Anda di halaman 1dari 22

A.

Konsep Dasar Penyakit

1. Definisi / pengertian penyakit

Difteri adalah penyakit yang diakibatkan oleh serangan bakteri yang

bersumber dari Corynebacterium Diphtheriae. Difteri merupakan penyakit

yang mengerikan dimana telah menyebabkan ribuan kematian, dan masih mewabah di

daerah-daerah dunia yang belum berkembang. Orang yang selamat dari penyakit ini

menderita kelumpuhan otot-otot tertentu dan kerusakan permanen pada jantung dan ginjal.

Anak-anak yang berumur satu sampai sepuluh tahun sangat peka terhadap penyakit

ini.

Dalam Jurnal Pasarpolis (2017) Penyakit difteri didefinisikan sebagai

penyakit yang menyerang saluran pernafasan terutama pada bagian laring, amandel, atau

tonsil, dan tenggorokan. Ketika saluran pernafasan terinfeksi oleh virus ini, membran

atau lapisan lengket yang berwarna abu-abu akan berkembang di area tenggorokan

sehingga menyebabkan batuk disertai sesak nafas akut yang akan berujung kepada

kematian. Kemudian ada juga resiko langsung berupa kerusakan jantung dan

syaraf (neuro-damage). Bakteri induk Difteri ini juga menghasilkan racun yang berbahaya

jika menyebar ke bagian tubuh yang lain.

Sudoyo (2009) mendefinisikan difteri sebagai suatu penyakit infeksi yang sangat menular
yang terjadi secara lokal pada mukosa saluran pernapasan atau kulit, yang disebabkan oleh
basil gram positif Corynebacterium Diphtheriae, ditandai oleh terbentuknya eksudat yang
berbentuk membran pada tempat infeksi, dan diikuti oleh gejala-gejala umum yang
ditimbulkan oleh eksotoksin yang diproduksi oleh basil. Ciri yang khusus pada difteri ialah
terbentuknya lapisan yang khas selaput lendir pada saluran nafas, serta adanya kerusakan otot
jantung dan saraf. Dari beberapa definisi di atas dapat diartikan bahwa difteri adalah penyakit
infeksi menular berbahaya pada saluran pernafasan yang disebabkan oleh bakteri
Corynebacterium Diphtheriae.
2. Etiologi

Penyebab penyakit difteri adalah jenis bakteri yang diberi nama


Cornyebacterium
Diphteriae. Bakteri ini bersifat polimorf, tidak bergerak dan tidak membentuk
spora,
aerobik dan dapat memproduksi eksotoksin (Sudoyo, 2009). Uji schick merupakan
pemeriksaan untuk mengetahui apakah seseorang telah memiliki antitoksin
(Mansjoer, Suprohaita, Wardhani, & Setiowulan, 2007). Terdapat tiga jenis basil,
yaitu
bentuk gravis, mitis, dan intermedius. Basil dapat membentuk (Mansjoer et al.,
2007) :

1. Pseudomembrane yang sulit diangkat, mudah berdarah, dan berwarna putih


keabu-abuan yang meliputi daerah yang terkena; terdiri dari fibrin, leukosit,
jaringan nekrotik, dan basil

2. Eksotoksin yang sangat ganas dan dapat meracuni jaringan setelah beberapa
jam
diabsorbsi dan memberikan gambaran perubahan jaringan yang khas terutama
pada otot jantung, ginjal, dan jaringan saraf. Minimum Lethal Dose (MLD) toksin
ini adalah 0,02 ml.

Klasifikasi difteri secara klinis menurut lokasinya (Sudoyo, 2009):


1. Difteri nasal anterior
2. Difteri nasal posterior
3. Difteri fausial (farinks)
4. Difteri laryngeal
5. Difteri konjungtiva
6. Difteri kulit
7. Difteri vulva/vagina

Klasifikasi difteri secara klinis menurut lokasinya (Sudoyo, 2009):


1. Infeksi ringan, jika pseudomembrane hanya terdapat pada mukosa hidung

dengan gejala hanya pilek dan nyeri waktu menelan.


