Anda di halaman 1dari 61

KASUS SEMINAR ASUHAN KEPERAWATAN GAWAT DARURAT PADA Tn.

H
DENGAN DIAGNOSA MEDIS GUILLAIN BARRE SYNDROME
DISERTAI GAGAL NAFAS DI RUANG IGD RUMKITAL
Dr.RAMELAN SURABAYA

DISUSUN OLEH : KELOMPOK 2E

1. ARIF BUDI SETYAWAN 183.0015


2. ASRIANI RITA TALEBONG 183.0111
3. ENIK SUSANAH 183.0038

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN PROFESI


SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN HANG TUAH
SURABAYA
2019
LEMBAR PENGESAHAN
KASUS SEMINAR ASUHAN KEPERAWATAN GAWAT DARURAT PADA Tn. H
DENGAN DIAGNOSA MEDIS GUILLAIN BARRE SYNDROME
DISERTAI GAGAL NAFAS DI RUANG IGD RUMKITAL
Dr.RAMELAN SURABAYA

Surabaya, 21 Juni 2019

Pembimbing Institusi Pembimbing Lahan

Ceria Nurhayati, S.Kep., Ns, M.,Kep Kukuh Widodo., S.Psi.,S.Kep.,Ns.

i
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL
LEMBAR PENGESAHAN ........................................................................... i
DAFTAR ISI................................................................................................... ii
KATA PENGANTAR.................................................................................... iii

BAB 1PENDAHULUAN .............................................................................. 7


1.1 Latar Belakang ......................................................................................... 7
1.2 Rumusan Masalah ..................................................................................... 8
1.3 Tujuan ...................................................................................................... 8
1.4 Manfaat .................................................................................................... 8

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA................................................................... 9


BAB 3 LAPORAN KASUS ......................................................................... 48
BAB 4 PENUTUP......................................................................................... 62
4.1 Kesimpulan ....................................................................................... 62
4.2 Saran .................................................................................................. 62

ii
KATA PENGANTAR

Puji syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa atas rahmat, sehingga kami dapat

menyelesaikan Laporan Kasus Keperawatan Kegawatdaruratan dengan judul “ ”.

Dalam penyusunan makalah ini, kelompok mendapatkan banyak pengarahan dan

bantuan dari berbagai pihak, untuk itu dalam kesempatan ini perkenankanlah kami

mengucapkan terima kasih sebesar-besarnya kepada Dosen Pembimbing Institusi

Ceria Nurhayati, S.Kep., Ns, M.,Kep dan Pembimbing Lahan Kukuh Widodo.,

S.Psi.,S.Kep.,Ns.

Kami menyadari makalah ini masih jauh dari sempurna. Karena itu, kritik dan

saran dari pembaca sangat kami perlukan dalam perbaikan makalah ini. Semoga

makalah ini bisa berguna bagi kami dan pembaca.

Penulis

Kelompok 2E

iii
BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Sindroma Guillain-Barre (GBS) atau disebut juga dengan radang poli neuropati
demyelinasi akut (AIDP), poli radikuloneurtis idiopati akut, poli neuritis ididopatik
akut, Polio prancis, paralisis asendens landry, dan sindroma landry guillaine barre
adalah suatu penyakit autoimun yang menyerang sistem saraf perifer, dan biasanya
dicetuskan oleh suatu proses infeksi yang akut. GBS termasuk dalam kelompok
penyakit neuropati perifer.

GBS tersebar diseluruh dunia terutama di negara –negara berkembang dan


merupakan penyebab tersering dari paralisis akut. Insiden banyak dijumpai pada
dewasa muda dan bisa meningkat pada kelompok umur 45 – 64 tahun. Lebih sering
dijumpai pada laki-laki daripada perempuan. Puncak yang agak tinggi terjadi pada
kelompok usia 16 sampai 25 tahun, tetapi mungkin juga berkembang pada setiap
golongan usia. Sekitar setengah dari korban mempunyai penyakit febris ringan dua
sampai tiga minggu sebelum awitan. Infeksi febris biasanya berasal dari pernafasan
atau gastrointestinal.

Menurut WHO, GBS memiliki angka kejadian yang cukup rendah, yaitu satu
diantara 100 ribu penduduk. Namun, sejak era dikasi polio besar-besaran pada
1990an, GBS telah menggeser posisi polio sebagai penyebab tetraparesisi akut.
Pasien GBS kebanyakan berusia muda dan jarang terjadi pada usia tua. Angka
kematiannya sangat tinggi, yaitu sekitar 30% dari seluruh kejadian GBS. Apabila
tidak terlambat ditangani, GBS memiliki angka harapan sembuh mencapai 97,5%.
Walaupun jarnag terjadi, sebagai penyakit akut GBS, bisa terjadi berulang pada 5%
kasus. Dalam kondisi ini, GBS menghasilkan suatu diagnosis baru yaitu CIDP
(Chronic Inflamatory Demyelinating Polyneuropaty).

Guillian barre syndrome menyerang saraf perifer sehingga serabut saraf


tersebut tidak dapat menyampaikan pesan saraf ke otot dengan benar. Selubung
myelin yang mengalami degenerasi membungkus akson serabut saraf dan
menghantarkan impuls elekstris disepanjang lintasan saraf. Degenerasi tersebut
menimbulkan inflamasi, pembengkakan, dan bercak-barcak demielinisasi. Proses
inflamasi juga dapat dilihat di akar dorsal dan ganglia otonom. Akibatnya selubung
myelin hancur, sehingga nodus Ranvier (yang terdapat di selubung myelin) akan
melebar. Keadaan ini yang akan memperlambat dan mengganggu transmisi impuls
disepanjang radiks anterior dan posterior.

Terdapat tiga fase yang menyertai pada proses patologi GBS. Yang pertama
adalah fase akut. Fase akut dimulai pada awitan gejala definitif yang pertama dan
berakhir satu hingga tiga minggu kemudian. Fase plateu berlangsung beberapa hari

1
sampai dua minggu. Dan yang terakhir fase pemulihan terjadi bersamaan dengan
remielinisasi dan pertumbuhan kembali tonjolan akson. Fase ini melampaui empat
sampai enam bulan, tetapi dapat berlangsung hingga dua sampai tiga tahun jika
penyakit itu berat.apapun stadiumnya, GBS adalah suatu kegawatan neurologi.
Sebelum otot pernapasan terkena, sebaiknya GBS harus ditangani. Karena GBS
adalah suatu kegawatdaruratan, pasien sebaiknya opname di rumah sakit. Lama
opname bervariasi dan bergantung pada keparahan penyakit. Pasien yang tidak di
opname sering kali datang ke rumah sakit dalam kondisi sangat terlambat dan dengan
prediksi kesembuhan (prognosis) yang buruk. Penanganan yang terlambat dapat
menyebabkan kematian yang tidak bisa dihindari.

1.2 Rumusan Masalah

Bagaimana asuhan keperawatan gawat darurat pada Tn. H dengan diagnosa


medis Guillain Barre Syndrome (GBS) disertai gagal napas di ruang IGD
Rumkital Dr. Ramelan Surabaya?

1.3 Tujuan

Untuk mengetahui asuhan keperawatan gawat darurat pada Tn. H dengan


diagnosa medis Guillain Barre Syndrome (GBS) disertai gagal napas di ruang
IGD Rumkital Dr. Ramelan Surabaya.

1.4 Manfaat

1. Agar mahasiswa mengetahui asuhan keperawatan gawat darurat pada Tn. H


dengan diagnosa medis Guillain Barre Syndrome (GBS) disertai gagal
napas di ruang IGD Rumkital Dr. Ramelan Surabaya.

2. Laporan kasus ini bisa dijadikan masukan untuk rumah sakit dalam upaya
meningkatkan mutu asuahan keperawatan pada klien dengan GBS.

3. Sebagai referensi bagi mahasiswa tentang asuhan keperawatan pada kasus


kegawatdaruratan.

2
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Guillain Barre Syndrom


Definisi Guillain Barre Syndrom
Guillain BarreSyndrom (GBS) adalah penyakit langka di mana sistem
kekebalan seseorang menyerang sistem saraf tepi dan menyebabkan kelemahan otot
bahkan apabila parah bisa terjadi kelumpuhan. Hal ini terjadi karena susunan saraf
tepi yang menghubungkan otak dan sumsum belakang dengan seluruh bagian tubuh
kita rusak. Kerusakan sistem saraf tepi menyebabkan sistem ini sulit menghantarkan
rangsang sehingga ada penurunan respon sistem otot terhadap kerja sistem saraf
(Centers of Disease Control and Prevention / CDC (2012).
Guillain Barre Syndrome (GBS) adalah terjadinya suatu masalah pada system
saraf yang menyebabkan kelemahan otot, kehilangan reflex, dan kebas pada lengan,
tungkai, wajah, dan bagian tubuh lain. Kasus ini terjadi secara akut dan berhubungan
dengan proses autoimun.
Guillain-Barre Syndrome adalah penyakit autoimun yang menimbulkan
peradangan dan kerusakan myelin (material lemak, terdiri dari lemak dan protein
yang membentuk selubung pelindung di sekitar beberapa jenis serat saraf perifer.
Kerusakan saraf ini dianggap sebagai hasil dari reaksi kekebalan yang abnormal
terhadap mielin sistem saraf perifer. Kelemahan dan mati rasa di kaki biasanya
merupakan gejala pertama. Sensasi ini dapat dengan cepat menyebar, akhirnya
melumpuhkan seluruh tubuh.

2.2 Etiologi
Etiologi GBS sampai saat ini masih belum dapat diketahui dengan
pastipenyebabnya dan masih menjadi bahan perdebatan. Beberapa keadaan atau
penyakit yang mendahului dan mungkin ada hubungannya dengan terjadinya GBS,
antara lain:
 Infeksi
 Vaksinasi

3
 Pembedahan
 Penyakit sistematik :
 Keganasan
 Systemic lupus erythematosus
 Tiroiditis
 Penyakit Addison
 Kehamilan atau dalam masa nifas
GBS sering sekali berhubungan dengan infeksi akut non spesifik. Insidensi
kasus GBS yang berkaitan dengan infeksi ini sekitar antara 56% - 80%, yaitu 1
sampai 4 minggu sebelum gejala neurologi timbul seperti infeksi saluran pernafasan
atas atau infeksi gastrointestinal.

Tabel 1 ꞉ Jenis jenis infeksi yang berhubungan dengan GBS

Infeksi Definitive Probable Possible

Virus CMV HIB Influenza

EBV Varicella zoster Measles

Vaccinia/smallpox Mumps

Rubella

Hepatitis

Coxsackle

Echo

Bakteri Campylobacter Thypoid Borrelia

jejuni
Parathypoid

4
Mycoplasma Brucellosis

pneumonia
Chlamydia

Legionella

Listeria

2.3 Klasifikasi

Sindroma Guillain Barre diklasifikasikan sebagai berikut:

Gambar 1 : Skema klasifikasi SGB

Guillan-Barre
Syndrome

acute inflammatory
demyelinating polyneuropaty (AIDP) Axonal Pattern Fisher Syndrome

AIDP with Acute Motor Axonal


Secondary Degeneration Neuropathy (AMAN)

Acute Motor
Sensory Axonal Neuropathy (AMSAN)

(Sumber :Muttaqin, Arif. 2008)

5
1. Acute Inflammatory Demyelinating Polyradiculoneuropathy
Acute inflammatory demyelinating polyradiculoneuropathy (AIDP) adalah jenis
paling umum ditemukan pada SGB, yang juga cocok dengan gejala asli dari
sindrom tersebut. Manifestasi klinis paling sering adalah kelemahan anggota
gerak proksimal dibanding distal. Saraf kranialis yang paling umum terlibat
adalah nervus facialis. Penelitian telah menunjukkan bahwa pada AIDP terdapat
infiltrasi limfositik saraf perifer dan demielinasi segmental makrofag.
2. Acute Motor Axonal Neuropathy
Acute motor axonal neuropathy (AMAN) dilaporkan selama musim panas SGB
epidemik pada tahun 1991 dan 1992 di Cina Utara dan 55% hingga 65% dari
pasien SGB merupakan jenis ini. Jenis ini lebih menonjol pada kelompok anak
anak, dengan ciri khas degenerasi motor axon. Klinisnya, ditandai dengan
kelemahan yang berkembang cepat dan sering dikaitkan dengan kegagalan
pernapasan, meskipun pasien biasanya memiliki prognosis yang baik. Sepertiga
dari pasien dengan AMAN dapat hiperrefleks, tetapi mekanisme belum jelas.
Disfungsi sistem penghambatan melalui interneuron spinal dapat meningkatkan
rangsangan neuron motorik.
3. Acute Motor Sensory Axonal Neuropathy
Acute Motor Sensory Axonal Neuropathy (AMSAN) adalah penyakit akut yang
berbeda dari AMAN, AMSAN juga mempengaruhi saraf sensorik dan motorik.
Pasien biasanya usia dewasa, dengan karakteristik atrofi otot. Dan pemulihan
lebih buruk dari AMAN.
4. Miller Fisher Syndrome
Miller Fisher Syndrome adalah karakteristik dari triad ataxia, arefleksia, dan
oftalmoplegia. Kelemahan pada ekstremitas, ptosis, facial palsy, dan bulbar
palsy mungkin terjadi pada beberapa pasien. Hampir semua menunjukkan IgG
auto antibodi terhadap ganglioside GQ1b. Kerusakan imunitas tampak terjadi di
daerah paranodal pada saraf kranialis III, IV, VI, dan dorsal root ganglia.
5. Acute Neuropatic panautonomic
Acute Neuropatic panautonomic adalah varian yang paling langka pada SGB.
Kadang-kadang disertai dengan ensefalopati. Hal ini terkait dengan tingkat
kematian tinggi, karena keterlibatan kardiovaskular, dan terkait disritmia.

