Anda di halaman 1dari 30

REFERAT

DIFTERI

Disusun untuk Melaksanakan Tugas Kepaniteraan Klinik Lab/SMF


Ilmu Kesehatan Anak RSD dr. Soebandi Jember

Disusun oleh:
Faizah Giftari Fitriana
NIM. 132011101089

Dokter Pembimbing:
dr. H. Ahmad Nuri, Sp.A
dr. B. Gebyar Tri Baskoro, Sp.A
dr.Lukman Oktadianto, Sp.A
dr. M. Ali Shodikin, Sp.A

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS JEMBER


SMF/LAB ILMU KESEHATAN ANAK
RSD DR. SOEBANDI JEMBER
2018
DAFTAR ISI

Halaman Judul............................................................................................. i
Daftar Isi....................................................................................................... ii
BAB 1 Pendahuluan..................................................................................... 1
BAB 2 Tinjauan Pustaka............................................................................. 3
2.1 Definisi ..................................................................................... 3
2.2 Epidemiologi............................................................................. 3
2.3 Etiologi...................................................................................... 5
2.4 Patofisiologi ............................................................................. 8
2.5 Gejala Klinis............................................................................. 9
2.6 Pemeriksaan Penunjang.......................................................... 12
2.7 Diagnosis Banding................................................................... 14
2.8Penatalaksanaan ...................................................................... 22
2.9 Komplikasi ............................................................................... 25
2.10 Pencegahan............................................................................. 28
2.11Prognosis ................................................................................. 31
BAB 3. Kesimpulan...................................................................................... 33
Daftar Pustaka............................................................................................. 34

2
PENDAHULUAN

Difteri adalah suatu penyakit infeksi akut yang sangat menular,


disebabkan oleh karena toxin dari bakteri dengan ditandai pembentukan
pseudomembran pada kulit dan atau mukosa dan penyebarannya melalui udara.
Penyebab penyakit ini adalah Corynebacterium Diphteriae, dimana manusia
merupakan salah satu reservoir dari bakteri. Infeksi biasanya terdapat pada faring,
laring, hidung dan kadang pada kulit, konjugtiva, genitalia dan telinga. Jika
terinfeksi dapat menyebabkan gejala - gejala lokal dan sistemik, efek sistemik
terutama karena eksotoksin yang dikeluarkan oleh mikroorganisme pada tempat
infeksi. Masa inkubasi kuman antara 2 - 5 hari, penularan terjadi melalui kontak
dengan penderita maupun karier. Difteri merupakan penyakit yang harus
didiagnosa dan diterapi dengan segera. Bayi baru lahir biasanya membawa
antibodi secara pasif dari ibunya yang biasanya akan hilang pada usia 6 bulan,
bayi diwajibkan di vaksinasi, yang mana vaksinasi ini telah terbukti mengurangi
insidensi penyakit tersebut. Walaupun difteri sudah jarang di berbagai tempat di
dunia, tetapi kadangkadang masih ada yang terkena oleh penyakit tersebut. Di
Indonesia, difteri banyak terdapat di daerah berpenduduk padat dan keadaan
lingkungan yang buruk dengan angka kematian yang cukup tinggi, 50% penderita
difteri meninggal dengan gagal jantung. Kejadian luar biasa dapat terjadi terutama
pada golongan umur rentan yaitu bayi dan anak. Apabila tidak diobati dan
penderita tidak mempunyai kekebalan, angka kematian adalah sekitar 50 %,
sedangkan dengan terapi angka kematiannya sekitar 10%, (CDC Manual for the
Surveilans of Vaccine Preventable Diseases, 2017). Angka kematian Difteri
ratarata 5 – 10% pada anak usia kurang 5 tahun dan 20% pada dewasa (diatas 40
tahun) (CDC Atlanta, 2016). Penyakit Difteri tersebar di seluruh dunia. Pada
tahun 2014, tercatat sebanyak 7347 kasus dan 7217 kasus di antaranya (98%)
berasal dari negara-negara anggota WHO South East Asian Region (SEAR).
Jumlah kasus Difteri di Indonesia, dilaporkan sebanyak 775 kasus pada tahun
2013 (19% dari total kasus SEAR), selanjutnya jumlah kasus menurun menjadi

