Anda di halaman 1dari 28

PETUNJUK TEKNIS

Surveilans Difteri
DRAFT
PER TANGGAL 23 Agustus 2016

Untuk Petugas Surveilans

Kementerian Kesehatan RI

0
PEDOMAN DIFTERI

1. Pendahuluan
a. Latar Belakang
b. Epidemiologi Penyakit
c. Aspek Imunisasi
d. Pengertian
2. Tujuan Surveilans
a. Tujuan Umum
b. Tujuan Khusus
3. Kebijakan dan strategi
a. Kebjiakan
b. Strategi
4. Kegiatan Surveilans
a. Di tingkat Puskesmas
1. Penemuan kasus
2. Pengambilan dan pengiriman spesimen
3. Pencatatan pelaporan
4. Pengolahan dan analisa data
5. Umpan balik
b. Di Rumah sakit
1. Penemuan Kasus
2. Pengambilan dan pengiriman spesimen
3. Pencatatan dan pelaporan
c. Di Kabupaten/Kota
1. Penemuan Kasus
2. Pencatatan dan pelaporan
3. Pengolahan, analisa data dan rekomendasi
4. Umpan balik
d. Di Provinsi
1. Pencatatan dan pelaporan
2. Pengolahan, analisa data dan rekomendasi
3. Umpan balik
e. Di Pusat
1. Pencatatan dan pelaporan
2. Pengolahan, analisa data dan rekomendasi
3. Umpan balik
4. Desiminasi Informasi

1
5. KLB Difteri dan penanggulangannya
a. DO KLB
b. PE KLB
c. Penanggulangan KLB
6. Pemberian nomor Epid kasus individu dan KLB
7. Laboratorium surveilans difteri
a. Peran dan Fungsi lab
b. Penatalaksanaan spesimen lab
c. Pemeriksaan Lab
d. Interpretasi hasil lab
e. Pengiriman hasil lab
f. Jejaring Lab nasional dan wilayah pelayanan pemeriksaan spesimen
8. Indikator kinerja
9. Lampiran-lampiran
10. Kontributor

2
BAB I

1. PENDAHULUAN

a. Latar Belakang

Difteri merupakan penyakit yang sangat menular yang disebabkan oleh


Corynebacterium diptheriae dengan gejala dan tanda klinis demam + 38º C,
pseudomembrane putih keabu-abuan yang tak mudah lepas dan mudah berdarah di
faring, laring atau tonsil, sakit waktu menelan, leher membengkak seperti leher sapi
(bullneck) dan sesak nafas disertai stridor. Difteri merupakan penyakit serius dengan
angka kematian rata-rata 5 – 10 % pada anak usia kurang 5 tahun dan pada dewasa
(diatas 40 tahun) angka kematian dapat meningkat menjadi 20 %. Penyakit difteri
dapat dicegah dengan pemberian Imunisasi yang mengandung komponen difteri
(DPT, DT atau Td) dengan minimal 3 dosis saat bayi ditambah booster pada batita
dan anak sekolah.

Distribusi penyakit difteri menyebar di seluruh dunia, pada tahun 2010 kasus
difteri dilaporkan sebanyak 4.797 kasus dengaan estimasi kematian pada tahun
2008 sebanyak 59.000. penyakit mulai menurun setelah dilaksanakan pemberian
imunisasi toxoid difteri. Seiring dengan meningkatnya cakupan DPT3 maka terjadi
penurunan kasus difteri yang sangat signifikan dari 100.000 kasus pada tahun 1980
menjadi 4.797 kasus pada tahun 2010. (Black RE at.al Global Regional and national causes of child mortality in
2008:sysistematic analysis 2010 jun 5).

Di Indonesia, sebelum program Imunisasi DPT dilaksanakan secara nasional


pada 1984, merupakan Negara endemis difteri dan seiring dengan peningkatan
cakupan imunisasi yang mencapai UCI (Universal Child Immunization) pada 1990,
jumlah kasus difteri menurun bahkan di beberapa provinsi tidak ditemukan lagi.
Incidence rate tahun 1989 mencapai 0.46 – 0.8 per 10,000 penduduk dan menurun
dari tahun ke tahun sebagai berikut pada 1993: 0.1 – 0.2 dan 1996: 0.03 – 0.1,
namun pada tahun 2000 terjadi peningkatan kasus di provinsi Jawa Timur, Jawa
Tengah, Jawa Barat, Sumatera Utara, dan Kalimantan Selatan. (Buku Data Subdit
surveilans tahun 1989-2000). Sejak tahun 2002 – 2009, jumlah kasus difteri di
Indonesia mencapai paling rendah namun jumlah kasus kembali meningkat dari
tahun 2010 (432 kasus) hingga puncaknya pada tahun 2012 (1.192 kasus) Case
fatality rate dengan kisaran 3 – 10% dan sebagian besar kasus terjadi di provinsi
jawa timur. (Laporan data surveilans PD3I Subdit Surveilans tahun 2012).

Pada tahun 2014 jumlah kasus difteri di dunia sebesar 7347 meningkat dari
tahun 2013 yang berjumlah 4680 kasus. Kenaikan yang sangat signifikan berasal
dari region SEAR, yang pada tahun 2013 sejumlah 4080 menjadi 7217 pada tahun
2014. Dengan kata lain 98% kasus difteri di dunia berasal dari SEAR pada tahun
2014. Jumlah kasus difteri di Indonesia sebesar 775 pada tahun 2013 (19% dari total
kasus SEAR) menurun menjadi 430 pada tahun 2014 (6% dari total kasus SEAR).

3
Penurunan ini terjadi karena telah dilakukan upaya Outbreak Response
Immunization di daerah yang terjadi KLB dan penguatan imunisasi rutin.

b. Epidemiologi Penyakit
Penyakit Difteri adalah penyakit infeksi akut yang disebabkan oleh
Corynebacterium diphtheriae, ditandai dengan respon inflamasi pada tempat infeksi .
Corynebacterium diphheriae termasuk bakteri batang gram positif, tidak bergerak,
tidak membentuk spora, dan bersifat aerobe. Bentuknya seperti palu (pembesaran
pada salah satu atau kedua ujung) dengan diameter 0,1-1µm dan panjangnya
beberapa µm. Corynebacterium diphtheriae adalah spesies utama penyebab
penyakit pada manusia dari genus Corynebacterium . (WHO/ V & B/ 03.02/2003).

