Anda di halaman 1dari 23

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Konsep Penyakit Difteri

2.1.1. Pengertian

Difteri adalah salah satu penyakit yang disebabkan oleh bakteri gram

positif Corynebacterium diptheriae strain toksin. Gejala yang di timbulkan ialah sakit

tenggorokan, peradangan dan infeksi pada selaput mukosa faring, laring, tonsil

dan terbentuk lapisan berwarna keabu-abuan (World Health Organization, 2018)

Difteri adalah penyakit menular yang menyerang pada anak-anak usia 5-7

tahun. Difteri menyerang saluran pernafasan atas yang menyebabkan sakit

tenggorokan, demam, dan terbentuknya lapisan berwarna putih (Kemenkes, 2018)

Difteri berupa penyakit akut pada jaringan tonsil, saluran pernafasan,

hidung bahkan pada kulit, selaput lendir, konjuntiva mata dan alat kelamin.

Ditandai dengan radang berbentuk bercak atau selaput abu-abu yang dikelilingi

daerah pembengkakan berwarna merah yang disebabkan racun yang dikeluarkan

oleh bakteri C. diphteriae. Gejala lain berupa sakit menelan dan disertai adanya

pembengkakan kelenjar limpe disekitar leher (Chandra, 2012).

2.1.2. Patofisiologi

Corynebacterium diphtheria yang masuk ke dalam tubuh dapat berkembang

biak pada mukosa saluran nafas, untuk kemudian memproduksi eksotoksin yang

disebut diphtheriatoxin (dt). Toksin yang terbentuk tersebut kemudian dapat diserap

oleh membran mukosa dan menimbulkan peradangan dan penghancuran epitel

saluran nafas hingga terjadi nekrosis, leukosit akan menginfiltasi daerah nekrosis

6
7

sehingga banyak ditemukan fibrin yang kemudian akan membentuk patchy exudate,

yang masih dapat dilepaskan. Pada keadaan lanjut akan terkumpul fibrous exudate

yang membentuk pseudomembran (membran palsu) dan semakin sulit untuk dilepas

serta mudah berdarah. Umumnya pseudomembran terbentuk pada area tonsil, faring,

laring, bahkan bisa meluas sampai trakhea dan bronkus. Membran palsu dapat

menyebabkan edema pada jaringan mukosa dibawahnya, sehingga dapat

menyebabkan obstruksi saluran nafas dan kematian pada penderita difteri

pernafasan. Toksin kemudian memasuki peredaran darah dan menyebar ke

seluruh tubuh, terutama pada jantung dan jaringan saraf yang memiliki banyak

reseptor dt, serta menyebabkan degenerasi dan nekrosis pada jaringan tersebut.

Bila mengenai jantung akan mengakibatkan terjadinya miokarditis dan payah

jantung, sedangkan pada jaringan saraf akan menyebabkan polineuropati.

Kematian biasanya disebabkan karena adanya kegagalan jantung dan gangguan

pernafasan (Acang N,1996).

2.1.3. Jenis Jenis Difteri

Menurut Anonim (2010) penyakit difteri dibagi menjadi beberapa jenis

yaitu:

1. Difteri saluran nafas

2. Difteri hidung

3. Difteri tonsil dan faring

4. Difteri laring

5. Difteri kulit

6. Difteri tempat lain


8

2.1.4. Manifestasi Klinis

Menurut (Karto,2007) Manifestasi klinis difteri ialah ada pada saluran nafas

atas disertai dengan gejala sakit tenggorokan, limfadenitis, disfagia, malaise, sakit

kepala dan demam yang tinggi. Obstruksi saluran nafas bisa terjadi akibat

terbentuknya membran adheren pada nasofaring dan berakibat fatal (J

Indon,2014). Gejala klinis penyakit difteri ini adalah :

1. Panas lebih dari 38 °C

2. Ada psedomembrane bisa di pharynx, larynx atau tonsil

3. Sakit waktu menelan

4. Leher membengkak seperti leher sapi (bullneck), disebabkan karena

pembengkakan kelenjar leher.

Tidak semua gejala-gejala klinik ini tampak jelas, maka setiap anak panas

yang sakit waktu menelan harus diperiksa pharynx dan tonsilnya apakah ada

psedomembrane. Jika pada tonsil tampak membran putih kebau-abuan

disekitarnya, walaupun tidak khas rupanya, sebaiknya diambil sediaan (spesimen)

berupa apusan tenggorokan (throat swab) untuk pemeriksaan laboratorium.

Gejala diawali dengan nyeri tenggorokan ringan dan nyeri menelan. Pada anak tak

jarang diikuti demam, mual, muntah, menggigil dan sakit kepala. Pembengkakan

kelenjar getah bening di leher sering terjadi (Ditjen P2PL Depkes,2003).

