Anda di halaman 1dari 25

REFERAT DIFTERI

Pembimbing:
dr. Sofyan Effendi, Sp.THT

Oleh:
Nabila Tamara, S.Ked (712018007)
Anisia Ayunda Putri, S.Ked (712018009)
Roseline Natazsa Puri Gracia, S.Ked (712018010)
BAB I
PENDAHULUAN
LATAR BELAKANG
 Difteri adalah suatu penyakit infeksi akut yang sangat menular, disebabkan oleh toxin
dari bakteri yang ditandai dengan pembentukan pseudomembran pada kulit dan atau
mukosa, dan penyebarannya melalui udara.

 Etiologi  Corynebacterium diphteriae

 Cara penularan  kontak dengan pasien atau karier melalui droplet ketika batuk,
bersin atau berbicara

 Di Indonesia  difteri banyak terdapat di daerah berpenduduk padat dan keadaan


lingkungan yang buruk  50% penderita difteri meninggal dengan gagal jantung.

 Kejadian luar biasa dapat terjadi terutama pada golongan umur rentan yaitu bayi dan
anak.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
DIFTERI

Difteri adalah suatu infeksi akut yang sangat menular, disebabkan oleh Corynebacterium
diphtheriae dengan ditandai pembentukan pseudo-membran pada kulit dan atau mukosa.

Etiologi : Corynebacterium Diphteriae

Sifat:
kuman batang gram-positif , tidak bergerak,
pleomorfik, tidak berkapsul, tidak
membentuk spora, mati pada pemanasan
60ºC, tahan dalam keadaan beku dan kering.
3 tipe utama garvis intermedius mistis

Ciri khas C.diphtheriae


: Bakteriofag yang mengandung
toxigene.
eksotoksin baik in-vivo
maupun in-vitro
EPIDEMIOLOGI
 Kasus difteri klinis terbesar di Indonesia, dapat mencapai 80%, ditemukan di
Jawa Timur.
 Sebagian besar pasien difteri kurang dari 15 tahun, namun persentase pasien
dewasa semakin meningkat dari tahun ke tahun.
 Faktor yang memengaruhi jumlah kejadian di suatu daerah adalah status
kekebalan, nutrisi, kepadatan penduduk, faktor social ekonomi, serta
ketersediaan fasilitas kesehatan.
CARA PENULARAN

Manusia sebagai reservoir infeksi, transmisi terutama terjadi karena kontak dekat
dengan kasus atau carrier.
 Identifikasi Sumber Infeksi : Mencari carrier dari kultur hidung dan tenggorok
pada orang yang kontak dekat dengan penderita difteri
 Identifikasi Kontak Dekat : Identifikasi semua kontak dekat, khususnya
anggota keluarga
PATOGENESIS
MANIFESTASI KLINIS

1. Difteri 2. Difteri
Hidung Tonsil-Faring
•Menyerupai common cold •nyeri tenggorok gejala awal yang
•Sekret hidung berangsur umum
menjadi serosanguinus dan •1-2 hari timbul membrane yang
melekat berwarna putih kelabu
kemudian mukopurulen, •Bull neck : Edema jaringan lunak
menyebabkan lecet pada nares dibawahnya dan pembesaran
dan bibis atas. Pada limfonodi
pemeriksaan tampak membran •Pada kasus berat, dapat terjadi
putih pada daerah septum nasi. kegagalan pernafasan atau sirkulasi.
MANIFESTASI KLINIS

4. Difteri Laring 6. Difteri Kulit, Vulvovaginal,


Konjungtiva, dan Telinga

• Perluasan difteri faring • Merupakan tipe difteria yang tidak lazim


• Gejala klinis difteri laring sukar untuk (unusual)
dibedakan dengan tipe infectius croups • Difteria kulit berupa tukak di kulit, tepi
yang lain, seperti nafas bunyi, stridor jelas dan terdapat membran pada dasarnya.
yang progresif, suara parau dan batuk • Difteria pada mata dengan lesi pada
kering. konjungtiva berupa kemerahan, edema dan
• Bila terjadi pelepasan membran yang membran pada konjungtiva palpebra.
menutup jalan nafas bisa terjadi • Pada telinga berupa otitis eksterna dengan
kematian mendadak. sekret purulen dan berbau.
• Saluran genital (vulvovginitis purulenta dan
ulseratif).
DIAGNOSIS

Anamnesis
 Kontak dengan penderita difteri

 Suara serak

 Stridor dan tanda lain obstruksi jalan nafas

 Demam tak begitu tinggi

Pemeriksaan Fisik
 Tonsilitis, faringitis, rinitis

 Limfadenitis servikal + edema jaringan lunak leher (bullneck)

 Sangat penting untuk dignosis ditemukannya membran pada tempat infeksi

yang berwarna putih keabu-abuan, mudah berdarah bila diangkat.

