TIJAUAN TEORITIS
A. Definisi Struma
Pembesaran pada kelenjar tiroid biasa disebut sebagai struma nodosa atau struma.
Pembesaran pada tiroid yang disebabkan akibat adanya nodul, disebut struma nodosa
(Tonacchera, Pinchera & Vitty, 2009). Biasanya dianggap membesar bila kelenjar
tiroid lebih dari 2x ukuran normal. Pembesaran ini dapat terjadi pada kelenjar yang
merupakan pembesaran kelenjar tiroid yang bukan disebabkan oleh inflamasi atau
neoplasma dan umumnya digolongkan sebagai kelainan yang bersifat endemik atau
sporadik (Kowalak, 2013). Menurut (Syaugi et al, 2015) mendefinisikan jika struma
adalah setiap pembesaran kelenjar tiroid yang disebabkan oleh penambahan jaringan
kelenjar tiroid.
Goiter atau struma atau secara awam dikenal dengan istilah gondok merupakan
pembesaran kelenjar tiroid yang dapat berkaitan dengan gangguan primer pada organ
tiroid ataupun akibat stimulasi hormonal atau faktor lain terhadap tiroid (Kondo dalam
faktor predisposisi karsinoma tiroid goiter ditetapkan pada individu dengan berat
kelenjar tiroid melebihi 18 mL pada perempuan atau melebihi 25 mL pada laki-laki,
Struma nodosa merupakan pembesaran pada kelenjar tiroid yang teraba sebagai
suatu nodul (Sudoyo dkk, 2009). Sekitar 10 juta orang di seluruh dunia mengalami
Thyroid Association,
toxic adalah pembesaran kelenjar tiroid baik berbentuk nodul atau difusa tanpa ada
tanda-tanda hipertiroidisme dan bukan disebabkan oleh autoimun atau proses inflamasi
Tiroid merupakan kelenjar yang terletak di dalam leher bagian bawah, melekat
pada tulang laring, sebelah kanan depan trakea, dan melekat pada dinding laring.
Kelenjar ini terdiri atas 2 lobus (lobus dekstra dan lobus sinistra) yang saling
berhubungan, masing-masing lobus tebalnya 2 cm, panjang 4 cm, dan lebar 2,5 cm
(Syaifuddin, 2011). Kelenjar tiroid merupakan organ kecil pada anterior leher bagian
bawah, di antara muskulus sternokleidomastoideus, yang terdiri dari dua buah lobus
lateral yang dihubungkan oleh sebuah istmus (Price & Wilson, 2006).
Yodium berperan penting dalam pembentukan hormon tiroid (Brunner & Suddarth,
2002). Yodium yang telah terserap dalam darah dari GI track akan diambil oleh
kelenjar tiroid dan akan dipekatkan dalam sel kelenjar tiroid. Molekul yodium yang
telah diambil akan bereaksi dengan tirosin (asam amino) untuk membentuk hormon
tiroid. Kelenjar tiroid mengatur fungsi metabolism tubuh, dimana tubuh menghasilkan
energi yang berasal dari nutrisi dan oksigen yang mempengaruhi fungsi tubuh penting,
seperti tingkat kebutuhan energi dan detak jantung (ATA, 2013). Selain itu kelenjar
pada anak-anak. Sel-sel sasaran untuk hormon tiroid adalah hampir semua sel di dalam
tubuh. Fungsi hormon tiroid antara lain (Black & Hawks, 2009) :
1. Merangsang laju metabolik sel-sel sasaran dengan meningkatkan metabolisme
6. Hormon tiroid penting untuk pertumbuhan dan perkembangan normal semua sel
1. Eutiroidisme
disebabkan stimulasi kelenjar tiroid yang berada di bawah normal sedangkan kelenjar
hipofisis menghasilkan TSH dalam jumlah yang meningkat. Struma nodosa atau
struma semacam ini biasanya tidak menimbulkan gejala kecuali pembesaran pada leher
disebabkan stimulasi kelenjar tiroid yang berada di bawah normal sedangkan kelenjar
hipofisis menghasilkan TSH dalam jumlah yang meningkat. Struma nodosa atau
struma semacam ini biasanya tidak menimbulkan gejala kecuali pembesaran pada leher
yang jika terjadi secara berlebihan dapat mengakibatkan kompresi trakea (Rehman,
dkk, 2006).
imunitasnya lebih merusak kelenjar dari pada merangsang kelenjar. Pada sebagian
akhirnya timbul fibrosis pada kelenjar, dan hasil akhirnya adalah berkurangnya atau
tidak adanya sekresi hormon tiroid sama sekali (Guyton and Hall, 2012).