2.1.5. Pencegahan

Tidak ada upaya yang lebih efektif dalam mencegah terjadinya difteri selain

pemberian imunisasi. Hal ini terbukti baik di dalam maupun di luar negeri. Di

negara maju dengan status gizi dan hygiene yang tinggi, imunisasi tetap diberikan

dalam upaya memberikan kekebalan khusus terhadap difteri. Cakupan imunisasi


9

yang tinggi dan kualitas layanan imunisasi yang baik sangat menentukan

keberhasilan pencegahan berbagai penyakit menular, termasuk difteri.

Menurut Kuloni (2013) ada beberapa proses pencegahan yang dapat

dilakukan terhadap penyakit difteri antara lain, yaitu :

a. Kegiatan penyuluhan kepada masyarakat terutama kepada para orang

tua tentang bahaya dari difteri dan perlunya imunisasi aktif diberikan

kepada bayi dan anak-anak.

b. Tindakan pemberantasan yang efektif adalah dengan melakukan

imunisasi aktif secara luas (massal) dengan Diphtheria Toxoid (DT).

Imunisasi dilakukan pada waktu bayi dengan vaksin yang

mengandung Diphtheria Toxoid.

c. Setiap bayi (0-1 tahun) perlu diberi vaksi DTP sebanyak tiga kali yang

dimulai dan diulangi lagi setelah anak berumur 6-7 tahun melalui

program BIASA (Bulan Imunisasi Anak Sekolah) di sekolah dasar

(Kuloni, 2013)

2.1.6. Penatalaksanaan Medis

Tujuan penatalaksanaan medis terhadap penyakit difteri adalah

menginaktivasi toksin yang belum terikat secara cepat, mencegah dan

meminimalisir terjadinya komplikasi. Mengeliminasi C. diphtheriae untuk

mencegah penularan serta mengobati infeksi penyerta dan penyulit difteri.


10

Terapi :

Pemeriksaan bakteriologi berlangsung beberapa hari. Jika diduga kuat

difteri maka terapi spesifik dengan antitoksin dan antibiotik harus segera diberikan

tanpa menunggu hasil laboratorium, terutama pemberian antitoksin difteri

secepatnya. Terapi antimikroba diperlukan untuk menghentikan produksi toksin,

dengan mengeradikasi mikroorganisme penyebab sehingga dapat mencegah

penyebaran lebih lanjut. Pasien dengan suspek difteri, harus dilakukan tindakan

pencegahan paling sedikit dengan pemberian antibiotik selama 4 hari atau sampai

diagnosis difteri dapat disingkirkan.

Antitoksin Difteri :

Merupakan hiperimun serum yang diperoleh dari kuda. Antitoksin hanya

menetralisir toksin yang berada dalam sirkulasi sebelum terikat dengan jaringan.

Pemberian yang terlambat dapat meningkatkan resiko miokarditis dan neuritis.

Tes sensitivitas dapat dilakukan sebelum pemberian antitoksin difteri.14 Bila

membran hanya terbatas pada nasal atau permukaan saja maka Anti Difteri Serum

(ADS) dapat diberikan 20.000 unit intramuskular, bila sedang maka ADS dapat

diberikan sebesar 60.000 unit intramuskular, sedangkan pada membran yang telah

meluas maka dapat diberikan ADS sebanyak 100.000-120.000 unit intramuskular.

Gambar 2.1 Antitoksin Difteri


Gambar 1. Antitoksin Difteri
11

Antibiotik :

Antibiotik pilihan adalah Eritromisin atau Penisilin. Rekomendasi

pemberian adalah sebagai berikut :

1. Penisilin prokain G 25000-50000 unit/kg/dosis (pada anakanak), 1,2 juta

unit/dosis (pada orang dewasa). Pemberian intramuskular.

2. Eritromisin 40-50 mg/kg/dosis, maksimum dosis 2 g/dosis, terbagi 4

dosis. Pemberian peroral dan parenteral

3. Penisilin G 125-250 mg, 4 kali sehari intramuskular dan intravena

4. Terapi antibiotik diberikan selama 14 hari

2.2. Konsep Miokarditis

2.2.1 Pengertian

Peradangan pada otot jantung atau miokardium. Pada uumnya miokarditis

disebabkan penyakit penyakit infeksi, tetapi dapat sebagai akibat reaksi alergi

terhadap obat obatan dan efek toksik bhan kimia radiasi.

