Anda di halaman 1dari 23

MAKALAH

PENYAKIT DIFTERI PADA ANAK


Disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Keperawatan Anak

Dosen Pengampu : Ns. Rahayu Yuliana W,S.Kep.,Ns.,M.Kes

Disusun Oleh :
Fitria Rismawati
33412001123
Keperawatan 2D

JURUSAN KESEHATAN PROGRAM STUDI DIII KEPERAWATAN

POLITEKNIK NEGERI MADURA

2022
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat ALLAH SWT yang melimpahkan rahmat taufik dan hidayahnya
sehingga saya dapat menyelesaikan makalah ini. Sholawat serta salam senantiasa tercurahkan
kepada junjungan kita nabi besar Muhammad SAW yang telah mengarahkan kita ke jalan
yang lurus, yakni addinul islam.

Saya menyadari bahwa penulisan makalah ini masih jauh dari kesempurnaan. Oleh
karena itu segala saran dan kritik yang bersifat membangun sangat saya harapkan. Saya
berharap agar makalah ini dapat di terima, dan bermanfaat bagi saya serta bagi para pembaca
pada umumnya. Amin ya rabbal alamin...
DAFTAR ISI
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Corynebacterium diphtheriae merupakan bakteri yang


menginfeksi saluran pernafasan, terutama bagian tonsil, nasofaring (bagian antara hidung
dan faring/ tenggorokan) dan laring. Infeksi yang dihasilkan oleh bakteri ini disebut
difteri, merupakan salah satu penyakit toksik akut sangat menular (contagious disease)
dan menjadi fenomena penyakit yang negatif. Difteri dapat menular melaui beberapa hal
seperti kontak hubungan dekat, melalui udara yang tercemar oleh penderita yang akan
sembuh, serta melalui batuk dan bersin dari si penderita. Kebanyakan penderita difteri
adalah anak-anak yang berusia di bawah 15 tahun dengan usia rentan yakni 2-10 tahun,
dan dalam beberapa kejadian kasus difteri berakibat fatal hingga menimbulkan kematian
(Alfina & Isfandiari, 2015; Rusmil, Chairulfatah, Fadlyana, & Dhamayanti, 2011).

Sejak diperkenalkan vaksin DPT (Dyphtheria, Pertusis dan


Tetanus), penyakit difteri mulai jarang dijumpai. Vaksin imunisasi difteri diberikan pada
anak-anak untuk meningkatkan system kekebalan tubuh agar tidak terserang penyakit
berbahaya ini (Muryani, Machfoedz, & Hasan, 2013). Anak-anak yang tidak
mendapatkan vaksin difteri akan lebih rentan terhadap penyakit yang menyerang saluran
pernafasan. Satu orang penderita difteri saja bisa menularkan satu keluarganya, ayah, ibu,
dan saudara. Dari percikan ludah saja, difteri bisa menularkan sejumlah orang yang
berada di depannya (Faisal, 2017). Sebagai tenaga kesehatan yang profesional perawat
memiliki peran penting dalam memberikan pengetahuan akan bahaya difteri serta
membantu meningkatkan kewaspadaan akan penularan penyakit ini (Muryani et al.,
2013).

1.2 Rumusan Masalah


1. Apa pengertian dari penyakit difteri?
2. Bagaimana tanda & gejala pada pasien penderita difteri?
3. Bagaimana etiologi dari penyakit difteri?
4. Jelaskan manifestasi klinis pada penderita difteri!
5. Jelaskan patofisiologi/pathway dari penyakit difteri!
6. Bagaimana penatalaksanaan pada penderita difteri?
7. Jelaskan Pemeriksaan penunjang yang dibutuhkan dalam mendiagnosa penyakit
difteri!
8. Jelaskan konsep asuhan keperawatan pada penderita difteri!

1.3 Tujuan
1. Mengetahui definisi dari penyakit difteri
2. Mengetahui tanda dan gejala pada penderita difteri
3. Memahami etiologi dari penyakit difteri
4. Mengetahui manifestasi klinis dari penyakit difteri
5. Memahami patofisiologi dari penyakit difteri
6. Memahami penatalaksanaan pada pasien penderita difteri
7. Mengetahui pemeriksaan penunjang untuk diagnose penyakit difteri
8. Memahami asuhan keperawatan pada pasien penderita difteri
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Definisi difteri

