Anda di halaman 1dari 25

MAKALAH

DIETETIKA PADA PENYAKIT INFEKSI DIFTERI

Disusun guna memenuhi tugas


Mata Kuliah : Dietetika Penyakit Infeksi dan Defisiensi
Dosen Pengampu : Dwi Hartanti, S.Gz, M.Gizi

Disusun Oleh :
1. Eka Nur Azizah (1807026067)
2. Sulis Fitriana (1807026068)
3. Tri Surya Apriliyana (1807026070)
4. Nadia Ulfah (1807026081)
5. Septi Arti Pribadi (1807026084)
6. Mir’atuts Tsaniyyatul (1807026091)
7. Elviana Agustin (1807026092)

Gizi-6C

PROGRAM STUDI GIZI


FAKULTAS PSIKOLOGI DAN KESEHATAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI WALISONGO
SEMARANG
2021
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Difteri adalah salah satu penyakit yang sangat menular yang disebabkan oleh bakteri
gram positif Corynebacterium diptheriae strain toksin. Penyakit ini ditandai dengan
demam tidak tinggi (kurang dari 38,5°C), batuk, nyeri menelan, nyeri tenggorok, dan
peradangan pada tempat infeksi, terutama pada selaput mukosa faring, laring, tonsil,
hidung dan juga kulit yang berwarna putih/keabu-abuan/kehitaman yang akan berdarah
jika diangkat. Pada keadaan yang lebih berat dapat ditandai dengan sesak nafas, stridor
(suara serak atau kasar setiap menarik atau menghembuskan nafas) dan pembengkakan
leher yang tampak seperti leher sapi (bullneck). Kematian karena kasus difteri biasanya
disebabkan karena obstruksi/sumbatan jalan nafas, kerusakan otot jantung, serta kelainan
susunan saraf pusat dan ginjal (Kemenkes RI, 2017).
Penularan terjadi melalui kontak langsung, droplet (percikan ludah) dari batuk, bersin,
muntah atau melalui alat makan. Diagnosis cepat harus segera dilakukan berdasarkan
gejala klinis, laboratorium (swab tenggorok, kultur, atau PCR) untuk penanganan lebih
awal. Tata laksana terdiri dari penggunaan antitoksin spesifik dan eliminasi organisme
penyebab penyakit. Pencegahan penyakit ini dapat dilakukan dengan imunisasi,
pengobatan karier (pengobatan terhadap orang yang tidak menunjukkan gejala difteri,
namun pada kultur swab tenggorok terdapat basil difteri dalam nosafaringnya), dan
penggunaan APD (Hartoyo, 2018)
Pada tahun 2014, jumlah kasus difteri 296 kasus dengan kasus meninggal sebanyak
16 orang dengan Case Fatality Rate (CFR) atau angka kematian akibat difteri 4%.
Sementara pada tahun 2015 terdapat 252 kasus difteri dengan 5 kasus meninggal dengan
gambaran usia terbanyak pada usia 1-4 tahun dan 5-9 tahun, pada tahun ini angka
kematian akibat difteri berkurang menjadi 1,98% (Kemenkes RI, 2017).
Berdasarkan uraian diatas, kita akan membahas tentang dietetika pada penyakit difteri
demi mengurangi dampak dan angka kematian akibat difteri.

1.2 Rumusan Masalah


1. Apakah defenisi dari difteri ?
2. Bagaimana cara pengobatan difteri ?
3. Bagaimana rencana monitoring dan evaluasi asuhan gizi pada difteri ?

1.3 Tujuan
1. Mengetahui defenisi difteri
2. Mengetahui tentang pengobatan difteri
3. Mengetahui rencana monitoring dan evaluasi asuhan gizi pada difteri
BAB II
ISI

2.1 Tinjauan Pustaka

2.1.1 Tinjauan Umum Penyakit

2.1.1.1 Pengertian Penyakit

Difteri merupakan penyakit yang disebabkan oleh Corynebacterium


diphteriae, bakteri gram positif, basil dan bersifat fakultatif anaerob (Hartoyo,
2018). Corynebacterium memiliki empat serotip yaitu mitis, gravis,
intermedius, dan befanti, masing-masing serotip mampu menyebabkan
difteria. Serotip tersebut dapat dibedakan dari morfologi koloni, hemolisis, dan
reaksi fermentasi (Garna, 2012). Difteri menjadi penyakit bakteri akut yang
menyerang faring, laring, tonsil, hidung, terkadang menyerang selaput lendir
atau kulit, konjungtiva, dan vagina. Penyakit ini juga termasuk salah satu
penyakit yang dapat menyebabkan terjadinya kejadian luar biasa (KLB)
dimana munculnya satu kasus difteri sudah dikategorikan sebagai KLB
(Alfiansyah 2015).

2.1.1.2 Gejala Terkait Gizi

Setelah terjadi kontak dengan agen, masa inkubasi selama 2-5 hari,
gejala biasanya diikuti demam dan sakit tenggorokan. Terbentuk
pseudomembran pada jaringan lunak uvula dan tonsil setelah 24 jam sebagai
efek dari toksin. Bentuk yang lebih parah pada anak – anak adalah bull neck
yang disebabkan pembengkakan pada jaringan lunak dan kelenjar getah
bening leher (Byard, 2013). Onset terjadi secara tiba – tiba dan pertumbuhan
dari pseudomembrane lebih cepat pada cavitas buccal, seluruh faring. Jaringan
lunak palatum, uvula, dan tonsil dapat mengalami nekrosis dan lesi nekrotik
ini dapat menembus ke otot rangka dan menyebabkan perdarahan serta edem
(Byard, 2013).