Pada miokarditis, kerusakan miokardium disebabkan oleh toksin yang di

keluarkan basil miosit. Toksin akan menghambat sintesis protein dan secara

mikroskopis akan di dapatkan mosit dengan infiltras lemak, serat oto mengalami

nekrosis hialin (Kindermann I & dkk, 2012)

2.2.2 Patofisiologi

Patofisiologi miokarditis melibatkan sistem imun inang dan juga patogen

eksternal yang keduanya akan memicu peradangan pada miokard. Miokarditis

dapat disebabkan oleh infeksi (virus, bakteri, protozoa), ataupun agen noninfeksi
12

(toksin, autoimun). Namun, penyebab yang tersering adalah infeksi virus

dan postviral immune-mediated response (Kindermann I & dkk, 2012)

Fase Akut - Invasi Virus dan Agen Infeksi Lainnya

Miokarditis secara klasik disebabkan oleh invasi patogen ke miokardium.

Patogen yang paling banyak menyebabkan miokarditis adalah virus yang

bermigrasi ke otot jantung melalui jalur hematogen atau limfogen. Virus dapat

masuk ke dalam sel target melalui reseptor spesifik atau melalui kompleks

reseptor. Masuknya virus ke dalam miosit dapat menyebabkan kerusakan direk.

Selain itu, proliferasi virus dan interaksi virus dengan sistem imun akan

menyebabkan kerusakan indirek pada miosit (Sagar S, Liu PP, & Cooper LT Jr,

2011)

Fase Subakut - Aktivasi Sistem Imun

Setelah virus masuk ke miosit, tubuh berespon melalui sistem imun bawaan

dan adaptif. Sistem imun bawaan berespons langsung terhadap patogen yang telah

menginvasi jaringan. Contohnya sel makrofag, neutrofil, dendritik, mast, basofil,

eosinofil, dan sel natural killer. Sistem imun adaptif terdiri dari sel limfosit T dan

B yang menyerang patogen secara spesifik.

Keseimbangan antara respon imun inang dan patogen berperan besar

sebagai penentu luaran klinis pasien. Respon imun perlu diaktivasi untuk melawan

infeksi, namun perlu dimodulasi sehingga tidak terjadi kerusakan jaringan yang

berlebih akibat proses inflamasi.

Fase Kronik - Proses Terjadinya Miopati

Apabila proses inflamasi berkelanjutan, jantung dapat mengalami proses

remodelling sehingga terjadi dilated cardiomyopathy (DCM). Peningkatan kadar

sitokin seperti TNF alfa dan interleukin 1 beta dapat menginduksi hipertrofi
13

miosit, menyebabkan gangguan kontraktilitas, apoptosis miosit,

dan remodelling matriks ekstra sel.

Proses inflamasi, nekrosis, remodelling, dan fibrosis yang berlangsung

secara kronik dapat mentransformasi miokarditis menjadi DCM dan sekuelnya,

yang meliputi gagal jantung kronis dan gangguan konduksi jantung.

2.2.3 Manifestasi Klinis

Apabila beberapa kondisi seperti nyeri dada atau sesak napas terjadi,

mungkin ini merupakan gejala ringan. Indikasi umum yang mungkin terjadi pada

beberapa orang yaitu :

1. Nyeri pada dada

2. Detak jantung tidak normal

3. Sesak napas

4. Terjadi pembengkakan pada sendi, kaki, dan vena leher

Beberapa indikasi miokarditis akibat virus adalah :

1. Sakit kepala

2. Nyeri pada sendi

3. Demam

4. Sakit tenggorokan

5. Diare

Beberapa indikasi miokarditis yang mungkin terjadi pada anak adalah :

1. Demam

2. Pingsan

3. Kesulitan bernapas

4. Detak jantung yang tidak normal


14

2.2.4 Penyebab

Miokarditis dapat disebabkan oleh penyakit reumatik akut dan infeksi

virus seperti cocksakie virus, difteri, campak, influenza, poliomyelitis, dan berbagai

macam bakteri, rikettsia, jamur, dan parasit. Miokarditis dapat menyerang semua

umur. Sebagian dapat sembuh spontan. Miokarditis sering disertai keradangan

pada perikard ( selaput pembungkus jantung).

Penyebab miokarditis adalah agen infeksius dan noninfeksius, tetapi

infeksi virus dilaporkan sebagai penyebab paling sering. Coxsackievirus dan

Parvovirus B-19 adalah patogen yang paling sering dideteksi pada

pemeriksaan endomyocardial biopsy (EMB).

Selain virus, agen infeksi lain yang dapat menyebabkan miokarditis adalah

bakteri, protozoa, fungi, dan parasit. Agen noninfeksius yang dapat menyebabkan

miokarditis adalah reaksi hipersensitivitas, penyakit autoimun, dan juga toksin.

2.2.5 Diagnosis

Melakukan diagnosis lebih awal adalah langkah terbaik untuk mencegah

kerusakan fatal. Ada beberapa tes yang mungkin harus dilakukan untuk

mengetahui tingkat keparahannya, yaitu :

1. Elektrokardiogram (EKG), Tes ini dilakukan untuk mendeteksi irama detak

jantung; apakah pasien memiliki irama jantung normal atau tidak.