3. Hipertiroidisme
Dikenal juga sebagai tirotoxicosis atau Graves yang dapat didefenisikan
yang berlebihan. Keadaan ini dapat timbul spontan atau adanya sejenis antibodi dalam
darah yang merangsang kelenjar tiroid, sehingga tidak hanya produksi hormon yang
berlebihan tetapi ukuran kelenjar tiroid menjadi besar. Gejala hipertiroidisme berupa
berat badan menurun, nafsu makan meningkat, keringat berlebihan, kelelahan, lebih
suka udara dingin, sesak napas. Selain itu juga terdapat gejala jantung berdebar-debar,
tremor pada tungkai bagian atas, mata melotot (eksoftalamus), diare, haid tidak teratur,
panas, berkeringat banyak, berat badan berkurang sedikit atau banyak (kadangkala
dapat berkurang sampai 100 pound), berbagai derajat keparahan diare, kelemahan otot,
kecemasan atau kelainan psikis lainnya, rasa capai yang sangat, namun pasien tidak
dapat tidur, dan tremor pada tangan (Guyton and Hall, 2012).
1. Struma Toksik
Struma nodosa toxic dapat dibedakan atas dua yaitu struma nodosa diffusa toxic
dan struma nodosa nodusa toxic. Istilah diffusa dan nodusa lebih mengarah kepada
perubahan bentuk anatomi dimana struma nodosa diffusa toxic akan menyebar luas ke
jaringan lain. Jika tidak diberikan tindakan medis sementara nodusa akan
memperlihatkan benjolan yang secara klinik teraba satu atau lebih benjolan (struma
reseptor TSH beredar dalam sirkulasi darah, mengaktifkan reseptor tersebut dan
Struma nodosa non toxic sama halnya dengan struma nodosa toxic yang dibagi
menjadi struma nodosa diffusa non toxic dan struma nodosa nodusa non toxic. Struma
nodosa non toxic disebabkan oleh kekurangan yodium yang kronik. Struma nodosa ini
disebut sebagai simpel struma nodosa, struma nodosa endemik, atau struma nodosa
koloid yang sering ditemukan di daerah yang air minumya kurang sekali mengandung
yodium dan goitrogen yang menghambat sintesa hormon oleh zat kimia.
E. Etiologi
1. Defisiensi Iodium
Pada umumnya, penderita penyakit struma sering terdapat didaerah yang kondisi
a. Penghambatan sintesa hormon oleh zat kimia : seperti substansi dalam kol, lobak,
kacang kedelai.
secara berlebih.
merupakan salah satu agen kimia karsinoma tiroid. Banyak terjadi pada kasus
anak-anak yang sebelumnya mendapatkan radiasi pada leher dan terapi yodium
F. Patofisiologi
pembentukan hormon tyroid. Bahan yang mengandung iodium diserp usus, masuk ke
dalam sirkulasi darah dan ditangkap paling banyak oleh kelenjar tiroid. Dslam kelenjar
iodium dioksida menjadi bentuk yang aktif yang di stimulus oleh tiroid stimulating
hormon kemudian disatukan menjadi molekul tirokin yang terjadi pada fase sel koloid.
Senyaawa yang terbentuk dalam molekul diyodotironin membentuk tiroksin (T4) dan
molekul yoditironin (T3). Tiroksin (T4) menunjukan pengaturan umpan balik negatif
dari sekresi Tiroid Stimulating Hormon dan bekerja langsung pada tirotrophypofisis,
maka tidak terjadi peningkatan pembentukan T4 dan T3, ukuran folikel menjadi lebih
besar dan kelenjar tiroid dapat bertambah berat sekitar 300-500 gram. Beberapa obat
dan keadaan dapat mempengaruhi sintesis, pelepasan dan metabolisme tyroid sekaligus
menghambat sintesis tiroksin (T4) dan melalui rangsangan umpan balik negaif
mekanik, disertai pergeseran letak trachea dan esophagus, dan gejala- gejala
obsruksi (price Wilson, 2013). Beberapa penderita struma nodosa non toxic
tidak memiliki gejala sama sekali. Jika struma cukup besar, akan menekan area
trakea yang dapat mengakibatkan gangguan pada respirasi dan juga esofhagus
gangguan pernapasan, rasa tidak nyaman di area leher, dan suara yang serak.
