J Bras Patol Med
Lab. 2019;55(4):390-401.
20. Garna H, Chaerulfatah A, Azhali MS, Setiabudi D. Morbili (campak, rubeola,
measles). Dalam: Pedoman Diagnosis dan Terapi Ilmu Kesehatan Anak. Edisi ke-
3. Bandung: Bagian Ilmu Kesehatan Anak FK UNPAD; 2005. hlm 234-6.
21. Pedoman Penatalaksanaan Medis. Jakarta: Ikatan Dokter Anak Indonesia; 2009.
22. WHO. Measles. December 2019.
23. Stinchfield PA, Orenstein WA. Vitamin A for the management of measles in the
United States. Infectious Disease in Clinical Practice. 2020;28(4):181-187.
24. IDI. Panduan Praktik Klinis Bagi Dokter Di Fasilitas Pelayanan Kesehatan Primer.
2017.
25. Ma SJ, Li X, Xiong YQ, Yao AL, Chen Q. Combination Measles-Mumps-
Rubella-Varicella Vaccine In Healthy Children: A Systematic Review And Meta-
Analysis Of Immunogenicity And Safety. Medicine (Baltimore). 2015;
94(44):e1721.
26. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. Pedoman Kampanye Imunisasi
Campak dan Rubella Untuk Guru dan Kader. Promosi Kesehatan. DepKes RI.
27. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. Petunjuk Teknis Kampanye
Imunisasi Measles Rubella (MR). DepKes RI. 2017.
28. Unit Kerja Koordinasi Neurologi Ikatan Dokter Anak Indonesia. Konsensus
Penatalaksanaan Kejang Demam. 2006. Badan Penerbit IDAI.
29. Ridha, H. N. 2014. Buku ajar Keperawatan Anak. Yogyakarta: Pustaka Pelajar
49

30. Wulandari,D & Erawati M. (2016). Buku ajar keperawatan anak. Yogyakarta:
Pustaka Pelajar
31. World Health Organization. Pneumonia. Fact Sheet N0 331. Diakses dari:
http://www.who.int/mediacentre/factsheets/fs331/en/.
32. Dahlan Zul. Pneumonia. Ilmu Penyakit Dalam. Edisi V Jilid III, Jakarta : Pusat
Penerbitan Ilmu Penyakit Dalam, 2009. h2196
33. Mani, C. S., & Murray, D. L. (2018). Acute Pneumonia and Its Complications. In:
Principles and Practice of Pediatric Infectious Diseases. New York: 2018; 238-249
34. Opovsky, E. Y., & Florin, T. A. Community-Acquired Pneumonia in Childhood.
Reference Module in Biomedical Sciences. 2020.
35. Bradle JS, Carrie L. Byington, Samir S. Shah, et al. The Management of
Community-Acquired Pneumonia in Infants and Children Older Than 3 Months of
Age: Clinical Practice Guidelines by the Pediatric Infectious Diseases Society and
the Infectious Diseases Society of America, Clinical Infectious Diseases
2011;53(7):e25–e76.
36. Word Healt Organization. Pneumonia. 2019. Diunduh tanggal: 18 agustus 2022.
37. Jannah, M., Abdullah, A., & Melania, H. Analisis Faktor Risiko Yang
Berhubungan Dengan Kejadian Pneumonia Balita Di Wilayah Kerja UPTD
Puskesmas Banda Raya Kota Banda Aceh Tahun 2019. JUKEMA 2019;6(1).h.
20-28
38. Sidiq, R., Ritawati, & Sitio, R. (2016). The Risk of Pneumonia among Toddlers in
Lambatee, Aceh. National Public Health 2016; 69-73.
39. Howie S, Murdoch D. Global childhood pneumonia: the good news, the bad news
and the ways ahead. Lancet Global Health. 2019;7(1):e4- 5
40. Setyanto, D. B., Suardi, A. U., Setiawati, L., Triasih, R., & Yani, F. F. Pneumonia.
Dalam: Pedoman Pelayanan Medis Jilid I. Jakarta: Badan Penerbit Ikatan Dokter
Anak Indonesia 2019; 250-255.
41. Mantero, M., Tarsia, P., Gramegna, A. et al. Antibiotic Therapy, Supportive
Treatment and Management of ImmunomodulationInflammation Response in
Community Acquired Pneumonia: review of recommendations. Multidiscip Respir
Med 2017;12(26)

Anda mungkin juga menyukai