Anda di halaman 1dari 11

Novetania Vira Ardiyani

04011281823150 – Gamma 2018


Kelompok G1

Learning Issues

A. Anatomi dan Fisiologi Ekstremitas Bawah

B. Pemeriksaan Fisik, Pemeriksaan Neurologis, Pemeriksaan Radiologis, dan


Pemeriksaan ENMG pada Ekstremitas Bawah
1. Interpretasi
a. Pemeriksaan Fisik

Pemeriksaan Hasil Nilai Normal Interpretasi


GCS 15 14-15 Composmentis
TD 120/80 mmHg 90-140 mmHg/ Normal
60-90 mmHg
Nadi 80x/menit 60-100x/menit Normal
RR 22x/menit 16-24x/menit Normal
Temperatur 36,8°C 36,5-37,5°C Normal
Tabel 1. Interpretasi Hasil Pemeriksaan Fisik. (Sapra, Malik, & Bhandari, 2020)

b. Pemeriksaan Neurologis

Pemeriksaan Hasil Nilai Normal Interpretasi


Tarsal tinel sign (+) (-) Abnormal
kanan
Tes dorsoversi (+) (-) Abnormal
eversi
Triple (+) (-) Abnormal
compression test
kanan
Pemeriksaan Didapatkan Tidak ada Abnormal
sensorik dengan hipoesthesi pada kelainan
uji raba halus dan tumit hingga
uji nyeri pada telapak kaki
telapak kaki kanan
Tabel 2. Interpretasi Hasil Pemeriksaan Neurologis

c. Pemeriksaan Radiologis

Pemeriksaan Hasil Nilai Interpretasi


Normal
Novetania Vira Ardiyani
04011281823150 – Gamma 2018
Kelompok G1

Rontgen pedis Tidak ada Normal


kanan kelainan

Tabel 3. Interpretasi Hasil Pemeriksaan Radiologis

d. Pemeriksaan ENMG

Pemeriksaan Hasil Nilai Normal Interpretasi


Motor Nerve Conduction
Right Tibial N. Abnormal
Ankle
Latency 6,5 ms <4,5 ms
Amplitude 3,0 mV >3,5 mV
Poplitea fossea
Latency 7,0 ms <4,5 ms
Amplitude 2,7 mV >3,5 mV
Conduction velocity 35,5 m/s >40 m/s
Left Tibial N. Normal
Ankle
Latency 3,8 ms <4,5 ms
Amplitude 10.0 mV >3,5 mV
Poplitea fossea
Latency 4,2 ms <4,5 ms
Amplitude 8,2 mV >3,5 mV
Conduction velocity 47 m/s >40 m/s
Sensoric Nerve Conduction
Right Sural N. Normal
Lower leg
Latency 3,2 ms <3,5 ms
Amplitude 26 μV >10 μV
Conduction velocity 41 m/s >40 m/s
Left Sural N. Normal
Lower leg
Latency 2,8 ms <3,5 ms
Amplitude 30 μV >10 μV
Conduction velocity 44 m/s >40 m/s
Tabel 4. Interpretasi Hasil Pemeriksaan ENMG

2. Mekanisme Abnormalitas
Novetania Vira Ardiyani
04011281823150 – Gamma 2018
Kelompok G1

Penekanan pada saraf posterior tibia → penurunan aliran darah → rusaknya


endoneurial mikrovaskular → demyelinisasi → gangguan sensoris → nyeri
pada tumit dan telapak kaki → Tarsal tunnel syndrome. (Salim, 2017)
3. Prosedur Pemeriksaan Neurologis
a. Tarsal tinel sign
Caranya : peralatan yang digunakan hanya hammer medic ataupun tangan
terapis. Pada tinel sign dilakukan dengan cara perkusi nervus tibia posterior
yang terletak pada pergelangan kaki bagian medial dan kaki dalam posisi
dorsofleksi. Tinel sign positif jika terdapat nyeri atau rasa kesemutan pada
telapak kaki dalam waktu 5-10 detik.
Tarsal tunnel syndrome terjadi bila syaraf tibial posterior yang terletak pada
pergelangan kaki terjebak atau tertekan, faktor yang membuat syaraf
tersebut tertekan adalah gerakan overpronation (menggerakan rotasi kaki
kedalam). Tetapi terkadang tarsal tunel syndrome terjadi oleh karena kasus
osteoarthritis, rheumatoid arthritis, tenosinovitis dan lain-lainnya.
(Sulistyoningrum, 2005)

Gambar. Tarsal tinel sign


b. Tes dorsoversi eversi
Pada pemeriksaan dorsofleksieversion test kaki berada pada posisi
dorsofleksi dan eversi ditahan selama 5-10 detik sehingga terjadi
pemanjang pada metatarsophalangeal sendi (MTP), apabila postiif akan
terasa nyeri pada bagian tumit.