Gejala umum dari penyakit difteri diantaranya tenggorokan terasa


sakit, timbul lesi membran diikuti dengan kelenjar limfe yang membesar dan
melunak. Pada kasus yang sedang sampai berat ditandai dengan
pembengkakan dan oedema di leher dengan pembentukan membran pada
trakea secara ekstensif dan dapat terjadi obstruksi jalan napas, peradangan
pada tempat infeksi, terutama pada selaput mukosa faring, laring, tonsil,
hidung dan juga pada kulit. Kematian biasanya terjadi karena obstruksi/
sumbatan jalan nafas, kerusakan otot jantung, serta kelainan susunan saraf
pusat dan ginjal. (Direktorat Surveilans dan Karantina Kesehatan, 2017 )
Berikut gejala penyakit difteri tergantung pada lokasi infeksinya :
(Sudoyo, 2009) dalam (Saputra, 2018):

1. Difteri Hidung

Pada permulaan mirip common cold, yaitu pilek ringan tanpa atau disertai
gejala sistemik ringan. Sekret hidung berangsur menjadi serosanguinous
dan kemudian mukopurulen mengadakan lecet pada nares dan bibir atas.
Pada pemeriksaan tampak membran putih pada daerah septum nasi.

2. Difteri Tonsil-Faring

Gejala anoroksia, malaise, demam ringan, nyeri menelan. dalam 1-2 hari
timbul membran yang melekat, berwarna putih-kelabu dapat menutup tonsil
dan dinding faring, meluas ke uvula dan palatum molle atau ke distal ke
laring dan trachea.

3. Difteri Laring

Pada difteria laring primer gejala toksik kurang nyata, tetapi lebih berupa
gejala obstruksi saluran nafas atas.

4. Difteri Kulit, Konjungtiva, Telinga

Difteri kulit berupa tukak di kulit, tepi jelas dan terdapat membran pada
dasarnya. Kelainan cenderung menahun. Difteri pada mata dengan lesi pada
konjungtiva berupa kemerahan, edema dan membran pada konjungtiva
palpebra. Pada telinga berupa otitis eksterna dengan sekret purulen dan
berbau.

2.1.1.3 Faktor Resiko Terkait Gizi

a) Riwayat Imunisasi

Pemberian Difteri Pertusis Tetanus (DPT) untuk dosis pertama yaitu


pada usia 2-4 bulan, pemberian DPT kedua pada usia 3-5 bulan, dan
pemberian DPT ketiga pada usia 4-6 bulan dengan interval antara
pemberian pertama, kedua, dan ketiga minimal 4 minggu. Pemberian DPT
berikutnya (booster) berupa Difteri Tetanus(DT) saat anak masuk sekolah
dasar kelas I dan II dan (Td) saat anak kelas III dengan program Bulan
Imunisasi Anak Sekolah (BIAS). Dalam 10 tahun setelah pemberian dosis
DPT ketiga, umumnya terjadi penurunan titer antitoksin dan berada di
bawah titer optimal. Untuk itu pemberian difteri toksoid dapat diberikan
bersama-sama dengan tetanus toksoid (Kemenkes, 2015). Imunisasi dasar
DPT serta pemberian DPT ulangan untuk menekan morbiditas dan
mortalitas difteri. Penundaan terapi dan riwayat pasien tidak diimunisasi
akan memberikan prognosis yang lebih berat.

b) Umur

Umur yang sering terkena difteri adalah 2-10 tahun. Jarang ditemukan
pada bayi berumur dibawah 6 bulan oleh karena masih terdapat imunisasi
pasif melalui plasenta ibu. Juga jarang pada dewasa yang berumur diatas 15
tahun (Lestari, 2012). Namun penyelidikan epidemiologi difteri di Tanjung
Bumi, Kabupaten Bangkalan tahun 2013 menemukan fakta baru bahwa
74% kasus terjadi pada usia diatas 15 tahun. Hal ini menunjukan bahwa
faktor resiko difteri sudah bergeser pada kelompok umur dewasa yang tidak
mendapat imunisasi.

c) Pengaruh Penularan

Sumber penularan difteri dapat melalui karier, karier merupakan


seseorang yang membawa agen infeksi difteri tetapi tidak menunjukan
gejala aktif difteri. Keberadaan dari sumber penularan, yaitu orang yang
menderita difteri atau menunjukkan gejala menderita difteri, memberikan
risiko penularan difteri sebesar 20,821 kali lebih besar dibandingkan jika
tidak ada sumber penularan. (Kartono, 2008)

d) Faktor Hunian Dari Lingkungan Tempat Tinggal

Lantai rumah yang terbuat dari papan atau panggu, berisiko terjangkit
difteri 22,029 lebih besar daripada rumah dengan lantai yang diplester atau
keramik (Kartono, 2008). Rumah dengan pencahayaan yang buruk
mempunyai risiko 16,6 kali lebih besar untuk terkena difteri daripada rumah
yang memiliki pencahayaan baik. Orang yang memiliki rumah dengan
ventilasi tidak memenuhi syarat memiliki risiko sebesar 22,4 kali untuk
terjadinya difteri. Apabila di dalam rumah tersebut terdapat penderita
difteri, maka udara yang dihembuskan oleh penderita difteri tidak dapat
keluar dan akan dihirup oleh penghuni rumah lainnya (Saifudin, 2016).

e) Kejadian Luar Biasa

Penyakit difteri menjadi salah satu penyakit menular, sehingga


penyebarannya bisa terjadi pada siapapun. Apabila bila terjadi penyebaran
penyakit difteri di suatu wilayah, maka bisa mengakibatkan penetapan KLB
(Alfiansyah 2015).. Berdasarkan Permenkes no 1501 tahun 2010, Kejadian
Luar Biasa (KLB) adalah timbulnya atau meningkatnya kejadian kesakitan
dan/atau kematian yang bermakna secara epidemiologi pada suatu daerah
dalam kurun waktu tertentu, dan merupakan keadaan yang dapat menjurus
pada terjadinya wabah (Permenkes, 2010)
2.1.1.4 Konsekuensi Terkait Gizi

a. Pola nutrisi tidak mencukupi, hal ini disebabkan adanya anoreksia pada
pasien sehingga asupan nutrisi kurang dari kebutuhannya.
b. Pola aktivitas, pasien mengalami keterbatasan dalam beraktivitas karena
adanya malaise dan demam.
c. Pola istirahat tidak cukup, hal ini dikarenakan adanya gangguan saluran
pernapasan seperti sesak napas.
d. Pola eliminasi, pasien akan mengalami penurunan jumlah urin dan feses
yang disebakan adanya anoreksia sehingga asupan pasien tidak adekuat.

