A. DEFINISI
Difteri adalah penyakit akut yang disebabkan oleh Corynebacterium
diphtheria, suatu bakteri Gram positif fakultatif anaerob. Penyakit ini ditandai
dengan sakit tenggorokan, demam, malaise dan pada pemeriksaan ditemukan
pseudomembran pada tonsil, faring, dan / atau rongga hidung (Buescher ES, 2016)
Difteri adalah penyakit yang ditularkan melalui kontak langsung atau
droplet dari penderita. Pemeriksaan khas menunjukkan pseudomembran tampak
kotor dan berwarna putih keabuan yang dapat menyebabkan penyumbatan karena
peradangan tonsil dan meluas ke struktur yang berdekatan sehingga dapat
menyebabkan bull neck. Membran mudah berdarah apabila dilakukan
pengangkatan Buescher ES, 2016).
B. KLASIFIKASI
Berdasarkan tingkat keparahannya, dibagi menjadi 3 tingkat yaitu (Nurarif &
Kusuma, 2015) :
1. Infeksi ringan : bila pseudomembran hanya terdapat pada mukosa hidung
dengan gejala hanya nyeri menelan.
2. Infeksi sedang : bila pseudomembran telah menyaring sampai faring (dinding
belakang rongga mulut), sampai menimbulkan pembengkakan pada laring.
3. Infeksi berat : bila terjadi sumbatan nafas yang berat disertai dengan gejala
komplikasi seperti miokarditis (radang otot jantung), paralysis (kelemahan
anggota gerak) dan nefritis (radang ginjal).
Berdasarkan letaknya, digolongkan sebagai berikut :
1. Difteri hidung
Gejala paling ringan dan paling jarang (2%). Mula-mula tampak pilek,
kemudian secret yang keluar tercampur darah sedikit yang berasal dari
pseudomembran. Penyebaran pseudomembran dapat mencapai faring dan
laring.
2. Difteri faring dan tonsil ( Difteri Fausial ).
Difteri jenis ini merupakan difteri paling berat karena bisa mengancam nyawa
penderita akibat gagal nafas. Paling sering dijumpai ( 75%). Gejala mungkin
ringan tanpa pembentukan pseudomembran. Dapat sembuh sendiri dan
memberikan imunitas pada penderita.Pada kondisi yang lebih berat diawali
dengan radang tenggorokan dengan peningkatan suhu tubuh yang tidak terlalu
tinggi, pseudomembran awalnya hanya berupa bercak putih keabu-abuan yang
cepat meluas ke nasofaring atau ke laring, nafas berbau, dan ada pembengkakan
regional leher tampak seperti leher sapi (bull’s neck). Dapat terjadi sakit
menelan, dan suara serak serta stridor inspirasi walaupun belum terjadi
sumbatan laring.
3. Difteri laring dan trakea
Lebih sering merupakan penjalaran difteri faring dan tonsil, daripada yang
primer. Gejala gangguan nafas berupa suara serak dan stridor inspirasi jelas dan
bila lebih berat timbul sesak nafas hebat, sianosis, dan tampak retraksi
suprasternal serta epigastrium. Ada bull’s neck, laring tampak kemerahan dan
sembab, banyak sekret, dan permukaan ditutupi oleh pseudomembran. Bila
anak terlihat sesak dan payah sekali perlu dilakukan trakeostomi sebagai
pertolongan pertama.
4. Difteri kutaneus dan vaginal
Dengan gejala berupa luka mirip sariawan pada kulit dan vagina dengan
pembentukan membrane diatasnya. Namun tidak seperti sariawan yang sangat
nyeri, pada difteri, luka yang terjadi justru tidak terasa apa-apa. Difteri dapat
pula timbul pada daerah konjungtiva dan umbilikus.
5. Diphtheria Kulit, Konjungtiva, Telinga
Diphtheria kulit berupa tukak di kulit, tepi jelas dan terdapat membran pada
dasarnya. Kelainan cenderung menahun. Diphtheria pada mata dengan lesi pada
konjungtiva berupa kemerahan, edema dan membran pada konjungtiva
palpebra. Pada telinga berupa otitis eksterna dengan sekret purulen dan berbau.
