Anda di halaman 1dari 20

ASUHAN KEPERAWATAN PENYAKIT TROPIS

PASIEN DENGAN DIFTERI


KELOMPOK 5 :

Evis Azi Framudya


Elfina Damayanti
Jeni Aurelia Fatimah
Mukti Diniati
Rahayu Rahmatika
Sisti Anggreani
Tawang Gumelar
Anisa Viddiah
Sudoyo (2009) mendefinisikan difteri sebagai suatu penyakit
infeksi yang sangat menular yang terjadi secara lokal
pada mukosa saluran pernapasan atau kulit, yang disebabkan
oleh basil gram positif Corynebacterium Diphtheriae, ditandai
Definisi Difteri oleh terbentuknya eksudat yang berbentuk membran
pada tempat infeksi, dan diikuti oleh gejala-gejala umum
yang ditimbulkan oleh eksotoksin yang diproduksi oleh basil.
Ciri yang khusus pada difteri ialah terbentuknya lapisan yang
khas selaput lendir pada saluran nafas, serta adanya
kerusakan otot jantung dan saraf.
Etiologi Difteri
Penyebab penyakit difteri adalah jenis bakteri yang diberi nama Cornyebacterium Diphteriae. Bakteri ini
bersifat polimorf, tidak bergerak dan tidak membentuk spora, aerobik dan dapat memproduksi eksotoksin
(Sudoyo, 2009). Uji schick merupakan pemeriksaan untuk mengetahui apakah seseorang telah memiliki
antitoksin (Mansjoer, Suprohaita, Wardhani, & Setiowulan, 2007). Terdapat tiga jenis basil, yaitu bentuk gravis,
mitis, dan intermedius. Basil dapat membentuk (Mansjoer et al., 2007) :

● Pseudomembrane yang sulit diangkat, mudah berdarah, dan berwarna putih keabu-abuan yang meliputi
daerah yang terkena; terdiri dari fibrin, leukosit, jaringan nekrotik, dan basil
● Eksotoksin yang sangat ganas dan dapat meracuni jaringan setelah beberapa jam diabsorbsi dan
memberikan gambaran perubahan jaringan yang khas terutama pada otot jantung, ginjal, dan jaringan
saraf. Minimum Lethal Dose (MLD) toksin ini adalah 0,02 ml.
Etiologi Difteri Lanjutan..
Klasifikasi difteri secara klinis menurut lokasinya (Sudoyo, 2009):
1. Difteri nasal anterior
2. Difteri nasal posterior
3. Difteri fausial (farinks)
4. Difteri laryngeal
5. Difteri konjungtiva
6. Difteri kulit
7. Difteri vulva/vagina
Klasifikasi difteri secara klinis menurut lokasinya (Sudoyo, 2009):
1. Infeksi ringan, jika pseudomembrane hanya terdapat pada mukosa hidung dengan gejala hanya pilek dan
nyeri waktu menelan.
2. Infeksi sedang, jika pseudomembrane telah menyerang sampai faring dan laring sehingga keadaan
pasien terlihat lesu dan agak sesak.
3. Infeksi berat, jika terjadi sumbatan nafas yang berat dan adanya gejala-gejala yang ditimbulkan oleh
eksotoksin seperti miokarditis, paralisis, dan nefritis.
Patofisiologi Difteri
Kuman masuk melalui mukosa/kulit, melekat serta berbiak pada
permukaan mukosa saluran nafas bagian atas dan mulai
memproduksi toksin yang merembes ke sekeliling serta selanjutnya
menyebar ke seluruh tubuh melalui pembuluh limfe dan darah.
Setelah melalui masa inkubasi selama 2-4 hari kuman difteri
membentuk racun atau toksin yang mengakibatkan timbulnya panas
dan sakit tenggorokan. Kemudian berlanjut dengan terbentuknya
selaput putih di tenggorokan akan menimbulkan gagal nafas,
kerusakan jantung dan saraf. Difteri ini akan berlanjut pada
kerusakan kelenjar limfe, selaput putih mata, vagina. Komplikasi lain
adalah kerusakan otot jantung dan ginjal (Sudoyo, 2009).

