H
DENGAN DIAGNOSA MEDIS GUILLAIN BARRE SYNDROME
DISERTAI GAGAL NAFAS DI RUANG IGD RUMKITAL
Dr.RAMELAN SURABAYA
i
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL
LEMBAR PENGESAHAN ........................................................................... i
DAFTAR ISI................................................................................................... ii
KATA PENGANTAR.................................................................................... iii
ii
KATA PENGANTAR
Puji syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa atas rahmat, sehingga kami dapat
bantuan dari berbagai pihak, untuk itu dalam kesempatan ini perkenankanlah kami
Ceria Nurhayati, S.Kep., Ns, M.,Kep dan Pembimbing Lahan Kukuh Widodo.,
S.Psi.,S.Kep.,Ns.
Kami menyadari makalah ini masih jauh dari sempurna. Karena itu, kritik dan
saran dari pembaca sangat kami perlukan dalam perbaikan makalah ini. Semoga
Penulis
Kelompok 2E
iii
BAB 1
PENDAHULUAN
Sindroma Guillain-Barre (GBS) atau disebut juga dengan radang poli neuropati
demyelinasi akut (AIDP), poli radikuloneurtis idiopati akut, poli neuritis ididopatik
akut, Polio prancis, paralisis asendens landry, dan sindroma landry guillaine barre
adalah suatu penyakit autoimun yang menyerang sistem saraf perifer, dan biasanya
dicetuskan oleh suatu proses infeksi yang akut. GBS termasuk dalam kelompok
penyakit neuropati perifer.
Menurut WHO, GBS memiliki angka kejadian yang cukup rendah, yaitu satu
diantara 100 ribu penduduk. Namun, sejak era dikasi polio besar-besaran pada
1990an, GBS telah menggeser posisi polio sebagai penyebab tetraparesisi akut.
Pasien GBS kebanyakan berusia muda dan jarang terjadi pada usia tua. Angka
kematiannya sangat tinggi, yaitu sekitar 30% dari seluruh kejadian GBS. Apabila
tidak terlambat ditangani, GBS memiliki angka harapan sembuh mencapai 97,5%.
Walaupun jarnag terjadi, sebagai penyakit akut GBS, bisa terjadi berulang pada 5%
kasus. Dalam kondisi ini, GBS menghasilkan suatu diagnosis baru yaitu CIDP
(Chronic Inflamatory Demyelinating Polyneuropaty).
Terdapat tiga fase yang menyertai pada proses patologi GBS. Yang pertama
adalah fase akut. Fase akut dimulai pada awitan gejala definitif yang pertama dan
berakhir satu hingga tiga minggu kemudian. Fase plateu berlangsung beberapa hari
1
sampai dua minggu. Dan yang terakhir fase pemulihan terjadi bersamaan dengan
remielinisasi dan pertumbuhan kembali tonjolan akson. Fase ini melampaui empat
sampai enam bulan, tetapi dapat berlangsung hingga dua sampai tiga tahun jika
penyakit itu berat.apapun stadiumnya, GBS adalah suatu kegawatan neurologi.
Sebelum otot pernapasan terkena, sebaiknya GBS harus ditangani. Karena GBS
adalah suatu kegawatdaruratan, pasien sebaiknya opname di rumah sakit. Lama
opname bervariasi dan bergantung pada keparahan penyakit. Pasien yang tidak di
opname sering kali datang ke rumah sakit dalam kondisi sangat terlambat dan dengan
prediksi kesembuhan (prognosis) yang buruk. Penanganan yang terlambat dapat
menyebabkan kematian yang tidak bisa dihindari.
1.3 Tujuan
1.4 Manfaat
2. Laporan kasus ini bisa dijadikan masukan untuk rumah sakit dalam upaya
meningkatkan mutu asuahan keperawatan pada klien dengan GBS.
2
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.2 Etiologi
Etiologi GBS sampai saat ini masih belum dapat diketahui dengan
pastipenyebabnya dan masih menjadi bahan perdebatan. Beberapa keadaan atau
penyakit yang mendahului dan mungkin ada hubungannya dengan terjadinya GBS,
antara lain:
Infeksi
Vaksinasi
3
Pembedahan
Penyakit sistematik :
Keganasan
Systemic lupus erythematosus
Tiroiditis
Penyakit Addison
Kehamilan atau dalam masa nifas
GBS sering sekali berhubungan dengan infeksi akut non spesifik. Insidensi
kasus GBS yang berkaitan dengan infeksi ini sekitar antara 56% - 80%, yaitu 1
sampai 4 minggu sebelum gejala neurologi timbul seperti infeksi saluran pernafasan
atas atau infeksi gastrointestinal.
Vaccinia/smallpox Mumps
Rubella
Hepatitis
Coxsackle
Echo
jejuni
Parathypoid
4
Mycoplasma Brucellosis
pneumonia
Chlamydia
Legionella
Listeria
2.3 Klasifikasi
Guillan-Barre
Syndrome
acute inflammatory
demyelinating polyneuropaty (AIDP) Axonal Pattern Fisher Syndrome
Acute Motor
Sensory Axonal Neuropathy (AMSAN)
5
1. Acute Inflammatory Demyelinating Polyradiculoneuropathy
Acute inflammatory demyelinating polyradiculoneuropathy (AIDP) adalah jenis
paling umum ditemukan pada SGB, yang juga cocok dengan gejala asli dari
sindrom tersebut. Manifestasi klinis paling sering adalah kelemahan anggota
gerak proksimal dibanding distal. Saraf kranialis yang paling umum terlibat
adalah nervus facialis. Penelitian telah menunjukkan bahwa pada AIDP terdapat
infiltrasi limfositik saraf perifer dan demielinasi segmental makrofag.
2. Acute Motor Axonal Neuropathy
Acute motor axonal neuropathy (AMAN) dilaporkan selama musim panas SGB
epidemik pada tahun 1991 dan 1992 di Cina Utara dan 55% hingga 65% dari
pasien SGB merupakan jenis ini. Jenis ini lebih menonjol pada kelompok anak
anak, dengan ciri khas degenerasi motor axon. Klinisnya, ditandai dengan
kelemahan yang berkembang cepat dan sering dikaitkan dengan kegagalan
pernapasan, meskipun pasien biasanya memiliki prognosis yang baik. Sepertiga
dari pasien dengan AMAN dapat hiperrefleks, tetapi mekanisme belum jelas.
Disfungsi sistem penghambatan melalui interneuron spinal dapat meningkatkan
rangsangan neuron motorik.
3. Acute Motor Sensory Axonal Neuropathy
Acute Motor Sensory Axonal Neuropathy (AMSAN) adalah penyakit akut yang
berbeda dari AMAN, AMSAN juga mempengaruhi saraf sensorik dan motorik.
Pasien biasanya usia dewasa, dengan karakteristik atrofi otot. Dan pemulihan
lebih buruk dari AMAN.
