Anda di halaman 1dari 20

ASUHAN KEPERAWATAN DIFTERI

A. Pengertian Difteri

Difteri adalah penyakit yang diakibatkan oleh serangan bakteri yang bersumber
dari Corynebacterium Diphtheriae. Difteri merupakan penyakit yang mengerikan dimana
telah menyebabkan ribuan kematian, dan masih mewabah di daerah-daerah dunia yang
belum berkembang. Orang yang selamat dari penyakit ini menderita kelumpuhan otot-
otot tertentu dan kerusakan permanen pada jantung dan ginjal. Anak-anak yang berumur
satu sampai sepuluh tahun sangat peka terhadap penyakit ini (Jurnal Pediatri, 2017).

Dalam Jurnal Pasarpolis (2017) Penyakit difteri didefinisikan sebagai penyakit


yang menyerang saluran pernafasan terutama pada bagian laring, amandel, atau tonsil,
dan tenggorokan. Ketika saluran pernafasan terinfeksi oleh virus ini, membran atau
lapisan lengket yang berwarna abu-abu akan berkembang di area tenggorokan sehingga
menyebabkan batuk disertai sesak nafas akut yang akan berujung kepada kematian.
Kemudian ada juga resiko langsung berupa kerusakan jantung dan syaraf (neuro-
damage). Bakteri induk Difteri ini juga menghasilkan racun yang berbahaya jika
menyebar ke bagian tubuh yang lain.

Sudoyo (2009) mendefinisikan difteri sebagai suatu penyakit infeksi yang sangat
menular yang terjadi secara lokal pada mukosa saluran pernapasan atau kulit, yang
disebabkan oleh basil gram positif Corynebacterium Diphtheriae, ditandai oleh
terbentuknya eksudat yang berbentuk membran pada tempat infeksi, dan diikuti oleh
gejala-gejala umum yang ditimbulkan oleh eksotoksin yang diproduksi oleh basil. Ciri
yang khusus pada difteri ialah terbentuknya lapisan yang khas selaput lendir pada saluran
nafas, serta adanya kerusakan otot jantung dan saraf.

Dari beberapa definisi di atas dapat diartikan bahwa difteri adalah penyakit infeksi
menular berbahaya pada saluran pernafasan yang disebabkan oleh bakteri
Corynebacterium Diphtheriae.

B. Etiologi Difteri

Spesies Corynebacterium adalah basil aerob, tidak berkapsul, tidak membentuk


spora, kebanyakan tidak bergerak, pleomorfik, gram-negatif. Tidak bersifat selektif dalam
pertumbuhannya, isolasi dipermudah dengan media tertentu (yaitu sistin telurit agar
darah) yang menghambat pertumbuhan organism yang menyaingi, dan bila direduksi oleh
pertumbuhan C.diphteriae membuat koloni abu-abu hitam. Tiga biotip (yaitu mitis,
gravis, dan intermedius), masing-masing mempu menyebabkan difteri, dibedakan oleh
morfologi koloni, hemolisis dan reaksi fermentasinya. Bakteriofag lisogenik membawa
gennya yang mengode untuk produksi endotoksin yang memberikan kemungkinan
penghasil-difteria terhadap strain C.diphteriae, tetapi bakteriofag ini memberi protein
esensial pada bakteri. Pengamatan wabah difteri di Inggris dan Amerika Serikat dengan
menggunakan teknik molekuler memberi kesan bahwa C.diphteriae nontoksik asli yang
diberi bertoksin, menimbulkan penyakit setelah pemasukkan C.diphteriae bertoksin
tersebut. Toksiin difteri dapat diperagakan in vitro dengan teknik imunopresipitin agar
(uji Elek), suatu uji rekasi rantai polymerase pengamata, atau dengan uji netralisasi toksin
in vivo pada marmot (uji kematian). Strain toksik tidak dapat dibedakan dengan uji tipe
koloni, mikroskopi atau biokimia. Masa inkubasi 1-7 hari (rata-rata 3 hari). Hasil difteria
akan mati pada pemanasan suhu 60oc selama 10 menit, tetapi tahan hidup sampai
beberapa minggu dalam es, air, susu dan lender yang telah mengering.

Penyebab penyakit difteri adalah jenis bakteri yang diberi nama Cornyebacterium
Diphteriae. Bakteri ini bersifat polimorf, tidak bergerak dan tidak membentuk spora,
aerobik dan dapat memproduksi eksotoksin (Sudoyo, 2009). Uji schick merupakan
pemeriksaan untuk mengetahui apakah seseorang telah memiliki antitoksin (Mansjoer,
Suprohaita, Wardhani, & Setiowulan, 2007).