C.diphtheriae dibedakan menjadi 4 biotipe/subtipe berdasarkan kultur dan


reaksi biokimia, yaitu gravis, mitis, intermedius dan belfanti. Focal infeksi biasanya
berada ditenggorokan akan tetapi bakteri penyebab difteri dapat menghasilkan
eksotoksin yang dapat menyebar ke seluruh tubuh dan meyebabkan kerusakan
jaringan yang terkena, terutama sel jantung dan syaraf. Bakteri dapat hidup pada
selaput mukosa tenggorokan manusia tanpa menimbulkan gejala penyakit yang
disebut carrier. Pada carrier, bakteri dapat bertahan hingga 6 bulan. Pada masa non
epidemi ditemukan carrier rate sebesar 0,5% - 1,2% dari penduduk.

C.diphtheriae juga dibedakan berdasarkan sifat toksigenisitas atau


kemampuannya dalam memproduksi toksin difteri. Jenis bakteri yang mampu
memproduksi toksin disebut strain toksigenik, sementara yang tidak memproduksi
toksin disebut strain non-toksigenik. Strain yang mulanya nontoksigenik bisa menjadi
toksigenik, jika strain tersebut terinfeksi virus yang spesifik atau bakteriofaga,
sehingga strain tadi mengeluarkan toksin yang menyebabkan sakit dan kematian.
Selain C.dipththeriae, keberadaan spesies lain (C.ulcerans dan
C.pseudotuberculosis) perlu diperhatikan karena kedua spesies tersebut bisa
bersifat toksigenik dan dapat menyebabkan penyakit yang meyerupai difteri.

Kelompok risiko terserang difteri adalah anak-anak dan orang lanjut usia, tapi
saat ini terjadi perubahan epidemiologi dimana difteri juga sering terjadi pada orang
dewasa. Sebelum umur 1 tahun, anak-anak masih mendapat perlindungan pasif dari
antibodi ibunya. Faktor risiko yang mendasari terjadinya infeksi difteri adalah
menurunnya imunitas yang disebabkan karena imunisasi pada waktu bayi tidak
lengkap,pemberian imunisasi sebelum waktunya dan penurunan potensi vaksin.

Sumber penyakit adalah manusia (penderita atau carrier)

4
Cara penularan :
Penyakit ini mudah menyebar melalui droplet dan kontak langsung dengan penderita
atau karrier, termasuk hubungan seksual. Difteri juga dapat ditularkan secara tidak
langsung melalui barang-barang yang terkontaminasi.

Masa inkubasi penyakit 2 – 5 hari, tapi penderita dapat menularkan penyakit ke


orang lain 2-4 minggu sejak masa inkubasi, sedangkan masa penularan carrier bisa
sampai 6 bulan.

Pathogenesis :
yang diserang terutama saluran pernafasan bagian atas. Ciri khas dari penyakit
Difteri ini adalah pembengkakan di daerah tenggorokan dan terbentuknya membran
putih keabu-abuan (pseudomembrane) yang sukar diangkat dan mudah berdarah
sebagai tempat bersarangnya kuman difteri. Kuman-kuman ini mengeluarkan
eksotoksin yang memberikan gejala-gejala umum maupun gejala lokal serta dapat
menyebabkan komplikasi seperti kelumpuhan otot dan myocarditis.

Gejala Klinis :
- Demam suhu lebih kurang 38 oC
- Ada pseudomembrane putih keabu-abuan, tak mudah lepas dan mudah
berdarah. Letak pseudomembrane bisa di pharynx, larynx atau tonsil.
- Sakit waktu menelan.
- Leher membengkak seperti leher sapi (bullneck), disebabkan karena
pembengkakan kelenjar leher.
- Sesak nafas disertai bunyi (stridor).

Anak dengan bullneck karena infeksi difteri

5
A B

D
C

Bakteri Difteri dapat menyerang antara lain :


a. Tenggorokan (laryng,faryng dan tonsil)
b. Mata.
c. Alat kelamin
d. Kulit (Bibir)

c. Aspek Imunisasi
Bayi baru lahir mempunyai kekebalan terhadap penyakit difteri yang diturunkan dari
ibunya selama kurang lebih 2 bulan. Setelah itu diperlukan pemberian imunisasi
secara aktif untuk memberi perlindungan terhadap difteri jangka panjang. Imunisasi
DPT-HB-Hib diberikan pada bayi sebanyak 3 dosis untuk dapat menimbulkan
antibodi yang protektif (> 0,1 IU/ml). Pemberian imunisasi pada bayi dimulai pada
usia 2 bulan dengan interval minimal 4 minggu. Selanjutnya perlu diberikan

6
imunisasi lanjutan (booster) pada usia 18 bulan karena telah terjadi penurunan
tingkat antibodi pada usia tersebut. Imunisasi lanjutan (booster) juga masih perlu
diberikan pada anak sekolah dasar, serta booster berikutnya setiap 10 tahun
kemudian. (Immunoligical bassis for immunization series-modul 2 : Diftheria update
2009 dan WHO Position Paper 2006).

d. Pengertian
1. Difteri klinis adalah: Demam yang disertai dengan sakit menelan (laryngitis,
pharyngitis, tonsilitis) dan adanya selaput putih keabu-abuan yang melekat
dan bila diangkat mudah berdarah. (WHO, Recomended standart
surveillance, 2003)

2. Klasifikasi kasus difteri :


a. Kasus Probabel
Kasus yang memenuhi kriteria klinis

b. Kasus Konfirmasi Laboratorium


Kasus probabel yang laboratoriumnya positif atau ada hubungan
epideiologi dengan kasus konform.