2. Ekokardiografi (echo)

3. X-ray, Tes ini berguna untuk menggambarkan keadaan jantung dan melihat

apakah ada cairan di dalam atau di sekitar jantung.

4. MRI, Tes ini memperlihatkan ukuran, bentuk, dan struktur jantung pasien,

serta menunjukkan tanda-tanda peradangan otot jantung.


15

2.2.6 Pencegahan

Belum ada langkah terbukti mampu mencegah miokarditis. Namun, ada

beberapa hal yang dapat dilakukan yaitu:

1. Menghindar dari orang yang terkena flu atau virus

2. Menjaga kebersihan

3. Tidak menggunakan obat-obatan terlarang

4. Berhubungan seks dengan alat pengaman

5. Mendapatkan vaksin

2.3 Pneumonia

2.3.1 Pengertian

Pneumonia adalah penyakit infeksi akut yang mengenai parenkim paru,

distal dari bronkiolus terminalis yang mencakup bronkiolus respiratorius dan

alveoli, serta menimbulkan konsolidasi jaringan paru dan gangguan pertukaran

gas setempat (Dahlan, 2014).

Pneumonia adalah keradangan pada parenkim paru yang terjadi pada

masa anak-anak dan sering terjadi pada masa bayi (Hidayat, 2006). Pneumonia

pada anak merupakan masalah yang umum dan menjadi penyebab utama

morbiditas dan mortalitas di dunia (Gessman, 2009).

Gambar 2.2 Pneumonia


Gambar 2. Pneumonia
16

Pneumonia dapat diklasifikasikan dalam berbagai cara, klasifikasi paling

sering ialah menggunakan klasifikasi berdasarkan tempat didapatkannya

pneumonia (pneumonia komunitas dan pneumonia nosokomial), tetapi

pneumonia juga dapat diklasifikasikan berdasarkan area paru yang terinfeksi (lobar

pneumonia, multilobar pneumonia, bronchial pneumonia, dan intertisial

pneumonia) atau agen kausatif. Pneumonia juga sering diklasifikasikan

berdasarkan kondisi yang mendasari pasien, seperti pneumonia rekurens

(pneumonia yang terjadi berulang kali, berdasarkan penyakit paru kronik),

pneumonia aspirasi (alkoholik, usia tua), dan pneumonia pada gangguan imun

(pneumonia pada pasien tranplantasi organ, onkologi, dan AIDS).

2.3.2 Patogenesis

Proses patogenesis pneumonia terkait dengan tiga faktor yaitu keaadan

(imunitas) pasien, mikroorganisme yang menyerang pasien dan lingkungan yang

berinteraksi satu sama lain. Dalam keadaan sehat, pada paru tidak akan terjadi

pertumbuhan mikroorganisme, keadaan ini disebabkan oleh adanya mekanisme

pertahanan paru. Adanyanya bakteri di paru merupakan akibat ketidakseimbangan

antara daya tahan tubuh, mikroorganisme dan lingkungan, sehingga

mikroorganisme dapat berkembang biak dan berakibat timbulnya sakit.

Ada beberapa cara mikroorganisme mencapai permukaan :

1) Inokulasi langsung

2) Penyebaran melalui darah

3) Inhalasi bahan aerosol,

4) Kolonosiasi di permukaan mukosa.


17

Dari keempat cara tersebut, cara yang terbanyak adalah dengan kolonisasi.

Secara inhalasi terjadi pada virus, mikroorganisme atipikal, mikrobakteria atau

jamur. Kebanyakan bakteria dengan ikuran 0,5-2,0 mikron melalui udara dapat

mencapai brokonsul terminal atau alveol dan selanjutnya terjadi proses infeksi.

Bila terjadi kolonisasi pada saluran napas atas (hidung, orofaring) kemudian terjadi

aspirasi ke saluran napas bawah dan terjadi inokulasi mikroorganisme, hal ini

merupakan permulaan infeksi dari sebagian besar infeksi paru. Aspirasi dari

sebagian kecil sekret orofaring terjadi pada orang normal waktu tidur (50%) juga

pada keadaan penurunan kesadaran, peminum alkohol dan pemakai obat (drug

abuse). Sekresi orofaring mengandung konsentrasi bakteri yang sanagt tinggi 108-

10/ml, sehingga aspirasi dari sebagian kecil sekret (0,001 - 1,1 ml) dapat

memberikan titer inokulum bakteri yang tinggi dan terjadi pneumonia.