2.1.2 Pengobatan

2.1.2.1 Medika Mentosa


Interaksi obat dan makanan adalah terjadinya perubahan spesifik pada
farmakokinetik obat yang disebabkan oleh zat gizi atau sebaliknya terjadinya
perubahan proses absorbsi, distribusi, metabolism dan ekskresi zat gizi dalam
tubuh dan perubahan status gizi yang disebabkan oleh konsumsi obat.
Interaksi obat dan makanan terjadi ketika zat yang terkandung di dalam
bahan makanan memengaruhi zat di dalam obat yang diminum sehingga
mempengaruhi fungsi obat sebagaimana mestinya. Interaksi ini dapat
menyebabkan efek yang bervariasi, mulai dari peningkatan atau penurunan
efektivitas obat hingga terjadinya efek samping. Makanan juga dapat
menunda, mengurangi atau meningkatkan penyerapan obat. Oleh karena itu
beberapa obat memiliki aturan pemakaian, antara lain harus dikonsumsi pada
saat perut kosong (1 jam sebelum makan atau 2 jam setelah makan) namun
ada beberapa obat yang sebaiknya dikonsumsi bersamaan dengan makanan
agar bekerja secara optimal.
Dalam tujuan pengobatan penderita difteri adalah inaktivasi toksin
yang belum terikat secepatnya, mencegah dan mengusahakan agar penyulit
yang terjadi dapat diminimalisir, mengeliminasi C. diptheriae untuk mencegah
penularan serta mengobati infeksi penyerta dan penyulit difteria. Berikut
beberapa obat yang biasa dikonsumsi oleh penderita difteri :

Tabel 1. Obat-Obatan yang Dikonsumsi Penderita Difteri


Interaksi
dengan
Makanan
Obat-Obatan yang
Nama Fungsi Efek Samping dan
dapat Berinteraksi
Relevansinya
Dengan
Status Gizi.

Erythromycin Agen anti- Mual, muntah, Antikoagulan oral, Terjadi


bacterial : gangguan hepar statin kerusakan
Bacterial kimia obat
respiratory, ketika
infeksi pada dikonsumsi
kulit dan bersama
rheumatic makanan.
fever.

Penicillin Membunuh Gangguan saluran Konsumsi natrium Dikonsumsi


bacteri yang cerna, mual dan tinggi dapat saat perut
menghambat muntah, diare, menyebabkan kosong atau 1-
sintesis colitis, rasa metalik ketidakseimbangan 2 jam sebelum
dinding sel, dan efek elektrolit, Warfarin. makan.
peptic ulcer, hematologic.
leg ulcer,
amoebiasis,
giardiasis

Kortikosteroid Menekan Ketidakseimbangan Salisilat, Phenitoin, Retensi cairan


respon imun cairan dan elektrolit, OHAs, Esterogen, dan natrium;
dan inflamasi beberapa gangguan Diuretik, meningkatkan
pada system tubuh, Coumarins, ekskresi
termasuk saluran NSAIDs, dan kalium;
cerna, muskuler, Alkohol antagonis vit
neurologis D;
menurunkan
malabsorbsi
kalsium;
menurunkan
kepadatan
tulang; dam
re-distribusi
lemak tubuh.

2.1.2.2 Terapi Diet Secara Teori


Terapi gizi menjadi salah satu faktor penunjang utama
penyembuhan,tentunya harus diperhatikan agar pemberian tidak kekurangan
ataupun melebihikemampuan organ tubuh untuk melaksanakan fungsi
metabolisme. Gizi mempunyai peran yang tidak kecilterhadap tingkat
kesembuhan dan lama perawatan pasien di rumah sakit yang akanberdampak
pada biaya perawatan. Diet adalah makanan yang ditentukan dan dikendalikan
untuk tujuan tertentu.Makanan adalah bahan yang dimakan, dicerna dan diserap
akan menghasilkkansedikit satu macam nutrient. Nurtien adalah istilah yang
dipakai secara umum padasetiap zat yang dicerna, diserap dan digunakan untuk
mendorong kelangsungan faaltubuh.
Diet energi tinggi protein (TETP) atau diet tinggi kalori tinggi protein
adalah diet yang mengandung energi dan protein tinggi di atas kebutuhan
normal. Diet diberikan dalam bentuk makanan biasa ditambah bahan makanan
sumber protein tinggi seperti susu, telur dan daging atau dalam bentuk minuman
enteral tinggi energi tinggi protein. Diet ini diberikan bila pasien telah
mempunyai cukup nafsu makan dan dapat menerima makanan lengkap.
Diet tinggi energi tinggi protein diberikan untuk mengatasi masalah dan
risiko malnutrisi pada pasien akibat kekurangan energi dan protein karena
kebutuhan yang meningkat sebagai dampak dari peningkatan stress metabolik,
penurunan daya tahan tubuh, fakktor penyakit, inflamasi, gagal tumbuh pada
anak, dan sebagainya. Malnutrisi merupakan suatu kondisi yang dihasilkan dari
kekurangan intake ataupun uptake zat gizi yang mengarah pada perubahan
komposisi tubuh (penurunan massa bebas lemak) dan massa sel tubuh sehingga
terjadi kurangnya fungsi fisik dan mental serta gangguan hasil klinis penyakit.
Berdasarkan keadaan pasien maka dapat diberikan salah satu dari dua
jenisdiet tinggi kalori tinggi protein tersebut.Adapun syarat–syarat diet tinggi
kalori tinggi protein menurut adalah sebagai berikut :
1. Energi tinggi, yaitu 40-45 kkal/kg BB.
2. Protein tinngi, yaitu 2,0-2,5 g/kg BB.
3. Lemak cukup, yaitu 10-25% dari kebutuhan energi total.
4. Karbohidrat cukup, yaitu sisa dari kebutuhan energi total.
5. Vitamin dan mineral cukup, sesuai kebutuhan normal.
6. Makanan diberikan dalam bentuk mudah cerna.