3
430 pada tahun 2014 (6% dari total kasus SEAR). Jumlah kasus Difteri di
Indonesia sedikit meningkat pada tahun 2016 jika dibandingkan dengan tahun
2015 (529 kasus pada tahun 2015 dan 591 pada tahun 2016). Demikian pula
jumlah Kabupaten/Kota yang terdampak pada tahun 2016 mengalami peningkatan
jika dibandingkan dengan jumlah Kabupaten/ Kota pada tahun 2015. Tahun 2015
sebanyak 89 Kabupaten/ Kota dan pada tahun 2016 menjadi 100 Kabupaten/
Kota. Sejak vaksin toxoid Difteri diperkenalkan pada tahun 1940an, maka secara
global pada periode tahun 1980 – 2000 total kasus Difteri menurun lebih dari
90%. Imunisasi DPT di Indonesia dimulai sejak tahun 1976 dan diberikan 3 kali,
yaitu pada bayi usia 2, 3, dan 4 bulan. Selanjutnya Imunisasi lanjutan DT
dimasukkan kedalam program Bulan Imunisasi Anak Sekolah (BIAS) pada tahun
1984. Untuk semakin meningkatkan perlindungan terhadap penyakit Difteri,
imunisasi lanjutan DPT-HB-Hib mulai dimasukkan ke dalam program imunisasi
rutin pada usia 18 bulan sejak tahun 2014, dan imunisasi Td menggantikan
imunisasi TT pada anak sekolah dasar. Kriteria KLB Difteri jika ditemukannya
minimal satu kasus difteri klinis. Deskripsi klinis kasus difteri adalah penyakit
yang ditandai dengan laringitis atau faringitis atau tonsilitis, dan membran
adheren (tidak mudah lepas) pada tonsil, faring dan/atau hidung. Atau kasus yang
menunjukkan gejala gejala demam, sakit menelan, dan pseudomembran putih
keabu-abuan, yang tidak mudah lepas dan mudah berdarah (Pedoman
Penyelidikan dan penggulangan KLB Penyakit menular dan Keracunan Pangan,
2017). Sangat dimungkinkan bahwa KLB Difteri terjadi karena adanya Immunity
Gap dalam populasi. Hal ini menjadi faktor risiko penularan menjadi tinggi,
diantaranya karena akumulasi kelompok yang rentan terhadap difteri karena
faktor tidak diimunisasi atau tidak lengkap mendapatkan imunisasi

4
2.1 DEFINISI
Difteri adalah suatu penyakit infeksi toksik akut yang sangat menular,
disebabkan oleh Corynebacterium diphteriae dengan ditandai pembentukan
pseudomembran pada kulit dan atau mukosa.

KLASIFIKASI
Berdasarkan kasus
Suspected case
Orang dengan gejala faringitis, tonsilitis, laringitis, trakeitis atau kombinasinya
disertai demam tidak tinggi dan adanya pseudomembran putih keabu-abuan yang
sulit lepas, mudah berdarah apabila dilepas atau dilakukan manipulasi
Probable case
Orang dengan suspected case ditambah dengan salah satu gejala berikut:
- Kontak dalam waktu <2 minggu dengan kasus confirmed
- Imunisasi tidak lengkap, termasuk belum dilakukan booster
- Berada di daerah endemis difteri
- Stridor
- Pembengkakan/edema leher
- Perdarahan submukosa atau ptekie di kulit
- Toxic circulatory collapse
- Insufisiensi renal akut
- Miokarditis dan atau paralisis motorik 1-6 minggu awitan sakit
- Meninggal
Confirmed case
Sama dengan probable case plus:
- Isolasi strain toksigenik C. diphtheriae dari lokasi tipikal (hidung,
tenggorok, ulkus kulit, luka, konjungtiva, telinga, vagina)
- Atau > 4x kenaikan serum antitoksin, tapi hanya bila kedua sampel serum
diambil sebelum pemberian toksoid atau antitoksin difteri
Berdasarkan klinis
Atas dasar lokasi anatomis dan membran difteri:

5
a. Konjungtiva, telinga, vagina, anal
b. Tonsil, faring, laring, hidung, kulit

Menurut berat ringannya penyakit:


Ringan : nasal, kulit
Sedang: tonsil, faring
Berat : tonsil, faring (ada perluasan di luar tonsil), bullneck

2.2 EPIDEMIOLOGI
Difteria tersebar luas di seluruh dunia. Angka kejadian menurun secara
nyata setelah perang dunia II, setelah penggunaan toksoid difteria. Demikian pula
terdapat penurunan mortalitas yang berkisar antara 5-10%. Delapan puluh persen
kasus terjadi dibawah 15 tahun, meskipun demikian dalam suatu keadaan wabah,
angka kejadian menurut umur tergantung status imunitas populasi setempat.
Faktor sosial ekonomi, permukiman yang padat, nutrisi yang jelek, terbatasnya
fasilitas kesehatan, merupakan faktor penting terjadinya penyakit ini. Difteria
ditularkan dengan cara kontak dengan pasien atau karier melalui droplet (infeksi
tetesan) ketika batuk, bersin, atau berbicara. Muntahan/debu bisa merupakan
wahana penularan (vehicles of transmission). Jumlah kasus Difteri di Indonesia,
dilaporkan sebanyak 775 kasus pada tahun 2013 (19% dari total kasus SEAR),
selanjutnya jumlah kasus menurun menjadi 430 pada tahun 2014 (6% dari total
kasus SEAR). Jumlah kasus Difteri di Indonesia sedikit meningkat pada tahun
2016 jika dibandingkan dengan tahun 2015 (529 kasus pada tahun 2015 dan 591
pada tahun 2016). Demikian pula jumlah Kabupaten/Kota yang terdampak pada
tahun 2016 mengalami peningkatan jika dibandingkan dengan jumlah Kabupaten/
Kota pada tahun 2015. Tahun 2015 sebanyak 89 Kabupaten/ Kota dan pada tahun
2016 menjadi 100 Kabupaten/ Kota.

