Disusun Oleh :
Fitria Rismawati
33412001123
Keperawatan 2D
2022
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat ALLAH SWT yang melimpahkan rahmat taufik dan hidayahnya
sehingga saya dapat menyelesaikan makalah ini. Sholawat serta salam senantiasa tercurahkan
kepada junjungan kita nabi besar Muhammad SAW yang telah mengarahkan kita ke jalan
yang lurus, yakni addinul islam.
Saya menyadari bahwa penulisan makalah ini masih jauh dari kesempurnaan. Oleh
karena itu segala saran dan kritik yang bersifat membangun sangat saya harapkan. Saya
berharap agar makalah ini dapat di terima, dan bermanfaat bagi saya serta bagi para pembaca
pada umumnya. Amin ya rabbal alamin...
DAFTAR ISI
BAB I
PENDAHULUAN
1.3 Tujuan
1. Mengetahui definisi dari penyakit difteri
2. Mengetahui tanda dan gejala pada penderita difteri
3. Memahami etiologi dari penyakit difteri
4. Mengetahui manifestasi klinis dari penyakit difteri
5. Memahami patofisiologi dari penyakit difteri
6. Memahami penatalaksanaan pada pasien penderita difteri
7. Mengetahui pemeriksaan penunjang untuk diagnose penyakit difteri
8. Memahami asuhan keperawatan pada pasien penderita difteri
BAB II
PEMBAHASAN
Walau bakteri difteri dapat menyerang jaringan apa saja pada tubuh, tanda-tanda yang
paling menonjol adalah pada tenggorokan dan mulut. Tanda-tanda dan gejala umum dari
difteri adalah:
2.3 Etiologi
Difteri merupakan penyakit infeksi akut yang terutama menyerang tonsil, faring,
laring, hidung, dan adakalanya menyerang selaput lender atau kulit serta kadang pula
menyerang konjungtiva atau vagina (Chin, J.,J., 2000). Namun kasus yang lebih banyak
terjadi yaitu berupa infeksiakut yang menyerang saluran pernapasan atas.Penyakit ini
disebabkan oleh bakteri Corynebacterium diphtheriae.Bakteri tersebut merupakan salah satu
jenis bakteri gram-positif yangtidak membentuk spora. Pada kedua ujungnya bakteri ini
memilikigranula metakromatik yang memberi gambaran pada pewarnaan.
C. diphtheriae terdapat dalam saluran pernapasan, dalam luka-luka, pada kulit orang
yang terinfeksi, atau orang normal yang membawa bakteri (karier) (Putri, 2018). Bakteri ini
terdiri dari beberapa tipe atau varian jenis yaitu tipe mitis, intermedius, dan gravis.
Sementaraitu WHO sendiri menambahkan tipe belfanti menggenapkannya menjadi4 varian
bakteri. Tipe mitis merupakan tipe yang paling seringmenimbulkan penyakit diantara tipe
lainnya (FK UB, 2016). Sementara untuk keganasannya, bakteri ini dibagi menjadi
bakteritoksigenik dan bakteri non toksigenik. Perbedaan keduanya yaitu padastrain toksigenik
terinfeksi oleh coryne bacteriophage yang mengandungdiphtheria toxin gene tox (Chin, J.,
2000). Tipe bakteri nontoksigeniktidak bersifat patogenik, hanya saja dapat berubah sewaktu-
waktumenjadi toksigenik bila terinduksi dengan bakteriofag. Pada dasarnyaproduksi toksin
hanya terjadi bila bakteri tersebut mengalami lisogenasioleh bakteriofag yang mengandung
informasi genetik toksin, hanya galurtoksigenik yang dapat menyebabkan penyakit gelap
(Kandun, 2016).
Spesies bakteri coryneform lain yang dapat juga menimbulkan manifestasi klinis
difteri yaitu Corynebacterium ulcerans (FK UB, 2016).Strain toksigenik mampu
menghasilkan toksin berupa eksotoksin.Eksotoksin inilah yang merupakan faktor virulensi
dari C. diphtheriae(FK UB, 2016)Masa inkubasi biasanya 2-5 hari tapi dapat juga lebih
lam(Widoyono, 2011). Gejala klinisnya tergantung dari tempat terjadinya infeksi, status
imunisasi, dan penyebaran toksin (Kandun, 2016).
Mukosa traktus respiratori bagian atas merupakan tempat infeksi utama. Pada orang
dewasa lebih sering pada mukosa oral, mukosa bukal, bibir, palatum, dan lidah.