Adapun tahap perkembangkan difteri menyerang ke tubuh manusia,


yaitu:
1. Tahap Inkubasi
2. Tahap Penyakit Dini
3. Tahap Penyakit Lanjut
Pathways
Cara Penularan Difteri
Difteri dapat menular dengan cara kontak langsung maupun tidak langsung. Air ludah yang
berterbangan saat penderita berbicara, batuk atau bersin membawa serta kuman kuman difteri.
Melalui pernafasan kuman masuk ke dalam tubuh orang disekitarnya, maka terjadilah penularan
penyakit difteri dari seorang penderita kepada orang orang disekitarnya (Rusmil et al., 2011).

Biasanya bakteri berkembang biak pada atau di sekitar permukaan selaput lendir mulut atau
tenggorokan dan menyebabkan peradangan. Beberapa jenis bakteri ini menghasilkan toksin yang
sangat kuat, yang dapat menyebabkan kerusakan pada jantung dan otak (Pasarpolis, 2017).
Manifestasi Klinis
Perkembangan Gejala diphtheria (Sudoyo, 2009):
1. Demam, suhu tubuh meningkat sampai 38o Celcius
2. Batuk dan pilek yang ringan
3. Sakit dan pembengkakan pada tenggorokan
4. Mual, muntah , sakit kepala
5. Adanya pembentukan selaput di tenggorokan berwarna putih ke abu-abuan kotor
6. Rinorea, berlendir kadang-kadang bercampur darah
Keluhan serta gejala lain tergantung pada lokasi penyakit diphtheria (Sudoyo, 2009) :
1. Diphtheria Hidung
Pada permulaan mirip common cold, yaitu pilek ringan tanpa atau disertai gejala sistemik ringan.
Sekret hidung berangsur menjadi serosanguinous dan kemudian mukopurulen mengadakan lecet pada
nares dan bibir atas. Pada pemeriksaan tampak membran putih pada daerah septum nasi.
2. Diphtheria Tonsil-Faring
Gejala anoroksia, malaise, demam ringan, nyeri menelan. dalam 1-2 hari timbul membran yang
melekat, berwarna putih-kelabu dapat menutup tonsil dan dinding faring, meluas ke uvula dan
palatum molle atau ke distal ke laring dan trachea.
3. Diphtheria Laring
Pada diphtheria laring primer gejala toksik kurang nyata, tetapi lebih berupa gejala obstruksi saluran
nafas atas.
4. Diphtheria Kulit, Konjungtiva, Telinga Diphtheria kulit berupa tukak di kulit, tepi jelas dan terdapat
membran pada dasarnya. Kelainan cenderung menahun. Diphtheria pada mata dengan lesi pada
konjungtiva berupa kemerahan, edema dan membran pada konjungtiva palpebra. Pada telinga
berupa otitis eksterna dengan sekret purulen dan berbau.
Komplikasi
● Racun difteri dapat menyebabkan kerusakan pada jantung, sistem saraf, ginjal ataupun organ
lainnya (Mansjoer et al., 2007) :

