Anda di halaman 1dari 13

MAKALAH

PENYAKIT DIFTERI DAN PERTUSIS

Disusun Oleh :
Kelompok 3
Latifah
Amalia Octaviani
Wafa Nur’azizah
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan ke hadapan Tuhan Yang Maha Esa,


karena atas berkat rahmat-Nyalah tulisan ini dapat diselesaikan tepat
pada waktunya. Penulisan makalah yang berjudul “Penyakit Difteri dan
Pertusis” ini dalam rangka memenuhi tugas Pengenalan Penyakit
Infeksi.
Penulis Menyadari bahwa tulisan ini tidak luput dari kekurangan-
kekurangan. Hal ini disebabkan oleh keterbatasan pengetahuan dan
kemampuan yang penulis miliki. Oleh karena itu, semua kritik dan saran
pembaca akan penulis terima dengan senang hati demi menjadi makalah
yang lebih baik dikedepannya.
Tulisan ini dapat penuh selesaikan berkat adanya bimbingan dan
bantuan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, sudah sepantasnyalah
pada kesempatan ini penulis menyampaikan ucapan terima kasih
kepada semua pihak, terutama rekan- rekan dosen Jurusan Teknologi
Laboratorium Medis yang telah memberikan masukan demi kelancaran
dan kelengkapan naskah tulisan ini. Akhimya, semoga tulisan yang
jauh dari sempuma ini ada manfaatnya.
DAFTAR ISI

BAB 1 PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
1.2 Rumusan Masalah
1.3 Tujuan
1.4 Manfaat
1.5 Metode

BAB II PEMBAHASAN
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Difteri adalah golongan penyakit menular yang terjadi karena
infeksi bakteri Corynebacterium diphteriae. Difteri menyerang hidung
dan tenggorokan yang biasanya ditandai dengan munculnya selaput abu-
abu yang melapisi tenggorokan dan amandel. Difteri bertanggung jawab
atas penyakit endemik dan epidemi, dan pertama kali dijelaskan pada
abad ke-5 SM oleh Hippocrates. Infeksi biasanya terjadi pada musim
semi atau musim dingin. Hal ini menular selama 2-6 minggu tanpa
pengobatan antibiotik.
Orang yang paling rentan terhadap infeksi adalah mereka yang tidak
diimunisasi lengkap atau memiliki tingkat antibodi antitoksin yang rendah
dan telah terpapar oleh pembawa atau individu yang sakit. Pembawa
adalah seseorang yang kulturnya positif untuk spesies difteri tetapi tidak
menunjukkan tanda dan gejala. Karena jumlah pembawa asimptomatik
menurun, jumlah kasus difteri menurun.
Pertusis (batuk rejan) adalah infeksi saluran pernapasan yang
ditandai dengan batuk paroksismal. Organisme penyebab paling umum
adalah Bordetella pertussis (lihat gambar di bawah), meskipun Bordetella
parapertussis juga dikaitkan dengan kondisi ini pada manusia. Pertusis
tetap menjadi penyebab signifikan morbiditas dan mortalitas pada bayi di
bawah 2 tahun.