Difteri pertama kali ditemukan pada tahun 1884 oleh


Loeffler. Difteri merupakan sebuah penyakit infeksi akut yang disebabkan oleh bakteri
Corynebacterium diphtheriae(CD). Bakteri ini biasanya menyerang traktus respiratory bagian
atas, menyebabkan pembentukan ulcer pada mukosa, dan pembentukan sebuah
pseudomembrane. Walaupun infeksi ini pada umumnya menyerang bagian atas traktus
respiratory seperti mukosa faring, dapat juga menyebabkan lesi sistemik dari jantung dan
juga saraf (Hadfield et al., 2000). Corybacterium diphtheriae merupakan bakteri gram
positif,aerobik, pleomorphic coccobacillus. CD menghasilkan sebuah toxin melalui
lisogenisasi dengan corynebacteriophage yang membawa gen tox. Efek dari toksin CDinilah
yang menyebabkan penyakit difteri(Zasada, 2015).Difteri dikenal sebagai sebuah pembunuh
utama yang menyebabkan ribuan kasus kematian pada anak. Tingkat mortalitas mulai
menurun drastis pada abad ke-21 setelah diperkenalkannya program imunisasi dan
peningkatan taraf hidup (Byard, 2013)

2.2 Tanda dan Gejala

Walau bakteri difteri dapat menyerang jaringan apa saja pada tubuh, tanda-tanda yang
paling menonjol adalah pada tenggorokan dan mulut. Tanda-tanda dan gejala umum dari
difteri adalah:

 Tenggorokan dilapisi selaput tebal berwarna abu-abu


 Radang tenggorokan dan serak
 Pembengkakan kelenjar pada leher
 Masalah pernapasan dan saat menelan
 Cairan pada hidung, ngiler
 Demam dan menggigil
 Batuk yang keras
 Perasaan tidak nyaman
 Perubahan pada penglihatan
 Bicara yang melantur
 Tanda-tanda shock, seperti kulit yang pucat dan dingin, berkeringat dan jantung
berdebar cepat.

2.3 Etiologi

Difteri merupakan penyakit infeksi akut yang terutama menyerang tonsil, faring,
laring, hidung, dan adakalanya menyerang selaput lender atau kulit serta kadang pula
menyerang konjungtiva atau vagina (Chin, J.,J., 2000). Namun kasus yang lebih banyak
terjadi yaitu berupa infeksiakut yang menyerang saluran pernapasan atas.Penyakit ini
disebabkan oleh bakteri Corynebacterium diphtheriae.Bakteri tersebut merupakan salah satu
jenis bakteri gram-positif yangtidak membentuk spora. Pada kedua ujungnya bakteri ini
memilikigranula metakromatik yang memberi gambaran pada pewarnaan.

C.diphtheriae berdiameter 0,5-1 µm dan panjangnya beberapa mikrometer,tidak


berspora, tidak bergerak, dan termasuk pada organisme yang tidaktahan asam. Bakteri ini
bersifat anaerob fakultatif, namun pertumbuhanmaksimal diperoleh pada suasana aerob.
Dibandingkan dengan kumanlain yang tidak berspora, C. diphtheriae lebih tahan terhadap
pengaruhcahaya, pengeringan, dan pembekuan. Namun kuman ini mudahdimatikan oleh
desinfektan (Putri, 2018).

C. diphtheriae terdapat dalam saluran pernapasan, dalam luka-luka, pada kulit orang
yang terinfeksi, atau orang normal yang membawa bakteri (karier) (Putri, 2018). Bakteri ini
terdiri dari beberapa tipe atau varian jenis yaitu tipe mitis, intermedius, dan gravis.
Sementaraitu WHO sendiri menambahkan tipe belfanti menggenapkannya menjadi4 varian
bakteri. Tipe mitis merupakan tipe yang paling seringmenimbulkan penyakit diantara tipe
lainnya (FK UB, 2016). Sementara untuk keganasannya, bakteri ini dibagi menjadi
bakteritoksigenik dan bakteri non toksigenik. Perbedaan keduanya yaitu padastrain toksigenik
terinfeksi oleh coryne bacteriophage yang mengandungdiphtheria toxin gene tox (Chin, J.,
2000). Tipe bakteri nontoksigeniktidak bersifat patogenik, hanya saja dapat berubah sewaktu-
waktumenjadi toksigenik bila terinduksi dengan bakteriofag. Pada dasarnyaproduksi toksin
hanya terjadi bila bakteri tersebut mengalami lisogenasioleh bakteriofag yang mengandung
informasi genetik toksin, hanya galurtoksigenik yang dapat menyebabkan penyakit gelap
(Kandun, 2016).
Spesies bakteri coryneform lain yang dapat juga menimbulkan manifestasi klinis
difteri yaitu Corynebacterium ulcerans (FK UB, 2016).Strain toksigenik mampu
menghasilkan toksin berupa eksotoksin.Eksotoksin inilah yang merupakan faktor virulensi
dari C. diphtheriae(FK UB, 2016)Masa inkubasi biasanya 2-5 hari tapi dapat juga lebih
lam(Widoyono, 2011). Gejala klinisnya tergantung dari tempat terjadinya infeksi, status
imunisasi, dan penyebaran toksin (Kandun, 2016).