Gambar 2.3 Patogenesis pneumonia oleh bakteri pneumococcus


Gambar 3. Patogenesis pneumonia oleh bakteri pneumococcus

Basil yang masuk bersama sekret bronkus ke dalam alveoli menyebabkan

reaksi radang berupa edema seluruh alveoli disusul dengan infiltrasi sel-sel PMN
18

dan diapedesis eritrosit sehingga terjadi permulaan fagositosis sebelum terbentuk

antibodi. Sel-sel PNM mendesak bakteri ke permukaan alveoli dan dengan

bantuan leukosit yang lain melalui psedopodosis sistoplasmik mengelilingi bakteri

tersebut kemudian terjadi proses fagositosis.

Pada waktu terjadi perlawanan antara host dan bakteri maka akan nampak

empat zona (Gambar 2) pada daerah pasitik parasitik terset yaitu:

1. Zona luar (edama): alveoli yang tersisi dengan bakteri dan cairan

edema

2. Zona permulaan konsolidasi (red hepatization): terdiri dari PMN dan

beberapa eksudasi sel darah merah

3. Zona konsolidasi yang luas (grey hepatization): daerah tempat terjadi

fagositosis yang aktif dengan jumlah PMN yang banyak

4. Zona resolusi E: daerah tempat terjadi resolusi dengan banyak bakteri

yang mati, leukosit dan alveolar makrofag.

2.3.3 Manifestasi Klinis

Manifestasi klinik pneumonia berdasarkan World Health Organization

(WHO) (2005) yaitu batuk dan/atau kesulitan bernapas ditambah minimal salah

satu hal berikut ini yaitu :

1. Kepala terangguk-angguk

2. Pernapasan cuping hidung

3. Tarikan dinding dada bagian bawah ke dalam

4. Foto dada menunjukkan gambaran pneumonia

Selain itu terdapat juga tanda berikut ini :


19

a. Nafas cepat :

1. Anak umur < 2 bulan : ≥ 60 kali/menit

2. Anak umur 2 – 11 bulan : ≥ 50 kali/menit

3. Anak umur 1 – 5 tahun : ≥ 40 kali/menit

4. Anak umur ≥ 5 tahun : ≥ 30 kali/menit

b. Suara merintih pada bayi

c. Pada auskultasi terdengar :

1. Crackles (ronki)

2. Suara pernapasan menurun

3. Suara pernapasan bronkial

Dalam keadaan yang sangat berat dapat dijumpai :

1. Tidak dapat minum/makan atau memuntahkan semuanya

2. Kejang, letargis atau tidak sadar

3. Sianosis

4. Distress pernapasan berat

2.3.4 Penyebab

Pneumonia dapat disebabkan oleh berbagai mikroorganisme seperti

bakteri, virus, jamur, dan protozoa. Pneumoni komunitas yang diderita oleh

masyarakat luar negeri banyak disebabkan gram positif, sedangkan pneumonia

rumah sakit banyak disebabkan gram negatif. Dari laporan beberapa kota di

Indonesia ditemukan dari pemeriksaan dahak penderita komunitas adalah bakteri

gram negatif.
20

Penyebab paling sering pneumonia yang didapat dari masyarakat dan

nosokomial :

a. Yang didapat di masyarakat: Streeptococcus pneumonia,

Mycoplasma pneumonia, Hemophilus influenza, Legionella

pneumophila, chlamydia pneumonia, anaerob oral, adenovirus,

influenza tipe A dan B.

b. Yang didapat di rumah sakit: basil usus gram negative (E. coli,

Klebsiella pneumonia), Pseudomonas aeruginosa, Staphylococcus

aureus, anaerob oral.

2.3.5 Pencegahan

Di luar negeri di anjurkan pemberian vaksin influenza dan pneumokokus

pada orang dengan resiko tinggi. Vaksinasi sampai saat ini masih perlu dilakukan

penelitian tentang efektivitinya. Pemberian vaksin tersebut diutamakan untuk

golongan risiko tinggi misalnya usia lanjut, penyakit kronik, diabetes, penyakit

jantung koroner, PPOK, HIV, dll. Vaksinasi ulang direkomendasikan setelah > 2

tahun. Efek samping vaksinasi yang terjadi antara lain reaksi lokal dan reaksi yang

jarang terjadi yaitu hipersensitivitas tipe 3. Di samping itu vaksin juga perlu di

berikan untuk penghuni rumah jompo atau rumah penampungan penyakit kronik,

dan usia diatas 65 tahun. Selain vaksin, pola hidup sehat juga termasuk tidak

merokok juga sangat direkomendasikan.

2.3.6 Penatalaksanaan Medis

Pada prinsipnya penatalaksaan utama pneumonia adalah memberikan

antibiotik tertentu terhadap kuman tertentu infeksi pneumonia. Pemberian

antibitotik bertujuan untuk memberikan terapi kausal terhadap kuman penyebab


21

infeksi, akan tetapi sebelum antibiotika definitif diberikan antibiotik empiris dan

terapi suportif perlu diberikan untuk menjaga kondisi pasien.