1.2 Rumusan Masalah


a. Bagaimanakah penjelasan dari penyakit difteri?
b. Bagaimanakah penjelasan dari penyakit pertussis?
c. Bagaimanakah cara pencegahan dan pengobatan pada penyakit
difteri dan pertusis?
1.3 Tujuan
Untuk menjelaskan penyakit difteri dan pertusis secara keseluruhan
serta bagaimana cara pencegahan dan pengobatannya
1.4 Manfaat
Manfaat dalam pembuatan makalah ini untuk mengetahui penyakit
difteri dan pertusis secara keseluruhan serta bagaimana cara pencegahan
dan pengobatannya.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Difteri
2.1.1 Pengertian Difteri
Difteri adalah jenis penyakit menular yang disebabkan oleh infeksi
bakteri yang diawali dengan rasa sakit di tenggorokan, demam, lemas
hingga membengkaknya kelenjar getah bening selaput lender. Bakteri
yang menginfeksi bernama Corynebacterium diphtheria.
2.1.2 Epidemiologi
Epidemiologi penyakit difteri dilaporkan lebih tinggi pada negara
dengan cakupan vaksinasi suboptimal, termasuk Indonesia.
Pada 1977, WHO menetapkan Expanded Programme on Immunization
(EPI), yaitu rekomendasi global untuk imunisasi terhadap penyakit yang
bisa diatasi vaksin (vaccine preventable disease/VPD), salah satunya
adalah difteri. Usaha ini cukup berhasil menurunkan insidensi penyakit
difteri di beberapa negara. Namun, dalam beberapa waktu belakangan
ini, tercatat adanya wabah dan peningkatan insidensi penyakit difteri
terutama di negara-negara di Asia. Menurut WHO, dalam kurun 2017-
2022 penyakit difteri merupakan VPD yang paling sering dilaporkan
pada anak usia kurang dari 5 tahun di Asia Tenggara.
Penyakit difteri juga tercatat merebak di negara-negara yang mengalami
konflik, seperti Venezuela, Haiti, Yaman, dan Bangladesh, terutama
pada area kamp pengungsian. Di tahun 2017, tercatat sebanyak 807
kasus terduga difteri, termasuk 15 kematian, terjadi pada pengungsi
Rohingya di Bangladesh. Di tahun yang sama, di Yaman, terdapat 333
kasus terduga difteri serta 35 kematian. Merebaknya kasus difteri di
beberapa negara disebabkan cakupan vaksinasi yang rendah, migrasi
penduduk, faktor sosio-ekonomi rendah dan menurunnya imunitas di
populasi.
2.1.3 Penyebab
Penyebab difteri adalah bakteri Corynebacterium diphtheriae yang
dapat menghasilkan racun di dalam tubuh.
Bakteri ini dapat menyebarkan penyakit melalui air liur, udara, benda
pribadi, serta permukaan benda lain yang terkontaminasi.
Berikut adalah ulasan lengkap mengenai bakteri penyebab difteri
menyebar atau menular.
a. Partikel udara
Jika anak menghirup partikel udara dari batuk atau bersin orang yang
terinfeksi, kemungkinan ia dapat terkena difteri.
Cara ini sangat efektif untuk menyebarkan penyakit, terutama pada
tempat yang ramai.
b. Barang pribadi yang terkontaminasi
Penyebab lainnya adalah kontak dengan benda-benda pribadi yang
terkontaminasi.
Anda dapat terkena difteri dengan memegang tisu bekas orang yang
terinfeksi, minum dari gelas yang belum dicuci, atau kontak sejenisnya
dengan benda yang membawa bakteri.
Pada kasus yang langka, difteri menyebar pada peralatan rumah tangga
yang digunakan bersama, seperti handuk atau mainan.
c. Luka yang terinfeksi
Menyentuh luka yang terinfeksi juga dapat membuat Anda terpapar
bakteri yang menjadi penyebab difteri.
2.1.4 Gejala Klinis
Umumnya gejala penyakit difteri akan muncul 2–5 hari setelah
seseorang terinfeksi bakteri Corynebacterium diphteriae. Setelah itu,
bakteri menyebar ke aliran darah dan menimbulkan gejala di bawah ini:
-Terbentuknya lapisan tipis berwarna abu-abu yang menutupi amandel dan
tenggorokan.
-Demam dan menggigil.
-Nyeri tenggorokan dan suara serak.
-Sulit bernapas atau napas yang cepat.
-Pembengkakan kelenjar getah bening pada leher.
-Lemas dan lelah.
-Pilek yang awalnya cair, tetapi dapat sampai bercampur darah.
-Batuk yang keras.
-Rasa tidak nyaman.
-Gangguan penglihatan.
-Bicara melantur.
-Tanda-tanda syok, seperti kulit yang pucat dan dingin, berkeringat, dan
jantung berdebar cepat.
2.1.5 Pemeriksaan Lab
Diagnosis difteri diawali dengan menilai gejala dan tanda yang
terlihat di sistem pernafasan. Jika dicurigai adanya difteri, dokter akan
melakukan usap (swab) tenggorokan atau hidung. Apabila ditemukan
adanya adanya luka pada kulit yang dicurigai difteri, maka dokter akan
mengambil sampel jaringan dan mencoba menumbuhkan bakteri (kultur
bakteri) untuk menegakkan diagnosis.
2.1.6 Penularan
Terhirup percikan ludah penderita di udara saat penderita bersin atau
batuk. Ini merupakan cara penularan difteri yang paling umum. Barang-
barang yang sudah terkontaminasi oleh bakteri, contohnya mainan atau
handuk. Sentuhan langsung pada luka borok (ulkus) akibat difteri di kulit
penderita.
2.1.7 Pencegahan/Pengendalian
Melakukan Imunisasi DT dan TDMUNSASI DT DAN TD
Meski kedua jenis vaksin ini punya nama yang hampir sama, tapi hati-hati
karena keduanya berbeda. Imunisasi Dt adalah imunisasi yang diberikan
untuk mencegah beberapa penyakit infeksi seperti difteri, tetanus, dan
batuk rejan (pertusis). Sedangkan imunisasi TD merupakan imunisasi
lanjutan dari imunisasi Dt agar anak semakin kebal dengan ketiga penyakit
infeksi tersebut. Kedua vaksin ini sebenarnya memiliki fungsi yang sama,
yaitu mencegah terjadinya penyakit infeksi difteri, tetanus, dan batuk rejan
(pertusis). Namun, yang berbeda adalah waktu pemberian serta komposisi
dosisnya.
2.1.8 Penatalaksanaan
penatalaksanaannya dapat dilakukan dengan penanganan berupa
antibiotik dan antitoksin yang menetralkan toksin difteri.