6
7
2.3 ETIOLOGI
Corynebacterium diphtheria merupakan kuman batang gram positif, tidak
bergerak, pleomorfik, tidak berkapsul, tidak membentuk spora, mati pada
pamanasan 60oC, tahan dalam keadaan beku dan kering. Dengan pewarnaan,
kuman bisa tampak dalam susunan palisade, bentuk L atau V atau merupakan
kelompok dengan formasi mirip huruf cina. Kuman tumbuh secara aerob, bisa
dalam media sederhana tetapi lebih baik dalam media yang mengandung K-
tellurit atau media Loeffler. Pada membran mukosa manusia, C. diphteriae dapat
hidup bersama-sama dengan kuman diphtheroid saprofit yang mempunyai
morfologi serupa, sehingga untuk membedakan kadang-kadang diperlukan
pemeriksaan khusus dengan cara fermentasi glikogen, kanji, glukosa, maltose dan
sukrosa.
Secara umum dikenal 3 tipe utama C. diphtheria yaitu tipe gravis,
intermedius dan mitis, namun dipandang dari sudut antigenitas sebenarnya basil
ini merupakan spesies yang bersifat heterogen dan mempunyai banyak tipe
serologik. Hal ini mungkin bisa menerangkan mengapa pada seorang pasien bisa
terdapat kolonisasi lebih dari satu jenis C. diphtheriae. Ciri khas C. diphtheriae
adalah kemampuannya memproduksi eksotoksin baik in vivo maupun in vitro.
Eksotoksin ini merupakan suatu protein dengan berat molekul 62.000 dalton, tidak
tahan panas/cahaya, mempunyai 2 fragmen yaitu fragmen A (aminoterminal) dan
fragmen B (karboksi-terminal). Kemampuan suatu strain untuk
membentuk/memproduksi toksin dipengaruhi oleh adanya bakteriofag, toksin
hanya bisa diproduksi oleh C. diphtheriae yang terinfeksi oleh bakteriofag yang
mengandung toxigene.

8
2.4 PATOFISIOLOGI

9
Kuman C. diphteriae masuk melalui mukosa/kulit, melekat serta
berkembang biak pada permukaan mukosa saluran nafas bagian atas dan mulai
memproduksi toksin yang merembes ke sekeliling, selanjutnya menyebar ke
seluruh tubuh melalui pembuluh limfe dan pembuluh darah. Efek toksin pada
jaringan tubuh manusia adalah hambatan pembentukan protein dalam sel.
Pembentukan protein dalam sel dimulai dari penggabungan 2 asam amino yang
telah diikat 2 transfer RNA yang mendapati kedudukan P dan A dalam ribosom.
Bila rangkaian asam amino ini akan ditambah dengan asam amino lain untuk
membentuk polipeptida sesuai dengan cetakan biru RNA, diperlukan proses
translokasi. Translokasi ini merupakan pindahnya gabungan transfer RNA +
dipeptida dari kedudukan A ke kedudukan P. Proses translokasi ini memerlukan
enzim translokasi (elongation factor-2) yang aktif.
Toksin difteria mula-mula menempel pada membran sel dengan bantuan
fragmen B dan selanjutnya fragmen A akan masuk, mengakibatkan inaktivasi
enzim translokase melalui proses: NAD + EF2 (aktif) toksin ADP-ribosil-EF2
(inaktif) + H2 + nikotinamid. ADP-ribosil-EF2 yang inaktif ini menyebabkan
proses translokasi tidak berjalan sehingga tidak terbentuk rangkaian polipeptida
yang diperlukan, akibatnya sel akan mati. Nekrosis tampak jelas di daerah
kolonisasi kuman. Sebagai respons, terjadi inflamasi lokal bersama-sama dengan
jaringan nekrotik membentuk bercak eksudat yang semula mudah dilepas.
Produksi toksin semakin banyak, daerah infeksi semakin lebar dan terbentuklah
eksudat fibrin. Terbentuklah suatu membran yang melekat erat berwarna kelabu
kehitaman, tergantung dari jumlah darah yang terkandung. Selain fibrin,
membrane juga terdiri dari sel radang, eritrosit, dan epitel. Bila dipaksa
melepaskan membrane akan terjadi perdarahan. Selanjutnya membran akan
terlepas sendiri pada masa penyembuhan
Pada pseudomembran kadang-kadang dapat terjadi infeksi sekunder
dengan bakteri (misalnya Streptococcus pyogenes). Membran dan jaringan
edematus dapat menyumbat jalan nafas. Gangguan pernafasan/sufokasi bisa
terjadi dengan perluasan penyakit ke dalam laring atau cabang trakeo-bronkus.
Toksin yang diedarkan dalam tubuh bisa mengakibatkan kerusakan pada setiap

10
organ, terutama jantung, saraf dan ginjal. Antitoksin difteria hanya beprengaruh
pada toksin yang bebas atau terabsorbsi pada sel, tetapi tidak menetralisasi apabila
toksin telah melakukan penetrasi ke dalam sel. Setelah toksin terfiksasi dalam sel,
terdapat masa laten yang bervariasi sebelum timbulnya manifestasi klinis.
Miokarditis biasanya terjadi dalam 10-14 hari, manifestasi saraf umumnya terjadi
setelah 3-7 minggu. Kelainan patologik yang mencolok adalah nekrosis toksik dan
degenerasi hialin pada bermacam-macam organ dan jaringan. Pada jantung
tampak edema, kongesti, infiltrasi sel mononuklear pada serat otot dan sistem
konduksi. Apabila pasien tetap hidup, terjadi regenerasi otot dan fibrosis
interstisial. Pada saraf tampak neuritis toksik dengan degenerasi lemak pada
selaput myelin. Nekrosis hati bisa disertai gejala hipoglikemia, kadang-kadang
tampak perdarahan adrenal dan nekrosis tubular akut pada ginjal.

