Anda di halaman 1dari 64

BAB II

TIJAUAN TEORITIS

A. Definisi Struma

Pembesaran pada kelenjar tiroid biasa disebut sebagai struma nodosa atau struma.

Pembesaran pada tiroid yang disebabkan akibat adanya nodul, disebut struma nodosa

(Tonacchera, Pinchera & Vitty, 2009). Biasanya dianggap membesar bila kelenjar

tiroid lebih dari 2x ukuran normal. Pembesaran ini dapat terjadi pada kelenjar yang

normal (eutirodisme), pasien yang kekurangan hormon tiroid (hipotiroidisme) atau

kelebihan produksi hormon (hipertiroidisme) (Black and Hawks, 2009). Struma

merupakan pembesaran kelenjar tiroid yang bukan disebabkan oleh inflamasi atau

neoplasma dan umumnya digolongkan sebagai kelainan yang bersifat endemik atau

sporadik (Kowalak, 2013). Menurut (Syaugi et al, 2015) mendefinisikan jika struma

adalah setiap pembesaran kelenjar tiroid yang disebabkan oleh penambahan jaringan

kelenjar tiroid.

Goiter atau struma atau secara awam dikenal dengan istilah gondok merupakan

pembesaran kelenjar tiroid yang dapat berkaitan dengan gangguan primer pada organ

tiroid ataupun akibat stimulasi hormonal atau faktor lain terhadap tiroid (Kondo dalam

Armerinayanti, 2016). Berdasarkan ukuran kelenjar tiroid, definisi goiter sebagai

faktor predisposisi karsinoma tiroid goiter ditetapkan pada individu dengan berat
kelenjar tiroid melebihi 18 mL pada perempuan atau melebihi 25 mL pada laki-laki,

(Fuhrer dalam Armerinayanti, 2016).

Struma nodosa merupakan pembesaran pada kelenjar tiroid yang teraba sebagai

suatu nodul (Sudoyo dkk, 2009). Sekitar 10 juta orang di seluruh dunia mengalami

gangguan tiroid, baik kanker

tiroid, struma nodosa non

toxic, maupun struma

nodosa toxic (American

Thyroid Association,

2013). Struma nodosa non

toxic adalah pembesaran kelenjar tiroid baik berbentuk nodul atau difusa tanpa ada

tanda-tanda hipertiroidisme dan bukan disebabkan oleh autoimun atau proses inflamasi

(Hermus& Huysmans, 2004).

B. Anatomi Fisiologi Kelenjar Tiroid


Gambar A. Anatomi kelenjar tiroid

Tiroid merupakan kelenjar yang terletak di dalam leher bagian bawah, melekat

pada tulang laring, sebelah kanan depan trakea, dan melekat pada dinding laring.

Kelenjar ini terdiri atas 2 lobus (lobus dekstra dan lobus sinistra) yang saling

berhubungan, masing-masing lobus tebalnya 2 cm, panjang 4 cm, dan lebar 2,5 cm

(Syaifuddin, 2011). Kelenjar tiroid merupakan organ kecil pada anterior leher bagian

bawah, di antara muskulus sternokleidomastoideus, yang terdiri dari dua buah lobus

lateral yang dihubungkan oleh sebuah istmus (Price & Wilson, 2006).

Yodium berperan penting dalam pembentukan hormon tiroid (Brunner & Suddarth,

2002). Yodium yang telah terserap dalam darah dari GI track akan diambil oleh

kelenjar tiroid dan akan dipekatkan dalam sel kelenjar tiroid. Molekul yodium yang

telah diambil akan bereaksi dengan tirosin (asam amino) untuk membentuk hormon

tiroid. Kelenjar tiroid mengatur fungsi metabolism tubuh, dimana tubuh menghasilkan

energi yang berasal dari nutrisi dan oksigen yang mempengaruhi fungsi tubuh penting,

seperti tingkat kebutuhan energi dan detak jantung (ATA, 2013). Selain itu kelenjar

tiroid juga berfungsi meningkatkan kadar karbohidrat, meningkatkan ukuran dan

kepadatan mitokondria, meningkatkan sintesis protein dan meningkatkan pertumbuhan

pada anak-anak. Sel-sel sasaran untuk hormon tiroid adalah hampir semua sel di dalam

tubuh. Fungsi hormon tiroid antara lain (Black & Hawks, 2009) :
1. Merangsang laju metabolik sel-sel sasaran dengan meningkatkan metabolisme

protein, lemak, dan karbohidrat

2. Merangsang kecepatan pompa natrium-kalium di sel sasaran

3. Meningkatkan responsivitas sel-sel sasaran terhadap katekolamin sehingga

meningkatkan frekuensi jantung

4. Meningkatkan responsivitas emosi

5. Meningkatkan kecepatan depolarisasi otot rangka, yang meningkatkan kecepatan

kontraksi otot rangka

6. Hormon tiroid penting untuk pertumbuhan dan perkembangan normal semua sel

tubuh dan dibutuhkan untuk fungsi hormon pertumbuhan

C. Klasifikasi Struma Berdasarkan Fisiologi

Berdasakan fisiologisnya struma nodosa dapat diklasifikasikan sebagai berikut

(Rehman, dkk, 2006) :

1. Eutiroidisme

Eutiroidisme adalah suatu keadaan hipertrofi pada kelenjar tiroid yang

disebabkan stimulasi kelenjar tiroid yang berada di bawah normal sedangkan kelenjar

hipofisis menghasilkan TSH dalam jumlah yang meningkat. Struma nodosa atau

struma semacam ini biasanya tidak menimbulkan gejala kecuali pembesaran pada leher

yang jika terjadi secara berlebihan dapat mengakibatkan kompresi trakea.


2. Hipotiroidisme

Eutiroidisme adalah suatu keadaan hipertrofi pada kelenjar tiroid yang

disebabkan stimulasi kelenjar tiroid yang berada di bawah normal sedangkan kelenjar

hipofisis menghasilkan TSH dalam jumlah yang meningkat. Struma nodosa atau

struma semacam ini biasanya tidak menimbulkan gejala kecuali pembesaran pada leher

yang jika terjadi secara berlebihan dapat mengakibatkan kompresi trakea (Rehman,

dkk, 2006).

Pada umumnya efek kelainan hipotiroidisme berkebalikan dengan efek

hipertiroidisme, namun pada hipotiroidisme terdapat beberapa mekanisme fisiologi

yang khusus. Hipotiroidisme, seperti halnya hipertiroidisme, pada beberapa kasus,

mungkin disebabkan oleh autoimunitas terhadap kelenjar tiroid sendiri, namun

imunitasnya lebih merusak kelenjar dari pada merangsang kelenjar. Pada sebagian

besar pasien, mula-mula kelenjar mengalami “tiroiditis” autoimun, yakni adanya

peradangan pada kelenjar. Keadaan ini menyebabkan kemunduran kelenjar dan

akhirnya timbul fibrosis pada kelenjar, dan hasil akhirnya adalah berkurangnya atau

tidak adanya sekresi hormon tiroid sama sekali (Guyton and Hall, 2012).

3. Hipertiroidisme
Dikenal juga sebagai tirotoxicosis atau Graves yang dapat didefenisikan

sebagai respon jaringan-jaringan tubuh terhadap pengaruh metabolik hormon tiroid

yang berlebihan. Keadaan ini dapat timbul spontan atau adanya sejenis antibodi dalam

darah yang merangsang kelenjar tiroid, sehingga tidak hanya produksi hormon yang

berlebihan tetapi ukuran kelenjar tiroid menjadi besar. Gejala hipertiroidisme berupa

berat badan menurun, nafsu makan meningkat, keringat berlebihan, kelelahan, lebih

suka udara dingin, sesak napas. Selain itu juga terdapat gejala jantung berdebar-debar,

tremor pada tungkai bagian atas, mata melotot (eksoftalamus), diare, haid tidak teratur,

rambut rontok, dan atrofi otot (Rehman, dkk, 2006).