FLOW CHART KLASIFIKASI DIFTERI

Klinis Difteri

Pemeriksaaan lab
kultur spesimen Tanpa Pemeriksaaan
lab kultur spesimen

Hasil Lab(-)
Hasil Lab(+)
Tidak Ada link Ada link
Tidak Ada Kasus Epid dg kasus Epid
link Epid Probable konfirmasi lab

Ada link Epid


dg kasus
konfirmasi lab
Kasus Konfirmasi

7
3. Kontak kasus :
Adalah orang serumah, teman bermain, teman sekolah, termasuk guru dan
teman kerja.

4. Carrier :
Adalah orang yang tidak menunjukkan gejala klinis, tetapi hasil pemeriksaan
laboratorium positif C Diphteri.

8
BAB II

TUJUAN,KEBIJAKAN DAN STRATEGI SURVEILANS

A. TUJUAN

1. Tujuan Umum
Melakukan deteksi dini dan pengendalian terhadap penyakit difteri.

2. Tujuan Khusus
a. Terdeteksinya kasus difteri secara dini
b. Terlaksananya Penyelidikan Epidemiologi setiap KLB difteri dan konfirmasi
laboratorium
c. Terlaksananya analisa data difteri berdasarkan variabel epidemiologi yang
meliputi waktu, tempat kejadian dan orang di setiap tingkat administrasi
kesehatan, sebagai bahan monitoring dampak program imunisasi difteri
d. Terdisseminasinya hasil analisis kepada unit terkait
e. Terwujudnya pengambilan keputusan untuk pengendalian penyakit difteri.

B. KEBIJAKAN DAN STRATEGI


1. Kebijakan
a. Difteri merupakan jenis penyakit menular tertentu yang dapat menimbulkan
KLB/Wabah seperti tercantum dalam Permenkes 1501 tahun 2010.
b. Setiap satu kasus difteri dinyatakan Kejadian Luar Biasa (KLB) dan harus
dilakukan penyeledikan dan penanggulangan sesegera mungkin untuk
menghentikan penularan dan menurunkan angka kematian.

2. Strategi
a. Diseminasi dan informasi tentang penyakit difteri
b. Semua kasus Difteri harus dilakukan penyelidikan epidemiologi
c. Melakukan pemantauan harian surveilans berbasis kejadian (Event base
Surveilans)
d. Penemuan dan penatalaksanaan kasus Difteri secara dini
e. Semua kasus difteri dirujuk ke Rumah Sakit untuk mendapatkan tindakan
secara cepat dan tepat.
f. Mengambil dan memeriksa spesimen pada kasus dan kontak.
g. Menghentikan transmisi Difteri dengan cara pengbatan penderita, pemberian
profilaksis terhadap kontak dan pemberian imunisasi (ORI) pada yang
berisiko
h. Meningkatkan cakupan imunisasi dasar dan booster.
i. Menganalisa data sebagai dasar rekomendasi dalam pengendalian penyakit
difteri

9
BAB III
KEGIATAN SURVEILANS DIFTERI

Kegiatan surveilans dilaksanakan di semua tingkat mulai dari puskesmas, Rumah


Sakit, kabupaten/kota dan provinsi.

A. Tingkat Puskesmas :

1. Penemuan kasus
 Kasus difteri dapat ditemukan di pelayanan statis maupun kunjungan
lapangan di wilayah kerja Puskesmas.
 Setiap kasus difteri yang ditemukan dilakukan investigasi dengan format
individual (Format penyelidikan difteri, lampiran 1).
 Penderita dirujuk ke RS untuk mendapatkan pengobatan lebih lanjut dan
dilakukan pencarian kasus tambahan dan karier .

2. Pengambilan dan pengeriman spesimen


Setiap kasus difteri harus dilakukan konfirmasi laboratorium. Pengambilan
sampel difteri dilakukan oleh petugas kesehatan terlatih. Untuk tatacara
Pengambilan dan pengiriman spesimen, dapat dilihat pada bab laboratorium
surveilans Difteri.

3. Pencatatan dan Pelaporan


a. Setiap kasus di laporkan sebagai KLB dalam waktu 1 x 24 jam dengan
menggunakan format W1 dan dicatat pada format list kasus (format
lampiran 2) dan dilaporkan ke dinas kesehatan kab/kota atau dientri ke
dalam system pencatatan dan pelaporan PD3I berbasis web.
b. Hasil laboratorium dicatat pada format list kasus individu.
c. Setiap minggu dibuat rekapitulasi jumlah kasus yang menggunakan format
W2/PWS KLB/EWARS dan terintegrasi dengan penyakit potensial KLB
lainnya serta dilaporkan Ke Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota sebagai alat
SKD KLB.
d. Setiap bulan dibuat rekapitulasi jumlah kasus yang menggunakan format
laporan integrasi PD3I (format PD3I terintegrasi, lampiran 3) dan
dilaporkan setiap tanggal 5 bulan berikutnya ke dinas kesehatan kab/kotat
dengan melampirkan format list kasus.

4. Pengolahan, analisa data dan rekomendasi.


a. Setiap minggu dilakukan analisa data untuk mengetahui adanya
peningkatan kasus berdasarkan wilayah kejadian.
b. Setiap bulan dibuat rekapitulasi dan penyajian data menurut variable
epidemiologi. ( contoh analisa dan penyajian data terlampir).
c. Hasil kajian di pergunakan untuk menentukan rencana tindak lanjut
program surveilans dan imunisasi.

10
5. Umpan balik
Memberikan hasil kajian setiap bulan kepada pihak terkait:
a. Puskesmas pembantu
b. Poliklinik desa
c. Praktek swasta
d. Lintas sektor terkait ( Kepala Desa, Camat dll)

B. Rumah Sakit

1. Penemuan kasus
a. Kasus difteri dapat ditemukan oleh dokter atau tenaga kesehataan lainnya
yang merawat kasus di rumah sakit,
b. Penemuan kasus juga dapat dilakukan oleh petugas kabupaten dan
kontak person rumah sakit saat pelaksanaan surveilans akitf rumah sakit..
c. Setiap kasus difteri yang ditemukan di Rumah Sakit dilaporkan ke Dinas
Kesehatan Kabupaten/Kota melalui telpon/SMS.