6
Gangguan berkeringat, kurangnya pembentukan air mata, mual, disfaga,
sembelit dengan obat pencahar atau bergantian dengan diare sering terjadi pada
kelompok pasien ini. Gejala nonspesifik awal adalah kelesuan, kelelahan, sakit
kepala, dan inisiatif penurunan diikuti dengan gejala otonom termasuk ortostatik
ringan. Gejala yang paling umum saat onset berhubungan dengan intoleransi
ortostatik, serta disfungsi pencernaan (Andary, 2011). Ensefalitis Batang Otak
Bickerstaff’s (BBE)Tipe ini adalah varian lebih lanjut dari SGB. Hal ini
ditandai dengan onset akut oftalmoplegia, ataksia, gangguan
kesadaran, hiperrefleks atau babinsky sign. Perjalanan penyakit dapat
monophasic atau terutama di otak tengah, pons, dan medula. BEE meskipun
presentasi awal parah biasanya memiliki prognosis baik. MRI memainkan
peran penting dalam diagnosis BEE. Sebagian besar pasien BEE telah
dikaitkan dengan SGB aksonal, dengan indikasi bahwa dua gangguan yang
erat terkait dan membentuk spectrum lanjutan (Seneviratne, 2003).

2.4 Manifestasi Klinis


Gejala-gejala neurologi diawali dengan parestesia (kesemuatan dan kebas)
dan kelemahan otot kaki, yang dapat berkembang ke ekstremitas atas, batang tubuh
dan otot wajah. Kelemahan otot dapat diikuti dengan cepat adanya paralisis yang
lengkap. Saraf kranial yang paling sering terserang, yang mennjukan paralisis pada
okular, wajah dan otot orofaring dan juga menyebabkan kesukaran berbicara,
mengunyah dan menelan. Disfungi autonom yang serign terjadi dan sering
memperlihatkan bentuk reaksi berlebihan atau kurang bereaksinya sistem saraf
simapatis dan parasimpatis, seperti dimanifestasikan oleh gangguan frekuensi
jantung dan ritme, perubahan tekanan darah ( hepertensi transien, hipotensi
ortostatik), dan gangguan fasomotor lainnya yang berfariasi. Keadaan ini juga
menyebabkan nyeri berat dan menetap pada punggung dan daerah kaki. Sering kali
pasien menunjukan adanya kehilangan sensasi terhadap posisi tubuh sama seperti
keterbatasan atau tidak adanya refleks tendon. Perubahan sensori dimanifestasi
dengan bentuk parestesia.
Kebanyakan pasien mengalami pemulihan penuh beberapa bulan sampai satu
tahun, tetapi sekitar 10% menetap dengan residu ketidakmampuan.

7
Gejala awal antara lain adalah: rasa seperti ditusuk-tusuk jarum diujung jari
kaki atau tangan atau mati rasa di bagian tubuh tersebut. Kaki terasa berat dan kaku
atau mengeras, lengan terasa lemah dan telapak tangan tidak bisa menggenggam erat
atau memutar seusatu dengan baik (buka kunci, buka kaleng dll)
Gejala-gejala awal ini bisa hilang dalam tempo waktu beberapa minggu,
penderita biasanya tidak merasa perlu perawatan atau susah menjelaskannya pada
tim dokter untuk meminta perawatan lebih lanjut karena gejala-gejala akan hilang
pada saat diperiksa.
Gejala tahap berikutnya disaaat mulai muncul kesulitan berarti, misalnya:
kaki susah melangkah, lengan menjadi sakit lemah, dan kemudian dokter
menemukan syaraf refleks lengan telah hilang fungsi.
Gejala klinis lainnya yaitu antara lain sebagai berikut :
1. Kelumpuhan
manifestasi klinis utama adalah kelumpuhan otot-otot eksremitas tipe
lower motor newron. Pada sebagian besar kellumphan di mulai dari kedua
eksremitas bawah kemudian menyebar secara asenden ke badan anggota
gerak atas dan saraf kranialis kadang-kadang juga bisa ke empat anggota
di kenai secara anggota kemudian menyebar ke badan dan saraf kranialis.
2. Gangguan sensibilitas
parastesia biasanya lebih jelas pada bagian distal eksremitas, muka juga
bisa di kenai dengan distribusi sirkumolar. Defesit sensori objektif
biasanya minimal. Rasa nyeri otot sering di temui seperti rasa nyeri setelah
suatu aktivitas fisik
3. Saraf kranilis
yang paling sering di kenal adalah N.VI. kelumpuhan otot sering di mulai
pada satu sisi tapi kemudian segera menjadi bilateral sehingga bisa di
temukan berat antara kedua sisi. Semua saraf kranialis bisa di kenai
kecuali N.I dan N.VIII. diplopia bisa terjadi akibat terkena N.IV atau N.III.
bila N.IX dan N.X terkena akan menyebabkan gangguan sukar menelan
disfonia dan pada kasus yang berat menyebabkab pernapasan karena
paralis dan laringeus

8
4. Gangguan fungsi otonom
gangguan fungsi otonom di jumpai pada 25% penderita GBS. Gangguan
tersebut berupa sinus takikardi atau lebih jarang sinus bradikardi, muka
jadi merah ( facial flushing ), hipertensi atau hipotensi yang berfluktusi,
hilangnya keringat atau episodik profuse diphoresis. Retensi atau
inkontenensia urin jarang di jumpai. Gangguan otonom ini jarang menetap
lebih dari satu atau dua minnggu.
5. Kegagalan pernapasan
kegagalan pernapasan merupakan koomplikasi utam yang dapat berakibat
fatal bila tidak di tangani dengan baik. Kegagalan pernapasan ini di
sebabkan paralisis pernapasan dan kelumpuhan otot-otot pernapasan, yang
di jumpai pada 10-33% penderita
6. Papiledema
kadang-kadang di jumpai papiledem, penyebabnya belum di ketahui
dengan pasti di duga karena penindian kadar protein dalam otot yang
menyebabkan penyumbatan arachcoidales sehingga absorbsi cairan otak
berkurang

2.5 Patofisiologi
tidak ada yang mengetahui dengan pasti bagaimana GBS terjadi dan dapat
menyerang sejumlah orang. yang diketahui ilmuwan sampai saat ini adalah bahwa
sistem imun menyerang tubuhnya sendiri, dan menyebabkan suatu penyakit yang
disebut sebagai penyakit autoimun. umumnya sel-sel imunitas ini menyerang benda
asing dan organisme pengganggu; namun pada gbs, sistem imun mulai
menghancurkan selubung myelin yang mengelilingi akson saraf perifer, atau bahkan
akson itu sendiri. terdapat sejumlah teori mengenai bagaimana sistem imun ini tiba-
tiba menyerang saraf, namun teori yang dikenal adalah suatu teori yang menyebutkan
bahwa organisme (misalnya infeksi virus ataupun bakteri) telah mengubah keadaan
alamiah sel-sel sistem saraf, sehingga sistem imun mengenalinya sebagai sel-sel
asing. organisme tersebut kemudian menyebabkan sel-sel imun, seperti halnya
limfosit dan makrofag, untuk menyerang myelin. limfosit t yang tersensitisasi

9
bersama dengan limfosit b akan memproduksi antibodi melawan komponen-
komponen selubung myelin dan menyebabkan destruksi dari myelin.

Sumber https://www.share,net//anatomi/dalatu/patofis,com

Akson adalah suatu perpanjangan sel-sel saraf, berbentuk panjang dan tipis;
berfungsi sebagai pembawa sinyal saraf. Beberapa akson dikelilingi oleh suatu
selubung yang dikenal sebagai myelin, yang mirip dengan kabel listrik yang
terbungkus plastik. Selubung myelin bersifat insulator dan melindungi sel-sel saraf.
Selubung ini akan meningkatkan baik kecepatan maupun jarak sinyal saraf yang
ditransmisikan. Sebagai contoh, sinyal dari otak ke otot dapat ditransmisikan pada
kecepatan lebih dari 50 km/jam.
Myelin tidak membungkus akson secara utuh, namun terdapat suatu jarak
diantaranya, yang dikenal sebagai Nodus Ranvier; dimana daerah ini merupakan
daerah yang rentan diserang. Transmisi sinyal saraf juga akan diperlambat pada
daerah ini, sehingga semakin banyak terdapat nodus ini, transmisi sinyal akan
semakin lambat.
Pada GBS, terbentuk antibodi atau immunoglobulin (Ig) sebagai reaksi
terhadap adanya antigen atau partikel asing dalam tubuh, seperti bakteri ataupun
virus. Antibodi yang bersirkulasi dalam darah ini akan mencapai myelin serta
merusaknya, dengan bantuan sel-sel leukosit, sehingga terjadi inflamasi pada saraf.

1
Sel-sel inflamasi ini akan mengeluarkan sekret kimiawi yang akan mempengaruhi sel
Schwan, yang seharusnya membentuk materi lemak penghasil myelin. Dengan
merusaknya, produksi myelin akan berkurang, sementara pada waktu bersamaan,
myelin yang ada telah dirusak oleh antibodi tubuh. Seiring dengan serangan yang
berlanjut, jaringan saraf perifer akan hancur secara bertahap. Saraf motorik, sensorik,
dan otonom akan diserang; transmisi sinyal melambat, terblok, atau terganggu;
sehingga mempengaruhi tubuh penderita. Hal ini akan menyebabkan kelemahan otot,
kesemutan, kebas, serta kesulitan melakukan aktivitas sehari-hari, termasuk
berjalan.10 Untungnya, fase ini bersifat sementara, sehingga apabila sistem imun
telah kembali normal, serangan itu akan berhenti dan pasien akan kembali pulih.
Seluruh saraf pada tubuh manusia, dengan pengecualian pada otak dan
medulla spinalis, merupakan bagian dari sistem saraf perifer, yakni terdiri dari saraf
kranialis dan saraf spinal. Saraf-saraf perifer mentransmisikan sinyal dari otak dan
medulla spinalis, menuju dan dari otot, organ, serta kulit. Tergantung fungsinya,
saraf dapat diklasifikasikan sebagai saraf perifer motorik, sensorik, dan otonom
(involunter).
Pada GBS, terjadi malfungsi pada sistem imunitas sehingga muncul
kerusakan sementara pada saraf perifer, dan timbullah gangguan sensorik, kelemahan
yang bersifat progresif, ataupun paralisis akut. Karena itulah GBS dikenal sebagai
neuropati perifer.
GBS dapat dibedakan berbagai jenis tergantung dari kerusakan yang terjadi.
Bila selubung myelin yang menyelubungi akson rusak atau hancur , transmisi sinyal
saraf yang melaluinya akan terganggu atau melambat, sehingga timbul sensasi
abnormal ataupun kelemahan. Ini adalah tipe demyelinasi; dan prosesnya sendiri
dinamai demyelinasi primer.
Akson merupakan bagian dari sel saraf 1, yang terentang menuju sel saraf 2.
Selubung myelin berbentuk bungkus, yang melapisi sekitar akson dalam beberapa
lapis. Pada tipe aksonal, akson saraf itu sendiri akan rusak dalam proses demyelinasi
sekunder; hal ini terjadi pada pasien dengan fase inflamasi yang berat. Apabila akson
ini putus, sinyal saraf akan diblok, dan tidak dapat ditransmisikan lebih lanjut,
sehingga timbul kelemahan dan paralisis pada area tubuh yang dikontrol oleh saraf
tersebut. Tipe ini terjadi paling sering setelah gejala diare, dan memiliki prognosis

1
yang kurang baik, karena regenerasi akson membutuhkan waktu yang panjang
dibandingkan selubung myelin, yang sembuh lebih cepat.
Tipe campuran merusak baik akson dan myelin. Paralisis jangka panjang pada
penderita diduga akibat kerusakan permanen baik pada akson serta selubung saraf.
Saraf-saraf perifer dan saraf spinal merupakan lokasi utama demyelinasi, namun,
saraf-saraf kranialis dapat juga ikut terlibat.

