Anda di halaman 1dari 24

MAKALAH

KEPERAWATAN MEDIKAL BEDAH 3

PENYAKIT KUSTA

Dosen Pembimbing :

Arum Dwi Ningsih, S.,Kep.NS.,M.Kep

DISUSUN OLEH 5A/S1 KEPERAWATAN

KELOMPOK 6:

1. Danang Ardiansyah 163210009


2. Fitya Ardianti 163210017
3. Linda Rahmawati 163210023
4. M. Fathoni 163210026
5. Rizka Suryani .I 163210034

PROGRAM STUDI S1 ILMU KEPERAWATAN


SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN
INSAN CENDEKIA MEDIKA
JOMBANG
2018/2019
Kata Pengantar

Puji syukur senantiasa kita panjatkan kepada Allah SWT yang mana atas berkat dan
pertolongan-Nya lah kami dapat menyelesaikan makalah ini. Terimakasih juga kami ucapkan
kepada dosen pembimbing Ibu Arum Dwi Ningsih ,S.Kep.,Ns.,M.Kep yang turut
membimbing kami sehingga bisa menyelesaikan makalah ini sesuai waktu yang telah di
tentukan.
Sholawat serta salam senantiasa kami haturkan kepada suri tauladan kita Nabi
Muhammad SAW yang selalu kita harapkan syafa’atnya di hari kiamat nanti.
Makalah ini kami buat dalam rangka untuk memperdalam pengetahuan dan pemahaman
mengenai Kusta.
Makalah ini juga dibuat untuk memenuhi tugas mata kuliah Keperawatan Medikal
Bedah (KMB) 3 .Dengan segala keterbatasan yang ada ,kami telah berusaha dengan segala
daya dan upaya guna menyelesaikan makalah ini. kami menyadari bahwasanya makalah ini
jauh dari kata sempurna. Oleh karena itu, kami mengharapkan kritik dan saran yang
membangun dari para pembaca untuk menyempurnakan makalah ini. Atas kritik dan
sarannya kami ucapkan terimakasih yang sebanyak-banyaknya.

Jombang, 20 Oktober 2018

Penyusun
Daftar isi

Kata pengantar ………………………………………………………………………......i


Daftar isi ……………………...………………………………………………..………..ii

BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang ………………………………………………………………….…1
1.2 Rumusan Masalah ……………………………………………………………..…….2
1.3 Tujuan ………………………………………………………………..……………...3
1.4 Manfaat ………………………………………………………………………..…….3

BAB II TINJAUAN PUSTAKA


2.1 Definisi Kusta ………………………………………………………………… 4
2.2 Etiologi Kusta …………………………………………………………………. 4
2.3 Patofisiologi Kusta ……………………………………………….......................4
2.4 Manifestasi Klinis Kusta ……………………………………………………….7
2.5 Pemeriksaan penunjang Kusta ……..…………………...………………………9
2.6 Penatalaksanaan Kusta ……………………………………….………………10
2.7 Klasifikasi Kusta ……………………………………………………….......11
2.8 Komplikasi Kusta ……………………………………………………….....12

BAB III KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN


3.1 Pengkajian ……………………………………………………………………...15
3.2 Diagnosa Keperawatan menggunakan (SDKI) ………… …………..……...….17
3.3 Intervensi Keperawatan menggunakan (NIC NOC) …………………….......…17