Laboratorium
 Kriteria konfirmasi laboratorium difteri adalah kultur atau PCR positif.
DIAGNOSIS BANDING
1. Difteria 2. Difteria 3. Difteria
4. Difteria Kulit
Hidung, Faring, Laring,
• rhinorrhea • tonsillitis • laryngitis • impetigo dan
• benda asing membranosa • benda asing infeksi kulit
dalam hidung, akut ec dalam laring yang
streptokokus disebabkan
• tonsillitis oleh
membranosa streptokokus
non-bakterial atau
• tonsilitis stafilokokus
herpetika
primer
KOMPLIKASI
1. Obstruksi jalan napas
2. Dampak toksin dapat bermanifestasi pada jantung berupa
miokarditis yang dapat terjadi baik pada difteria ringan
maupun berat
3. Infeksi sekunder bakteri
PENATALAKSANAAN
Umum
 Istirahat tirah baring selama kurang lebih 2 - 3 minggu atau lebih
lama bila terjadi miokrditis
 Oksigen bila sesak nafas
 Pemberian cairan serta diet makanan lunak yang mudah dicerna
dengan kalori tinggi
 Khusus pada difteria laring dijaga agar nafas tetap bebas serta dijaga
kelembaban udara dengan menggunakan humidifier.
 Trakeostomi pada kasus dengan obstruksi saluran nafas berat
 Prednisone 1 – 1,5 mg/kgbb/hari, peroral, tiap 6 – 8 jam pada kasus
berat selama 14 hari.
Khusus

1. Antitoksin : Anti Diphtheria Serum (ADS)


ADS
 Uji kulit dilakukan dengan penyuntikan 0,1 ml ADS
dalam larutan garam fisiologis 1:1.000 secara intrakutan.
Hasil positif bila dalam 20 menit terjadi indurasi > 10
mm.

 Uji mata dilakukan dengan meneteskan 1 tetes larutan


serum 1:10 dalam garam fisiologis. Pada mata yang lain
diteteskan garam fisiologis. Hasil positif bila dalam 20
menit tampak gejala hiperemis pada konjungtiva bulbi
dan lakrimasi.
2. Antibiotik

Penisilin prokain 100.000 IU/kgBB selama 10 hari. Maksimal 3


gram/hari.

Eritromisin (bila alergi PP) 40-50 mg/kg BB secara oral 3-4


kali/hari selama 10 hari.
3. Kortikosteroid

 Prednison 2 mg/kgBB/hari selama 3 minggu.


 Deksametason 0,5-1 mg/kgBB/hari seca IV (terutama
untuk toksemia).
PENCEGAHAN
 Menjaga kebersihan dan memberikan pengetahuan tentang bahaya difteria
bagi anak
 Pencegahan secara khusus terdiri dari imunisasi DPT dan pengobatan
carrier
 Imunisasi pasif diperoleh secara transplasental dari ibu yang kebal terhadap
difteria sampai 6 bulan. Sedangkan imunitas aktif diperoleh setelah
menderita aktif yang nyata atau inapparent infection serta imunisasi toksoid
difteria.
 Pengobatan untuk carrier adalah eritromisin 40-50 mg/kgBB/hari dibagi 4
dosis selama 7 hari, maksimum (1 gram/hari)
PROGNOSIS

Prognosis difteri setelah ditemukannya ADS dan antibiotik lebih baik daripada
sebelumnya.