2.4 Manifestasi Klinis

Mukosa traktus respiratori bagian atas merupakan tempat infeksi utama. Pada orang
dewasa lebih sering pada mukosa oral, mukosa bukal, bibir, palatum, dan lidah.
Corybacterium diphtheriaeberkolonisasi pada permukaan membran mukosa dan
menyebabkan pembentukan dari pseudomembran yang berwarna putih dan setelah beberapa
waktu akan menjadi warna abu – abu kotor. Pada tahap terakhir dapat menyebabkan warna
hijau atau hitam yang merupakan hasil dari nekrosis. Pada limfonodi bisa terdapat
pembesaran dan muncul warna merah kehitam – hitaman yang merupakan tanda – tanda
perdarahan. Sebagai respon dari infeksi, menyebabkan terjadinya limfadenitis akut non-
spesifik (Hadfield et al., 2000).

Setelah terjadi kontak dengan agen, masa inkubasi selama 2-5hari, gejala biasanya
diikuti demam dan sakit tenggorokan. Terbentuk pseudomembran pada jaringan lunak uvula
dan tonsil setelah 24 jam sebagai efek dari toksin. Bentuk yang lebih parah pada anak – anak
adalah bull neck yang disebabkan pembengkakan pada jaringan lunak dan kelenjar getah
bening leher (Byard, 2014). Onset terjadi secara tiba – tiba dan pertumbuhan dari
pseudomembrane lebih cepat pada cavitas buccal, seluruh faring. Jaringan lunak palatum,
uvula, dan tonsil dapat mengalami nekrosis dan lesi nekrotik ini dapat menembus ke otot
rangka dan menyebabkan perdarahan serta edem (Byard, 2013).

Insiden komplikasi neurologis pertama kali diindikasikan dengan terjadinya


neuropati dimana terjadi paralisis dari palatum lunak dan dinding posterior faring. Seteleah
itu, neuropati saraf kranial menyebabkan paralisis dari okulomotor dan siliari yang
disebabkan karena disfungsi dari nervus fasial, faringeal, atau laringeal yang menyebabkan
gangguan pada aspirasi (Hadfield et al., 2000). Komplikasi dan efek letal difteri disebabkan
adanya obstruksi respiratori atau efek sistemik dari DT yang diabsorbsi pada lokasi infeksi.
Obstruksi secara mekanik jalur nafas disebabkan oleh pseudomembran, edem, dan
perdarahan yang terjadi secara mendadak dan lengkap menyebabkan terjadinya sesak nafas.
DT yang diabsorbsi ke dalam sirkulasi, menyebabkan kerusakan pada banyak organ, terutama
pada jantung dan saraf. Pada jantung, DT menyebabkan terjadinya miokarditis yang
menyebabkan terjadinya gagal jantung kongestif. Pada saraf, DT menyebabkan terjadinya
paralisis pada otot – otot pernafasan dan juga otot okulomotor. Kombinasi dari ketiga
manifestasi difteri yang menyebabkan penyakit infeksi ini memiliki tingkat mortalitas yang
tinggi (Ryan & Ray, 2004).

2.5 Patofisiologi

Kuman masuk melalui mukosa/kulit, melekat serta berbiak pada permukaan mukosa
saluran nafas bagian atas dan mulai memproduksi toksin yang merembes ke sekeliling serta
selanjutnya menyebar ke seluruh tubuh melalui pembuluh limfe dan darah. Setelah melalui
masa inkubasi selama 2-4 hari kuman difteri membentuk racun atau toksin yang
mengakibatkan timbulnya panas dan sakit tenggorokan. Kemudian berlanjut dengan
terbentuknya selaput putih di tenggorokan akan menimbulkan gagal nafas, kerusakan jantung
dan saraf. Difteri ini akan berlanjut pada kerusakan kelenjar limfe, selaput putih mata, vagina.
Komplikasi lain adalah kerusakan otot jantung dan ginjal (Sudoyo, 2009).
Riwayat imunisasi tidak lengkap tinggal di lingkungan yang terpapar difteri imunosupresi