BAB IV PENUTUP
4.1 Kesimpulan ……………………………….………...……………….…....……21
4.2 Saran …………………………………………………………………...….……21
DAFTAR PUSTAKA
BAB 1
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Kusta merupakan penyakit yang banyak menyerang kulit da syaraf. Kusta atau yang
di kenal juga dengan Leprosy/hansen’s Disiase, dapat menyebabkan gangguan pada kulit,
mati rasa, dan kelumpuhan pada tangan dan kaki. Selain itu, kusta dapat menterang sistim
pernapasan atas, mata, dan membrane selaput lendir. Kusta dapat menular melalaui
kontak kulit dengan penderita atau melalui bersin.
Saat ini, penyakit kusta ini bukan hanya menjadi permasalahan di bidang kesehatan
saja. Namun, telah termanifestasi pula ke dalam permasalahan psikososial. Hal ini di
karenakan adanya leprophobia (rasa takut yang berlebihan pada penyakit kusta) yang
menjadi salah satu dampak psikososial yang di sebabkan oleh penyakit ini. Leprophobia
tidak hanya di alami oleh masyarakat awam, tetapi juga pada tenaga medis dan tenaga
kesehatan lainya yang bekerja di bidang pelayanan kesehatan. Sehingga, penderita kusta
sering kali di perlakukan dengan tidak manusiawi oleh masyarakat maupun tenaga medis
dan tenaga kesehatan. Hal ini menjadi salah satu penghambatdalam usaha penaggulangan
penyakit kusta.
Pada umumnya, penyakit kusta terdapat di negara yang sedang berkembang, dan
sebagian besar penderitanya adalah dari golongan ekonomi lemah. Hal ini karna akibat
keterbatasan kemempuan negara tersebut dalam memberikan pelayanan yang memedai di
bidang kesehatan, pendidikan, dan kesejahtraan sosial ekonomi pada masyarakat.
WHO melaporkan bahwa pada 115 Negara dan teritori tahun 2006 ( di terbitkan
di Weekley Epidiomiological Record dan terdaftar secara global ), terdapat prevalensi
kusta pada awal tahun adalah 219.826 kasus. Sedangkan kasus baru terus menunjukan
penurunan tajam, yaitu sebesar 110.000 kasus ( 27 % ) selama Tahun 2005di bandigkan
dengan Tahun sebelumnya.
Menurut laporan resmi yang di terima dari WHO selama 2011 dari 130 negara dan
wilayah, prevalensi pentakit kusta secara global pada awal tahun 2011 terdiri dari 192.246
kasus, sementara jumlah kasus baru terdeteksi selama 2010 adalah 228.474 kasus ( tidak
termasuk kasus kecil di Eropa ).Pada Tahun 2000 indonesia menempati urutan ke tiga
setelah India dan Brazil dalam hal penyumbang jumlah penderita kusta di dunia.
Walaupun ada penurunan yang cukup drastis dari jumlah kasus terdaftar, namun
sesungguhnya jumlah penemuan kausu baru tidak berkurang sama sekali. Oleh karna itu,
selain angka prevalensi Rate, angka penemuan kasus baru juga merupakan indikator yang
harus di perhatikan (Depkes RI, 2005 ). Dan Sampai saat ini penyakit kusta masih di
takuti oleh sebagian besar masyarakat. Keadaan ini terjadi karena kurang pengetahuan,
pengertian yang salah, dan kepercayaan yang keliru tentang penyakit kusta dan kecacatan
yang di timbulkanya.
Permasalahan penyakit kusta ini bila di kaji secara mendalam merupakan
permasalahan yang sangat kompleks. Adapun dampak dari penyalit kusta tersebut adalah
mempunyai efek atau pengaruh terhadap kehidupan bangsa dan Negara, karena dampak
tersebut dapat mengakibatkan penderita kusta menjadi Tuna sosial, Tuna wisma dan ada
kemungkinan mengarah untuk melakukan kejahatan atau gangguan di lingkungan
masyarakat.
Menurut Data dari Dinas Kesehatan Kabuapaten Tolitoli pada tahun 2010 adapun
jumlah penyakit Kusta dengan Tipe MB adalah 33 jiwa dan tipe PB adalah 0 jiwa, Tahun
2011 penyakit Kusta Tipe MB adalah 12 jiwa dan Tipe PB 0 jiwa, Tahun 2012 terjadi
peningkatan jumlah penderita penyakit Kusta pada Tipe MB adalah 26 jiwa dan Tipe PB
1 jiwa, untuk wilayah puskesmas galang pada tahun 2010 penyakit kusta Tipe MB 3 jiwa
dan Tipe PB tidak ada, pada Tahun 2011 Tipe MB tidak ada dan Tipe PB 1 jiwa, dan
pada Tahun 2012 terjadi peningkatan penyakit kusta Tipe PB tidak ada Tipe MB 6 jiwa.
Dari uraian tersebut di atas dan masih tingginya prevalensi penyakit Kusta secara Global
terus meningkat sehingga penulis tertarik untuk mengangkat judul “ Asuhan
Keperawatan Keluarga pada Bapak S dengan kasus Kusta di Dusun Talamandu Desa
Lalos Kecamatan Galang Kabupaten Tolitoli” sebagai Karya Tulis Ilmiah.

1.2 Rumusan Masalah


1. Apa Definisi dari Kusta?
2. Apa etiologi dari Kusta?
3. Bagaimana patofisiologis dari Kusta?
4. Apa manifestasi klinis dari Kusta?
5. Bagaimana pemeriksaan penunjang dari Kusta?
6. Bagaimana penatalaksanaan dari Kusta?
7. Apa saja klasifikasi dari Kusta
8. Bagaimana komplikasi dari Kusta?
1.3 Tujuan Penulisan
1. Untuk mengetahui definisi dari Kusta..
2. Untuk mengetahui etiologi dari Kusta.
3. Untuk mengetahui patofisiologis dari Kusta.
4. Untuk mengetahui manifestasi klinis dari Kusta.
5. Untuk mengetahui pemeriksaan penunjang dari Kusta.
6. Untuk mengetahui penatalaksanaan dari Kusta.
7. Untuk mengetahui klasifikasi dari Kusta
8. Untuk mengetahui komplikasi dari Kusta.

1.4 Manfaat
1. Tugas ini berguna bagi pembaca untuk memperdalam pengetahuan dan
pemahaman tentang penyakit Kusta.
2. Penyusun dapat mengetahui dan memahami secara spesifik tentang penyakit Kusta.
BAB 2
KAJIAN TEORI

2.1 Definisi
Penyakit Kusta adalah salah satu penyakit menular, dapat menyebabkan cacat, dan
keadaan ini menjadi penghalang bagi pasien kusta dalam menjalani kehidupan
bermasyarakat untuk memenuhi kebutuhan sosial ekonominya. (Widoyono, 2009).
Kusta merupakan penyakit kronik yang di sebabkan oleh Infeksi Mycobacterium Leprae.
(Mansjoer Arif, 2010). Kusta adalah penyakit menular pada umum nya mempengaruhi
kulit dan saraf perifer, tetapi mempunyai cakupan manifestasi klinis yang luas. (COC,
2008)

2.2 Etiologi
Penyebab Penyakit Kusta adalah Bakteri mycobacterium leprae yang berbentuk
batang dengan ukuran panjang 1-8 mikron, lebar 0.2-0.5 mikron, biasanya berkelompok
dan ada yang tersebar satu-satu, hidup dalam sel, dan bersifat tahan asam (BTA).
Penyakit kusta bersifat menahun karena Bakteri kusta memerlukan waktu 12-21 hari
untuk membelah diri. Dan masa tunas nya rata-rata 2-5 tahun. Penyakit kusta dapat di
tularkan kepada orang lain melalui saluran pernafasan dan kontak kulit. Bakteri kusta ini
banyak terdapat pada kulit tangan, daun telinga,dan mukosa hidung. (Widoyono, 2009).

