A. Pengertian Difteri
Difteri adalah penyakit yang diakibatkan oleh serangan bakteri yang bersumber
dari Corynebacterium Diphtheriae. Difteri merupakan penyakit yang mengerikan dimana
telah menyebabkan ribuan kematian, dan masih mewabah di daerah-daerah dunia yang
belum berkembang. Orang yang selamat dari penyakit ini menderita kelumpuhan otot-
otot tertentu dan kerusakan permanen pada jantung dan ginjal. Anak-anak yang berumur
satu sampai sepuluh tahun sangat peka terhadap penyakit ini (Jurnal Pediatri, 2017).
Sudoyo (2009) mendefinisikan difteri sebagai suatu penyakit infeksi yang sangat
menular yang terjadi secara lokal pada mukosa saluran pernapasan atau kulit, yang
disebabkan oleh basil gram positif Corynebacterium Diphtheriae, ditandai oleh
terbentuknya eksudat yang berbentuk membran pada tempat infeksi, dan diikuti oleh
gejala-gejala umum yang ditimbulkan oleh eksotoksin yang diproduksi oleh basil. Ciri
yang khusus pada difteri ialah terbentuknya lapisan yang khas selaput lendir pada saluran
nafas, serta adanya kerusakan otot jantung dan saraf.
Dari beberapa definisi di atas dapat diartikan bahwa difteri adalah penyakit infeksi
menular berbahaya pada saluran pernafasan yang disebabkan oleh bakteri
Corynebacterium Diphtheriae.
B. Etiologi Difteri
Penyebab penyakit difteri adalah jenis bakteri yang diberi nama Cornyebacterium
Diphteriae. Bakteri ini bersifat polimorf, tidak bergerak dan tidak membentuk spora,
aerobik dan dapat memproduksi eksotoksin (Sudoyo, 2009). Uji schick merupakan
pemeriksaan untuk mengetahui apakah seseorang telah memiliki antitoksin (Mansjoer,
Suprohaita, Wardhani, & Setiowulan, 2007).
Terdapat tiga jenis basil, yaitu bentuk gravis, mitis, dan intermedius. Basil dapat
membentuk (Mansjoer et al., 2007) :
C. Epidemiologi (Penularan)
Difteri dapat menular dengan cara kontak langsung maupun tidak langsung. Air
ludah yang berterbangan saat penderita berbicara, batuk atau bersin membawa serta
kuman kuman difteri. Melalui pernafasan kuman masuk ke dalam tubuh orang
disekitarnya, maka terjadilah penularan penyakit difteri dari seorang penderita kepada
orang orang disekitarnya (Rusmil et al., 2011).
Biasanya bakteri berkembang biak pada atau di sekitar permukaan selaput lendir
mulut atau tenggorokan dan menyebabkan peradangan. Beberapa jenis bakteri ini
menghasilkan toksin yang sangat kuat, yang dapat menyebabkan kerusakan pada jantung
dan otak (Pasarpolis, 2017).
D. Pathofisiologi
Corynebacterium diphteriae
Kontak langsung dengan orang yang
terinfeksi atau barang-barang yang
terkontaminasi
Masa inkubasi 2-5 hari
Mengeluarkan toksin
(eksotoksin)
E. Manifestasi Klinis
Sesudah sekitar masa inkubasi 2 hari, terjadi tanda-tanda dan gejala-gejala radang
lokal. Demam jarang lebih tinggi dari 39℃. Infeksi nares anterior (lebih sering pada
bayi) menyebabkan rhinitis erosif, purulensi serosanguinis dengan pembentukan
membrane. Ulserasi dangkal nares keluar dan bibir sebelah dalam adalah khas. Pada
difteri tonsil dan faring, nyeri tenggorok merupakan gejala awal yang umum, tetapi hanya
setengah penderita menderita demam, dan lebih sedikit yang menderita disfagia, serak,
dan nyeri kepala. Injeksi faring ringan disertai dengan pembentukan membrane tonsil
unilateral atau bilateral, yang meluas secara berbeda-beda mengenai uvula, palatum
molle, orofaring posterior, hipofaring dan daerah glottis. Edema jaringan lunak
dibawahnya dan pembesaran limfonodi dapat menyebabkan gambaran “bull neck”.