Terdapat tiga jenis basil, yaitu bentuk gravis, mitis, dan intermedius. Basil dapat
membentuk (Mansjoer et al., 2007) :

1. Pseudomembrane yang sulit diangkat, mudah berdarah, dan berwarna putih


keabu-abuan yang meliputi daerah yang terkena; terdiri dari fibrin, leukosit,
jaringan nekrotik, dan basil
2. Eksotoksin yang sangat ganas dan dapat meracuni jaringan setelah beberapa jam
diabsorbsi dan memberikan gambaran perubahan jaringan yang khas terutama
pada otot jantung, ginjal, dan jaringan saraf. Minimum Lethal Dose (MLD) toksin
ini adalah 0,02 ml.
Klasifikasi difteri secara klinis menurut lokasinya (Sudoyo, 2009):
1. Difteri nasal anterior
2. Difteri nasal posterior
3. Difteri fausial (farinks)
4. Difteri laryngeal
5. Difteri konjungtiva
6. Difteri kulit
7. Difteri vulva/vagina
Klasifikasi difteri secara klinis menurut lokasinya (Sudoyo, 2009):
1. Infeksi ringan, jika pseudomembrane hanya terdapat pada mukosa hidung
dengan gejala hanya pilek dan nyeri waktu menelan.
2. Infeksi sedang, jika pseudomembrane telah menyerang sampai faring dan
laring sehingga keadaan pasien terlihat lesu dan agak sesak.
3. Infeksi berat, jika terjadi sumbatan nafas yang berat dan adanya gejala-
gejala yang ditimbulkan oleh eksotoksin seperti miokarditis, paralisis, dan
nefritis.

C. Epidemiologi (Penularan)

Difteri dapat menular dengan cara kontak langsung maupun tidak langsung. Air
ludah yang berterbangan saat penderita berbicara, batuk atau bersin membawa serta
kuman kuman difteri. Melalui pernafasan kuman masuk ke dalam tubuh orang
disekitarnya, maka terjadilah penularan penyakit difteri dari seorang penderita kepada
orang orang disekitarnya (Rusmil et al., 2011).
Biasanya bakteri berkembang biak pada atau di sekitar permukaan selaput lendir
mulut atau tenggorokan dan menyebabkan peradangan. Beberapa jenis bakteri ini
menghasilkan toksin yang sangat kuat, yang dapat menyebabkan kerusakan pada jantung
dan otak (Pasarpolis, 2017).

Tidak seperti difteroid lain (bacteria korineform), yang berada dimana-mana


dalam alam, C.diphtiriae adalah penghuni tersendiri membrane mukosa dan kulit
manusia. Penyebaran terutama melalui udara bersama tetes-tetes pernapasan atau kontak
langsung dengan sekeresi pernapasan individu bergejala atau eksudat dari lesi kulit yang
terinfeksi. Pengidap (carrier) pernapasan tidak bergejala penting dalam penularan.
Dimana difteri endemic, 3-5% individu sehat dapat mengandung organisme bertoksin,
tetapi pengidap sangat jarang jika difteri jarang. Infeksi kulit dan pengidap kulit
merupakan reservoir difteria diam-diam. Ketahanan hidup dalam debu dan pada benda
berpori sampai 6 bulan kurang berarti secara epidemiologis. Penularan melalui susu yang
terkontaminasi dan pengurus makanan yang terkontaminasi telah terbukti atau dicurigai.
Difteri bisa menular dengan cara kontak langsung maupun tidak langsung. Air
ludah yang berterbangan saat penderita berbicara, batuk atau bersin membawa serta
kuman kuman difteri. Melalui pernafasan kuman masuk ke dalam tubuh orang
disekitarnya, maka terjadilah penularan penyakit difteri dari seorang penderita kepada
orang orang disekitarnya.

D. Pathofisiologi

Kuman masuk melalui mukosa/kulit, melekat serta berbiak pada permukaan


mukosa saluran nafas bagian atas dan mulai memproduksi toksin yang merembes ke
sekeliling serta selanjutnya menyebar ke seluruh tubuh melalui pembuluh limfe dan
darah. Setelah melalui masa inkubasi selama 2-4 hari kuman difteri membentuk racun
atau toksin yang mengakibatkan timbulnya panas dan sakit tenggorokan. Kemudian
berlanjut dengan terbentuknya selaput putih di tenggorokan akan menimbulkan gagal
nafas, kerusakan jantung dan saraf. Difteri ini akan berlanjut pada kerusakan kelenjar
limfe, selaput putih mata, vagina. Komplikasi lain adalah kerusakan otot jantung dan
ginjal (Sudoyo, 2009).