4. Miller Fisher Syndrome
Miller Fisher Syndrome adalah karakteristik dari triad ataxia, arefleksia, dan
oftalmoplegia. Kelemahan pada ekstremitas, ptosis, facial palsy, dan bulbar
palsy mungkin terjadi pada beberapa pasien. Hampir semua menunjukkan IgG
auto antibodi terhadap ganglioside GQ1b. Kerusakan imunitas tampak terjadi di
daerah paranodal pada saraf kranialis III, IV, VI, dan dorsal root ganglia.
5. Acute Neuropatic panautonomic
Acute Neuropatic panautonomic adalah varian yang paling langka pada SGB.
Kadang-kadang disertai dengan ensefalopati. Hal ini terkait dengan tingkat
kematian tinggi, karena keterlibatan kardiovaskular, dan terkait disritmia.
6
Gangguan berkeringat, kurangnya pembentukan air mata, mual, disfaga,
sembelit dengan obat pencahar atau bergantian dengan diare sering terjadi pada
kelompok pasien ini. Gejala nonspesifik awal adalah kelesuan, kelelahan, sakit
kepala, dan inisiatif penurunan diikuti dengan gejala otonom termasuk ortostatik
ringan. Gejala yang paling umum saat onset berhubungan dengan intoleransi
ortostatik, serta disfungsi pencernaan (Andary, 2011). Ensefalitis Batang Otak
Bickerstaff’s (BBE)Tipe ini adalah varian lebih lanjut dari SGB. Hal ini
ditandai dengan onset akut oftalmoplegia, ataksia, gangguan
kesadaran, hiperrefleks atau babinsky sign. Perjalanan penyakit dapat
monophasic atau terutama di otak tengah, pons, dan medula. BEE meskipun
presentasi awal parah biasanya memiliki prognosis baik. MRI memainkan
peran penting dalam diagnosis BEE. Sebagian besar pasien BEE telah
dikaitkan dengan SGB aksonal, dengan indikasi bahwa dua gangguan yang
erat terkait dan membentuk spectrum lanjutan (Seneviratne, 2003).
7
Gejala awal antara lain adalah: rasa seperti ditusuk-tusuk jarum diujung jari
kaki atau tangan atau mati rasa di bagian tubuh tersebut. Kaki terasa berat dan kaku
atau mengeras, lengan terasa lemah dan telapak tangan tidak bisa menggenggam erat
atau memutar seusatu dengan baik (buka kunci, buka kaleng dll)
Gejala-gejala awal ini bisa hilang dalam tempo waktu beberapa minggu,
penderita biasanya tidak merasa perlu perawatan atau susah menjelaskannya pada
tim dokter untuk meminta perawatan lebih lanjut karena gejala-gejala akan hilang
pada saat diperiksa.
Gejala tahap berikutnya disaaat mulai muncul kesulitan berarti, misalnya:
kaki susah melangkah, lengan menjadi sakit lemah, dan kemudian dokter
menemukan syaraf refleks lengan telah hilang fungsi.
Gejala klinis lainnya yaitu antara lain sebagai berikut :
1. Kelumpuhan
manifestasi klinis utama adalah kelumpuhan otot-otot eksremitas tipe
lower motor newron. Pada sebagian besar kellumphan di mulai dari kedua
eksremitas bawah kemudian menyebar secara asenden ke badan anggota
gerak atas dan saraf kranialis kadang-kadang juga bisa ke empat anggota
di kenai secara anggota kemudian menyebar ke badan dan saraf kranialis.
2. Gangguan sensibilitas
parastesia biasanya lebih jelas pada bagian distal eksremitas, muka juga
bisa di kenai dengan distribusi sirkumolar. Defesit sensori objektif
biasanya minimal. Rasa nyeri otot sering di temui seperti rasa nyeri setelah
suatu aktivitas fisik
3. Saraf kranilis
yang paling sering di kenal adalah N.VI. kelumpuhan otot sering di mulai
pada satu sisi tapi kemudian segera menjadi bilateral sehingga bisa di
temukan berat antara kedua sisi. Semua saraf kranialis bisa di kenai
kecuali N.I dan N.VIII. diplopia bisa terjadi akibat terkena N.IV atau N.III.
bila N.IX dan N.X terkena akan menyebabkan gangguan sukar menelan
disfonia dan pada kasus yang berat menyebabkab pernapasan karena
paralis dan laringeus
8
4. Gangguan fungsi otonom
gangguan fungsi otonom di jumpai pada 25% penderita GBS. Gangguan
tersebut berupa sinus takikardi atau lebih jarang sinus bradikardi, muka
jadi merah ( facial flushing ), hipertensi atau hipotensi yang berfluktusi,
hilangnya keringat atau episodik profuse diphoresis. Retensi atau
inkontenensia urin jarang di jumpai. Gangguan otonom ini jarang menetap
lebih dari satu atau dua minnggu.
5. Kegagalan pernapasan
kegagalan pernapasan merupakan koomplikasi utam yang dapat berakibat
fatal bila tidak di tangani dengan baik. Kegagalan pernapasan ini di
sebabkan paralisis pernapasan dan kelumpuhan otot-otot pernapasan, yang
di jumpai pada 10-33% penderita
6. Papiledema
kadang-kadang di jumpai papiledem, penyebabnya belum di ketahui
dengan pasti di duga karena penindian kadar protein dalam otot yang
menyebabkan penyumbatan arachcoidales sehingga absorbsi cairan otak
berkurang
2.5 Patofisiologi
tidak ada yang mengetahui dengan pasti bagaimana GBS terjadi dan dapat
menyerang sejumlah orang. yang diketahui ilmuwan sampai saat ini adalah bahwa
sistem imun menyerang tubuhnya sendiri, dan menyebabkan suatu penyakit yang
disebut sebagai penyakit autoimun. umumnya sel-sel imunitas ini menyerang benda
asing dan organisme pengganggu; namun pada gbs, sistem imun mulai
menghancurkan selubung myelin yang mengelilingi akson saraf perifer, atau bahkan
akson itu sendiri. terdapat sejumlah teori mengenai bagaimana sistem imun ini tiba-
tiba menyerang saraf, namun teori yang dikenal adalah suatu teori yang menyebutkan
bahwa organisme (misalnya infeksi virus ataupun bakteri) telah mengubah keadaan
alamiah sel-sel sistem saraf, sehingga sistem imun mengenalinya sebagai sel-sel
asing. organisme tersebut kemudian menyebabkan sel-sel imun, seperti halnya
limfosit dan makrofag, untuk menyerang myelin. limfosit t yang tersensitisasi
9
bersama dengan limfosit b akan memproduksi antibodi melawan komponen-
komponen selubung myelin dan menyebabkan destruksi dari myelin.
Sumber https://www.share,net//anatomi/dalatu/patofis,com
Akson adalah suatu perpanjangan sel-sel saraf, berbentuk panjang dan tipis;
berfungsi sebagai pembawa sinyal saraf. Beberapa akson dikelilingi oleh suatu
selubung yang dikenal sebagai myelin, yang mirip dengan kabel listrik yang
terbungkus plastik. Selubung myelin bersifat insulator dan melindungi sel-sel saraf.