Gambar. Tes dorsoversi eversi


c. Triple compression test
Tes ini memiliki sensitivitas 85,9% dan spesifitas 100% untuk
mendiagnosis Tarsal Tunnel Syndrom. Dimana Triple Compression test ini
Novetania Vira Ardiyani
04011281823150 – Gamma 2018
Kelompok G1

menggabungkan tinel sign dan uji trepman. Dengan membawa kaki di fleksi
plantar penuh, inversi dan menerapkan tekanan digital yang merata dan
konstan di atas saraf tibial posterior selama 30 detik . kompresi ganda pada
saraf terjadi dari fleksi platar dan inversi, dan bersamaan dengan maneuver
kompresi ketiga simlutan oleh tekanan digital langsung. Tanda-tanda dati
TTS akan terlihat dalam hitungan detik. Rasa nyeri akan terjadi dalam 10
detik dan mati rasa danalm 30 detik.

Gambar. Triple compression test.


d. Pemeriksaan sensorik dengan uji raba halus dan uji nyeri pada telapak kaki
kanan
Pemeriksaan sensoris, dapat dilakukan dengan memberikan rangsangan
sentuhan ringan, atau dengan menggunakan tusukan peniti, yang mana
pasien akan merasakan hiperalgesia atau hipoatheisa pada area nervus
plantar medial dan pada area nervus plantar lateral jarang ditemukan atau
pada seluruh telapak kaki.
e. Pemeriksaan EMNG (Electromyoneurography)
Prinsip kerja EMNG adalah mengukur potensial otot. Seperti
diketahui adanya aktifitas otot akan menimbulkan potensial aksi.
Potensial listrik dalam otot tersebut terjadi akibat adanya reaksi kimia
dalam otot. Dalam pemeriksaan EMNG , karena kesulitan untuk
mengisolasi sel otot tunggal maka perekaman aktivitas listrik selalu
dilakukan untuk beberapa serabut otot. Sinyal listrik otot atau sekelompok
otot berbentuk gelombang mirip bising ( “noise” ) yang amplitudonya
bervariasi terhadap aktivitas otot. Pada kontraksi sedang, ampiltudonya
kira-kira 1 mV untuk 100Hz < frekuensi< 500 Hz dan 0,5 mV untuk
500 Hz<frekuensi<2000 Hz (Cameron, 1978 dalam Chalimatus, 2008).
Pemeriksaan kecepatan hantar saraf (KHS) dilakukan dengan cara
meletakkan elektrode perekan pada otot (untuk KHS motoris) atau saraf
( untuk KHS sensoris) tertentu daan ek=lektrode stimulator di atas saraf tepi
yang aan diperiksa. Akibat rangsangan ini akan muncul potensial aksi pada
saraf motorik disebut Compound Muscle Action Potential (CMAP), dan
pada saraf sensoris disebut Sensory Nerve Action Potentisal (SNAP).
Novetania Vira Ardiyani
04011281823150 – Gamma 2018
Kelompok G1

CMAP berbentuk gelombang bifasik, yang diawali oleh defleksi negatif (ke
arah atas dari garis dasar).
Istilah elektrofisiologis adalah (Poernomo et al, 2003)
1. Amplitudo (mV), diukur dari garis dasar sampai defleksi negatif
pertama, yang menggambarkan berapa banyak akson yang dapat
terangsang. Besar kecilnya amplitudo CMAP menunjukkan keadaan
akson sepanjang perjalanan dari motor neuron/kornu anterior sampai
saraf motorik. Amplitudo CMAP yang menurun pada lesi motor
neuron, lesi radiks, lesi plesus, dan lesi perifer.
2. Durasi (ms), diukur dari defleksi pertama sampa dengan titik dimana
gelombang tersebut memotong garis dasar kembali. Durasi
enunjukkan kemampuan suatu serabut saraf untuk menghantarkan
impuls dalam waktu yang relatif bersamaan.
3. Latensi (ms), diukur dari stimulus artefak sampai defleksi pertama
dari garis dasar. Latensi ini mengukur konduksi serabut motoris
tercepat. Latensi yang timbul oleh stimulasi pada tempat yang paling
distal dari ekstremitas disebut latensi distal.
Untuk pengukuran kecepatan hantar saraf (KHS) motoris, CMAP
direkam minimal pada dua lokasi sepanjang saraf.

Gambar 1. Compound Muscle Action Potential (CMAP). (Shapiro, 2013)


Dengan memperhatikan latensi distal, amplitudo, dan KHS maka
dapat diketahui jenis neuropati aksonal, demyelinating, atau cmpuran
aksonal demyelinating.