Organisme C.diphteriae tidak bertoksin dan bertoksin menyebabkan infeksi kulit


dan mukosa dan beberapa kasus infeksi jauh sesudah bakteremia. Organisme ini biasanya
tetap pada lapisan superficial lesi kulit atau mukosa pernapasan, menginduksi reaksi
radang lokal. Virulensi utama organisme terletak pada kemampuannya menghasilkan
eksotoksin polipeptida 62-KD kuat, yang menghambat sintesis protein dan menyebabkan
nekrosis jaringan lokal. Dalam beberapa hari pertama infeksi saluran pernapasan,
koagulum organisme nekrotik tebal, sel epitel, fibrin, leukosit, dan bentuk eritrosit
berlanjut dan menjadi pseudomembran melekat abu-abu coklat. Pengambilan sukar dan
menampakkan perdarahan edema submukosa. Paralisis palatum dan hipofaring
merupakan pengaruh toksin lokal awal. Penyerapan toksin dapat menyebabkan nekrosis
tubulus ginjal, trombositopenia, miokardiopati, dan demielinasi saraf. Karena dua
komplikasi terakhir dapat terjadi 2-10 minggu sesudah infeksi mukokutan, mekanisme
patofisiologi pada beberapa kasus mungkin diperantarai secara imunologik.

Corynebacterium diphteriae
Kontak langsung dengan orang yang
terinfeksi atau barang-barang yang
terkontaminasi
Masa inkubasi 2-5 hari

Mengeluarkan toksin
(eksotoksin)

E. Manifestasi Klinis

Sesudah sekitar masa inkubasi 2 hari, terjadi tanda-tanda dan gejala-gejala radang
lokal. Demam jarang lebih tinggi dari 39℃. Infeksi nares anterior (lebih sering pada
bayi) menyebabkan rhinitis erosif, purulensi serosanguinis dengan pembentukan
membrane. Ulserasi dangkal nares keluar dan bibir sebelah dalam adalah khas. Pada
difteri tonsil dan faring, nyeri tenggorok merupakan gejala awal yang umum, tetapi hanya
setengah penderita menderita demam, dan lebih sedikit yang menderita disfagia, serak,
dan nyeri kepala. Injeksi faring ringan disertai dengan pembentukan membrane tonsil
unilateral atau bilateral, yang meluas secara berbeda-beda mengenai uvula, palatum
molle, orofaring posterior, hipofaring dan daerah glottis. Edema jaringan lunak
dibawahnya dan pembesaran limfonodi dapat menyebabkan gambaran “bull neck”.
Tingakt perluasan lokal berelasi secara langsung dengan kelemahan yang berat, gambaran
bull neck, dan kematian karena gangguan jalan napas atau komplikasi yang diperantarai
toksin.

Membrane pelekat seperti kulit, meluas ke belakang daerah tenggorok, relative


tidak panas, dan disfagia membrane membedakan difteri dari faringitis eksudat karena
Streptococcus pyogenes dan virus Epstein-Barr. Angina Vincent, flebitis infektif dan
trombisis vena jugularis, dan mukositis pada penderita yang mengalami kemoterapi
kanker biasanya dibedakan oleh keadaan klinis. Infeks laring, trakea, dan bronkus dapat
merupakan perluasan primer atau sekunder dari infeksi faring. Parau, stridor, dispnea, dan
batuk radang tenggorokan (croup), merupakan kunci. Perbedaan dari epiglottis bakteri
laringotrakeitis virus berat, dan trakeitis stafilokokus sebagian berhubungan relative kecil
dengan tanda-tanda dan gejala-gejala pada penderita dengan difteri dan terutama pada
visualisasi perlekatan pseudomembran pada saat laringoskopi dan intubasi.

Penderita dengan difteri laring sangat cenderung tercekik karena edema jaringan
lunak dan penyumbatan lepasan epitel pernapasan tebal dan bekuan nekrotik. Pembutan
saluran napas buatan dan pemotongan pseudomembran menyelamatkan jiwa, tetapi sering
ada komplikasi obstruktif lebih lanjut dan komplikasi toksik tidak dapat dihindarkan.