Selubung ini akan meningkatkan baik kecepatan maupun jarak sinyal saraf yang
ditransmisikan. Sebagai contoh, sinyal dari otak ke otot dapat ditransmisikan pada
kecepatan lebih dari 50 km/jam.
Myelin tidak membungkus akson secara utuh, namun terdapat suatu jarak
diantaranya, yang dikenal sebagai Nodus Ranvier; dimana daerah ini merupakan
daerah yang rentan diserang. Transmisi sinyal saraf juga akan diperlambat pada
daerah ini, sehingga semakin banyak terdapat nodus ini, transmisi sinyal akan
semakin lambat.
Pada GBS, terbentuk antibodi atau immunoglobulin (Ig) sebagai reaksi
terhadap adanya antigen atau partikel asing dalam tubuh, seperti bakteri ataupun
virus. Antibodi yang bersirkulasi dalam darah ini akan mencapai myelin serta
merusaknya, dengan bantuan sel-sel leukosit, sehingga terjadi inflamasi pada saraf.
1
Sel-sel inflamasi ini akan mengeluarkan sekret kimiawi yang akan mempengaruhi sel
Schwan, yang seharusnya membentuk materi lemak penghasil myelin. Dengan
merusaknya, produksi myelin akan berkurang, sementara pada waktu bersamaan,
myelin yang ada telah dirusak oleh antibodi tubuh. Seiring dengan serangan yang
berlanjut, jaringan saraf perifer akan hancur secara bertahap. Saraf motorik, sensorik,
dan otonom akan diserang; transmisi sinyal melambat, terblok, atau terganggu;
sehingga mempengaruhi tubuh penderita. Hal ini akan menyebabkan kelemahan otot,
kesemutan, kebas, serta kesulitan melakukan aktivitas sehari-hari, termasuk
berjalan.10 Untungnya, fase ini bersifat sementara, sehingga apabila sistem imun
telah kembali normal, serangan itu akan berhenti dan pasien akan kembali pulih.
Seluruh saraf pada tubuh manusia, dengan pengecualian pada otak dan
medulla spinalis, merupakan bagian dari sistem saraf perifer, yakni terdiri dari saraf
kranialis dan saraf spinal. Saraf-saraf perifer mentransmisikan sinyal dari otak dan
medulla spinalis, menuju dan dari otot, organ, serta kulit. Tergantung fungsinya,
saraf dapat diklasifikasikan sebagai saraf perifer motorik, sensorik, dan otonom
(involunter).
Pada GBS, terjadi malfungsi pada sistem imunitas sehingga muncul
kerusakan sementara pada saraf perifer, dan timbullah gangguan sensorik, kelemahan
yang bersifat progresif, ataupun paralisis akut. Karena itulah GBS dikenal sebagai
neuropati perifer.
GBS dapat dibedakan berbagai jenis tergantung dari kerusakan yang terjadi.
Bila selubung myelin yang menyelubungi akson rusak atau hancur , transmisi sinyal
saraf yang melaluinya akan terganggu atau melambat, sehingga timbul sensasi
abnormal ataupun kelemahan. Ini adalah tipe demyelinasi; dan prosesnya sendiri
dinamai demyelinasi primer.
Akson merupakan bagian dari sel saraf 1, yang terentang menuju sel saraf 2.
Selubung myelin berbentuk bungkus, yang melapisi sekitar akson dalam beberapa
lapis. Pada tipe aksonal, akson saraf itu sendiri akan rusak dalam proses demyelinasi
sekunder; hal ini terjadi pada pasien dengan fase inflamasi yang berat. Apabila akson
ini putus, sinyal saraf akan diblok, dan tidak dapat ditransmisikan lebih lanjut,
sehingga timbul kelemahan dan paralisis pada area tubuh yang dikontrol oleh saraf
tersebut. Tipe ini terjadi paling sering setelah gejala diare, dan memiliki prognosis
1
yang kurang baik, karena regenerasi akson membutuhkan waktu yang panjang
dibandingkan selubung myelin, yang sembuh lebih cepat.
Tipe campuran merusak baik akson dan myelin. Paralisis jangka panjang pada
penderita diduga akibat kerusakan permanen baik pada akson serta selubung saraf.
Saraf-saraf perifer dan saraf spinal merupakan lokasi utama demyelinasi, namun,
saraf-saraf kranialis dapat juga ikut terlibat.
1
2.6 WOC
Sumber : https://www.share,net//mobile/dalatu/WOC.com
Selaput myelin hilang akibat dari respon alergi, respons autoimun, hipoksemia, toksik
kimia, dan insufisiensi vaskuler.
Proses Demielinasi
1
Kelemahan
Gangguan pemenuhan nutrisi dan cairan fisik
Risiko Tinggi gagal pernapasan (ARDS), penurunan kemampuan batuk, peningkatan sekresi mucus.
umum, paralisis otot wajah
Koma paru.
Risiko tinggi infeksi saluran napas bawah dan parenkim
Penurunan filtrasi
glomerulus
Gangguan frekuensi jantung
kematian
Prognosis penyakit kurang baik Anuria
Kecemasan Keluarga
2
2
akibat fase penyembuhan yang lambat dan tidak sempurna. sekitar 10%
penderita menunjukkan penyembuhan yang tidak sempurna, dengan periode
penyembuhan yang lebih panjang (lebih dari 3 minggu) serta berkurangnya
KHS dan denervasi EMG.
5. Pemeriksaan darah
Pada darah tepi, didapati leukositosis polimorfonuklear sedang
dengan pergeseran ke bentuk yang imatur, limfosit cenderung rendah selama
fase awal dan fase aktif penyakit. pada fase lanjut, dapat terjadi limfositosis;
eosinofilia jarang ditemui. laju endap darah dapat meningkat sedikit atau
normal, sementara anemia bukanlah salah satu gejala.
7. Elektrokardiografi (EKG)
Menunjukkan adanya perubahan gelombang t serta sinus takikardia.
gelombang t akan mendatar atau inverted pada lead lateral. peningkatan
voltase qrs kadang dijumpai, namun tidak sering .
d. Memiliki masalah tekanan darah atau tidak normal, sangat cepat, atau
detak jantung yang sangat lambat.
