Anda di halaman 1dari 4

Pengertian Difteri

Difteri adalah penyakit menular yang dapat disebarkan melalui batuk, bersin, atau luka
terbuka. Gejalanya termasuk sakit tenggorokan dan masalah pernapasan. Penyebab utama
difteri adalah infeksi bakteri Corynebacterium diphteriae, yang menyerang selaput lendir
pada hidung dan tenggorokan, serta dapat memengaruhi kulit. 

Penyakit ini dapat menyerang orang-orang dari segala usia dan berisiko menimbulkan infeksi
serius yang berpotensi mengancam jiwa. Pengobatannya meliputi antibiotik dan antitoksin
untuk mematikan bakteri. Salah satu langkah pencegahan difteri yang paling efektif adalah
mendapatkan vaksinasi difteri.

  Penyebab Difteri
Difteri disebabkan oleh infeksi bakteri Corynebacterium diphteriae. Infeksi ini dapat menular
melalui partikel di udara, benda pribadi, peralatan rumah tangga yang terkontaminasi, serta
menyentuh luka yang terinfeksi kuman difteri. Selain penularan difteri juga bisa terjadi
melalui air liur seseorang. Bahkan jika orang yang terinfeksi tidak menunjukkan tanda atau
gejala difteri, mereka masih dapat menularkan bakteri hingga enam minggu setelah infeksi
awal.

Bakteri paling sering menginfeksi bagian hidung dan tenggorokan. Setelah menginfeksi,
bakteri melepaskan zat berbahaya yang disebut racun yang kemudian menyebar melalui
aliran darah dan menyebabkan lapisan abu-abu tebal. Lapisan ini umumnya terbentuk di area
hidung, tenggorokan, lidah dan saluran udara. Dalam beberapa kasus, racun ini juga dapat
merusak organ lain, termasuk jantung, otak, dan ginjal, sehingga berpotensi menimbulkan
komplikasi yang mengancam jiwa.

Faktor Risiko Difteri


Risiko penularan difteri meningkat pada orang-orang yang belum mendapatkan vaksinasi.
Faktor lain yang dapat meningkatkan risiko penularan difteri yaitu:

 Berkunjung ke daerah dengan cakupan imunisasi difteri yang rendah;


 Sistem kekebalan tubuh yang lemah, seperti penderita HIV/AIDS;
 Gaya hidup yang tidak sehat; 
 Lingkungan dengan kebersihan dan sanitasi yang buruk;
 Anak-anak di bawah usia 5 tahun dan orang tua di atas usia 60 tahun;
 Tinggal di pemukiman padat penduduk;
 Bepergian ke daerah yang tinggi kasus difteri.

Gejala Difteri
Umumnya gejala penyakit difteri akan muncul 2–5 hari setelah seseorang terinfeksi
bakteri Corynebacterium diphteriae. Setelah itu, bakteri menyebar ke aliran darah dan
menimbulkan gejala di bawah ini:
 Terbentuknya lapisan tipis berwarna abu-abu yang menutupi amandel dan tenggorokan;
 Demam dan menggigil;
 Nyeri tenggorokan dan suara serak;
 Sulit bernapas atau napas yang cepat;
 Pembengkakan kelenjar getah bening pada leher;
 Lemas dan lelah;
 Pilek yang awalnya cair, tetapi dapat sampai bercampur darah;
 Batuk yang keras;
 Rasa tidak nyaman;
 Gangguan penglihatan;
 Bicara melantur; dan
 Tanda-tanda syok, seperti kulit yang pucat dan dingin, berkeringat, dan jantung berdebar
cepat.

Pada beberapa orang difteri bersifat ringan atau tidak ada tanda dan gejala yang jelas sama
sekali. Dalam kasus seperti ini, mereka tetap tidak menyadari penyakitnya dan masih bisa
menularkannya ke orang lain. 

Diagnosis Difteri
Dokter akan mendiagnosis difteri dengan melakukan wawancara medis, pemeriksaan fisik
untuk melihat lapisan abu-abu di tonsil atau di tenggorokan serta pembesaran kelenjar getah
bening pada leher. Apabila didapati lapisan abu-abu di area tenggorokan, dokter mungkin
perlu mengambil sampel jaringan untuk diteliti lebih lanjut di laboratorium.  