2. Tata Laksana Kasus


a. Kasus difteri sebaiknya di rawat dalam ruang terpisah dengan penderita
lain.
b. lakukan pengambilan spesimen oleh laboratorium rumah sakit atau tenaga
kesehatan yang terlatih sesegera mungkin sebelum diberikan antibiotik.
Tatacara Pengambilan dan pemeriksaan spesimen, dapat dilihat pada bab
laboratorium surveilans Difteri.
c. Pengobatan penderita :
 Pemberian Anti Difteri Serum (ADS) didahului dengan test sensitifitas.
Dengan dosis pemberian berdasarkan kondisi penyakit sebagai
berikut :

 Antibiotik pilihan adalah erythomicyn dengan dosis 40 - 50 mg/kg


BB/hari maksimal 2 gram perhari yang bagi dalam 4 dosis diberikan
selama 14 hari

11
 Antibiotik alternatif adalah Penicillin
 Tindakan tracheostomi bila diperlukan
 Tirah rebah minimal 2 – 3 minggu
 Diet makanan lunak dan kalori tinggi
 Pemberian imunisasi pada penderita di berikan minimal 4 minggu
setelah pemberian ADS. Jenis vaksin disesuai dengan usia penderita.
DPT pada anak usia < 3 tahun, DT anak usia 3-7 tahun dan Td > 7
tahun (tanpa melihat status imunisasi sebelumnya).

3. Pencatatan dan Pelaporan


Setiap kasus difteri yang ditemukan dicatat kedalam format list kasus individu
(format terlampir) dan dibuat rekapitulasi pada formulir STP RS kemudian ke
dua format tersebut dilaporkan setiap bulan ke Dinas kesehatan
Kabupaten/kota atau dientri ke dalam system pencatatan dan pelaporan
PD3I berbasis web.

C. Di Kabupaten :

1. Penemuan kasus
a. Setiap minggu petugas dinas kesehatan kabupaten/kota mengunjungi
rumah sakit di wilayah kerjanya untuk mencari dan menemukan secara
aktif kasus difteri (diintegrasikan Surveilans AFP dan PD3I lainnya).
b. Setiap kasus difteri yang dilaporkan dari rumah sakit segera
diinformasikan ke puskesmas untuk dilakukan investigasi dan pencarian
kasus tambahan dan karier .

2. Pencatatan dan pelaporan


a. Melakukan kompilasi list kasus individu dari puskesmas dan Rumah Sakit
yang dilaporkan secara berjenjang ke pusat atau dientri ke dalam system
pencatatan dan pelaporan PD3I berbasis web.
b. Melakukan rekapitulasi laporan kasus difteri dari puskesmas dan Rumah
Sakit dalam bentuk agregat ke dalam format integrasi (terlampir) dan
dilaporkan secara berjenjang ke pusat .

3. Pengolahan, analisa data dan rekomendasi.


a. Setiap minggu dilakukan analisa data untuk mengetahui adanya
peningkatan kasus berdasarkan wilayah kejadian.
b. Setiap bulan dibuat penyajian data menurut variable epidemiologi.
( contoh analisa dan penyajian data terlampir).
c. Membuat rekomendasi dan tindak lanjut berdasarkan hasil kajian data
epidemiologi.

12
4. Umpan balik
Memberikan hasil kajian minimal setiap 3 bulan kepada pihak terkait:
a. Puskesmas
b. Rumah Sakit/Poli klinik
c. Lintas program dan sektor terkait

D. Provinsi :

1. Pencatatan dan pelaporan


a. Melakukan kompilasi list kasus individu dari Dinas Kesehatan Kab/Kota yang
dilaporkan ke pusat.
b. Melakukan rekapitulasi laporan kasus difteri Dinas Kesehatan Kab/Kota dalam
bentuk agregat ke dalam format integrasi (terlampir) dan dilaporkan secara
berjenjang ke pusat .
c. Kedua laporan diatas di unduh pada system pencatatan dan pelaporan PD3I
berbasis web.

2. Pengolahan, analisa data dan rekomendasi.


a. Setiap bulan dilakukan analisa dan penyajian data untuk mengetahui adanya
peningkatan atau penurunan kasus menurut variable epidemiologi
berdasarkan wilayah kejadian.
b. Membuat rekomendasi dan tindak lanjut berdasarkan hasil kajian data
epidemiologi.

3. Umpan balik
Memberikan hasil kajian minimal setiap 3 bulan kepada pihak terkait:
a. Kabupaten/Kota
b. Lintas program dan sektor terkait

E. Pusat :

1. Pencatatan dan pelaporan


a. Melakukan entri data kasus individu dari Dinas Kesehatan provinsi yang
dilaporkan ke pusat.
b. Melakukan rekapitulasi laporan kasus difteri Dinas Kesehatan provinsi dalam
bentuk agregat ke dalam format integrasi (terlampir) dan dilaporkan ke WHO
Regional Asia Tenggara .
c. Kedua laporan diatas di unduh pada system pencatatan dan pelaporan PD3I
berbasis web.

2. Pengolahan, analisa data dan rekomendasi.


a. Setiap bulan dilakukan analisa dan penyajian data untuk mengetahui adanya
peningkatan atau penurunan kasus menurut variable epidemiologi
berdasarkan wilayah kejadian.

13
b. Membuat rekomendasi dan tindak lanjut berdasarkan hasil kajian data
epidemiologi.

3. Umpan balik
Memberikan hasil kajian minimal setiap bulan kepada provinsi.

4. Diseminasi Informasi
Memberikan hasil kajian berdasarkan data epidemiologi minimal 3 bulan sekali
kepada lintas program antara lain imunisasi, KIA, Pusdatin, KKP dan sektor
terkait, seperti organisasi profesi kesehatan, Departemen Dalam Negeri dan lain-
lain.