1
2.6 WOC
Sumber : https://www.share,net//mobile/dalatu/WOC.com

Faktor-faktor predisposisi terjadi 2-3 minggu sebelum onset meliputi


adanya ISPA, Infeksi gastrointestinal, dan tindakan bedah saraf

Selaput myelin hilang akibat dari respon alergi, respons autoimun, hipoksemia, toksik
kimia, dan insufisiensi vaskuler.

Proses Demielinasi

Konduksi saltatori tidak terjadi dan tidak ada

Gangguan fungsi saraf perifer dan kranial

Gangguan fungsi saraf kranial III, IV, VI, VII, IX dan X


Gangguan perifer dan Neuromuskuler Disfungsi Otonom

Parastesia (kesemutan Paralisis lengkap,


Paralisis pada Kurang bereaksinya
kebas) dan kelemahan otot
ocular, wajah dan otot kaki, yang dapat sistem saraf simpatis
pernapasanterkena,
otot orofaring, dan parasimpatis,
berkembang ke mengakibatakan
kesulitan ekstermitas atas, batang perubahan sensori.
insufisiensi
berbicara, tubuh, dan otot wajah. pernapasan
mengunyah dan

1
Kelemahan
Gangguan pemenuhan nutrisi dan cairan fisik
Risiko Tinggi gagal pernapasan (ARDS), penurunan kemampuan batuk, peningkatan sekresi mucus.
umum, paralisis otot wajah

Risiko Tinggi defisit cairan Tubuh.


Penurunan tonus otot seluruh tubuh, perubahan estetika wajah
Risiko tinggi Pemenuhan nutrisi kurang dari kebutuhan.

Penurunan curah jantung ke otak dan jantung

Gangguan pemenuhan ADL. 2. Ketidakefektifan bersihan jalan napas.


1. Ketidakefektifan pola napas 3. Penurunan curah jantung
Kerusakan Mobilitas fisik.

Gangguan Konsep diri (gambaran diri)


Sekresi Gagalnapas.
mukus masuk lebih ke bawah jalan fungsi pernapasan Penurunan curah jantung ke ginjal

Koma paru.
Risiko tinggi infeksi saluran napas bawah dan parenkim
Penurunan filtrasi
glomerulus
Gangguan frekuensi jantung
kematian
Prognosis penyakit kurang baik Anuria
Kecemasan Keluarga

Pneumonia Gawat Kardiovaskuler Gagal Ginjal Akut

2
2

2.7 PEMERIKSAAN PENUNJANG


1. Lumbal Pungsi
Dapat menunjukkan kadar protein normal pada awalnya dengan kenaikan
pada minggu ke-4 sampai ke-6. cairan spinal memperlihatkan adanya
peningkatan konsentrasi protein dengan menghitung jumlah sel normal

2. Pemeriksaan konduksi saraf


Mencatat transmisi implus sepanjang serabut saraf. pengujian
elektrofisiologis diperlihatkan dalam bentuk lambatnya laju konduksi saraf.

3. Cairan Serebrospinal (CSS)


Yang paling khas adalah adanya disosiasi sitoalbuminik, yakni meningkatnya
jumlah protein (100-1000 mg/dl) tanpa disertai adanya pleositosis
(peningkatan hitung sel). pada kebanyakan kasus, di hari pertama jumlah total
protein css normal; setelah beberapa hari, jumlah protein mulai naik, bahkan
lebih kanjut di saat gejala klinis mulai stabil, jumlah protein css tetap naik
dan menjadi sangat tinggi. puncaknya pada 4-6 minggu setelah onset. derajat
penyakit tidak berhubungan dengan naiknya protein dalam css. hitung jenis
umumnya di bawah 10 leukosit mononuclear/mm.

4. Pemeriksaan kecepatan hantar saraf (KHS) dan elektromiografi (EMG)


Manifestasi elektrofisiologis yang khas dari GBS terjadi akibat
demyelinasi saraf, antara lain prolongasi masa laten motorik distal (menandai
blok konduksi distal) dan prolongasi atau absennya respon gelombang f
(tanda keterlibatan bagian proksimal saraf), blok hantar saraf motorik, serta
berkurangnya khs. pada 90% kasus gbs yang telah terdiagnosis, khs kurang
dari 60% normal. emg menunjukkan berkurangnya rekruitmen motor unit
dapat pula dijumpai degenerasi aksonal dengan potensial fibrilasi 2-4 minggu
setelah onset gejala, sehingga ampilitudo cmap dan snap kurang dari normal.
derajat hilangnya aksonal ini telah terbukti berhubungan dengan tingkat
mortalitas yang tinggi serta disabilitas jangka panjang pada pasien GBS,
2

akibat fase penyembuhan yang lambat dan tidak sempurna. sekitar 10%
penderita menunjukkan penyembuhan yang tidak sempurna, dengan periode
penyembuhan yang lebih panjang (lebih dari 3 minggu) serta berkurangnya
KHS dan denervasi EMG.

5. Pemeriksaan darah
Pada darah tepi, didapati leukositosis polimorfonuklear sedang
dengan pergeseran ke bentuk yang imatur, limfosit cenderung rendah selama
fase awal dan fase aktif penyakit. pada fase lanjut, dapat terjadi limfositosis;
eosinofilia jarang ditemui. laju endap darah dapat meningkat sedikit atau
normal, sementara anemia bukanlah salah satu gejala.

6. Dapat dijumpai respon hipersensitivitas antibodi tipe lambat


Dengan peningkatan immunoglobulin igg, iga, dan igm, akibat
demyelinasi saraf pada kultur jaringan. abnormalitas fungsi hati terdapat pada
kurang dari 10% kasus, menunjukkan adanya hepatitis viral yang akut atau
sedang berlangsung; umumnya jarang karena virus hepatitis itu sendiri,
namun akibat infeksi cmv atau pun ebv .

7. Elektrokardiografi (EKG)
Menunjukkan adanya perubahan gelombang t serta sinus takikardia.
gelombang t akan mendatar atau inverted pada lead lateral. peningkatan
voltase qrs kadang dijumpai, namun tidak sering .

8. Tes fungsi respirasi (pengukuran kapasitas vital paru)


Menunjukkan adanya insufisiensi respiratorik yang sedang berjalan
(impending)

9. Pemeriksaan patologi anatomi


Umumnya didapati pola dan bentuk yang relatif konsisten; yakni
adanya infiltrat limfositik mononuklear perivaskuler serta demyelinasi
multifokal. pada fase lanjut, infiltrasi sel-sel radang dan demyelinasi ini akan
2

muncul bersama dengan demyelinasi segmental dan degenerasi wallerian


dalam berbagai derajat saraf perifer dapat terkena pada semua tingkat, mulai
dari akar hingga ujung saraf motorik intramuskuler, meskipun lesi yang
terberat bila terjadi pada ventral root, saraf spinal proksimal, dan saraf
kranial. infiltrat sel-sel radang (limfosit dan sel mononuclear lainnya) juga
didapati pada pembuluh limfe, hati, limpa, jantung, dan organ lainnya .
sekitar 25% orang dengan penyakit ini mempunyai antibody baik terhadap
sitomegalovirus atau virus epstein-barr. suatu perubahan respons imun pada
antigen saraf perifer dapat menunjang perkembangan gangguan.

Perawatan yang diberikan di rumah sakit ꞉


Hal ini dimulai segera setelah pasien didiagnosa dengan GBS yang semakin
buruk. Intervensi dini dengan salah satu perawatan ini tampaknya efektif dan
dapat mengurangi waktu pemulihan. Kedua tindakanpengobatan sama baik ,
dan tidak ada manfaat untuk menggabungkan perawatan ini. Pemantauan
yang hati-hati sangat penting selama tahap awal GBS karena masalah
pernapasan dan komplikasi yang mengancam jiwa lainnya dapat terjadi dalam
waktu 24 jam setelah gejala mulai pertama.
a. Masuk ke rumah sakit atau unit perawatan intensif sering dibutuhkan
ketika kelemahan otot berlangsung cepat. Kelemahan otot dengan cepat
dapat mempengaruhi otot-otot yang mengendalikan pernapasan. Dalam
kasus tersebut, sementara menggunakan ventilator mekanis mungkin
diperlukan untuk membantu Anda bernapas sampai Anda bisa bernapas
sendiri lagi.
b. Pemantauan pasien rawat jalan mungkin cukup hati-hati dalam kasus-
kasus di mana kelemahan otot yang signifikan belum nampak.

Pasien mungkin perlu dirawat di rumah sakit jika:


a. Tidak dapat bergerak sendiri.
b. Ada kelumpuhan.
c. Memiliki masalah pernapasan.
2

d. Memiliki masalah tekanan darah atau tidak normal, sangat cepat, atau
detak jantung yang sangat lambat.

2.8 Pentalaksanaan
Sindrom guillain-barre dipertimbangkan sebagai kedaruratan medis dan
pasien diatasi di unit perawatan intensif. pasien yang mngalami masalah pernapasan
yang memerlukan ventilator, kadang-kadang untuk periode yang lama. plasmaferesis
(perubahan plasma) yang menyebabkan reduksi antbiotik ke dalam sirkulasi
sementara, yang dapat digunakan pada serangan berat dan dapat membatasi keadaan
yan memburuk dan demielinasi. diperlukan pemantauan ekg kontinu, untuk
kemungkinan perubahan kecepatan atau ritme jantung. disritmia jantung
dihubungkan dengan keadaan abnormal autonom yang diobati dengan propanolol
untuk mencegah takikardi dan hipertensi. atropin dapat diberikan untuk menghindari
episode brakikardi selama terapi fisik . pengobatan sgb terdiri dari 2 komponen,
yaitu pengobatan secara suportif dan terapi khusus. Pengobatan secara suportif tetap
merupakan terapi yang utama, jika pasien sebelumnya melewati fase akut pada
penyakit, kebanyakannya akan mengalami kesembuhan. bagaimanapun, neuropati
dapat memburuk dengan cepat dan diperlukan intubasi endotrakeal dan ventilasi
mekanik dalam 24 jam selama onset gejala. oleh karena itu, semua pasien sgb harus
diterima di rumah sakit untuk diobservasi tertutup untuk kedaruratan system respirasi
pasien, disfungsi kranialis, dan ketidakstabilan system autonom. disfungsi system
saraf autonom dapat bermanfestasi; tekanan darah yang berubah-ubah, disritmia,
psudoobstruktif gastrointestinal dan retensi urin. profilaksis untuk trombosis vena
dalam harus tersedia karena pasien seringkali tidak dapat bergerak selama beberapa
minggu. pada depresi otot pernafasan harus dipertimbangkan persiapan intubasi.
pasien tidak sanggup untuk menunjukkan fungsi minimal paru memerlukan intubasi.
penilaian ulang frekuensi pernafasan dengan tes fungsi paru untuk progresi yang
cepat sangat diperlukan. perkiraan tambahan untuk ventilasi mekanik selanjutnya
adalah waktu dari onset sgb sampai masuk rs kurang dari 7 hari.

Nyeri dan stress psikologi juga harus diobati. terapi psikologis termasuk
memijat dengan lembut, latihan pergerakan secara pasif dan sering merubah posisi
dapat meringankan nyeri. karbamazepin (tegretol) dan gabapentin (nerontin) telah
2

digunakan sebagai tambahan untuk menghilangkan nyeri pada sgb. pada pasien
dengan paralysis memiliki jiwa yang was-was dan takut. menenangkan pasien dan
diskusi tentang fase penyakit dan perbaikan dapat membantu mengurangi stress
psikologi.

Belum ada drug of choice yan tepat untuk sgb. yang diperlukan adalah
kewaspadaan terhadap kemungkinan memburuknya situasi sebagai akibat perjalanan
klinik yang memberat sehingga mengancam otot-otot pernafasan. Pasien yang tidak
mampu bergerak atau dengan berbagai derajat disfungsi otot- otot respirasi harus
mendapatkan terapi aktif dengan plasmapharesis atau immunoglobulin secara
intravena (ivig). plasmapharesis menggunakan suatu plasma exchange lebih kurang
20 l (200-250 ml/kg selama beberapa hari) secara bermakna menurunkan lama dan
beratnya disability pada pasien sgb, namun beberapa penyelidikan terbaru juga
memperlihatkan keuntungan dari ivig (3,7).

The Dutch Guillain-Barre Study Group mengemukakan pengobatan dengan


ivig (400mg/kgbb selama 5 hari) sama atau malahan lebih superior dibandingkan
dengan plasma exchange. penyelidikan-penyelidikan yang lain kurang meyakinkan
dan mengemukakan kemungkinan terjadinya relaps pada pasien dengan pemberian
ivig dibandingkan plasma exchange. IVIg merupakan pengobatan lini pertama yang
lebih praktis yang tidak diragukan lagi kemanjurannya dengan komplikasi yang
rendah, dan mudah digunakan, namun sangat mahal biayanya. plasma exchange
memerlukan tenaga yang terlatih dan peralatan yang tidak selalu dapat tersedia
dengan biaya yang juga mahal, namun lebih murah dibandingkan dengan IVIg. tidak
ada studi tentang keuntungan menggabungkan penggunaan IVIg dan plasma
exchange, sehingga hanya salah satu terapi saja yang digunakan.