Gejala diphtheria (Sudoyo, 2009):


1. Demam, suhu tubuh meningkat sampai 38o Celcius
2. Batuk dan pilek yang ringan
3. Sakit dan pembengkakan pada tenggorokan
4. Mual, muntah , sakit kepala
5. Adanya pembentukan selaput di tenggorokan berwarna putih ke abu abuan kotor
6. Rinorea, berlendir kadang-kadang bercampur darah
Keluhan serta gejala lain tergantung pada lokasi penyakit diphtheria (Sudoyo, 2009) :
1. Diphtheria Hidung
Pada permulaan mirip common cold, yaitu pilek ringan tanpa atau disertai gejala
sistemik ringan. Sekret hidung berangsur menjadi serosanguinous dan kemudian
mukopurulen mengadakan lecet pada nares dan bibir atas. Pada pemeriksaan tampak
membran putih pada daerah septum nasi.
2. Diphtheria Tonsil-Faring
Gejala anoroksia, malaise, demam ringan, nyeri menelan. dalam 1-2 hari timbul
membran yang melekat, berwarna putih-kelabu dapat menutup tonsil dan dinding faring,
meluas ke uvula dan palatum molle atau ke distal ke laring dan trachea.
3. Diphtheria Laring
Pada diphtheria laring primer gejala toksik kurang nyata, tetapi lebih berupa gejala
obstruksi saluran nafas atas.
4. Diphtheria Kulit, Konjungtiva, Telinga
Diphtheria kulit berupa tukak di kulit, tepi jelas dan terdapat membran pada dasarnya.
Kelainan cenderung menahun. Diphtheria pada mata dengan lesi pada konjungtiva berupa
kemerahan, edema dan membran pada konjungtiva palpebra. Pada telinga berupa otitis
eksterna dengan sekret purulen dan berbau.

F. Penanganan
1. Pencegahan Difteri
Imunisasi umum dengan toksoid difteri selama hidup untuk memberikan kadar
antitoksin protektif konstan dan untuk mengurangi penghuni C. diphtheria merupakan satu
satunya cara pengendalian yang efektif. Walaupun imunisasi tidak menghalangi pengidap C.
diphtheria toksigenik saluran pernafasan atau kulit, imunisasi mengurangi penyebaran
jaringan local, mencengah komplikasi toksik, menghilangkan penularan organisme, dan
memberikan imunitas kelompok bila sekurang-kurangnya 70-80% dari populasi diimunisasi.
Kadar antitoksin serum 0,01 IU/mL biasanya diterima sebagai kadar protektif minimum dan
0,1 IU/mL member kadar perlindungan tertentu.
2. Persiapan Pengobatan

Toksoid defteri dipersiapkan dengan pengobatan formaldehid toksin, kekuatannya


dibekukan, dan diserap pada garam aluminium, yang memperbesar imunogenisitas. Dua
preparat toksoid defteri dirumuskan sesuai dengan kandungan batas flokulasi (Bf) suatu
pengukuran kuantitas toksoid. Preparat pediatric ( yaitu DTP,DT,DTaP) mengandung 6,7-
12,5 Bf unit toksoid difteri perdosis 0,5 mL; preparat dewasa yaitu Td mengandung tidak
lebih dari 2 Bf unit toksoid per 0,5 mL dosis. Formulasi toksoid potensi yang lebih tinggi
(yaitu D) digunakan untuk dosis seri primer dan booster untuk anak umur 6 tahun karena
imunogenisitasnya superior dan reaktogenisitasnya minimal. Untuk individu umur 7 tahun
dan yang lebih tua, Td dianjurkan untuk seri primer dan dosis booster, karena kadar toksoid
difteri yang lebih rendah cukup imunogenik dan karena semakin tinggi kadar toksoid difteri
makin tinggi reaktogenisitas pada umur yang semakin tinggi.