ALUR PELAPORAN DIFTERI

14
BAB IV
KLB DIFTERI DAN PENANGGULANGANNNYA

A. Definisi Operasional KLB


Suatu wilayah dinyatakan KLB Difteri jika ditemukan 1 kasus difteri klinis di RS,
puskesmas maupun di masyarakat yang dilaporkan secara berjenjang dan dilakukan
penyelidikan epidemiologi dalam waktu 1 x 24 jam.

B. Langkah-langkah Penyelidikan Epidemiologi KLB


1. Pelacakan kasus
a. Melakukan kunjungan penderita untuk memastikan kasus difteri sesuai
dengan definisi klinis.
b. Bila kasus memenuhi definisi klinisi maka format penyelidikan KLB diisi
sesuai data penderita. (format terlampir)
2. Melakukan indentifikasi kontak erat pada setiap kasus sejak mulai masa inkubasi
untuk mencari kasus tambahan dan karier.
a. Kontak serumah/sekolah/tetangga
Kontak didata dengan menggunakan form pelacakan difteri. Kontak dengan
gejala paringitis/tonsilitis/laringitis diambil apusan tenggorokan dan apusan
hidung dan dirujuk ke Rumah Sakit. Bagi yang tidak mempunyai gejala hanya
diambil apusan hidung.
b. Guru sekolah dapat dimintakan bantuan melakukan pengamatan terhadap
anak sekolah yang menunjukkan gejala agar segera melaporkan ke petugas
kesehatan.
3. Pengambilan dan pengiriman spesimen terhadap kasus, kasus tambahan dan
kontak. Cara pengambilan dan pengiriman spesimen dapat dilihat pada bab
laboratorium.
4. Identifikasi cakupan imunisasi selama 3 tahun terakhir :
a. Immunisasi Dasar (usia 0-11 bulan)
b. Immunisasi Lanjutan (usia 18-24 bulan)
c. Immunisasi anak sekolah
5. Lakukan pemeriksaan terhadap penyimpanan vaksin antara lain monitoring
suhu dan tata cara penyimpanan.
6. Pengolahan dan analisa hasil Penyelidikan Epidemiologi untuk menentukan
tindakan penanggulangan KLB.

C. Penanggulangan KLB
Sesuai Permenkes 1501/2010 tentang Jenis Penyakit Menular Tertentu Yang Dapat
Menimbulkan Wabah Dan Upaya Penanggulangan, upaya penanggulangan KLB
dibebankan pada anggaran pemerintah daerah. Dalam keadaan KLB, pemerintah
dan pemerintah daerah wajib menyediakan perbekalan kesehatan meliputi bahan,
alat, obat, dan vaksin serta bahan/alat pendukung lainnya.

15
Dalam hal KLB Difteri alat dan bahan yang dimaksud termasuk ADS, media Amies,
antibiotik serta bahan/alat pendukung lainnya.

Pengobatan penderita, karier dan kontak untuk mencegah komplikasi dan


menghilangkan sumber penularan.
1. Pengobatan penderita, lihat tatalaksana kasus di Rumah Sakit.
2. Pemberian profilaksis pada kontak dan karier dengan antibiotik pilihan
erytromicin dengan dosis 40 - 50 mg/kg BB/hari maksimal 2 gram perhari yang
diberikan selama 7-10 hari. Dilakukan pengambilan spesimen ulang setelah
selesai profilaksis, jika ditemukan masih positif maka profilaksis dilanjut satu kali
periode (7-10 hari), bila tetap positif maka di lakukan test resistensi untuk
menentukan jenis antibiotik yang sesuai.
3. Berikan penjelasan cara minum obat dan efek samping obat, obat diminum
setelah makan untuk menghindari iritasi lambung yang merupakan efek samping
obat.
4. Diperlukan 1 orang yang akan memantau dalam minum obat untuk setiap
kelompok kontak erat (PMO).
5. Respon cepat pemberian imunisasi (ORI) untuk memberikan perlindungan pada
kelompok masyarakat rentan dalam rangka memutus rantai penularan.
a. Sasaran imunisasi adalah anak usia 1-15 tahun atau usia tertinggi kasus
terjadi, dengan jenis vaksin berdasarkan kelompok umur sebagai berikut:
 Umur 2 bulan s.d 3 tahun diberikan vaksin DPT-HB-Hib
 Umur > 3 tahun s.d 7 tahun diberikan vaksin DT
 Umur > 7 tahun diberikan vaksin Td
b. Respon immunisasi dapat dilakukan dengan dua strategi : Untuk wilayah di
sekitar KLB / berdasarkan hasil cakupan maka dilakukan respon imunisasi
i. Immunisasi masal bila cakupan immunisasi dasar DPT-HB <90% berturut-
turut selama 3 tahun terakhir, dilaksanakan sebanyak 3 putaran dengan
interval 1 bulan.
ii. Imunisasi selektif bila cakupan immunisasi dasar DPT-HB >90% dilakukan
bagi sasaran yang belum mendapatkan imunisasi lengkap sesuai dengan
usia dengan ketentuan sebagai berikut :
 Pada semua usia, bila status imunisasi dasar diketahui < 3 dosis,
maka segera lengkapi dosis imunisasi difteri (3 dosis).
 Anak usia  18 bulan, bila status imunisasi dasar diketahui sudah
lengkap imunisasi dasar 3 dosis tetapi belum mendapatkan imunisasi
booster, maka diberikan 1 dosis sebagai booster.
 Interval waktu pemberian 3 dosis imunisasi:
- Pada usia < 1 tahun: antara dosis pertama - kedua dan dosis kedua –
ketiga interval 1 bulan.
- Pada usia > 1 tahun: antara dosis pertama – kedua interval 1 bulan dan
dosis kedua – ketiga interval 6 bulan.

c. Penguatan imunisasi rutin bagi bayi dan batita

16
BAB V
PEMBERIAN NOMOR EPID KASUS INDIVIDU DAN KLB

Nomor EPID adalah suatu nomor - kode bagi setiap kasus Difteri dan ditentukan
sesuai dengan tata-cara penentuan nomor EPID.