Kerugian plasmapharesis termasuk komplikasinya jarang ditemukan, seperti


sepsis yang diyakini dapat menyebabkan penipisan immunoglobulin. jika plasma
beku digunakan sebagai cairan pengganti, beresiko untuk mendapatkan virus seperti
hepatitis dan HIV. IVIg memiliki efek samping dari terapi. ivig memperluas volume
plasma juga dapat memicu terjadinya congestif heart failure (CHF) dan renal
insuffiensi. pasien- pasien dapat menjadi demam, myalgia, sakit kepala, mual, dan
muntah, tetapi gejalaseperti influenza dapat sembuh dengan sendirinya. pasien juga
2

dapat mnegalami meningitis aseptic, nutropenia, dan hipertensi. riwayat alergi


sebelumnya terhadap penggunaan ivig merupakan kontra indikasi pengobatan.
manfaat kortikosteroid untuk sgb masih controversial. namun demikian, apabila
keadaan menjadi gawat akibat terjadinya paralysis otot-otot respirasi maka
kortikosteroid dosis tinggi dapat diberikan. pemberian kortikosteroid harus diiringi
dengan kewaspadaan terhadap efek samping yang mungkin terjadi. penggunaan
ventilator mekanik menjadi suatu keharusan apabila diduga telah terjadi paralysis
otot-otot respirasi. diperlukan rawatan intensif apabila didapati keadaan seperti ini.
apabila terjadi kelumpuhan otot-otot wajah dan menelan, maka perlu dipasang pipa
hidung-lambung (NGT) untuk dapat memenuhi kebutuhan makanan dan cairan.
latihan dan fisioterapi sangat diperlukan untuk mempercepat proses pemulihan.

2.9 Terapi
Perlakuan utama GBS adalah mencegah dan mengelola komplikasi (seperti
masalah pernapasan atau infeksi) dan memberikan perawatan suportif sampai gejala
mulai membaik. ini mungkin termasuk:
a. Mengurangi masalah pernapasan anda, kadang-kadang melalui penggunaan
mesin pernapasan (ventilator).
b. Monitoring tekanan darah dan denyut jantung. menyediakan cukup gizi jika
pasien memiliki masalah mengunyah dan menelan.
c. Mengelola kandung kemih dan masalah usus.
d. Menggunakan terapi fisik untuk membantu mempertahankan kekuatan otot dan
fleksibilitas.
e. Mencegah dan mengobati komplikasi seperti radang paru-paru, gumpalan
darah di kaki, atau infeksi saluran kemih.

Pengobatan lain dari Sindrom guillain-barre (GBS) tergantung pada seberapa


parah gejala anda. pada kasus lebih parah GBS diperlakukan dengan immunotherapy,
yang mencakup pertukaran plasma atau immunoglobulin intravena (ivig). pemberian
imunoglobulin secara intravena dan plasmapharesis atau pengambilan antibodi yang
merusak sistem saraf tepi dengan jalan mengganti plasma darah. selain terapi pokok
tersebut juga telah dijelaskan di atas tentang pemberian fisioterapi dan perawatan
2

dengan terapi khusus serta pemberian obat untuk mengurangi rasa sakit. gbs
merupakan penyakit akut akan tetapi bila diterapi dengan baik dan tepat maka dapat
memperbaiki kualitas hidup pasien.
Pemulihan memerlukan waktu 3-6 bulan, kadang-kadang lebih lama-dalam
beberapa kasus, sampai 18 bulan. orang-orang yang memiliki kelemahan otot yang
parah mungkin harus tinggal di sebuah rumah sakit rehabilitasi untuk menerima
terapi fisik berkesinambungan dan terapi pekerjaan agar fungsi motorik kembali
normal. bagi mereka yang tinggal di rumah, perangkat yang membantu melakukan
kegiatan sehari-hari tertentu dapat digunakan sampai fungsi motorik dan kekuatan
otot kembali.
Terapi fisik dan latihan yang teratur diperlukan selama periode pemulihan
untuk memperkuat otot-otot melemah. Meskipun pemulihan bisa lambat, kebanyakan
orang yang telah GBS akhirnya sembuh.
a. Banyak orang memiliki efek jangka panjang kecil, seperti mati rasa pada jari-
jari kaki dan jari. Dalamkebanyakan kasus, masalah ini tidak akan secara
signifikan mengganggu.
b. Sekitar 20% dari orang mempunyai masalah permanen yang cenderung lebih
menonaktifkan, seperti kelemahan atau masalah keseimbangan. Masalah-
masalah ini mungkin akan mengganggu kegiatan sehari-hari.
c. Sekitar 3% hingga 8% dari orang yang menderita GBS meninggal karena
komplikasi penyakit, seperti kegagalan pernafasan, infeksi (sering pneumonia),
atauserangan jantung.
d. Sampai dengan 67% dari orang yang mendapatkan GBS memiliki beberapa
masalah dengan kelelahan (fatique).

2.10 Komplikasi

Komplikasi dari sindrom Guillan-Barre dapat termasuk:


1. Kesulitan bernapas. Sebuah komplikasi berpotensi mematikan sindrom
Guillain-Barre adalah kelemahan atau kelumpuhan bisa menyebar ke otot
yang mengontrol pernapasan anda. Anda mungkin butuh bantuan sementara
2

dari mesin untuk bernapas ketika Anda sedang dirawat di rumah sakit untuk
perawatan.
2. Sisa mati rasa atau sensasi lainnya. Kebanyakan penderita sindrom Guillain-
Barre sembuh sepenuhnya atau hanya kecil, kelemahan residu atau sensasi
abnormal, seperti mati rasa atau kesemutan. Namun, pemulihan sepenuhnya
mungkin lambat, sering mengambil tahun atau lebih.
3. Kurang dari 1 dalam 10 orang dengan pengalaman sindrom Guillain-Barre
komplikasi jangka panjang, seperti:
a. Komplikasi serius, masalah permanen dengan sensasi dan koordinasi,
termasuk beberapa kasus kecacatan parah
b. Sebuah kambuhnya sindrom Guillain- Barre.
c. Jarang, kematian, dari komplikasi seperti sindrom gangguan pernapasan
dan serangan jantung.
d. Tingkat keparahan, gejala awal sindrom Guillain-Barre secara signifikan
meningkatkan risiko komplikasi jangka panjang yang serius.

2.11 Pencegahan
Pencegahan dilakukan dengan menjaga kesehatan supaya tidak mengalami
infeksi dan melakukan pemantauan keamanan vaksin. Vaccine Adverse Event
Reporting (VAERS) adalah suatu sistem yang dikelola CDC dan Food and Drug
Administration (FDA) untuk mengumpulkan laporan sukarela tentang kemungkinan
efek samping yang dialami orang setelah mendapatkan vaksinasi. Hal ini bisa kita
lakukan di Indonesia dengan melaporkan kasus efek samping pemberian vaksinasi
pada Puskesmas setempat yang akan dilanjutkan sampai Kementrian Kesehatan
untuk ditindaklanjuti. Melalui tindak lanjut tersebut diharapkan dapat mendeteksi
adanya kemungkinan risiko GBS yang terkait dengan vaksinasi

2.12 Konsep Dasar Ventilator


1. Pengertian
Ventilator adalah suatu alat yang digunakan untuk membantu sebagian atau
seluruh proses ventilasi untuk mempertahankan oksigenasi.
2. Indikasi Pemasangan Ventilator
a. Pasien dengan respiratory failure (gagal napas)
2

b. Pasien dengan operasi tekhik hemodilusi.


c. Post Trepanasi dengan black out.
Penyebab sentral
a) Trauma kepala : Contusio cerebri.
b) Radang otak : Encepalitis.
c) Gangguan vaskuler : Perdarahan otak, infark otak.
d) Obat-obatan : Narkotika, Obat anestesi.

Penyebab perifer
Respiratory Arrest.

3. Penyebab Gagal Napas


a. Kelaian Neuromuskuler :
- Guillian Bare symdrom
- Tetanus
- Trauma servikal
- Obat pelemas otot.
b. Kelainan jalan napas.
- Obstruksi jalan napas
- Asma broncheal.
c. Kelainan di paru
- Edema paru, atlektasis, ARDS
d. Kelainan tulang iga / thorak
- Fraktur costae, pneumothorak, haemathorak.
e. Kelainan jantung : Kegagalan jantung kiri.

4. Kriteria Pemasangan Ventilator


Menurut Pontopidan seseorang perlu mendapat bantuan ventilasi mekanik
(ventilator) bila :
- Frekuensi napas lebih dari 35 kali per menit
- Hasil analisa gas darah dengan O2 masker PaO2 kurang dari 70 mmHg
- PaCO2 lebih dari 60 mmHg
3

- AaDO2 dengan O2 100 % hasilnya lebih dari 350 mmHg


- Vital capasity kurang dari 15 ml / kg BB.

5. Macam-macam Ventilator.
Menurut sifatnya ventilator dibagi tiga type yaitu:
a. Volume Cycled Ventilator.
Perinsip dasar ventilator ini adalah cyclusnya berdasarkan volume. Mesin
berhenti bekerja dan terjadi ekspirasi bila telah mencapai volume yang
ditentukan. Keuntungan volume cycled ventilator adalah perubahan pada
komplain paru pasien tetap memberikan volume tidal yang konsisten.
b. Pressure Cycled Ventilator
Perinsip dasar ventilator type ini adalah cyclusnya menggunakan tekanan.
Mesin berhenti bekerja dan terjadi ekspirasi bila telah mencapai tekanan
yang telah ditentukan. Pada titik tekanan ini, katup inspirasi tertutup dan
ekspirasi terjadi dengan pasif. Kerugian pada type ini bila ada perubahan
komplain paru, maka volume udara yang diberikan juga berubah. Sehingga
pada pasien yang setatus parunya tidak stabil, penggunaan ventilator tipe
ini tidak dianjurkan.
c. Time Cycled Ventilator
Prinsip kerja dari ventilator type ini adalah cyclusnya berdasarkan wamtu
ekspirasi atau waktu inspirasi yang telah ditentukan. Waktu inspirasi
ditentukan oleh waktu dan kecepatan inspirasi (jumlah napas permenit).
Normal ratio I : E (inspirasi : ekspirasi ) 1 : 2

6. Mode-Mode Ventilator.
Pasien yang mendapatkan bantuan ventilasi mekanik dengan menggunakan
ventilator tidak selalu dibantu sepenuhnya oleh mesin ventilator, tetapi
tergantung dari mode yang kita setting. Mode mode tersebut adalah sebagai
berikut:
a. Mode Control.
Pada mode kontrol mesin secara terus menerus membantu pernafasan
pasien. Ini diberikan pada pasien yang pernafasannya masih sangat
3

jelek, lemah sekali atau bahkan apnea. Pada mode ini ventilator
mengontrol pasien, pernafasan diberikan ke pasien pada frekwensi dan
volume yang telah ditentukan pada ventilator, tanpa menghiraukan
upaya pasien untuk mengawali inspirasi. Bila pasien sadar, mode ini
dapat menimbulkan ansietas tinggi dan ketidaknyamanan dan bila
pasien berusaha nafas sendiri bisa terjadi fighting (tabrakan antara
udara inspirasi dan ekspirasi), tekanan dalam paru meningkat dan bisa
berakibat alveoli pecah dan terjadi pneumothorax. Contoh mode control
ini adalah: CR (Controlled Respiration), CMV (Controlled Mandatory
Ventilation), IPPV (Intermitten Positive Pressure Ventilation).
b. Mode IMV / SIMV: Intermitten Mandatory Ventilation/Sincronized
Intermitten Mandatory Ventilation.
Pada mode ini ventilator memberikan bantuan nafas secara selang
seling dengan nafas pasien itu sendiri. Pada mode IMV pernafasan
mandatory diberikan pada frekwensi yang di set tanpa menghiraukan
apakah pasien pada saat inspirasi atau ekspirasi sehingga bisa terjadi
fighting dengan segala akibatnya. Oleh karena itu pada ventilator
generasi terakhir mode IMVnya disinkronisasi (SIMV). Sehingga
pernafasan mandatory diberikan sinkron dengan picuan pasien. Mode
IMV/SIMV diberikan pada pasien yang sudah bisa nafas spontan tetapi
belum normal sehingga masih memerlukan bantuan.
c. Mode ASB / PS : (Assisted Spontaneus Breathing / Pressure Suport
Mode ini diberikan pada pasien yang sudah bisa nafas spontan atau
pasien yang masih bisa bernafas tetapi tidal volumnenya tidak cukup
karena nafasnya dangkal. Pada mode ini pasien harus mempunyai
kendali untuk bernafas. Bila pasien tidak mampu untuk memicu trigger
maka udara pernafasan tidak diberikan.
d. CPAP : Continous Positive Air Pressure.
Pada mode ini mesin hanya memberikan tekanan positif dan diberikan
pada pasien yang sudah bisa bernafas dengan adekuat.
Tujuan pemberian mode ini adalah untuk mencegah atelektasis dan
melatih otot-otot pernafasan sebelum pasien dilepas dari ventilator.
3

7. Sistem Alarm
Ventilator digunakan untuk mendukung hidup. Sistem alarm perlu untuk
mewaspadakan perawat tentang adanya masalah. Alarm tekanan rendah
menandakan adanya pemutusan dari pasien (ventilator terlepas dari pasien),
sedangkan alarm tekanan tinggi menandakan adanya peningkatan tekanan,
misalnya pasien batuk, cubing tertekuk, terjadi fighting, dll. Alarm volume
rendah menandakan kebocoran. Alarm jangan pernah diabaikan tidak
dianggap dan harus dipasang dalam kondisi siap.