2. Infeksi sedang, jika pseudomembrane telah menyerang sampai faring dan

laring sehingga keadaan pasien terlihat lesu dan agak sesak.

3. Infeksi berat, jika terjadi sumbatan nafas yang berat dan adanya gejala-gejala yang

ditimbulkan oleh eksotoksin seperti miokarditis, paralisis, dan nefritis.

3. Patofisiologi / Pathway penyakit

Kuman masuk melalui mukosa/kulit, melekat serta berbiak pada permukaan


mukosa saluran nafas bagian atas dan mulai memproduksi toksin yang merembes
ke
sekeliling serta selanjutnya menyebar ke seluruh tubuh melalui pembuluh limfe
dan
darah. Setelah melalui masa inkubasi selama 2-4 hari kuman difteri membentuk
racun atau
toksin yang mengakibatkan timbulnya panas dan sakit tenggorokan. Kemudian
berlanjut
dengan terbentuknya selaput putih di tenggorokan akan menimbulkan gagal nafas,
kerusakan jantung dan saraf. Difteri ini akan berlanjut pada kerusakan kelenjar
limfe,
selaput putih mata, vagina. Komplikasi lain adalah kerusakan otot jantung dan
ginjal (Sudoyo, 2009).
4. Manifestasi KLinis / Tanda dan Gejala

Gejala diphtheria (Sudoyo, 2009):


1. Demam, suhu tubuh meningkat sampai 38o Celcius
2. Batuk dan pilek yang ringan
3. Sakit dan pembengkakan pada tenggorokan
4. Mual, muntah , sakit kepala
5. Adanya pembentukan selaput di tenggorokan berwarna putih ke abu abuan kotor
6. Rinorea, berlendir kadang-kadang bercampur darah

Keluhan serta gejala lain tergantung pada lokasi penyakit diphtheria


(Sudoyo, 2009) :
1. Diphtheria Hidung Pada permulaan mirip common cold, yaitu pilek ringan tanpa
atau disertai gejala sistemik ringan. Sekret hidung berangsur menjadi
serosanguinous dan kemudian mukopurulen mengadakan
lecet pada nares dan bibir atas. Pada pemeriksaan tampak membran putih pada daerah
septum nasi.
2. Diphtheria Tonsil-Faring Gejala anoroksia, malaise, demam ringan, nyeri
menelan. dalam 1-2 hari
timbul membran yang melekat, berwarna putih-kelabu dapat menutup tonsil dan
dinding faring, meluas ke uvula dan palatum molle atau ke distal ke laring dan
trachea.
3. Diphtheria Laring Pada diphtheria laring primer gejala toksik kurang nyata,
tetapi lebih berupa
gejala obstruksi saluran nafas atas.
4.Diphtheria Kulit, Konjungtiva, Telinga Diphtheria kulit berupa tukak di kulit,
tepi jelas dan terdapat membran pada dasarnya. Kelainan cenderung menahun.
Diphtheria pada mata dengan lesi pada konjungtiva berupa kemerahan, edema dan
membran pada konjungtiva palpebra. Pada telinga berupa otitis eksterna dengan
sekret purulen dan berbau.

5. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang yang dilakukan pada difteri bertujuan untuk menentukan
diagnosis definitif difteri melalui pemeriksaan bakteriologis dan kultur. Penting juga
untuk dilakukan pemeriksaan EKG sedini mungkin untuk melihat ada tidaknya
miokarditis akibat difteri.

Pemeriksaan laboratorium
Pemeriksaan laboratorium yang dapat dilakukan yaitu pemeriksaan bakteriologis,
kultur, pemeriksaan toksigenisitas, dan pemeriksaan laboratorium lainnya. Walau
demikian, perlu diingat bahwa tata laksana difteri harus segera dilakukan pada pasien
tanpa menunggu hasil pemeriksaan laboratorium terlebih dahulu.

