Disusun Oleh :
1. Eka Nur Azizah (1807026067)
2. Sulis Fitriana (1807026068)
3. Tri Surya Apriliyana (1807026070)
4. Nadia Ulfah (1807026081)
5. Septi Arti Pribadi (1807026084)
6. Mir’atuts Tsaniyyatul (1807026091)
7. Elviana Agustin (1807026092)
Gizi-6C
PENDAHULUAN
1.3 Tujuan
1. Mengetahui defenisi difteri
2. Mengetahui tentang pengobatan difteri
3. Mengetahui rencana monitoring dan evaluasi asuhan gizi pada difteri
BAB II
ISI
Setelah terjadi kontak dengan agen, masa inkubasi selama 2-5 hari,
gejala biasanya diikuti demam dan sakit tenggorokan. Terbentuk
pseudomembran pada jaringan lunak uvula dan tonsil setelah 24 jam sebagai
efek dari toksin. Bentuk yang lebih parah pada anak – anak adalah bull neck
yang disebabkan pembengkakan pada jaringan lunak dan kelenjar getah
bening leher (Byard, 2013). Onset terjadi secara tiba – tiba dan pertumbuhan
dari pseudomembrane lebih cepat pada cavitas buccal, seluruh faring. Jaringan
lunak palatum, uvula, dan tonsil dapat mengalami nekrosis dan lesi nekrotik
ini dapat menembus ke otot rangka dan menyebabkan perdarahan serta edem
(Byard, 2013).
1. Difteri Hidung
Pada permulaan mirip common cold, yaitu pilek ringan tanpa atau disertai
gejala sistemik ringan. Sekret hidung berangsur menjadi serosanguinous
dan kemudian mukopurulen mengadakan lecet pada nares dan bibir atas.
Pada pemeriksaan tampak membran putih pada daerah septum nasi.
2. Difteri Tonsil-Faring
Gejala anoroksia, malaise, demam ringan, nyeri menelan. dalam 1-2 hari
timbul membran yang melekat, berwarna putih-kelabu dapat menutup tonsil
dan dinding faring, meluas ke uvula dan palatum molle atau ke distal ke
laring dan trachea.
3. Difteri Laring
Pada difteria laring primer gejala toksik kurang nyata, tetapi lebih berupa
gejala obstruksi saluran nafas atas.
Difteri kulit berupa tukak di kulit, tepi jelas dan terdapat membran pada
dasarnya. Kelainan cenderung menahun. Difteri pada mata dengan lesi pada
konjungtiva berupa kemerahan, edema dan membran pada konjungtiva
palpebra. Pada telinga berupa otitis eksterna dengan sekret purulen dan
berbau.
a) Riwayat Imunisasi
b) Umur
Umur yang sering terkena difteri adalah 2-10 tahun. Jarang ditemukan
pada bayi berumur dibawah 6 bulan oleh karena masih terdapat imunisasi
pasif melalui plasenta ibu. Juga jarang pada dewasa yang berumur diatas 15
tahun (Lestari, 2012). Namun penyelidikan epidemiologi difteri di Tanjung
Bumi, Kabupaten Bangkalan tahun 2013 menemukan fakta baru bahwa
74% kasus terjadi pada usia diatas 15 tahun. Hal ini menunjukan bahwa
faktor resiko difteri sudah bergeser pada kelompok umur dewasa yang tidak
mendapat imunisasi.
c) Pengaruh Penularan
Lantai rumah yang terbuat dari papan atau panggu, berisiko terjangkit
difteri 22,029 lebih besar daripada rumah dengan lantai yang diplester atau
keramik (Kartono, 2008). Rumah dengan pencahayaan yang buruk
mempunyai risiko 16,6 kali lebih besar untuk terkena difteri daripada rumah
yang memiliki pencahayaan baik. Orang yang memiliki rumah dengan
ventilasi tidak memenuhi syarat memiliki risiko sebesar 22,4 kali untuk
terjadinya difteri. Apabila di dalam rumah tersebut terdapat penderita
difteri, maka udara yang dihembuskan oleh penderita difteri tidak dapat
keluar dan akan dihirup oleh penghuni rumah lainnya (Saifudin, 2016).
a. Pola nutrisi tidak mencukupi, hal ini disebabkan adanya anoreksia pada
pasien sehingga asupan nutrisi kurang dari kebutuhannya.
b. Pola aktivitas, pasien mengalami keterbatasan dalam beraktivitas karena
adanya malaise dan demam.
c. Pola istirahat tidak cukup, hal ini dikarenakan adanya gangguan saluran
pernapasan seperti sesak napas.
d. Pola eliminasi, pasien akan mengalami penurunan jumlah urin dan feses
yang disebakan adanya anoreksia sehingga asupan pasien tidak adekuat.