8. Pelembaban dan suhu.


Ventilasi mekanis yang melewati jalan nafas buatan meniadakan mekanisme
pertahanan tubuh unmtuk pelembaban dan penghangatan. Dua proses ini harus
digantikan dengan suatu alat yang disebut humidifier. Semua udara yang
dialirkan dari ventilator melalui air dalam humidifier dihangatkan dan
dijenuhkan. Suhu udara diatur kurang lebih sama dengan suhu tubuh. Pada
kasus hipotermi berat, pengaturan suhu udara dapat ditingkatkan. Suhu yang
terlalu itnggi dapat menyebabkan luka bakar pada trachea dan bila suhu terlalu
rendah bisa mengakibatkan kekeringan jalan nafas dan sekresi menjadi kental
sehingga sulit dilakukan penghisapan.

9. Fisiologi Pernapasan Ventilasi Mekanik


Pada pernafasan spontan inspirasi terjadi karena diafragma dan otot
intercostalis berkontrkasi, rongga dada mengembang dan terjadi tekanan
negatif sehingga aliran udara masuk ke paru, sedangkan fase ekspirasi berjalan
secara pasif.
Pada pernafasan dengan ventilasi mekanik, ventilator mengirimkan udara
dengan memompakan ke paru pasien, sehingga tekanan sselama inspirasi
adalah positif dan menyebabkan tekanan intra thorakal meningkat. Pada akhir
inspirasi tekanan dalam rongga thorax paling positif.

10. Efek Ventilasi mekanik


3

Akibat dari tekanan positif pada rongga thorax, darah yang kembali ke jantung
terhambat, venous return menurun, maka cardiac output juga menurun. Bila
kondisi penurunan respon simpatis (misalnya karena hipovolemia, obat dan
usia lanjut), maka bisa mengakibatkan hipotensi. Darah yang lewat paru juga
berkurang karena ada kompresi microvaskuler akibat tekanan positif sehingga
darah yang menuju atrium kiri berkurang, akibatnya cardiac output juga
berkurang. Bila tekanan terlalu tinggi bisa terjadi gangguan oksigenasi. Selain
itu bila volume tidal terlalu tinggi yaitu lebih dari 10-12 ml/kg BB dan tekanan
lebih besar dari 40 CmH2O, tidak hanya mempengaruhi cardiac output (curah
jantung) tetapi juga resiko terjadinya pneumothorax.

Efek pada organ lain:


Akibat cardiac output menurun; perfusi ke organ-organ lainpun menurun
seperti hepar, ginjal dengan segala akibatnya. Akibat tekanan positif di rongga
thorax darah yang kembali dari otak terhambat sehingga tekanan intrakranial
meningkat.

11. Komplikasi Ventilasi Mekanik (Ventilator)


Ventilator adalah alat untuk membantu pernafasan pasien, tapi bila
perawatannya tidak tepat bisa, menimbulkan komplikasi seperti:
a. Pada paru
1) Baro trauma: tension pneumothorax,empisema sub cutis,emboli
udara vaskuler.
2) Atelektasis/kolaps alveoli diffuse
3) Infeksi paru
4) Keracunan oksigen
5) Jalan nafas buatan: king-king (tertekuk), terekstubasi, tersumbat.
6) Aspirasi cairan lambung
7) Tidak berfungsinya penggunaan ventilator
8) Kerusakan jalan nafas bagian atas
b. Pada sistem kardiovaskuler
3

Hipotensi, menurunya cardiac output dikarenakan menurunnya aliran


balik vena akibat meningkatnya tekanan intra thorax pada pemberian
ventilasi mekanik dengan tekanan tinggi
c. Pada sistem saraf pusat
1) Vasokonstriksi cerebral
Terjadi karena penurunan tekanan CO2 arteri (PaCO2) dibawah
normal akibat dari hiperventilasi.
2) Oedema cerebral
Terjadi karena peningkatan tekanan CO2 arteri diatas normal akibat
dari hipoventilasi.
3) Peningkatan tekanan intra kranial
4) Gangguan kesadaran
5) Gangguan tidur.
d. Pada sistem gastrointestinal
1) Distensi lambung, illeus
2) Perdarahan lambung.
3) Gangguan psikologi

12. Prosedur Pemberian Ventilator


Sebelum memasang ventilator pada pasien. Lakukan tes paru pada ventilator
untuk memastikan pengesetan sesuai pedoman standar. Sedangkan pengesetan
awal adalah sebagai berikut:

a. Fraksi oksigen inspirasi (FiO2) 100%


b. Volume Tidal: 4-5 ml/kg BB
c. Frekwensi pernafasan: 10-15 kali/menit
d. Aliran inspirasi: 40-60 liter/detik
e. PEEP (Possitive End Expiratory Pressure) atau tekanan positif akhir
ekspirasi: 0-5 Cm, ini diberikan pada pasien yang mengalami oedema paru dan
untuk mencegah atelektasis. Pengesetan untuk pasien ditentukan oleh tujuan
terapi dan perubahan pengesetan ditentukan oleh respon pasien yang
ditujunkan oleh hasil analisa gas darah (Blood Gas).
3

13. Kriteria Penyapihan


Pasien yang mendapat bantuan ventilasi mekanik dapat dilakukan penyapihan
bila memenuhi kriteria sebagai berikut:
- Kapasitas vital 10-15 ml/kg BB
- Volume tidal 4-5 ml/kg BB
- Kekuatan inspirasi 20 cm H2O atau lebih besar
- Frekwensi pernafasan kurang dari 20 kali/menit

2.13 Konsep Trakeostomi


1. Definisi Trakeostomi
Trakeostomi adalah tindakan membuat stoma atau lubang agar udara dapat
masuk ke paru-paru dengan memintas jalan nafas bagian atas (adams, 1997).
Trakeostomi merupakan tindakan operatif yyang memiliki tujuan membuat jalan
nafas baru pada trakea dengan mebuat sayatan atau insisi pada cincin trakea ke 2,3,4.
Trakeostomi merupakan suatu prosedur operasi yang bertujuan untuk membuat suatu
jalan nafas didalam trakea servikal. Perbedaan kata – kata yang dipergunakan dalam
membedakan “ostomy” dan “otomy” tidak begitu jelas dalam masalah ini, sebab
lubang yang diciptakan cukup bervariasi dalam ketetapan permanen atau tidaknya.
Apabila kanula telah ditempatkan, bukaan hasil pembedahan yang tidak dijahit dapat
sembuh dalam waktu satu minggu. Jika dilakukan dekanulasi (misalnya kanula
trakeostomi dilepaskan), lubang akan menutup dalam waktu yang kurang lebih sama.
Sudut luka dari trakea yang dibuka dapat dijahit pada kulit dengan beberapa jahitan
yang dapat diabsorbsi demi memfasilitasi kanulasi dan, jika diperlukan, pada
rekanulasi; alternatifnya stoma yang permanen dapat dibuat dengan jahitan
melingkar (circumferential). Kata trakeostomi dipergunakan, dengan kesepakatan,
untuk semua jenis prosedur pembedahan ini. Perkataan tersebut dianggap sebagai
sinonim dari trakeotomi.

2. Fungsi Trakeostomi
a. Mengurangi tahanan aliran udara pernafasan yang selanjutnya
mengurangi kekuatan yang diperlukan untuk memindahkan udara
sehingga mengakibatkan peningkatan regangan total dan ventilasi
3

alveolus yang lebih efektif. Asal lubang trakheostomi cukup besar


(paling sedikit pipa 7)
b. Proteksi terhadap aspirasi
c. Memungkinkan pasien menelan tanpa reflek apnea, yang sangat penting
pada pasien dengan gangguan pernafasan
d. Memungkinkan jalan masuk langsung ke trachea untuk pembersihan
e. Memungkinkan pemberian obat-obatan dan humidifikasi ke traktus
respiratorius
f. Mengurangi kekuatan batuk sehingga mencegah pemindahan secret
ke perifer oleh tekanan negative intra toraks yang tinggi pada fase
inspirasi batuk yang norma.

3. Indikasi Trakeostomi

a. Terjadinya obstruksi jalan nafas atas


b. Sekret pada bronkus yang tidak dapat dikeluarkan secara fisiologis,
misalnya pada pasien dalam keadaan koma.
c. Untuk memasang alat bantu pernafasan (respirator).
d. Apabila terdapat benda asing di subglotis
e. Penyakit inflamasi yang menyumbat jalan nafas ( misal angina ludwig),
epiglotitis dan lesi vaskuler, neoplastik atau traumatik yang timbul
melalui mekanisme serupa
f. Obstruksi laring
1) Karena radang akut, misalnya pada laryngitis akut, laryngitis difterika,
laryngitis membranosa, laringo-trakheobronkhitis akut, dan abses
laring
2) Karena radang kronis, misalnya perikondritis, neoplasma jinak dan
ganas, trauma laring, benda asing, spasme pita suara, dan paralise
Nerus Rekurens
g. Sumbatan saluran napas atas karena kelainan kongenital, traumaeksterna
dan interna, infeksi, tumor.
h. Cedera parah pada wajah dan leher
i. Setelah pembedahan wajah dan leher
3

j. Hilangnya refleks laring dan ketidakmampuan untuk menelan sehingga


mengakibatkan resiko tinggi terjadinya aspirasi
k. Penimbunan sekret di saluran pernafasan. Terjadi pada tetanus, trauma
kapitis berat, Cerebro Vascular Disease (CVD), keracunan obat, serta
selama dan sesudah operasi laring.

4. Kontraindikasi Trakeostomi
Infeksi pada tempat pemasangan, dan gangguan pembekuan darah yang tidak
terkontrol, seperti hemofili.

5. Klasifikasi
a. Menurut letak insisinya, trakeostomi dibedakan menjadi
1) Trakeostomi elektif : Insisi horizontal
2) Trakeostomi emergensi : Insisi vertikal
b. Menurut waktu dilakukannya tindakan, trakeostomi dibedakan menjadi
1) Trakeostomi darurat dan segera dengan persiapan sarana sangat
kurang
2) Trakeostomi berencana (persiapan sarana cukup) dan dapat dilakukan
secara baik
c. Menurut lamanya pemasangan, trakheostomi dibagi menjadi
1) Tracheal stoma post laryngectomy: merupakan tracheostomy
permanen. Tracheal cartilage diarahkan kepermukaan kulit, dilekatkan
pada leher. Rigiditas cartilage mempertahankan stoma tetap terbuka
sehingga tidak diperlukan tracheostomy tube (canule).
2) Tracheal stoma without laryngectomy: merupakan tracheostomy
temporer. Trachea dan jalan nafas bagian atas masih intak tetapi
terdapat obstruksi. Digunakan tracheostomy tube (canule) terbuat dari
metal atau Non metal (terutama pada penderita yang sedang mendapat
radiasi dan selama pelaksanaan MRI Scanning).
3

6. Teknik Trakeostomi
Pasien tidur terlentang, bahu diganjal dengan bantalan kecil sehingga
memudahkan kepala untuk diekstensikan pada persendian atalantooksipital.
Dengan posisi seperti ini leher akan lurus dan trakea akan terletak di garis
median dekat permukaan leher. Kulit leher dibersihkan sesuai dengan prinsip
aseptik dan antiseptik dan ditutup dengan kain steril. Obat anestetikum
disuntikkan di pertengahan krikoid dengan fossa suprasternal secara infiltrasi.
Sayatan kulit dapat vertikal di garis tengah leher mulai dari bawah krikoid
sampai fosa suprasternal atau jika membuat sayatan horizontal dilakukan pada
pertengahan jarak antara kartilago krikoid dengan fosa suprasternal atau kira-
kira dua jari dari bawah krikoid orang dewasa. Sayatan jangan terlalu sempit,
dibuat kira-kira lima sentimeter.
Dengan gunting panjang yang tumpul kulit serta jaringan di bawahnya
dipisahkan lapis demi lapis dan ditarik ke lateral dengan pengait tumpul sampai
tampak trakea yang berupa pipa dengan susunan cincin tulang rawan yang
berwarna putih. Bila lapisan ini dan jaringan di bawahnya dibuka tepat di
tengah maka trakea ini mudah ditemukan. Pembuluh darah yang tampak ditarik
lateral. Ismuth tiroid yang ditemukan ditarik ke atas supaya cincin trakea jelas
terlihat. Jika tidak mungkin, ismuth tiroid diklem pada dua tempat dan
dipotong ditengahnya. Sebelum klem ini dilepaskan ismuth tiroid diikat keda
tepinya dan disisihkan ke lateral. Perdarahan dihentikan dan jika perlu diikat.
Lakukan aspirasi dengan cara menusukkan jarum pada membran antara cincin
trakea dan akan terasa ringan waktu ditarik. Buat stoma dengan memotong
cincin trakea ke tiga dengan gunting yang tajam. Kemudian pasang kanul
trakea dengan ukuran yang sesuai. Kanul difiksasi dengan tali pada leher
pasien dan luka operasi ditutup dengan kasa.
Untuk menghindari terjadinya komplikasi perlu diperhatikan insisi kulit jangan
terlalu pendek agar tidak sukar mencari trakea dan mencegah terjadinya
emfisema kulit.
3