Pemeriksaan bakteriologis:
Pewarnaan gram menunjukkan gambaran kuman gram positif, berbentuk basil seperti
tongkat, tidak berkapsul, dan nonmotil dalam kelompok-kelompok.
Kultur:
Sampel dapat diambil dengan menggunakan apusan dari hidung, pseudomembran,
kripta tonsil, ulkus, atau diskolorasi. Kuman difteri yang terisolasi harus diperiksa
lebih lanjut untuk menilai produksi toksin. Apus tenggorokan dan faring juga perlu
dilakukan pada orang yang sering kontak dengan pasien.

Toksigenisitas:
Pemeriksaan ini dilakukan untuk menentukan apakah terdapat produksi toksin.
Pemeriksaan Elek menilai terbentuknya immunoprecipitin band pada kertas saring
yang sudah diberikan antitoksin dan diletakkan di agar yang terdapat hasil kultur
kuman yang ingin dinilai. Selain itu dapat dilakukan Polymerase Chain Reaction
(PCR) untuk mendeteksi sekuens DNA yang mengkode subunit A toksin.
Pemeriksaan ini bersifat cepat dan sensitif sehingga sangat bermanfaat untuk skrining
dan untuk konfirmasi bakteriologis terutama pada saat terjadi wabah.

Pemeriksaan laboratorium lainnya:


Pemeriksaan darah rutin dapat menunjukkan leukositosis sedang. Urinalisis dapat
menunjukkan proteinuria transien. Selain itu, juga dapat dilakukan pemeriksaan
antibodi serum terhadap toksin difteri sebelum pemberian antitoksin. Pada kecurigaan
terjadi miokarditis, dapat dilakukan pemeriksaan troponin I.[1,14]

Pemeriksaan radiologi
Pemeriksaan foto polos toraks dan radiografi/Computed Tomography/ultrasonografi
jaringan lunak leher dapat menunjukkan pembengkakan jaringan lunak, epiglotis
yang membesar, serta penyempitan area subglotis. Ekokardiografi dapat
menunjukkan vegetasi katup, tetapi manifestasi sistemik ini jarang terjadi.[1]

Pemeriksaan lain
Pemeriksaan elektrokardiografi (EKG) sebaiknya dilakukan pada waktu pertama kali
terdiagnosis difteri untuk mendeteksi miokarditis secara dini. Pemeriksaan EKG
serial juga perlu dilakukan jika selama perjalanan penyakit dicurigai terjadi
miokarditis. Gejala miokarditis difteri pada anak mulai dari kelemahan badan yang
tidak spesifik sampai keluhan terkait gagal jantung kongestif, seperti keluhan sesak
nafas, rasa tidak nyaman di dada, hipotensi, dan palpitasi. Pemeriksaan EKG dapat
menunjukkan gambaran sinus takikardi, perubahan gelombang ST (elevasi atau
depresi), inversi gelombang T, right bundle branch block, dan multiple atrial ectopic.
Selain itu, peningkatan enzim jantung, seperti enzim CK-MB dan troponin T juga
mendukung diagnosis dan memprediksi mortalitas.
6. Penatalaksanaan Medis
Pengobatan umum dengan perawatan yang baik, isolasi dan pengawasan EKG yang
dilakukan pada permulan dirawat satu minggu kemudian dan minggu berikutnya
sampai
keadaan EKG 2 kali berturut-turut normal dan pengobatan spesifik.
Pengobatan spesifik untuk difteri :
-ADS (Antidifteri serum), 20.000 U/hari selama 2 hari berturut-turut
dengan
sebelumnya harus dilakukan uji kulit dan mata.
-Antibiotik, diberikan penisillin prokain 5000U/kgBB/hari sampai 3 hari bebas
demam.
Pada pasien yang dilakukan trakeostomi ditambahkan kloramfenikol 75mg/kgBB/hari
dibagi
4 dosis.
-Kortikosteroid, untuk mencegah timbulnya komplikasi miokarditis yang sangat
membahayakan, dengan memberikan predison 2mg/kgBB/hari selama 3-4 minggu.
Bila
terjadi sumbatan jalan nafas yang berat dipertimbangkan untuk tindakan trakeostomi.
Bila
pada pasien difteri terjadi komplikasi paralisis atau paresis otot, dapat diberikan
strikin ¼ mg
dan vitamin B1 100 mg tiap hari selama 10 hari.
Pengobatan spesifik: Jika diduga kuat bahwa seseorang menderita difteria didasarkan
kepada
gejala klinis maka antitoksin harus diberikan setelah sampel untuk pemeriksaan
bakteriologis
diambil tanpa harus menunggu hasil pemeriksaan bakteriologis tersebut. (Saat ini
yang
tersedia adalah antitoksin yang berasal dari kuda). Diphtheria Antitoxin (DAT)
tersedia di
CD-Atlanta sebagai “investigational product”.