C. ETIOLOGI
Penyebabnya adalah Corynebacterium diphteriae. Bakteri ini ditularkan melalui
percikan ludah yang berasal dari batuk penderita atau benda maupun makanan
yang telah terkontaminasi oleh bakteri. Biasanya bakteri ini berkembangbiak pada
atau disekitar selaput lender mulut atau tenggorokan dan menyebabkan
peradangan. Sifat bakteri Corynebacterium diphteriae :
1. Gram positif
2. Aerob
3. Polimorf
4. Tidak bergerak
5. Tidak berspora
Disamping itu, bakteri ini dapat mati pada pemanasan 60º C selama 10 menit,
tahan beberapa minggu dalam es, air, susu dan lendir yang telah mengering.
Terdapat tiga jenis basil yaitu bentuk gravis, mitis, dan intermedius atas dasar
perbedaan bentuk koloni dalam biakan agar darah yang mengandung kalium
telurit (Nurarif & Kusuma, 2015).
D. MANIFESTASI KLINIS
Tanda dan Gejala nya yaitu :
1. Demam, suhu tubuh meningkat sampai 38,9 derjat Celcius,
2. Batuk dan pilek yang ringan.
3. Sakit dan pembengkakan pada tenggorokan
4. Mual, muntah , sakit kepala.
5. Adanya pembentukan selaput di tenggorokan berwarna putih ke abu abuan
kotor.
6. Kaku leher
Keluhan awal yang paling sering adalah nyeri tenggorokan, nausea, muntah,
dan disfagia. Selain itu ditandai dengan adanya membran semu di tonsil dan di
sekitarnya, serta pelepasan eksotoksin, yang dapat menimbulkan gejala umum
(seperti penyakit infeksi) atau lokal (seperti tampak keluhan nyeri) (Nurarif &
Kusuma, 2015).
E. PATOFISIOLOGI
Biasanya bakteri berkembang biak pada atau di sekitar permukaan selaput
lendir mulut atau tenggorokan dan menyebabkan peradangan. Bila bakteri sampai
ke hidung, maka hidung akan berair. Peradangan bisa menyebar dari tenggorokan
ke pita suara (laring) dan menyebabkan pembengkakan sehingga saluran udara
menyempit dan terjadi gangguan pernafasan. Bakteri ini ditularkan melalui
percikan ludah dari batuk penderita atau benda maupun makanan yang telah
terkontaminasi oleh bakteri. Ketika telah masuk dalam tubuh, bakteri melepaskan
toksin atau racun. Toksin ini akan menyebar melalui darah dan bisa menyebabkan
kerusakan jaringan di seluruh tubuh, terutama jantung dan saraf.
Akibat yang ditimbulkan oleh penyakit ini banyak bergantung pada efek
eksotoksin yang diproduksi. Toksin menghambat pembuatan protein sel sehingga
sel mati. Nekrosis jaringan pada tempat menempelnya kuman akan menunjang
perkembang-biakan kuman dan produksi toksin selanjutnya, serta pembentukan
membran yang melekat erat pada dasarnya. Basil hidup dan berkembang biak pada
traktus respiratorius bagian atas, terlebih bila terdapat peradangan kronis pada
tonsil, sinus dan lain-lain. Tetapi walaupun jarang, basil dapat pula hidup pada
daerah vulva, telinga dan kulit. Pada tempat ini basil membentuk pseudomembran
dan melepaskan eksotoksin. Pseudomembran dapat timbul lokal atau kemudian
menyebar dari faring atau tonsil ke laring dan seluruh traktus respiratorius bagian
atas sehingga menimbulkan gejala yang lebih berat. Kelenjar getah bening
sekitarnya akan mengalami hiperplasia dan mengandung toksin (Nurarif &
Kusuma, 2015).