2.3 Patofisiologi
Cara penularan yang pasti belum di ketahui, tatapi menurut sebagian besar ahli
melalui saluran pernafasan (inhalasi) dan kulit (kontak langsung yang lama dan erat).
Kuman mencapai permukaan kulit melalui volikel rambut, kelenjar keringat, dan di duga
melalui air susu ibu. Beberapa hipotesis telah di kemukakan seperti adanya kontak dekat
dan penularan dari udara.
Penyakit ini sering di percaya bahwa penularanya di sebabkan oleh kontak antara
orang yang terinfeksi dan orang yang sehat.Melalaui kulit yang lecet pada bagian tubuh
yang bersuhu dingin dan melalui mukosa nasal. Pengaruh mycobacterium leprae ke kulit
tergantung factor imunitas seseorang ke mamapuan hidup mycobacterium leprae pada
suhu yang rendah, waktu regenerasi lama serta sifat kuman yang aviluren dan non toksis.
Mycobacterium leprae terurama terdapat pada sel makrofag di sekitar pembuluh darah
superior pada dermis atau sel Schwann jaringan saraf, bila kuman masuk tubuh bereaksi
mengeluarkan makrofag (berasal dari monosit darah, histiosit) untuk memfagositosis.
Masa Inkubasi pasti dari kusta belum belum dapat di kemukakan.beberapa peneliti
berusaha mengukur masa Inkubasinya. Masa inkubasi minimum di laporkan adalah
beberapa minggu, berdasarkan adanya kasus kusta pada Bayi muda. Masa inkubasi
maksimun di laporkan selama 30 tahun hal ini di laporkan berdasarkan pengamatan pada
veteran perang yang pernah terekspor untuk mengetahui Epidemiologi kusta menurut
karakteristik orang,waktu dan tempat.(Hasibun, 2008).
WOC Kusta
Mycobacterium Leprae
Droplet infection atau kontak dg kulit
Masuk dlm pem.darah dermis & sel saraf schwan
Sistem imun selular meningkat
Fagositosis
Pembentukan tuberkolosis
Morbus Hansen (kusta)

Pause Basiler (PB) Multi Basiler (MB)

G3 Saraf tepi

Saraf motorik saraf otonom saraf sensorik


Kelemahan otot G3 kelenjar minyak fibrosis
dan aliran darah penebalan saraf
Intoleransi kulit kering bersisik tindakan pembedahan
Aktifitas macula seluruh tubuh

sekresi histamine G3 fungsi barrier kulit terjadi trauma/cidera

respon gatal G3 Integritas terjadi luka


kulit
digaruk merangsang mediator
inflamasi

Risiko
Infeksi sekresi mediator nyeri

Nyeri

G3 Citra
Tubuh
2.4 Manifestasi Klinis
Menurut WHO (2008) Dignosa kusta di tegakkan bila terdapat satu dari tanda cardinal
berikut:
a. Adanya lesi kulit yang khas dan kehilangan sensabilitas lesi kulit dapat tunggal atau
multipel biasanya hipopigmentasi tetapi kadang-kadang lesi kemerahan atau
berwarna tembaga biasanya berupa: macula, papul, nodul, kehilangan sensabilitas
pada lesi kulit merupakan gambaran khas. Kerusakan saraf terutama saraf tepi,
bermanifestasi ssebagai kehilangan sensabilitas kulit dan kelemahan otot.
b. BTA Positif
1. Pada beberapa kasus di temukan BTA di kerokan jaringan kulit.
2. Penebalan saraf tepi, nyeri tekan, parastesi.
Untuk mendiagnosis penyakit kusta, minimal harus di temukan satu cardinal sign,tanpa
adanya cardinal sign, kita hanya boleh menyatakan sebagai tersangka (suspek) Kusta
adalah:
1. Kelainan Kulit
a. Kelainan kulit berupa bercak merah atau putih, atau benjolan
b. Kulit mengkilap
c. Bercak tidak gatal
d. Lepuh tidak nyeri
e. Permukaan bercak kering dan kasar
f. Batas (pinggir) bercak terlihat jelas dan sering ada bintil-bintil kecil.
g. Terjadi penebalan dan pembengkakan pada bercak.

2. Tanda-Tanda Pada Saraf


a. Rasa kesemutan, tertusuk-tusuk dan nyeri pada anggota badan atau muka
b. Gangguan gerak anggota badan atau bagian muka
c. Adanya cacat (Deformitas)
d. Luka yang tidak sakit
e. Adapun 3 gejala utama (cardinal sign) yang di timbulkan dari penyakit kusta
adalah :
1. Macula hipogpigmentasi atau anastesi pada kulit
2. Kerusakan Saraf Perifer
3. Hasil pemeriksaan Laboratorium dari kerokan kulit menunjukan BTA positif
Selain itu menurut Ridley dan Toppling, kusta dapat dikelompokan berdasarkan
gambaran klinik bekteriologi, histopatologi, dan imonologik menjadi 5 kelompok:

1. Tipe tuberkuloid-tuberkuloid (TT)


Lesi mengenai kulit/saraf, bisa satu atau beberapa. Dapat berupa macula/plakat,
berbatas jelas, dibagian tengah didapatkan lesi yang mengalami regresi atau
penyembuhan, permukaan lesi dapat bersisik dengan tepi yang meninggi, gejalanya
dapat disertai penebalan saraf perifer yang biasanya teraba, kelemahan otot dan
sedikit rasa gatal.
2. Tipe Borderline tuberkuloid (BT).
Lesi mengenai tepi TT, berupa macula anestesi/plak, sering disertai lesi satelit
dipinggirnya, tetapi gambaran hipopigmentasi, gangguan saraf tidak seberat tipe
tuberkuloid dan biasanya asimetrik.
3. Tipe Borderline-Borderline (BB).
Merupakan tipe II yang paling tidak stabil, dan jarang dijumpai, lesi dapat berbentuk
macula infilit, permukaannya dapat mengkilat, batas kurang jelas, jumlah melebihi
tipe BT dan cenderung simetrik, bentuk, ukuran dan distribusinya bervariasi. Bisa
didapat lesi punchedout yaitu hipopigmentasi yang oral pada bagian tengah,
merupakan cirri khas tipe ini.
4. Tipe Borderline Lepromatous (BL)
Lesi dimulai dengan macula, awalnya sedikit darem dengan cepat menyebar
keseluruhan badan, macula lebih jelas dan lebih bervariasi bentuknya. Walau masih
kecil papel dan nodus lebih tegas dengan distribusi yang hampir simetrik. Tanda-
tanda kerusakan saraf berupa hilangnya sensasi, hipopigmentasi, berkurangnya
kerinngat, dan gugurnya rambut lebih cepat muncul dibandingkan dengan tipe
lepromatous dengan penebalan saraf yang dapat teraba pada tempat predileksi
dikulit.
5. Tipe Lepromatous-Lepromatous (LL)
Jumlah lesi sangat banyak, simetrik, permukaan halus, lebih eritem, mengkilap,
terbatas tidak tegas dan tidak ditemukan gangguan anestesi dan antidrosis pada
stadium dini, distribusi lesi khas, mengenai dahi, pelipis, dagu, cuping hidung,
dibadan mengenai bagian belakang yang dingin, lengan punggung tangan dan
permukaan ekstentor tungkai bawah, pada stadium lanjut tampak penebalan kulit
yang progresif, cuping telinga menebal, garis muka menjadi kasar dan cekung, dapat
disertai madarosis, iritis, dan keratitis. Dapat pula terjadi deforhitas hidung, dapat
dijumpai pembesaran kelenjar limfe, orkitis dan atropi testis

2.5 Pemeriksaan Penunjang


a. Pemeriksaan Bakterioskopik
Memiliki lesi yang paling aktif yaitu: yang paling erythematous dan paling infiltratif.
Secara topografik yang paling baik adalah muka dan telinga. Denngan menggunakan
Vaccinosteil dibuat goresan sampai didermis, diputar 90 derajat dan dicongkelkan,
dari bahan tadi dibuat sediaan apus dan diwarnai Zeihlnielsen. Pada pemeriksaan
akan tampak batang-batang merah yang utuh, terputus-putus atau granuler.
Ketentuan pengambilan sediaan adalah sebagai berikut :
1. Sediaan di ambil dari kelainan kulit yang paling aktif
2. Kulit muka sebaiknya di hindari karena alasan kosmetik, kecuali tidak di temukan
lesi di tempat lain.
3. Pemeriksaan ulangan di lakukan pada lesi kulit yang sama dan bila perlu di
tambah dengan lesi kulit yang baru timbul.
4. Lokasi pengambilan sediaan apus untuk pemeriksaan mikobekterium
leprae dalah:
1) Cuping telinga kiri atau kanan
2) 2-4 lesi kulit yang aktif di tempat lain.
3) Sediaan dari selaput lendir hidung sebaiknya di hindari karena :
4) Tidak menyenangkan pasien
5) Positif palsu karna ada mikobakterium lain
6) Tidak mikobakterium leprae pernah di temukan pada selaput lendir hidung
apabila sediaan apus kulit negetif
b. Test Mitsuda
Berupa penyuntikan lepromin secara intrakutan pada lengan, yang hasilnya dapat
dibaca setelah 3 – 4 minggu kemudian bila timbul infiltrat di tempat penyuntikan
berarti lepromim test positif.
2.6 Penatalaksanaan
a. Penatalaksanaan Medis
1. Regimen Pengobatan
Regimen MDT yang di anjurkan oleh WHO adalah :
a. Penderita Pauci Baciler ( PB )
b. Jenis obat dan dosis untuk orang dewasa :
1) Rifampisin 600 Mg/bulan di minum di depan petugas
2) DDS tablet 100 Mg/hari di minum di rumah
3) Pengobatan 6 dosis di selesaikan dalam 6-9 bulan dan setelah selesai
minum 6 dosis di nyatakan RFT meskipun secara klinis lesinya masih
aktif. Menurut WHO (2008) tidak lagi di nyatakan RFT tetapi
menggunakan istilah completionof trentment cure dan pasien tidak lagi
dalam pengawasan.
2. Tipe MB ( MULTI BASILER )
Jenis obat dan dosis untuk orang dewasa :
1) Rifampisin 600 Mg/bulan di minum di depan petugas.
2) Klofazimin 300 Mg/bulan di minum di depan petugas di lanjutkan
dengan klofazimin 50 Mg/hari di minum di rumah.
3) DDS 100 Mg/hari di minum di rumah.
Dosis untuk Anak
Klofazimin :
1) Umur di bawah 10 tahun: Bulanan 100 mg /bln, Harian 50 mg
/2kali/minggu
2) Umur 11 -14 tahun: Bulanan 100 mg /bln, Harian 50mg /3hari /minggu
DDS:1-2mg/kg BB
Rifampisin:10-15 mg/kg BB
b. Penatalaksanaan Keperawatan
1. Perawatan pada Morbus Hansen umumnya untuk mencegah kecacatan.
Terjadinya cacat pada kusta di sebabkan oleh kerusakan fungsi syaraf tepi, baik
karena kuman kusta maupun karena peradangan sewaktu keadaan reaksi netral.
2. Perawatan Mata dengan lagophtalmos
a. Penderita memeriksa mata setiap hari apakah ada kemerahan atau kotoran
b. Penderita harus ingat sering kedip dengan kuat
c. Mata perlu di lindungi dari kekeringan dan debu
3. Perawatan Tangan yang Mati Rasa
a. Penderita memeriksa tangannya tiap hari untuk mencari tanda-tanda luka
yang melepuh
b. Perlu di rendam setiap hari dengan air dingin selama lebih kurang setengah
jam
c. Keadaan basah di olesi minyak
d. Kulit yang tebal di gosok agar lurus dan sendi –sendi tidak kaku
e. Tangan mati rasa di lindungi dari panas,benda tajam, luka
4. Perawatan Kaki yang Mati Rasa
a. Penderita memeriksa kaki setiap hari
b. Paki di rendam dalam air dingin lebih kurang ½ jam
c. Masih basah diolesi minyak
d. Kulit yang keras di gosok agar tipis dan halus
e. Jari-jari bengkok diurut lurus
f. Kaki mati rasa di lindungi
5. Perawatan Luka
a. Luka di bersihkan dengan sabun pada waktu di rendam
b. Luka di balut agar bersih
c. Bagian luka di istirhatkan dari tekanan