Pasien difteri harus dirawat di kamar isolasi yang tertutup. Petugas harus memakai
gaun
khusus (celemek) dan masker yang harus diganti tiap pergantian tugas atau sewaktu-
waktu
bila kotor (jangan dari pagi sampai malam hari). Sebaiknya penunggu pasien juga
harus
memakai celemek tersebut untuk mencegah penularan ke luar ruangan. Harus
disediakan
perlengkapan cuci tangan: desinfektan, sabun, lap, atau handuk yang selallu kering
(bila ada
tisu) air bersih jika ada kran juuga tempat untuk merendam alat makan yang diisi
dengan
desinfektan.
Risiko terjadi komplikasi obstruksi jalan napas, miokarditis, pneumonia.
Pasien difteri walaupun penyakitnya ringan perlu dirawat di rumah sakit karena
potensial
terjadi komplikasi yang membahayakan jiwanya yang disebabkan adanya
pseudomembran
dan eksotosin yang dikeluarkan oleh basil difteri tersebut.
õ Sumbatan jalan napas.
Kelainan ini terjadi karena adanya edema pada laring dan trakea serta
adanya
pseudomembran. Gejala sumbatan adalah suara serak dan stridor inspiratoir. Bila
makin berat
terjadi sesak napas, sianosis, tampak retraksi otot, kedengaran stridor:
a. Berikan O2
b. Baringkan setengah duduk
c. Hubungi dokter.
d. Pasang infus (bila belum dipasang)