3. Perencanaan Pengobatan

Untuk anak umur 6 minggu sampai hari ulang tahunnya yang ketujuh, beri 0,5 mL
dosis vaksin mengandung-difteri D. seri pertama adalah dosis pada sekitar umur 2,4 dan 6
bulan. Dosis keempat adalah bagian integral seri pertama dan diberikan sekitar 6-12 bulan
sesudah dosis ketiga. Dosis booster diberikan pada umur 4-6 tahun ( kecuali pada dosis
primer keempat diberikan sesudah hari ulang tahunnya yang ke empat). Untuk anak anak
yang berumur 7 tahun atau lebi, gunakan tiga dosis 0,5 mL yang mengandung vaksin D. seri
primer meliputi dua doses yang berjarak 4-8 minggu dan dosis ketiga 6-12 bulan sesudah
dosis kedua. Satu satunya kontraindikasi terhadap tetanus toksoid dan defteri adalah riwayat
reaksi hipersensitivasi neurologis berat sesudah dosis sebelumnya. Untuk anak yang
imunisasi pertusinya terkontraindikasi digunakan DT atau Td. Mereka yang mulai dengan
DTP atau DT pada sebelum usia 1 tahun harus mengalami lima dosis vaksin yang
mengandung difteri D 0,5 mL pada usia 6 tahun. Untuk mereka yang mulai pada sesudah
umur 1 tahun, seri pertama adalah tiga dosis 0,5 mL vaksin mengandung difteri. Dengan
booster yang diberikan pada usia 4-6 tahun, kecuali kalau dosis ketiga diberikan sesudah hari
ulang tahun keempat.

Pengurangan lebih lanjut dalam jumlah kasus difteri dinegara industry akan
memerluka imunisasi booster universal seumur hidup. Dosis booster 0,5 mL Td harus
diberikan setiap 10 tahun sesudah dosis terakhir (secara tepat diberikan pada kebanyakan
umur 15 tahun). Vaksinasi dengan toksoid difteri harus digunakan kapan pun tetanus toksoid
terindikasi untuk menyakinkan imunitas arteri berkelanjutan.

4. Terapi Antimikroba

Terapi antimikroba terindikasi untuk menghentikan produksi toksin, mengobati


infeksi yang terlokalisasi, dan mencegah penularan organisme pada kontak. C. diphtheriae
rentan terhadap barbagai in vitro, termasuk penisilin, eritromisin, klindamisin, rifampin dan
tetrasiklin. Yang dianjurkan hanya penisilin atau eritromisin. Terapi yang tepat adalah
eritromisin yang diberikan secara oral atau parental, penisilin G Kristal aqua diberikan secara
intramuskuler atau intravena atau penisilin prokain diberikan secara intramuskuler. Terapi
antibiotik bukan pengganti terapi antitoksin. Terapi diberikan selama 14 hari atau 7-10 hari
untuk penderita difteri kulit.

G. Pemeriksaan Diagnostik

a. Pemeriksaan laboratorium: Apusan tenggorok terdapat kuman Corynebakterium difteri


(Buku kuliah ilmu kesehatan anak, 1999).
b.  Pada pemeriksaan darah terdapat penurunan kadar hemoglobin dan leukositosis
polimorfonukleus, penurunan jumlah eritrosit, dan kadar albumin. Pada urin terdapat
albuminuria ringan (Ngastiyah, 1997).
c. Pemeriksaan bakteriologis mengambil bahan dari membrane atau bahnan di bawah
membrane, dibiak dalam Loffler, Tellurite dan media blood ( Rampengan, 1993 ).
d. Lekosit dapat meningkat atau normal, kadang terkadi anemia karena hemolisis sel darah
merah (Rampengan, 1993 )
e. Pada neuritis difteri, cairan serebrospinalis menunjukkan sedikit peningkatan protein
(Rampengan, 1993 ).
f. Schick Tes: tes kulit untuk menentukan status imunitas penderita, suatu pemeriksaan
swab untuk mengetahui apakah seseorang telah mengandung antitoksin.

H. Penatalaksanaan Medis
Pengobatan umum dengan perawatan yang baik, isolasi dan pengawasan EKG yang
dilakukan pada permulan dirawat satu minggu kemudian dan minggu berikutnya sampai
keadaan EKG 2 kali berturut-turut normal dan pengobatan spesifik.Pengobatan spesifik untuk
difteri :
i. ADS (Antidifteri serum), 20.000 U/hari selama 2 hari berturut-turut dengan
sebelumnya harus dilakukan uji kulit dan mata.
1. TEST ADS
ADS 0,05 CC murni dioplos dengan aquades 1 CC.
Diberikan 0,05 CC  intracutan Tunggu 15 menit  indurasi dengan garis
tengah 1 cm  (+)
2. CARA PEMBERIAN
Test Positif  BESREDKA
Test Negatif  secara DRIP/IV
3. Drip/IV
200 CC cairan D5% 0,225 salin. Ditambah ADS sesuai kebutuhan.
Diberikan selama 4 sampai 6 jam  observasi gejala cardinal.
ii. Antibiotik, diberikan penisillin prokain 5000U/kgBB/hari sampai 3 hari bebas
demam. Pada pasien yang dilakukan trakeostomi ditambahkan kloramfenikol
75mg/kgBB/hari dibagi 4 dosis.
iii. Kortikosteroid, untuk mencegah timbulnya komplikasi miokarditis yang
sangat membahayakan, dengan memberikan predison 2mg/kgBB/hari selama
3-4 minggu. Bila terjadi sumbatan jalan nafas yang berat dipertimbangkan
untuk tindakan trakeostomi. Bila pada pasien difteri terjadi komplikasi
paralisis atau paresis otot, dapat diberikan strikin ¼ mg dan vitamin B1 100
mg tiap hari selama 10 hari.