2.7 Klasifikasi
Bentuk klinis penyakit kusta cukup di bedakan atas dua jenis yaitu:
1. Kusta Bentuk Kering (Tipe Tuberkuloid)
a. Merupakan bentuk yang tidak menular
b. Kelainan kulit berupa bercak keputihan sebesar uang logam atau lebih,
jumlahnya biasanya hanya beberapa, sering di pipi, punggung, pantat, paha atau
lengan. Bercak tampak kering, perasaan kulit hilang sama sekali,kadang-kadang
tepinya meninggi.
c. Pada Tipe ini lebih sering di dapatkan kelainan urat saraf tepi pada ,sering gejala
kulit tak begitu menonjol tetapi gangguan saraf lebih jelas
d. Komplikasi Saraf serta kecatatan relative lebih sering terjadi dan timbul lebih
awal darib pada bentuk basah
e. Pemeriksaan Bakteriologis sering kali Negatif, berarti tidak di temukan adanya
kuman penyebab
f. Bentuk ini merupakan yang paling banyak di dapatkan di Indonesia dan terjadi
pada orang yang daya tahan tubuhnya terhadap kuman kusta cukup tinggi
2. Kusta Bentuk Basah (Tipe Leprometosa )
a. Merupakan bentuk menular karena banyak kuman dapat di temukan baik di
selaput lendir hidung, kulit maupun organ tubuh lain
b. Jumlahnya lebih sedikit di bandingkan kusta bentuk kering dan terjadi pada
orang yang daya tahan tubuhnya rendah dalam menghadapi kuman kusta
c. Kelainan kulit bisa berupa bercak kemerahan, bisa kecil-kecil dan tersebar di
seluruh badan ataupun sebagai penebalan kulit yang luas (infiltrat) yang tampak
mengkilap dan berminyak. Bila juga sebagai benjolan-benjolan merah sebesar di
badan, muka dan daun telinga
d. Sering di sertai rontoknya alis mata, menebalnya cuping telinga dan kadang-
kadang terjadi hidung pelana karena rusaknya tulang rawan hidung
e. Kecacatan pada bentuk ini umumnya terjadi pada fase lanjut dari perjalanan
penyakit
f. Pada bentuk yang parah bisa terjadi “ muka singa “ (facies leonine).