H. Pemeriksaan Penunjang
Cahayani, 2013).
2. Pemeriksaan radiologi.
a. Foto rontgen dapat memperjelas adanya deviasi trakea, atau pembesaran struma
yang pada umumnya secara klinis sudah bias diduga, foto rontgen pada leher
4) Dapat mendeteksi adanya jaringan kanker tiroid residif yang tidak menangkap
5) Untuk mengetahui lokasi dengan tepat benjolan tiroid yang akan dilakukan
biopsi terarah.
ukuran, bentuk, lokasi dan yang utama adalah fungsi bagian-bagian tiroid.
c. Biopsi aspirasi jarum halus (Fine Needle Aspiration Biopsy). Biopsi ini dilakukan
I. Penatalaksanaan
Terapi goiter antara lai dengan penekanan TSH oleh tiroksin, yaitu pengobatan
yang akan mengakibatkan penekanan TSH hipofisis, dan penghambatan fungsi tiroid
disertai atrofi kelenjar tiroid. Pembedahan dapat dianjurkan untuk goiter yang besar
Wilson, 2013). Tiroidektomi parsial atau total dapat dilakukan sebagai terapi primer
Tiroksin digunakan untuk menyusutkan ukuran struma, selama ini diyakini bahwa
pertumbuhan sel kanker tiroid dipengaruhi hormon TSH. Oleh karena itu untuk
menekan TSH serendah mungkin diberikan hormon tiroksin (T4) ini juga diberikan
tiroid. Obat anti-tiroid (tionamid) yang digunakan saat ini adalah propiltiourasil (PTU)
dan metimasol/karbimasol.
yang berlebihan dengan cara menekan produksi (obat antitiroid) atau merusak jaringan
1) Obat antitiroid
Indikasi :
a) Terapi untuk memperpanjang remisi atau mendapatkan remisi yang menetap, pada
b) Obat untuk mengontrol tirotoksikosis pada fase sebelum pengobatan, atau sesudah
c) Persiapan tiroidektomi
Indikasi :
Iodium radioaktif diberikan melalui mulut, dalam bentuk cairan 1-2 ml, tidak
berasa dan berbau, dan dengan cepat diserap melalui saluran cerna. Iodium radioaktif
ini akan masuk ke kelenjar tiroid melalui aliran darah dan merusak kelenjar tiroid.
Walaupun radioaktivitas ini menetap selama beberapa waktu dalam kelenjar tiroid,
iodium radioaktif ini akan dikeluarkan melalui bagian tubuh dalam beberapa hari.
Efek pada kelenjar tiroid akan terjadi dalam 1-3 bulan dan efek maksimal terjadi
antara 3-6 bulan. Pada sebagian kasus pengobatan iodium radioaktif cukup satu kali
saja, akan tetapi pada keadaan dengan kelenjar gondok yang besar, diperlukan dosis
tiroid yang diablasi lama kelamaan produksi hormon tiroid akan berkurang bahkan
tidak ada sama sekali dan dalam jangka panjang dapat terjadi hipotiroid (kebalikan dari
hipertiroid).
Oleh karena itu setelah mendapat pengobatan iodium radioaktif secara berkala
setiap 6-12 bulan diperiksa fungsi tiroid dan bila terjadi hipotiroid, harus diberikan
pengganti/substitusi hormon tiroid yang diberikan seumur hidup (karena kelenjar tiroid
sudah tidak berfungsi lagi) dengan dosis sesuai kebutuhan. Pasien cukup minum tablet
2. Tiroidektomi
jaringan atau pengangkatan 5/6 kelenjar tiroid, sedangkan tiroidektomi total, yaitu
pengangkatan jaringan seluruh lobus termasuk istmus (Sudoyo, A., dkk., 2009).