7. Perawatan Trakeostomi
a. Pembersihan secret atau biasa disebut trakeobronkial toilet
b. Perawatan luka pada trakeostomi
c. Perawatan anak kanul
d. Humidifikasi

2.14 Asuhan Keperawatan


1. Pengkajian
Pengkajian terhadap Sindrom Guillain Barren
 Keluhan utama
Keluhan utama menjadi alas an klien meminta pertolongan berhungan
dengan kelemahan otot atau kelemahan fisik secara umum
 Riwayat Penyakit Sekarang
Tanyakan dengan jelas gejala yang timbul seperti sekarang, sembuh atau
bertambah buruk. Pada pengkajian klien Sindrom Guilla in Barre
Biasanya didapatkan keluhanyang berhubungan dengan proses
dimielinisasi. Keluhan tersebut diantaranya gejala-gejala neurologis
diawali dengan prestasia (kesemutan kebas) dan kelemahan otot kaki,
yang dapat berkembang ke ekstermitas atas, batang tubuh dan otot
kelemahan dapat diikuti dengan paralisis lengkap.
 Riwayat Penyakit dahulu
Pengkajian penyakit yang pernah dialami klien yang memungkinkan
adanya hubungan atau menjadi predisposisi keluhan sekarang meliputih
pernahkah mengalami ISPA, Insfeksi gastrointestinal dan tindakan bedah
Syaraf.
Pengkajian pemakain obat-obatan yang sering digunakan klien,
seperti pemakaian obat kartiosteroid, antibiotic dan menilai reaksinya
(resistensi pemakaian antibiotik)
 Pengkajian Psikospriritual
Pengkajian mekanisme koping yang digunakan klien penting juga untuk
menilai respon emosi klien terhadap penyakit yang dideritanya dan
4

perubahan peran kliendalam keluarga serta respond an pengaruhnya


kehidupan sehari-hari baik dalam keluarga ataupun dalam masyarakat.

2. Pemeriksaan Fisik
Setelah melakukan anamnesis yang mengarah pada keluhan-keluhan
klien, pemeriksaan fisik sangat berguna untuk mendukung data dari
pengkajian anamnesis. Pemeriksaan fisik sebaiknya dilakukan per sistem
(B1-B6) dengan fokus pemeriksaan fisik pada pemeriksaan B3 (brain) yang
terarah dan dihubungkan dengan keluhan-keluhan dari klien. Pada klien GBS
biasanya didapatkan suhu tubuh normal. Penurunan denyut nadi terjadi
berhubungan dengan tanda-tanda penurunan curah jantung. Peningkatan
frekuensi pernapasan berhubungan dengan peningkatan laju metabolisme
umum dan adanya infeksi pada sistem pernapasan dan adanya akumulasi
sekret akibat insufisiensi pernapasan. TD didapatkan ortostatik hipotensi atau
TD meningkat (hipertensi transien) berhubungan dengan penurunan reaksi
saraf simpatis dan parasimpatis.

a) B1 (Breathing)
Inspeksi didapatkan klien batuk, peningkatan produksi sputum, sesak
napas, penggunaan otot bantu napas, dan peningkatan frekuensi pernapasan
karena infeksi saluran pernapasan dan paling sering didapatkan pada klien
GBS adalah penurunan frekuensi pernapasan karena melemahnya fungsi otot-
otot pernapasan. Palpasi biasanya taktil premitus seimbang kanan dan kiri.
Auskultasi bunyi napas tambahan seperti ronkhi pada klien dengan GBS
berhubungan akumulasi sekret dari infeksi saluran napas.

b) B2 (Blood)
Pengkajian pada sistem kardiovaskuler pada klien GBS didapatkan
bradikardi yang berhubungan dengan penurunan perfusi perifer.Tekanan
darah didapatkan ortostatik Hipotensi atau TD meningkat ( hipertensi
transien ) berhubungan dengan penurunan reaksi saraf simpatis dan
parasimpatis.
4

c) B3 (Brain)
Merupakan pengkajian fokus meliputi :
1) Tingkat kesadaran
Pada klien GBS biasanya kesadaran compos mentis ( CM ). Apabila klien
mengalami penurunan tingkat kesadaran maka penilaian GCS sangat penting
untuk menilai dan sebagai bahan evaluasi untuk monitoring pemberian
asuhan keperawatan.
2) Fungsi serebri
Status mental : observasi penampilan klien dan tingkah lakunya, nilai gaya
bicara klien dan observasi ekspresi wajah, dan aktivitas motorik yang pada
klien GBS tahap lanjut disertai penurunan tingkat kesadaran biasanya status
mental klien mengalam perubahan.
3) Pemeriksaan saraf kranial
Saraf I : Biasanya pada klien GBS tidak ada kelainan dan fungsi
penciuman
Saraf II : Tes ketajaman penglihatan pada kondisi normal.
Saraf III, IV, dan VI : Penurunan kemampuan membuka dan menutup
kelopak mata, paralis ocular.
Saraf V : Pada klien GBS didapatkan paralis pada otot wajah sehingga
mengganggu proses mengunyah.
Saraf VII : Persepsi pengecapan dalam batas normal, wajah asimetris
karena adanya paralisis unilateral.
Saraf VIII : Tidak ditemukan adanya tuli konduktif dan tuli persepsi.
Saraf IX dan X : paralisi otot orofaring, kesukaran berbicara,
mengunyah, dan menelan. Kamampuan menelan kurang baik sehngga
mengganggu pemenuhan nutrisi via oral.
Saraf XI: Tidak ada atrof otot sternokleinomastoideus dan
trapezius.kemampuan mobliisasi leher baik.
Saraf XII: Lidah simetris, tidak ada deviasi pada satu sisi dan tidak ada
fasikulasi. Indra pengecapan normal.
4

d. Sistem motorik
Kekuatan otot menurun, control keseimbangan dan koordinasi pada klien
GBS tahap lanjut mengalami perubahan. Klien mengalami kelemahan
motorik secara umum sehingga menggaganggu moblitas fisik .

e. Pemeriksaan reflexs
Pemeriksaan reflex dalam, pengetukan pada tendon, ligamentum, periosteum
derajat reflexs dalam respons normal.
f. Gerakan involunter
Tidak ditemukan adanya tremor, kejang, Tic,dan distonia.
g. System sensorik
Parestesia ( kesemutan kebas ) dan kelemahan otot kaki, yang dapat
berkembang ke ekstrimtas atas, batang tubuh, dan otot wajah. Klien
mengalami penurunan kemampuan penilaian sensorik raba, nyeri, dan suhu.

d) B4 (Bladder)
Terdapat penurunan volume haluaran urine, hal ini berhubungan dengan
penurunan perfusi dan penurunan curah jantung ke ginjal.

e) B5 (Bowel)
Mual sampai muntah dihubungkan dengan peningkatan produksi asam
lambung. Pemenuhan nutris pada klien GBS menurun karena anoreksia dan
kelemahan otot-otot pengunyah serta gangguan proses menelan menyebabkan
pemenuhan via oral kurang terpenuhi.

f) B6 (Bone)
Penurunan kekuatan otot dan penurunan tingkat kesadaran menururnkan
mobilitas pasien secara umum. Dalam pemenuhan kebutuhan sehari-hari klien
lebh banyak dibantu orang lain.

B. Diagnosa Keperawatan
Sumber : SDKI,
4

Diagnosa keperawatan yang mungkin muncul yakni :

1. Pola napas tidak efektif yang berhubungan dengan kelemahan progresif


cepat otot-otot pernapasan dan ancaman gagal pernapasan
2. Resiko tinggi penurunan curah jantung yang berhubungan dengan
perubahan frekuensi, irama, dan konduksi listrik jantung.
3. Resiko gangguan nutrisi : kurang dari kebutuhan tubuh yang
berhubungan dengan ketidakmampuan mengunyah dan menelan
makanan.
4. Gangguan mobilitas fisik yang berhubungan dengan kerusakan
neuromuscular, penurunan kekuatan otot, dan penurunan kesadaran.
5. Cemas yang berhubungan dengan kondisi sakit dan prognosis penyakit
yang buruk.

C. Intervensi Keperawatan
Sumber : SIKI
Pola napas tidak efektif yang berhubungan dengan kelemahan progresif cepat
otot-otot pernapasan dan ancaman gagal pernapasan
Tujuan : dalam waktu 3x24 jam setelah diberikan tindakan pola napas kembali
efektif.
Criteria hasil : secara subjektif sesak napas (-),RR 16-20x/menit. Tidak
menggunakan otot bantu pernapasan, gerakan dada normal

Intervensi Rasional

Kaji fungsi paru, adanya bunyi napas Menjadi parameter monitoring serangan
tambahan, perubahan irama dan gagal napas dan menjadi data dasar
kedalaman, penggunaan otot bantu intervensi selanjutnya
pernapasan

Evaluasi keluhan sesak napas bak secara Tanda dan gejala meliputi adanya
verbal maupun nonverbal kesukaran bernapas saat bicara,
pernapasan dangkal
dan
ireguler,takikardia dan perubahan pola
napas.
Beri ventilasi mekanik Ventilasi mekanik digunakan jika
pengkajian sesuai kapasitas vital, klien
memperlihatkan perkembangan kearah
4

kemunduran, yang mengndikasika


kearah memburuknya n kekuatan
pernapasan
otot
Lakukan pemeriksaan kapasitas vital Penurunan kapasitas vital dhubungkan
pernapasan dengan kelemahan otot-otot pernapasan
saat menelan,sehingga hal ini
menyebabkan kesukaran saat batuk dan
menelan, dan adanya indikasi
memburuknya fungsi pernapasan.

Kolaborasi : Membantu pemenuhan oksigen yang


Pemberian humidifikasi oksigen sangat dperlukan tubuh dengan kondisi
3L/Menit laju metabolism sedang meningkat

Resiko tinggi penurunan curah jantung yang berhubungan dengan perubahan


frekuensi, irama, dan konduksi listrik jantung.
Tujuan : penurunan curah jantung tidak terjadi
Criteria hasil : stabilitas hemodinamik baik
Intervensi Rasional
Auskultasi TD, bandingkan kedua lengan, Hipotensi dapat terjadi sampai dengan
ukur dalam keadaan berbaring, duduk, disfungsi ventrikel, hipertensi juga
atau berdiri bila memungkinkan fenomena umum karena nyeri cemas
pengeluaran katekolamin.

Evaluasi kualitas dan kesamaan nadi Penurunan curah


jantung
mengakibatkan menurunnya kekuatan
nadi.

Catat murmur Menunjukkan gangguan aliran darah


dalam jantung, (kelainan katup,
kerusakan septum, atau fibrasi otot
papilar).

