● Pseudomembrane yang sulit diangkat, mudah berdarah, dan berwarna putih keabu-abuan yang meliputi
daerah yang terkena; terdiri dari fibrin, leukosit, jaringan nekrotik, dan basil
● Eksotoksin yang sangat ganas dan dapat meracuni jaringan setelah beberapa jam diabsorbsi dan
memberikan gambaran perubahan jaringan yang khas terutama pada otot jantung, ginjal, dan jaringan
saraf. Minimum Lethal Dose (MLD) toksin ini adalah 0,02 ml.
Etiologi Difteri Lanjutan..
Klasifikasi difteri secara klinis menurut lokasinya (Sudoyo, 2009):
1. Difteri nasal anterior
2. Difteri nasal posterior
3. Difteri fausial (farinks)
4. Difteri laryngeal
5. Difteri konjungtiva
6. Difteri kulit
7. Difteri vulva/vagina
Klasifikasi difteri secara klinis menurut lokasinya (Sudoyo, 2009):
1. Infeksi ringan, jika pseudomembrane hanya terdapat pada mukosa hidung dengan gejala hanya pilek dan
nyeri waktu menelan.
2. Infeksi sedang, jika pseudomembrane telah menyerang sampai faring dan laring sehingga keadaan
pasien terlihat lesu dan agak sesak.
3. Infeksi berat, jika terjadi sumbatan nafas yang berat dan adanya gejala-gejala yang ditimbulkan oleh
eksotoksin seperti miokarditis, paralisis, dan nefritis.
Patofisiologi Difteri
Kuman masuk melalui mukosa/kulit, melekat serta berbiak pada
permukaan mukosa saluran nafas bagian atas dan mulai
memproduksi toksin yang merembes ke sekeliling serta selanjutnya
menyebar ke seluruh tubuh melalui pembuluh limfe dan darah.
Setelah melalui masa inkubasi selama 2-4 hari kuman difteri
membentuk racun atau toksin yang mengakibatkan timbulnya panas
dan sakit tenggorokan. Kemudian berlanjut dengan terbentuknya
selaput putih di tenggorokan akan menimbulkan gagal nafas,
kerusakan jantung dan saraf. Difteri ini akan berlanjut pada
kerusakan kelenjar limfe, selaput putih mata, vagina. Komplikasi lain
adalah kerusakan otot jantung dan ginjal (Sudoyo, 2009).
Biasanya bakteri berkembang biak pada atau di sekitar permukaan selaput lendir mulut atau
tenggorokan dan menyebabkan peradangan. Beberapa jenis bakteri ini menghasilkan toksin yang
sangat kuat, yang dapat menyebabkan kerusakan pada jantung dan otak (Pasarpolis, 2017).
Manifestasi Klinis
Perkembangan Gejala diphtheria (Sudoyo, 2009):
1. Demam, suhu tubuh meningkat sampai 38o Celcius
2. Batuk dan pilek yang ringan
3. Sakit dan pembengkakan pada tenggorokan
4. Mual, muntah , sakit kepala
5. Adanya pembentukan selaput di tenggorokan berwarna putih ke abu-abuan kotor
6. Rinorea, berlendir kadang-kadang bercampur darah
Keluhan serta gejala lain tergantung pada lokasi penyakit diphtheria (Sudoyo, 2009) :
1. Diphtheria Hidung
Pada permulaan mirip common cold, yaitu pilek ringan tanpa atau disertai gejala sistemik ringan.
Sekret hidung berangsur menjadi serosanguinous dan kemudian mukopurulen mengadakan lecet pada
nares dan bibir atas. Pada pemeriksaan tampak membran putih pada daerah septum nasi.
2. Diphtheria Tonsil-Faring
Gejala anoroksia, malaise, demam ringan, nyeri menelan. dalam 1-2 hari timbul membran yang
melekat, berwarna putih-kelabu dapat menutup tonsil dan dinding faring, meluas ke uvula dan
palatum molle atau ke distal ke laring dan trachea.
3. Diphtheria Laring
Pada diphtheria laring primer gejala toksik kurang nyata, tetapi lebih berupa gejala obstruksi saluran
nafas atas.
4. Diphtheria Kulit, Konjungtiva, Telinga Diphtheria kulit berupa tukak di kulit, tepi jelas dan terdapat
membran pada dasarnya. Kelainan cenderung menahun. Diphtheria pada mata dengan lesi pada
konjungtiva berupa kemerahan, edema dan membran pada konjungtiva palpebra. Pada telinga
berupa otitis eksterna dengan sekret purulen dan berbau.