7. Komplikasi
Racun difteri bisa menyebabkan kerusakan pada jantung, sistem saraf, ginjal ataupun
organ lainnya:
1) Infeksi tumpangan oleh kuman lain
Infeksi ini dapat disebabkan oleh kuman streptokokus dan staphilokokus. Panas tinggi
terutama didapatkan pada penderita difteri dengan infeksi tumpangan dengan kuman
streptokokus.
2) Obstruksi jalan napas akibat membran atau oedem jalan nafas
Obstruksi ini dapat terjadi akibat membaran atau oedem jalan nafas. Obstruksi jalan
nafas
dengan sengaja akibatnya, bronkopneumoni dan atelektasis.
3) Sistemik
 Miokarditis
Sering timbul akibat komplikasi difteri berat tetapi juga dapat terjadi pada bentuk
ringan.
Komplikasi terhadap jantung pada anak diperkirakan 10-20%. Faktor yang
mempengaruhi terhadap niokarditis adalah virulensi kuman. Virulensi makin
tinggi
komplikasi jantung. Miokarditis dapat terjadi cepat pada minggu pertama atau lambat
pada
minggu keenam.
Neuritis
Terjadi 5-10% pada penderita difteri yang biasanya merupakan komplikasi dari difteri
berat.
Manifestasi klinik ditandai dengan:
 Timbul setelah masa laten
 Lesi biasanya bilateral dimana motorik kena lebih dominan dari pada
sensorik
 Biasanya sembuh sempurna.
3) Susunan saraf
Kira-kira 10% penderita difteri akan mengalami komplikasi yang mengenai sistem
susunan
saraf terutama sistem motorik. Paralysis ini dapat berupa:
o Paralysis palatum molle
o Manifestasi saraf yang paling sering
o Timbul pada minggu ketiga dan khas dengan adanya suara dan regurgitasi
hidung, tetapi
ada yang mengatakan suara ini timbul pada minggu 1-2
o Kelainan ini biasanya hilang sama sekali dalam 1-2 minggu.
o Ocular palsy
o Biasanya timbul pada minggu kelima atau khas ditandai oleh paralysis dari
otot
akomodasi yang menyebabkan penglihatan menjadi kabur. Otot yang kena ialah m.
rectus
externus.
o Paralysis diafragma
o Dapat terjadi pada minus 5-7
o Paralisis ini disebabkan neuritis n. phrenicus dan bila tidak segera diatasi
penderita akan
meninggal.
o Paralysis anggota gerak
 Dapat terjadi pada minggu 6-10
 Pada pemeriksaan didapati lesi bilateral, refleks tendon menghilang, cairan
cerebrospinal
menunjukan peningkatan protein yang mirip dengan sindrom guillian barre.
Kegagalan pernafasan
Racun difteri dapat menyebabkan kerusakan pada jantung, sistem saraf, ginjal
ataupun organ lainnya (Mansjoer et al., 2007): 1. Saluran nafas : obstruksi jalan nafas,
bronkopneumonia, atelektasis paru 2. Kardiovaskular : miokarditis akibat toksin
kuman 3. Urogenital : nefritis 4. Susunan saraf : paralisis/paresis palatum mole
(minggu I dan II), otot mata (minggu III), dan umum (setelah minggu IV)
B. Konsep Dasar Asuhan Keperawatan

1. Pengkajian Keperawatan

2. Analisa Data

No Data Eteilogi Masalah


1. Cynobacterium difteriae Bersihan jalan
DO : napas tidak efektif
Masuk melalui saluran
 P : 28 pernasapan
 klien tampak sesak
Membentuk
DS : pseudomonas
Klien menangis dan
mengatakan sulit Mengeluarkan toksin
bernapas
Klien mengeluh Lokal dan sistemik
sakit perut
Infeksi nasal, trakea dan
laring

Produksi sekret
meningkat

Penimbunan sekret

Obstruksi jalan napas

2. Mengeluarkan toksin
Nyeri
DO : Lokal dan sistemik
Nadi cepat 120/m
ekspresi wajah Infeksi nasal, trakea dan
meringis saat laring
menelan
DS : Reaksi peradangan
Klien mengatakan
nyeri pada daerah Menekan serabut saraf
leher nyeri

Nyeri dipersepsikan

3. Perubahan nutrisi
Membentuk
pseudomonas kurang dari
DO: kebutuhan tubuh
Mual dan muntah. Mengeluarkan toksin

anoreksia Lokal

Makanan yang Infeksi tonsil dan laring


dihidangkan tidak
habis.
DS :
klien mengatakan

nyeri saat menelan Nyeri pada tonsil


makanan
Nyeri menelan

Anoreksia

Proses peradangan
4. DO : Peningkatan suhu
S : 37,8 ° C Perubahan set point
DS : tubuh
klien mengatakan Reaksi peningkatan suhu
badannya panas tubuh

Reaksi demam

5.
DO :
Reaksi peningkatan suhu Resiko kekurangan
Klien mual, muntah. tubuh
volume cairan
evaporasi meningkat
Evaporasi meningkat tubuh