2.8 Komplikasi
Berdasarkan Pedoman Nasional Program Pengendalian Penyakit Kusta yang dikeluarkan
oleh Kementerian Kesehatan Nasional, cacat akibat penyakit ini terbagi menjadi dua,
yaitu:
1. Cacat primer
Cacat primer adalah jenis cacat yang disebabkan langsung oleh
infeksi bakteri M. leprae dalam tubuh. Cacat jenis ini menyebabkan penderitanya
mengalami mati rasa, kulit kering dan bersisik serta claw hand alias tangan dan jari-
jari membengkok. Pada cacat primer, kemunculan bercak kulit yang mirip panu
biasanya terjadi secara cepat dalam waktu yang relatif singkat. Bercak ini lama-lama
menjadi meradang, membengkak, dan disertai dengan gejala demam. Selain itu, bisul
yang muncul sebagai salah satu tanda dari gejala lepra bisa pecah dan berkembang
menjadi borok. Kelemahan otot dan sensasi kulit mati rasa (kebas/ baal) biasanya
terjadi dalam kurun waktu enam bulan terakhir semenjak paparan infeksi awal.
2. Cacat sekunder
Cacat sekunder adalah perkembangan dari cacat primer, terutama yang
diakibatkan oleh kerusakan saraf. Kerusakan saraf ini dapat menyebabkan bisul ulkus
(luka terbuka di kulit alias borok) dan keterbatasan gerak sendi. Hal ini terjadi
sebagai akibat kerusakan fungsional pada persendian dan jaringan lunak di sekitar
area yang terinfeksi. Kecacatan pada tahap ini terjadi melalui dua proses, yaitu:
a. Adanya aliran langsung bakteri M.leprae ke susunan saraf tepi dan organ
tertentu
b. Melalui reaksi lepra
Jika bakteri sudah masuk ke dalam saraf, maka fungsi saraf lambat laun akan
berkurang bahkan hilang. Secara umum, saraf berfungsi sebagai sensorik, motorik,
dan otonom. Kelainan yang terjadi akibat infeksi kulit satu ini bisa menimbulkan
gangguan pada masing-masing saraf atau kombinasi di antara ketiganya. Berikut
beberapa gangguan atau kelainan pada masing-masing saraf akibat penyakit lepra:
a. Gangguan saraf motorik. Saraf motorik berfungsi memberikan kekuatan pada
otot. Gangguan atau kelainan pada saraf motorik bisa berupa kelumpuhan pada
tangan dan kaki, jari-jari tangan maupun kaki membengkok, serta mata tidak
bisa berkedip. Jika infeksi terjadi pada bagian mata, maka penderita bisa
mengalami kebutaan.
b. Gangguan saraf sensorik. Saraf fungsi sensorik bertugas untuk memberi sensasi
dalam meraba, merasakan nyeri, dan merasakan suhu. Gangguan pada saraf
sensorik dapat mengakibatkan tangan dan kaki mati rasa serta refleks kedip
berkurang.
c. Gangguan saraf otonom. Saraf otonom bertanggung jawab atas kelenjar keringat
dan minyak di dalam tubuh. Gangguan pada bagian saraf ini mengakibatkan
kekeringan dan keretakan pada kulit akibat adanya kerusakan pada kelenjar
minyak dan aliran darah.
BAB 3
KONSEP TEORI ASUHAN KEPERAWATAN

3.1 Pengkajian
a. Biodata
Umur memberikan petunjuk mengenai dosis obat yang diberikan, anak-anak dan
dewasa pemberian dosis obatnya berbeda. Pekerjaan, alamat menentukan tingkat
sosial, ekonomi dan tingkat kebersihan lingkungan. Karena pada kenyataannya
bahwa sebagian besar penderita kusta adalah dari golongan ekonomi lemah.
b. Riwayat Penyakit Sekarang
Biasanya klien dengan morbus hansen datang berobat dengan keluhan adanya lesi
dapat tunggal atau multipel, neuritis (nyeri tekan pada saraf) kadang-kadang
gangguan keadaan umum penderita (demam ringan) dan adanya komplikasi pada
organ tubuh.
c. Riwayat Kesehatan Masa Lalu
Pada klien dengan morbus hansen reaksinya mudah terjadi jika dalam kondisi lemah,
kehamilan, malaria, stres, sesudah mendapat imunisasi.
d. Riwayat Kesehatan Keluarga
Morbus hansen merupakan penyakit menular yang menahun yang disebabkan oleh
kuman kusta ( mikobakterium leprae) yang masa inkubasinya diperkirakan 2-5
tahun. Jadi salah satu anggota keluarga yang mempunyai penyakit morbus hansen
akan tertular.
e. Riwayat Psikososial
Klien yang menderita morbus hansen akan malu karena sebagian besar masyarakat
akan beranggapan bahwa penyakit ini merupakan penyakit kutukan, sehingga klien
akan menutup diri dan menarik diri, sehingga klien mengalami gangguan jiwa pada
konsep diri karena penurunan fungsi tubuh dan komplikasi yang diderita.
f. Pola Aktivitas Sehari-Hari
Aktifitas sehari-hari terganggu karena adanya kelemahan pada tangan dan kaki
maupun kelumpuhan. Klien mengalami ketergantungan pada orang lain dalam
perawatan diri karena kondisinya yang tidak memungkinkan.
g. Pemeriksaan Fisik
Keadaan umum klien biasanya dalam keadaan demam karena reaksi berat pada tipe
I, reaksi ringan, berat tipe II morbus hansen. Lemah karena adanya gangguan saraf
tepi motorik.
h. Sistem penglihatan. Adanya gangguan fungsi saraf tepi sensorik, kornea mata
anastesi sehingga reflek kedip berkurang jika terjadi infeksi mengakibatkan
kebutaan, dan saraf tepi motorik terjadi kelemahan mata akan lagophthalmos jika
ada infeksi akan buta. Pada morbus hansen tipe II reaksi berat, jika terjadi
peradangan pada organ-organ tubuh akan mengakibatkan irigocyclitis. Sedangkan
pause basiler jika ada bercak pada alis mata maka alis mata akan rontok.
i. Sistem pernafasan. Klien dengan morbus hansen hidungnya seperti pelana dan
terdapat gangguan pada tenggorokan.
j. Sistem persarafan:
1. Kerusakan fungsi sensorik
2. Kelainan fungsi sensorik ini menyebabkan terjadinya kurang/ mati rasa.
Akibat kurang/ mati rasa pada telapak tangan dan kaki dapat terjadi luka,
sedang pada kornea mata mengkibatkan kurang/ hilangnya reflek kedip.
3. Kerusakan fungsi motorik
4. Kekuatan otot tangan dan kaki dapat menjadi lemah/ lumpuh dan lama-lama
ototnya mengecil (atropi) karena tidak dipergunakan. Jari-jari tangan dan kaki
menjadi bengkok dan akhirnya dapat terjadi kekakuan pada sendi (kontraktur),
bila terjadi pada mata akan mengakibatkan mata tidak dapat dirapatkan
(lagophthalmos).
5. Kerusakan fungsi otonom
6. Terjadi gangguan pada kelenjar keringat, kelenjar minyak dan gangguan
sirkulasi darah sehingga kulit menjadi kering, menebal, mengeras dan
akhirnya dapat pecah-pecah.
k. Sistem muskuloskeletal.
Adanya gangguan fungsi saraf tepi motorik adanya kelemahan atau kelumpuhan otot
tangan dan kaki, jika dibiarkan akan atropi.
l. Sistem integumen.
Terdapat kelainan berupa hipopigmentasi (seperti panu), bercak eritem (kemerah-
merahan), infiltrat (penebalan kulit), nodul (benjolan). Jika ada kerusakan fungsi
otonom terjadi gangguan kelenjar keringat, kelenjar minyak dan gangguan sirkulasi
darah sehingga kulit kering, tebal, mengeras dan pecah-pecah. Rambut: sering
didapati kerontokan jika terdapat bercak.