Gejala hipertiroidisme berupa sangat mudah terangsang, intoleransi terhadap

panas, berkeringat banyak, berat badan berkurang sedikit atau banyak (kadangkala

dapat berkurang sampai 100 pound), berbagai derajat keparahan diare, kelemahan otot,

kecemasan atau kelainan psikis lainnya, rasa capai yang sangat, namun pasien tidak

dapat tidur, dan tremor pada tangan (Guyton and Hall, 2012).

D. Klasifikasi Struma Berdasarkan Klinis

Secara klinis pemeriksaan klinis struma nodosa dapat dibedakan menjadi

(Tonacchera, dkk, 2009):

1. Struma Toksik
Struma nodosa toxic dapat dibedakan atas dua yaitu struma nodosa diffusa toxic

dan struma nodosa nodusa toxic. Istilah diffusa dan nodusa lebih mengarah kepada

perubahan bentuk anatomi dimana struma nodosa diffusa toxic akan menyebar luas ke

jaringan lain. Jika tidak diberikan tindakan medis sementara nodusa akan

memperlihatkan benjolan yang secara klinik teraba satu atau lebih benjolan (struma

nodosa multinodular toxic). Struma nodosa diffusa toxic (tiroktosikosis) merupakan

hipermetabolisme karena jaringan tubuh dipengaruhi oleh hormon tiroid yang

berlebihan dalam darah. Penyebab tersering adalah penyakit Grave (gondok

eksoftalmik/exophtalmic struma nodosa), bentuk tiroktosikosis yang paling banyak

ditemukan diantara hipertiroidisme lainnya. Perjalanan penyakitnya tidak disadari oleh

pasien meskipun telah diiidap selama berbulan-bulan. Antibodi yang berbentuk

reseptor TSH beredar dalam sirkulasi darah, mengaktifkan reseptor tersebut dan

menyebabkan kelenjar tiroid hiperaktif

2. Struma Non Toksik

Struma nodosa non toxic sama halnya dengan struma nodosa toxic yang dibagi

menjadi struma nodosa diffusa non toxic dan struma nodosa nodusa non toxic. Struma

nodosa non toxic disebabkan oleh kekurangan yodium yang kronik. Struma nodosa ini

disebut sebagai simpel struma nodosa, struma nodosa endemik, atau struma nodosa

koloid yang sering ditemukan di daerah yang air minumya kurang sekali mengandung

yodium dan goitrogen yang menghambat sintesa hormon oleh zat kimia.

Struma nodosa memiliki beberapa stadium, yaitu (Lewinski, 2002) :


a. Derajat 0 : tidak teraba pada pemeriksaan

b. Derajat I : teraba pada pemeriksaan, terlihat jika kepala ditegakkan

c. Derajat II : mudah terlihat pada posisi kepala normal

d. Derajat III : terlihat pada jarak jauh

E. Etiologi

Adanya gangguan fungsional dalam pembentukam hormon tiroid merupakan faktor

penyebab pembesaran kelenjar tiroid antara lain :

1. Defisiensi Iodium

Pada umumnya, penderita penyakit struma sering terdapat didaerah yang kondisi

air minum dan tanah kurang mengandung iodium.

2. Kelainan metabolik kongenital yang menghambat sintesa hormon tiroid.

a. Penghambatan sintesa hormon oleh zat kimia : seperti substansi dalam kol, lobak,

kacang kedelai.

b. Penghambatan sintesa hormon oleh obat-obatan : propylthiouraci, lithium,

phenylbutazone, aminoglutethimide, expectorants yang mengandung yodium

secara berlebih.

c. Penggunaan terapi radiasi juga merupakan faktor penyebab struma yang

merupakan salah satu agen kimia karsinoma tiroid. Banyak terjadi pada kasus

anak-anak yang sebelumnya mendapatkan radiasi pada leher dan terapi yodium

radioaktif pada tirotoksikosis berat serta operasi di tempat lain di mana


sebelumnya tidak diketahui. Bagi individu yang terkena radiasi eksternal dala usia

anak-anak terdapat peningkatan insiden kanker tiroid dalam 5 hingga 40 tahun

sesudah penyinaran tersebut.

F. Patofisiologi

Iodium merupakan semua bahan utama yang dibutuhkan tubuh untuk

pembentukan hormon tyroid. Bahan yang mengandung iodium diserp usus, masuk ke

dalam sirkulasi darah dan ditangkap paling banyak oleh kelenjar tiroid. Dslam kelenjar

iodium dioksida menjadi bentuk yang aktif yang di stimulus oleh tiroid stimulating

hormon kemudian disatukan menjadi molekul tirokin yang terjadi pada fase sel koloid.

Senyaawa yang terbentuk dalam molekul diyodotironin membentuk tiroksin (T4) dan

molekul yoditironin (T3). Tiroksin (T4) menunjukan pengaturan umpan balik negatif

dari sekresi Tiroid Stimulating Hormon dan bekerja langsung pada tirotrophypofisis,

tyrodotironin merupakan hormon metabolik tidak aktif. Akibat kekurangan yodium

maka tidak terjadi peningkatan pembentukan T4 dan T3, ukuran folikel menjadi lebih

besar dan kelenjar tiroid dapat bertambah berat sekitar 300-500 gram. Beberapa obat

dan keadaan dapat mempengaruhi sintesis, pelepasan dan metabolisme tyroid sekaligus

menghambat sintesis tiroksin (T4) dan melalui rangsangan umpan balik negaif

meningkatkan pelepasan TSH oleh kelenjar hypofisis. Keadaan ini menyebabkan

pembesaran kelenjar tiroid (Price & Wilson, 2013).


G. Manifestasi Klinis

secara klinis pasien dapat memperlihatkan penonjolan di bagian bawah

sepertiga leher. Goiter yang besar dapat menimbulkan masalah kompresi

mekanik, disertai pergeseran letak trachea dan esophagus, dan gejala- gejala

obsruksi (price Wilson, 2013). Beberapa penderita struma nodosa non toxic

tidak memiliki gejala sama sekali. Jika struma cukup besar, akan menekan area

trakea yang dapat mengakibatkan gangguan pada respirasi dan juga esofhagus

tertekan sehingga terjadi gangguan menelan. Peningkatan seperti ini jantung

menjadi berdebar-debar, gelisah, berkeringat, tidak tahan cuaca dingin, dan

kelelahan. Beberapa diantaranya mengeluh adanya gangguan menelan,

gangguan pernapasan, rasa tidak nyaman di area leher, dan suara yang serak.

H. Pemeriksaan Penunjang

Pemeriksaan penunjang untuk struma nodosa antara lain (Tonacchera dalam

Cahayani, 2013).

1. Pemeriksaan laboratorium tes fungsi hormon T4 dan T3, dan TSH

2. Pemeriksaan radiologi.

a. Foto rontgen dapat memperjelas adanya deviasi trakea, atau pembesaran struma

yang pada umumnya secara klinis sudah bias diduga, foto rontgen pada leher

lateral diperlukan untuk evaluasi kondisi jalan nafas.


b. Pemeriksaan ultrasonografi (USG). Manfaat USG dalam pemeriksaan tiroid :

1) Untuk menentukan jumlah nodul.

2) Dapat membedakan antara lesi tiroid padat dan kistik.

3) Dapat mengukur volume dari nodul tiroid.

4) Dapat mendeteksi adanya jaringan kanker tiroid residif yang tidak menangkap

yodium, dan tidak terlihat dengan sidik tiroid.

5) Untuk mengetahui lokasi dengan tepat benjolan tiroid yang akan dilakukan

biopsi terarah.

6) Pemeriksaan sidik tiroid. Hasil pemeriksaan dengan radioisotop adalah tentang

ukuran, bentuk, lokasi dan yang utama adalah fungsi bagian-bagian tiroid.

c. Biopsi aspirasi jarum halus (Fine Needle Aspiration Biopsy). Biopsi ini dilakukan

khusus pada keadaan yang mencurigakan suatu keganasan.