Menurut penelitian yang dilakukan oleh dibeberapa RumahSakit Umum di


Jakarta yang menunjukkan bahwa 20-60 % pasien menderita kuranggizi pada
saat dirawat di Rumah Sakit. Berdasarkan kandunganprotein dan kalori, diet
tinggi kalori tinggi protein ada dua jenis, yaitu :

1. Diet tinggi kalori tinggi protein I (2600 kkal/hari, 100 gr protein/hari)


2. Diet tinggi kalori tinggi protein II (3000 kaal/hari, 125 gr protein/hari)

2.2 Asuhan Gizi

2.2.1 Assessment
Asesmen gizi merupakan langkah pertama dalam melakukan asuhan
gizi. Tahap asesmen merupakan langkah yang sistematis dengan tujuan
mendapatkan, memverifikasi, dan menginterpretasikan data yang dibutuhkan
dalam rangka mengidentifikasi masalah terkait gizi, penyebab, dan
implikasinya. (Dian, 2017) Asesmen gizi adalah pengambilan data
keseluruhan yang dilakukan oleh ahli gizi atau dietisian menggunakan
antropometri, data laboratorium, data fisik/klinis, riwayat makan, serta riwayat
penyakit. Tujuan dari melakukan assesen gizi yaitu ahli gizi dapat meninjau
kembali data yang sudah dikumpulkan untuk menentukan faktor yang
mempengaruhi status gizi dan kesehatan, lalu mengelompokkan data untuk
mengidentifikasi diagnosa gizi, dan selanjutnya menggabungkan data-data
yang ada. (Tania, 2013)
Asesmen gizi memiliki 5 domain yaitu : (a) Pengukuran antropometri; (b) Data
laboratorium; (c ) Pemeriksaan fisik/klinis; (d) Riwayat terkait makanan dan
gizi; (e) Riwayat personal. Berikut adalah penjelasan dari kelima domain
tersebut :

2.2.1.1 Pengukuran Antropometri

Antropometri gizi adalah berbagai macam pengukuran dimensi dan


komposisi tubuh dari berbagai tingkat umur dan tingat gizi. Antropometri
dapat dilakukan dengan berbagai cara. Pada setiap pasien dilakukan
pengukuran antropometri tinggi badan (TB) / panjang badan (PB) dan berat
badan (BB). pada kondisi tinggi badan tidak dapat diukur, dapat dilakukan
pengukuran rentang lengan atau separuh rentang lengan atau tinggi lutut. Data
antropometri digunakan untuk menilai status gizi pasien dan menentukan
kebutuhan energi dan zat gizi pasien. Jenis parameter yang digunakan meliputi
: Umur, Berat Badan (BB), Tinggi Badan (TB). Sedangkan Lingkar Lengan
Atas (LILA) dan Tinggi Lutut (TL) bisa digunakan untuk pascabedah.

1) Umur
Faktor umur sangat penting dalam penentuan status gizi. Apabila terjadi
kesalahan pada saat penentuan umur akan menyebabkan interpretasi status gizi
menjadi salah. Pengukuran tinggi badan dan berat badan yang akurat, akan sia-
sia jika tidak disertai penentuan umur yang tidak tepat.

2) Berat Badan (BB)


Berat badan merupakan ukuran antropometri yang sangat penting. Untuk
pasien yang mengalami oedema menggunakan rumus sebagai berikut : BB
sebenarnya = BB saat ini (dengan oedema) - BB koreksi oedema

Tabel 2. Koreksi BB pada pasien dengan oedema

Koreksi Oedema

Ringan (bengkak pada tangan atau kaki) - 1kg atau 1-10 %

Sedang (bengkak pada wajah dan tangan atau - 5 kg atau 20 %


kaki)
- 14 kg atau 30 %
Berat (bengkak pada wajah, tangan dan kaki)
Berat Badan Ideal (BBI) adalah bobot optimal dari tubuh seseorang.

Rumus-rumus Berat Badan Ideal (BBI) diantaranya :

BBI untuk Dewasa (>10 tahun) :

- BBI Brocca = (TB-100) - 10% (TB-100)

(Jika TB pria <160 cm dan TB<150 cm, tidak perlu dikurangi 10% (Brocca)

Atau :

- Berat Badan Ideal (BBI) = 22 x TB (m)2.

(Fajar, 2019)

Estimasi Berat Badan (BB) :

- Untuk anak usia 1-16 tahun = BB = 3 x (usia tahun) + 7

- Perkiraan BB Formula crandal dengan Estimasi LILA

BB Laki-Laki = -93.2 + (3.29 x LILA) + (0.43 x TB)

BB Wanita = -64.6 + (2.15 x LILA) + (0.54 x TB)

- Perkiraan BB Menurut LILA dan Tinggi Lutut

Perkiraan berat badan menggunakan rumus ini memiliki bias estimasi,


untuk wanita bisa sampai ±9,9 kg sedangkan Pria ±10,1 kg .

Rumusnya adalah :

BB Laki-laki = (0,826 x Tinggi Lutut) + (2,116 x LILA) - (usia x 0,113) -


31,486

BB Wanita = (0,928 x Tinggi Lutut) + (2,508 x LILA) - (usia x 0,144) -


42,543

3) Tinggi Badan (TB)


Tinggi badan (TB) merupakan parameter antropometri untuk pertumbuhan
linier dan digunakan untuk menilai pertumbuhan panjang atau tinggi badan.
Alat ukur yang digunakan untuk mengukur tinggi badan harus mempunyai
ketelitian 0.1 cm.anak berumur 0-2 tahun diukur dengan ukuran panjang
badan, sedangkan anak berumur lebih dari 2 tahun dengan menggunakan
microtoise. (Laila, 2020)

Jika tinggi badan (TB) tidak di ketahui bisa menggunakan estimasi di


bawah ini :

- Perkiraan Tinggi Badan Formula WHO : 

Height = 0,73 x ( 2 x semi-span) + 0,43

- Perkiraan TB dengan Tinggi Lutut formula Chumlea : 

Laki = 64.19 – (0,04 x Usia) + (2,02 x Tinggi Lutut) 

Wanita = 84,88 – (0,24 x usia) + (1,83 x tinggi lutut)

- Perkiraan TB dengan Panjang Depa (PD) :

o Wanita Usia <10 tahun = 23,99 + 0,75 (PD) + 0,86 (usia)

o Wanita usia >10 tahun = 28,54 + 0,74 (PD) + 0,83 (usia)

o Laki Usia <12 tahun = 21,90 + 0,76 (PD) + 0,72 (usia)

o Laki usia >12 tahun = 17,91 + 0,76 (PD) + 1,17 (usia)

(Fajar, 2019)

4) Lingkar Lengan Atas (LILA)


Lingkar lengan atas atau LILA menggambarkan cadangan lemak
keseluruhan dalam tubuh. Ukuran LILA pada pelayanan kesehatan
digunakan untuk mengetahui risiko kekurangan energi kronis (KEK) pada
wanita usia subur. LILA juga bisa digunakan untuk menentukan status gizi
pasien yang tidak bisa ditimbang. Cara perhitungan :

Persentil = LILA Aktual/LILA Presentil x 100 %

- Gizi Baik : ≥ 85 %

- Gizi Kurang : ≥ 70 - < 85 %

- Gizi Buruk : < 70 %

(Laila, 2020)
5) Indeks Massa Tubuh
IMT (Indeks Massa Tubuh) adalah cara untuk mengetahui status gizi
bagi orang dewasa, terutama untuk menilai massa jaringan tubuh.