3.2 Diagnosa Keperawatan


Diagnosa keperawatan utama yang dapat dijumpai pada klien dengan Kusta antara lain :
1. Gangguan integritas kulit/jaringan berhubungan dengan neuropati perifer
2. Gangguan citra tubuh berhubungan dengan fungsi tubuh (kelumpuhan)
3. Risiko infeksi berhubungan dengan ketidakadekuatan pertahanan tubuh primer.

3.3 Intervensi
1. Gangguan integritas kulit/jaringan : Neuropati perifer
Definisi : Kerusakan kulit (dermis dan/atau epidermis)
atau jaringan (membrane mukosa, kornea, fasia,
otot, tendon, tulang, kartilago, kapsul sendi
dan/atau ligamen).
Penyebab : Neuropati perifer

No Diagnosa Noc Nic

1 Gangguan Setelah dilakukan tindakan  Perawatan Luka


integritas keperawatan selama 3X24 1. Cukur rambut di sekitar daerah
kulit/jaringan jam diharapkan perubahan yang terkena, sesuai kebutuhan
berhubungan dapat teratasi dengan kriteria (5)
dengan hasil : 2. Monitor karakteristik luka,
neuropati termasuk drainase, warna,
 Keparahan Infeksi
perifer ukuran, dan bau (5)
1. Kemerahan (5)
3. Ukur luas luka, yang sesuai (5)
2. Vesikel yang tidak
4. Bersihkan dengan normal saline
mengeras permukaannya
atau pembersih yang tidak
(5)
beracun, dengan tepat (5)
3. Cairan [luka] yang
5. Tempatkan area yang terkena
berbau busuk (5)
pada air yang mengalir , dengan
4. Sputum purulen (5)
tepat (5)
5. Drainase purulen (5)
6. Berikan rawatan insisi pada
6. Piuria/nanah dalam urin luka, yang diperlukan (5)
(5) 7. Berikan perawatan ulkus pada
7. Demam (5) kulit, yang diperlukan (5)
8. Hipotermis (5) 8. Berikan balutan yang sesuai
9. Nyeri (5) dengan jenis luka (5)
10. Ketidakstabilan suhu (5) 9. Perkuat balutan [luka], sesuai
11. Jaringan [lunak] (5) kebutuhan (5)
12. Gejala-gejala 10. Pertahankan teknik balutan steril
gastrointestinal (5) ketika melakukan perawatan
13. Limfadenopati (5) luka, dengan tepat (5)
14. Malaise (5) 11. Ganti balutan sesuai dengan
15. Menggigil (5) jumlah eksudat dan drainase (5)
16. Gangguan kognisi yang 12. Periksa luka setiap kali
tidak bisa dijelaskan (5) perubahan balutan (5)
17. Lethargy (5) 13. Bandingkan dan catat setiap
18. Hilang nafsu makan (5) perubahan luka (5)
14. Posisikan untuk menghindari
menempatkan ketegangan pada
luka, dengan tepat (5)

2. Gangguan citra tubuh : fungsi tubuh (proses penyakit)


Definisi : Perubahan persepsi tentang penampilan, struktur dan
fungsi fisik individu.
Penyebab : fungsi tubuh (proses penyakit)

No. Diaagnosa Noc Nic


1. Gangguan Setelah dilakukan tindakan  Peningkatan Citra Tubuh
citra tubuh keperawatan selama 3X24 1. Tentukan harapan citra diri pasien
berhubungan jam diharapkan perubahan didasarkan pada tahap
dengan dapat teratasi dengan kriteria perkembangan (5)
fungsi tubuh hasil : 2. Gunakan bimbingan antisipatif
(kelumpuhan)  Adaptasi terhadap menyiapkan pasien terkait dengan
Disabilitas Fisik perubahan-perubahan citra tubuh
1. Menyampaikan secara yang [telah] diprediksikan (5)
lisan kemampuan untuk 3. Tentukan jika terdapat perasaan
menyesuaikan terhadap tidak suka terhadap karakteristik
disabilitas (5) fisik khusus yang menciptakan
2. Menyampaikan secara disfungsi paralisis social untuk
lisan penyesuaian remaja dan kelompok dengan
terhadap disabilitas (5) resiko tinggi lain. (5)
3. Beradaptasi terhadap 4. Bantu pasien untuk
keterbatasan secara mendiskusikan perubahan-
fungsional (5) perubahan [bagian tubuh]
4. Memodifikasi tujuan disebabkan adanya penyakit atau
karir untuk pembedahan, dengan cara yang
mengakomodasi tepat (5)
disabilitas (5) 5. Bantu pasien menentukan
5. Menggunakan strategi keberlanjutan dari perubahan-
untuk mengurangi stress perubahan actual dari tubuh atau
yang berhubungan tingkat fungsinya (5)
dengan disabilitas (5)