Pengobatan Difteri
Difteri adalah salah satu penyakit yang berpeluang fatal sehingga perlu diobati sesegera
mungkin dan secara agresif. Pertama-tama, dokter perlu memastikan jalan napas tidak
terhalang atau tersumbat. Dalam beberapa kasus, dokter perlu memasang tabung pernapasan
di tenggorokan untuk menjaga jalan napas tetap terbuka sampai peradangan pada jalan napas
berkurang. Setelah itu, dokter akan berfokus untuk membasmi bakteri penyebab difteri
dengan memberikan perawatan berikut:

 Antibiotik. Pemberian antibiotik, seperti penisilin atau eritromisin dapat membantu


membunuh bakteri dan membersihkan infeksi. Antibiotik juga dapat mencegah penularan dari
pengidap difteri ke orang lain.
 Antitoksin. Dokter juga akan memberikan obat untuk menetralkan racun difteri dalam tubuh
(antitoksin). Obat ini diberikan melalui suntikan ke pembuluh darah atau otot. Sebelum
memberikan antitoksin, dokter perlu melakukan tes alergi kulit untuk memastikan  orang yang
terinfeksi tidak memiliki alergi terhadap antitoksin. Jika seseorang memiliki alergi,
kemungkinan besar dokter tidak akan memberikan antitoksin dan mencari pengobatan
alternatif lain.
Anak-anak dan orang dewasa yang mengidap difteri sering kali perlu dirawat di rumah sakit
dan disolasi di unit perawatan intensif. Ini karena, difteri dapat menyebar dengan mudah
kepada siapa saja yang tidak divaksinasi penyakit tersebut. 

Komplikasi Difteri
Sebagian besar kasus difteri menimbulkan gejala yang signifikan dan perlu diobati untuk
mencegah komplikasi yang mengancam nyawa. Jika tidak diobati difteri dapat menyebabkan:

 Masalah pernapasan. Bakteri penyebab difteri dapat menghasilkan toksin atau racun. Racun
ini mampu merusak jaringan di area infeksi, biasanya di hidung dan tenggorokan. Di area
tersebut infeksi menghasilkan lapisan abu-abu yang terdiri dari sel-sel mati, bakteri, dan zat
lainnya. Jika dibiarkan, selaput ini dapat menghambat pernapasan.
 Kerusakan jantung. Racun yang dihasilkan oleh bakteri pun berisiko menyebar melalui
aliran darah dan merusak jaringan lain di dalam tubuh. Misalnya dapat merusak otot jantung
sehingga menimbulkan komplikasi seperti radang otot jantung (miokarditis). Kerusakan
jantung akibat miokarditis dapat berkisar ringan atau berat. Dalam kasus yang paling parah,
miokarditis dapat menyebabkan gagal jantung dan kematian mendadak.
 Kerusakan saraf. Racun juga dapat menyebabkan kerusakan saraf pada tenggorokan. Saraf
yang mengalami masalah ini bisa menyebabkan kesulitan menelan. Racun juga bisa
memengaruhi saraf bagian lengan dan kaki dan menyebabkan kelemahan otot. Ketika racun
merusak saraf yang mengontrol otot pernapasan, otot-otot ini dapat menjadi lumpuh dan
pengidapnya berisiko mengalami gagal napas. 

Dengan pengobatan pengidap difteri berpeluang selamat dari komplikasi ini, meskipun
pemulihannya membutuhkan waktu yang cukup lama. Sekitar 5-10 persen kasus difteri
berakibat fatal dan tingkat kematiannya lebih tinggi pada anak-anak di bawah usia 5 tahun
atau lansia.

Pencegahan Difteri
Satu-satunya pencegahan difteri yang paling efektif adalah mendapatkan vaksinasi difteri. Di
Indonesia, vaksin difteri adalah salah satu vaksinasi yang wajib diberikan untuk balita.
Vaksinasi difteri umumnya dikombinasikan dengan vaksin tetanus dan batuk rejan (pertusis).
Nah, vaksin ini lebih dikenal sebagai imunisasi DPT (Difteri, Tetanus, Pertusis). 

Imunisasi DPT diberikan sebanyak lima kali saat anak berusia 2 bulan, 3 bulan, 4 bulan, 18
bulan, dan usia 4–6 tahun. Setelah ini, anak-anak perlu mendapatkan booster yang diberikan
lewat imunisasi Td atau Tdap untuk anak usia di atas 7 tahun dan harus diulang setiap 10
tahun sekali, termasuk untuk orang dewasa. Selain mendapatkan vaksin, kebersihan
lingkungan pun perlu diperhatikan, terutama pada pemukiman padat penduduk dan sanitasi
yang kurang bersih. 

Kapan Harus ke Dokter?


Apabila mengalami gejala difteri, jangan tunda untuk memeriksakan diri ke dokter guna
mendapat diagnosis yang tepat. Agar lebih mudah dan praktis, buat janji rumah sakit melalui
aplikasi Halodoc. Segera periksakan diri sebelum kondisinya semakin buruk dan menular ke
orang lain, download  Halodoc sekarang juga!
Referensi:
WHO. Diakses pada 2022. Diphtheria.
Medical News Today. Diakses pada 2022. Diphtheria: Causes, symptoms, and treatment .
Mayo Clinic. Diakses pada 2022. Diphtheria.
Centers for Disease Control and Prevention. Diakses pada 2022. Diphtheria.
Diperbarui pada 14 Maret 2022

Anda mungkin juga menyukai