Anda di halaman 1dari 11

LAPORAN PENDAHULUAN DIFTERI

Kapevi Hatake | 6:56 AM | Asuhan Keperawatan | Laporan Pendahuluan


DIFTERI

Difteri adalah penyakit infeksi akut yang disebabkan oleh corynebacterium diphteriae
yang berasal dari membran mukosa hidung nasofaring, kulit, dan lesi lain dari orang yang
terinfeksi.

Patofisiologi
- Kuman berkembang biak pada saluran nafas atas, dan dapat juga pada vulva, kulit, mata
walaupun jarang terjadi.
- Kuman membentuk pseudo membran dan melepaskan eksotoksin. Pseudo membran timbul
lokal dan menjalar dari faring, laring dan saluran nafas atas. Kelenjar getah bening akan
tampak membengkak dan mengandung toksin.
- Eksotoksin bila mengenai otot jantung akan mengakibatkan terjadinya miokarditis dan
timbul paralisis otot-otot pernafasan bila mengenai jaringan saraf.
- Sumbatan pada jalan nafas sering terjadi akibat dari pseudo membran pada laring dan trakea
dan dapat menyebabkan kondisi yang fatal.

Komplikasi
- Miokarditis (minggu ke-2)
- Neuritis
- Bronkopneumonia
- Nefritis
- Paralisis
Etiologi
- Corynebacterium diphteriae, bakteri berbentuk batang gram negatif

TONTON VIDIO DIBAWAH INI


Manifestasi Klinis
- Khas adanya pseudo membran
- Lihat dari alur atau jaras patofisiologi
Penatalaksanaan Terapeutik
- Pemberian oksigen
- Terapi cairan
- Perawatan isolasi
- Pemberian antibiotik sesuai program

Penatalaksanaan Perawatan
Pengkajian
- Riwayat keperawatan ; riwayat terkena penyakit infeksi, status immunisasi
- Kaji tanda-tanda yang terjadi pada nasal, tonsil/faring, dan laring
- Lihat dari manifestasi klinis berdasarkan alur patofisiologis

Diagnosa Keperawatan
1. Tidak efektifnya bersihan jalan nafas berhubungan dengan obstruksi pada halan nafas
2. Resiko penyebarluasan infeksi berhubungan dengan organisme virulen
3. Resiko kurangnya volume cairan berhubungan dengan proses penyakit (metabolisme
meningkat, intake cairan menurun)
4. Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan intake nutrisi yang
kurang.

Perencanaan
1. Anak akan menunjukkan tanda-tanda jalan nafas efektif
2. Penyebarluasan infeksi tidak terjadi
3. Anak menunjukkan tanda-tanda kebutuhan nutrisi terpenuhi
4. Anak akan mempertahankan keseimbangan cairan
Implementasi
Asuhan Keperawatan Pada Anak
1. Meningkatkan jalan nafas eketif
- Kaji status pernafasan, observasi irama dan bunyi pernafasan
- Atur posisi kepala dengan posisi ekstensi
- Suction kepala dengan posisi ekstensi
- Suction jalan nafas jika terjadi sumbatan
- Berikan oksigen sebelum dan setelah dilakukan suction
- Lakukan fisioterapi dada
- Persiapkan anak untuk dilakukan trakeostomi
- Lakukan pemeriksaan analisa gas darah
- Lakukan intubasi jika ada indikasi
2. Perluasan infeksi tidak terjadi
- Tempatkan anak pada ruang khusus
- Pertahankan isolasi yang ketat di rumah sakit
- Gunakan prosedur perlindungan infeksi jika melakukan kontak dengan anak
- Berikan antibiotik sesuai order
3. Kekurangan volume cairan tidak terjadi
- Memonitor intake output secara tepat, pertahankan intake cairan dan elektrolit yang tepat
- Kaji adanya tanda-tanda dehidrasi (membran mukosa kering, turgor kulit kurang, produksi
urin menurun, frekuensi denyut jantung dan pernapasan meningkat, tekanan darah menurun,
fontanel cekung).
- Kolaborasi untuk pemberian cairan parenteral jika pemberian cairan melalui oral tidak
memungkinkan
4. Meningkatkan kebutuhan nutrisi
- Kaji ketidakmampuan anak untuk makan
- Memasang NGT untuk memenuhi kebutuhan nutrisi anak
- Kolborasi untuk pemberian nutrisi parenteral
- Menilai indikator terpenuhinya kebutuhan nutrisi (berat badan lingkar lengan, membran
mukosa) yang adekuat.