Terapi antibiotika empiris menggambarkan tebakan terbaik berdasarkan

pada klasifikasi pneumonia dan kemungkinan organisme, karena hasil

mikrobiologis umumnya tidak tersedia selama 12-72 jam. Maka dari itu

membedakan jenis pneumonia (CAP atau HAP) dan tingkat keparahan

berdasarkan kondisi klinis pasien dan faktor predisposisi sangatlah penting, karena

akan menentukan pilihan antibiotika empirik yang akan diberikan kepada pasien.

Tindakan suportif meliputi oksigen untuk mempertahankan PaO2 > 8 kPa

(SaO2 > 92%) dan resusitasi cairan intravena untuk memastikan stabilitas

hemodinamik. Bantuan ventilasi : ventilasi non invasif (misalnya tekanan jalan

napas positif kontinu (continous positive airway pressure), atau ventilasi mekanis

mungkin diperlukan pada gagal napas. Bila demam atau nyeri pleuritik dapat

diberikan antipiretik analgesik serta dapat diberika mukolitik atau ekspektoran

untuk mengurangi dahak

Pilihan Antibiotika :

Dalam memilih antibiotika yang tepat harus dipertimbangkan faktor

sensitivitas bakteri terhadap antibiotika, keadaan tubuh pasien, dan faktor biaya

pengobatan. Pada infeksi pneumonia (CAP dan HAP) seringkali harus segera

diberikan antibiotika sementara sebelum diperoleh hasil pemeriksaan

mikrobiologik. Pemilihan ini harus didasarkan pada pengalaman empiris yang

rasional berdasarkan perkiraan etiologi yang paling mungkin serta antibiotika

terbaik untuk infeksi tersebut. Memilih antibiotika yang didasarkan pada luas

spektrum kerjanya tidak dibenarkan karena hasil terapi tidaklebih unggul daripada
22

hasil terapi dengan antibiotika berspektrum sempit, sedangkan superinfeksi lebih

sering terjadi dengan antibiotika berspektrum luas.

Tabel 1. Rekomendasi antibiotika empiris pada CAP


Table 2.1 Rekomendasi antibiotika empiris pada CAP
Terapi pasien rawat jalan :

1. Sebelumnya sehat dan tidak menggunakan antibiotik dalam 3 bulan sebelumnya


a. Makrolid
b. Doxicilin
2. Ada komorbid (penyakit jantung, paru, hati, ginjal, DM, alkhol, keganasan, asplenia,
obat immunospresi, antibiotik 3 bulan sebelumnya)
a. Fluoroquinolon respirasi (moxifloxacin, gemifloxacin/ levofloxacin 750 mg)
b. β lactam + makrolid
c. Pada daerah dengan angka infeksi tinggi dan dengan resisitensi tinggi makrolid
terhadap S.pneumoniae , dipertimbangkan antibiotik sesuai poin 2.
Rawat inap tidak di ICU
Fluoroquinolon respirasi atau β lactam + makrolid
Rawat inap di ICU
β lactam (cefotaxim, ceftriaxon, atau ampicilin sulbaktam) + azitromisin atau
floroquinolon respirasi
Bila diperkirakan pseudomonas
- β lactam antipseudomonas (piperasilin-tazobactam, cefepime, imipenem atau
merpenem) + ciprofloxasin atau levofloxacin (750 mg) atau
- β lactam antipseudomonas + aminoglikosid dan azitromisin atau
- β lactam antipseudomonas + aminoglikosid dan floroquinolon antipneumococal
(untuk pasien alergi penisilin ganti β lactam dengan asteronam
Bila dipertimbangkan CA-MRSA tambahkan vancomysin/linezolid
Berdasarkan atas panduan penatalaksanaan pasien dengan CAP oleh

American Thoracic Society (ATS), untuk pasien yang memerlukan perawatan di

rumah sakit dengan penyakit kardiopulmoner dengan atau tanpa faktor

modifikasi, terapi yang dianjurkan adalah terapi dengan golongan β-lactam

(cefotaxim, ceftriaxon, ampicillin/sulbactam, dosis tinggi ampicillin intravena)

yang dikombinasi dengan makrolide atau doksisiklin oral atau intravena, atau

pemberian fluroquinolon antipneumococcal intravena saja. Begitu juga panduan

penatalaksanaan yang dikeluarkan oleh Infectious Diseases Society of America


23

(IDSA) menganjurkan pemberian cephalosporin ditambah makrolide atau

βlactam/β-lactamase inhibitor ditambah makrolide atau fluroquinolon saja.