Corynobactenium diphteriae

Kontak dengan orang benda telkomunikasi

Masuk kedalam sel pernafasan atas

Peningkatan aliran
Reaksi inflamasi darah ketempat infeksi

Menghasilkan toksuk
Peradangan mukosa hidung
Permeabilitas
membrane meningkat
Menghasilkan enzim Metabolisme bakteri
penghambat NAD

Kebocoran pembuluh darah


Peningkatan produksi secret
Sintesa protein terputus
nekrorir jaringan
Cairan masuk ke interstisial
Akumulasi secret

Terbentuknya eksudat
di saluran nafas
KETIDAK EFEKTIPAN Tumor/ pembekakan
JALAN NAFAS

menutup saluran nafas Penyempitan saluran nafas atas

NYERI AKUT Nyeri saat menelan


Obstruksi pernafasan

Fungsi pernafasan Peningkatan


terganggu pernafasan
POLA NAFAS TIDAK EFEKTIF
2.6. Penatalaksaan Difteri

Tata laksana farmakologi pada penderita difteri dewasa sama dengan tata laksana penderita
difteri pada anak, yaitu:

 Pemberian Anti Difteri Serum (ADS)

Anti Difteri Serum (ADS) atau antitoksin difteri dihasilkan dari serum kuda, yang bekerja
dengan menetralisir eksotoksin bebas sebelum memasuki sel. ADS sebaiknya diberikan
sesegera mungkin setelah melakukan tes hipersensitivitas terhadap ADS. Pemberian
antitoksin secara dini sangat penting dalam menentukan kesembuhan.

Di Indonesia, Anti Difteri Serum diproduksi dan didistribusikan oleh Biofarma. ADS ini
tersedia di rumah sakit melalui pemesanan ke Kementerian Kesehatan. Kementerian
Kesehatan menyatakan bahwa stok ADS cukup untuk mengatasi kejadian luar biasa (KLB)
difteri yang terjadi pada akhir 2017.[15]

Sebelum pemberian ADS harus dilakukan uji kulit terlebih dahulu untuk menilai sensitivitas
pasien terhadap ADS. Uji kulit dilakukan dengan penyuntikan 0,1 ml ADS dalam larutan
garam fisiologis 1:1000 secara intrakutan. Hasil positif bila dalam 20 menit terjadi indurasi
>10 mm.

Bila uji kulit positif, ADS diberikan dengan cara desensitisasi. Bila uji kulit negatif, ADS
diberikan sekaligus secara intravena. Dosis ADS ditentukan secara empiris berdasarkan berat
penyakit dan lama sakit, tidak tergantung pada berat badan penderita. Dosisnya berkisar
antara 20.000-100.000 unit.

Pemberian ADS intravena dalam larutan garam fisiologis atau 100 ml dekstrosa 5% dalam 1-
2 jam. Lakukan pengamatan terhadap efek samping obat dilakukan selama pemberian
antitoksin dan selama dua jam berikutnya. Selain itu, perlu juga dilakukan pengawasan
terhadap terjadinya reaksi hipersensitivitas lambat (serum sickness).
Kemungkinan terjadi reaksi anafilaksis sekitar 0,6% yang terjadi beberapa menit setelah
pemberian ADS. Untuk itu, pemantauan ketat dan injeksi epinefrin harus selalu tersedia pada
pasien yang baru mendapatkan ADS.
ADS tidak boleh diberikan pada wanita hamil

 Pemberian antibiotika

Tata laksana dengan antibiotik paling efektif pada tahap awal penyakit serta mampu
menurunkan angka penularan dan meningkatkan kesembuhan dari difteri. Antibiotik yang
diberikan adalah golongan makrolid sebagai lini pertama dan golongan penisilin.

 Golongan makrolid:

Berdasarkan CDC, antibiotik golongan makrolid seperti eritromisin dan azitromisin makrolid
adalah antibiotik lini pertama untuk pasien yang berusia lebih dari enam bulan. Namun
demikian, terapi makrolid, khususnya eritromisin, dikaitkan dengan peningkatan
kejadian stenosis pilorus pada bayi berusia kurang dari enam bulan. Antibiotik golongan
makrolid memiliki keuntungan manfaat sebagai agen antiinflamasi dengan menghambat
migrasi leukosit polimorfonuklear. Dosis antibiotik golongan makrolid untuk difteri, yaitu:
 Eritromisin: 40-50 mg/kg/hari dalam dosis per oral terbagi interval 6 jam atau
intravena dengan dosis maksimal 2 g/hari selama 14 hari.