Komplikasi
● Racun difteri dapat menyebabkan kerusakan pada jantung, sistem saraf, ginjal ataupun organ
lainnya (Mansjoer et al., 2007) :
○ Urogenital : nefritis
○ Susunan saraf : paralisis/paresis palatum mole (minggu I dan II), otot mata (minggu III), dan umum
(setelah minggu IV)
Penatalaksanaan
Ada beberapa cara yang dapat dilakukan dalam menangani atau mencegah penyebaran
maupun penularan difteri (Mansjoer et al., 2007):
● Isolasi pasien. Isolasi dihentikan jika hasil pemeriksaan terhadap bakteri Cornyebacterium
Diphteriae dinyatakan negatif setelah melewati dua hari pemeriksaan.
● Pemberian imunisasi. Biasanya imunisasi ini bersamaan dengan imunisasi polio, hepatitis
B, sedangkan imunisasi Difteri tergabung dalam Imunisasi DPT atau Difteri, Pertusis dan Tetanus.
Untuk bayi umur 9 bulan dilengkapi dengan imunisasi Campak (Morbili). Imunisasi pada
bayi umur dua bulan sebanyak tiga kali dengan selang 1 bln.
● Pencarian dan pengobatan pasien.
Dilakukan dengan uji schick. Bila hasil negatif, dilakukan apusan tenggorokan. Jika ditemukan
bakteri Cornyebacterium Diphteriae maka harus diobati.
● Biasakan hidup bersih dan selalu menjaga kebersihan lingkungan (Kartono, 2007).
Prognosis lebih buruk pada pasien dengan usia yang lebih muda, perjalanan penyakit yang lama, letak
lesi yang dalam, gizi kurang, dan pemberian antitoksin yang terlambat.
Asuhan Keperawatan
Difteri
Pengkajian
1. Biodata
Umur : Biasanya terjadi pada anak-anak umur 2-10 tahun dan jarang ditemukan pada bayi berumur
dibawah 6 bulan dari pada orang dewasa diatas 15 tahun
Suku bangsa : Dapat terjadi diseluruh dunia terutama di daerah negara-negara miskin
Tempat tinggal : Biasanya terjadi pada penduduk di tempat- tempat pemukiman yang rapat-rapat,
higien dan sanitasi jelek dan fasilitas kesehatan yang kurang
2. Keluhan Utama
Klien marasakan demam yang tidak terlalau tinggi, lesu, pucat, sakit kepala, anoreksia, lemah
3. Riwayat Kesehatan Sekarang
Klien mengalami demam yang tidak terlalu tinggi, lesu, pucat, sakit kepala, anoreksia
4. Riwayat Kesehatan Dahulu
Klien mengalami peradangan kronis pada tonsil, sinus, faring, laring, dan saluran nafas atas dan
mengalami pilek dengan sekret bercampur darah
5. Riwayat Penyakit Keluarga
Adanya keluarga yang mengalami difteri
6. Pola Fungsi Kesehatan
a. Pola nutrisi dan metabolisme (Jumlah asupan nutrisi kurang disebabkan oleh anoreksia)
b. Pola aktivitas (Klien mengalami gangguan aktivitas karena malaise dan demam)
c. Pola istirahat dan tidur (Klien mengalami sesak nafas sehingga mengganggu istirahat dan tidur)
d. Pola eliminasi (Klien mengalami penurunan jumlah urin dan feses karena jumlah asupan nutrisi
kurang disebabkan oleh anoreksia)
Pengkajian Lanjutan…
7. Pemeriksaan Fisik
a. Tanda-tanda Vital
Nadi : meningkat
Tekanan darah : menurun
Respirasi rate : meningkat
Suhu : ≤ 38°C
b. Inspeksi :
Lidah kotor, anoreksia, ditemukan pseudomembran
c. Auskultasi :
Napas cepat dan dangkal
8. Pemeriksaan Penunjang
a. Pemeriksaan terhadap apus tenggorokan dan uji schick di laboratorium.
b. Untuk melihat kelainan jantung, bisa dilakukan pemeriksaan EKG.
9. Penatalaksanaan
Penderita diisolasi sampai biakan negative 3 kali berturut-turut setelah masa akut terlampaui. Kontak
penderita diisolasi sampai tindakan-tindakan berikut terlaksana :
a. Jaga keadaan hidung dan tenggorok
b. Sebaiknya dilakukan tes schick (tes kerentanan terhadap diphtheria)
c. Diikuti gejala klinis setiap hari sampai masa tunas terlewati.
d. Anak yang telah mendapat imunisasi dasar diberikan booster dengan toksoid diphtheria.
Diagnosa
1. 2. 3.
Ketidakefektifan pola Penurunan curah Gangguan Menelan
napas jantung
Intervensi
No. Diagnosa Tujuan dan Kriteria Hasil Intervensi