Tiroidektomi merupakan prosedur bedah yang relative aman dengan morbiditas kurang
a. Lobektomi tiroid parsial, yaitu pengangkatan bagian atas atau bawah satu lobus
b. Lobektomi tiroid, yaitu pengangkatan seluruh lobus
istmus
limfatik servikal.
cedera pada saraf laringeus rekueren. Kadang- kadang pada pembedahan tiroid,
kelenjar para tiroid dapat mengalami cedera atau terangkat sehingga timbul
hiperiritabilitas saraf yang disertai spasme tangan serta kaki dan twitching (kedutan
otot). Kelompok gejala ini disebut tetanus, dan dampaknya harus segera dilaporkan
karena laringospasme dapat terjadi yang akan menyumbat saluran napas pasien
meskipun komplikasi ini jarang dijumpai. Tetanus jenis ini biasanya diatasi dengan
ditangani dahulu dengan terapi yang tepat untuk mengembalikan kadar hormon tiroid
serta angka metabolik pada keadaan normal, dan untuk mengurangi resiko timbulnya
krisis tiroktoksik serta perdarahan selama periode pascaoperatif. Obat-obat yang dapat
iritabilitas dan kegelisahan pasien yang terjadi akibat hipertiroidisme. Pasien harus
dilindungi terhadap ketegangan dan stress tersebut agar terhindar dari krisis tiroktoksik.
Apabila terdapat bukti meningkatnya stress ketika keluarga dan teman menjenguk,
maka hak pasien untuk dikunjungi tamu dalam periode praoperatif perlu dibatasi.
Beberapa terpai tertentu dianjurkan jika dapat membuat pasien tengang dan rikeks
karbohidrat dan protein yang memadai. Asupan klori yang tinggi setiap hari diperlukan
khususnya tyamin dan asam askorbat, dapat diberikan. Teh, kopi, kokakola dan
minuman perangsang lain harus dihindaro. Persiapan praoperatif, jika pemeriksaan
diagnostik dilakukan sebelum pembedahan, pasien perlu diberi tahu tentang tujuan
pemeriksaan tersebut dan persiapan praoperatif yang diberikan akan dapat mengurangi
kecemasan. Disamping itu, berbagai upaya khusus diperlukan untuk menjamin istirahat
yang baik pada malam harinya sebelum pembedahan meskipun banyak pasien masuk
mencangkup memperlihatkan cara menyangga leher dengan kedua belah tangan untuk
mengurangi tarikan pada luka insisi sesudah pembedahan; yaitu dengan mengangkat
siku dan meletakan kedua belah tangan di belakang leher sehingga memberikan efek
menyangga dan mengurangi tarikan serta regangan pada otot-otot leher dan luka insisi
Pasien dipindahkan dan dibalikan dengan hati-hati untuk menyangga kepala serta
menghindari regangan pada jahitan luka. Posisi yang paling nyaman bagi pasien
adalah posisi semi fowler dengan kepala dtinggikan dan disanggah dengan bantal.
Analgesik diberikan seperti yang diresepkan untuk nmengurangi rasa nyeri. Pasien
mulut setelah keluhan mual berkurang. Biasanya terdapat sedikit kesulitan untuk
menelan; cairan dingin dan es lebih mudah diminum dibandingkan cairan lainnya
pasien sering lebih menyukai makanan lunak daripada makanan cair dalam periode
pasca operatif. Kasa penutup luka bedah harus dikaji secara periodik dan dikuatkan
kembali pemasangannya jika diperlukan. Apabila pasien berada dalam posisi berbaring
bagian samping dan posterior leher serta kasa di sebelah anterior leher hars di observasi
untuk mendeteksi pendarahan dia samping memeantau denyut nadi dan tekanan darah
untuk menemukan setiap indikasi perdarahan internal, kita harus waspada pula
terhadap berbagai keluhan seperti sensai tekanan atau rasa penuh pada tempat insisi.