Tujuan pemberian nomor EPID


 Memberikan kode identitas bagi setiap kasus difteri untuk kepentingan pencatatan
pelaporan dan pengelolaan spesimen.
 Untuk menghubungkan data klinis, epidemiologis, demografis dan laboratorium.
 Menghindari kemungkinan duplikasi dalam pencatatan dan pelaporan kasus Difteri.

Pemberian Nomor Epid Kasus Individu di Puskesmas


Setiap kasus difteri diberi nomer Epid di tingkat puskesmas, yang didahului dengan
inisial huruf D. Pemberian nomor Epid berurutan selama 1 tahun, dan pada tahun
berikutnya penomoran dimulai kembali dari nomor satu.

Cara penulisan nomor Epid sebagai berikut :


 Digit 1 kode D
 Digit 2 dan 3 kode provinsi
 Digit 4 dan 5 kode kabupaten/kota
 Digit 6,7 dan 8 kode puskesmas di kabupaten/kota tersebut
 Digit 9 dan 10 kode tahun
 Digit 11 dan 12 kode nomor urut

Contoh:
Provinsi Nangroe Aceh Darussalam, kota Banda Aceh, puskesmas X dilaporkan
kasus pertama difteri tahun 2015 maka penomoran Epidnya adalah sebagai berikut :
D01020011501

Pemberian Nomor Epid Kasus Individu di Rumah Sakit


Nomor EPID kasus difteri yang dilaporkan rumah sakit diberikan oleh Kabupaten
sesuai dengan wilayah puskesmas asal kasus.

Kode penderita dimulai dengan “nomor 001” pada setiap tahun.

17
BAB VI
LABORATORIUM SURVEILANS DIFTERI

a. Peran dan Fungsi laboratorium


1. Membantu menegakkan diagnosis pasti dengan pemeriksaan kultur difteri :
ditemukan Corynebacterium diphtheriae
2. Menentukan tipe difteri : C.diphtheriae tipe gravis, Intermedius dan mitis
3. Menentukan toksigenitas difteri : penentuan toksigenitas dilakukan
menggunakan metode PCR atau elek test

b. Penatalaksanaan Spesimen Laboratorium


Penatalaksanaan spesimen laboratorium mulai dari pengambilan, penyimpanan
dan pengiriman spesimen.

1. Prinsip pengumpulan spesimen


Prinsip keberhasilan pemeriksaan bakteriologi sangat ditentukan dari teknik
Pengambilan, penggunaan media transport , penyimpanan dan pengiriman
spesimen. Idealnya pengambilan spesimen dilakukan oleh tenaga kesehatan
yang terlatih. Jenis sampel spesimen difteri berupa swab tenggorok dengan
metode pemeriksaan difteri berupa pewarnaan, kultur dan isolasi, uji biokimia, uji
toksigenitas dengan metode PCR dan elek test dan uji serologi.

Beberapa hal yang harus diperhatikan dalam pengambilan spesimen difteri


adalah :
a. Pengambilan spesimen swab tenggorok dilakukan sebelum pemberian
antibiotika. Bila pemberian antibiotika telah dilakukan maka harus diberikan
keterangan pada surat pengantar.
b. Spesimen berupa swab tenggorok yang telah diambil harus segera dikultur pada
media agar darah dan media CTBA (Cystine Tellurite Blood Agar ), atau jika
ditunda dapat menggunakan media transport amies atau silica gel packed.
c. Penggunaan media amies yang telah berisi spesimen swab tenggorok dapat
bertahan selama 48 jam, sedangkan penggunaan silica gel packed swab dapat
bertahan sampai 2 minggu pada suhu kamar.

18
Media amies secara komersial

Amies swab tanpa charcoal Amies swab dengan charcoal

Gambar media amies transport komersial ( Sumber Copan, Advanced Swab


Transport System For Microbiology)

d. Labeling : wadah spesimen harus disertai label identitas yang jelas

2. Persiapan pengambilan specimen.


Bahan dan peralatan yang di perlukan untuk pengambilan spesimen dilapangan:
a. Peralatan Pelindung diri (APD)
 Jas Lab
 Sarung tangan
 Masker
 Tutup Kepala (jika diperlukan)
 Kantong Biohazard
 Desinfektan (alkohol 70%)
b. Peralatan Pengambilan Spesimen
 Media Transport ( Medium Amies atau silica gel packed )
 Tabung berisi media loeffler agar /CTBA
 Kotak cryo vial
 Swab kapas steril (terbuat dari polyester )
 Spatula
c. Pengiriman Spesimen
 Kotak pendingin (cool box) dan Ice pack
 Ice Pack
 Cool Box
 Label Pengiriman
 Gunting

3. Jenis spesimen pemeriksaan


a. Usap Tenggorok (Throat swab)
b. Usap Luka ( Wound swab ) jika diduga merupakan sumber penularan

19
4. Cara pengambilan specimen

a. Usap tenggorok :
 Siapkan Transport media Amies dan swab steril
 Penderita duduk (kalau anak-anak dipangku) atau tidur, kepala ditengadahkan
sampai muka menghadap keatas.
 Penderita diminta membuka mulut, pastikan bahwa pharing jelas terlihat dan
lidah ditekan dengan spatel
 Masukkan swab steril hingga menyentuh dinding belakang faring. Usap kekiri
dan kanan dinding belakang faring dan tonsil sambil ditekan. Jika ada
pseudomembran ambil sampel sambil ditekan di lokasi bagian pinggiran
pseudomembran (bagian inflamasi) lalu tarik keluar dengan hati-hati, tanpa
menyentuh bagian mulut yang lain.
 Masukkan swab kapas ke dalam media transport amies atau transport media
alternatif (slicagel packed media)

Gambar Swab Tenggorok ( sumber : PARN /www.parn.org.pk )