Pantau frekuensi jantung dan irama Perubahan frekuensi dan irama jantung
menunjukkan komplikasi disritma.
Kolaborasi :
Berikan O2 tambahan sesuai indikasi Dapat meningkatkan saturasi oksgean
dalam darah

Resiko gangguan nutrisi : kurang dari kebutuhan tubuh yang berhubungan


dengan ketdakmampuan mengunyah dan menelan makanan
Tujuan : pemenuhan nutrisi klien terpenuhi
Criteria hasil : setelah dirawat tiga hari klien tidak terjadi komplikasi akibat
penurunan asupan nutrisi
Intervensi Rasional
4

Kaji kemampuan klien dalam pemenuhan Perhatian yang diberikan untuk nutrisi
nutrisi klien oral yang adekuat dan pencegahan
kelemahan otot karena kurang
makanan.
Monitor komplikasi akibat paralisis Ilius paralisis dapat disebabkan oleh
akibat insufisisensi aktivitas parasimpatis insufisiensi aktivitas parasimpatis.
Dalam kejadian ini, makanan melalui
intravena dipertimbangkan diberikan
oleh dokter dan perawat mementau
bising usus sampai terdengar

Berikan nutrisi via NGT Indikasi jika klien tidak mampu


menelan melalui oral
Berikan nutrisi via oral bila paralis Bila klien dapat menelan, makanan
menelan berkurang melalui oral diberikan perlahan-lahan
dan sangat hati-hati

Gangguan mobilitas fisik yang berhubungan dengan kerusakan


neuromuscular, penurunan kekuatan otot, penurunan kesadaran
Tujuan : dalam waktu 3x24 jam setelah diberikan tindakan mobilitas klien
meningkat atau teradaptasi
Criteria hasil : peningkatan kemampuan dan tidak terjadi thrombosis vena profunda
dan emboli paru merupakan ancaman klien paralisis yang tidak mampu
menggerakkan ekstremitas, dekubitus tidak terjadi
Intervensi Rasional
Kaji tingkat kemampuan klien dalam Merupakan data dasar
melakukan mobilitas fisik untuk melakukan
intervensi selanjutnya

Dekatkan alat dan sarana yang dibutuhkan Bila pemulihan mulai untuk dlakukan,
klien dalam pemenuhan aktivitas sehari- klien dapat hipotensi ortostatik ( dari
hari disfungsi otonom ) dan kemungkinan
membutuhkan meja tempat tidur untuk
menolong mereka mengambil posisi
duduk tegak

Hindari factor-faktor yang Individu paralisis mempunyai


memungkinkan terjadinya trauma pada kemungkinan mengalalmi kompresi
saat klien melakukan mobilisasi neuropati, paling sering saraf ulnar dan
peritonial

Sokong ekstremitas yang mengalami Ekstremitas paralisis disokong dengan


paralisis posisi fungsional dan memberikan
latihan rentang gerak secara
pasif paling sedikit dua kali sehari
4

Monitor komplikasi gangguan mobilitas Deteksi awal thrombosis vena


fisik profunda dan dekubitus sehingga
dengan penemuan yang cepat
penanganan
lebih mudah dilaksanakan.
Kolaborasi dengan tim fisisoterapis Mencegahdeformities kontraktur
dengan menggunakan pengubahan
posisi yang hati-hati dean lathan
rentang gerak

Cemas yang berhubungan dengan kondisi sakit dan prognosis penyakit yang
buruk
Tujuan : dalam waktu 1x24 jam setelah diberikan intervensi kecemasan hilang atau
berkurang
Criteria hasil : mengenal perasaannya, dapat mengidentifikasi penyebab atau factor
yang mempengaruhinya, dan menyatakan cemas berkurang
Intervensi Rasonal
Bantu klien mengekspresikan perasaan Cemas berkelanjutan dapat memberikan
marah, kehilangan, dan takut dampak serangan jantung selanjutnya

Kaji tanda verbal dan non verbal Reaksi verbal atau nonverbal dapat
kecemasan, dampingi klien, dan lakukan menunjukkan rasa agitasi, marah dan
tundakan bila menunjukkan perilaku gelisah
merusak
Hindari konfrantasi Konfrontasi dapat meningkatkan rasa
marah, menurunkan kerja sama, dan
mungkin memperlambat penyembuhan
Mulai melakukan tindakkan untuk Mengurangi rangsangan eksternal yang
mengurangi kecemasan. Beri lingkungan tidak perlu
yang tenang dan suasana penuh istirahat
Orientasikan klien terhadap prosedur Orientasi dapat menurunkan kecemasan
rutin dan aktivitas yang diharapkan
4

BAB 3

LAPORAN KASUS

DEPARTEMEN KEPERAWATAN GAWAT DARURAT

STIKES HANG TUAH SURABAYA

ASUHAN KEPERAWATAN DI INSTALASI GAWAT DARURAT

A. Data Pasien

Tanggal pengkajian : No Rekam medik : Nama perawat :


10 Juni 2019 ( 21.50) 43XXXX Zr. A
Nama Pasien: Tn.H Jenis Kelamin : Laki-laki Umur: 67 tahun

B. Primary Survey
Waktu kedatangan (pukul) Transportasi : Kondisi datang :
Pasien tiba di IGD RSAL Dr. Pasien datang menggunakan mobil Pasien datang diantar
Ramelan pukul 21.50 WIB pribadi keluarganya dengan keluhan flu
(sejak 3 hari yang lalu) dan
susah untuk menggerakkan
kedua kakinya serta lemas

C. Tindakan Pre Hospital

Fasilitas kesehatan yang dikunjungi sebelum datang ke IGD :


D. Tindakan
Pasien Intra Hospital
langsung datang ke IGD RSAL Dr. Ramelan
TRIAGE
Kesadaran
Tindakan yang telah dilakukan Kategori Triage
dari Faskes :
sebelumnya Klasifikasi Kasus Medik
√Allert Verbal
CPR O2 Infus √P1 Kateter
Bidai Bebat Urin P2 P3 Emergency
Lainnya Tidak ada trauma
Pain Unrespon √Merah Kuning √Emergency non trauma
4

Hijau Hitam Non Emergency trauma


Non emergency non trauma
KELUHAN UTAMA (AMPLE)
Tanda dan gejala Karakteristik
Keluarga pasien mengatakan keluhan anaknya flu Flu,susah bernafas/sesak nafas, tidak
dapat menggerakkan kakinya, susah dan
dan batuk (sejak 3 hari yang lalu) dan susah untuk
berat
menggerakkan kedua kakinya serta lemas ( sejak
umur 45 tahun serta susah bernafas karena Faktor yang meringankan
tersedak saat makan bubur tadi sore ( pukul 17.00) Keluarga pasien memberikan kompres hangat di area
dahi untuk menurunkan suhu badan pasien
Onset/awal kejadian
Pasien datang ke IGD RSAL Dr. Ramelan pukul Tindakan yang telah dilakukan sebelum ke RS
21.50 WIB sejak sore hari Diberikan kompres hangat dan parasetamol sirup.

Awalnya, pasien mengalami badan lemas, kaki Faktor Pencetus


tidak bisa di gerakkan/lumpuh sejak umur Pasien mulai sesak napas/susah bernafas ketika
45tahun, flu dan susah bernafas. bangun tidur siang. Badan tidak bisa di gerkkan
sejak 1 minggu yang lalu
GCS 4 5 2 kesadaran
alert. Suhu badan aksila
38,8 C BB 52 kg

Lokasi
Seluruh tubuh pasien teraba hangat

Durasi
Sejak sore hari,suhu badan pasien naik turun

Riwayat Penyakit Dahulu (terkait keluhan saat ini atau penyakit penyulit)
Keluarga pasien mengatakan sebelum sakit, pasien tidak pernah mengalami sakit ISPA atau infeksi
apapun. Tetapi menderita kelumpuhan dari umur 45 tahun sampai sekarang.

Riwayat Allergi : tidak ada alergi makanan ataupun obat


5

Tensi : 117 /76 mmHg HR : 104 x/ menit RR : 28 x/menit Suhu : 38,8°C aksila
Nyeri : Tidak ada nyeri

AIRWAY CIRCULATION
Paten √Obstruksi N : 111x/menit
S : 388ᵒC
Terpasang CVP:23,5 cmH2O
Tindakan Airway dan Breathing : Perfusi HKM (Hangat Kering Merah)
CRT < 2 dtk
pasien bernafas melalui ventilator dengan
TD : 117/76mmHg MAP  ( 76 x 2) + 117 = 89,6
mode , mode venti:duopap, PC:15, PS:10,
mmHg
PEEP:10, FIO2:30%, RR 20x/menit.
3
Konjungtiva tidak anemis
Inspeksi: Bentuk dada normochest,
pergerakan dada simetris, tidak ada jejas,
MK: Tidak ditemukan masalah keperawatan
tidak ada sianosis, irama ireguler, suara nafas
vesikuler. Sekret putih dan kental (+), reflek
batuk ada.

Auskultasi: Tidak ada ronchi, tidak ada


wheezing, suara jantung S1 S2 tunggal,

Perkusi: Perkusi dada sonor

Palpasi: Tidak ada krepitasi,


terdapat palpitasi.

MK: Ketidakefektifan Bersihan Jalan


Napas

DISABILITY GCS : E4 V5 M2 total 11


Fraktur : √Tidak ada ada Pupil : isokor
Lokasi : -
Paralisis : √tidak ada ada
Lokasi : -

Neurologi
E4 V5 M2 total 11, reflek cahaya ++, pupil
isokor = 3mm
Reflek: patella -/-, Bicep -/-, Trisep -/-,
Archilles +/+ (Patofisiologis)
Babinsky (-/-), Brudinzky (-/-), Kernig (-)
(Patofisiologis).

Saraf I :
Sistem saraf penciuman normal, tidak
ada gangguan.
5

Saraf II :
Sistem saraf pengelihatan normal.
Saraf III, IV dan VI:
Tidak terjadi penurunan membuka
dan menutup kelopak paralisis
okuler.
Saraf V :
Tidak terjadi kekakuan otot wajah,
sehingga tidak menggangu proses
mengunyah.
Saraf VII :
Tidak terjadi gangguan mendaengar.
Saraf VIII :
Persepsi pengecapan baik.
Saraf IX dan X :
Paralisis otot orofaring, kesulitan
berbicara namun proses menelan cukup
baik.
Saraf XI :
Tidak ada atrofi otot strenokleidomaatoideus
dan kemampuan mobilisasi leher baik

E. Secondary Survey
Diagram Tubuh : PEMERIKSAAN HEAD TO TOE
Kepala leher, Thoraks, Abdomen, Genitourinaria,
Muskuloskeletal

Kepala : luka (-), rambut hitam, atrofi temporalis (-),


makula (-), papula (-)
Thorax :

Pemeriksaan fisik
Gastroentistinal :
Inspeksi: Ada reflek menelan.
Mulut bersih, mukosa lembab.
Abomen suple, simetris.
Tidak ada mual dan muntah.
Pasien terpasang NGT
Auskultasi: Bising Usus 10 x/menit
Perkusi Timpani
Palpasi Tidak ada massa.

Bone dan Integumen


5

Kemampuan pergerakan sendiri Skala kekuatan otot

3333 3333

2222 2222

Terpasang CVP:23,5 cmH2O


Terdapat luka decubitus grade 2 (Warna merah, luas 7cm, d
Bagian tubuh simetris Tidak ada sianosis Turgor kulit elasti
Pasien mengatakan tidak dapat menggerakkan kakinya, susa

MK: Kerusakan integritas kulit


MK : Hambatan mobilitas fisik

F. PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK
Jenis Pemeriksaan Hasil :
√Darah Lengkap Kimia Klinik Gula darah Acak WBC 14.00 10ˆ3/uL (4,00-10,00)
Blood Gas Analisa Kultur Urin EKG RBC 5, 40 10 ˆ6/uL (3,50-5,50)
CT Scan √Foto Thorak BJ Plasma HGB 12, 4 g/dl (11,00-16,00)
HCT 41,0 % (37,0-54,0)
Kultur darah Kiri PCT 0,273 % (0,108-0,282)
Hasil : Jenis Kuman : Stapylococcus PLT 455.000 10ˆ3/uL (150-400)
aureus Sifat bakteri : Bacil Gram Positif
Natrium 140 mmol/L (135,0-147,0)
Saran : S. Aureus bakteri ini merupakan flora normal
Kalium 4,00 mmol/L (3,00-5,00)
permukaan kulit, hidung, dan saluran nafas. Ditemukan
isolate bakteri tersebut pada specimen luka atau swab Pus
dimungkinkan ada kolonisasi di permukaan kulit dan sulit
ditentukan sebagai suatu pathogen penyebab infeksi.
Pemberian terapi antimikoba perlu dipertimbangkan dengan
pemberian topikal dan disesuaikan dengan klinis pasien.

Kultur darah Kanan


Jenis Kuman : A baumanil
Sifat bakteri : Bacil Gram Negatif
5

Kultur Sputum
Jenis Kuman : Ps aeruginosa
Sifat bakteri : Bacil Gram
Negatif

USG Upper Lower Abdomen


Kesan : abnormalitas dinding buli, dinding menebal dan
kasar

G. Pemberian Terapi Medis


Hari/tanggal Medikasi Dosis Indikasi

Senin Inj. Alinamin F 1 x 5mg Obat yang mengandung


vitaminB1 dan B2.
10 Juni 2019

Inj. Mecobalamin 1 x 500mcg Obat yang mengandung


vitamin B12, yaitu
vitamin larut air yang
memegang peranan
penting dalam
pembentukan darah serta
menjaga fungsi sistem
saraf dan otak.

Inj. Transamin 3 x 500mg Obat golongan anti


fibrinolitik yang berguna
untuk membantu
pembekuan darah.
5

obat analgesik dan


antipiretik yang
digunakan untuk
meredakan sakit kepala,
Inj. Parasetamol 4x 500mg sakit ringan serta demam.

Inj. Ciprofluxacin 2 x 400mg Obat antibiotik yang


digunakan untuk
menangani berbagai jenis
infeksi akibat bakteri.