Tingakt perluasan lokal berelasi secara langsung dengan kelemahan yang berat, gambaran
bull neck, dan kematian karena gangguan jalan napas atau komplikasi yang diperantarai
toksin.
Penderita dengan difteri laring sangat cenderung tercekik karena edema jaringan
lunak dan penyumbatan lepasan epitel pernapasan tebal dan bekuan nekrotik. Pembutan
saluran napas buatan dan pemotongan pseudomembran menyelamatkan jiwa, tetapi sering
ada komplikasi obstruktif lebih lanjut dan komplikasi toksik tidak dapat dihindarkan.
F. Penanganan
1. Pencegahan Difteri
Imunisasi umum dengan toksoid difteri selama hidup untuk memberikan kadar
antitoksin protektif konstan dan untuk mengurangi penghuni C. diphtheria merupakan satu
satunya cara pengendalian yang efektif. Walaupun imunisasi tidak menghalangi pengidap C.
diphtheria toksigenik saluran pernafasan atau kulit, imunisasi mengurangi penyebaran
jaringan local, mencengah komplikasi toksik, menghilangkan penularan organisme, dan
memberikan imunitas kelompok bila sekurang-kurangnya 70-80% dari populasi diimunisasi.
Kadar antitoksin serum 0,01 IU/mL biasanya diterima sebagai kadar protektif minimum dan
0,1 IU/mL member kadar perlindungan tertentu.
2. Persiapan Pengobatan
3. Perencanaan Pengobatan
Untuk anak umur 6 minggu sampai hari ulang tahunnya yang ketujuh, beri 0,5 mL
dosis vaksin mengandung-difteri D. seri pertama adalah dosis pada sekitar umur 2,4 dan 6
bulan. Dosis keempat adalah bagian integral seri pertama dan diberikan sekitar 6-12 bulan
sesudah dosis ketiga. Dosis booster diberikan pada umur 4-6 tahun ( kecuali pada dosis
primer keempat diberikan sesudah hari ulang tahunnya yang ke empat). Untuk anak anak
yang berumur 7 tahun atau lebi, gunakan tiga dosis 0,5 mL yang mengandung vaksin D. seri
primer meliputi dua doses yang berjarak 4-8 minggu dan dosis ketiga 6-12 bulan sesudah
dosis kedua. Satu satunya kontraindikasi terhadap tetanus toksoid dan defteri adalah riwayat
reaksi hipersensitivasi neurologis berat sesudah dosis sebelumnya. Untuk anak yang
imunisasi pertusinya terkontraindikasi digunakan DT atau Td. Mereka yang mulai dengan
DTP atau DT pada sebelum usia 1 tahun harus mengalami lima dosis vaksin yang
mengandung difteri D 0,5 mL pada usia 6 tahun. Untuk mereka yang mulai pada sesudah
umur 1 tahun, seri pertama adalah tiga dosis 0,5 mL vaksin mengandung difteri. Dengan
booster yang diberikan pada usia 4-6 tahun, kecuali kalau dosis ketiga diberikan sesudah hari
ulang tahun keempat.
Pengurangan lebih lanjut dalam jumlah kasus difteri dinegara industry akan
memerluka imunisasi booster universal seumur hidup. Dosis booster 0,5 mL Td harus
diberikan setiap 10 tahun sesudah dosis terakhir (secara tepat diberikan pada kebanyakan
umur 15 tahun). Vaksinasi dengan toksoid difteri harus digunakan kapan pun tetanus toksoid
terindikasi untuk menyakinkan imunitas arteri berkelanjutan.