○ Saluran nafas : obstruksi jalan nafas, bronkopneumonia, atelektasis paru

○ Kardiovaskular : miokarditis akibat toksin kuman

○ Urogenital : nefritis

○ Susunan saraf : paralisis/paresis palatum mole (minggu I dan II), otot mata (minggu III), dan umum
(setelah minggu IV)
Penatalaksanaan
Ada beberapa cara yang dapat dilakukan dalam menangani atau mencegah penyebaran
maupun penularan difteri (Mansjoer et al., 2007):
● Isolasi pasien. Isolasi dihentikan jika hasil pemeriksaan terhadap bakteri Cornyebacterium
Diphteriae dinyatakan negatif setelah melewati dua hari pemeriksaan.
● Pemberian imunisasi. Biasanya imunisasi ini bersamaan dengan imunisasi polio, hepatitis
B, sedangkan imunisasi Difteri tergabung dalam Imunisasi DPT atau Difteri, Pertusis dan Tetanus.
Untuk bayi umur 9 bulan dilengkapi dengan imunisasi Campak (Morbili). Imunisasi pada
bayi umur dua bulan sebanyak tiga kali dengan selang 1 bln.
● Pencarian dan pengobatan pasien.
Dilakukan dengan uji schick. Bila hasil negatif, dilakukan apusan tenggorokan. Jika ditemukan
bakteri Cornyebacterium Diphteriae maka harus diobati.
● Biasakan hidup bersih dan selalu menjaga kebersihan lingkungan (Kartono, 2007).

Prognosis lebih buruk pada pasien dengan usia yang lebih muda, perjalanan penyakit yang lama, letak
lesi yang dalam, gizi kurang, dan pemberian antitoksin yang terlambat.
Asuhan Keperawatan
Difteri
Pengkajian
1. Biodata
Umur : Biasanya terjadi pada anak-anak umur 2-10 tahun dan jarang ditemukan pada bayi berumur
dibawah 6 bulan dari pada orang dewasa diatas 15 tahun
Suku bangsa : Dapat terjadi diseluruh dunia terutama di daerah negara-negara miskin
Tempat tinggal : Biasanya terjadi pada penduduk di tempat- tempat pemukiman yang rapat-rapat,
higien dan sanitasi jelek dan fasilitas kesehatan yang kurang
2. Keluhan Utama
Klien marasakan demam yang tidak terlalau tinggi, lesu, pucat, sakit kepala, anoreksia, lemah
3. Riwayat Kesehatan Sekarang
Klien mengalami demam yang tidak terlalu tinggi, lesu, pucat, sakit kepala, anoreksia
4. Riwayat Kesehatan Dahulu
Klien mengalami peradangan kronis pada tonsil, sinus, faring, laring, dan saluran nafas atas dan
mengalami pilek dengan sekret bercampur darah
5. Riwayat Penyakit Keluarga
Adanya keluarga yang mengalami difteri
6. Pola Fungsi Kesehatan
a. Pola nutrisi dan metabolisme (Jumlah asupan nutrisi kurang disebabkan oleh anoreksia)
b. Pola aktivitas (Klien mengalami gangguan aktivitas karena malaise dan demam)
c. Pola istirahat dan tidur (Klien mengalami sesak nafas sehingga mengganggu istirahat dan tidur)
d. Pola eliminasi (Klien mengalami penurunan jumlah urin dan feses karena jumlah asupan nutrisi
kurang disebabkan oleh anoreksia)
Pengkajian Lanjutan…
7. Pemeriksaan Fisik
a. Tanda-tanda Vital
Nadi : meningkat
Tekanan darah : menurun
Respirasi rate : meningkat
Suhu : ≤ 38°C
b. Inspeksi :
Lidah kotor, anoreksia, ditemukan pseudomembran
c. Auskultasi :
Napas cepat dan dangkal
8. Pemeriksaan Penunjang
a. Pemeriksaan terhadap apus tenggorokan dan uji schick di laboratorium.
b. Untuk melihat kelainan jantung, bisa dilakukan pemeriksaan EKG.
9. Penatalaksanaan
Penderita diisolasi sampai biakan negative 3 kali berturut-turut setelah masa akut terlampaui. Kontak
penderita diisolasi sampai tindakan-tindakan berikut terlaksana :
a. Jaga keadaan hidung dan tenggorok
b. Sebaiknya dilakukan tes schick (tes kerentanan terhadap diphtheria)
c. Diikuti gejala klinis setiap hari sampai masa tunas terlewati.
d. Anak yang telah mendapat imunisasi dasar diberikan booster dengan toksoid diphtheria.
Diagnosa

1. 2. 3.
Ketidakefektifan pola Penurunan curah Gangguan Menelan
napas jantung
Intervensi
No. Diagnosa Tujuan dan Kriteria Hasil Intervensi