Mencegah dahak dan


Nebul Bisolvon 4x10ml/hari
batuk, mengencerkan
dahak

Nebul Ventolin 4x2ml/hari Mengobati penyakit pada


saluan pernafasan seperti
asma dan obstruksi
kronik.

Tindak lanjut : KRS √MRS PP DOA OPERASI RUJUK PINDAH FASKES LAIN
5

Keterangan : Ruang MRS di ruang ICU Anastesi

Jam Keluar IGD : 01.00

Diagnosa Utama : Gbs + Gagal Nafas


5

ANALISA DATA

Data / faktor resiko Etiologi Masalah

DS : Benda asing dalam jalan napas Bersihan jalan napas tidak


- Keluarga memgatakan ketika efektif
pasien sedang makan bubur
ayam tiba-tiba pasien tersedak
sehingga pasien susah
(SDKI, Hal 18)
bernafas dan batuk-batuk
- Keluarga megatakan pasien flu
dan batuk sejak 3 hari yang
lalu

DO :

pasien bernafas melalui ventilator


dengan mode duopap, SPO2 : 100%,
FiO2 : 30% RR 28x/menit

- Bentuk dada normochest


- pergerakan dada simetris,
- tidak ada jejas,
- tidak ada sianosis,
- irama ireguler,
- suara nafas vesikuler.
- sekret putih dan kental (+),
- reflek batuk ada.

DS : Kelurga pasien mengatakan badan Proses Penyakit Hipertermia


pasien terasa panas

DO :
- Akral teraba hangat ( S : 38,8 C) (SDKI Hal 284)
- Hasil Lab: WBC 12.000 U/L
(4,00-10,00 U/L)
5

DS : Gangguan neuromuscular Gangguan mobilitas fisik


Keluarga pasien mengatakan tidak dapat
menggerakkan kakinya dan lemas
(lumpuh) sejak
( SDKI Hal )

DO :

- GCS : E: 4, V: 5, M:2 total:11,


- reflek cahaya ++,
- pupil isokor = 3mm
- Reflek: patella -/-,
- Bicep -/-,
- Trisep -/-,
- Archilles +/+
- (Patofisiologis)
- Babinsky (-/-),
- Brudinzky (-/-),
- Kernig (-) (Patofisiologis).
Skala kekuatan otot

3333 3333

2222 2222

Diagnosa dan Intervensi Keperawatan

No Masalah Tujuan & Kriteria Intervensi Rasional


Hasil

1 Bersihan Setelah dilakukan 1. Observasi TTV 1. Mengetahui keadaan umum


jalan asuhan pasien
napas keperawatan 2. Identifikasi pasien 2. Mensuplai dan memberikan
tidak selama 1x3 jam perlunya alat cadangan oksigen
efektif bersihan jalan bantu napas 3. Menunjukkan usaha untuk
napas paten dengan 3. Auskultasi suara memenuhi kebutuhan oksigen
kriteria hasil: nafas, catat adanya yang tidak dapat terpenuhi
5

- Respiratory suara tambahan dengan napas biasa.


Rate dalam 4. Menambah pengetahuan
batas normal ( pasien mengenai O2
12-20x/menit)
- Irama nafas 4. Berikan edukasi 5. Meningkatkan saturasi
dalam batas kepada pasien oksigen dalam darah pasien
normal ( tujuan dari
reguler) pemberian O2
- Terbebas dari 5. Kolaborasi
sekret setelah dengan dokter
nebul pemberian O2
- Tanda Tanda
vital dalam rentang
normal ( TD =
120/80mmhg, S =
36- 37,2 °C aksila,
N = 60-
100x/menit)

2 Hiperter 1. Mengetahui keadaan umum pasien


mia 1. Kaji keadaan tanda-
Setelah dilakukan
pasien 2. Mengurangi demam dengan
tanda vital
asuhan vasodilatasi pembuluh darah
khususnya suhu tubuh
keperawatan
2. Memberikan posisi
selama 1 x 8 jam 3. Menurunkan demam pada pasien
nyaman
diharapkan masalah
3. Kolaborasi dengan
hipertermia dapat
dokter pemberian
teratasi dengan KH
antipiretik
:
1. Suhu tubuh
normal (36,5-
37,5C)
2. Badan tidak
merasakan
demam kembali
5

3 Hambata Setelah dilakukan Observasi 1. Menilai sejauh mana


tindakan kebutuhan untik belajar
n 1. Kaji kebutuhan
keperawatan pasien dalam memperlancar
Mobilitas belajar pasien untuk proses latihan mobilisasi.
selama 1x 3 jam
mobilisasi 2. Melatih otot dalam
Fisik diharapkan dapat memperbaiki fungsinya
memperlihatkan 3. Meningkatkan
mobilitas tidak Mandiri : kemobilisasian fungsi
mengalami organ
gangguan) : 2. Ajarkan dan dukung 4. Melakukan tindak lanjut
pasien dalam latihan untuk mengatasi masalah
- Keseimban ROM aktif atau imoblisasi pasien
gan pasif untuk
mempertah mempertahankan
ankan atau meningkatkan
tubuh kekuatan dan
(miring ketahanan otot (30
kanan dan menit per hari)
kiri)
- Pergerakan
sendi dan Edukasi :
otot
(mengangk 3. Informasikan
at tangan kepada pasien untuk
atau kaki) berlatih ambulasi
- Bergerak dini
dengan
mudah
Kolaborasi :

Rujuk ke terapi ahli


fisik

Implementasi Keperawatan

Tindakan keperawatan &


Masalah Keperawatan Waktu Respon/ Hasil
kolaborasi

Masalah Kolaboratif 22.05 1. Mengobservasi pasien dan S:-


memberikan terapi sesuai
PK : Peningkatan TIK O:
program :
- Pasien bernafas
PK : Hiperglikemia  Pasien bernafas melalui melalui trakeostomi
PK : Hipoglikemia ventilator dengan mode disambung ventilator
duopap, terpasang dengan mode
PK : Sepsis Trakeostomi, SPO2 : 100%, duopap,.
PK : Hipervolemia FiO2 : 30% RR 28 x/menit, - SPO2 : 100%,
TD : 117/76mmHg, N/S: - FiO2 : 30%
111x/menit/388ᵒC
6

PK : Hipovolemia  Memberikan nebul - RR actual:


ventolin 20ml + bisolvon 28x/menit,
PK : Penurunan curah
2. Melakukan saction - Sekret kental
jantung pasien:Terdapat warna berwarna putih
putih kekuningan kental kekuningan
PK : Pulmonary 23.15
3. Memberikan posisi A : Masalah belum
edema pasien semifowler teratasi
4. Mengobservasi pasien : P :Intervensi dilanjutkan
PK : Hipoksemia 23.20
Pasien bernafas melalui - Suction berkala
PK : Asidosis metab 23.35 ventilator dengan mode - Observasi TTV
duopap, terpasang - Nebul dengan
PK : Perdarahan GI tr
Trakeostomi, SPO2 : 100%, bisolvon dan
PK : Kejang FiO2 : 30% RR: 26x/menit, ventolin
, TD : 107/86mmHg - Pasien dipindahkan
PK : ..........................
N/S: 101x/menit/362ᵒC keruang ICU
Anastesi
5. Persiapan untuk
Masalah Aktual memindahkan pasien
√Bersihan jalan napas 00.40 ke ruang ICU Anastesi
Kerusakan pertukaran
gas
Pola napas tidak
efektif
Resiko aspirasi
Penurunan perfusi
jaringan
Nyeri akut
Kerusakan integritas
kulit
Retensi urin akut
□ Hipothermia
√Hipertermia
√ Hambatan mobilitas
fisik
.............................
6

Evaluasi Sumatif

WAKTU MASALAH SOAP


KEPERAWATAN
Pukul 23.00 Bersihan jalan napas S:-
tidak efektif b.d benda O:
asing dalam jalan - Pasien bernafas melalui trakeostomi disambung
ventilator dengan mode duopap,.
napas
- SPO2 : 100%,
- FiO2 : 30%
- RR: 26x/menit,
- Sekret kental berwarna putih
kekuningan A : masalah teratasi sebagian
P : Intervensi dilanjutkan
- Suction berkala
- Lanjutan perawatan di ICU Anastesi
Jam 23.00 Hipertermia b.d proses S:-
penyakit O : kulit teraba hangat, suhu badan 38C, KU lemah
A : masalah teratasi
P : intervensi dilanjutkan pemberian antrain 5 mg,
kompres hangat dan observasi TTV
Lanjutkan perawatan di ICU Anastesi
Jam 23.00 Gangguan mobilitas S :-
fisik b.d gangguan O:
neuromuscular - Tampak lemah
- GCS 452
A : masalah teratasi sebagian
P : Intevensi dilanjutkan di ICU Anastesi

Surabaya, 10 Juni 2019


Mahasiswa Perawat

Kelompok 2E
BAB 4

PENUTUP

4.1. Kesimpulan
Guillain-Barre Syndrome adalah penyakit autoimun yang menimbulkan
peradangan dan kerusakan myelin (material lemak, terdiri dari lemak dan protein
yang membentuk selubung pelindung di sekitar beberapa jenis serat saraf perifer.
Kerusakan saraf ini dianggap sebagai hasil dari reaksi kekebalan yang abnormal
terhadap mielin sistem saraf perifer. Kelemahan dan mati rasa di kaki biasanya
merupakan gejala pertama. Sensasi ini dapat dengan cepat menyebar, akhirnya
melumpuhkan seluruh tubuh.
Pada pengkajian ditemukan data fokus pasien, Tn. H mengeluh mengalami
demam dan lemas , badan tidak bisa digerakkan (lumpuh) dan diilakukan pengkajian
kepda pasien dan didapatkan pasien terpasang Trakeostomi, TD:117/76mmHg,
SPO2:100%, Nadi:111x/menit, RR actual:15, RR:20x/menit, mode venti:duopap,
PC:15, PS:10, PEEP:10, FIO2:30%, CVP: 23,5cm, keadaan umum lemah. Saat ini
Tn. H dalam perbaikan airway dan breathing di ruang IGD Rumkital Dr. Ramelan
Surabaya dengan alat bantu nafas trakeostomi dan ventilator mode CPAP. Masalah
yang muncul pada Tn. H yaitu ketidakefektifan bersihan jalan nafas, hambatan
mobilitas fisik, kerusakan integritas kulit serta hambatan komunikasi verbal.
Tindakan keperawatan yang dilakukan yaitu mengobservasi TTV, mengkaji
tanda-tanda sumbatan jalan nafas, mengkaji kemampuan otot pasien, mengobservasi
karakteristik luka dikubitus serta melatih komunikasi baik secara verbal maupun non
verbal pasien. Selama dilakukan tindakan keperawatan di ruang IGD pasien
mendapatkan perubahan yang signifikan yakni pola nafas pasien stabil, pasien dapat
mengontrol pernafasannya setelah di suction, kemampuan otot tangan pasien
meningkat dari skala 2 menjadi 4 di bagian kanan serta pasien dapat menggunakan
tehnik komunikasi asertif secara baik selama proses berkomunikasi sehingga pasien
tetap dapat berkomunikasi secara aktif walaupun tanpa adanya suara.

1
63

4.2 Saran

Berdasarkan implementasi yang telah dilakukan, maka penulis dapat


memberikan saran sebagai berikut:
1. Bagi pasien
Diharapkan agar pasien sebelum melakukan latihan gerak ROM dan
mobilisasi dini.
2. Bagi pembaca
Diharapkan dengan adanya studi kasus ini bermanfaat, menambah ilmu
pengetahuan, dan menjadi bahan referensi tentang asuhan keperawatan gawat
darurat pada pasien dengan guillain barre syndrome disertai gagal nafas.
3. Bagi Perawat
Untuk penambahan wawasan baru terhadap asuhan keperawatan gawat arurat
pada pasien dengan guillain barre syndrome disertai gagal nafas.
DAFTAR PUSTAKA

Doenges, Marlynn E. 2000. RencanaAsuhan Keperawatan, Pedoman Untuk


Perencanaan dan Pendokumentasian Perawatan Pasien. EGC: Jakarta

Hudak & Gallo. (1996). Keperawatan kritis : pendekatan holistic. Vol. 2.


EGC.jakarta.

Jukarnain.,2011.” Materi Kuliah Keperawatan Medikal Bedah Gangguan Sistem


Persarafan”. Makassar.

Muttaqin, Arif. 2008. Buku Ajar Asuhan Keperawatan Klien dengan Gangguan
Sistem Persarafan. Jakarta: Salemba Medika.

R. Syamsuhidayat & Wim de Jong, 2001, Buku Ajar Ilmu Bedah Edisi Revisi, EGC,
Jakarta.
Smeltzer, suzanne C. 2002. Buku Ajar Keperawatan Medikal-Bedah Brunner &
Suddarth. Vol.3 Edisi 8. EGC :Jakarta

Anda mungkin juga menyukai