Penatalaksanaan yang baik terhadap bakteriemik streptococcal pneumonia

akan secara signifikan menurunkan angka kematian pasien CAP. Terdapat isu

penting tentang penggunaan dual terapi meningkatkan outcome yang lebih baik

dibandingkan denganmonoterapi pada pasien CAP. Dual terapi yang dimaksud

adalah kombinasi antara regimen yang terdiri dari antibiotika β-lactam, makrolide,

atau fluroquinolon. Sedangkan monoterapi yang dimaksud adalah penggunaan

golongan β-lactam atau fluoroquinolon sebagai agen tunggal.

2.4. Kegagalan Nafas

2.4.1 Pengertian

Kegagalan pernapasan adalah dimana kondisi yang tidak adekuat pada

sistem pertukaran gas sehingga terjadi hipoksemia, hiperkapnea (peningkatan

konsentrasi karbon dioksida arteri), dan asidosis. Kegagalan pernapasan seperti

halnya kegagalan pada sistem organ lainnya, jantung, otak dan dapat di kenal

melalui gambaran klinis atau hasil pemeriksaan laboratorium. Kegagalan napas

bisa terjadi karena paru-paru tidak dapat mengeluarkan atau membuang karbon

dioksida. (Guyton,A.C. & John E. Hall, 2008)

Gagal npaas di bedakan menjadi 2 diantaranya :

a. Gagal napas akut : gagl napas yang timbul pada pasien dengan

paru-pari normal secra struktural maupun fungsional sebelum

awitan (onset) penyakit timbul.


24

b. Gagal napas kronis gagal napas yang terjadi pada pasien paru

kronik seperti bronkhitis kronis, emfisema pasien dengan toleransi

terhadap hipoksia dan hiperkapnea.

2.4.2 Patofisiologi

Mekanisme gagal napas menggambarkan ketidak mampuan tubuh untuk

melakukan oksigenasi dan/atau ventilasi dengan adekuat yang ditandai oleh

ketidakmampuan sistem respirasi untuk memasok oksigen yang cukup atau

membuang karbon dioksida. Pada gagal napas terjadi peningkatan tekanan parsial

karbon dioksida arteri (PaCO2) lebih besar dari 50 mmHg, tekanan parsial oksigen

arteri (PaO2) kurang dari 60 mmHg, atau kedua-duanya.Hiperkarbia dan hipoksia

mempunyai konsekuensi yang berbeda. (Frankel LR., 2007)

Peningkatan PaCO2 tidak mempengaruhi metabolisme normal kecuali

bila sudah mencapai kadar ekstrim (>90 mm Hg). Diatas kadar tersebut,

hiperkapnia dapat menyebabkan depresi susunan saraf pusat dan henti napas.

Untuk pasien dengan kadar PaCO2 rendah, konsekuensi yang lebih berbahaya

adalah gagal napas baik akut maupun kronis. Hipoksemia akut, terutama bila

disertai curah jantung yang rendah, sering berhubungan dengan hipoksia jaringan

dan risiko henti jantung (Nitu ME, & Elger H., 2009)

Hipoventilasi ditandai oleh laju pernapasan yang rendah dan napas yang

dangkal. Bila PaCO2 normal atau 40 mmHg, penurunan ventilasi sampai 50%

akan meningkatkan PaCO2 sampai 80 mmHg. Dengan hipoventilasi, PaO2 akan

turun kira-kira dengan jumlah yang sama dengan peningkatan PaCO2. Kadang,

pasien yang menunjukkan petanda retensi CO2 dapat mempunyai saturasi oksigen

mendekati normal (Nitu ME, & Elger H., 2009)


25

Disfungsi paru menyebabkan gagal napas bila pasien yang mempunyai

penyakit paru tidak dapat menunjang pertukaran gas normal melalui peningkatan

ventilasi. Anak yang mengalami gangguan padanan ventilasi atau pirau biasanya

dapat mempertahankan PaCO2 normal pada saat penyakit paru memburuk hanya

melalui penambahan laju pernapasan saja. Retensi CO2 terjadi pada penyakit paru

hanya bila pasien sudah tidak bisa lagi mempertahankan laju pernapasan yang

diperlukan, biasanya karena kelelahan otot (Ralston M, & dkk, 2006)

2.4.3 Penyebab

Penyebab gagal napas dapat digolongkan sesuai kelainan primernya dan

komponen sistem pernapasan yaitu (Guyton,A.C. & John E. Hall, 2008) :

1. Gangguan sistem saraf pusat (SSP) :

a. Berbagai gangguan farmakologi, struktur dan metabolik pada

SSP dapat mendepresi dorongan untuk bernapas

b. Hal ini dapat menyebabkan gagal napas hipoksemi atau

hiperkapni yang akut maupun kronis

c. Contohnya adalah tumor atau kelainan pembuluh darah di otak,

overdosis narkotik atau sedatif, gangguan metabolik seperti

miksedema atau alkalosis metabolik kronis.