hematome atau cedera pada saraf laringeus kambuhan. Komplikasi ini menyebabkan
untuk tracheostomi harus selalu tersedia disamping tempat tidur pasien, dan dokter
Anjurkan kepada pasien untuk tidak terlalu banyak mengeluarkan suara; namun, pada
saat pasien berbicara, setiap perubahan pada suara harus dicatat karena dapat
menunjukan adanya cedera pada saraf laringeus kambuh yang terletak tepat dibelakang
untuk mengambil barang-barang yang sering diperlukan seperti kertas tissue, wadah
air serta gelas, dan tempat ludah atau muntahan. Semua barang-barang ini harus
diletakan pada tempat yang mudah terjangkau agar pasien tidak perlu memutar kepala
untuk mencarinya. Pasien biasanya diperbolehkan turun dari tempat tidur sesegera
mungkin dan dianjurkan untuk mengkonsumsi makanan yang mudah dimakan. Jahitan
operasi atau skin slips biasanya diangkat pada hari ke dua. Pasien dapat dipulangkan
kerumah pada hari pembedahan atau segera sesudahnya jika perjalanan pasca operatif
menurunnya kadar kalsium tubuh akan terjadi hiperiritabilitas saraf yang disertai
spasme tangan serta kaki dan twitcing (kedutan otot). Kelompok gejala ini disebut
tetanus, dan penampakannya harus segera dilaporkan karena laringeus spasme dapat
terjadi yang akan menyumbat saluran pernafasan pasien meskipun komplikasi ini
jarang dijumpai. Tetanus jenis ini biasanya diatasi dengan menyuntikan kalsium
istirahat, relaksasi dan nutrisi dijelaskan kepada pasien dan keluarga. Informasi yang
spesifik mengenai kunjungan tindakan lanjut kedokter atau klinik harus disampaikan
karena hal ini penting untuk memantau keadaan tiroid pasien. Pasien mungkin sudah
diperolehkan pulang pada malam hari sesudah pagi harinya menjalani pembedahan
atau setelah satu atau dua hari pasca operatif. Dengan demikian, pasien dan keluarga
harus sudah mengetahui tanda-tanda serta gejala komplikasi yang dapat terjadi, yang
Pasien dapat dirujuk kebagian perawatan dirumah. Kunjungan oleh perawat dari
pembedahan. Disamping itu, luka bekas insisi dapat diperiksa dan pasien dianjurkan
untuk melakukan aktivitas yang tidak banyak menimbulkan regangan pada luka insisi
serta jahitannya. Tanggung jawab keluarga dan faktor-faktor yang berkaitan dengan
lingkungan rumah yang dapat membawa ketegangan mental sering terlibat sebagai
kesempatan untuk mengevaluasi semua faktor ini dan kemungkinan untuk mengubah
fase awal pasca operasi. Penting bagi perawat untuk memiliki pengetahuan dan
kemampuan untuk mendeteksi tanda dan gejala awal dari komplikasi potensial yang
mungkin terjadi dan mengambil langkah yang tepat. Deteksi dini dan respon yang cepat
risiko cedera pada klien. Fase awal pasca operasi dimulai ketika pasien berada di ruang
pemulihan atau recovery room. Asuhan keperawatan difokuskan pada penilaian dan
metabolic (Roberts and Fenech, 2010). Fase kedua dimulai ketika pasien dipindahkan
ke ruang perawatan. Perawat harus menyadari komplikasi yang biasa terjadi, termasuk
Perdarahan pasca pembedahan tiroid terjadi pada 0,1 – 1,5% pasien, hal ini
dapat terjadi karena banyaknya suplai darah ke organ dan sebagai hasil dari pemisahan
jaringan yang luas akibat pengangkatan kelenjar tiroid. Pada sebagian besar pasien,
paca operasi meliputi observasi dressing luka yang sering, dimana darah cenderung
konsistensi, warna dan fungsional drainase. Suction drain umum digunakan untuk
selalu diobservasi oleh perawat. Tanda-tanda infeksi pada luka tiroidektomi harus
Infeksi pada luka tiroidektomi jarang ditemukan, hanya sekitar 0,3 – 0,8% (Rosato et
al, 2004).