Perencanaan Pemulangan
- Jelaskan terapi yang diberikan : dosis, efek samping
- Melakukan immunisasi jika immunisasi belum lengkap sesuai dengan prosedur
- Menekankan pentingnya kontrol ulang sesuai jadual
- Informasikan jika terdapat tanda-tanda terjadinya kekambuhan

Difteri
Difteri merupakan penyakit menular akut yang disebabkan oleh corynebacterium
diphteriae.
Etiologi. Corynebacterium diphteriae (basil Klebs-Loeffler) merupakan hasil gram
positif tidak teratur, tidak bergerak, tidak membentuk spora dan berbentuk batang pleomorfis.
Epidemiologi. Difteri tersebar diseluruh dunia, tetapi insidens penyakit ini menurun
secara menyolok setelah penggunaan toksoid difteri secara meluas setelah Perang Dunia II.
Diteri didapat melalui kontak dengan karier atau seseorang yang sedang menderita
difteri.
Patogenesis dan Patologis. Difteri diawali oleh masuknya C. Diphtheriae kedalam hidung
atau mulut dimana basil akan menetap pada permukaan mukosa saluran napas bagian atas.
Kadang-kadang kulit atau membran mukosa mata atau kelamin bertindak sebagai tempat
lokalisasi . setelah masa inkubasi selama 2-4 hari, strain-strain yang terinfeksi oleh bakteri
ofaga mengeluarkan toksin, yang pada awalnya akan diserap kedalam membran sel,
kemudian menembus membran dan mengganggu proses sintesis protein didalam sel bakteri.
Toksin dapat merusak organ-organ atau jaringan-jaringan tetapi terutama adalah lesi-lesi
yang mengenai jantung, susunan saraf dam ginjal. Walaupun anti toksin difteri dapat
menetralkan toksin yang beredar tetapi bila toksin telah diserap oleh sel, maka antitoksin
menjadi tidak efektif. Setelah toksin melekat pada jarigan, maka terjadi masa laten yang
berbeda-beda, sebelum terjadinya manifestasi-manifestasi klinis. Miokarditis biasnaya
ditemukan 10-14.
Manifestasi-manifestasi klinis. Tanda-tanda dan gejala-gejala difteri tergantung pada
fokus infeksi, status kekebalan pejamu dan apakah toksin yang dikeluarkan itu telah
memasuki sistem peredaran darah atau belum.
Masa tunas penyakit berkisar antara 1-6 hari. Difteri, secara klinis diklasifikasikan
berdasarkan lokalisasi anatomi infeksi awal dan membran difteri (nasal, tonsil, faring, laring
atau laringotrakea, konjungtiva, kulit dan genital).
Difteri nasa mula-mula menyerupai penyakit selesma dan ditandai dengan sedikit gejala
sistemis. Secara-berangsur-angsur sekret hidung menjadi serosanguinosa kemudian menjadi
mukopurulen dan menimbulkan ekskoriasi cuping hidung dan bibir bagian atas. Timbul bau
busuk dan pada pemeriksaan yang seksama menunjukkan adanya membran putih pada
septum nasi. Penyebaran toksin yang lambat disertai berkurangnya gejala-gejala sistemis,
sering mengakibatkan keterlambatan penegakan diagnosis yang tepat. Bentuk penyakit ini
paling sering ditemukan pada bayi.
Difteri tonsil dan faring dimulai sebagai penyakit yang tersamar tetapi merupakan bentuk
yang lebih berat. Mula-mula terjadi anoreksia, matese, demam ringan dan faringitis.
Perjalanan penyakit difteri faring tergantung pada luasnya membran dan banyaknya
toksin yang dihasilkan. Pada kasus berat dapat terjadi kegagalan sistem pernapasan dan
sistem peredaran darah. Peningkatan denyut nadi tidak sebanding dengan suhu badan, yang
umumnya tetap normal atau mengalami sedikit peningkatan. Dapat terjadi pula kelumpuhan
palatum. Bila hal ini terjadi hanya pada satu sisi maka palatum akan berdeviasi menjauhi sisi