2.2 Pertusis
2.2.1 Pengertian Pertusis
Pertusis adalah batuk rejan yang disebabkan oleh infeksi bakteri
Bordetella pertussis. Gejala pertusis biasanya dimulai dengan pilek, hidung
beringus, rasa lelah dan adakalanya demam parah.
Pertusis adalah penyakit yang biasanya menyebar di tempat padat
penduduk dan biasanya dapat berupa epidemik pada anak. Epidemik adalah
kondisi penyakit menular dalam masyarakat yang jumlah penderitanya
meningkat melebihi keadaan lazim pada waktu dan daerah tertentu.
2.2.2 Epidemiologi
epidemiologi mengenai kasus pertusis dan kontak dekat diperoleh
dari dokumen sampel dan laporan laboratorium tahunan sebagai bagian
dari surveilans berbasis kasus pertusis di Indonesia dari tahun 2016 hingga
2020. Semua sampel dikumpulkan dari pasien dengan diagnosis klinis
pertusis dan kontak dekat. disampaikan kepada Laboratorium Riset
Penyakit Menular Prof. Dr. Sri Oemijati, Jakarta, Indonesia, sebagai
Laboratorium Rujukan Nasional Pertusis. Berdasarkan pedoman WHO,
kasus klinis atau kasus suspek didefinisikan sebagai seseorang dengan
batuk yang berlangsung selama ≥ 2 minggu, atau dengan durasi berapa pun
pada bayi atau orang lain dalam situasi wabah, tanpa diagnosis yang lebih
mungkin dan dengan setidaknya salah satu dari gejala-gejala paroxysms
(pas) batuk, rejan inspirasi, muntah post-tussive.
2.2.3 Gejala Penyakit Pertusis
Gejala batuk rejan berbeda, dan tergantung stadium atau fase yang
dialami. Berdasarkan stadiumnya, pertusis dibagi menjadi stadium kataral,
paroksismal, dan konvalesen.
Fase tersebut biasanya berlangsung selama tiga bulan. Karena itu, orang
Indonesia sering menyebutnya sebagai batuk 100 hari.
Tanda dan gejala batuk rejan (pertusis)
Gejala batuk rejan atau pertusis bisa berbeda-beda, sesuai dengan stadium
yang dialami oleh pasien. Berikut penjelasannya:
a. Gejala stadium 1 (stadium kataral)
-Pilek
-Demam, tapi suhu badan tidak tinggi
-Batuk ringan yang jarang, namun semakin lama bisa semakin berat dan
lebih sering
b. Gejala stadium 2 (stadium paroksismal)
-Batuk yang sering dan cepat. Batuk disertai dengan bunyi 'whoop' di tiap
akhir batuk. Inilah alasan pertusis disebut whooping cough.
Serangan batuk paroksismal ini biasanya terjadi pada malam hari, dengan
rata-rata 15 kali serangan tiap 24 jam. Frekuensi batuk akan meningkat
dalam 1-2 minggu pertama dan menetap selama 2-3 minggu. Setelah itu,
frekuensi batuk perlahan-lahan akan berkurang.
Selain frekuensi batuk yang sering, stadium paroksismal juga bisa memicu
sianosis (kulit dan bibir menjadi biru), muntah, dan rasa lelah yang
berlebihan.
c. Gejala stadium 3 (stadium konvalesen)
-Gejala pertusis akan membaik
-Batuk paroksismal mulai berkurang dalam 2-3 minggu setelah stadium 2
2.2.4 Penyebab Pertusis
Batuk pertusis disebabkan oleh bakteri Bordetella pertussis. Bakteri ini
dapat masuk kemudian menempel pada dinding-dinding saluran
pernapasan. Bordetella pertussis yang menempel di dinding saluran
pernapasan setelahnya melepaskan racun yang dapat merusak dan
menyebabkan pembengkakan pada jalur keluar masuknya udara.
Bakteri penyebab pertusis sangat mudah menular. Saat pengidap pertusis
batuk atau bersin, cairan saluran pernapasan dapat keluar ke udara. Cairan
ini membawa bakteri Bordetella pertussis dan berisiko terhirup oleh orang
di sekitar. Penularan bahkan bisa terjadi bahkan sebelum pengidap batuk
rejan menunjukkan gejala hingga 2 minggu setelah batuk mulai muncul.

Anda mungkin juga menyukai