Kematian mendadak pada kasus difteria dapat disebabkan oleh karena:


 Obstruksi jalan nafas mendadak diakibatkan oleh terlepasnya membrana
difteri
 Adanya miokarditis dan gagal jantung
 Paralisis diafragma sebagai akibat neuritis nervus nefrikus.
BAB III
PENUTUP
KESIMPULAN
 Difteri adalah suatu infeksi akut yang sangat menular, disebabkan oleh
Corynebacterium diphtheriae dengan ditandai pembentukan pseudo-membran
pada kulit dan atau mukosa.
 Penyakit ini diklasifikasikan menurut lokasi membran yaitu difteri nasal, difteri

tonsil dan faring, difteri laring, difteri kulit, difteri vulvovaginal, difteri
konjungtiva, dan difteri telinga.
 Diagnosis dini difteri sangat penting karena keterlambatan pemberian antitoksin

sangat mempengaruhi prognosa penderita. Diagnosa pasti dari penyakit ini


adalah isolasi C. Diphtheriae dengan bahan pemeriksaan membran bagian
dalam (kultur).
 Dasar dari terapi adalah menetralisir toksin bebas dan eradikasi
Corynebacterium diphtheriae dengan antibiotik.
 Pencegahan secara umum dilakukan dengan menjaga kebersihan dan memberi
pengetahuan tentang bahaya difteri bagi anak.
 Prognosis umumnya tergantung dari umur, virulensi kuman, lokasi dan
penyebaran membran, status imunisasi, kecepatan pengobatan, ketepatan
diagnosis, dan perawatan umum.
DAFTAR PUSTAKA
 Buescher ES. Diphtheria (Corynebacterium diphtheriae). Dalam: Kliegman RM, Stanton BF, St Geme III JW, Schor NF,
penyunting. Nelson Textbook of Pediatrics. Edisi ke-20 Chapter 187. USA: Elsevier; 2016. h. 1345-51.
 Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Difteri. In: Setiati S, Alwi I, Sudoyo AW, K MS, Setiyohaddi B, Syam AF,
editors. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. VI. Jakarta: Interna Publishing; 2014. p. 643–50.
 Alam A, Hadinegoro SRS, Moedjito I, Hapsari MM. Buku Ajar Infeksi & Pediatri Tropis. Jakarta: Ikatan Dokter Anak
Indonesia 2018.
 Feigin RD, Stechenberg BW, Nag PK. Chapter 101 diphteria. In: Feigin. Textbook of pediatric infectious diseases. 6th ed.
Philadelphia: Saunders Elsevier; 2009. p. 1393–402.
 Centers for Disease Control and Prevention. Diphteria. In: Epidemiology and prevention of vaccine-preventable diseases.
13th ed. Centers for Disease Control and Prevention; 2015. p. 107–18.
 Hartoyo E. Difteri pada anak. Sari Pediatri. 2018; 19 (5):300–6.

 Hendarto TW, Indarso F, Pusponegoro TJ. Bab VI imunisasi pasif. In: Ranuh IN, Suyitno H, Hadinegoro, Sri Rezeki S,
Kartasasmita, Cissy B, Ismoedjianto, Soedjatmiko, editors. Pedoman imunisasi di Indonesia. 5th ed. Jakarta: Badan
Penerbit Ikatan Dokter Anak Indonesia; 2014. p. 195.
 SMF Ilmu Kesehatan Anak FK UNUD/RSUP Sanglah. Difteria. In: Pedoman pelayanan medis ilmu kesehatan anak.
Denpasar: SMF Ilmu Kesehatan Anak FK UNUD/RSUP Sanglah; 2010.
 Hadinegoro SRS. Bab II Jadwal imunisasi. In: Ranuh IN, Suyitno H, Kartasasmita CB, Ismoedjianto, Soedjatmiko,
editors. Pedoman imunisasi di Indonesia. 5th ed. Jakarta: Badan Penerbit Ikatan Dokter Anak Indonesia; 2014. p. 275–7.
 Pemerintah optimis KLB difteri bisa teratasi. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia [Internet]. 2018 [cited 2019
Augt 26]. Available from: http://www.depkes. go.id/pdf.php?id=18011500004.
 FAQ seputar kegiatan outbreak response immunization (ORI) difteri. IDAI [Internet]. 2017 [cited 2019 Augt 26].
Available from: http://www.idai.or.id/about-idai/idaistatement/faq-seputar-kegiatan-outbreak-response-immunization-ori-
difteri.
 Kementerian Kesehatan RI. Bab VI pengendalian penyakit. In: Profil Kesehatan Indonesia tahun 2016. Jakarta:
Kementerian Kesehatan Republik Indonesia; 2017. p. 174–5.
TERIMAKASIH

Anda mungkin juga menyukai