Corybacterium diphtheriaeberkolonisasi pada permukaan membran mukosa dan
menyebabkan pembentukan dari pseudomembran yang berwarna putih dan setelah beberapa
waktu akan menjadi warna abu – abu kotor. Pada tahap terakhir dapat menyebabkan warna
hijau atau hitam yang merupakan hasil dari nekrosis. Pada limfonodi bisa terdapat
pembesaran dan muncul warna merah kehitam – hitaman yang merupakan tanda – tanda
perdarahan. Sebagai respon dari infeksi, menyebabkan terjadinya limfadenitis akut non-
spesifik (Hadfield et al., 2000).
Setelah terjadi kontak dengan agen, masa inkubasi selama 2-5hari, gejala biasanya
diikuti demam dan sakit tenggorokan. Terbentuk pseudomembran pada jaringan lunak uvula
dan tonsil setelah 24 jam sebagai efek dari toksin. Bentuk yang lebih parah pada anak – anak
adalah bull neck yang disebabkan pembengkakan pada jaringan lunak dan kelenjar getah
bening leher (Byard, 2014). Onset terjadi secara tiba – tiba dan pertumbuhan dari
pseudomembrane lebih cepat pada cavitas buccal, seluruh faring. Jaringan lunak palatum,
uvula, dan tonsil dapat mengalami nekrosis dan lesi nekrotik ini dapat menembus ke otot
rangka dan menyebabkan perdarahan serta edem (Byard, 2013).
2.5 Patofisiologi
Kuman masuk melalui mukosa/kulit, melekat serta berbiak pada permukaan mukosa
saluran nafas bagian atas dan mulai memproduksi toksin yang merembes ke sekeliling serta
selanjutnya menyebar ke seluruh tubuh melalui pembuluh limfe dan darah. Setelah melalui
masa inkubasi selama 2-4 hari kuman difteri membentuk racun atau toksin yang
mengakibatkan timbulnya panas dan sakit tenggorokan. Kemudian berlanjut dengan
terbentuknya selaput putih di tenggorokan akan menimbulkan gagal nafas, kerusakan jantung
dan saraf. Difteri ini akan berlanjut pada kerusakan kelenjar limfe, selaput putih mata, vagina.
Komplikasi lain adalah kerusakan otot jantung dan ginjal (Sudoyo, 2009).
Riwayat imunisasi tidak lengkap tinggal di lingkungan yang terpapar difteri imunosupresi
Corynobactenium diphteriae
Peningkatan aliran
Reaksi inflamasi darah ketempat infeksi
Menghasilkan toksuk
Peradangan mukosa hidung
Permeabilitas
membrane meningkat
Menghasilkan enzim Metabolisme bakteri
penghambat NAD
Terbentuknya eksudat
di saluran nafas
KETIDAK EFEKTIPAN Tumor/ pembekakan
JALAN NAFAS
Tata laksana farmakologi pada penderita difteri dewasa sama dengan tata laksana penderita
difteri pada anak, yaitu:
Anti Difteri Serum (ADS) atau antitoksin difteri dihasilkan dari serum kuda, yang bekerja
dengan menetralisir eksotoksin bebas sebelum memasuki sel. ADS sebaiknya diberikan
sesegera mungkin setelah melakukan tes hipersensitivitas terhadap ADS. Pemberian
antitoksin secara dini sangat penting dalam menentukan kesembuhan.
Di Indonesia, Anti Difteri Serum diproduksi dan didistribusikan oleh Biofarma. ADS ini
tersedia di rumah sakit melalui pemesanan ke Kementerian Kesehatan. Kementerian
Kesehatan menyatakan bahwa stok ADS cukup untuk mengatasi kejadian luar biasa (KLB)
difteri yang terjadi pada akhir 2017.[15]
Sebelum pemberian ADS harus dilakukan uji kulit terlebih dahulu untuk menilai sensitivitas
pasien terhadap ADS. Uji kulit dilakukan dengan penyuntikan 0,1 ml ADS dalam larutan
garam fisiologis 1:1000 secara intrakutan. Hasil positif bila dalam 20 menit terjadi indurasi
>10 mm.
Bila uji kulit positif, ADS diberikan dengan cara desensitisasi. Bila uji kulit negatif, ADS
diberikan sekaligus secara intravena. Dosis ADS ditentukan secara empiris berdasarkan berat
penyakit dan lama sakit, tidak tergantung pada berat badan penderita. Dosisnya berkisar
antara 20.000-100.000 unit.