I. Penatalaksanaan

Terapi goiter antara lai dengan penekanan TSH oleh tiroksin, yaitu pengobatan

yang akan mengakibatkan penekanan TSH hipofisis, dan penghambatan fungsi tiroid

disertai atrofi kelenjar tiroid. Pembedahan dapat dianjurkan untuk goiter yang besar

untuk menghilangkan gangguan mekanis kosmetis yang diakibatkannya (Price &

Wilson, 2013). Tiroidektomi parsial atau total dapat dilakukan sebagai terapi primer

terhadap karsinoma tiroid, hipertiroidisme, atau hiperparatiroidisme. Tipe dan luas


operasi bergantung pada hasil diagnosis, tujuan pembedahan serta prognosis (Bruner

& suddarath, 2002).

1. Pemberian tiroksin dan obat anti-tiroid

Tiroksin digunakan untuk menyusutkan ukuran struma, selama ini diyakini bahwa

pertumbuhan sel kanker tiroid dipengaruhi hormon TSH. Oleh karena itu untuk

menekan TSH serendah mungkin diberikan hormon tiroksin (T4) ini juga diberikan

untuk mengatasi hipotiroidisme yang terjadi sesudah operasi pengangkatan kelenjar

tiroid. Obat anti-tiroid (tionamid) yang digunakan saat ini adalah propiltiourasil (PTU)

dan metimasol/karbimasol.

Tujuan pengobatan hipertiroidisme adalah membatasi produksi hormon tiroid

yang berlebihan dengan cara menekan produksi (obat antitiroid) atau merusak jaringan

tiroid (yodium radioaktif, tiroidektomi subtotal).

1) Obat antitiroid

Indikasi :

a) Terapi untuk memperpanjang remisi atau mendapatkan remisi yang menetap, pada

pasien muda dengan struma ringan sampai sedang dan tirotoksikosis.

b) Obat untuk mengontrol tirotoksikosis pada fase sebelum pengobatan, atau sesudah

pengobatan pada pasien yang mendapat yodium aktif.

c) Persiapan tiroidektomi

d) Pengobatan pasien hamil dan orang lanjut usia.

e) Pasien dengan krisis tiroid.


Obat antitiroid yang sering digunakan :

Obat Dosis awal (mg/hari) Pemeliharaan (mg/hari)

Karbimazol 30-60 5-20

Metimazol 30-60 5-20

Propiltourasil 300-600 5-200

2) Pengobatan dengan yodium radioaktif

Indikasi :

a) Pasien umur 35 tahun atau lebih

b) Hipertiroidisme yang kambuh sesudah penberian dioperasi

c) Gagal mencapai remisi sesudah pemberian obat antitiroid

d) Adenoma toksik, goiter multinodular toksik

Iodium radioaktif diberikan melalui mulut, dalam bentuk cairan 1-2 ml, tidak

berasa dan berbau, dan dengan cepat diserap melalui saluran cerna. Iodium radioaktif

ini akan masuk ke kelenjar tiroid melalui aliran darah dan merusak kelenjar tiroid.

Walaupun radioaktivitas ini menetap selama beberapa waktu dalam kelenjar tiroid,

iodium radioaktif ini akan dikeluarkan melalui bagian tubuh dalam beberapa hari.
Efek pada kelenjar tiroid akan terjadi dalam 1-3 bulan dan efek maksimal terjadi

antara 3-6 bulan. Pada sebagian kasus pengobatan iodium radioaktif cukup satu kali

saja, akan tetapi pada keadaan dengan kelenjar gondok yang besar, diperlukan dosis

iodium radioaktif yang kedua untuk mengablasi/mematikan kelenjar tiroid. Kelenjar

tiroid yang diablasi lama kelamaan produksi hormon tiroid akan berkurang bahkan

tidak ada sama sekali dan dalam jangka panjang dapat terjadi hipotiroid (kebalikan dari

hipertiroid).

Oleh karena itu setelah mendapat pengobatan iodium radioaktif secara berkala

setiap 6-12 bulan diperiksa fungsi tiroid dan bila terjadi hipotiroid, harus diberikan

pengganti/substitusi hormon tiroid yang diberikan seumur hidup (karena kelenjar tiroid

sudah tidak berfungsi lagi) dengan dosis sesuai kebutuhan. Pasien cukup minum tablet

hormon tiroid secara teratur seperti halnya minum vitamin.

2. Tiroidektomi

Tindakan pembedahan yang dilakukan untuk mengangkat kelenjar tiroid adalah

tiroidektomi, meliputi subtotal ataupun total. Tiroidektomi subtotal akan menyisakan

jaringan atau pengangkatan 5/6 kelenjar tiroid, sedangkan tiroidektomi total, yaitu

pengangkatan jaringan seluruh lobus termasuk istmus (Sudoyo, A., dkk., 2009).

Tiroidektomi merupakan prosedur bedah yang relative aman dengan morbiditas kurang

dari 5 %. Menurut Lang (2010), terdapat 6 jenis tiroidektomi, yaitu :

a. Lobektomi tiroid parsial, yaitu pengangkatan bagian atas atau bawah satu lobus
b. Lobektomi tiroid, yaitu pengangkatan seluruh lobus

c. Lobektomi tiroid dengan isthmusectomy, yaitu pengangkatan satu lobus dan

istmus

d. Subtotal tiroidektomi, yaitu pengangkatan satu lobus, istmus dan sebagian

besar lobus lainnya.

e. Total tiroidektomi, yaitu pengangkatan seluruh kelenjar.

f. Tiroidektomi total radikal, yaitu pengangkatan seluruh kelenjar dan kelenjar

limfatik servikal.

Setiap pembedahan dapat menimbulkan komplikasi, termasuk tiroidektomi.

Komplikasi lain yaitu perdarahan, pembentukan hematom, edema glottis dan

cedera pada saraf laringeus rekueren. Kadang- kadang pada pembedahan tiroid,

kelenjar para tiroid dapat mengalami cedera atau terangkat sehingga timbul

gangguan metabolisme kalsium tubuh. Menurunnya kadar kalsium akan terjadi

hiperiritabilitas saraf yang disertai spasme tangan serta kaki dan twitching (kedutan

otot). Kelompok gejala ini disebut tetanus, dan dampaknya harus segera dilaporkan

karena laringospasme dapat terjadi yang akan menyumbat saluran napas pasien

meskipun komplikasi ini jarang dijumpai. Tetanus jenis ini biasanya diatasi dengan

penyuntikan kalsium glukonas intravena. Kelainan kalsium ini terjadi untuk

sementara waktu sesudah tiroidektomi (Bruner & Suddarath, 2002).


3. Penatalaksanaan prabedah

Sebelum dilakukan pembedahan untuk penanganan hipertiroidisme, pasien

ditangani dahulu dengan terapi yang tepat untuk mengembalikan kadar hormon tiroid

serta angka metabolik pada keadaan normal, dan untuk mengurangi resiko timbulnya

krisis tiroktoksik serta perdarahan selama periode pascaoperatif. Obat-obat yang dapat

memperpanjang waktu pembekuan, (misalnya, aspirin) harus dihentikan beberapa

minggu sebelum pembedahan untuk mengurangi resiko pendarahan pascaoperatif

(Bruner & Suddarath, 2002).

Pengurangan ansietas. Salah satu pendekatan yang penting dalam periode

praoperatif adalah mendapatkan kepercayaan dari pasien dan mengurangi

kecemasannya. Lingkungan rumah pasien sering tampak tegang akibat kegaduhan,

iritabilitas dan kegelisahan pasien yang terjadi akibat hipertiroidisme. Pasien harus

dilindungi terhadap ketegangan dan stress tersebut agar terhindar dari krisis tiroktoksik.

Apabila terdapat bukti meningkatnya stress ketika keluarga dan teman menjenguk,

maka hak pasien untuk dikunjungi tamu dalam periode praoperatif perlu dibatasi.

Beberapa terpai tertentu dianjurkan jika dapat membuat pasien tengang dan rikeks

(Bruner & Suddarath, 2002) .