3. Risiko infeksi : ketidakadekuatan pertahanan tubuh primer


Definisi : Berisiko mengalami peningkatan terserang organism patogenik
Penyebab : ketidakadekuatan pertahanan tubuh primer

No. Diagnosa Noc Nic


1. Risiko infeksi Setelah dilakukan tindakan  Manajemen Penyakit Menular
berhubungan keperawatan selama 3X24 jam 1. Monitor populasi yang berisiko
dengan diharapkan perubahan dapat dalam rangka pemenuhanregimen
ketidakadeku teratasi dengan kriteria hasil : prevensi dan perawatan (5)
atan  Deteksi Risiko 2. Monitor keberlanjutan yang
pertahanan 1. Mengenali tanda dan adekuat pada populasi target (5)
tubuh primer gejala yang 3. Sediakan vaksin bagi populasi
mengindikasikan risiko target, seperti yang disediakan (5)
(5) 4. Monitor insiden paparan penyakit
2. Mengidentifikasi menular selama wabah berjangkit
kemungkinan risiko (5)
kesehatan (5) 5. Monitor factor-faktor lingkungan
3. Memvalidasi risiko yang mempengaruhi penyebaran
kesehatan yang ada (5) penyakit menular (5)
4. Melakukan pemeriksaan 6. Sediakan informasi mengenai
mandiri sesuai waktu persiapan dan penyimpanan
yang dianjurkan (5) makanan yang memadai, seperti
5. Mengetahui riwayat yang dibutuhkan (5)
penyakit dalam keluarga 7. Sediakan informasi mengenai
(5) control terhadap vector dan
6. Selalu memperbaharui hewan penjamu reservoir yang
data tentang kesehatan adekuat, seperti yang dibutuhkan
diri (5) (5)
7. Melakukan skrining 8. Informasikan masyarakat
sesuai waktu yang mengenai penyakit dan aktivitas-
dianjurkan(5) aktivitas yang berhubungan
8. Memanfaatkan sumber- dengan pengaturan [wabah],
sumber untuk seperti yang dibutuhkan (5)
mengetahui risiko 9. Tingkatkan askes pada
kesehatan pribadi (5) pendidikan kesehatan yang
9. Memonitor perubahan memadai sehubungan dengan
status kesehatan (5) pencegahan dan pengobatan
10. Menggunakan fasilitas terhadap penyakit menular dan
kesehatan yang sesuai pencegahan berulangnya kejadian
dengan kebutuhan (5) (5)
10. Perbaiki sistem-sistem surveilans
untuk penyakit menular, seperti
yang dibutuhkan (5)
BAB 4
PENUTUP

4.1 Kesimpulan
Penyakit Kusta adalah salah satu penyakit menular, dapat menyebabkan cacat, dan
keadaan ini menjadi penghalang bagi pasien kusta dalam menjalani kehidupan
bermasyarakat untuk memenuhi kebutuhan sosial ekonominya. ( Widoyono, 2005 ).
Penyebab Penyakit Kusta adalah Bakteri mycobacterium leprae yang berbentuk
batang, hidup dalam sel, dan bersifat tahan asam (BTA). Penyakit kusta bersifat menahun
karena Bakteri kusta memerlukan waktu 12-21 hari untuk membelah diri. Dan masa
tunasnya rata-rata 2-5 tahun. Penyakit kusta dapat di tularkan kepada orang lain melalui
saluran pernafasan dan kontak kulit. Bakteri kusta ini banyak terdapat pada kulit tangan,
daun telinga,dan mukosa hidung. (Widoyono, 2005).

4.2 Saran
Sebagai penyusun, kami merasa bersyukur dan bangga dapat menyelesaikan makalah
ini dengan sedemikian rupa, akan tetapi makalah ini belumlah sempurna seperti makalah
yang baik dan benar pada umum nya.Oleh karena itu, kami sebagai penyusun memohon
kritik dan saran dari para pembaca karena kami sadar tiada hal yang sempurna di muka
bumi ini, kecuali Allah SWT.
DAFTAR PUSTAKA

Https://nefyskep.wordpress.com/2012/05/29/askep-morbus-hansen/, diakses pada tanggal 20


Oktober 2018

Https://merpatisepuluh.wordpress.com/2013/04/09/askep-kasus-kusta-puskesmas/, diakses
pada tanggal 20 Oktober 2018

Http://jonrisimarmat.blogspot.com/2015/09/askep-kusta.html, diakses pada tanggal 20


Oktober 2018

Http://dr-suparyanto.blogspot.com/2013/05/sekilas-tentang-penyakit-kusta.html, diakses pada


tanggal 20 Oktober 2018

Https://hellosehat.com/pusat-kesehatan/dermatologi/lepra-kusta-adalah-infeksi-kulit/, diakses
pada tanggal 20 Oktober 2018

Anda mungkin juga menyukai