Pemberian ADS intravena dalam larutan garam fisiologis atau 100 ml dekstrosa 5% dalam 1-
2 jam. Lakukan pengamatan terhadap efek samping obat dilakukan selama pemberian
antitoksin dan selama dua jam berikutnya. Selain itu, perlu juga dilakukan pengawasan
terhadap terjadinya reaksi hipersensitivitas lambat (serum sickness).
Kemungkinan terjadi reaksi anafilaksis sekitar 0,6% yang terjadi beberapa menit setelah
pemberian ADS. Untuk itu, pemantauan ketat dan injeksi epinefrin harus selalu tersedia pada
pasien yang baru mendapatkan ADS.
ADS tidak boleh diberikan pada wanita hamil
Pemberian antibiotika
Tata laksana dengan antibiotik paling efektif pada tahap awal penyakit serta mampu
menurunkan angka penularan dan meningkatkan kesembuhan dari difteri. Antibiotik yang
diberikan adalah golongan makrolid sebagai lini pertama dan golongan penisilin.
Golongan makrolid:
Berdasarkan CDC, antibiotik golongan makrolid seperti eritromisin dan azitromisin makrolid
adalah antibiotik lini pertama untuk pasien yang berusia lebih dari enam bulan. Namun
demikian, terapi makrolid, khususnya eritromisin, dikaitkan dengan peningkatan
kejadian stenosis pilorus pada bayi berusia kurang dari enam bulan. Antibiotik golongan
makrolid memiliki keuntungan manfaat sebagai agen antiinflamasi dengan menghambat
migrasi leukosit polimorfonuklear. Dosis antibiotik golongan makrolid untuk difteri, yaitu:
Eritromisin: 40-50 mg/kg/hari dalam dosis per oral terbagi interval 6 jam atau
intravena dengan dosis maksimal 2 g/hari selama 14 hari.
Azitromisin:
Golongan penisilin:
Kortikosteroid
Kortikosteroid dapat diberikan pada penderita difteri dengan gejala obstruksi saluran napas
bagian atas. Jika terdapat penyulit miokarditis diberikan prednisone 2 mg/kg BB selama 2
minggu kemudian diturunkan bertahap.
Terapi Oksigen
Terapi oksigen rutin sebaiknya dihindari karena dapat mengaburkan tanda-tanda obstruksi
jalan nafas. Hanya berikan terapi oksigen pada pasien yang dicurigai mengalami obstruksi
jalan nafas atau kegawatan nafas.
1. Pengkajian
a. Indentitas Klien
Nama, usia, jenis kelamin, agama, suku bangsa, bahasa, pendidikan, pekerjaan, status
pernikahan, alamat, nama ayah/ibu, penanggung jawab.
b. Keluhan Utama
Pasien penderita Difteri biasanya mengalami keluhan berupa,nyeri tenggorokan saat
menelan,demam.
Penyakit yang diderita klien yang berhubungan dengan penyakit saat ini atau penyakit
yang mungkin dapat mempengaruhi penyakit yang diderita saat ini
Menggambarkan Pola Tidur, istirahat dan persepasi tentang energi. Jumlah jam
tidur pada siang dan malam, masalah selama tidur, insomnia atau mimpi buruk,
penggunaan obat, mengeluh letih.
6. Pola Kognitif Dan Persepsi Sensori
Pemeriksaan fisik
4. Kepala
Penjelasan tentang keadaan wajah,mata,mukosa hidung,fungsi penciuman,
mukosa mulut,kondisi lidah
5. Kulit
Keadaan kulit,warna,turgor kulit dan suhu
6. Leher
Mengkaji adanya pembesaran kelenjar getah bening
7. Thoraks
Pengkajian yang meliputi Pergerakan dada dan irama nafas
8.Abdomen
Keadaan kulit,,warna,elastisitas,kering,lembab,bentuk abdomen rata atau
menonjol. Distensi bunyi usus sering hiperaktif adanya nyeri tekan pada bagian
region epigastik
9. Anus Genetalia
Adanya pemasangan DCathether atau tidak
10.Ektremitas
Kemampuan klien dalam menggerakkan bagian ektremitasnya
11.Neurologis
Pengkajian dalam tingkat kesadaran klien
h. Pemeriksaan penunjang
- Pemeriksaan tes Elek
-Pemeriksaan PCR
i. Terapi
Eritromisin: 40-50 mg/kg/hari dalam dosis per oral terbagi interval 6 jam atau
intravena dengan dosis maksimal 2 g/hari selama 14 hari.