Rumus IMT = BB / TB(m) ²

BB: Berat Badan

TB: Tinggi Badan

Kategori IMT menurut Kemenkes 2013 :

< 18,5 Kurus/Kurang

18,5 – 24,9 Normal

25.0 – 27.0 Overweight

> 27 Obesitas

Dalam pendokumentasian proses asuhan gizi, pengukuran antropometri


biasa disingkat dengan A atau dengan kode terminologi menurut IDNT
adalah AD.

2.2.1.2 Pemeriksaan Biokimia


Penilaian status gizi dengan biokimia adalah pemeriksaan yang diuji
secara laboratories yang dilakukan pada berbagai macam jaringan tubuh.
Jaringan yang digunakan antara lain : darah, urine, tinja dan otot. Pada pasien
difteri data laboratorium yang menjadi konfirmasi adalah kultur atau PCR C.
diphtheria positif dan tes Elek positif.

Tabel 3. Data Biokimia pada Pasien Difteri

Parameter Kisaran Normal


PCR negatif
Tes Elek negatif
Tabel 4. Pemeriksaan Penunjang

Pemeriksaan Nilai Normal

Hb 1-15 gr%

Ht 35-47%

Eritrosit 3,9-5,6 juta/mmk

MCH 27-32 pg

MCV 76-96 fL

MCHC 29-36 g/dl

Leukosit 4-11 ribu/mmk

Hitung Jenis

Eosinofil 1-5

Basofil 0

Batang 2-5

Segmen 25-70

Limfosit 30-40

Monosit 4-8

Trombosit 150-400 rb/mmk

CKMB 7-25 U/I

Ureum 15-39 mg/dl

Kreatinin 0,6-1,3 mg/dl

SGOT 15-37 U/I

SGPT 30-65 U/I

Troponin I <0,01 μg/I


Dalam pendokumentasian proses asuhan gizi, pemeriksaan biokimia
biasa disingkat dengan B atau dengan kode terminologi menurut IDNT adalah
BD. (Dian, 2017)

2.2.1.3 Pemeriksaan Klinis/Fisik


Metode ini didasarkan atas perubahan-perubahan yang terjadi
dihubungkan dengan ketidakcukupan zat gizi. Hal ini dapat dilihat pada
jaringan epitel seperti kulit, mata, rambut dan mukosa oral atau pada organ-
organ yang dekat dengan permukaan tubuh seperti kelenjar tiroid.

Tabel 5. Data Klinik-Fisik pada Pasien Difteri

Pemeriksaan Nilai Normal

Tekanan Darah 120/80 mmHg

Suhu 36-37℃

Nadi 60-100 x/menit

Respirasi 20-3-x/menit

Dalam pendokumentasian proses asuhan gizi, pemeriksaan fisik klinis


biasa disingkat dengan C atau dengan kode terminologi menurut IDNT adalah
PD. (Dian, 2017)

2.2.1.4 Pengukuran Dietary History


Dietary History terdiri dari riwayat asupan makan sebelum masuk rumah sakit
dan saat masuk rumah sakit, yang ditentukan dengan cara :

% Tingkat Asupan Zat Gizi = Asupan Zat Gizi/Kebutuhan Zat Gizi x 100%
Standar % Asupan Manurut (WNPG, 2004) :
- Baik : 80-110% AKG
- Kurang : <80% AKG
- Lebih : >110% AKG
(Laila, 2020)
Dalam pendokumentasian proses asuhan gizi, pengukuran dietary history biasa
disingkat dengan D atau dengan kode terminologi menurut IDNT adalah FH.
(Dian, 2017)

2.2.1.5 Riwayat Personal


Data pada domain ini meliputi riwayat penyakit pasien dan keluarga, jenis
kelamin, suku, bahasa, pendidikan, dan peran pasien di dalam keluaga.
Riwayat personal merupakan tahap terakhir dari asesmen. Ahli gizi
menanyakan kepada pasien tentang keluhan utamanya, riwayat penyakit
sekarang mapun terdahulu, riwayat penyakit keturunan atau keluarga, riwayat
obat-obatan, serta keadaan sosial ekonominya. (Tania, 2013)
Dalam pendokumentasian proses asuhan gizi, riwayat personal biasa disingkat
dengan E atau dengan kode terminologi menurut IDNT adalah CH. (Dian,
2017)

2.2.2 Diagnosa Gizi

Diagnosis gizi terdiri dari 4 domain yaitu Domain Problem Asupan, Domain
Problem Klinin, Domain Problem Perilaku/Lingkungan, Domain Problem lain-
lain. Pada penyakit difteri diagnosisi gizinya yaitu sebagai berikut:

a. Domain Intake
 NI-1.1 Peningkatan kebutuhan energi terkait terjadinya anoreksia
ditandai dengan IMT (underweight) dan penurunan beratbadan yang
tidak diinginkan.
 NI-1.2 Asupan energi tidak adekuat terkait penurunan kemampuan
untuk mengkonsumsi energi yang cukup ditandai dengan adanya
infeksi akut yang disebabkan oleh bakteri gram posistif
Corynebacterium diphteriae dan rerata asupan <80% dari kebutuhan.
 NI-2.1 Asupan per oral tidak adekuat terkait penyakit difteri ditandai
adanya peradangan kronis pada tonsil, sinus, faring, laring, saluran
nafas dan mengalami nyeri saat menelan makanan.
 NI-2.9 Keterbatasan penerimaan makanan terkait penyakit difteri
ditandai dengan rasa nyeri saat menelan, mual, dan muntah sehingga
asupan tidak sesuai dengan kebutuhan.
 NI-3.2 Asupan cairan berlebih terkait adanya perubahan fungsi
ginjal ditandai dengan terganggunya homeostasis cairan dan
elektrolit, mual dan muntah.
 NI-5.1 Peningkatan kebutuhan protein terkait perubahan absorbsi zat
gizi ditandai dengan peradangan kronis pada tonsil, sinus, faring,
laring dan saluran nafas atas serta mengalami pilek dengan sekret
bercampur darah.
 NI-5.2 Malnutrisi terkait keadaan anoreksia ditandai dengan IMT <
18,5 kg/m2 dan asupan makanan <60% dari kebutuhan.
 NI-5.7.1 Asupan protein tidak adekuat terkait adanya gangguan
makan (anoreksia) ditandai dengan asupan protein tidak mencukupi
kebutuhan.

b. Domain Klinis
 NC-1.1 Kesulitan menelan terkait penyakit difteri yang ditandai
dengan hasil pemeriksaan biokimia, pemeriksaan fisik ( lidah kotor
dan ditemukan pseudomembran) dan penurunan jumlah asupan
makanan yang diperkirakan.
 NC-2.2 Perubahan nilai laboratorium terkait disfungsi organ
ditandai dengan pemeriksaan darah, urinalisis, leukosit, adanya
proteinuria ringan, dan ketidakseimbangan elektrolit (peningkatan
kalium, natrium, magnesium, dan penurunan kalsium).
 NC-3.2 Kehilangan berat badan yang tidak diinginkan terkait
mengalami anoreksia ditandai dengan kehingan berat badan >5%
dalam waktu 1 bulan.

c. Domain Perilaku dan lingkungan


 NB-1.1 Kurangnya pengetahuan gizi dan makanan terkait kurangnya
paparan informasi terkait gizi ditandai dengan penyakit difteri yang
biasa terjadi di tempat pemukiman yang rapat-rapat, dengan keadaan
higien dan sanitasi yang kurang baik serta fasilitas kesehatan yang
kurang.
 NB-1.5 Gangguan pola makan terkait gangguan psikologis ditandai
dengan anoreksia.

2.2.3 Intervensi Gizi


2.2.3.1 Tujuan Diet

2.2.3.1.1 Tujuan Umum


Memberikan makanan sesuai dengan kebutuhan gizi yang dapat
meringankan kerja saluran pernapasan.
2.2.3.1.2 Tujuan Khusus
1) Memenuhi kebutuhan energi dan protein yang meningkat untuk
mencegah dan mengurangi kerusakan jaringan tubuh.
2) Menambah berat badan hingga mencapai berat badan normal
3) Mencegah hilangnya massa tubuh tanpa lemak (LBM)
4) Mencegah terjadinya penurunan berat badan
5) Meningkatkan status gizi hingga mencapai normal.
2.2.3.2 Prinsip dan Syarat Diet
- Energi tinggi, yaitu 40-45 kkal/kgBB
- Kebutuhan protein tinggi, yaitu 2-2,5 gram/kgBB
- Kebutuhan lemak cukup diberikan 10-25% dari kebutuhan energi
total
- Karbohidrat cukup, yaitu sisa dari kebutuhan energi total.
- Vitamin dan mineral cukup, sesuai dengan kebutuhan normal.
- Asupan cairan sesuai yang dianjurkan adalah 35 ml/kgBB
- Pemenuhan kebutuhan zat gizi pasien terutama energi dan protein
yang tidak memberatkan kerja saluran pernafasan
- Makanan diberikan dalam bentuk yang mudah dicerna`
2.2.3.3 Jenis diet, bentuk makanan, frekuensi makan dan cara pemberian/rute
a) Jenis Diet
Diet TKTP (Tinggi Kalori Tinggi Protein), diberikan kepada pasien :
(1) Kurang Energi Protein (KEP)
(2) Sebelum dan sesudah operasi tertentu, multi trauma, serta selama
radioterapi dan kemoterapi.
(3) Luka bakar berat dan baru sembuh dari penyakit dengan panas
tinggi.
(4) Hipertiroid, hamil, dan post-partum dimana kebutuhan energi dan
protein meningkat.

Menurut keadaan, pasien dapat diberikan salah satu dari dua macam
Diet Tinggi Kalori Tinggi Protein (TKTP) seperti dibawah ini:

 Diet Tinggi Kalori TinggiProtein I (TKTP I)


Energi 2600 kkal, Protein 100 gram (2g/kgBB)
 Diet Tinggi Kalori TinggiProtein II (TKTP II)
Energi 3000 kkal, Protein 125 gram (2,5g/kgBB)
(Almatsier, 2010)
b) Bentuk Makanan : Makanan Lunak
c) Frekuensi Makanan : 3x makanan utama dan 2x selingan
d) Cara Pemberian/Rute : Oral

2.2.3.4 Makanan yang dianjurkan dan yang dibatasi

Tabel 6. Bahan Makanan yang Dianjurkan dan yang Tidak Dianjurkan

Bahan Makanan Dianjurkan Tidak Dianjurkan

Sumber Krbohidrat Nasi, roti, mie, makaroni -


dan hasil olah tepung-
tepungan lain, seperti cake,
tarcis, puding dan pastri;
dodol; ubi; karbohidrat
sederhana seperti gula pasir.

Sumber Protein Hewani Daging sapi, ayam, ikan, Dimasak dengan banyak
telur, susu, dan hasil olah minyak atau kelapa/santan
seperti keju dan youghurt kental
cus-tard dan es krim.

Sumber Protein Nabati Semua jenis kacag-kacangan Dimasak dengan banyak


dan hasil olahannya, seperti minyak atau kelapa/santan
tempe, tahu, dan pindakas. kental.

Sayuran Semua jenis sayuran, Dimasak dengan banyak


terutama sayuran jenis B, minyak atau kelapa/santan
seperti bayam, buncis, daun kental.
singkong, kacang panjang,
labu siam dan wortel
direbus, dikukus dan
ditumis.