Dukungan nutrisi, asupan gizi dimodifikasi agar mencangkup makanan sumnber

karbohidrat dan protein yang memadai. Asupan klori yang tinggi setiap hari diperlukan

akibat peningkatan metabolik dan penuruna simpanan glikogen. Suplemen vitamin,

khususnya tyamin dan asam askorbat, dapat diberikan. Teh, kopi, kokakola dan
minuman perangsang lain harus dihindaro. Persiapan praoperatif, jika pemeriksaan

diagnostik dilakukan sebelum pembedahan, pasien perlu diberi tahu tentang tujuan

pemeriksaan tersebut dan persiapan praoperatif yang diberikan akan dapat mengurangi

kecemasan. Disamping itu, berbagai upaya khusus diperlukan untuk menjamin istirahat

yang baik pada malam harinya sebelum pembedahan meskipun banyak pasien masuk

rumah sakit pada hari pembedahan (Bruner & Suddarath, 2002).

Pendidikan pasien pelajaran yang harus diberikan sebelum pembedahan

mencangkup memperlihatkan cara menyangga leher dengan kedua belah tangan untuk

mengurangi tarikan pada luka insisi sesudah pembedahan; yaitu dengan mengangkat

siku dan meletakan kedua belah tangan di belakang leher sehingga memberikan efek

menyangga dan mengurangi tarikan serta regangan pada otot-otot leher dan luka insisi

(Bruner & Suddarath, 2002).

4. Penatalaksanaan pasca operatif

Pasien dipindahkan dan dibalikan dengan hati-hati untuk menyangga kepala serta

menghindari regangan pada jahitan luka. Posisi yang paling nyaman bagi pasien

adalah posisi semi fowler dengan kepala dtinggikan dan disanggah dengan bantal.

Analgesik diberikan seperti yang diresepkan untuk nmengurangi rasa nyeri. Pasien

dapat diberikan oksigen untuk memudahkan pernafasan. Perawat harus mengantisipasi

kehawatiran pasien dan memberitahukan bahwa pemberian oksigen akan membantu

pernafasan serta memberikan kelembaban (Bruner & Suddarath, 2002).


Cairan infus diberikan selama periode pasca operatif; air dapat diberikan lewat

mulut setelah keluhan mual berkurang. Biasanya terdapat sedikit kesulitan untuk

menelan; cairan dingin dan es lebih mudah diminum dibandingkan cairan lainnya

pasien sering lebih menyukai makanan lunak daripada makanan cair dalam periode

pasca operatif. Kasa penutup luka bedah harus dikaji secara periodik dan dikuatkan

kembali pemasangannya jika diperlukan. Apabila pasien berada dalam posisi berbaring

bagian samping dan posterior leher serta kasa di sebelah anterior leher hars di observasi

untuk mendeteksi pendarahan dia samping memeantau denyut nadi dan tekanan darah

untuk menemukan setiap indikasi perdarahan internal, kita harus waspada pula

terhadap berbagai keluhan seperti sensai tekanan atau rasa penuh pada tempat insisi.

Gejala semacam itu dapat menunjukan perdarahan serta pembentukan hematom

subkutan dan harus dilaporkan (Bruner & Suddarath, 2002).

Kesulitan pada area pernafasan terjadi akibat edema glotis, pembentukan

hematome atau cedera pada saraf laringeus kambuhan. Komplikasi ini menyebabkan

diperlukannya tindakan untuk dipertahankan saluran nafas. Karena itu, perlengkapn

untuk tracheostomi harus selalu tersedia disamping tempat tidur pasien, dan dokter

bedah dipanggil begitupu terhadap petunjuk pertama adanya distress pernafasan.

Anjurkan kepada pasien untuk tidak terlalu banyak mengeluarkan suara; namun, pada

saat pasien berbicara, setiap perubahan pada suara harus dicatat karena dapat

menunjukan adanya cedera pada saraf laringeus kambuh yang terletak tepat dibelakang

tiroid dan disebelah trakea (Bruner & Suddarath, 2002).


Meja kecil yang dapat diletakan diatas tempat tidur dapat memudahkan pasien

untuk mengambil barang-barang yang sering diperlukan seperti kertas tissue, wadah

air serta gelas, dan tempat ludah atau muntahan. Semua barang-barang ini harus

diletakan pada tempat yang mudah terjangkau agar pasien tidak perlu memutar kepala

untuk mencarinya. Pasien biasanya diperbolehkan turun dari tempat tidur sesegera

mungkin dan dianjurkan untuk mengkonsumsi makanan yang mudah dimakan. Jahitan

operasi atau skin slips biasanya diangkat pada hari ke dua. Pasien dapat dipulangkan

kerumah pada hari pembedahan atau segera sesudahnya jika perjalanan pasca operatif

berlangsung tanpa komplikasi (Bruner & Suddarath, 2002).

Komplikasi, perdarahan, pembentukan hematome, udem, glotis dan cedera pada

saraf laringeus rekuren merupakan komplikasi yang sudah dibahas sebelumnya

kadang-kadang pada pembedahan tiroid, kelenjar paratiroid dapat mengalami cedera

atau terangkat sehingga timbul gangguan metabolisme kalsium tubuh. Dengan

menurunnya kadar kalsium tubuh akan terjadi hiperiritabilitas saraf yang disertai

spasme tangan serta kaki dan twitcing (kedutan otot). Kelompok gejala ini disebut

tetanus, dan penampakannya harus segera dilaporkan karena laringeus spasme dapat

terjadi yang akan menyumbat saluran pernafasan pasien meskipun komplikasi ini

jarang dijumpai. Tetanus jenis ini biasanya diatasi dengan menyuntikan kalsium

glukonas intravena. Kelainan kalsium terjadi untuk sementara waktu sesudah

tiroidektomi (Bruner & Suddarath, 2002).


Pendidikan pasien dan pertimbangan perawatan dirumah ; keharusan untuk

istirahat, relaksasi dan nutrisi dijelaskan kepada pasien dan keluarga. Informasi yang

spesifik mengenai kunjungan tindakan lanjut kedokter atau klinik harus disampaikan

karena hal ini penting untuk memantau keadaan tiroid pasien. Pasien mungkin sudah

diperolehkan pulang pada malam hari sesudah pagi harinya menjalani pembedahan

atau setelah satu atau dua hari pasca operatif. Dengan demikian, pasien dan keluarga

harus sudah mengetahui tanda-tanda serta gejala komplikasi yang dapat terjadi, yang

harus dilaporkan (Bruner & Suddarath, 2002).

Pasien dapat dirujuk kebagian perawatan dirumah. Kunjungan oleh perawat dari

bagian ini akan memudahkan pengkajian terhadap kesembuhna pasien setelah

pembedahan. Disamping itu, luka bekas insisi dapat diperiksa dan pasien dianjurkan

untuk melakukan aktivitas yang tidak banyak menimbulkan regangan pada luka insisi

serta jahitannya. Tanggung jawab keluarga dan faktor-faktor yang berkaitan dengan

lingkungan rumah yang dapat membawa ketegangan mental sering terlibat sebagai

faktor pencetus terjadinya tiroktoksitosis. Kunjungan rumah akan memberikan

kesempatan untuk mengevaluasi semua faktor ini dan kemungkinan untuk mengubah

situasi dilingkungan sekitar (Bruner & Suddarath, 2002).


J. Peran Perawat Dalam Post Operative Care Pada Pasien Dengan Struma

Nodosa Non Toxic

Pembedahan tiroid dapat menyebabkan komplikasi potensial yang fatal selama

fase awal pasca operasi. Penting bagi perawat untuk memiliki pengetahuan dan

kemampuan untuk mendeteksi tanda dan gejala awal dari komplikasi potensial yang

mungkin terjadi dan mengambil langkah yang tepat. Deteksi dini dan respon yang cepat

merupakan kunci untuk mempertahankan patient safety dan untuk meminimalkan

risiko cedera pada klien. Fase awal pasca operasi dimulai ketika pasien berada di ruang

pemulihan atau recovery room. Asuhan keperawatan difokuskan pada penilaian dan

pemeliharaan status kardiopulmonal dan neurologi, tingkat kenyamanan dan keadaan

metabolic (Roberts and Fenech, 2010). Fase kedua dimulai ketika pasien dipindahkan

ke ruang perawatan. Perawat harus menyadari komplikasi yang biasa terjadi, termasuk

perdarahan, infeksi pada luka, cedera syaraf, dan hipoparatiroidisme sekunder.