2.8 Pentalaksanaan
Sindrom guillain-barre dipertimbangkan sebagai kedaruratan medis dan
pasien diatasi di unit perawatan intensif. pasien yang mngalami masalah pernapasan
yang memerlukan ventilator, kadang-kadang untuk periode yang lama. plasmaferesis
(perubahan plasma) yang menyebabkan reduksi antbiotik ke dalam sirkulasi
sementara, yang dapat digunakan pada serangan berat dan dapat membatasi keadaan
yan memburuk dan demielinasi. diperlukan pemantauan ekg kontinu, untuk
kemungkinan perubahan kecepatan atau ritme jantung. disritmia jantung
dihubungkan dengan keadaan abnormal autonom yang diobati dengan propanolol
untuk mencegah takikardi dan hipertensi. atropin dapat diberikan untuk menghindari
episode brakikardi selama terapi fisik . pengobatan sgb terdiri dari 2 komponen,
yaitu pengobatan secara suportif dan terapi khusus. Pengobatan secara suportif tetap
merupakan terapi yang utama, jika pasien sebelumnya melewati fase akut pada
penyakit, kebanyakannya akan mengalami kesembuhan. bagaimanapun, neuropati
dapat memburuk dengan cepat dan diperlukan intubasi endotrakeal dan ventilasi
mekanik dalam 24 jam selama onset gejala. oleh karena itu, semua pasien sgb harus
diterima di rumah sakit untuk diobservasi tertutup untuk kedaruratan system respirasi
pasien, disfungsi kranialis, dan ketidakstabilan system autonom. disfungsi system
saraf autonom dapat bermanfestasi; tekanan darah yang berubah-ubah, disritmia,
psudoobstruktif gastrointestinal dan retensi urin. profilaksis untuk trombosis vena
dalam harus tersedia karena pasien seringkali tidak dapat bergerak selama beberapa
minggu. pada depresi otot pernafasan harus dipertimbangkan persiapan intubasi.
pasien tidak sanggup untuk menunjukkan fungsi minimal paru memerlukan intubasi.
penilaian ulang frekuensi pernafasan dengan tes fungsi paru untuk progresi yang
cepat sangat diperlukan. perkiraan tambahan untuk ventilasi mekanik selanjutnya
adalah waktu dari onset sgb sampai masuk rs kurang dari 7 hari.
Nyeri dan stress psikologi juga harus diobati. terapi psikologis termasuk
memijat dengan lembut, latihan pergerakan secara pasif dan sering merubah posisi
dapat meringankan nyeri. karbamazepin (tegretol) dan gabapentin (nerontin) telah
2
digunakan sebagai tambahan untuk menghilangkan nyeri pada sgb. pada pasien
dengan paralysis memiliki jiwa yang was-was dan takut. menenangkan pasien dan
diskusi tentang fase penyakit dan perbaikan dapat membantu mengurangi stress
psikologi.
Belum ada drug of choice yan tepat untuk sgb. yang diperlukan adalah
kewaspadaan terhadap kemungkinan memburuknya situasi sebagai akibat perjalanan
klinik yang memberat sehingga mengancam otot-otot pernafasan. Pasien yang tidak
mampu bergerak atau dengan berbagai derajat disfungsi otot- otot respirasi harus
mendapatkan terapi aktif dengan plasmapharesis atau immunoglobulin secara
intravena (ivig). plasmapharesis menggunakan suatu plasma exchange lebih kurang
20 l (200-250 ml/kg selama beberapa hari) secara bermakna menurunkan lama dan
beratnya disability pada pasien sgb, namun beberapa penyelidikan terbaru juga
memperlihatkan keuntungan dari ivig (3,7).
2.9 Terapi
Perlakuan utama GBS adalah mencegah dan mengelola komplikasi (seperti
masalah pernapasan atau infeksi) dan memberikan perawatan suportif sampai gejala
mulai membaik. ini mungkin termasuk:
a. Mengurangi masalah pernapasan anda, kadang-kadang melalui penggunaan
mesin pernapasan (ventilator).
b. Monitoring tekanan darah dan denyut jantung. menyediakan cukup gizi jika
pasien memiliki masalah mengunyah dan menelan.
c. Mengelola kandung kemih dan masalah usus.
d. Menggunakan terapi fisik untuk membantu mempertahankan kekuatan otot dan
fleksibilitas.
e. Mencegah dan mengobati komplikasi seperti radang paru-paru, gumpalan
darah di kaki, atau infeksi saluran kemih.
dengan terapi khusus serta pemberian obat untuk mengurangi rasa sakit. gbs
merupakan penyakit akut akan tetapi bila diterapi dengan baik dan tepat maka dapat
memperbaiki kualitas hidup pasien.
Pemulihan memerlukan waktu 3-6 bulan, kadang-kadang lebih lama-dalam
beberapa kasus, sampai 18 bulan. orang-orang yang memiliki kelemahan otot yang
parah mungkin harus tinggal di sebuah rumah sakit rehabilitasi untuk menerima
terapi fisik berkesinambungan dan terapi pekerjaan agar fungsi motorik kembali
normal. bagi mereka yang tinggal di rumah, perangkat yang membantu melakukan
kegiatan sehari-hari tertentu dapat digunakan sampai fungsi motorik dan kekuatan
otot kembali.
Terapi fisik dan latihan yang teratur diperlukan selama periode pemulihan
untuk memperkuat otot-otot melemah. Meskipun pemulihan bisa lambat, kebanyakan
orang yang telah GBS akhirnya sembuh.
a. Banyak orang memiliki efek jangka panjang kecil, seperti mati rasa pada jari-
jari kaki dan jari. Dalamkebanyakan kasus, masalah ini tidak akan secara
signifikan mengganggu.
b. Sekitar 20% dari orang mempunyai masalah permanen yang cenderung lebih
menonaktifkan, seperti kelemahan atau masalah keseimbangan. Masalah-
masalah ini mungkin akan mengganggu kegiatan sehari-hari.
c. Sekitar 3% hingga 8% dari orang yang menderita GBS meninggal karena
komplikasi penyakit, seperti kegagalan pernafasan, infeksi (sering pneumonia),
atauserangan jantung.
d. Sampai dengan 67% dari orang yang mendapatkan GBS memiliki beberapa
masalah dengan kelelahan (fatique).
2.10 Komplikasi
dari mesin untuk bernapas ketika Anda sedang dirawat di rumah sakit untuk
perawatan.
2. Sisa mati rasa atau sensasi lainnya. Kebanyakan penderita sindrom Guillain-
Barre sembuh sepenuhnya atau hanya kecil, kelemahan residu atau sensasi
abnormal, seperti mati rasa atau kesemutan. Namun, pemulihan sepenuhnya
mungkin lambat, sering mengambil tahun atau lebih.
3. Kurang dari 1 dalam 10 orang dengan pengalaman sindrom Guillain-Barre
komplikasi jangka panjang, seperti:
a. Komplikasi serius, masalah permanen dengan sensasi dan koordinasi,
termasuk beberapa kasus kecacatan parah
b. Sebuah kambuhnya sindrom Guillain- Barre.
c. Jarang, kematian, dari komplikasi seperti sindrom gangguan pernapasan
dan serangan jantung.
d. Tingkat keparahan, gejala awal sindrom Guillain-Barre secara signifikan
meningkatkan risiko komplikasi jangka panjang yang serius.