2.5 GEJALA KLINIS


Tergantung pada berbagai faktor, maka manifestasi penyakit ini bisa bervariasi
dari tanpa gejala sapai suatu keadaan/penyakit yang hipertoksik serta fatal.
Sebagai faktor primer adalah imunitas penderita terhadap toksin difteri, virulensi
serta toksinogenesitas (kemampuan membentuk toksin) C. diphteriae, dan lokasi
penyakit secara anatomis. Faktor-faktor lain termasuk umur, penyakit sistemik
penyerta dan penyakit-penyakit pada daerah nasofaring yang sudah ada
sebelumnya. Masa tunas 2-6 hari. Penderita pada umumnya datang untuk berobat
setelah beberapa hari menderita keluhan sistemik. Demam jarang melebihi 38,9oC
dan keluhan serta gejala lain tergantung pada lokasi penyakit difteri
a. Difteri hidung
Pada permulaan mirip common cold, yaitu pilek ringan tanpa atau disertai
gejala sistemis ringan. Sekret hidung berangsur menjadi serosanguinous
dan kemudian mukopurulen, menyebabkan lecet pada nares dan bibir atas.
Pada pemeriksaan tampak membrane putih pada daerah septum nasi.
Absorbsi toksin sangat lambat dan gejala sistemis yang timbul tidak nyata
sehingga diagnosis lambat dibuat.

11
b. Difteri tonsil-faring
Gejala anoreksia, malaise, demam ringan, nyeri menelan. Dalam 1-
2 hari timbul membran yang melekat, berwarna putih-kelabu dapat
menutup tonsil dan dinding faring, meluas ke uvula dan palatum molle
atau ke distal, ke laring dan trakea. Usaha melepas membran akan
mengakibatkan perdarahan. Dapat terjadi limfadenitis servikalis dan
submandibularis bila bersamaan dengan edema jaringan lunak leher yang
luas (bullneck). Selanjutnya tergantung derajat elaborasi toksin dan luas
membran. Pada kasus ringan, membran terlepas dalam 7-10 hari, biasanya
terjadi penyembuhan sempurna. Pada kasus sedang, penyembuhan terjadi
secara berangsur-angsur dan bisa disertai penyulit miokarditis atau
neuritis. Bila kasus berat, bisa terjadi kegagalan pernafasan atau sirkulasi.
Dapat terjadi paralisis palatum molle baik uni maupun bilateral, disertai
kesukaran menelan dan regurgitasi. Stupor, koma kematian bisa terjadi
dalam satu minggu sampai 10 hari.

12
c. Difteri laring
Biasanya merupakan perluasan difteri faring. Pada difteri laring,
bila primer lebih berupa gejala obstruksi saluran nafas atas dan dapat
disertai gejala toksemia. Gejala sukar dibedakan dari tipe infectious croup
yang lain seperti nafas berbunyi, stridor progresif, suara parau, batuk
kering dan pada obstruksi laring yang berat terdapat retraksi suprasternal,
subkosta dan supraklavikula. Bila terjadi pelepasan membran dan menutup
jalan nafas, bisa terjadi kematian mendadak. Pada kasus berat, membran
meluas ke percabangan trakeobronkial.

d. Difteri kulit, vulvovaginal, konjungtiva, telinga


Difteri kullit berupa tukak di kulit, tepi jelas dan terdapat membran pada
dasarnya. Kelainan cenderung menahun. Difteri pada mata dengan lesi
pada konjungtiva berupa kemerahan, edema dan membrane pada sekret
purulen dan berbau.

13
2.6 PEMERIKSAAN PENUNJANG
- Darah lengkap
- Kultur hapusan hidung dan tenggorok, lesi kulit, konjungtiva palpebra
- Pengecatan gramm
- Urin lengkap
- Elektrokardiografi
- Foto thorax (bila perlu)
- Pada keadaan berat: AGD, serum elektrolit, dan GDA

2.7 DIAGNOSIS BANDING


2.7.1 Difteria hidung
Penyakit yang menyerupai difteria hidung ialah rhinorrhea (common cold,
sinusitis, adenoiditis), benda asing dalam hidung, snuffles (lues congenital)

Benda asing

14
Snuffles

2.7.2 Difteria faring


Harus dibedakan dengan tonsilitis membranosa akut yang disebabkan oleh
Streptokokus (tonsilitis akut, septic sore throat), mononucleosis infeksiosa,
tonsilitis membranosa non-bakterial, tonsilitis herpetika primer, moniliasis, blood
dyscrasia, pasca tonsilektomi

faringitis streptokokus dengan eksudat tonsil dan eritema

tonsilitis folikularis

15
tonsilitis akut membranosa

ulkus herpetik

Mononucleosis infectiosa

16
Herpes

pasca tonsilektomi

2.7.3 Difteria laring


Gejala difteria laring menyerupai laringitis, dapat menyerupai infectious
croups yang lain yaitu spasmodic group, angioneurotic edema pada laring, dan
benda asing dalam laring.
2.7.4 Difteria kulit
Perlu dibedakan dengan impetigo dan infeksi kulit yang disebabkan oleh
streptokokus atau stafilokokus