Perdarahan pasca pembedahan tiroid terjadi pada 0,1 – 1,5% pasien, hal ini

dapat terjadi karena banyaknya suplai darah ke organ dan sebagai hasil dari pemisahan

jaringan yang luas akibat pengangkatan kelenjar tiroid. Pada sebagian besar pasien,

perdarahan terjadi pada 6 – 12 jam pertama pasca pembedahan. Evaluasi keperawatan

paca operasi meliputi observasi dressing luka yang sering, dimana darah cenderung

menumpuk. Segala bentuk observasi perlu didokumentasikan, seperti volume drainase,

konsistensi, warna dan fungsional drainase. Suction drain umum digunakan untuk

menghindari akumulasi darah dan serum (seroma) setelah pengangkatan tiroid


(Morrisey et al, 2008). Luka tiroidektomi harus dipantau secara ketat untuk

kenyamanan pasien. Tandat-tanda perdarahan seperti hipotensi dan takikardi harus

selalu diobservasi oleh perawat. Tanda-tanda infeksi pada luka tiroidektomi harus

diobservasi. Infeksi dapat disebabkan oleh bakteri Staphylococcus atau Streptococcus.

Infeksi pada luka tiroidektomi jarang ditemukan, hanya sekitar 0,3 – 0,8% (Rosato et

al, 2004).

Pemantauan suhu dan kadar leukosit harus dipantau sebagai indikator dini

adanya infeksi. Kolaborasi pemberian antibiotik dapat menjadi salah satu bentuk

intervensi kolaborasi yang dapat diberikan kepada pasien. Cedera syaraf pada laring

merupakan komplikasi yang paling serius pasca tiroidektomi. Hal ini disebabkan oleh

mekanisme yang berbeda, termasuk sayatan, klem, peregangan syaraf, skeletonisasion

(proses dimana serat kecil saraf dibagi dari struktur utama), kompresi lokal saraf akibat

edema atau hematoma. Perawat perlu memonitor kualitas suara pasien, refleks menelan

dan status pernapasan pasca pembedahan (Beldi dkk, 2004). Ada kemungkinan paresis

pada pita suara pada 6 minggu pertama, tetapi jika selama 12 bulan tidak ada perbaikan

maka kerusakan ini akan dianggap permanen.

Hipokalsemia pasca tiroidektomi terjadi pada 1 – 50 % pembedahan

(Karamanakos et al, 2010). Penyebab hipokalsemia multifaktorial. Penyebab yang

paling umum adalah kerusakan pada kelenjar paratiroid. Gejala hipoparatiroidisme

timbul pada 24 – 72 jam pasca operasi. Pasien akan menunjukkan rendahnya kadar

kalsium dalam darah atau hipokalsemia dan rasa kesemutan di ekstrimitas. Pengkajian
Trousseau’s dan Chvostek’s signs dilakukan untuk mengindikasikan hipokalsemia.

Trousseau’s sign merupakan kejang yang disebabkan oklusi pada arterial dengan

manset tekanan darah. Trousseau’s sign dilakukan dengan mengkompresi lengan atas

dengan manset tensimeter,kembangkan manset tekanan darah sampai sekitar 20 mmHg

di atas tekanan sistolik dan tahan 2 – 5 menit, dimana mula-mula timbul rasa kesemutan

pada ujung ekstremitas, lalu timbul kejang pada jari-jari dan tangan. Chvostek’s sign

dilakukan dengan memukul ringan 2 cm di depan tragus telinga (bagian telinga yang

menonjol kecil di daerah pipi/jambang). Chvostek’s sign terdiri atas kedutan pada otot

yang dipersarafi oleh saraf fasial ketika saraf tersebut ditekan sekitar 2 cm. Chvostek’s

sign memiliki beberapa tingkat, yaitu :

a. Grade 1: kedutan di sudut bibir

b. Grade 2: kedutan di hidung

c. Grade 3: kedutan di mata

d. Grade 4: kedutan di otot-otot wajah

Pemberian kalsium karbonat dosis tinggi dapat diberikan pada pasien dengan

hipokalsemia. Pasien dengan hipokalsemia yang parah dapat diberikan intervensi

kolaborasi terapi intravena dengan 10 ml 10% glukonat selama lima menit

kemudian infus lanjutan NaCl 0,9% dengan 30 – 40 ml dari 10% kalsium glukonat

per 24 jam sampai total kadar kalsium mencapai nilai normal (8,6 – 10,3mg/dL)

(LeMone & Burke, 2000).


BAB III

TINJAUAN KASUS

A. PENGKAJIAN

1. Pengumpulan data identitas diri

a. Identitas Pasien

Nama : Tn.J

Tempat, tanggal lahir : Bandung, 01 Januari 1959

Umur : 58 Th

Jenis kelamin : Laki-laki

Agama : Islam

Pendidikan : SLTP

Pekerjaan : Karyawan swasta

Alamat :Baleendah Rt02/17 Ds. Baleendah Kec.

Baleendah

Suku bangsa : Indonesia/Sunda

Tanggal Masuk :27-09-2017

Tanggal pengkajan : 27-09-2017

Nomor medik : 006014

Diagnosa medis : SNNT Dextra


b. Identitas penanggung jawab

Nama : Ny. Y

Tempat, tanggal lahir : Bandung, 05 Juli 1962

Pendidikan : SLTP

Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga

Jenis kelamin : Perempuan

Hubungan dengan keluarga : Istri

Alamat lengkap :Baleendah Rt02/17 Ds. Baleendah Kec.

Baleendah.

2. Anamesa

a. Keluhan Utama

Klien mengatakan nyeri menelan

b. Riwayat Kesehatan Sekarang

Pada saat pengkajian tanggal 27-09-2017 klien mengeluh adanya benjolan pada

leher sejak 10 tahun yang lalu, benjolan semakin membesar klien merasakan nyeri

pada benjolan jika klien mengalami demam. Nyeri menelan mulai dirasakan sejak 2

tahun yang lalu, sebelum masuk Rumah Sakit Umum Daerah Al-Ihsan Provinsi Jawa
Barat klien memeriksakan diri ke Rumah Sakit Umum Pusat Hasan Sadikin Bandung.

Klien masuk rumah sakit Al-Ihsan melalui poliklinik lalu di rujuk ke ruang bedah

untuk dilakukan pembedahan.

Pada saat di kaji klien mengeluh nyeri menelan, nyeri bertambah jika klien makan

makanan bertekstur padat seperti nasi, nyeri berkurang jika klien makan nasi dengan

konsistensi lembek, nyeri tidak terasa jika klien tidak mengkonsumsi apapun. Nyeri

dirasakan di daerah leher seperti tertekan dengan skala nyeri 4 (0-10) dirasakan hilang

timbul, Benjolan berdiameter 4-5 cm,.

c. Riwayat Kesehatan Dahulualu

Klien mengatakan pernah operasi dibagian abdomen dengan keluhan ada benjolan

pada daerah pusat karena sering mengorek-ngoerk daerah pusar, operasi dilakukan

kurang lebih 5 tahun lalu, tidak ada riwayat imfeksi. Tidak ada riwayat hipertensi,

diabetes dan tidak ada riwayat penyakit menular seperti tuberculosis (TB), Human

Imunodevicienci Virus (HIV) Hepatitis B.

d. Riwayat kesehatan keluarga

Klien mengatakan dikeluarga klien tidak ada yang mengalami penyakit yang sama

seperti klien juga tidak ada yang mempunyai riwayat penyakit menular seperti

tuberculosis (TB), Human Imunodevicienci Virus (HIV) Hepatitis B.


e. Genogram

Tidak terkaji

3. Pemeriksaan fisik

a. Penampilan umum

1) Tingkat kesadaran : Compos mentis GCS 15 (E4 M6 V5).