2.11 Pencegahan
Pencegahan dilakukan dengan menjaga kesehatan supaya tidak mengalami
infeksi dan melakukan pemantauan keamanan vaksin. Vaccine Adverse Event
Reporting (VAERS) adalah suatu sistem yang dikelola CDC dan Food and Drug
Administration (FDA) untuk mengumpulkan laporan sukarela tentang kemungkinan
efek samping yang dialami orang setelah mendapatkan vaksinasi. Hal ini bisa kita
lakukan di Indonesia dengan melaporkan kasus efek samping pemberian vaksinasi
pada Puskesmas setempat yang akan dilanjutkan sampai Kementrian Kesehatan
untuk ditindaklanjuti. Melalui tindak lanjut tersebut diharapkan dapat mendeteksi
adanya kemungkinan risiko GBS yang terkait dengan vaksinasi
Penyebab perifer
Respiratory Arrest.
5. Macam-macam Ventilator.
Menurut sifatnya ventilator dibagi tiga type yaitu:
a. Volume Cycled Ventilator.
Perinsip dasar ventilator ini adalah cyclusnya berdasarkan volume. Mesin
berhenti bekerja dan terjadi ekspirasi bila telah mencapai volume yang
ditentukan. Keuntungan volume cycled ventilator adalah perubahan pada
komplain paru pasien tetap memberikan volume tidal yang konsisten.
b. Pressure Cycled Ventilator
Perinsip dasar ventilator type ini adalah cyclusnya menggunakan tekanan.
Mesin berhenti bekerja dan terjadi ekspirasi bila telah mencapai tekanan
yang telah ditentukan. Pada titik tekanan ini, katup inspirasi tertutup dan
ekspirasi terjadi dengan pasif. Kerugian pada type ini bila ada perubahan
komplain paru, maka volume udara yang diberikan juga berubah. Sehingga
pada pasien yang setatus parunya tidak stabil, penggunaan ventilator tipe
ini tidak dianjurkan.
c. Time Cycled Ventilator
Prinsip kerja dari ventilator type ini adalah cyclusnya berdasarkan wamtu
ekspirasi atau waktu inspirasi yang telah ditentukan. Waktu inspirasi
ditentukan oleh waktu dan kecepatan inspirasi (jumlah napas permenit).
Normal ratio I : E (inspirasi : ekspirasi ) 1 : 2
6. Mode-Mode Ventilator.
Pasien yang mendapatkan bantuan ventilasi mekanik dengan menggunakan
ventilator tidak selalu dibantu sepenuhnya oleh mesin ventilator, tetapi
tergantung dari mode yang kita setting. Mode mode tersebut adalah sebagai
berikut:
a. Mode Control.
Pada mode kontrol mesin secara terus menerus membantu pernafasan
pasien. Ini diberikan pada pasien yang pernafasannya masih sangat
3
jelek, lemah sekali atau bahkan apnea. Pada mode ini ventilator
mengontrol pasien, pernafasan diberikan ke pasien pada frekwensi dan
volume yang telah ditentukan pada ventilator, tanpa menghiraukan
upaya pasien untuk mengawali inspirasi. Bila pasien sadar, mode ini
dapat menimbulkan ansietas tinggi dan ketidaknyamanan dan bila
pasien berusaha nafas sendiri bisa terjadi fighting (tabrakan antara
udara inspirasi dan ekspirasi), tekanan dalam paru meningkat dan bisa
berakibat alveoli pecah dan terjadi pneumothorax. Contoh mode control
ini adalah: CR (Controlled Respiration), CMV (Controlled Mandatory
Ventilation), IPPV (Intermitten Positive Pressure Ventilation).
b. Mode IMV / SIMV: Intermitten Mandatory Ventilation/Sincronized
Intermitten Mandatory Ventilation.
Pada mode ini ventilator memberikan bantuan nafas secara selang
seling dengan nafas pasien itu sendiri. Pada mode IMV pernafasan
mandatory diberikan pada frekwensi yang di set tanpa menghiraukan
apakah pasien pada saat inspirasi atau ekspirasi sehingga bisa terjadi
fighting dengan segala akibatnya. Oleh karena itu pada ventilator
generasi terakhir mode IMVnya disinkronisasi (SIMV). Sehingga
pernafasan mandatory diberikan sinkron dengan picuan pasien. Mode
IMV/SIMV diberikan pada pasien yang sudah bisa nafas spontan tetapi
belum normal sehingga masih memerlukan bantuan.
c. Mode ASB / PS : (Assisted Spontaneus Breathing / Pressure Suport
Mode ini diberikan pada pasien yang sudah bisa nafas spontan atau
pasien yang masih bisa bernafas tetapi tidal volumnenya tidak cukup
karena nafasnya dangkal. Pada mode ini pasien harus mempunyai
kendali untuk bernafas. Bila pasien tidak mampu untuk memicu trigger
maka udara pernafasan tidak diberikan.
d. CPAP : Continous Positive Air Pressure.
Pada mode ini mesin hanya memberikan tekanan positif dan diberikan
pada pasien yang sudah bisa bernafas dengan adekuat.
Tujuan pemberian mode ini adalah untuk mencegah atelektasis dan
melatih otot-otot pernafasan sebelum pasien dilepas dari ventilator.
3
7. Sistem Alarm
Ventilator digunakan untuk mendukung hidup. Sistem alarm perlu untuk
mewaspadakan perawat tentang adanya masalah. Alarm tekanan rendah
menandakan adanya pemutusan dari pasien (ventilator terlepas dari pasien),
sedangkan alarm tekanan tinggi menandakan adanya peningkatan tekanan,
misalnya pasien batuk, cubing tertekuk, terjadi fighting, dll. Alarm volume
rendah menandakan kebocoran. Alarm jangan pernah diabaikan tidak
dianggap dan harus dipasang dalam kondisi siap.
Akibat dari tekanan positif pada rongga thorax, darah yang kembali ke jantung
terhambat, venous return menurun, maka cardiac output juga menurun. Bila
kondisi penurunan respon simpatis (misalnya karena hipovolemia, obat dan
usia lanjut), maka bisa mengakibatkan hipotensi. Darah yang lewat paru juga
berkurang karena ada kompresi microvaskuler akibat tekanan positif sehingga
darah yang menuju atrium kiri berkurang, akibatnya cardiac output juga
berkurang. Bila tekanan terlalu tinggi bisa terjadi gangguan oksigenasi. Selain
itu bila volume tidal terlalu tinggi yaitu lebih dari 10-12 ml/kg BB dan tekanan
lebih besar dari 40 CmH2O, tidak hanya mempengaruhi cardiac output (curah
jantung) tetapi juga resiko terjadinya pneumothorax.
2. Fungsi Trakeostomi
a. Mengurangi tahanan aliran udara pernafasan yang selanjutnya
mengurangi kekuatan yang diperlukan untuk memindahkan udara
sehingga mengakibatkan peningkatan regangan total dan ventilasi
3
3. Indikasi Trakeostomi
4. Kontraindikasi Trakeostomi
Infeksi pada tempat pemasangan, dan gangguan pembekuan darah yang tidak
terkontrol, seperti hemofili.