Buah-buahan Semua jenis buah segar, -


buah kaleng, buah kering
dan jus buah

Lemak dan minyak Minyak goreng, mentega, Santan kental


margarin, santan encer,
salad dressing.

Minuman Soft drink, madu, sirup, teh Minuman rendah energi


dan kopi encer.

Bumbu Bumbu tidak tajam, seperti Bumbu yang tajam seperti


bawang merah, bawang cabe dan merica.
putih, laos, salam, dan
kecap.

Sumber : Buku Penuntun Diet Edisi Baru

2.2.3.5 Konseling Gizi


2.2.3.5.1 Tema
Tema konseling gizi yang digunakan adalah Gizi Seimbang pada
Pasien Penyakit Difteri dan Diet TKTP
2.2.3.5.2 Sasaran
Sasaran konseling gizi adalah pasien dan keluarga pasien
2.2.3.5.3 Durasi
Durasi konseling yaitu 30 menit
2.2.3.5.4 Tempat
Tempat yang digunakan untuk pelaksanaan konseling gizi adalah
ruang inap pasien
2.2.3.5.5 Metode
Metode yang digunakan untuk konseling gizi berupa Edukasi Gizi
dan wawancara secara tatap muka langsung dan diakhiri dengan sesi
diskusi dan refleksi.
2.2.3.5.6 Instrumen
Intrumen untuk konseling gizi pada penyakit difteri yaitu berupa
Booklet Penyakit Difteri, Leaflet Diet TKTP, DBMP, dan Food
model.
2.2.3.5.7 Materi
Materi konseling gizi yang akan disampaikan adalah tentang Gizi
Seimbang pada Pasien Penyakit Difteri dan Diet TKTP
2.2.3.5.8 Strategi

Strategi konseling gizi menggunakan strategi Transtheoretical Model


(TM), or Stages of Change Modegi yang meliputi precontemplation,
contemplation, preparation, action, maintence, dan relaps.
Pemberian materi konseling diberikan dalam strategi yang sesuai
dengan tahapan kesiapan pasien.
1. Preconteplation : Mendiskusikan aspek pribadi pasien dan
konsekuensi kesehatan jika melakukan perilaku yang menetap,
menilai pengetahuan, sikap dan keyakinan, serta memberi
informasi.
2. Conteplation: Mengidentifikasi perilaku yang bermasalah,
membuaat prioritas perilaku yang harus diubah, mendiskusikan
motivasi dan mengenali hambatan yang ada untuk berubah,
mendiskusikan keuntungan dan kerugian perubahan pola perilaku
dan pola makan, menyarankan langkah-laangkah yang mudah
dicapai untuk membuat perubahan.
3. Preparation : Memberi bantuan mengembangkan langkah yang
nyata untuk berubah, mendiskusikan dalam menentukan strategi
atau goal perubahan yang dapat diterima, dapat dicapai dan layak
serta memperoleh dukungan dari keluarga dan lingkungan.
4. Action : Memperkuat kepercayaan diri pasien, membantu
melakukan pengawasan sendiri, melakukan umpan balik,
memecahkan masalah, mendiskusikan upaya mengatasi
kekambuhan, menghasilkan perubahan perilaku sesuai dengan
masalah.
5. Maintenance : Memberi rencana untuk tindak lanjut sebagai
dukungan perubahan yang telah dilakukan, pemeliharaan
perubahan perilaku, membantu mencegah kekambuhan, membantu
mengatasi, mengingatkan, menemukan alternatif dan menghindari
kekambuhan.
6. Relaps : Mencegah terjadinya kekambuhan, jika terjadi relaps
maka perlu diulangi kembali ke tahap awal.

2.3 Rencana Monitoring dan Evaluasi


Monitoring dan evaluasi merupakan langkah ke-empat dalam Nutrition Care Process.
Monitoring gizi merupakan kegiatan dalam mengukur indikator – indikator yang
menunjukkan keberhasilan dari intervensi gizi. Sedangkan evaluasi gizi merupakan
kegiatan membandingkan indikator gizi yang didapatkan dengan status gizi sebelumnya,
tujuan intervensi gizi, keefektifan dari asuhan gizi keseluruhan dan atau standart
referensi yang ada. Sehingga dengan adanya monitoring dan evaluasi, maka diharapkan
dapat mengidentifikasi hasil yang sesuai dengan diagnosa gizi yang telah ditegakkan,
rencana dan tujuan intervensi.

Dalam mengelompokkan data – data untuk melakukan monitoring dan evaluasi gizi,
ahli gizi dapat melakukan pengukuran langsung kepada pasien atau menggunakan data
yang diukur oleh tenaga kesehatan lain seperti hasil laboratorium, ataupun pemeriksaan
tekanan darah. Berikut merupakan sumber dan perangkat untuk memperoleh data atau
indikator monitoring dan evaluasi :

1. Data monitoring diri pasien baik berupa pemenuhan isian formulir atau melalui
program computer.
2. Data antropometri, biokimia, pemeriksaan medis
3. Hasil survei, kuesioner, hasil pre dan post-test
4. Follow up melalui email atau telepon.

Sedangkan komponen dalam monitoring dan evalusi gizi adalah memantau, mengukur
dan mengevaluasi. Hal ini dilakukan untuk mengukur perubahan pada indikator yang
spesifik menunjukkan keberhasilan gizi.
Menurut ADA dalam terdapat empat kelompok dalam monitoring dan evaluasi,
yaitu :

1. Hasil riwayat makanan dan gizi


Dalam kelompok ini memonitor dan mengevaluasi tekait intake makanan dan
zat gizi, cara pemberian makanan dan zat gizi (oral/enteral/parenteral),
gangguan obat ataupun suplemen herbal, pengetahuan ataupun kepercayaan
terkait makanan dan zat gizi, ketersediaan makanan dan kualitas gizi dalam
kehidupannya.
2. Hasil pengukuran antropometri
Pada kelompok ini memonitor dan mengevaluasi tinggi badan, berat badan,
indeks masa tubuh dan riwayat berat badan.
3. Hasil data biokima dan tes medik lain
Memonitor dan mengevaluasi data laboratorium yang sesuai pada klien
(contoh : elektrolit, glukosa darah, kolesterol darah) serta pemeriksaan lainnya
seperti : waktu pengosongan lambung.
4. Hasil pemeriksaan fisik terkait gizi
Hal-hal yang di monitor dan dievaluasi terkait penampilan fisik, otot dan lemak,
fungsi menelan, nafsu makan dan faktor-faktor yang mempengaruhi hal
tersebut.
BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Difteri adalah salah satu penyakit yang sangat menular yang disebabkan oleh bakteri
gram positif Corynebacterium diptheriae strain toksin. Penyakit ini ditandai dengan
demam tidak tinggi (kurang dari 38,5°C), batuk, nyeri menelan, nyeri tenggorok, dan
peradangan pada tempat infeksi.