DIAGNOSIS
a. Klinis: mengenali gejala dan tanda baik lokal maupun sistemik, terutama
pseudomembran. Kenali diagnosis banding
b. Penentuan kuman dilakukan dengan cara isolasi C. diphtheriae dari swab
tenggorok dan hidung dengan menggunakan media Loffler (dulu), Amies dan

17
Stewart (sekarang) dilanjutkan dengan tes toksigenisitas in vivo (marmut) dan
in vitro (tes Elek)
c. Deteksi adanya bakteriofage tox+
d. PCR

2.9 KOMPLIKASI
Penyulit difteria dapat terjadi sebagai akibat inflamasi lokal atau akibat
aktivitas eksotoksin, maka penyulit difteria dapat dikelompokkan dalam
obstruksi jalan nafas, dampak eksotoksin terutama ke otot jantung, saraf dan
ginjal, serta infeksi sekunder oleh bakteri lain.
a.) Obstruksi jalan nafas
disebabkan oleh tertutupnya jalan nafas oleh membrane difteria atau oleh
karena edema pada tonsil, faring, daerah submandibular dan servikal.
b.) Dampak toksin
Miokarditis
Dampak toksin dapat bermanifestasi pada jantung berupa miokarditis yang
dapat terjadi baik pada difteria ringan maupun berat dan biasanya terjadi pada
pasien yang terlambat mendapatkan pengobatan antitoksin. Pada umumnya,
penyulit miokarditis ini terjadi pada minggu ke-2 tetapi bisa lebih dini pada
minggu pertama atau lebih lambat pada minggu ke-6. Manifestasi miokarditis
dapat berupa takikardia, suara jantung redup, terdengar bising jantung, atau
aritmia. Bisa juga terjadi gagal jantung. Kelainan pemeriksaan EKG dapat
berupa elevasi segmen ST, perpanjangan interval PR, dan heart block.
Tatalaksana meliputi tirah baring selama 2 minggu, pemberian kortikosteroid
(deksametason 1 mg/kgBB/hari secara IV), dan digitalis. Apabila terjadi syok,
berikan obat-obatan inotropik seperti dopamine dengan dosis 5-20
mg/kgBB/menit secara drip (KI bila terdapat aritmia).

Neuropati
Penyulit pada saraf biasanya terjadi lambat, sejalan dengan derajat infeksi
primer, bersifat bilateral, terutama mengenai saraf motorik. Komplikasi

18
terjadi pada 2-3 minggu awitan inflamasi orofaringeal yaitu paralisis lokal
palatum molle pada minggu ke-3 disusul kelemahan saraf pharyngeal
posterior, laringeal dan fasial sehingga suara menjadi sengau, terjadi
regurgitasi nasal, kesulitan menelan dan risiko aspirasi. Neuropati kranial
biasanya terjadi pada minggu ke-5-7, yaitu paralisis otot mata dengan gejala
klinis berupa strabismus, kabur, dan kesulitan akomodasi. Polineuropati
bersifat simetris, dapat mengenai saraf motorik maupun sensorik. Penyulit ini
juga disertai hilangnya deep tendon reflexes dan peningkatan kadar protein
dalam likuor serebrospinal (sulit dibedakan dengan Guillain-Barre
Syndrome). Hal ini dapat terjadi pada 10 hari-3 bulan pasca awitan infeksi
orofaringeal. Paralisis diafragma dapat terjadi pada minggu ke-5 dan ke-7
sebagai akibat neuritis saraf frenikus. Hal ini dapat menyebabkan kematian
apabila tidak dibantu dengan ventilator mekanik. Bila terjadi kelumpuhan
pada pusat vasomotor dapat terjadi hipotensi dan gagal jantung.
3.) Infeksi sekunder bakteri
Setelah era penggunaan antibiotik secara luas, penyulit ini sudah sangat
jarang terjadi.

2.8 TATALAKSANA
a. Penderita
1. Isolasi dan karantina
Penderita diisolasi sampai biakan negative 3 kali berturut-turut setelah masa
akut terlampaui. Kontak penderita diisolasi sampai tindakan-tindakan berikut
terlaksana:
a. Biakan hidung dan tenggorok
b. Seyogyanya dilakukan tes Schick (tes kerentanan terhadap difteri)
c. Diikuti gejala klinis setiap hari sampai masa tunas terlewati

Hasil kultur Schick test Tindakan


- - Bebas
+ - Terapi karier

19
ADS + penisilin
+ +, gejala (-)
Toksoid (imunisasi
- +
aktif)

Skrining Kekebalan dan Tatalaksana

2. Pengobatan
Tujuan mengobati penderita difteri adalah menginaktivasi toksin yang belum
terikat secepatnya, mencegah dan mengusahakan agar penyulit yang terjadi
minimal, mengeliminasi C. diphtheria untuk mencegah penularan serta
mengobat infeksi penyerta dan penyulit difteri
2.1 Umum
Istirahat mutlak selama kurang lebih 2 minggu, pemberian cairan serta diet
yang adekuat. Khusus pada difteria laring dijaga agar nafas tetap bebas serta
dijaga kelembaban udara dengan menggunakan nebulizer. Bila tampak
kegelisahan, iritabilitias, serta gangguan pernafasan yang progresif, hal-hal
tersebut merupakan indikasi tindakan trakeostomi