 Azitromisin:

 Anak-anak: 10-12 mg/kg sekali sehari (maks. 500 mg/hari)

 Dewasa: 500 mg sekali sehari

 Durasi pengobatan total 14 hari.

 Golongan penisilin:

Penisilin intramusukular direkomendasikan untuk pasien yang nonkomplians ataupun


intoleran terhadap makrolid, seperti pada bayi berumur di bawah enam bulan. Antibiotik
golongan penisilin yang dapat diberikan yaitu:
 Procaine benzyl penicillin (penisilin G)
 50 mg/kg sekali sehari (maks. 1,2 g/hari) secara IM selama 14 hari

 Aqueous benzyl penicillin (penisilin G)


 000 unit/kg/hari secara IM atau IV lambat diberikan dalam dosis terbagi setiap
6 jam selama 14 hari

Kementerian Kesehatan Republik Indonesia sendiri menganjurkan pemberian antibiotik


penisilin prokain IM 25000-50000 U/kgBB maks 1,5 juta U selama 14 hari, atau dapat juga
diberikan eritromisin oral atau injeksi diberikan 40 mg/kgBB/hari maks 2 g/hari interval 6
jam selama 14 hari

 Kortikosteroid

Kortikosteroid dapat diberikan pada penderita difteri dengan gejala obstruksi saluran napas
bagian atas. Jika terdapat penyulit miokarditis diberikan prednisone 2 mg/kg BB selama 2
minggu kemudian diturunkan bertahap.
Terapi Oksigen

Terapi oksigen rutin sebaiknya dihindari karena dapat mengaburkan tanda-tanda obstruksi
jalan nafas. Hanya berikan terapi oksigen pada pasien yang dicurigai mengalami obstruksi
jalan nafas atau kegawatan nafas.

2.7 pemeriksaan penunjang


Laboratorium
Kriteria konfirmasi laboratorium difteri adalah kultur atau PCR positif. Untuk mengetahui
toksigenisitas difteri, dilakukan pemeriksaan tes Elek. Pengambilan sampel kultur dilakukan pada
hari ke-1, ke-2, dan ke-7. Media yang digunakan saat ini adalah Amies dan Stewart, dahulu Loeffler
atau telurit. Keberhasilan kultur hidung tenggorok di indonesia kurang dari 10%, sehingga
diupayakan untuk menggunakan PCR untuk diagnosis pasti. Sampel diambil dari jaringan di bawah
atau sekitar pseudomembran. Pemeriksaan sediaan langsung dengan mikroskop atau pewarnaan
Gram/Albert tidak dapat dipercaya karena di rongga mulut banyak terdapat bakteri berbentuk mirip
C. diphtheriae (difteroid).
2.8 Konsep Asuhan Keperawatan

A. Konsep Asuhan Keperawatan

1. Pengkajian

Tanggal/Jam MRS,Ruang, No Register, Dx Medis

a. Indentitas Klien
Nama, usia, jenis kelamin, agama, suku bangsa, bahasa, pendidikan, pekerjaan, status
pernikahan, alamat, nama ayah/ibu, penanggung jawab.

b. Keluhan Utama
Pasien penderita Difteri biasanya mengalami keluhan berupa,nyeri tenggorokan saat
menelan,demam.

c. Riwayat Penyakit Sekarang

Penjelasan dari permulaan klien merasakan keluhan sampai dengan di bawa ke RS


dan dilanjutkan sampai pengkajian

Riwayat Penyakit Dahulu

Penyakit yang diderita klien yang berhubungan dengan penyakit saat ini atau penyakit
yang mungkin dapat mempengaruhi penyakit yang diderita saat ini

d. Riwayat Penyakit Keluarga


Penjelasan tenyang danya factor riwayat penyakit keturunan dari keluarga
e. Pola Fungsi Kesehatan
1. Pola persepsi dan tatalaksana kesehatan
Menggambarkan persepsi, pemeliharaan dan penanganan kesehatan. Persepsi
terhadap arti kesehatan dan penatalaksanaan kesehatan, kemampuan menyusun
tujuan, pengetahuan tentang praktek kesehatan.