2) Tinggi Badan : 173 Cm

3) Berat Badan : 70 Kg

4) Tanda-tanda Vital

a) Tekanan Darah : 120/80 mmHg

b) Nadi : 63 x/ menit

c) Respirasi : 20 x / menit

d) Suhu : 36,5° C

b. Sistem Integumen

Warna kulit sawo matang, kulit tampak lembab, turgor kulit kembali dalam ±2

detik.

c. Sistem Pernafasan

Bentuk hidung simetris, tidak ada pernafasan cuping hidung, tidak ada sekret, tidak

ada pembengkakakan sinus, kedua lubang hidung bersih, tidak ada sumbatan, fungsi

penciuman klien baik, respirasi 20x/menit.


d. Sistem Kardiovaskuler

Warna Konjungtiva merah muda, tidak ada peningkatan jpv, CRT < 2detik, palpasi

arteri radialis teraba kuat, TD : 120/80mmHg

e. Sistem Pencernaan

Pada saat inspeksi mulut lembab, bibir lembab, dinding mukosa mulut lembab,

kebersihan mulut lumayan bersih, tercium bau mulut, tonsil ada, uvula ditengah, gigi

terdapat caries, lidah dapat bergerak mendorong, melipat. Fungsi pengecapan baik,

abdomen cembung, terdapat luka operasi. Pada saat auskultasi terdengar bising usus

10x/menit. Saat palpasi tidak ada nyeri tekan.

f. Sistem Persyarafan

Nervus I (Olfaktorius)

Fungsi penciuman klien baik, klien dapat mencium minyak kayu putih

Nervus II (Optikus)

Fungsi penglihatan klien baik, klien dapat membaca name tag perawat dengan jelas.

Nervus III, IV, dan V( Okulomotorius, Toclearis, dan Abdusen)

Bentuk pupil bulat, refleks cahaya (+)

Nervus VI (Trigeminus)

Klien dapat merasakan sentuhan alat-alat saat disentuhkan ke kulit

Nervus VII (Facialis)


Klien dapat tersenyum simetris, bisa mengangkat kedua alis dan klien bisa membuka

mulut dengan lebar

Nervus VIII (Vestibulocoklearis)

Pendengaran klien baik, klien dapat mendengar dan menjawab apa pertanyaan

perawat terhadap klien

Nervus IX, X (Glosofaringeus Vagus)

Terdapat uvula ditengah-tengah dan terdapat langit-langit

Nervus XII (Hipoglosus)

Klien dapat menggerakan lidah

g. Sistem Endokrin

Ketika diinspeksi leher tidak simetris, leher sebelah kanan tampak membesar,

terba ada masa, tidak ada lesi.

h. Sitem Perkemihan

Klien mengatakan tidak merasa nyeri pada saat berkemih dan setelah berkemih.

i. Sistem Reproduksi

Klien mengatakan tidak ada masalah pada sistem reproduksinya

j. Sistem Muskuloskeletal

1) Ekstremitas atas

Kedua tangan klien simetris, reflek bisep(+) refleks trisep (+)

2) Ekstremitas bawah

Kedua kaki klien simetris, reflek patela (+)


4. Pola aktivitas sehari-hari

NO AKTIVITAS Sebelum Sakit SAAT SAKIT

1 Pola Nutrisi Hidrasi

Makan

 Jenis Nasi 2x sehari

 Frekuensi 3x sehari Nasi

 Keluhan Nyeri Menelan

Minum

 Jenis Air Putih 3 gelas

 Frekuensi  5 gelas Air putih

2 Eliminasi

BAB

 Frekuensi 2x sehari

 Warna Kuning Belum BAB

 Konsistensi Padat

 Keluhan Tidak ada

BAK

 Frekuensi  2 Kali  2 kali

 Warna Kuning jernih Kuning

Tidak ada jernih


 Keluhan
Tidak ada
3 Istirahat dan Tidur

Tidur siang

 Lama ±3 jam 1-2 jam

 Kualitas Nyenyak Tidak Nyenyak

 Keluhan Tidak ada Susah tidur

4 Personal Hygine

Mandi

 Frekuensi 2x sehari 2x sehari

 Penggunaan sabun Secukupnya

Gosok gigi

 Frekuensi 2-3x sehari 2x sehari

Berpakaian

 Frekuensi 2-3x sehari 1x sehari

Memotong Kuku

 Frekuensi 1 minggu 1x Belum potong kuku


5. Aspek Psikososial dan Spiritual

a. Status emosi

Klien terlihat tampak cemas.

b. Gaya Komunikasi

Klien tidak ada masalah dalam berkomunikasi dengan orang lain bahkan dengan

perawat pada saat pengkajian.

c. Konsep Diri

Klien memandang apa yang dideritanya saat ini merupakan cobaan, agar lebih

bisa merawat kesehatannya dan selalu berdo’a untuk kesembuhannya

d. Data Spiritual

Klien mengatakan ikhlas dan sabar atas penyakit yang dideritanya saat ini, yaitu

srtuma nodular non toksik karena penyakitnya ini sudah menjadi cobaan , agama itu

penting tentang jalan hidup pegangan hidup.

e. Program Terapi Medis/ Riwayat Tindakan Medis (Pembedahan )

No Terapi medis/ Dosis Waktu Cara Indikasi

Riwayat Pemberian Pemberian

tindakan medis

1 Ringer Laktat 20 gtt/menit 19.30 WIB Intra vena Rehidrasi


2 Rencana 28 Pengangkatan

pembedahan September Kelenjar

Tyroidektomi 2017 pukul Tyroid

11.00 WIB

f. Data Penunjang Medis

1) Hasil pemeriksaan

Hasil Pemeriksaan Laboratorium 24 Agustus 2017.

Nama Test Hasil Nilai Rujukan Satuan

T3 1.0 0.8-2 mg/mL

Ft4 0.8 0.8-1.7 mg/ML

TSHs 1.6 0.3-5 ulu/mL

Hasil Pemeriksaan Laboratorium Tanggal 04 September 2017.

Nama Test Hasil Nilai Rujukan Satuan

HEMATOLOGI

Darah Rutin

Hemoglobin 13.5 13.0-18.0 g/dL


Lekosit 9700 3800-10600

sel/uL

Eritrosit 4.24 4.5-6.5 juta/uL

Hematokrit 39.1 40-52 %

Trombosit 261000 150000-440000

sel/uL

KIMIA KLINIK

Fungsi Ginjal

Kreatinin 1.06 0.9-1.15 mg/dL

Gula Darah

Glukosa Darah Sewaktu 82 70-200

mg/d

Hasil Pemeriksaan Radiologi Tanggal 04 September 2017

Foto thorak :

Foto asimetris, inspirasi cukup, fraktur ekspos cukup

Medical device tidak ada

Posisi trakea deviasi ke kiri


Cor sedikit membesar (CTR+/-52%)

Pleura, sinuses costophrencius bilateral normal

Diafragma bilateral bentuk dan posisi dalam batas normal

Tampak bayangan opak densitas soft issue di coli kanan yang mendessak trakea ke kiri

Hili besar, bentuk posisi normal

Pulmo :

- Tidak tampak infiltrat

- Bronkhovascular marking tidak bertambah

Kesimpulan :

- Massa soft issuedi coli kanan yang mendesak trakea ke kiri

- Kardiomegali ringan

- Tidak tampak TB paru


c. ANALISA DATA

No Data Etiologi Masalah

1. DS : Gangguan

- Klien mengatakan nyeri menelan

menelan

- mengeluh adanya benjolan

pada leher sejak 10 tahun

yang lalu.

- benjolan semakin

membesar klien merasakan

nyeri pada benjolan jika

klien mengalami demam.

Nyeri menelan mulai


dirasakan sejak 2 tahun

yang lalu

- nyeri bertambah jika klien

makan makanan bertekstur

padat seperti nasi, nyeri

berkurang jika klien makan

nasi dengan konsistensi

lembek, nyeri tidak terasa

jika klien tidak

mengkonsumsi apapun.