2.2 Khusus
Antitoksin: Serum Anti Difteri (ADS)
Antitoksin harus diberikan segera setelah dibuat diagnosis difteri.
Dosis serum anti difteri ditentukan secara empiris berdasarkan berat penyakit,
tidak tergantung pada berat badan penderita dan berkisar antara 20.000-
120.000 KI
Dosis ADS di ruang menular anak RSU dr. Soetomo disesuaikan menurut
derajat berat penyakit sebagai berikut:
20.000 KI i.m. untuk difteri ringan (hidung, kulit, konjungtiva)
40.000 KI i.v. untuk difteri sedang (pseudomembran terbatas pada tonsil,
difteri laring)

20
100.000 KI i.v. untuk difteri berat (pseudomembran meluas keluar tonsil,
keadaan anak yang toksik disertai ”bullneck”, disertai penyulit akibat efek
toksin

Prosedur pemberian ADS:


a. Sebelumnya harus dilakukan tes kulit atau tes konjungtiva dahulu. Oleh
karena pada pemberian ADS terdapat kemungkinan terjadi reaksi
anafilaksis maka harus tersedia larutan adrenalin 1:1000 dalam semprit.
Tes kulit dilakukan dengan menyuntikkan 0,1 ml ADS dalam larutan
garam fisiologis 1:1000 secara intrakutan. Tes positif bila dalam 20 menit.
terjadi indurasi >10 mm.
Tes konjungtiva dilakukan dengan meneteskan 1 tetes larutan serum 1:10
dalam garam faali. Pada mata yang lain diteteskan garan faali. Tes positif
bila dalam 20 menit ampak gejala konjungtivitis dan lakrimasi
Bila tes kulit/konjungtiva positif, ADS diberikan dengan cara desensitisasi
(Besredka). Bila tes hipersensitivitas tersebut di atas negatif, ADS harus
diberikan sekaligus secara tetesan intravena

21
Suntik ke Rute Pengenceran Dosis
1 ID 1/1000 0,1
2 ID 1/1000 0,3
3 SC 1/1000 0,6
4 SC 1/100 0,1
5 SC 1/100 0,3
6 SC 1/100 0,6
7 SC 1/10 0,1
8 SC 1/10 0,3
9 SC 1/10 0,6
10 SC UNDILUTED 0,1
11 SC UNDILUTED 0,3
12 IM UNDILUTED 0,6
13 IM UNDILUTED 1,0
14 IM UNDILUTED Sisa
Interval waktu suntik 15 Menit .ID intradermal ,SC subkutan ,IM intramuskuler
ada tanda anafilaksis, berikan adrenalin 1 / 1000 , dosis 0.2 – 0.5 ml secara
intravena

b. Pemberian ADS secara intravena dilakukan secara drip dalam larutan D5


¼ S atau D5 ½ S 200 ml dalamwaktu 120 menit.. Pengamatan terhadap
kemungkinan efek samping obat/reaksi sakal dilakukan selama pemberian
antitoksin dan selama 2 jam berikutnya. Demikian pula perlu dimonitor
terjadi reaksi hipersensitivitas lambat (serum sickness).
2.2.3 Antimikrobial
Antimikroba digunakan bukan sebagai pengganti antitoksin, melainkan
untuk menghentikan produksi toksin. Penicilline procaine 50.000-100.000
KI/kgBB/hari selama 7-10 hari, bila alergi bisa diberikan erithromycine 40
mg/kgBB/hari selama 10 hari atau linkomisin 10-20 mg/kgBB sebanyak 3x sehari
selama 10 hari.
2.2.4 Kortikosteroid
Kortikosteroid dapat diberikan kepada penderita dengan gejala obstruksi
saluran nafas bagian atas, dan bila terdapat penyulit miokarditis diberikan
prednison 2 mg/KgBB selama 2 minggu kemudian diturunkan bertahap.
2.3.4 Pengobatan penyulit
Pengobatan terutama ditujukan terhadap hemodinamika penderta agar
tetap baik oleh karena penyulit yang disebabkan oleh toksin pada umumnya
reversibel.
b. Karier

22
Karier adalah mereka yang tidak menunjukkan keluhan, mempunyai reaksi Schick
negatif tetapi mengandung basil difteri dalam nasofaringnya. Langkah-langkah
yang harus dilakukan:
a) Karier harus menghindari kontak dekat dengan orang yang tidak mendapat
imunisasi/ imunisasi tidak lengkap, menghindari penularan droplet dengan
menggunakan masker bedah.
b) Catat kontak dekat dari karier dan beri penyuluhan cara mencegah penularan.
Pengobatan pencegahan bagi orang kontak dengan karier dapat dilakukan namun
dengan prioritas lebih rendah daripada untuk yang kontak dengan penderita
c) Pemeriksaan dengan kultur diulangi setelah 1 minggu selesai pemberian
eritromisin 40-50 mg/kgBB/hari setiap 6 jam selama 7-10 hari maks 1 gram/hari.
Bila orang tersebut tetap positif setelah pengobatan selama 1 minggu maka harus
dilakukan tambahan pengobatan ulang selama 1 minggu lagi dan seterusnya
diambil swab untuk kultur ulang.
c. Kontak
Seluruh kontak ditelusuri, terutama kontak terdekat.
- Keluarga
- Teman sekolah
- Teman bermain
- Teman kerja
Penanganan:
1. Pemeriksaan klinis dan hapusan hidung dan tenggorok
2. Jika klinis (-) tapi kultur hapusan (+): diberikan eritromisin peroral
sedikitnya 5 hari, lalu kultur ulang
3. Jika klinis (+)  diagnosis difteri  MRS dan terapi sebagai difteri
Status kekebalan kontak:
a. Imunisasi dasar kurang dari 3 kali  imunisasi dasar 3 kali
b. Imunisasi dasar tidak diketahui  imunisasi dasar 3 kali
c. Imunisasi dasar 3 kali tapi belum di booster  berikan booster
d. Imunisasi dasar 3 kali dan booster sesuai usia  tidak perlu imunisasi