4. Terapi Antimikroba
G. Pemeriksaan Diagnostik
H. Penatalaksanaan Medis
Pengobatan umum dengan perawatan yang baik, isolasi dan pengawasan EKG yang
dilakukan pada permulan dirawat satu minggu kemudian dan minggu berikutnya sampai
keadaan EKG 2 kali berturut-turut normal dan pengobatan spesifik.Pengobatan spesifik untuk
difteri :
i. ADS (Antidifteri serum), 20.000 U/hari selama 2 hari berturut-turut dengan
sebelumnya harus dilakukan uji kulit dan mata.
1. TEST ADS
ADS 0,05 CC murni dioplos dengan aquades 1 CC.
Diberikan 0,05 CC intracutan Tunggu 15 menit indurasi dengan garis
tengah 1 cm (+)
2. CARA PEMBERIAN
Test Positif BESREDKA
Test Negatif secara DRIP/IV
3. Drip/IV
200 CC cairan D5% 0,225 salin. Ditambah ADS sesuai kebutuhan.
Diberikan selama 4 sampai 6 jam observasi gejala cardinal.
ii. Antibiotik, diberikan penisillin prokain 5000U/kgBB/hari sampai 3 hari bebas
demam. Pada pasien yang dilakukan trakeostomi ditambahkan kloramfenikol
75mg/kgBB/hari dibagi 4 dosis.
iii. Kortikosteroid, untuk mencegah timbulnya komplikasi miokarditis yang
sangat membahayakan, dengan memberikan predison 2mg/kgBB/hari selama
3-4 minggu. Bila terjadi sumbatan jalan nafas yang berat dipertimbangkan
untuk tindakan trakeostomi. Bila pada pasien difteri terjadi komplikasi
paralisis atau paresis otot, dapat diberikan strikin ¼ mg dan vitamin B1 100
mg tiap hari selama 10 hari.
I. Komplikasi
Racun difteri bisa menyebabkan kerusakan pada jantung, sistem saraf, ginjal
ataupun organ lainnya:
1. Miokarditis bisa menyebabkan gagal jantung
2. Kelumpuhan saraf atau neuritis perifer menyebabkan gerakan menjadi tidak
terkoordinasi dan gejala lainnya (timbul dalam waktu 3-7 minggu.
3. Kerusakan saraf yang berat bisa menyebabkan kelumpuhan
4. Kerusakan ginjal (nefritis).
B. DIAGNOSA KEPERAWATAN
1. Pola nafas tidak efektif berhubungan dengan hambatan upaya nafas dibuktikan dengan
dispnea, dan pola nafas abnormal
2. Bersihan jalan nafas tidak efektif berhubungan dengan benda asing dalam jalan nafas
dibuktikdan dengan dispnea, suara nafas ronkhi, dan sianosis
3. Defisit nutrisi berhubungan dengan ketidakmampuan menelan makanan dibuktikan
dengan sariawan, berat badan menurun minimal 10% dibawah rentang ideal
4. Nyeri akut berhubungan dengan agen pecedera fisiologis (spt. inflamasi) dibuktikan
dengan mengeluh nyeri, tampak meringis
C. INTERVENSI KEPERAWATAN
Diagnosa keperawatan SLKI SIKI
1. Pola nafas Setelah dilakukan tindakan a. Manajemen jalan
tidak efektif keperawatan 2x24 jam pola nafas
berhubungan nafas anak kembali efektif Observasi:
dengan hambatan dengan kriteria hasil : - Monitor pola nafas
upaya nafas 1. Dispnea - Monitor bunyi nafas
dibuktikan menurun dengan tambahan
dengan dispnea, skala 5 Terapeutik :
dan pola nafas 2. Frekuensi - Posisikan pasien semi fowler
abnormal nafas membaik - Berikan
dengan skala 5 - oksigen, jika perlu
Edukasi :
- Anjurkan teknik batuk
efektif
2. Bersihan Setelah dilakukan tindakan a. Manajemen jalan