F. KOMPLIKASI
Komplikasi yang timbul pada pasien difteri (Nurarif & Kusuma, 2015) adalah:
1. Miokarditis
Biasanya timbul akhir minggu kedua atau awal minggu ketiga perjalanan
penyakit. Pemerikasaan Fisik : Irama derap, bunyi jantung melemah atau
meredup, kadang-kadang ditemukan tanda-tanda payah jantung.
2. Kolaps perifer
3. Obstruksi jalan nafas dengan segala akibatnya, bronkopneumonia dan
atelektasis
4. Urogenital : dapat terjadi nefritis
Penderita difteri (10%) akan mengalami komplikasi yg mengenai sistem susunan
saraf terutama sistem motorik. Terjadi pada akhir minggu pertama perjalanan
penyakit.
G. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Langkah - langkah pemeriksaan :
1. Bakteriologik.
Preparat apusan kuman difteri dari bahan apusan mukosa hidung dan tenggorok
(nasofaringeal swab)
2. Darah rutin : Hb, leukosit, hitungjenis, eritros it, albumin
3. Urin lengkap : aspek, protein dan sedimen
4. Enzim CPK, segera saat masuk RS
5. Ureum dan kreatinin (bila dicurigai ada komplikasi ginjal)
6. EKG secara berkala untuk mendeteksi toksin basil menyerang sel otot jantung
dilakukan sejak hari 1 perawatan lalu minimal 1x seminggu, kecuali bila ada
indikasi biasa diiakukan 2-3xseminggu.
7. Pemeriksaan radiografi toraks untuk mengecek adanya hiperinflasi.
8. Tes schick (Nurarif & Kusuma, 2015).
H. PENATALAKSANAAN
Penatalaksanaan yang dapat dilakukan (Nurarif & Kusuma, 2015) :
Tindakan Umum :
1. Perawatan tirah baring selama 2 minggu dalam ruang isolasi
2. Memperhatikan intake cairan dan makanan. Bentuk makanan disesuaikan
dengan toleransi, untuk hal ini dapat diberikan makanan lunak, saring/cair, bila
perlu sonde lambung jika ada kesukaran menelan (terutama pada paralisis
palatum molle dan otot-otot faring).
3. Pastikan kemudahan defekasi. Jika perlu berikan ohat-obat pembantu defekasi
(klisma, laksansia, stool softener) untuk mencegah mengedan berlebihan.
4. Bila anak gelisah beri sedative berupa diazepam/luminal
5. Pemberian antitusif untukmengurangi batuk (difteri laring)
6. Aspirasi sekret secara periodik terutama untuk difteri laring.
7. Bila ada tanda-tanda obstruksi jalan nafas segera berikan Oksigen atau
Trakeostomi
Tindakan Spesifik :
1. Serum Anti Difteri (SAD) Dosis diberikan berdasarkan atas luasnya membran
dan beratnya penyakit. Dosis 40.000 IU untuk difteri sedang, yakni luas
membran menutupi sebagian/seluruh tonsil secara unilateral/bilateral. Dosis
80.000 IU untuk difteri berat, yakni luas membran menutupi hingga meiewati
tonsil, meluas ke uvula, palatum molle dan dinding faring. Dosis 120.000 IU
untuk difteri sangat berat, yakni ada bull neck, kombinasi difteri laring dan
faring, komplikasi berupa miokarditis, kolaps sirkulasi dan kasus lanjut. SAD
diberikan dalam dosis tunggal melalui IV dengan cara melarutkannya dalam
200 cc NaCl 0,9 %. Pemberian selesai dalam waktu 2 jam (sekitar 34
tetes/menit).
2. Antibiotik Penicillin prokain diberikan 100.000 IU/kgBB selama 10 hari,
maksimal 3 gram/hari. Eritromisin (bila alergi PP) 50 mg/kg BB secara oral 3-4
kali/hari selama 10 hari.
3. Kortikosteroid Diindikasikan pada difteri berat dan sangat berat (membran luas,
komplikasi bull neck). Dapat diberikan Prednison 2 mg/kg BB/hari selama 3
minggu atau Deksametason 0,5-1 mg/kgBB/hari secara IV (terutama untuk
toksemia).