Kehilangan cairan tubuh

3. Diagnosis Keperawatan
1. bersihan jalan napas tidak efektif berhubungan dengan penumpukkan
sekret dan
pembesaran kelenjar pseudomembran ditandai dengan klien merasa sesak, P
:
28/m, klien kelihatan lemah dan gelisah
2. Nyeri berhubungan dengan proses inflamasi pada tonsil dan laring
ditandai
dengan klien mengatakan nyeri pada saat menelan, klien tampak meringis.
3. perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan
intake in
adekuat ditandai dengan klien mengeluh nyeri pada saat menelan, porsi
makan
tidak dihabiskan.
4.peningkatan suhu tubuh berhubungan dengan proses inflamasi yang ditandai
dengan SB 37,8 “C, Klien berkeringat, Klien kelihatan gelisah, Nadi 120 /m Klien
menangis dan mengatakan badannya terasa panas.
5.Resiko kurangnya volume cairan berhubungan dengan peningkatan evaporasi
yang ditandai dengan Nadi cepat 120/m dan lemah,Klien kurang minum, P : 28
/m, Klien kurang minum, Klien kelihatan lemah dan gelisah, Orangtua
mengatakan klien tidak suka makan
4. Rencana Keperawatan

N Diagnosa Tujuan & Intervensi Rasional


o Keperawatan Kriteria Hasil
1 bersihan jalan Tujuan : Mandiri :  Pernafasan

napas tidak Pasien menunjukkan  Kaji biasanya

efektif meningkat. Dispnea


Jalan nafas kembali frekuensi,kedala
berhubungan dan terjadi
bersih man pernafasan
dengan peningakatan kerja
dan ekspansi
penumpukkan nafas. Kedalaman
Kriteria hasil: paru. Catat
sekret dan pernafasan
Jalan nafas kembali upaya
pembesaran biasanya bervariasi
bersih
kelenjar pernafasan
tergantung derajat
pseudomembran termasuk
gagal nafas.
. pengguanaan Ekspansi dada

alat bantu / terbatas yang

berhubungan
pelebaran nasal
dengan atelektasis/
 Auskultasi
nyeri dada
bunyi nafas dan
pleuritik..
catat adanya
 Bunyi naafs
bunyi nafas
menurun / tidak ada
adventisius
bila jalan nafas
seperti krekel , obstruksi sekunder
mengi, gesekan terhadap

pleural. perdarahan, bekuan

 Atur posisi atau kolaps jalan

yang nyaman / nafas kecil. Ronki

dan mengi
semi fowler
 Tingkatkan menyertai

intake cairan obstruksi jalan

nafas / kegagalan
 Pertahankan
pernafasan.
posisi
 Peninggian kepala
lingkungan
mempermudah
minimun sepeti
fungsi pernafasan
debu
dengan
 Dorong latihan
menggunakan
nafas abdomen
gravitasi atau
atau bibir.
mempermudah
Kolaborasi :
pertukaran O2 dan
 Kolaborasi CO2.
dengan dokter  Memberikan

dalam pasien beberapa

pemberian O2 ara untuk

lembab atau mengatasi dan

mengontrol dispnea
inhalasi, bila
dan menurunkan
perlu dilakukan
jabatan udara.
trachcostomi..
 Mengurangi

pencetus gangguan

pernafasan / alergi

pernafasan.

 Membantu

kekentalan sekret

sehingga
Mempermudah

pengeluarannya.
2 Nyeri Tujuan : Mandiri :  memberikan data

berhubungan klien mengalami  Mandiri : dasar untuk

dengan proses pengurangan nyeri  Kaji status nyeri ( menentukan dan

inflamasi pada lokasi, frekuensi, mengevaluasi

tonsil dan laring Kriteria Hasil : durasi, dan intervensi yang

 Mengikuti aturan intensitas nyeri ) diberikan.

farmakologi yang  Berikan  Meningkatkan

ditentukan lingkungan yang relaksasi klien.

 Mendemontrasikan nyaman, dan  Meningkatkan

penggunaan aktivitas hiburan relaksasi yang

keterampilan ( misalnya : dapat menurunkan

relaksasi dan musik, televisi ) rasa nyeri klien

aktifitas hiburan  Ajarkan teknik  Mengurangi nyeri

sesuai indikasi manajemen nyeri, dan spasme otot

situasi individu. seperti teknik

relaksasi napas

dalam,

visualisasi, dan

bimbingan

imajinasi.