5. Klasifikasi
a. Menurut letak insisinya, trakeostomi dibedakan menjadi
1) Trakeostomi elektif : Insisi horizontal
2) Trakeostomi emergensi : Insisi vertikal
b. Menurut waktu dilakukannya tindakan, trakeostomi dibedakan menjadi
1) Trakeostomi darurat dan segera dengan persiapan sarana sangat
kurang
2) Trakeostomi berencana (persiapan sarana cukup) dan dapat dilakukan
secara baik
c. Menurut lamanya pemasangan, trakheostomi dibagi menjadi
1) Tracheal stoma post laryngectomy: merupakan tracheostomy
permanen. Tracheal cartilage diarahkan kepermukaan kulit, dilekatkan
pada leher. Rigiditas cartilage mempertahankan stoma tetap terbuka
sehingga tidak diperlukan tracheostomy tube (canule).
2) Tracheal stoma without laryngectomy: merupakan tracheostomy
temporer. Trachea dan jalan nafas bagian atas masih intak tetapi
terdapat obstruksi. Digunakan tracheostomy tube (canule) terbuat dari
metal atau Non metal (terutama pada penderita yang sedang mendapat
radiasi dan selama pelaksanaan MRI Scanning).
3
6. Teknik Trakeostomi
Pasien tidur terlentang, bahu diganjal dengan bantalan kecil sehingga
memudahkan kepala untuk diekstensikan pada persendian atalantooksipital.
Dengan posisi seperti ini leher akan lurus dan trakea akan terletak di garis
median dekat permukaan leher. Kulit leher dibersihkan sesuai dengan prinsip
aseptik dan antiseptik dan ditutup dengan kain steril. Obat anestetikum
disuntikkan di pertengahan krikoid dengan fossa suprasternal secara infiltrasi.
Sayatan kulit dapat vertikal di garis tengah leher mulai dari bawah krikoid
sampai fosa suprasternal atau jika membuat sayatan horizontal dilakukan pada
pertengahan jarak antara kartilago krikoid dengan fosa suprasternal atau kira-
kira dua jari dari bawah krikoid orang dewasa. Sayatan jangan terlalu sempit,
dibuat kira-kira lima sentimeter.
Dengan gunting panjang yang tumpul kulit serta jaringan di bawahnya
dipisahkan lapis demi lapis dan ditarik ke lateral dengan pengait tumpul sampai
tampak trakea yang berupa pipa dengan susunan cincin tulang rawan yang
berwarna putih. Bila lapisan ini dan jaringan di bawahnya dibuka tepat di
tengah maka trakea ini mudah ditemukan. Pembuluh darah yang tampak ditarik
lateral. Ismuth tiroid yang ditemukan ditarik ke atas supaya cincin trakea jelas
terlihat. Jika tidak mungkin, ismuth tiroid diklem pada dua tempat dan
dipotong ditengahnya. Sebelum klem ini dilepaskan ismuth tiroid diikat keda
tepinya dan disisihkan ke lateral. Perdarahan dihentikan dan jika perlu diikat.
Lakukan aspirasi dengan cara menusukkan jarum pada membran antara cincin
trakea dan akan terasa ringan waktu ditarik. Buat stoma dengan memotong
cincin trakea ke tiga dengan gunting yang tajam. Kemudian pasang kanul
trakea dengan ukuran yang sesuai. Kanul difiksasi dengan tali pada leher
pasien dan luka operasi ditutup dengan kasa.
Untuk menghindari terjadinya komplikasi perlu diperhatikan insisi kulit jangan
terlalu pendek agar tidak sukar mencari trakea dan mencegah terjadinya
emfisema kulit.
3
7. Perawatan Trakeostomi
a. Pembersihan secret atau biasa disebut trakeobronkial toilet
b. Perawatan luka pada trakeostomi
c. Perawatan anak kanul
d. Humidifikasi
2. Pemeriksaan Fisik
Setelah melakukan anamnesis yang mengarah pada keluhan-keluhan
klien, pemeriksaan fisik sangat berguna untuk mendukung data dari
pengkajian anamnesis. Pemeriksaan fisik sebaiknya dilakukan per sistem
(B1-B6) dengan fokus pemeriksaan fisik pada pemeriksaan B3 (brain) yang
terarah dan dihubungkan dengan keluhan-keluhan dari klien. Pada klien GBS
biasanya didapatkan suhu tubuh normal. Penurunan denyut nadi terjadi
berhubungan dengan tanda-tanda penurunan curah jantung. Peningkatan
frekuensi pernapasan berhubungan dengan peningkatan laju metabolisme
umum dan adanya infeksi pada sistem pernapasan dan adanya akumulasi
sekret akibat insufisiensi pernapasan. TD didapatkan ortostatik hipotensi atau
TD meningkat (hipertensi transien) berhubungan dengan penurunan reaksi
saraf simpatis dan parasimpatis.
a) B1 (Breathing)
Inspeksi didapatkan klien batuk, peningkatan produksi sputum, sesak
napas, penggunaan otot bantu napas, dan peningkatan frekuensi pernapasan
karena infeksi saluran pernapasan dan paling sering didapatkan pada klien
GBS adalah penurunan frekuensi pernapasan karena melemahnya fungsi otot-
otot pernapasan. Palpasi biasanya taktil premitus seimbang kanan dan kiri.
Auskultasi bunyi napas tambahan seperti ronkhi pada klien dengan GBS
berhubungan akumulasi sekret dari infeksi saluran napas.
b) B2 (Blood)
Pengkajian pada sistem kardiovaskuler pada klien GBS didapatkan
bradikardi yang berhubungan dengan penurunan perfusi perifer.Tekanan
darah didapatkan ortostatik Hipotensi atau TD meningkat ( hipertensi
transien ) berhubungan dengan penurunan reaksi saraf simpatis dan
parasimpatis.
4
c) B3 (Brain)
Merupakan pengkajian fokus meliputi :
1) Tingkat kesadaran
Pada klien GBS biasanya kesadaran compos mentis ( CM ). Apabila klien
mengalami penurunan tingkat kesadaran maka penilaian GCS sangat penting
untuk menilai dan sebagai bahan evaluasi untuk monitoring pemberian
asuhan keperawatan.
2) Fungsi serebri
Status mental : observasi penampilan klien dan tingkah lakunya, nilai gaya
bicara klien dan observasi ekspresi wajah, dan aktivitas motorik yang pada
klien GBS tahap lanjut disertai penurunan tingkat kesadaran biasanya status
mental klien mengalam perubahan.
3) Pemeriksaan saraf kranial
Saraf I : Biasanya pada klien GBS tidak ada kelainan dan fungsi
penciuman
Saraf II : Tes ketajaman penglihatan pada kondisi normal.
Saraf III, IV, dan VI : Penurunan kemampuan membuka dan menutup
kelopak mata, paralis ocular.
Saraf V : Pada klien GBS didapatkan paralis pada otot wajah sehingga
mengganggu proses mengunyah.
Saraf VII : Persepsi pengecapan dalam batas normal, wajah asimetris
karena adanya paralisis unilateral.
Saraf VIII : Tidak ditemukan adanya tuli konduktif dan tuli persepsi.