I. Komplikasi
Racun difteri bisa menyebabkan kerusakan pada jantung, sistem saraf, ginjal
ataupun organ lainnya:
1. Miokarditis bisa menyebabkan gagal jantung
2. Kelumpuhan saraf atau neuritis perifer menyebabkan gerakan menjadi tidak
terkoordinasi dan gejala lainnya (timbul dalam waktu 3-7 minggu.
3. Kerusakan saraf yang berat bisa menyebabkan kelumpuhan
4. Kerusakan ginjal (nefritis).

J. KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN DIFTERI


A. PENGKAJIAN
1. Biodata
Umur : Biasanya terjadi pada anak-anak umur 2-10 tahun dan jarang ditemukan pada bayi
berumur dibawah 6 bulan dari pada orang dewasa diatas 15 tahun
Suku bangsa : Dapat terjadi diseluruh dunia terutama di negara-negara miskin
Tempat tinggal : Biasanya terjadi pada penduduk di tempattempat pemukiman yang rapat-
rapat, higien dan sanitasi jelek dan fasilitas kesehatan yang kurang
2. Keluhan Utama
Klien marasakan demam yang tidak terlalau tinggi, lesu, pucat, sakit kepala,
anoreksia, lemah
3. Riwayat Kesehatan Sekarang
Klien mengalami demam yang tidak terlalu tinggi, lesu, pucat, sakit kepala, anoreksia
4. Riwayat Kesehatan Dahulu
Klien mengalami peradangan kronis pada tonsil, sinus, faring, laring, dansaluran nafas
atas dan mengalami pilek dengan sekret bercampur darah
5. Riwayat Penyakit Keluarga
Adanya keluarga yang mengalami difteri
6. Pola Fungsi Kesehatan
a) Pola nutrisi dan metabolisme
Jumlah asupan nutrisi kurang disebabkan oleh anoreksia
b) Pola aktivitas
Klien mengalami gangguan aktivitas karena malaise dan demam
c) Pola istirahat dan tidur
Klien mengalami sesak nafas sehingga mengganggu istirahat dan tidur
d) Pola eliminasi
Klien mengalami penurunan jumlah urin dan feses karena jumlah asupan nutrisi
kurang disebabkan oleh anoreksia
7. Pemeriksaan Fisik
Memeriksa TTV pada anak dan melakukan observasi secara IPPA dari kepala sampai
kaki (Head to toe) dan yang terpenting adalah . Kaji tanda-tanda yang terjadi pada nasal,
tonsil/faring dan laring. Lihat dari manifestasi klinis berdasarkan alur patofisiolog
a. Tanda-tanda Vital
Nadi : meningkat
Tekanan darah : menurun
Respirasi rate : meningkat
Suhu : ≤ 38°C
b. Inspeksi :
Lidah kotor, anoreksia, ditemukan pseudomembran
c. Auskultasi :
Napas cepat dan dangkal
d. Pemeriksaan fisik ROS
 B1 : Breathing (Respiratory System)
RR tak efektif (Sesak nafas), edema laring, obstruksi laring, penumpukan sekret
dihidung,
 B2 :Blood (Cardiovascular system)
Tachicardi, kelemahan otot jantung, sianosis.
 B3 :Brain (Nervous system)
Normal
 B4 :Bladder (Genitourinary system)
Normal
 B5 : Bowel (Gastrointestinal System)
Anorexia, nyeri menelan, kekurangan nutrisi
 B6 :Bone (Bone-Muscle-Integument)
Lemah pada lengan, turgor kulit
8. Pemeriksaan Penunjang
Uji Shick dilakukan dengan menyuntikkan sejumlah kecil toksin difteri ke dalam
kulit. Jika orang tersebut kebal, maka toksin tersebut dinetralkan oleh antitoksin di dalam
tubuhnya dan tidak terjadi reaksi. Tetapi bila orang itu rentan-tidak mempunyai antitoksin
alamiah naka akan terjadi reaksi peradangan setempat yang mencapai intensitas maksimum
dalam 4 – 7 hari. Jika uji Shick ini menunjukkan adanya kerentanan terhadap difteri, maka
orang dewasa sekalipun harus diimunisasi secara aktif.
9. Penatalaksanaan
Penderita diisolasi sampai biakan negatif 3 kali berturut-turut setelah masa akut
terlampaui. Kontak penderita diisolasi sampai tindakan-tindakan berikut terlaksana :
a. Biakan hidung dan tenggorok
b. Sebaiknya dilakukan tes schick (tes kerentanan terhadap diphtheria)
c. Diikuti gejala klinis setiap hari sampai masa tunas terlewati.
d. Anak yang telah mendapat imunisasi dasar diberikan booster dengan toksoid
diphtheria.
10. Pola Aktivitas
1) Pola nutrisi dan metabolic : Disesuaikan dengan tanda difteri seperti apakah nafsu
makan berkurang (anoreksia) muntah dsb
2) Pola eliminasi : Bandingkan sesudah atau sebelum penyakit difteri dengan mencatat
frekuensi sehari
3) Pola Aktifitas dan latihan : Jika klien terjangkit difteri maka tampak anak akan
malas, lemah dan lesu
4) Pola tidur dan istirahat : Mengkaji apakah anak tidurnya nyaman atau tidak
mau tidur
5) Kognitif & perseptual : Anak akan susah berkonsentrasi
6) Persepsi diri : Karena klien masih kategori anak maka konsep dirinya akan masih
dalam tahap perkembangan dan anak akan tampak cemas karena penyakit yang
diderita atau kerna perspisahan
7) Hubungan peran : Anak banyak tampak diam karena efek hospitalisasi