Golongan Penicilin
2. Diagnosa Keperawatan
a. Gangguan Menelan berhubungan dengan defek laring ditandai dengan Keluhan sulit
menelan,batuk sebelum menelan,tersedak,batuk setelah makan atau minum
b. Bersihan Jalan Nafas Tidak Efektif berhubungan dengan proses infeksi ditandai
dengan batuk tidak efektif,tidak mampu batuk,sputum berlebih,mengi,wheezing/ronkhi
kering
c. Pola Nafas Tidak Efektif berhubungan dengan hambatan upaya nafas mis. Nyeri saat
bernafas,kelemahan otot bernafasan ditandai dengan penggunaan otot bantu pernafasan,fase
ekspirasi memanjang,pola nafas abnormal mis. Takipnea,bradipnea,hiperventilasi.
3. Intervensi Keperawatan
Kriteria Hasil :
Intervensi
a. Intervensi utama : Dukungan Perawatan
Diri:Makan/Minum
Observasi
Terapetik
Edukasi
1. Jelaskann posisi makanan pada pasien yang mengalami gangguan
penglihatan dengan menggunakan arah jarum ( mis, sayur di jam 12,
rendang di jam 3)
2. Kolaborasi pemberian obat ( mis,analgesik, antiematik) sesuai indekasi
Dx.2 : Bersihan Jalan Nafas Tidak Efektif berhubungan dengan proses infeksi ditandai
dengan batuk tidak efektif,tidak mampu batuk,sputum berlebih,mengi,wheezing/ronkhi
kering
Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan 1x8 jam Bersihan jalan nafas meningkat
Kriteria
hasil :
a. Batuk efektif sedang
b. Produksi sputum cukup menurun
c. Mengi cukup menurun
d. Wheezing cukup menurun
Intervensi
b. Intervensi utama : Latihan Batuk Efektif
Observasi
Terapetik
Edukasi
Dx.3 : Pola Nafas Tidak Efektif berhubungan dengan hambatan upaya nafas mis. Nyeri saat
bernafas,kelemahan otot bernafasan ditandai dengan penggunaan otot bantu pernafasan,fase
ekspirasi memanjang,pola nafas abnormal mis. Takipnea,bradipnea,hiperventilasi.
Observasi
Terapetik
Edukasi
Kolaborasi
1. Kolaborasi pemberian mukolitik atau ekspektoran, jika perlu
1. Implementasi
Implementasi adalah reaksi untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan, kegiatan
dalam pelaksanaan juga meliputi pengumpulan data berkelanjutan, mengobservasi respon
klien selama dan sesudah pelaksanaan tindakan dan menilai data yang baru (Arif Nattagin,
2009)
2. Evaluasi
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Difteri merupakan salah satu penyakit toksik yang berbahaya dan menular
(Contagious Disease). Penyakit ini diakibatkan oleh infeksi bakteri Corynebacterium
Diphtheriae, yakni kuman yang menginfeksi saluran pernafasan, terutama bagian tonsil,
nasofaring (bagian antara hidung dan faring/tenggorokan) dan laring. Difteri dapat menular
melaui beberapa hal seperti kontak hubungan dekat, melalui udara yang tercemar oleh
penderita yang akan sembuh, serta melalui batuk dan bersin dari si penderita. Kebanyakan
penderita difteri adalah anak-anak yang berusia di bawah 15 tahun dengan usia rentan yakni
2-10 tahun, dan dalam beberapa kejadian kasus difteri berakibat fatal hingga menimbulkan
kematian. Selain menjaga kebersihan lingkungan pemberian vaksin defteri saat imunisasi
merupakan salah satu upaya dari menghindari serangan virus ini.
DAFTAR PUSTAKA
https://dspace.uii.ac.id/bitstream/handle/123456789/8447/BAB%20II%20TINJAUAN
%20PUSTAKA.pdf?sequence=8&isAllowed=y
https://rsudpariaman.sumbarprov.go.id/read-post/Difteri.html
http://repositori.unsil.ac.id/901/3/BAB%20II%20TINJAUAN%20PUSTAKA.pdf
file:///C:/Users/asus/Downloads/Muhamad%20Andika%20-%20DIFTERI
%20DALAM%20LINGKUP%20ASUHAN%20KEPERAWATAN%20(1).pdf