Saraf IX dan X : paralisi otot orofaring, kesukaran berbicara,
mengunyah, dan menelan. Kamampuan menelan kurang baik sehngga
mengganggu pemenuhan nutrisi via oral.
Saraf XI: Tidak ada atrof otot sternokleinomastoideus dan
trapezius.kemampuan mobliisasi leher baik.
Saraf XII: Lidah simetris, tidak ada deviasi pada satu sisi dan tidak ada
fasikulasi. Indra pengecapan normal.
4
d. Sistem motorik
Kekuatan otot menurun, control keseimbangan dan koordinasi pada klien
GBS tahap lanjut mengalami perubahan. Klien mengalami kelemahan
motorik secara umum sehingga menggaganggu moblitas fisik .
e. Pemeriksaan reflexs
Pemeriksaan reflex dalam, pengetukan pada tendon, ligamentum, periosteum
derajat reflexs dalam respons normal.
f. Gerakan involunter
Tidak ditemukan adanya tremor, kejang, Tic,dan distonia.
g. System sensorik
Parestesia ( kesemutan kebas ) dan kelemahan otot kaki, yang dapat
berkembang ke ekstrimtas atas, batang tubuh, dan otot wajah. Klien
mengalami penurunan kemampuan penilaian sensorik raba, nyeri, dan suhu.
d) B4 (Bladder)
Terdapat penurunan volume haluaran urine, hal ini berhubungan dengan
penurunan perfusi dan penurunan curah jantung ke ginjal.
e) B5 (Bowel)
Mual sampai muntah dihubungkan dengan peningkatan produksi asam
lambung. Pemenuhan nutris pada klien GBS menurun karena anoreksia dan
kelemahan otot-otot pengunyah serta gangguan proses menelan menyebabkan
pemenuhan via oral kurang terpenuhi.
f) B6 (Bone)
Penurunan kekuatan otot dan penurunan tingkat kesadaran menururnkan
mobilitas pasien secara umum. Dalam pemenuhan kebutuhan sehari-hari klien
lebh banyak dibantu orang lain.
B. Diagnosa Keperawatan
Sumber : SDKI,
4
C. Intervensi Keperawatan
Sumber : SIKI
Pola napas tidak efektif yang berhubungan dengan kelemahan progresif cepat
otot-otot pernapasan dan ancaman gagal pernapasan
Tujuan : dalam waktu 3x24 jam setelah diberikan tindakan pola napas kembali
efektif.
Criteria hasil : secara subjektif sesak napas (-),RR 16-20x/menit. Tidak
menggunakan otot bantu pernapasan, gerakan dada normal
Intervensi Rasional
Kaji fungsi paru, adanya bunyi napas Menjadi parameter monitoring serangan
tambahan, perubahan irama dan gagal napas dan menjadi data dasar
kedalaman, penggunaan otot bantu intervensi selanjutnya
pernapasan
Evaluasi keluhan sesak napas bak secara Tanda dan gejala meliputi adanya
verbal maupun nonverbal kesukaran bernapas saat bicara,
pernapasan dangkal
dan
ireguler,takikardia dan perubahan pola
napas.
Beri ventilasi mekanik Ventilasi mekanik digunakan jika
pengkajian sesuai kapasitas vital, klien
memperlihatkan perkembangan kearah
4
Pantau frekuensi jantung dan irama Perubahan frekuensi dan irama jantung
menunjukkan komplikasi disritma.
Kolaborasi :
Berikan O2 tambahan sesuai indikasi Dapat meningkatkan saturasi oksgean
dalam darah
Kaji kemampuan klien dalam pemenuhan Perhatian yang diberikan untuk nutrisi
nutrisi klien oral yang adekuat dan pencegahan
kelemahan otot karena kurang
makanan.
Monitor komplikasi akibat paralisis Ilius paralisis dapat disebabkan oleh
akibat insufisisensi aktivitas parasimpatis insufisiensi aktivitas parasimpatis.
Dalam kejadian ini, makanan melalui
intravena dipertimbangkan diberikan
oleh dokter dan perawat mementau
bising usus sampai terdengar
Dekatkan alat dan sarana yang dibutuhkan Bila pemulihan mulai untuk dlakukan,
klien dalam pemenuhan aktivitas sehari- klien dapat hipotensi ortostatik ( dari
hari disfungsi otonom ) dan kemungkinan
membutuhkan meja tempat tidur untuk
menolong mereka mengambil posisi
duduk tegak
Cemas yang berhubungan dengan kondisi sakit dan prognosis penyakit yang
buruk
Tujuan : dalam waktu 1x24 jam setelah diberikan intervensi kecemasan hilang atau
berkurang
Criteria hasil : mengenal perasaannya, dapat mengidentifikasi penyebab atau factor
yang mempengaruhinya, dan menyatakan cemas berkurang
Intervensi Rasonal
Bantu klien mengekspresikan perasaan Cemas berkelanjutan dapat memberikan
marah, kehilangan, dan takut dampak serangan jantung selanjutnya
Kaji tanda verbal dan non verbal Reaksi verbal atau nonverbal dapat
kecemasan, dampingi klien, dan lakukan menunjukkan rasa agitasi, marah dan
tundakan bila menunjukkan perilaku gelisah
merusak
Hindari konfrantasi Konfrontasi dapat meningkatkan rasa
marah, menurunkan kerja sama, dan
mungkin memperlambat penyembuhan
Mulai melakukan tindakkan untuk Mengurangi rangsangan eksternal yang
mengurangi kecemasan. Beri lingkungan tidak perlu
yang tenang dan suasana penuh istirahat
Orientasikan klien terhadap prosedur Orientasi dapat menurunkan kecemasan
rutin dan aktivitas yang diharapkan
4
BAB 3
LAPORAN KASUS
A. Data Pasien
B. Primary Survey
Waktu kedatangan (pukul) Transportasi : Kondisi datang :
Pasien tiba di IGD RSAL Dr. Pasien datang menggunakan mobil Pasien datang diantar
Ramelan pukul 21.50 WIB pribadi keluarganya dengan keluhan flu
(sejak 3 hari yang lalu) dan
susah untuk menggerakkan
kedua kakinya serta lemas
Lokasi
Seluruh tubuh pasien teraba hangat
Durasi
Sejak sore hari,suhu badan pasien naik turun
Riwayat Penyakit Dahulu (terkait keluhan saat ini atau penyakit penyulit)
Keluarga pasien mengatakan sebelum sakit, pasien tidak pernah mengalami sakit ISPA atau infeksi
apapun. Tetapi menderita kelumpuhan dari umur 45 tahun sampai sekarang.
Tensi : 117 /76 mmHg HR : 104 x/ menit RR : 28 x/menit Suhu : 38,8°C aksila
Nyeri : Tidak ada nyeri
AIRWAY CIRCULATION
Paten √Obstruksi N : 111x/menit
S : 388ᵒC
Terpasang CVP:23,5 cmH2O
Tindakan Airway dan Breathing : Perfusi HKM (Hangat Kering Merah)
CRT < 2 dtk
pasien bernafas melalui ventilator dengan
TD : 117/76mmHg MAP ( 76 x 2) + 117 = 89,6
mode , mode venti:duopap, PC:15, PS:10,
mmHg
PEEP:10, FIO2:30%, RR 20x/menit.