Ketidak efektifan 0415 Status Pernapasan 3140 Manajemen Jalan Nafas


pola napas b.d Skala Target Outcomes : Aktivitas-aktivitas :
Dipertahankan pada.. Ditingkatkan ke.. - Posisikan pasien untuk memaksimalkan
edema laring
Skala Indikator : ventilasi
041501 Frekunsi pernapasan - Lakukan fisioterapi dada, sebagaimana
1 2 3 4 5 NA mestinya
041502 Irama pernapasan - Motivasi pasien untuk bernapas pelan, dalam,
1 2 3 4 5 NA berputar dan batuk
041503 Kedalaman inspirasi - Intruksikan bagaimana agar bisa melakukan
1 2 3 4 5 NA batuk efektif
1. 041504 Suara auskultasi napas 6680 Monitor Tanda-tanda vital
1 2 3 4 5 NA Aktivitas-aktivitas :
041532 Kepatenan jalan napas - Monitor tekanan darah, nadi, suhu, dan status
1 2 3 4 5 NA pernafasan dengan tepat
041508 Saturasi oksigen - Catat gaya dan fluktuasi yang luas pada tekanan
1 2 3 4 5 NA darah
041511 Retraksi dinding dada - Monitor dan laporkan tanda dan gejala
1 2 3 4 5 NA hipotermia serta hipertermia
041507 Kapasitas vital - Monitor keberadaan dan kualitas nadi
1 2 3 4 5 NA - Identifikasi kemungkinan penyebab perubahan
tanda-tanda vital
Intervensi Lanjutan..
No. Diagnosa Tujuan dan Kriteria Hasil Intervensi
Penurunan curah 0414 Status Jantung Paru 2000 Manajemen Elektrolit
jantung b.d edema Skala Target Outcomes : Aktivitas-aktivitas :
kongesti, perubahan Dipertahankan pada ..Ditingkatkan ke.. - Monitor menifestasi ketidakseimbangan
tekanan darah, Skala Indikator : elektrolit
perubahan 041401 Tekanan darah sistol - Pertahankan kepatenan akses IV
kontraktilitas jantung 1 2 3 4 5 NA Berikan cairan sesuai resep, jika diperlukan
041402 Tekanan darah diastol - Pertahankan pencatatan asupan dan huluaran
1 2 3 4 5 NA yang akurat
041403 Denyut nadi perifer - Pertahankan pemberian cairan intravenous
1 2 3 4 5 NA berisi elektrolit dengan laju yang lambat
2. 041404 Denyut nadi apikal 4130 Monitor Cairan
1 2 3 4 5 NA Aktivitas-aktivitas :
041405 Irama Jantung - Tentukan jumlah dan jenis intake/asupan cairan
1 2 3 4 5 NA serta kebiasaan eliminasi
041406 Tingkat pernapasan - Tentukan faktor-faktor risiko yang mungkin
1 2 3 4 5 NA menyebabkan ketidakseimbangan cairan
041407 Irama pernapasan - Monitor membran mukosa, turgor kulit, dan
1 2 3 4 5 NA respon haus
041412 Saturasi oksigen - Monitor warna, kuantitas, dan berat jenis urin
1 2 3 4 5 NA - Cek grafik asupan dan pengeluaran berkala-
Intervensi Lanjutan..
No. Diagnosa Tujuan dan Kriteria Hasil Intervensi