2. Pola Nutrisi dan Metabolisme


Menggambarkan masukan nutrisi, balance cairan dan 32 elektrolit, nafsu makan,
pola makan, diet, kesulitan menelan, mual/muntah, makanan kesukaan
3. Pola Eliminasi
Menjelaskan pola fungsi eksresi, kandung kemih dan Kulit. Kebiasaan defekasi,
ada tidaknya masalah defekasi, masalah miksi (oliguri, disuri dll), penggunaan
kateter, frekuensi defekasi dan miksi, Karakteristik urin dan feses, pola input
cairan, infeksi saluran kemih dll

4. Pola Aktifitas Dan Kebersihan Diri


Pola ini membahas tentang kebersihan kulit,kebersihan
rambut,telinga,mata,mulut dan kuku

5. Pola Istirahat Tidur

Menggambarkan Pola Tidur, istirahat dan persepasi tentang energi. Jumlah jam
tidur pada siang dan malam, masalah selama tidur, insomnia atau mimpi buruk,
penggunaan obat, mengeluh letih.
6. Pola Kognitif Dan Persepsi Sensori

Pola persepsi sensori meliputi pengkajian fungsi penglihatan, pendengaran,


perasaan, pembau dan kompensasinya terhadap tubuh. Sedangkan pola
kognitif didalamnya mengandung kemampuan daya ingat klien terhadap
persitiwa yang telah lama terjadi dan atau baru terjadi dan kemampuan
orientasi klien terhadap waktu, tempat, dan nama (orang, atau benda yang
lain).Tingkat pendidikan, persepsi nyeri dan penanganan nyeri, kemampuan
untuk mengikuti, menilai nyeri skala 0-10, pemakaian alat bantu dengar,
melihat, kehilangan bagian tubuh atau fungsinya, tingkat 33 kesadaran,
orientasi pasien, adakah gangguan penglihatan, pendengaran, persepsi
sensori (nyeri), penciuman dan lain-lain.

7. Pola Konsep Diri

Menggambarkan sikap tentang diri sendiri dan persepsi terhadap kemampuan.


Kemampuan konsep diri antara lain gambaran diri, harga diri, peran, identitas
dan ide diri sendiri.

8.Pola Hubungan Peran

Menggambarkan dan mengetahui hubungan dan peran klien terhadap anggota


keluarga dan masyarakat tempat tinggal klien.Pekerjaan, tempat tinggal, tidak
punya rumah, tingkah laku yang passive/agresif terhadap orang lain, masalah
keuangan dll.
1. Pola Mekanisme Koping
Menggambarkan kemampuan untuk menangani stress dan penggunaan system
pendukung. Penggunaan obat untuk menangani stress, interaksi dengan orang
terdekat, menangis, kontak mata, metode koping yang biasa digunakan, efek
penyakit terhadap tingkat stress.

10. Pola Fungsi Seksualitas

Menggambarkan kepuasan atau masalah yang aktual 34 atau dirasakan dengan


seksualitas. Dampak sakit terhadap seksualitas, riwayat haid, pemeriksaan
mamae sendiri, riwayat penyakit hubungan seksual, pemeriksaan genital
11.Pola Nilai Dan Kepercayaan
Menerangkan sikap dan keyakinan klien dalam melaksanakan agama yang
dipeluk dan konsekuensinya.Agama, kegiatan keagamaan dan budaya,berbagi
denga orang lain,bukti melaksanakan nilai dan kepercayaan, mencari bantuan
spiritual dan pantangan dalam agama selama sakit

Pemeriksaan fisik

1. Keadaan Umum : GCS :


2. Kesadaran : TB :
3. Tanda – Tanda Vital :
TD : …mmHg
N : … x/menit
S : …° C
RR : … x/menit

4. Kepala
Penjelasan tentang keadaan wajah,mata,mukosa hidung,fungsi penciuman,
mukosa mulut,kondisi lidah
5. Kulit
Keadaan kulit,warna,turgor kulit dan suhu
6. Leher
Mengkaji adanya pembesaran kelenjar getah bening
7. Thoraks
Pengkajian yang meliputi Pergerakan dada dan irama nafas
8.Abdomen
Keadaan kulit,,warna,elastisitas,kering,lembab,bentuk abdomen rata atau
menonjol. Distensi bunyi usus sering hiperaktif adanya nyeri tekan pada bagian
region epigastik

9. Anus Genetalia
Adanya pemasangan DCathether atau tidak
10.Ektremitas
Kemampuan klien dalam menggerakkan bagian ektremitasnya
11.Neurologis
Pengkajian dalam tingkat kesadaran klien
h. Pemeriksaan penunjang
- Pemeriksaan tes Elek
-Pemeriksaan PCR
i. Terapi

 Pemberian Anti Difteri Serum (ADS)


 Golongan makrolid

Eritromisin: 40-50 mg/kg/hari dalam dosis per oral terbagi interval 6 jam atau
intravena dengan dosis maksimal 2 g/hari selama 14 hari.