3
Konjungtiva tidak anemis
Inspeksi: Bentuk dada normochest,
pergerakan dada simetris, tidak ada jejas,
MK: Tidak ditemukan masalah keperawatan
tidak ada sianosis, irama ireguler, suara nafas
vesikuler. Sekret putih dan kental (+), reflek
batuk ada.
Neurologi
E4 V5 M2 total 11, reflek cahaya ++, pupil
isokor = 3mm
Reflek: patella -/-, Bicep -/-, Trisep -/-,
Archilles +/+ (Patofisiologis)
Babinsky (-/-), Brudinzky (-/-), Kernig (-)
(Patofisiologis).
Saraf I :
Sistem saraf penciuman normal, tidak
ada gangguan.
5
Saraf II :
Sistem saraf pengelihatan normal.
Saraf III, IV dan VI:
Tidak terjadi penurunan membuka
dan menutup kelopak paralisis
okuler.
Saraf V :
Tidak terjadi kekakuan otot wajah,
sehingga tidak menggangu proses
mengunyah.
Saraf VII :
Tidak terjadi gangguan mendaengar.
Saraf VIII :
Persepsi pengecapan baik.
Saraf IX dan X :
Paralisis otot orofaring, kesulitan
berbicara namun proses menelan cukup
baik.
Saraf XI :
Tidak ada atrofi otot strenokleidomaatoideus
dan kemampuan mobilisasi leher baik
E. Secondary Survey
Diagram Tubuh : PEMERIKSAAN HEAD TO TOE
Kepala leher, Thoraks, Abdomen, Genitourinaria,
Muskuloskeletal
Pemeriksaan fisik
Gastroentistinal :
Inspeksi: Ada reflek menelan.
Mulut bersih, mukosa lembab.
Abomen suple, simetris.
Tidak ada mual dan muntah.
Pasien terpasang NGT
Auskultasi: Bising Usus 10 x/menit
Perkusi Timpani
Palpasi Tidak ada massa.
3333 3333
2222 2222
F. PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK
Jenis Pemeriksaan Hasil :
√Darah Lengkap Kimia Klinik Gula darah Acak WBC 14.00 10ˆ3/uL (4,00-10,00)
Blood Gas Analisa Kultur Urin EKG RBC 5, 40 10 ˆ6/uL (3,50-5,50)
CT Scan √Foto Thorak BJ Plasma HGB 12, 4 g/dl (11,00-16,00)
HCT 41,0 % (37,0-54,0)
Kultur darah Kiri PCT 0,273 % (0,108-0,282)
Hasil : Jenis Kuman : Stapylococcus PLT 455.000 10ˆ3/uL (150-400)
aureus Sifat bakteri : Bacil Gram Positif
Natrium 140 mmol/L (135,0-147,0)
Saran : S. Aureus bakteri ini merupakan flora normal
Kalium 4,00 mmol/L (3,00-5,00)
permukaan kulit, hidung, dan saluran nafas. Ditemukan
isolate bakteri tersebut pada specimen luka atau swab Pus
dimungkinkan ada kolonisasi di permukaan kulit dan sulit
ditentukan sebagai suatu pathogen penyebab infeksi.
Pemberian terapi antimikoba perlu dipertimbangkan dengan
pemberian topikal dan disesuaikan dengan klinis pasien.
Kultur Sputum
Jenis Kuman : Ps aeruginosa
Sifat bakteri : Bacil Gram
Negatif
Tindak lanjut : KRS √MRS PP DOA OPERASI RUJUK PINDAH FASKES LAIN
5
ANALISA DATA
DO :
DO :
- Akral teraba hangat ( S : 38,8 C) (SDKI Hal 284)
- Hasil Lab: WBC 12.000 U/L
(4,00-10,00 U/L)
5
DO :
3333 3333
2222 2222
Implementasi Keperawatan
Evaluasi Sumatif
Kelompok 2E
BAB 4
PENUTUP
4.1. Kesimpulan
Guillain-Barre Syndrome adalah penyakit autoimun yang menimbulkan
peradangan dan kerusakan myelin (material lemak, terdiri dari lemak dan protein
yang membentuk selubung pelindung di sekitar beberapa jenis serat saraf perifer.
Kerusakan saraf ini dianggap sebagai hasil dari reaksi kekebalan yang abnormal
terhadap mielin sistem saraf perifer. Kelemahan dan mati rasa di kaki biasanya
merupakan gejala pertama. Sensasi ini dapat dengan cepat menyebar, akhirnya
melumpuhkan seluruh tubuh.
Pada pengkajian ditemukan data fokus pasien, Tn. H mengeluh mengalami
demam dan lemas , badan tidak bisa digerakkan (lumpuh) dan diilakukan pengkajian
kepda pasien dan didapatkan pasien terpasang Trakeostomi, TD:117/76mmHg,
SPO2:100%, Nadi:111x/menit, RR actual:15, RR:20x/menit, mode venti:duopap,
PC:15, PS:10, PEEP:10, FIO2:30%, CVP: 23,5cm, keadaan umum lemah. Saat ini
Tn. H dalam perbaikan airway dan breathing di ruang IGD Rumkital Dr. Ramelan
Surabaya dengan alat bantu nafas trakeostomi dan ventilator mode CPAP. Masalah
yang muncul pada Tn. H yaitu ketidakefektifan bersihan jalan nafas, hambatan
mobilitas fisik, kerusakan integritas kulit serta hambatan komunikasi verbal.
Tindakan keperawatan yang dilakukan yaitu mengobservasi TTV, mengkaji
tanda-tanda sumbatan jalan nafas, mengkaji kemampuan otot pasien, mengobservasi
karakteristik luka dikubitus serta melatih komunikasi baik secara verbal maupun non
verbal pasien. Selama dilakukan tindakan keperawatan di ruang IGD pasien
mendapatkan perubahan yang signifikan yakni pola nafas pasien stabil, pasien dapat
mengontrol pernafasannya setelah di suction, kemampuan otot tangan pasien
meningkat dari skala 2 menjadi 4 di bagian kanan serta pasien dapat menggunakan
tehnik komunikasi asertif secara baik selama proses berkomunikasi sehingga pasien
tetap dapat berkomunikasi secara aktif walaupun tanpa adanya suara.
1
63
4.2 Saran
Muttaqin, Arif. 2008. Buku Ajar Asuhan Keperawatan Klien dengan Gangguan
Sistem Persarafan. Jakarta: Salemba Medika.
R. Syamsuhidayat & Wim de Jong, 2001, Buku Ajar Ilmu Bedah Edisi Revisi, EGC,
Jakarta.
Smeltzer, suzanne C. 2002. Buku Ajar Keperawatan Medikal-Bedah Brunner &
Suddarth. Vol.3 Edisi 8. EGC :Jakarta