jalan nafas tidak keperawatan 2x24 jam anak nafas
efektif menunjukan tanda-tanda Observasi:
berhubungan kepatenan jalan nafas efektif - Monitor pola nafas
dengan benda dengan kriteria hasil : - Monitor bunyi nafas
asing dalam jalan 1. Batuk efektif tambahan
nafas dibuktikdan meningkat dengan Terapeutik :
dengan dispnea, skala 5 - Posisikan pasien semi fowler
suara nafas 2. Produksi atau fowler
ronkhi, dan sputum menurun - Lakukan penghissapan lendir
sianosis dengan skala 5 kurang ddari 15 detik
3. Dispnea - Berikan oksigen, jika perlu
menurun dengan Edukasi :
skala 5 - Anjurkan asupan cairan
4. Sianosis 2000 ml/hari
menurun dengan - Anjurkan teknik batuk
skala 5 efektif
b. Pemantauan
respirasi
Observasi:
- Monitor frekuensi,
irama, kedalaman dan
upaya nafas
- Monitor adanya
sumbatan jalan nafas
- Auskultasi bunyi nafas
- Monitor kemampuan
batuk efektif
Terapeutik :
- Atur intervensi
pemantauan respirasi
sesuai kondisi passien
- Dokumentasikan hasil
pemantauan
Edukasi :
- Jelaskan tujuan dan
prosedur pemantauan
- Informasikan hasil
pemantauan, jika perlu
3. Defisit Setelah dilakukan tindakan a. Manajemen nutrisi
nutrisi keperawatan 2x24 jam Observasi:
berhubungan asupan nutrisi pasien - Identifikasi status nutrisi
dengan meningkat dengan kriteria - Identifikasi makanan
ketidakmampuan hasil : yang disukai
menelan makanan 1. Porsi makan - Identifikasi kebutuhan
dibuktikan yang dihabiskan kalori dan jenis nutrien
dengan sariawan, meningkat dengan - Identifikasi perlunya
berat badan skala 5 penggunaan selang
menurun minimal 2. Sariawan nasogastrik
10% dibawah menurun dengan - Monitor asupan makanan
rentang ideal skala 5 - Monitor berat badan
3. Berat badan Terapeutik :
membaik dengan - Lakukan oral hygiene
skala 5 sebelum makan, jika perlu
4. Nafsu makan - Fasilitasi menentukan
meningkat dengan pedoman diet
skala 5 Edukasi :
- Anjurkan diet yang
diprogramkan
Kolaborasi :
- Kolaborasi dengan ahli
gizi untun menentukan
jumlah kalori dan jenis
nutrien yang dibutuhkan,
jika perlu
4. Nyeri akut Setelah dilakukan tindakan a. Manajemen nyeri
berhubungan keperawatan 2x24 jam anak Observasi:
dengan agen bisa nyaman dan bisa - Identifikasi skala nyeri
pecedera mentoleransi rasa nyeri - Identifikasi pengetahuan
fisiologis (spt. dengan kriteria hasil : dan keyakinan tentang
inflamasi) 1. Keluhan nyeri
dibuktikan nyeri menurun - Monitor efek samping
dengan mengeluh dengan skala 5 penggunaan analgetik
nyeri, tampak 2. Meringis Terapeutik :
meringis menurun dengan - Berikan teknik
skala 5 nonfarmakologis untuk
mengurangi rasa nyeri
- Pertimbangkan jenis dan
sumber nyeri dalam
pemilihan strategi
meredakan nyeri
Edukasi :
- Jelaskan strategi
meredakan nyeri
- Jelaskan memonitor
nyeri secara mandiri
- Anjurkan menggunakan
analgetik secara tepat
- Ajarkan teknik
nonfarmakologis untuk
mengurangi rasa nyeri
Kolaborasi :
- Kolaborasi pemberian
analgetik, jika perlu
DAFTAR PUSTAKA