Azitromisin:Anak-anak: 10-12 mg/kg sekali sehari (maks. 500 mg/hari)

 Golongan Penicilin

Procaine benzyl penicillin (penisilin G)


o 50 mg/kg sekali sehari (maks. 1,2 g/hari) secara IM selama 14 hari

2. Diagnosa Keperawatan

a. Gangguan Menelan berhubungan dengan defek laring ditandai dengan Keluhan sulit
menelan,batuk sebelum menelan,tersedak,batuk setelah makan atau minum
b. Bersihan Jalan Nafas Tidak Efektif berhubungan dengan proses infeksi ditandai
dengan batuk tidak efektif,tidak mampu batuk,sputum berlebih,mengi,wheezing/ronkhi
kering

c. Pola Nafas Tidak Efektif berhubungan dengan hambatan upaya nafas mis. Nyeri saat
bernafas,kelemahan otot bernafasan ditandai dengan penggunaan otot bantu pernafasan,fase
ekspirasi memanjang,pola nafas abnormal mis. Takipnea,bradipnea,hiperventilasi.

3. Intervensi Keperawatan

d. Dx.1 : Gangguan Menelan berhubungan dengan defek laring ditandai dengan


Keluhan sulit menelan,batuk sebelum menelan,tersedak,batuk setelah makan atau minum.

Tujuan : Setelah dilakukan intervensi keperawatan diharapkan status menelan


membaik

Kriteria Hasil :

1. Usaha menelan cukup meningakat


2. Batuk menurun
3. Frekuensi tersedak menurun

Intervensi
a. Intervensi utama : Dukungan Perawatan
Diri:Makan/Minum

Observasi

1. Identifikasi diet yang di anjurkan


2. Monitor kemampuan menelan
3. Monitor status hidrasi pasien, jika perlu

Terapetik

1. Ciptakan lingkungan yang nyaman dan menyenangkan selama makan


2. Atur posisi yang nyaman selama makan dan minum
3. Sedikan sedotan untuk minum, sesuai kebutuhan
4. Sediakan makan dan minuman yang di cintai

Edukasi
1. Jelaskann posisi makanan pada pasien yang mengalami gangguan
penglihatan dengan menggunakan arah jarum ( mis, sayur di jam 12,
rendang di jam 3)
2. Kolaborasi pemberian obat ( mis,analgesik, antiematik) sesuai indekasi

Dx.2 : Bersihan Jalan Nafas Tidak Efektif berhubungan dengan proses infeksi ditandai
dengan batuk tidak efektif,tidak mampu batuk,sputum berlebih,mengi,wheezing/ronkhi
kering

Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan 1x8 jam Bersihan jalan nafas meningkat
Kriteria

hasil :
a. Batuk efektif sedang
b. Produksi sputum cukup menurun
c. Mengi cukup menurun
d. Wheezing cukup menurun

Intervensi
b. Intervensi utama : Latihan Batuk Efektif
Observasi

1. Identifikasi kemampuan batuk


2. Monitor adanya retensi sputum
3. Monitor tanda dan gejala infeksi saluran nafas
4. Monitor input dan output cairan ( mis, jumlah dan karakteristik)

Terapetik

1. Atur posisi semi powler atau powler


2. Pasang perlak atau bengkok di pangkuan pasien
3. Buang seccret pada tempat sputum

Edukasi

1. Jelaskan tujuan dan prosedur batuk efektif


2. Anjurkan tarik nafas dalam melalui hidung selama 4 detik, di tahan selama
2 detik, kemudian di keluarkan dari mulut dengan bibir mencucu
( dibulatkan) selama 8 detik
3. Anjurkan selama 3 kali
4. Anjurkan batuk dengan kuat langsung setelah tarik nafas dalam yang ke 3
Kolaborasi

1. Kolaborasi pemberian mukolitik atau ekspektoran, jika perlu

Dx.3 : Pola Nafas Tidak Efektif berhubungan dengan hambatan upaya nafas mis. Nyeri saat
bernafas,kelemahan otot bernafasan ditandai dengan penggunaan otot bantu pernafasan,fase
ekspirasi memanjang,pola nafas abnormal mis. Takipnea,bradipnea,hiperventilasi.