Pengobatan penderita difteri adalah inaktivasi toksin yang belum terikat


secepatnya, mencegah dan mengusahakan agar penyulit yang terjadi dapat diminimalisir,
mengeliminasi C. diptheriae untuk mencegah penularan serta mengobati infeksi penyerta
dan penyulit difteria.

Monitoring dan evaluasi difteri sebagai berikut :

1. Hasil riwayat makan


Memonitor dan mengevaluasi tekait intake makanan dan zat gizi, cara
pemberian makanan dan zat gizi (oral/enteral/parenteral), gangguan obat
ataupun suplemen herbal, pengetahuan ataupun kepercayaan terkait makanan
dan zat gizi, ketersediaan makanan dan kualitas gizi dalam kehidupannya.
2. Hasil pengukuran antropometri
Memonitor dan mengevaluasi tinggi badan, berat badan, indeks masa tubuh
dan riwayat berat badan.
3. Hasil data biokimia dan tes medik lain
Memonitor dan mengevaluasi data laboratorium yang sesuai pada klien
(contoh : elektrolit, glukosa darah, kolesterol darah) serta pemeriksaan lainnya
seperti : waktu pengosongan lambung.
4. Hasil pemeriksaan fisik terkait gizi.
Memonitor dan Mengevaluasi terkait penampilan fisik, otot dan lemak, fungsi
menelan, nafsu makan dan faktor-faktor yang mempengaruhi hal tersebut.
DAFTAR PUSTAKA

Alfiansyah, Gamasiano. (2015). Penyelidikan Epidemiologi Kejadian Luar Biasa ( Klb )


Difteri Di Kabupaten Blitar Tahun 2015. Kediri : Fakultas Ilmu Kesehatan-Institut
Ilmu Kesehatan Bhakti Wiyata
Almatsier, Sunita. 2010. Penuntun Diet Edisi Baru. Jakarta : Gramedia Pustaka Utama

Byard, R.W. (2013). Diptheria The Strungling Angel Of Children. Journal Forensic And
Legal Medicine, 20(2), 65-68

Direktorat Surveilans dan Karantina Kesehatan. (2017). Pedoman Pencegahan Dan


Pengendalian Difteri 1st ed. Jakarta: Kementrian Kesehatan RI.
Fajar S A, 2019. CAGI AZURA Buku Catatan Ahli Gizi Indonesia edisi III.

Garna, H. (2012). Buku Ajar Ilmu Penyakit Anak dan Infeksi Tropis. Jakarta: FK UNPAD.
Handayani, D., Anggraeny, O., & Yanuar, D. C. (2015). Nutrition Care Process (H. Dian &
Olivia Anggraeny (eds.); 1st ed.). Graha Ilmu.

Handayani, D., & Kusumastuty, I. (2017). Diagnosis Gizi ( dr. P. M. Arsana (ed.); 1st ed.).
UB Press.

Hardiansyah, & Nyoman, S. I. D. (2016). Ilmu Gizi Teori & Aplikasi. Penerbit Buku
Kedokteran EGC.

Hartoyo, E. (2018). Difteri pada Anak. Sari Pediatri , 19 (5), 300-306


Hermi, N. (2013). Analisis Diet Tinggi Kalori Tinggi Protein (TKTP) Pada Penderita TB
Paru Rawat Inap Di Rumah Sakit Martha Friska Pulo Brayan Tahun 2012. Medan :
Universitas Sumatera Utara.

Kartono, B. (2008). Lingkungan Rumah Dan Kejadian Difteri Di Kabupaten Tasikmalaya


Dan Kabupaten Garut. Jurnal Kesehatan Masyarakat Nasional, 2 (7), 200-204

Kemenkes RI. (2015). Evaluasi Program Imunisasi. Jakarta Direktorat Jenderal PP & PL
Kemenkes RI.

Lestari K.S. (2012). Faktor-Faktor Yang Berhubungan Dengan Difteri Di Kabupaten


Sidoarjo. Tesis. Universitas Indonesia.
Permenkes. 2010. Permenkes 1501/MENKES/PER/X/2010 Tentang Jenis Penyakit Menular
Tertentu Yang Dapat Menimbulkan Wabah Dan Upaya Penanggulangan. Jakarta :
Kemenkes RI.
Persagi. (2019). Penuntun Diet dan Terapi Gizi (1st ed.). Penerbit Buku Kedokteran EGC.

Ramadhani L S, 2020. Proses Asuhan Gizi Terstandar pada Pasien Gagal Ginjal Kronis
dengan Hemodialisis di RSUD dr. Tjitrowardojo Purworejo. Poltekes Yogyakarta

Sudoyo, A. W. (2009). Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid 2 (5 ed.). Internal Publishing.

Saifudin, N. 2016. Faktor Risiko Kejadian Difteri Di Kabupaten Blitar Tahun 2015. Jurnal
Wiyata, 3 (1), 61-66
Saputra, M. A. S. (2018). Difteri Dalam Lingkup Asuhan Keperawatan. Jurnal Kesehatan,
Januari(2017), 1–17. https://doi.org/10.17605/OSF.IO/3A2NV

Saunders, R., Suarca, I Kadek. (2019). Diagnosis dan Tatalaksana Difteri. Continuing
Medical Education. 46 (2).

Wijaynati Tania, Puruhita Niken. 2013. Studi Kualitatif Proses Asuhan Gizi Terstandar
di Ruang Rawat Inap RS ST. Elisabeth Semarang. Jurnal of Nutrition College.
Vol , No. 1, hal 170-183

Anda mungkin juga menyukai