2.1.2 Pengobatan
2.2.1 Assessment
Asesmen gizi merupakan langkah pertama dalam melakukan asuhan
gizi. Tahap asesmen merupakan langkah yang sistematis dengan tujuan
mendapatkan, memverifikasi, dan menginterpretasikan data yang dibutuhkan
dalam rangka mengidentifikasi masalah terkait gizi, penyebab, dan
implikasinya. (Dian, 2017) Asesmen gizi adalah pengambilan data
keseluruhan yang dilakukan oleh ahli gizi atau dietisian menggunakan
antropometri, data laboratorium, data fisik/klinis, riwayat makan, serta riwayat
penyakit. Tujuan dari melakukan assesen gizi yaitu ahli gizi dapat meninjau
kembali data yang sudah dikumpulkan untuk menentukan faktor yang
mempengaruhi status gizi dan kesehatan, lalu mengelompokkan data untuk
mengidentifikasi diagnosa gizi, dan selanjutnya menggabungkan data-data
yang ada. (Tania, 2013)
Asesmen gizi memiliki 5 domain yaitu : (a) Pengukuran antropometri; (b) Data
laboratorium; (c ) Pemeriksaan fisik/klinis; (d) Riwayat terkait makanan dan
gizi; (e) Riwayat personal. Berikut adalah penjelasan dari kelima domain
tersebut :
1) Umur
Faktor umur sangat penting dalam penentuan status gizi. Apabila terjadi
kesalahan pada saat penentuan umur akan menyebabkan interpretasi status gizi
menjadi salah. Pengukuran tinggi badan dan berat badan yang akurat, akan sia-
sia jika tidak disertai penentuan umur yang tidak tepat.
Koreksi Oedema
(Jika TB pria <160 cm dan TB<150 cm, tidak perlu dikurangi 10% (Brocca)
Atau :
(Fajar, 2019)
Rumusnya adalah :
(Fajar, 2019)
- Gizi Baik : ≥ 85 %
(Laila, 2020)
5) Indeks Massa Tubuh
IMT (Indeks Massa Tubuh) adalah cara untuk mengetahui status gizi
bagi orang dewasa, terutama untuk menilai massa jaringan tubuh.
> 27 Obesitas
Hb 1-15 gr%
Ht 35-47%
MCH 27-32 pg
MCV 76-96 fL
Hitung Jenis
Eosinofil 1-5
Basofil 0
Batang 2-5
Segmen 25-70
Limfosit 30-40
Monosit 4-8
Suhu 36-37℃
Respirasi 20-3-x/menit
% Tingkat Asupan Zat Gizi = Asupan Zat Gizi/Kebutuhan Zat Gizi x 100%
Standar % Asupan Manurut (WNPG, 2004) :
- Baik : 80-110% AKG
- Kurang : <80% AKG
- Lebih : >110% AKG
(Laila, 2020)
Dalam pendokumentasian proses asuhan gizi, pengukuran dietary history biasa
disingkat dengan D atau dengan kode terminologi menurut IDNT adalah FH.
(Dian, 2017)
Diagnosis gizi terdiri dari 4 domain yaitu Domain Problem Asupan, Domain
Problem Klinin, Domain Problem Perilaku/Lingkungan, Domain Problem lain-
lain. Pada penyakit difteri diagnosisi gizinya yaitu sebagai berikut:
a. Domain Intake
NI-1.1 Peningkatan kebutuhan energi terkait terjadinya anoreksia
ditandai dengan IMT (underweight) dan penurunan beratbadan yang
tidak diinginkan.
NI-1.2 Asupan energi tidak adekuat terkait penurunan kemampuan
untuk mengkonsumsi energi yang cukup ditandai dengan adanya
infeksi akut yang disebabkan oleh bakteri gram posistif
Corynebacterium diphteriae dan rerata asupan <80% dari kebutuhan.
NI-2.1 Asupan per oral tidak adekuat terkait penyakit difteri ditandai
adanya peradangan kronis pada tonsil, sinus, faring, laring, saluran
nafas dan mengalami nyeri saat menelan makanan.
NI-2.9 Keterbatasan penerimaan makanan terkait penyakit difteri
ditandai dengan rasa nyeri saat menelan, mual, dan muntah sehingga
asupan tidak sesuai dengan kebutuhan.
NI-3.2 Asupan cairan berlebih terkait adanya perubahan fungsi
ginjal ditandai dengan terganggunya homeostasis cairan dan
elektrolit, mual dan muntah.
NI-5.1 Peningkatan kebutuhan protein terkait perubahan absorbsi zat
gizi ditandai dengan peradangan kronis pada tonsil, sinus, faring,
laring dan saluran nafas atas serta mengalami pilek dengan sekret
bercampur darah.
NI-5.2 Malnutrisi terkait keadaan anoreksia ditandai dengan IMT <
18,5 kg/m2 dan asupan makanan <60% dari kebutuhan.