Pemantauan suhu dan kadar leukosit harus dipantau sebagai indikator dini
adanya infeksi. Kolaborasi pemberian antibiotik dapat menjadi salah satu bentuk
intervensi kolaborasi yang dapat diberikan kepada pasien. Cedera syaraf pada laring
merupakan komplikasi yang paling serius pasca tiroidektomi. Hal ini disebabkan oleh
(proses dimana serat kecil saraf dibagi dari struktur utama), kompresi lokal saraf akibat
edema atau hematoma. Perawat perlu memonitor kualitas suara pasien, refleks menelan
dan status pernapasan pasca pembedahan (Beldi dkk, 2004). Ada kemungkinan paresis
pada pita suara pada 6 minggu pertama, tetapi jika selama 12 bulan tidak ada perbaikan
timbul pada 24 – 72 jam pasca operasi. Pasien akan menunjukkan rendahnya kadar
kalsium dalam darah atau hipokalsemia dan rasa kesemutan di ekstrimitas. Pengkajian
Trousseau’s dan Chvostek’s signs dilakukan untuk mengindikasikan hipokalsemia.
Trousseau’s sign merupakan kejang yang disebabkan oklusi pada arterial dengan
manset tekanan darah. Trousseau’s sign dilakukan dengan mengkompresi lengan atas
di atas tekanan sistolik dan tahan 2 – 5 menit, dimana mula-mula timbul rasa kesemutan
pada ujung ekstremitas, lalu timbul kejang pada jari-jari dan tangan. Chvostek’s sign
dilakukan dengan memukul ringan 2 cm di depan tragus telinga (bagian telinga yang
menonjol kecil di daerah pipi/jambang). Chvostek’s sign terdiri atas kedutan pada otot
yang dipersarafi oleh saraf fasial ketika saraf tersebut ditekan sekitar 2 cm. Chvostek’s
Pemberian kalsium karbonat dosis tinggi dapat diberikan pada pasien dengan
kemudian infus lanjutan NaCl 0,9% dengan 30 – 40 ml dari 10% kalsium glukonat
per 24 jam sampai total kadar kalsium mencapai nilai normal (8,6 – 10,3mg/dL)
TINJAUAN KASUS
A. PENGKAJIAN
a. Identitas Pasien
Nama : Tn.J
Umur : 58 Th
Agama : Islam
Pendidikan : SLTP
Baleendah
Nama : Ny. Y
Pendidikan : SLTP
Baleendah.
2. Anamesa
a. Keluhan Utama
Pada saat pengkajian tanggal 27-09-2017 klien mengeluh adanya benjolan pada
leher sejak 10 tahun yang lalu, benjolan semakin membesar klien merasakan nyeri
pada benjolan jika klien mengalami demam. Nyeri menelan mulai dirasakan sejak 2
tahun yang lalu, sebelum masuk Rumah Sakit Umum Daerah Al-Ihsan Provinsi Jawa
Barat klien memeriksakan diri ke Rumah Sakit Umum Pusat Hasan Sadikin Bandung.
Klien masuk rumah sakit Al-Ihsan melalui poliklinik lalu di rujuk ke ruang bedah
Pada saat di kaji klien mengeluh nyeri menelan, nyeri bertambah jika klien makan
makanan bertekstur padat seperti nasi, nyeri berkurang jika klien makan nasi dengan
konsistensi lembek, nyeri tidak terasa jika klien tidak mengkonsumsi apapun. Nyeri
dirasakan di daerah leher seperti tertekan dengan skala nyeri 4 (0-10) dirasakan hilang
Klien mengatakan pernah operasi dibagian abdomen dengan keluhan ada benjolan
pada daerah pusat karena sering mengorek-ngoerk daerah pusar, operasi dilakukan
kurang lebih 5 tahun lalu, tidak ada riwayat imfeksi. Tidak ada riwayat hipertensi,
diabetes dan tidak ada riwayat penyakit menular seperti tuberculosis (TB), Human
Klien mengatakan dikeluarga klien tidak ada yang mengalami penyakit yang sama
seperti klien juga tidak ada yang mempunyai riwayat penyakit menular seperti
Tidak terkaji
3. Pemeriksaan fisik
a. Penampilan umum
3) Berat Badan : 70 Kg
4) Tanda-tanda Vital
b) Nadi : 63 x/ menit
c) Respirasi : 20 x / menit
d) Suhu : 36,5° C
b. Sistem Integumen
Warna kulit sawo matang, kulit tampak lembab, turgor kulit kembali dalam ±2
detik.