B. DIAGNOSA KEPERAWATAN
1. Pola nafas tidak efektif berhubungan dengan hambatan upaya nafas dibuktikan dengan
dispnea, dan pola nafas abnormal
2. Bersihan jalan nafas tidak efektif berhubungan dengan benda asing dalam jalan nafas
dibuktikdan dengan dispnea, suara nafas ronkhi, dan sianosis
3. Defisit nutrisi berhubungan dengan ketidakmampuan menelan makanan dibuktikan
dengan sariawan, berat badan menurun minimal 10% dibawah rentang ideal
4. Nyeri akut berhubungan dengan agen pecedera fisiologis (spt. inflamasi) dibuktikan
dengan mengeluh nyeri, tampak meringis

C. INTERVENSI KEPERAWATAN
Diagnosa keperawatan SLKI SIKI
1. Pola nafas Setelah dilakukan tindakan a. Manajemen jalan
tidak efektif keperawatan 2x24 jam pola nafas
berhubungan nafas anak kembali efektif Observasi:
dengan hambatan dengan kriteria hasil : - Monitor pola nafas
upaya nafas 1. Dispnea - Monitor bunyi nafas
dibuktikan menurun dengan tambahan
dengan dispnea, skala 5 Terapeutik :
dan pola nafas 2. Frekuensi - Posisikan pasien semi fowler
abnormal nafas membaik - Berikan
dengan skala 5 - oksigen, jika perlu
Edukasi :
- Anjurkan teknik batuk
efektif
2. Bersihan Setelah dilakukan tindakan a. Manajemen jalan
jalan nafas tidak keperawatan 2x24 jam anak nafas
efektif menunjukan tanda-tanda Observasi:
berhubungan kepatenan jalan nafas efektif - Monitor pola nafas
dengan benda dengan kriteria hasil : - Monitor bunyi nafas
asing dalam jalan 1. Batuk efektif tambahan
nafas dibuktikdan meningkat dengan Terapeutik :
dengan dispnea, skala 5 - Posisikan pasien semi fowler
suara nafas 2. Produksi atau fowler
ronkhi, dan sputum menurun - Lakukan penghissapan lendir
sianosis dengan skala 5 kurang ddari 15 detik
3. Dispnea - Berikan oksigen, jika perlu
menurun dengan Edukasi :
skala 5 - Anjurkan asupan cairan
4. Sianosis 2000 ml/hari
menurun dengan - Anjurkan teknik batuk
skala 5 efektif