- Nyeri dirasakan di daerah

leher seperti tertekan


- Nyeri dirasakan hilang

timbul

DO

- Skala nyeri 4 (0-10)

- Benjolan berdiameter ± 4-5

cm

- Hasil Pemeriksaan

Radiologi posisi trakea

deviasi ke kiri

- Tampak bayangan opak

densitas soft issue di coli

kanan yang mendessak

trakea ke kiri
- GCS 15 (E=4 M=6 V=5)

- TTV

TD = 120/80 mmHg

RR = 20 x/mnt

N = 63 x/mnt

S = 36.5ºC

2 DS : Defisiensi

- Klien mengatakan hanya pengetahuan

ingin sembuh setelah mengenai

dioperasi prognosis

- Klien mengatakan penyakit

berapalama di oprasinya
- Klien mengatakan berapa

lama penyembuhan luka

pasca operasi

- Klien mengatakan pasrah

dengan operasi yang

akan dilakukan

DO : Klien tampak aktif bertanya

mengenai penyakit yang

dideritanya
d. Diagnosa Keperawatan Berdasarkan Prioritas Masalah

1. Gangguan menelan b.d pembengkakan kelenjar tiroid

2. Defisiensi pengetahuan mengenai prognosis

e. Nursing Outcomes Classification

No Diagnosa NOC NIC RASIONAL

1. 1. Gangguan Rencana keperawatan selama a. Bantu pasien untuk duduk a. Untuk mencegah terjadinya resiko

menelan b.d 3x24 jam diharapkan klien tegak (sebisa mungkin aspirasi

pembengka mempunyai jalan lintasan yang mendekati 90 derajat) untuk

kan kelenjar aman untuk cairan atau makan atau latihan makan.

tiroid makanan padat dari mulut

sampai ke perut. b. Tentukan status gizi pasien b. Untuk mengetahui kebutuhan nutrisi

Dipertahankan pada skala 3 dan kemampuan pasien untuk klien

cukup terganggu ditingkatkan memenuhi kebutuhan gizi.

ke level 5 tidak terganggu.


Ket : c. Untuk mengurangi nyeri karena

- Skala 1 sangat c. Berikan diit lunak tekanan pada saat menelan.

terganggu

- Skala 2 banyak

terganggu d. Untuk pengangkatan kelenjar tiroid.

- Skala 3 cukup d. Kolaborasi rencana .

terganggu pembedahan Thyroidektomi

- Skala 4 sedikit

terganggu

- Skala 5 ttidak

terganggu

- Dengan kiteria hasil :

reflex menelan sesuai

dengan waktunya
- Penerimaan makanan

- Mempelejari temuan

akan menelan

2 Defisiensi a Tentukan persepsi klien a Membuat pengetahuan dasar dan

pengetahuan terkait penyakit dan memberikan beberapa kesadaran

mengenai prognosis serta harapan di yang konstruktif pada klien.

prognosis masa depan.

b Berikan informasi tentang b Memberikan pengetahuan dasar

etiologi penyakit yang dan klien dapat membuat pilihan

diderita klien, penyebab/efek informasi tentang kontrol masalah

hubungan perilaku pola kesehatan.

hidup.
c Memberikan informasi terkait

c Bantu klien untuk makanan yang baik untuk

mengidentifikasi hubungan dikonsumsi

masukan makanan dengan

penyakit (diet tinggi kalsium

dan vitamin D).

d. R/ Pemeliharaan asupan nutrisi yang

d. Tekankan petingnya nutrisi tepat dapat memperbaiki gejala.

yang baik.
f. Implementasi Dan Evaluasi

TANGGAL IMPLEMENTASI DAN EVALUASI PARAF

DAN JAM CATATAN (SOAP/DX)

PERKEMBANGAN

27-09-2017 a. Mengobservasi TTV S : klien mengatakan

16.00 TD : 120/80mmHg rasa kekhawatirannya

N : 63x/menit berkurang setalah

RR : 20x/menit mendapatkan informasi

S : 36,5 dari perawat

b. Melakukan pendekatan yang

tenang dan meyakinkan O : klien dapat

dengan komunikasi terapeutik mengulang kembali

c. Jelaskan semua prosedur penjelasan dari apa yang

termasuk sensasi yang akan perawat jelaskan.

dirasakan yang mungkin

dialami klien selama prosedur A : Klien mengatakan

d. Menjelaskan jenis operasi harus melaporkan

yang akan dilakukan yaitu kepada petugas jika

operasi tiroidektomi atau terdapat rasa baal, atau

pengangkatan kelenjar tiroid suara menjadi parau dan

untuk tidak banyak


e. Menjelaskan komplikasi atau berbicara setelah operasi

kemungkinan gejala post dilakukan. Riri

operasi tiroidektomi; gejala A : ansietas Pratiwi

hipotiroid diantaranya,

kerontokan rambut, kerapuhan P : masalah belum

kuku, rasa baal, parastesiapada teratasi lanjutkan

jaringan tangan suara menjadi intervensi

parau dan hipoparatiroid, 1. Observasi TTV

dengan gejala jangka panjang 2. Kaji keadaan

osteoporosis umum klien

f. Menginstrusikan klien untuk 3. Kaji ansietas

melaporkan kepada petugas klien

jika setelah operasi timbul

gejala-gejala hipotiroid atau

hipoparatiroid

g. Menginstrusikan klien untuk

tdak banyak berbicara pada

saat setelah pos operasi

h. Mengobservasi TTV

TD : 114/70mmHg

N : 63x/menit
S : 35,1

RR : 20x/menit

i. Mengkaji keadaan umum

klien

21.30 a. Kaji skala ansietas S : Klien mengatakan

pasrah dan siap untuk di

operasi karena ini yang

terbaik untuk saya

O : klien tampak cemas,

klien tampak lebih siap

untuk dilakukan operasi

A : ansietas

Rencana operasi

tanggal 28-09-2017

jam 11.00

P : masalah teratasi
28-09-2017 a Mengobservasi TTV S : klien mengatakan

08.00 TD : 120/80 mmHg pasrah dan sudah siap

N : 64x/menit untuk di operasi

RR : 20x/menit

S : 36,3 O : klien tampak tenang

b. Mengkaji ansietas klien

c. Berikan posisi nyaman A : ansietas

d. Ajarkan teknik relaksasi l. Rencana operasi

seperti nafas dalam tiroidektomi jam

11.00

P : masalah ansietas

teratasi

16.00 Klien masih diruang operasi Klien masih diruang

operasi

18.30 a. Menjemput klien dari ruang S : klien mengeluh

operasi nyeri pada area luka

b. Mengkaji keadaan umum post operasi

klien
c. Mengobservasi TTV O : keadaan umum

TD : 120/80mmHg klien compos mentis,

N : 72x/menit orientasi baik, nyeri

S : 36.3 skala 7 nyeri dirasakan

RR : 22x/menit seperti di tusuk-tusuk.

Terdapat luka post op

sekitar 14 cm diarea

leher.

A:

1. Nyeri akut b.d

agen cedera fisik

(pembedahan

tyroidektomi)

2. Risiko infeksi

b.d luka operasi

P : lanjutkan intervensi

1. monitor TTV

2. Kaji ulang

karakteristik

nyeri (penyebab
nyeri, kualitas

nyeri, tempat

bagian nyeri

yang dirasakan,

skala nyeri,

a. Mengobservasi TTV waktu

TD : 120/80mmHg terjadinya

N : 72x/menit nyeri)

S : 36.3 3. Berikan posisi

21.30 RR : 22x/menit nyaman semi

b. Mengkaji skala nyeri, skala fowler

nyeri 7 (0-10) 4. Ajarkan teknik

c. Berikan posisi nyaman, denga relaksasi seperti

posisi 30 derjat nafas dalam

d. Ajarkan teknik relaksasi 5. Kolaborasi

seperti nafas dalam dengan dokter

e. Kolaborasi pemberian dalam

antibiotik pemberian

Cefotaxime 3x1 1gr analgesik ;

k. keterolak
S : Klien mengeluh

nyeri diarea luka post op

O : Klien tampak

meringis, dengan skala

nyeri 7 (0-10), klien

dapat melakukan teknik

relaksasi nafas dalam

dengan cara menarik

nafas lewat hidung dan

mengeluarkannya lewat

mulut. Terdapat luka

post operasi 14 cm.