I. WOC
(Terlampir)
J. PENATALAKSANAAN
a. Pengkajian
1. Identitas klien
Meliputi nama, umur (kebanyakan terjadi pada usia tua), jenis kelamin,
pendidikan, alamat, pekerjaan, agama, suku bangsa, tanggal dan jam MRS,
nomor register, diagnose medis.
2. Keluhan utama
Keluhan yang paling dirasakan pasien : suhu tubuh diatas normal.
3. Riwayat penyakit sekarang
Riwayat penyakit yang di derita pasien saat berada di rumah sakit : suhu
tubuh diatas normal, menggigil, mual muntah.
4. Riwayat penyakit dahulu
Adanya riwayat penyakit seperti hipertensi, diabetes militus, penyakit
jantung, anemia, riwayat trauma kepala, kontrasepsi oral yang lama,
penggunaan obat-obat anti koagulan, aspirin, vasodilator, obat-obat adiktif,
kegemukan.
5. Riwayat penyakit keluarga
Adanya riwayat keluarga yang menderita hipertensi ataupun diabetes
militus.
6. Riwayat Imunisasi
Imunisasi yang pernah diperoleh
7. Aktivitas/istirahat:
Adanya kesulitan aktivitas akibat kelemahan
8. Sirkulasi
Adanya riwayat penyakit jantung, katup jantung, disritmia, CHF,
polisitemia dan hipertensi arterial. Akral hangat atau akral dingin, pucat,
adanya sianosis, CRT <2 detik atau >2 detik, nadi teraba kuat atau lemah,
irama jantung teratur atau tidak teratur.
9. Integritas ego.
Emosi labil, respon yang tak tepat, mudah marah, kesulitan untuk
mengekspresikan diri.
10. Eliminasi
Perubahan kebiasaan BAB dan BAK. Misalnya inkoontinentia urine,
anuria, distensi kandung kemih, distensi abdomen, suara usus menghilang.
11. Makanan/cairan :
Nausea, vomiting, daya sensori hilang, di lidah, pipi, tenggorokan,
dysfagia.
12. Neuro Sensori
Pusing, sinkope, sakit kepala, perdarahan sub arachnoid, dan intrakranial.
Kelemahan dengan berbagai tingkatan, gangguan penglihatan, kabur,
dyspalopia, lapang pandang menyempit. Hilangnya daya sensori pada
bagian yang berlawanan dibagian ekstremitas dan kadang-kadang pada sisi
yang sama di muka.
13. Nyaman/nyeri
Sakit kepala, perubahan tingkah laku kelemahan, tegang pada otak/muka.
14. Respirasi
Memeriksa ventilasi meningkat/menurun, kapasitas vital meningkat /
menurun, diameter thoraks anterior-posterior meningkat/menurun, tekanan
ekspirasi meningkat/menurun, tekanan inspirasi meningkat / menurun,
ada/tidak dipsnea, ada/tidak pernapasan cuping hidung, frekuensi napas,
kedalaman napas, ketidakmampuan menelan, batuk, melindungi jalan
nafas. Adanya suara nafas tambahan : whezing, ronchi, veskuler,
bronkhoveskuler.
15. Keamanan
Sensorik motorik menurun atau hilang mudah terjadi injury. Perubahan
persepsi dan orientasi Tidak mampu menelan sampai ketidakmampuan
mengatur kebutuhan nutrisi. Tidak mampu mengambil keputusan.
16. Interaksi sosial
Gangguan dalam bicara, ketidakmampuan berkomunikasi.
b. DIAGNOSA KEPERAWATAN
1. Hipertermia.
2. Nyeri akut.
3. Bersihan jalan nafas tidak efektif.
4. Pola nafas tidak efektif.
5. Resiko defisit nutrisi.
6. Resiko Infeksi
7. Gangguan komunikasi verbal
8. Intoleransi aktivitas
c. INTERVENSI KEPERAWATAN
Peningkatan perluna
metabolisme. nasogastrik.