b. Pemantauan
respirasi
Observasi:
- Monitor frekuensi,
irama, kedalaman dan
upaya nafas
- Monitor adanya
sumbatan jalan nafas
- Auskultasi bunyi nafas
- Monitor kemampuan
batuk efektif
Terapeutik :
- Atur intervensi
pemantauan respirasi
sesuai kondisi passien
- Dokumentasikan hasil
pemantauan
Edukasi :
- Jelaskan tujuan dan
prosedur pemantauan
- Informasikan hasil
pemantauan, jika perlu
3. Defisit Setelah dilakukan tindakan a. Manajemen nutrisi
nutrisi keperawatan 2x24 jam Observasi:
berhubungan asupan nutrisi pasien - Identifikasi status nutrisi
dengan meningkat dengan kriteria - Identifikasi makanan
ketidakmampuan hasil : yang disukai
menelan makanan 1. Porsi makan - Identifikasi kebutuhan
dibuktikan yang dihabiskan kalori dan jenis nutrien
dengan sariawan, meningkat dengan - Identifikasi perlunya
berat badan skala 5 penggunaan selang
menurun minimal 2. Sariawan nasogastrik
10% dibawah menurun dengan - Monitor asupan makanan
rentang ideal skala 5 - Monitor berat badan
3. Berat badan Terapeutik :
membaik dengan - Lakukan oral hygiene
skala 5 sebelum makan, jika perlu
4. Nafsu makan - Fasilitasi menentukan
meningkat dengan pedoman diet
skala 5 Edukasi :
- Anjurkan diet yang
diprogramkan
Kolaborasi :
- Kolaborasi dengan ahli
gizi untun menentukan
jumlah kalori dan jenis
nutrien yang dibutuhkan,
jika perlu
4. Nyeri akut Setelah dilakukan tindakan a. Manajemen nyeri
berhubungan keperawatan 2x24 jam anak Observasi:
dengan agen bisa nyaman dan bisa - Identifikasi skala nyeri
pecedera mentoleransi rasa nyeri - Identifikasi pengetahuan
fisiologis (spt. dengan kriteria hasil : dan keyakinan tentang
inflamasi) 1. Keluhan nyeri
dibuktikan nyeri menurun - Monitor efek samping
dengan mengeluh dengan skala 5 penggunaan analgetik
nyeri, tampak 2. Meringis Terapeutik :
meringis menurun dengan - Berikan teknik
skala 5 nonfarmakologis untuk
mengurangi rasa nyeri
- Pertimbangkan jenis dan
sumber nyeri dalam
pemilihan strategi
meredakan nyeri
Edukasi :
- Jelaskan strategi
meredakan nyeri
- Jelaskan memonitor
nyeri secara mandiri
- Anjurkan menggunakan
analgetik secara tepat
- Ajarkan teknik
nonfarmakologis untuk
mengurangi rasa nyeri
Kolaborasi :
- Kolaborasi pemberian
analgetik, jika perlu

DAFTAR PUSTAKA

Muscari, Mary E.2005. Panduan Belajar Keperawatan Pediatrik. Jakarta: EGC


Nursalam, dkk. 2005. Asuhan Keperawatan Bayi dan Anak. Salemba Medika: Jakarta
Kartono, B. (2007). Hubungan Lingkungan Rumah Dengan Kejadian Difteri Pada Kejadian
Luar Biasa (KLB) Difteri di Kabupaten Tasikmalaya Tahun 2005 – 2006 dan di
Kabupaten Garut Bulan Januari Tahun 2007. Universitas Indonesia, Jakarta.
Pediatri, Jurnal. (2017). Gejala dan Penanganan Difteri. Diambil 5 Januari 2018, dari
https://jurnalpediatri.com/ 2017/12/09/gejala-dan-penanganan-difteri/
Sudoyo, A. W. (2009). Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid 2 (5 ed.). Internal Publishing.
Utama, F., Chatarina, & Martini, S. (2012). Determinan Kejadian Difteri Klinis
Pasca Sub Pi
PPNI. 2017. Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia. Jakarta Selatan : Dewan Pengurus
PPNI
PPNI. 2019. Standar Luaran Keperawatan Indonesia. Jakarta Selatan : Dewan Pengurus
PPNI
PPNI. 2018. Standar Intervensi Keperawatan Indonesia. Jakarta Selatan : Dewan Pengurus
PPNI

Anda mungkin juga menyukai