c. Sistem Pernafasan
Bentuk hidung simetris, tidak ada pernafasan cuping hidung, tidak ada sekret, tidak
ada pembengkakakan sinus, kedua lubang hidung bersih, tidak ada sumbatan, fungsi
Warna Konjungtiva merah muda, tidak ada peningkatan jpv, CRT < 2detik, palpasi
e. Sistem Pencernaan
Pada saat inspeksi mulut lembab, bibir lembab, dinding mukosa mulut lembab,
kebersihan mulut lumayan bersih, tercium bau mulut, tonsil ada, uvula ditengah, gigi
terdapat caries, lidah dapat bergerak mendorong, melipat. Fungsi pengecapan baik,
abdomen cembung, terdapat luka operasi. Pada saat auskultasi terdengar bising usus
f. Sistem Persyarafan
Nervus I (Olfaktorius)
Fungsi penciuman klien baik, klien dapat mencium minyak kayu putih
Nervus II (Optikus)
Fungsi penglihatan klien baik, klien dapat membaca name tag perawat dengan jelas.
Nervus VI (Trigeminus)
Pendengaran klien baik, klien dapat mendengar dan menjawab apa pertanyaan
g. Sistem Endokrin
Ketika diinspeksi leher tidak simetris, leher sebelah kanan tampak membesar,
h. Sitem Perkemihan
Klien mengatakan tidak merasa nyeri pada saat berkemih dan setelah berkemih.
i. Sistem Reproduksi
j. Sistem Muskuloskeletal
1) Ekstremitas atas
2) Ekstremitas bawah
Makan
Minum
2 Eliminasi
BAB
Frekuensi 2x sehari
Konsistensi Padat
BAK
Tidur siang
4 Personal Hygine
Mandi
Gosok gigi
Berpakaian
Memotong Kuku
a. Status emosi
b. Gaya Komunikasi
Klien tidak ada masalah dalam berkomunikasi dengan orang lain bahkan dengan
c. Konsep Diri
Klien memandang apa yang dideritanya saat ini merupakan cobaan, agar lebih
d. Data Spiritual
Klien mengatakan ikhlas dan sabar atas penyakit yang dideritanya saat ini, yaitu
srtuma nodular non toksik karena penyakitnya ini sudah menjadi cobaan , agama itu
tindakan medis
11.00 WIB
1) Hasil pemeriksaan
HEMATOLOGI
Darah Rutin
sel/uL
sel/uL
KIMIA KLINIK
Fungsi Ginjal
Gula Darah
mg/d
Foto thorak :
Tampak bayangan opak densitas soft issue di coli kanan yang mendessak trakea ke kiri
Pulmo :
Kesimpulan :
- Kardiomegali ringan
1. DS : Gangguan
menelan
yang lalu.
- benjolan semakin
yang lalu
mengkonsumsi apapun.
timbul
DO
cm
- Hasil Pemeriksaan
deviasi ke kiri
trakea ke kiri
- GCS 15 (E=4 M=6 V=5)
- TTV
TD = 120/80 mmHg
RR = 20 x/mnt
N = 63 x/mnt
S = 36.5ºC
2 DS : Defisiensi
dioperasi prognosis
berapalama di oprasinya
- Klien mengatakan berapa
pasca operasi
akan dilakukan
dideritanya
d. Diagnosa Keperawatan Berdasarkan Prioritas Masalah
1. 1. Gangguan Rencana keperawatan selama a. Bantu pasien untuk duduk a. Untuk mencegah terjadinya resiko
menelan b.d 3x24 jam diharapkan klien tegak (sebisa mungkin aspirasi
kan kelenjar aman untuk cairan atau makan atau latihan makan.
sampai ke perut. b. Tentukan status gizi pasien b. Untuk mengetahui kebutuhan nutrisi
terganggu
- Skala 2 banyak
- Skala 4 sedikit
terganggu
- Skala 5 ttidak
terganggu
dengan waktunya
- Penerimaan makanan
- Mempelejari temuan
akan menelan
hidup.