Kolaborasi :

 Berikan analgesik

sesuai kebutuhan

untuk nyeri
3 perubahan Tujuan : Mandiri :  pilihan intervensi

nutrisi kurang Kebutuhan nutrisi akan  Identifikasi faktor tergantung pada

dari kebutuhan terpenuhi yang terhadap masalah.

tubuh menyebabkan  tindakan ini dapat

berhubungan mual/ muntah, meningkatkan


Kriteria Hasil :
dengan intake in misal: sputum masukan makanan
 Napsu makan
adekuat banyak, klien.
baik
pengobatan  bunyi usus
 Porsi makan yang
aeroso, dispnea mungkin
dihidangkan
beat dan nyeri. manurunkan /tidak
dihabiskan
 Pemberian ada bila proses

makanan lunak, infeksi berat

bila sakit atau /memanjang .

sulit menelan Distensi abdomen

diberi makanan terjadi akibat

cair (sayur,- menelan udara atau

sayuran,buah- menunjukkan

buahan untuk pengaruh toksin

membantu pada saluran

peristaltik usus) gastrointestinal.

 Auskultasi bunyi  menghilangkan

usus observasi/ tanda bahaya, rasa

palpasi dispnea bau dari

abdomen lingkungan pasien

 Berikan wadah dan dapat

tertutup untuk menurunkan mual.

sputum dan buang  menurunkan efek


sesring mungkin, mual yang

berikan dan bantu berhubungan

kebersihan mulut dengan pengobatan

setelah muntah . ini.

 Jadwalkan  ada kondisi kronis

pengobatan atau ketebatsan

sedikitnya 1 jam keuangan dapat

sebelum makan. menimbulkan

 Evaluasi stasus malnutrisi,

nutrisi, umur, rendahnya tahan

ukuran berat terhadap infeksi

badan. dan atau lambatnya

respon terhadap

terapi.
4 Peningkatan  Suhu tubuh dalam  Kaji saat  Untuk
timbulnya demam mengidentifikasi
suhu tubuh batas normal ( 36 –
 Observasi tanda- pola demam klien
berhubungan 36,8 o c ).
tanda vital tiap 3  Tanda vital
dengan proses  Klien bebas dari jam. merupakan acuan
 anjurkan klien untuk mengetahui
inflamasi. demam
untuk minum keadaan umum
banyak + 1500 klien.
perhari.  Peningkatan suhu
 beri kompres tubuh
hangat pada mengakibatkan
daerah dahi, penguapan tubuh
axilla, lipat paha. meningkat sehingga
 Anjurkan untuk perlu diimbangi
tidak memakai dengan asupan
selimut dan cairan yang banyak
pakaian tebal.  Kompres hangat
 Kolaborasi untuk dapat menurunkan
anti peretik suhu tbuh.

 Pakaian yang tipis


akan membantu
mengurangi
penguapan tubuh.
 Obat antiperetik
membantu klien
menurunkan suhu
tubuh.
5 Resiko Tujuan :  Pantau masukan  penurunan

kurangnya Tidak terjadi dan haluaran sirkulasi sekunder

volume cairan terhadap destruksi


kekurangan cairan
berhubungan  Timbang BB tiap SDM dan
tubuh.
dengan hari pencetusnya pada

peningkatan  Pantau TD dan tubulus ginjal

evaporasi frekwensi jantung  pemasukan lebih

 dari keluaran dapat

 Perhatikan adanya mengindikasikan

mual dan demam memperburuk/obst

 Anjurkan ruksi ginjal

masukan cairan 3  perubahan dapat

– 4 l/hari bila menunjukkan efek

masukan oral hipovolemik

dimulai  mempengaruhi

 Berikan cairan iv pemasukan,

sesuai indikasi kebutuhan cairan

 Pantau dan rute pergantian

pemeriksaan  meningkatkan

laboratorium aliran urine

 mempertahankan

keseimbangan

cairan/elektrolit

dan menurunkan

komplikasi ginjal

 mengidentifikasi

kemungkinan

terjadinya

perdarahan samar

Anda mungkin juga menyukai