Latensi distal Amplitudo KHS


Lesi aksonal N ↓ N
Lesi demyelinating ↑ N ↓
Lesi campuran ↑ ↓ ↓
Pada lesi demyelinating, bisa didapatkan penurunan amplitudo bila
terjadi blok konduksi. Amplitudo akan menurun bila stimulasi saraf
terletak proksimal dari blok konduksi tersebut. Dianggap terjadi blok
konduksi bila terjadi penurunan amplitudo CMAP lebih dari 20% dan
Novetania Vira Ardiyani
04011281823150 – Gamma 2018
Kelompok G1

peningkatan durasi lebih dari 15% pada stimulasi proksimal dibanding


distal.
Stimulasi pada serabut saraf sensoris akan menghasilkan potensial aksi
yang disebut Sensory Nerve Action Potential (SNAP) menggambarkan
fungsi integritas ganglion dorsalis (neuron sensoris) beserta seluruh akson
sensoris. SNAP akan menurun atau menghilang amplitudonya pada lesi
yang mengenai ganglion dorsalis dan akson saraf sensoris. Walaupun
penderita mengeluh adanya sensibilitas, SNAP akan normal pada lesi
sentral atau radikulopati. Pemeriksaan SNAP akan abnormal pada
ganglionopati, pleksopati, atau neuropati aksonal.

Gambar 2. Sensory Nerve Action Potential (SNAP) (Shapiro, 2013)


F wave merupakan potensial hasil rangsangan supramaksimal yang
bersifat antidromik untuk megetahui lesi proksimal. Latensi F-wave
mengukur latensi dari stimulator ke kornu anterior melalui jalur motorik
kemudian kembali menuju electrode perekam. F wave merupakan CMAP
kecil, yang menunjukkan 1 – 5% dari serabut otot.

Gambar 3. Sirkuit F –wave (Shapiro, 2013)


F wave bisa diperoleh pada tiap saraf motoris, kecuali pada nervus
peroneus yang sulit dibangkitkan pada orang normal. Respon F bisa nihil
pada pendertita yang tidur atau dengan obat penenang.

C. Tarsal Tunnel Syndrome


Novetania Vira Ardiyani
04011281823150 – Gamma 2018
Kelompok G1

Analisis Masalah

1. Tn. Rizki, 20 tahun, berobat ke poliklinik saraf karena nyeri pada tumit dan telapak kaki
kanan. Sejak 3 minggu yang lalu, dengan karakteristik yang tajam dan kadang seperti
ditusuk, nyeri hilang timbul, memberat saat berjalan atau berdiri lama, dan berkurang
saat istirahat. Nyeri tidak menjalar, intensitas nyeri ringan sampai sedang, sehingga
aktivitas penderita kerap terganggu. Terdapat gangguan sensibilitas berupa rasa baal
pada tumit dan telapak kaki kanan.
a. Bagaimana hubungan antara usia dan jenis kelamin pada kasus? 3
b. Bagaimana anatomi tumit dan telapak kaki? 1
c. Bagaimana fisiologi sistem sensorineural pada tumit dan telapak kaki? 1
d. Apa saja organ yang mungkin terganggu pada kasus? 1 2 3
e. Bagaimana mekanisme rasa baal pada tumit dan telapak kaki kanan? Bagaimana
hubungannya dengan nyeri pada kasus? 1 3
f. Apa saja etiologi dari nyeri pada kasus? 1 3
g. Bagaimana klasifikasi nyeri? 3
h. Mengapa nyeri hilang timbul dan memberat saat berjalan atau berdiri lama? 1 3
i. Mengapa nyeri dirasakan pada tumit dan telapak kaki kanan sejak 3 minggu
yang lalu? 3
j. Mengapa nyeri tidak menjalar? 3

2. Riwayat pekerjaan sebagai atlet lompat jauh sejak usia 16 tahun. Riwayat jatuh / terkilir
tidak ada. Riwayat kencing manis tidak ada. Riwayat tumor atau benjolan tidak ada.
Penyakit ini dialami untuk pertama kalinya.
a. Bagaimana hubungan pekerjaan dan pola hidup dengan penyakit pasien pada
kasus? 3
b. Apa makna klinis dari riwayat jatuh/terkilir tidak ada, riwayat kencing manis tidak
ada, riwayat tumor atau benjolan tidak ada dan penyakit ini dialami untuk pertama
kalinya? 3

3. Pemeriksaan Fisik:

Keadaan umum : GCS 15


Tanda vital : TD 120/80 mmHg, Nadi 80x/menit, RR 22x/menit, Temp 36,8 C
Novetania Vira Ardiyani
04011281823150 – Gamma 2018
Kelompok G1

Pemeriksaan Neurologis:
Pada pemeriksaan didapatkan:
- Tarsal tinel sign (+) kanan

- Tes dorsoversi eversi kanan (+)

- Triple compression test kanan (+)

- Pemeriksaan sensorik dengan uji raba halus dan uji nyeri pada telapak kaki kanan
didapatkan hipoesthesi pada tumit hingga telapak kaki.