A:

1. Nyeri akut b.d

agen cedera fisik

(pembedahan

tiroidektomi)

2. Risiko Infeksi

b.d luka operasi


P : Masalah belum

teratasi, lanjutkan

intervensi

1. Mengobservasi

TTV

2. Mengkaji skala

nyeri, skala nyeri 7

(0-10)

3. Berikan posisi

nyaman, denga

posisi 30 derjat

4. Ajarkan teknik

relaksasi seperti

nafas dalam

5. Kolaborasi

pemberian

antibiotik dan

analgesik

Cefotaxime 3x1 1gr

Keren 2x1
6. Perawatan luka

sayatan Monitor

tanda dan gejala

infeksi sistemik dan

lokal

7. Ajarkan pasien dan

keluarga mengenai

tanda dan gejala

infeksi dan kapan

harus melapor

kepada pemberi

layanan kesehatan

8. Kolaborasi

pemberian

antibiotik

Cefotaxime 3x1 1gr

Keren 2x1

29-09-2017 a. Mengobservasi TTV S : Klien mengatakan

08.00 TD : 120/80mmHg masih mengeluh nyeri,

N : 72x/menit dengan skala 5 (0-10)

S : 36.4
RR : 22x/menit O : Klien tampak

b. Mengkaji nyeri, dengan skala nyaman dengan posisi

nyeri 5 (0-10) 30 derajat, klien dapat

c. Berikan posisi nyaman, melakukan teknik

dengan posisi 30 derjat relaksasi nafas dalam.

d. Mengevaluasi pelaksanaan Mengedukasi pasien dan

teknik relaksasi seperti nafas keluarga mengenai

dalam tanda dan gejala infeksi

e. Kolaborasi pemberian dan kapan harus

antibiotik melapor kepada pemberi

10.00 Cefotaxime 3x1 1gr dan layanan kesehatan.

keren 2x1

f. Perawatan luka pos operasi A:

g. Mengedukasi pasien dan 1. Nyeri akut b.d agen

keluarga mengenai tanda dan cedera fisik

gejala infeksi dan kapan (pembedahan

harus melapor kepada tyroidektomi)

pemberi layanan kesehatan 2. Resiko infeksi b.d

luka operasi
P : masalah belum

teratasi, lanjutkan

intervensi

1. Mengobservasi

TTV

2. Mengkaji skala

nyeri, skala nyeri 7

(0-10)

3. Berikan posisi

nyaman, denga

posisi 30 derjat

4. Ajarkan teknik

relaksasi seperti

nafas dalam

5. Kolaborasi

pemberian

antibiotik dan

analgesik

Cefotaxime 3x1 1gr

Keren 2x1
6. Perawatan luka

sayatan Monitor

tanda dan gejala

infeksi sistemik dan

lokal

7. Ajarkan pasien dan

keluarga mengenai

tanda dan gejala

infeksi dan kapan

harus melapor

kepada pemberi

layanan kesehatan

8. Kolaborasi

pemberian

antibiotik

Cefotaxime 3x1 1gr

Keren 2x1
16.00 a. Mengobservasi TTV S : Klien mengatakan

TD : 120/80mmHg masih mengeluh nyeri,

N : 72x/menit dengan skala 5

S : 36.4 (0-10)

RR : 22x/menit

b. Mengkaji nyeri, dengan skala O : Klien tampak

nyeri 5 (0-10) nyaman dengan posisi

c. Berikan posisi nyaman, 30 derajat, klien dapat

dengan posisi 30 derjat melakukan teknik

d. Mengevaluasi pelaksanaan relaksasi nafas dalam.

teknik relaksasi seperti nafas Mengedukasi pasien dan

dalam keluarga mengenai

e. Kolaborasi pemberian tanda dan gejala infeksi

antibiotik dan kapan harus

Cefotaxime 3x1 1gr dan melapor kepada pemberi

keren 2x1 layanan kesehatan.

f. Mengedukasi pasien dan

keluarga mengenai tanda dan A:

gejala infeksi dan kapan 1. Nyeri akut b.d agen

harus melapor kepada cedera fisik

pemberi layanan kesehatan


(pembedahan

tyroidektomi)

2. Resiko infeksi b.d

luka operasi

P : masalah belum

teratasi, lanjutkan

intervensi

1. Mengobservasi

TTV

2. Mengkaji skala

nyeri, skala nyeri 7

(0-10)

3. Berikan posisi

nyaman, denga

posisi 30 derjat

4. Ajarkan teknik

relaksasi seperti

nafas dalam

5. Kolaborasi

pemberian
antibiotik dan

analgesik

Cefotaxime 3x1 1gr

Keren 2x1

6. Perawatan luka

sayatan Monitor

tanda dan gejala

infeksi sistemik dan

lokal

7. Ajarkan pasien dan

keluarga mengenai

tanda dan gejala

infeksi dan kapan

harus melapor

kepada pemberi

layanan kesehatan

8. Kolaborasi

pemberian

antibiotik

Cefotaxime 3x1 1gr

Keren 2x1
21.30 1. Mengobservasi TTV S : klien mengeluh nyeri

TD : 120/70mmHg diarea luka post op

N : 72x/menit

S : 36 O : klien tampak

RR : 22x/menit meringis, dengan skala

2. Mengkaji nyeri, dengan skala nyeri 7 (0-10), klien

nyeri 5 (0-10) dapat melakukan teknik

Cefotaxime 3x1 1gr dan relaksasi nafas dalam

keren 2x1 dengan cara menarik

nafas lewat hidung dan

mengeluarkannya lewat

mulut. Terdapat luka

post operasi 14 cm.

A:

1. Nyeri akut b.d agen

cedera fisik

(pembedahan

tiroidektomi)

2. Risiko Infeksi b.d

luka operasi
P : masalah belum

teratasi, lanjutkan

intervensi

1. Mengobservasi

TTV

2. Mengkaji skala

nyeri, skala nyeri 5

(0-10)

3. Berikan posisi

nyaman, denga

posisi 30 derjat

4. Ajarkan teknik

relaksasi seperti

nafas dalam

5. Kolaborasi

pemberian

antibiotik dan

analgesik

Cefotaxime 3x1 1gr

Keren 2x1
6. Perawatan luka

sayatan Monitor

tanda dan gejala

infeksi sistemik dan

lokal

7. Ajarkan pasien dan

keluarga mengenai

tanda dan gejala

infeksi dan kapan

harus melapor

kepada pemberi

layanan kesehatan

8. Kolaborasi

pemberian

antibiotik

Cefotaxime 3x1 1gr

Keren 2x1

30-09-2017 a. Mengobservasi TTV S : Klien mengatakan

08.00 TD :120/80mmHg nyeri berkurang, dengan

N : 70x/menit skala nyeri 3 (0-10)


S : 36 O : Skala nyeri 3, klien

RR : 21x/menit tampak tenang, luka

b. Mengkaji skala nyeri, dengan tidak tampak tanda

skala nyeri 4(0-10) infeksi

10.30 c. Perawatan luka dan up

drainase A:

d. Up infuse 1. Nyeri akut b.d agen

e. Persiapan pulang cedera fisik

f. Penkes Menjelaskan (pembedahan

komplikasi atau tiroidektomi)

kemungkinan gejala post 2. Risiko Infeksi b.d

operasi tiroidektomi; gejala luka operasi

hipotiroid diantaranya,

kerontokan rambut, P : Masalah teratasi

kerapuhan kuku, rasa baal,

parastesiapada jaringan

tangan suara menjadi parau

dan hipoparatiroid, dengan

gejala jangka panjang

osteoporosis

Anda mungkin juga menyukai