23
2.10 PENCEGAHAN
2.10.1 Umum
Kebersihan dan pengetahuan tentang bahaya penyakit ini bagi anak-anak.
Pada umumnya setelah menderita penyakit difteri, kekebalan penderita terhadap
penyakit ini sangat rendah sehingga perlu imunisasi

2.10.2 Khusus
Terdiri dari imunisasi dan pengobatan karier.

Imunitas
1. Imunisasi
Penyakit difteri dapat dicegah dengan imunisasi lengkap, dengan jadwal
pemberian sesuai usia. Saat ini digalakkan pencegahan difteri dengan vaksin 7
dosis meliputi imunisasi rutin
1. DPT-HB-Hib (vaksin kombinasi mencegah Difteri, Pertusis, Tetanus,
Hepatitis B dan Meningitis serta Pneumonia yang disebabkan oleh
Haemophylus infuenzae tipe B).
2. DT (vaksin kombinasi Difteri Tetanus).
3. Td (vaksin kombinasi Tetanus Difteri).
Imunisasi tersebut diberikan dengan jadwal:
1. Bayi (<1 tahun) pada usia:
a. 2 bulan  DPT-HB-HiB 1 dosis
b. 3 bulan  DPT-HB-HiB 1 dosis
c. 4 bulan  DPT-HB-HiB 1 dosis
2. Baduta (18-24 bulan)  DPT-HB-HiB sebanyak 1 dosis
3. Anak usia SD/MI:
a. Kelas 1  DT sebanyak 1 dosis
b. Kelas 2  Td sebanyak 1 dosis
c. Kelas 5  Td sebanyak 1 dosis
Kegiatan imunisasi dalam KLB Difteri antara lain :

24
1. Penguatan imunisasi dasar dan lanjutan untuk mencegah KLB difteri:
a. Cakupan imunisasi dasar (DPT3), pada bayi harus mencapai minimal 95%
b. Cakupan imunisasi lanjutan usia 18 bulan dan anak sekolah dasar minimal
harus mencapai 95%
2. Melakukan Outbreak Response Immunization (ORI)
ORI adalah suatu tindakan pemberian imunisasi massal untuk merespon
kejadian luar biasa dalam 3 kali pemberian dengan interval pemberian 0, 1 dan 6
bulan. Tindakan ini dilakukan tanpa menunggu hasil laboratorium suspek difteri
(kasus indeks), dengan sasaran sesuai dengan kajian epidemiologi tanpa
memandang status imunisasi sebelumnya. Luas wilayah ORI adalah minimal
tingkat kecamatan. Vaksin yang digunakan adalah:
a. anak usia 1 - < 5 tahun menggunakan vaksin DPT-HB-Hib,
b. anak usia 5 - <7 tahun menggunakan vaksin DT
c. anak usia > 7 tahun menggunakan vaksin Td

Tes kekebalan:
Schick test: menentukan kerentanan (suseptibilitas) terhadap difteri. Dilakukan
dengan menyuntikkan 0,1 ml toksin difteri (dilemahkan) secara intrakutan pada

lengan bawah kiri bagian volar menggunakan spuit 1 cc. Reaksi ditunggu 24-36
jam

Apabila (+): terdapat indurasi berwarna merah kecokelatan yang kadang disertai
nekrosis jaringan dengan diameter >10 mm artinya tidak terdapat antitoksin difteri
dalam serum tubuh

Moloney test: menentukan sensitivitas terhadap produk kuman difteri. Tes


dilakukan dengan memberikan 0,1 ml larutan fluid difteri toxoid secara suntikan
intradermal
Reaksi positif bila dalam 24 jam timbul eritema >10 mm, Ini berarti bahwa:

25
a. pernah terpapar pada basil difteri sebelumnya sehingga terjadi reaksi
hipersensitivitas
b. pemberian toksoid difteri bisa mengakibatkan timbulnya reaksi yang
berbahaya.
Kekebalan pasif: diperoleh secara transplasental dari ibu yang kebal terhadap
difteri (sampai 6 bulan) dan suntikan antitoksin (sampai 2-3 minggu)
Kekebalan aktif: diperoleh dengan cara menderita sakit atau inapparent infection
dan imunisasi dengan toksoid difteri.