Pemeriksaan Radiologis (Rontgen Pedis Kanan)

Pemeriksaan ENMG
Motor Nerve Conduction:
Nerve and Site Latency Amplitude Conduction
Velocity
Right Tibial N.
Ankle 6.5 ms 3.0 mV
Poplitea fossea 7.0 ms 2.7 mV 35,5 m/s

Left Tibial N.
Ankle 3.8 ms 10.0 mV
Poplitea fossea 4.2 ms 8.2 mV 47 m/s

Sensoric Nerve Conduction:


Nerve and Site Latency Amplitude Conduction
Novetania Vira Ardiyani
04011281823150 – Gamma 2018
Kelompok G1

Velocity
Right Sural N.
Lower leg 3.2 ms 26 μV 41 m/s
Left Sural N.
Lower leg 2.8 ms 30 μV 44 m/s

Nilai Normal:
Motorik N. Tibialis :
- Distal latensi <4,5 ms
- Amplitudo >3,5 mV
- KHS >40 m/s

Sensorik N. Suralis:
- Distal latensi <3,5 ms
- Amplitudo >10 μV
- KHS >40 m/s
LI 2
a. Bagaimana interpretasi hasil pemeriksaan fisik pada kasus?
b. Bagaimana interpretasi hasil pemeriksaan neurologis pada kasus?
c. Bagaimana interpretasi hasil pemeriksaan rontgen pedis kanan pada kasus?
d. Bagaimana interpretasi hasil pemeriksaan ENMG pada kasus?
e. Jika terdapat abnormalitas, bagaimana mekanisme abnormalitas hasil
pemeriksaan pada kasus?
f. Bagaimana prosedur pemeriksaan neurologis pada kasus?
g. Apa saja pemeriksaan penunjang lain yang dapat dilakukan pada kasus?
Jawab:
1. Magnetic resonance imaging (MRI) dan ultrasonography dapat cukup
membantu yang berhubungan dengan kasus soft-tissue masses dan space-
occupying lesion lainnya pada tarsal tunnel. Sebagai tambahan, MRI
berguna dalam menilai suatu flexor tenosynovitis dan unossified subtalar
joint coalitions.
2. Plain radiography juga berguna untuk mengevaluasi pasien-pasien dengan
dasar kelainan struktur dari kaki, fraktur, bony masses, osteophytes, dan
subtalar joint coalition .
3. Tes Cuff juga dapat dilakukan dengan menggunakan pneumatic manset
untuk membuat tourniquet (bendungan) vena yang menyebabkan vena
Novetania Vira Ardiyani
04011281823150 – Gamma 2018
Kelompok G1

dilatasi dan meningkatakan local iskemik sehingga akan menimbulkan


gejala apabila positif.

4. Pertanyaan tambahan: LI 3

a. Bagaimana algoritma penegakan diagnosis pada kasus?


b. Bagaimana diagnosis banding pada kasus?
c. Apa diagnosis kerja pada kasus?
d. Bagaimana etiologi penyakit pada kasus?
e. Bagaimana epidemiologi penyakit pada kasus?
f. Bagaimana faktor risiko penyakit pada kasus?
g. Bagaimana patofisiologi penyakit pada kasus?
h. Bagaimana manifestasi klinis penyakit pada kasus?
i. Bagaimana tata laksana penyakit pada kasus (farmako dan non farmako
termasuk rehabilitasinya)?
j. Bagaimana komplikasi penyakit pada kasus?
k. Bagaimana prognosis dan SNPPDI/SKDI penyakit pada kasus?
l. Bagaimana pencegahan dan edukasi pada kasus?
Novetania Vira Ardiyani
04011281823150 – Gamma 2018
Kelompok G1

Daftar Pustaka

Salim, R. (2017). Bahan AjarTarsal Tunnel Syndrome.

Sapra, A., Malik, A., & Bhandari, P. (2020, May 23). Vital Sign Assesment. Retrieved
Oktober 5, 2020, from NCBI: https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK553213/

Sulistyoningrum, E. (2005). Modul Skill Lab Pemeriksaan Sensorik, Posisi, Keseimbangan


dan Koordinasi. Purwokerto: Universitas Soedirman.

Poernomo, Herjanto, Basuki Mudjiani, Widjaja. Petunjuk Praktis Elektrodiagnostik.

Surabaya : Airlangga University Press. 2003

Shapiro. Electromyography and Neuromuscular Disorder. New York : Elsevier . 2013

Anda mungkin juga menyukai