Gangguan menelan 1010 Status Menelan 1050 Pemberian Makan


b.d abnormalitas jalan Skala Target Outcomes : Aktivitas-aktivitas :
napas atas, laring, Dipertahankan pada ..Ditingkatkan ke .. - Identifikasi diet yang disarankan
orofaring, gangguan Skala Indikator : - Ciptakan lingkungan yang menyenangkan
neuromaskular 101001 Mempertahankan makanan di selama makan
mulut - Identifikasi adanya refleks menelan, jika
1 2 3 4 5 NA diperlukan
101003 Produksi ludah - Catat asupan dengan tepat
1 2 3 4 5 NA - Dorong orangtua/keluarga untuk menyuapi
101004 Kemampuan mengunyah pasien
1 2 3 4 5 NA 2380 Manajemen Obat
101009 Durasi makan dengan Aktivitas-aktivitas :
3. respek pada jumlah yang dikonsumsi - Monitor efektifitas cara pemberian obat yang
1 2 3 4 5 NA sesuai
101010 Reflek menelan sesuai dengan - Monitor pasien mengenai efek terapeutik obat
waktunya - Monitor tanda dan gejala toksisitas obat
1 2 3 4 5 NA 1100 Manaejemen Nutrisi
101016 Penerimaan makanan Aktivitas-aktivitas :
1 2 3 4 5 NA
- Identifikasi adanya alergi atau intoleransi
101011 Perubahan kualitas suara
makanan yang dimiliki pasien
1 2 3 4 5 NA
101017 Tidak nyaman dengan menelan - Monitor kalori dan asupan makanan
1 2 3 4 5 NA - Berikan arahan bila diperlukan
Pembahasan Jurnal
PICOT
• Problem
Populasi dalam penelitian ini adalah sebanyak 29 orang yang menderita penyakit difteri pada tahun
2017 dan sampel dalam penelitian ini sebanyak 27 orang yang menderita difteri pada tahun 2017 di
surabaya.  
• Intervention
Pada kasus ini, untuk menurunkan angka kesakitan dan kematian dilakukan dengan pengobatan yang
optimal. Pemberian imunisasi DPT akan sangat membantu dalam pencegahan terjadinya serangan
difteri pada bayi/anak, dengan cara pemberian melalui injeksi intramuskular dengan dosis 0,5 cc tiap kali
Pemberian, tetapi temuan penderita difteri dengan status imunisasi DPT sebanyak tiga kali
mengindikasikan bahwa proses pembentukan kekebalan tubuh masih kurang optimal. Kegagalan
tersebut disebabkan oleh beberapa faktor seperti dosis vaksin yang diberikan, masa berlaku vaksin,
antibodi maternal dan metode penyimpanan vaksin yang mempengaruhi potensi vaksin. hasil penelitian
didapatkan status kelengkapan imunisasi difteri dengan kategori tidak lengkap seluruhnya 22 orang
(81.5%), dan kategori lengkap sebagian kecil 5 orang 
• Comparative
Hubungan antara status kelengkapan imunisasi difteri dengan kejadian difteri ini menjadi kunci dalam
melakukan promosi kesehatan tentang pentingnya imunisasi dan pencgahan difteri, dikarenakan salah
satu faktor yang mempengaruhi kejadian difteri ini adalah status imunisasi yang tidak lengkap.
Pembahasan Jurnal...
PICOT
• Outcome
Berdasarkan hasil temuan penelitian dan hasil pengujian pada pembahasan yang dilaksanakan, maka
status kelengkapan imunisasi difteri di wilayah Surabaya hampir seluruhnya dalam kategori tidak
lengkap, kejadian difteri di wilayah Surabaya hampir seluruhnya mengalami suspek difteri dan terdapat
hubungan antara status kelengkapan imunisasi difteri dengan kejadian difteri di wilayah Surabaya.
Diharapkan petugas puskesmas / bidan desa dapat bekerja sama dengan para kader kesehatan di
wilayah setempat untuk memberikan informasi berupa penyuluhan/promosi kesehatan kepada
masyarakat mengenai resiko penyakit difteri akibat pemberian imunisasi yang tidak lengkap. Dan
petugas puskesmas / kesehatan juga dapat bekerja sama dengan tokoh setempat yang berpengaruh
untuk mengajak warga bersama melakukan pendekatan kepada warga agar mau melakukan imunisasi
untuk anaknya dan mengubah pola pikir bahwa apa yang ditakuti mengenai efek buruk imunisasi dapat
diatasi dan tidak menyebabkan kerugian.
• Time
Studi kasus ini dilakukan di daerah Surabaya pada bulan Oktober 2020
Thank You

Anda mungkin juga menyukai