NI-5.7.1 Asupan protein tidak adekuat terkait adanya gangguan
makan (anoreksia) ditandai dengan asupan protein tidak mencukupi
kebutuhan.
b. Domain Klinis
NC-1.1 Kesulitan menelan terkait penyakit difteri yang ditandai
dengan hasil pemeriksaan biokimia, pemeriksaan fisik ( lidah kotor
dan ditemukan pseudomembran) dan penurunan jumlah asupan
makanan yang diperkirakan.
NC-2.2 Perubahan nilai laboratorium terkait disfungsi organ
ditandai dengan pemeriksaan darah, urinalisis, leukosit, adanya
proteinuria ringan, dan ketidakseimbangan elektrolit (peningkatan
kalium, natrium, magnesium, dan penurunan kalsium).
NC-3.2 Kehilangan berat badan yang tidak diinginkan terkait
mengalami anoreksia ditandai dengan kehingan berat badan >5%
dalam waktu 1 bulan.
Menurut keadaan, pasien dapat diberikan salah satu dari dua macam
Diet Tinggi Kalori Tinggi Protein (TKTP) seperti dibawah ini:
Sumber Protein Hewani Daging sapi, ayam, ikan, Dimasak dengan banyak
telur, susu, dan hasil olah minyak atau kelapa/santan
seperti keju dan youghurt kental
cus-tard dan es krim.
Dalam mengelompokkan data – data untuk melakukan monitoring dan evaluasi gizi,
ahli gizi dapat melakukan pengukuran langsung kepada pasien atau menggunakan data
yang diukur oleh tenaga kesehatan lain seperti hasil laboratorium, ataupun pemeriksaan
tekanan darah. Berikut merupakan sumber dan perangkat untuk memperoleh data atau
indikator monitoring dan evaluasi :
1. Data monitoring diri pasien baik berupa pemenuhan isian formulir atau melalui
program computer.
2. Data antropometri, biokimia, pemeriksaan medis
3. Hasil survei, kuesioner, hasil pre dan post-test
4. Follow up melalui email atau telepon.
Sedangkan komponen dalam monitoring dan evalusi gizi adalah memantau, mengukur
dan mengevaluasi. Hal ini dilakukan untuk mengukur perubahan pada indikator yang
spesifik menunjukkan keberhasilan gizi.
Menurut ADA dalam terdapat empat kelompok dalam monitoring dan evaluasi,
yaitu :
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Difteri adalah salah satu penyakit yang sangat menular yang disebabkan oleh bakteri
gram positif Corynebacterium diptheriae strain toksin. Penyakit ini ditandai dengan
demam tidak tinggi (kurang dari 38,5°C), batuk, nyeri menelan, nyeri tenggorok, dan
peradangan pada tempat infeksi.
Byard, R.W. (2013). Diptheria The Strungling Angel Of Children. Journal Forensic And
Legal Medicine, 20(2), 65-68
Garna, H. (2012). Buku Ajar Ilmu Penyakit Anak dan Infeksi Tropis. Jakarta: FK UNPAD.
Handayani, D., Anggraeny, O., & Yanuar, D. C. (2015). Nutrition Care Process (H. Dian &
Olivia Anggraeny (eds.); 1st ed.). Graha Ilmu.
Handayani, D., & Kusumastuty, I. (2017). Diagnosis Gizi ( dr. P. M. Arsana (ed.); 1st ed.).
UB Press.
Hardiansyah, & Nyoman, S. I. D. (2016). Ilmu Gizi Teori & Aplikasi. Penerbit Buku
Kedokteran EGC.
Kemenkes RI. (2015). Evaluasi Program Imunisasi. Jakarta Direktorat Jenderal PP & PL
Kemenkes RI.
Ramadhani L S, 2020. Proses Asuhan Gizi Terstandar pada Pasien Gagal Ginjal Kronis
dengan Hemodialisis di RSUD dr. Tjitrowardojo Purworejo. Poltekes Yogyakarta
Sudoyo, A. W. (2009). Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid 2 (5 ed.). Internal Publishing.
Saifudin, N. 2016. Faktor Risiko Kejadian Difteri Di Kabupaten Blitar Tahun 2015. Jurnal
Wiyata, 3 (1), 61-66
Saputra, M. A. S. (2018). Difteri Dalam Lingkup Asuhan Keperawatan. Jurnal Kesehatan,
Januari(2017), 1–17. https://doi.org/10.17605/OSF.IO/3A2NV
Saunders, R., Suarca, I Kadek. (2019). Diagnosis dan Tatalaksana Difteri. Continuing
Medical Education. 46 (2).
Wijaynati Tania, Puruhita Niken. 2013. Studi Kualitatif Proses Asuhan Gizi Terstandar
di Ruang Rawat Inap RS ST. Elisabeth Semarang. Jurnal of Nutrition College.
Vol , No. 1, hal 170-183