Faktor 7. Identifikasi
psikologis. Terapeutik
1. Berikan makanan
tinggi serat untuk
mencegah
konstipasi.
2. Berikan mkanan
tinggi kalori dan
tinggi protein.
3. Berikan suplemen,
jika perlu
4. Hentikan
pemberian makan
melalui nasogatrik
jik asupan oral
dapat ditoleransi.
5. Fasilitasi
menentukan
pedoman diet.
Edukasi
1. Anjurkan posisi
duduk, jika
mampu
2. Ajarkan diet yang
diprogramkan.
Kolaborasi
1. Kolaborasi
pemberian
medikasi sebelum
makan
2. Kolaborasi dengan
ahli gizi untuk
menentukan
jumlah kalori dan
jenis nutrien yang
dibutuhkan.
6. Resiko Infeksi Setelah dilakukan Pencegahan Infeksi
Faktor resiko: tindakan keperawatan Observasi:
1. Penyakit selama ...x24 jam tingkat 1. Monitor tanda
kronis (mis. infeksi menurun dan gejala
Diabetes Kriteria hasil : infeksi lokal
melitus) 1. Demam menurun dan iskemik
2. Efek prosedur 2. Kemerahan Terapeutik :
invasif menurun 1. Batasi jumlah
3. Malnutrisi 3. Nyeri menurun pengunjung
4. Peningkatan 4. Bengkak 2. Cuci tangan
paparan menurun sebelum
organisme 5. Kadar sel darah kontak dengan
patogen putih membaik pasien dan
lingkungan lingkungan
pasien
3. Pertahankan
teknik aseptik
pada pasien
beresiko tinggi
Edukasi:
1. Jelaskan tanda
dan gejala
infeksi
2. Ajarkan cara
mencuci
tangan dengan
benar
3. Ajarkan etika
batuk
4. Anjurkan
meningkatkan
asupan nutrisi
5. Anjurkan
meningkatkan
asupan cairan
Kolaborasi :
1. Pemberian
imunisasi (jika
perlu)
7. Gangguan Setelah dilakukan asuhan Promosi Komunikasi
komunikasi verbal keperawatan selama ... x Efektif
…jam komunikasi verbal 1. Observasi
Penyebab: pasien meningkat dengan a. Identifikasi
□ Penurunan kriteria hasil: prioritas metode
sirkulasi 1. Kemampuan bicara, komunikasi
serebral mendengar meningkat yang digunakan
□ Gangguan 2. Kesesuaian ekspresi sesuai dengan
neuromuskular wajah atau tubuh kemampuan
□ Gangguan meningkat b. Identifikasi
pendengaran 3. afasia menurun sumber pesan
□ Gangguan secara jelas
muskuloskelet 3. Terapeutik
al a. Fasilitas
□ Kelainan mengungkapkan
palatum isi pesan dengan
□ Hambatan jelas
fisik (mis. b. Fasilitas
Terpasang penyampaian
trakheostomi, struktur pesan
intubasi, secara logis
krikotiroidekto c. Dukungan
mi) pasien dan
□ Hambatan keluarga
indivisu (mis, menggunakan
ketakkutan, komunikasi
kecemasan, efektif
merasa malu, 4. Edukasi
emosional) a. Jelaskan
perlunya
DS: komunikasi
□ (tidak tersedia) efektif
DO: b. Ajarkan
□ Tidak mampu memformulasik
berbicara atau an pesan dengan
mendengar dengan tepat
□ Menunjukkan
respon tidak
sesuai
□ Afasia
□ Disfasia
□ Apraksia
□ Disleksia
□ Disartria
□ Afonia
□ Dislasia
□ Pelo
□ Gagap
□ Sulit
menyusun kata
□ Verbalisasi
tidak tepat
kondisi bertahap
istirahat 5. Anjurkan
Gambaran menghubungi
atau setelah
aktivitas Kolaborasi
sianosis
DAFTAR PUSTAKA
PPNI. (2019). Standar Luaran Keperawatan Indonesia Definisi Dan Kriteria Hasil
Keperawatan, Edisi 1. Jakarta : DPP PPNI.