c Memberikan informasi terkait
yang baik.
f. Implementasi Dan Evaluasi
PERKEMBANGAN
hipotiroid diantaranya,
hipoparatiroid
h. Mengobservasi TTV
TD : 114/70mmHg
N : 63x/menit
S : 35,1
RR : 20x/menit
klien
A : ansietas
Rencana operasi
tanggal 28-09-2017
jam 11.00
P : masalah teratasi
28-09-2017 a Mengobservasi TTV S : klien mengatakan
RR : 20x/menit
11.00
P : masalah ansietas
teratasi
operasi
klien
c. Mengobservasi TTV O : keadaan umum
sekitar 14 cm diarea
leher.
A:
(pembedahan
tyroidektomi)
2. Risiko infeksi
P : lanjutkan intervensi
1. monitor TTV
2. Kaji ulang
karakteristik
nyeri (penyebab
nyeri, kualitas
nyeri, tempat
bagian nyeri
yang dirasakan,
skala nyeri,
TD : 120/80mmHg terjadinya
N : 72x/menit nyeri)
antibiotik pemberian
k. keterolak
S : Klien mengeluh
O : Klien tampak
mengeluarkannya lewat
A:
(pembedahan
tiroidektomi)
2. Risiko Infeksi
teratasi, lanjutkan
intervensi
1. Mengobservasi
TTV
2. Mengkaji skala
(0-10)
3. Berikan posisi
nyaman, denga
posisi 30 derjat
4. Ajarkan teknik
relaksasi seperti
nafas dalam
5. Kolaborasi
pemberian
antibiotik dan
analgesik
Keren 2x1
6. Perawatan luka
sayatan Monitor
lokal
keluarga mengenai
harus melapor
kepada pemberi
layanan kesehatan
8. Kolaborasi
pemberian
antibiotik
Keren 2x1
S : 36.4
RR : 22x/menit O : Klien tampak
keren 2x1
luka operasi
P : masalah belum
teratasi, lanjutkan
intervensi
1. Mengobservasi
TTV
2. Mengkaji skala
(0-10)
3. Berikan posisi
nyaman, denga
posisi 30 derjat
4. Ajarkan teknik
relaksasi seperti
nafas dalam
5. Kolaborasi
pemberian
antibiotik dan
analgesik
Keren 2x1
6. Perawatan luka
sayatan Monitor
lokal
keluarga mengenai
harus melapor
kepada pemberi
layanan kesehatan
8. Kolaborasi
pemberian
antibiotik
Keren 2x1
16.00 a. Mengobservasi TTV S : Klien mengatakan
S : 36.4 (0-10)
RR : 22x/menit
tyroidektomi)
luka operasi
P : masalah belum
teratasi, lanjutkan
intervensi
1. Mengobservasi
TTV
2. Mengkaji skala
(0-10)
3. Berikan posisi
nyaman, denga
posisi 30 derjat
4. Ajarkan teknik
relaksasi seperti
nafas dalam
5. Kolaborasi
pemberian
antibiotik dan
analgesik
Keren 2x1
6. Perawatan luka
sayatan Monitor
lokal
keluarga mengenai
harus melapor
kepada pemberi
layanan kesehatan
8. Kolaborasi
pemberian
antibiotik
Keren 2x1
21.30 1. Mengobservasi TTV S : klien mengeluh nyeri
N : 72x/menit
S : 36 O : klien tampak
mengeluarkannya lewat
A:
cedera fisik
(pembedahan
tiroidektomi)
luka operasi
P : masalah belum
teratasi, lanjutkan
intervensi
1. Mengobservasi
TTV
2. Mengkaji skala
(0-10)
3. Berikan posisi
nyaman, denga
posisi 30 derjat
4. Ajarkan teknik
relaksasi seperti
nafas dalam
5. Kolaborasi
pemberian
antibiotik dan
analgesik
Keren 2x1
6. Perawatan luka
sayatan Monitor
lokal
keluarga mengenai
harus melapor
kepada pemberi
layanan kesehatan
8. Kolaborasi
pemberian
antibiotik
Keren 2x1
drainase A:
hipotiroid diantaranya,
parastesiapada jaringan
osteoporosis