Gambar Posisi pengambilan swab Tenggorok / swab nasopharing pada anak (


Sumber : Manual for the Laboratory Identification and Antimcrobial , WHO )

20
b. Usap luka ( wound swab )
 Sebelum dilakukan swab luka, luka jangan dibersihkan terlebih dahulu untuk
mendapatkan jumlah spesimen yang cukup dan organisme yang maksimal
 Lakukan swab luka pada daerah yang dicurigai, putar swab searah jarum jam
sekali saja, Lalu tarik kapas swab dengan hati-hati ,masukkan ke dalam media
transport amies atau transport media alternatif alternatif (slicagel packed
media)

Gambar usap luka (Sumber: Val Dimmock , Collection of Spesimens /swabs )

5. Labeling spesimen.
Labeling ( pemberian label/etiket)
Tiap spesimen yang diambil harus diberi label /etiket yaitu dengan label nama
penderita

6. Penyimpanan.
Apabila sampel swab tenggorokan tidak segera diperiksa dalam 2 jam maka didalam
transport media harus disimpan pada suhu 2-8°C.di lemari es (refrigerator).

7. Pengemasan dan pengiriman spesimen


a. Pengemasan.
o Tutup tabung Amies media yang berisi usap tenggorok.
 Masing-masing tabung dibungkus tissue kemudian dimasukkan dalam kantung
plastik klip atau dapat disusun rapi posisi tegak lurus dalam kotak cryo vial/
rak tabung.
 Disusun rapi dalam boks es (cool box) dan antara tabung spesimen diberi
sekat dengan kertas koran/stereo form untuk menghindarkan benturan selama
perjalanan. Waktu pengemasan harus diperhatikan posisi spesimen ( bagian
atas dan bawahnya), jangan sampai terbalik. Jangan ada celah antara tabung.
Kotak pengiriman sebaiknya terdiri dari 2 buah kotak yang berfungsi sebagai
kotak primer dan kotak sekunder dan bagian luar kotak diberi label alamat

21
pengirim dan alamat yang dituju dengan lengkap, dan label tanda jangan
dibalik.
 Disertakan juga dokumen pendukung data formulir kontak dan data investigasi
serta formulir W1.
 Untuk spesimen dengan menggunakan Media slicagel packed dapat
dikirimkan pada suhu kamar (Tanpa menggunakan Ice Pack) dengan
menggunakan coolbox yang sama.

Contoh pengepakan menurut WHO

Gambar pengepakan ( sumber : Laboratory Biosafety Manual, WH

Untuk pengemasan dan pengiriman spesimen difteri dapat juga dilakukan dengan
menyesuaikan kondisi yang ada tanpa mengurangi prinsip makna pengiriman
spesimen tersebut seperti contoh di bawah ini.

c. Pemeriksaan Laboratorium
Secara umum tahapan pemeriksaan dibagi menjadi beberapa tahap, yaitu kultur,
Mikroskopis, biokimia dan toksigenisitas. Pemeriksaan tambahan dapat berupa
serologi, resistensi dan molecular typing.

d. Pengiriman Hasil Laboratorium

Laporan tentang hasil segera dikirimkan ke instansi pengirim, untuk ditindak lanjuti
oleh Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota, Dinas Kesehatan Propinsi, Subdit
Surveilans dan subdit terkait Ditjen P2PL melalui fax/e-mail/pos/SMS.

22
e. Jejaring Lab nasional dan wilayah pelayanan pemeriksaan

Pemeriksaan kultur dan isolasi corynebacterium diphtheriae, Toksigenitas dengan


PCR dan Elek test serta serologi dapat dilakukan.

1. Laboratorium Pusat Penyakit Infeksi - Pusat Biomedis dan Teknologi Dasar


Kesehatan, Badan Litbangkes Kemenkes, Jakarta
Jl. Percetakan Negara No.23a
Jakarta 10560
Telp./Fax. (021) 4288 1745 / 4288 1754

2. Balai Besar Laboratorium Kesehatan (BBLK), Surabaya


Jl. Karang Menjangan Surabaya
Telp./Fax (021) 31 5020388, 5341451

3. Laboratorium provinsi yang mempunyai kemampuan pemeriksaan difteri

23
Lampiran 1
KUESIONER INVESTIGASI KLB DIFTERI

:
NO. STATUS : KASUS /
…………………………
KUESIONER RESPONDEN KONTAK
….
: :
DESA ………………………… PUSKESMAS ………………………
…. …….
: :
KECAMATAN ………………………… KABUPATEN ………………………
…. …….

DATA
I.
UMUM
NAMA :……………………… UMUR :………. TAHUN ……
1
L/P BULAN
BELUM SEKOLAH / TK / SD / SLTP / SLTA / PT / TDK
3 SEKOLAH
SEKOLAH
JIKA : NAMA SEKOLAH :…………… ALAMAT : JL.
SEKOLAH ………….……………
: BELUM BEKERJA / PETANI / BURUH / PNS / ABRI /
4 PEKERJAAN LAIN LAIN
JIKA : NAMA TEMPAT KERJA :……….……………. ALAMAT : JL.
BEKERJA ……….…………
NAMA ORANG
5 TUA ……………………………………………….
6 ALAMAT RUMAH JLN. ………………………………………….. RT. … RW. ……
KEL./ DESA …………………………. KECAMATAN
…………………………

II. RIWAYAT PENYAKIT


1 TGL. MULAI SAKIT : ………………………..
KELUHAN UTAMA (YANG MENDORONG UNTUK BEROBAT) :
2
…………………………………….
A. DEMAM / PANAS YA/ TIDAK
B. SAKIT KERONGKONGAN / SAKIT
YA/ TIDAK
MENELAN
GEJALA / KELUHAN C. KESELAK (SALAH TELAN KALAU YA/ TIDAK
3 MENELAN)
DAN TANDA :
D. LEHER BENGKAK / BULNEC YA/ TIDAK
E. SESAK NAFAS YA/ TIDAK
F.PSEUDOMEMBRAN YA/ TIDAK

24
4 STATUS IMUNISASI TERHADAP DIPHTERI ( DPT/ DT ) :
B. SUDAH, BERAPA KALI : ………. C. TIDAK
A. BELUM PERNAH
TAHUN ………. TAHU

JENIS SPESIMEN YANG A. TENGGOROKAN B. HIDUNG C. KEDUA


5
DIAMBIL : DUANYA

TANGGAL PENGAMBILAN SPESIMEN : NO. KODE SPESIMEN :


6
……………… ………………..