2. Gangguan sistem saraf perifer, otot pernapasan dan dinding dada :

a. Gangguan pada kelompok ini adalah ketidakmampuan untuk

menjaga tingkat ventilasi per menit sesuai dengan produksi CO2

b. Dapat meyebabkan hipoksemi dan hiperkapni

c. Contohnya sindrom Guillan-Barre, distropi otot, miastenia

gravis, kiposkoliosis berat dan obesitas.


26

3. Abnormalitas jalan napas

a. Obstruksi jalan napas yang berat adlah penyebab umum

hiperkapni akut dan kronis

b. Contonhnya epiglotitis, tumor yang menenai trakea, penyakit

paru obstruktif kronis, asma dan kistik fibrosis

4. Abnormalitas alveoli

a. penyakit yang ditandai oleh hipoksemi walaupun kompliksi

hiperkapni dapat terjadi

b. contohnya adalah edema pulmoner kardiogenik dan

nonkardiogenik, pneumonia aspirasi, perdarahan paru yang

masif

c. gangguan ini berhubungan dengan shunt intrapulmoner dan

peningkatan kerja pernapasan

5. Penyebab umum gagal napas tipe I (hipoksemi) : Emfisema dan

bronkitis kronis (PPOK), Pneumonia, Edema pulmoner, Asma,

Pneumothorak, Emboli paru, Hipertensi arteri pulmoner,

Pneumokoniosis, Penyakit paru granuloma, Penyakit jantung

kongenital sianosis, Bronkiekstasi, Sindrom distres pernapasan akut,

Sindrom emboli lemak, Kiposkoliosis dan Obesitas.

6. Penyebab umum gagal napas tipe II (hiperkapni) : Emfisema dan

bronkitis kronis (PPOK), Asma yang berat, Overdosis obat,

Keracunan, Miastenia gravis, Polineuropati, Kelainan otot primer,

Kordotomi servikal, Trauma kepala dan servikal, Hipoventilasi

alveolar primer, Sindrom hipoventilasi pada obesitas, Edema


27

pulmoner, Sindrom distres pernapasan akut, Miksedema dan

Tetanus.

2.4.4 Penatalaksanaan Medis

Tujuan terapi gagal napas adalah memaksimalkan pengangkutan oksigen

dan membuang CO2. Hal ini dilakukan dengan meningkatkan kandungan oksigen

arteri dan menyokong curah jantung serta ventilasi. Karena itu, dalam tatalaksana

terhadap gagal nafas, yang perlu segera dilakukan adalah: perbaikan ventilasi dan

pemberian oksigen, terapi terhadap penyakit primer penyebab gagal nafas,

tatalaksana terhadap komplikasi yang terjadi, dan terapi supportif.

Jika tekanan parsial oksigen kurang dari 70 mmHg, oksigen harus

diberikan untuk meningkatan saturasi mayor yaitu 90%. Jika tidak disertai penyakit

paru obstruktif, fraksi inspirasi O2 harus lebih besar dari 0,35. Pada pasien yang

sakit parah, walaupun pengobatan medis telah maksimal, NIV (Noninvasive

ventilation) dapat digunakan untuk memperbaiki oksigenasi, mengurangi laju

pernapasan dan mengurangi dyspnoea. Selain itu, NIV dapat digunakan sebagai

alternatif intubasi trakea jika pasien menjadi hiperkapnia (Forte et al., 2006).

Sedangkan menurut Gallo et, all (2013), penatalaksanaan pada gagal nafas

adalah :

1. Memasang dan mempertahankan jalan nafas yang adekuat

2. Meningkatkan oksigenasi

3. Koreksi gangguan asam basa

4. Memperbaiki kesimbangan cairan dan elektrolit

5. Mengidentifikasi dan terapi kondisi mendasar yang dapat dikoreksi

dan penyebab presipitasi


28

6. Pencegahan dan deteksi dini komplikasi potensial

7. Memberikan dukungan nutrisi

8. Pengkajian periodeik mengenai proses, kemajuan dan respon

terhadap therapy

9. Determinasi kebutuhan akan ventilasi mekanis.

Menurut Black and Hawks 2014, pada penggunanan ventilasi mekanis atau

ventilator, jenis ventilator yang digunakan adalah bertekanan positif dan bukan

tekanan negative, dengan tujuan untuk memaksa udara masuk kedalam apru-paru.

Tekanan posisif diprlukan untuk pertukaran gas dan untuk menjaga alveolus tetap

terbuka.

Anda mungkin juga menyukai