Vaksin DTP
Vaksin DTP terdiri atas DTPw yang mengandung purified diphtheria
toxoid 20 Lf, purified tetanus toxoid 7,5 Lf, bakteri B. pertussis inaktif 12 OU dan
DTP a. Vaksin DTPa tidak mengandung kuman pertusis utuh tetapi mengandung
antigen yang diperlukan seperti pertussis toxon, pertactin, filamentus
hemaglutinin yang berguna untuk mencegah pertusis secara klinis. Saat ini DTP
juga diberikan dalam bentuk vaksin jerap difteri, pertussis, tetanus, hepatitis B
rekombinan (quadrivalent) dan DTP, hepatitis B dan Haemophilus influenza tipe
B (pentavalen)
Vaksin DTP pertama diberikan palling ceppat pada usia 6 minggu. Dapat
diberika vaksin DTPw atau DTPa atau kombinasi dengan vaksin lain. Diberikan
pada bayi >2 bulan oleh karea reaktogenitas pertusis pada bayi kecil. Apabila
diberkan vaksin DTPa maka interval mengikuti rekomendasi vaksin tersebut yaitu
usia 2, 4, dan 6 bulan. Untuk anak usia lebih dari 7 tahun diberikan vaksin Td atau
Tdap. Untuk DTP 6 dapat diberikan Td.Tdap pada usia 10-12 tahun dan booster
TD diberikan setiap 10 tahun
Dosis yang diberikan 0,5 ml secara intramuscular anterolateral paha atas.
Vaksin mengandung alumunium fosfat, jika diberkan subkutan menyebabkan
iritas lokal, peradangan dan nekrosis setempat.
Kontraindikasi mutlak pemberian DTPw dan DTPa adalah riwayat
anafilaksis pada pemberian sebelumnya, dan ensefalopati pada pemberian vaksin
pertusus sebelumnya. Demam dann nyeri terjadi 1-2 hari pascaimunisasi. Demam

26
terjadi pada 42% kasus (DTPq) dan 9,9% (DTPa). Nyeri terjadi pada 9,9% kasus
(DTPw) dan 2,5% (DTPa). Bila terdapat reaksi berlebihan pasca imunisasi
(demam >40o celsius, kejang, syok) maka setela imunisasi selanjutnya (DT atau
DPTa) diberikan antipiretik + antikonvulsan oral.

Vaksin DPT dan HB

Vaksin DPTa

Vaksin kombinasi DPT aseluler + HiB

27
Vaksin kombinasi DPTw + HiB

2.11 PROGNOSIS
Prognosis difteria setelah ditemukannya ADS dan antibiotik lebih baik
daripada sebelumnya. Sebelum adanya antitoksin dan antibiotika, angka kematian
mencapai 30-50 %. Dengan adanya antibiotik dan antitoksin maka kematian
menurun menjadi 5-10% dan sering terjadi akibat miokarditis. Di Indonesia pada
daerah kantong yang belum terjamah imunisasi masih dijumpai kasus difteria
berat dengan prognosis buruk. Bila antitoksin diberikan pada hari pertama, angka
kematian pada penderita kurang dari 1%, namun dengan penundaan lebih dari hari
ke-6 akan menyebabkan angka kematian meningkat sampai 30%. Menurut
Krugman, kematian mendadak pada kasus difteria dapat disebabkan oleh karena :

28
1. obstruksi jalan napas mendadak diakibatkan oleh terlepasnya membran difteri,
2. adanya miokarditis dan gagal jantung 3. paralisis diafragma sebagai akibat
neuritis nervus nefrikus. Anak yang pernah menderita miokarditis atau neuritis
sebagai penyulit difteria, pada umumnya akan sembuh sempurna tanpa gejala sisa;
walaupun demikian pernah dilaporkan kelainan jantung yang menetap.
Prognosa tergantung pada :
1. Usia penderita Makin rendah makin jelek prognosa. Kematian paling
sering ditemukan pada anak-anak kurang dari 4 tahun dan terjadi
sebagai akibat tercekik oleh membran difteri.
2. Waktu pengobatan antitoksin Sangat dipengaruhi oleh cepatnya
pemberian antitoksin
3. Tipe klinis difteri Mortalitas tertinggi pada difteri faring-laring (56,8%)
menyusul tipe nasofaring(48,4%) dan faring (10,5%)
4. Keadaan umum penderita Prognosa baik pada penderita dengan gizi
baik

DAFTAR PUSTAKA

1. Buku Ajar Infeksi & Pediatri Tropis, Edisi Kedua. Ikatan Dokter Anak
Indonesia. Jakarta, Juni 2008.

2. Centers for Disease Control and Prevention. Measles (Rubeola): 2013

3. Darmowandowo W, Basuki PS. Pedoman Diagnosis dan Terapi


Bagian/SMF Ilmu Kesehatan Anak Rumah Sakit Umum Dokter Soetomo
Surabaya: Campak. Edisi III. 2008.

4. Pedoman Pelayanan Medis, Ikatan Dokter Anak Indonesia. Jilid 1:


Campak. Pengurus Pusat Ikatan Dokter Anak Indonesia. 2010.

29
5. Red Book Online. American Academy of Pediatrics: Measles. 2009.

6. Official Journal of The American Academy of Pediatrics. Vitamin A


Treatment of Measles. Pediatrics 1993; 91; 1014.

7. Mark E, Rupp, M.D, Mitchell L, Schwartz, M.D, Daniel EB. Measles


Pneumonia. Chest Journal. 1993; 103: 1625-26.

8. Buku Pedoman Imunisasi. Ikatan Dokter Anak Indonesia. 2011.

9. Kejadian Ikutan Pasca Imunisasi. Sari Pediatri. Vol. 2, No. 1. Ikatan


Dokter Anak Indonesia. Juni 2000: 2-10

10. Walter A. The Clinical Significance of Measles: A Review. The Journal of


Infectious Diseases. Volume 189, Issue supplement. PP S4-S16.

30

Anda mungkin juga menyukai