III. RIWAYAT PENGOBATAN


1 PENDERITA BEROBAT KE :
A. RUMAH SAKIT DI RAWAT : YA/ TIDAK TRACHEATOMI : YA/ TIDAK
B. PUSKESMAS DI RAWAT : YA/ TIDAK
C. DOKTER PRAKTEK SWASTA D. PERAWAT/ MANTRI / BIDAN E. TIDAK BEROBAT
2 ANTIBIOTIK ………………… OBAT LAIN : ………………………..
ADS YA/TIDAK
2 KONDISI KASUS SAAT INI : A. MASIH SAKIT B. SEMBUH C. MENINGGAL

IV. RIWAYAT KONTAK


I. APAKAH 2 MINGGU SEBELUM SAKIT PERNAH BEPERGIAN YA / TIDAK
BILA YA, KE MANA : . . . . . . . . . . . . . . . .
II. APAKAH 2 MINGGU SEBELUM SAKIT PERNAH BERKUNJUNG KE
RUMAH
TEMAN/SAUDARA YANG SAKIT / MENINGGAL DENGAN GEJALA
YANG SAMA YA / TIDAK
BILA YA, KE MANA : . . . . . . . . . . . . . . . .
III. APAKAH 2 MINGGU SEBELUM SAKIT PERNAH MENERIMA TAMU
YANG
SAKIT DENGAN GEJALA YANG SAMA YA / TIDAK
BILA YA, DARI MANA : . . . . . . . . . . . . . . . .
VI. KONTAK KASUS *

HUB DG STATUS HASIL


NAMA/UMUR PROFILAKSIS
KASUS IMUNISASI LAB
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.

25
Lampiran 2

LIST KASUS DIFTERI KABUPATEN/ KOTA

Bulan : Kabupaten/ kota :


Tahun : Provinsi :

Spesimen
Nomor U m u r Jenis Tgl mulai Vaksin Difteri Sebelum Sakit Hasil Kontak Keadaa
No Nama kelami Alamat (Kec. Dan Desa/ Kel.) sakit Tanggal Klasifikasi
Epidemiologi Tidak / Tdk Ambil Kultur Mikroskop Jumla diambil n Akhir
Thn Bln n (L/P) (demam) Berapa Kali Positif
Tahu Tenggoro Hidun Tenggoro Hidun h spec (swab
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20

Catatan:
Form ini dilaporkan bulanan ada kasus maupun tidak ada kasus dan kasus yang dilaporkan adalah kasu baru
No : Jelas Hasil Pemeriksaan Spesimen : Hasil pemeriksaan laboratorium (Kultur dan Mikroskopis),
Nomorepid : diisi dengan hurup D (difteri), 2 digit Kode provinsi, 2 Digit Kode kab/kota, isi dengan tanda + (positif) dan - (negatif) dikolom hasil
2 Digit tahun kejadian, 3 digit nomor kasus Contoh : D.13.29.11.001 Klasifikasi : Hasil kesimpulan akhir penderita, isi dengan Probabel atau Konfirmasi
( artinya : Kasus pertama di tahun 2011 dari Kabupaten Gresik Provinsi Jawa Timur ) - Probable (WHO 2003) = Faringitis, Laringitis/Tonsilitis dan ditemukan membran
Nama : Jelas yang melekat pada faring/laring atau mucosa hidung
Umur (Tahun) : Umur berdasarkan ulang tahun terkahir (isi dengan angka) - Konfirm (WHO 2003) = Probable yang ditemukan kuman difteria
Umur (Bulan) : Bulan lahir (isi dengan angka) pada pemeriksaan spesimen ATAU ada link epidemiology dengan kasus konfirm.
Jenis kelamin : Jenis kelamin penderita (isi dengan L jika laki-laki dan P jika perempuan) Kontak : Jumlah kontak erat dengan kasus, selama 7 hari sejak kontak terakhir. (isi dengan angka)
Alamat : Alamat tempat tinggal penderita 7 hari sebelum sakit yang terdiri dari Kecamatan dan desa/ kelurahan kontak yang diambil specimen : Jumlah kontak yang diambil spesimennya (isi dengan angka)
Vaksin Difteri : Berapa kali penderita mendapat vaksin difteri (DPT/DT dan Td), tidak mendapat atau tidak tahu Hasil Spesimen Positif kontak : Jumlah kontak yang hasil labnya positif
Tanggal ambil spesimen : Tanggal pengambilan Spesimen Keadaan akhir kasus : isi dengan sehat atau meninggal

Mengetahui,

(.................................................)

26
Lampiran 3

Surveilans Integrasi PD3I (Data Kasus Difteri)

Provinsi :
Month : Januari
Year :
Update :

Kasus Difteri

< 1 tahun 1 - 4 tahun 5 - 9 tahun 10 - 14 tahun > 14 tahun Total


Kode Kab./Kota Nama Kab./Kota

Meningg
Vaksina

Vaksina

Vaksina

Vaksina

Vaksina

Vaksina
Total

Total

Total

Total

Total

Total
al
si

si

si

si

si

si

8. Indikator :
a. Kelengkapan laporan puskesmas (C-1) : ≥ 90%
b. Ketepatan laporan puskesmas : ≥ 80 %
c. Kelengkapan laporan surveilans aktif RS : ≥ 90 %
d. KLB dilakukan penyelidikan : 100 %
e. Dilakukan pemeriksaan laboratorium : 100%

27

Anda mungkin juga menyukai