Tujuan : Setelah dilakukan Intervensi Keperawatan diharapkan pola nafas membaik


Kriteria Hasil :
1. Penggunaan otot bantu bernafas cukup menurn
2. Pemanjangan fase ekspirasi cukup menurun

Intervensi : latihan batuk efektif

Observasi

1. Identifikasi kemampuan batuk


2. Monitor adanya retensi sputum
3. Monitor tanda dan gejala infeksi saluran nafas
4. Monitor input dan output cairan ( mis, jumlah dan karakteristik)

Terapetik

1. Atur posisi semi powler atau powler


2. Pasang perlak atau bengkok di pangkuan pasien
3. Buang seccret pada tempat sputum

Edukasi

1. Jelaskan tujuan dan prosedur batuk efektif


2. Anjurkan tarik nafas dalam melalui hidung selama 4 detik, di tahan selama
2 detik, kemudian di keluarkan dari mulut dengan bibir mencucu
( dibulatkan) selama 8 detik
3. Anjurkan selama 3 kali
4. Anjurkan batuk dengan kuat langsung setelah tarik nafas dalam yang ke 3

Kolaborasi
1. Kolaborasi pemberian mukolitik atau ekspektoran, jika perlu

1. Implementasi

Implementasi keperawatan adalah serangkaian kegiatan yang dilakukan oleh perawat


untuk membantu klien dari masalah status kesehatan yang dihadapi dan menggambarkan
kriteria hasil yang diharapkan.

Implementasi adalah reaksi untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan, kegiatan
dalam pelaksanaan juga meliputi pengumpulan data berkelanjutan, mengobservasi respon
klien selama dan sesudah pelaksanaan tindakan dan menilai data yang baru (Arif Nattagin,
2009)

Implementasi keperawatan adalah kegiatan mengkoordinasikan aktivitas pasien,


keluarga dan anggota tim kesehatan lain untuk mengawasi dan mencatat respon pasien
terhadap tindakan keperawatan yang telah dilakukan ( Nettina, 2002)

2. Evaluasi

Evaluasi keperawatan adalah kegiatan terus menerus yang dilakukan untuk


menentukan apakah rencana keperawatan efektif dan bagaimana rencana keperawatan
dilanjutkan, merevisi rencana dan menghentikan rencana keperawatan (Manurung, 2011).
Evaluasi merupakan penilaian dengan cara membandingkan perubahan keadaan klien (hasil
yang diamati) dengan tujuan dan kriteria hasil yang dibuat pada tahap perencanaan ( arif
Muttaqin, 2009).
BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Difteri merupakan salah satu penyakit toksik yang berbahaya dan menular
(Contagious Disease). Penyakit ini diakibatkan oleh infeksi bakteri Corynebacterium
Diphtheriae, yakni kuman yang menginfeksi saluran pernafasan, terutama bagian tonsil,
nasofaring (bagian antara hidung dan faring/tenggorokan) dan laring. Difteri dapat menular
melaui beberapa hal seperti kontak hubungan dekat, melalui udara yang tercemar oleh
penderita yang akan sembuh, serta melalui batuk dan bersin dari si penderita. Kebanyakan
penderita difteri adalah anak-anak yang berusia di bawah 15 tahun dengan usia rentan yakni
2-10 tahun, dan dalam beberapa kejadian kasus difteri berakibat fatal hingga menimbulkan
kematian. Selain menjaga kebersihan lingkungan pemberian vaksin defteri saat imunisasi
merupakan salah satu upaya dari menghindari serangan virus ini.
DAFTAR PUSTAKA

 https://dspace.uii.ac.id/bitstream/handle/123456789/8447/BAB%20II%20TINJAUAN
%20PUSTAKA.pdf?sequence=8&isAllowed=y
 https://rsudpariaman.sumbarprov.go.id/read-post/Difteri.html
 http://repositori.unsil.ac.id/901/3/BAB%20II%20TINJAUAN%20PUSTAKA.pdf
 file:///C:/Users/asus/Downloads/Muhamad%20Andika%20-%20DIFTERI
%20DALAM%20LINGKUP%20ASUHAN%20KEPERAWATAN%20(1).pdf

Anda mungkin juga menyukai