yang mengalami kelumpuhan ; jika kelumpuhan timbul pada kedua sisi maka dapat terjadi
suara sengau, regurgitasi pada hidung dan kesukaran menelan.
Diagnosis. Diagnosis sebaiknya ditegakkan berdasarkan hasil temuan-temuan klinis,
karena setiap keterlambatan pengobatan merupakan bahaya besar bagi penderita.
Tes Schick. Tes kulit ini digunakan untuk menentukan status kekebalan penderita. Tes
ini dapat membantu diagnosis dini, karena hasil tes tersebut belum dapat dibaca hingga
beberapa hari kemudian, tetapi tes ini berguna untuk menentukkan kerentanan para kontak
dan pada diagnosis serta penatalaksanaan defisiensi kekebalan.
Diagnosis Banding. Bentuk-bentuk difteri nasal ringan pada para pejamu dengan
kekebalan parsial dapat menyerupai selesma. Bila terdapat sekret hidung lebih bersifat
serosanguinosa atau purulen, maka difteri nasal harus dibedakan dari benda asing yang
mungkin terdapat didalam hidung, sinusitis, adenoiditis atau “bindeng” pada sifilis
kongenital. Pemeriksaan hidung yang seksama dengan spekulum hidung, roentgenogram
sinus dan tes-tes serologis sifilis dapat menyingkirkan gangguan-gangguan ini.
Penyulit-penyulit. Penisilin yang digunakan untuk membasmi C. diphtheriae berhasil
menurunkan frekuensi penyulit-penyulit bakteri sekunder secara bermakna, terutama
penyakit streptokokus.
Pencegahan. Imunisasi. Tindakan pencegahan yang paling efetif terhadap difteri adalah
imunisasi aktif. Agen yang lebih disukai untuk anak-anak berusia kurang dari 6 tahun adalah
toksoid difteri, yang diberikan dalam kombinasi dengan tetanus toksoid dan antigen pertusis
(DPT).
Imunisasi primer bagi anak-anak berusia lebih dari 6 tahun dapat dilakukan dengan
mempergunakan vaksin difteri tipe dewasa dan toksoid-serap tetanus (TD).
Para kontak. Pencegahan difteri juga tergantung pada isolasi penderita untuk
memperkecil penyebaran penyakit dan pada penatalaksanaan para kontak yang telah
diketahui. Penderita tetap berhasil dibiakkan dari tempat infeksi ; diperlukan 3 kali biakan
berturut-turut dengan hasil negatif sebelum penderita dibebaskan dari isolasi.
Pengobatan. Pengobatan difteri terdiri atas netralisasi toksin bebas dan pemberantasan C.
diptheriae dengan antibiotika. Satu-satunya pengobatan spesifik adalah antitoksin yang
berasal dari kuda. Antitoksin sebaiknya diberikan berdasarkan tempat membran berada,
derajat toksisitas dan lamanya penyakit.

Difteria
Penyakit difteria adalah suatu infeksi akut yang mudah menular, dan yang sering
diserang terutama saluran pernapasan bagian atas, dengan tanda khas timbulnya
“pseudomembran”. Kuman juga melepaskan eksotoksin yang dapat menimbulkan gejala
umum dan lokal.
Terdapat 3 jenis basil, yakni bentuk gravis, mitis, dan intermedius atas dasar perbedaan
bentuk koloni dalam biakan agar (agar-agar) darah yang mengandung kalium telurit. Basil
difteria mempunyai sifat :
1. Membentuk pseudomembran yang sukar diangkat, mudah berdarah, dan berwarna putih
keabu-abuan yang meliputi daerah yang terkena, terdiri dari fibrin, leukosit, jaringan nekrotik
dan kuman.
2. Mengeluarkan eksotoksin yang sangat ganas dan dapat meracuni jaringan setelah beberapa
jam diserap dan memberikan gambaran perubahan jaringan yang khas terutama pada otot
jantung, ginjal dan jaringan saraf (toksin ini amat ganas ; 1/50 ml toksin dapat membunuh
kelinci).

Patogenesis
Kuman hidup dan berkembang biak pada saluran napas bagian atas, tetapi dapat juga
pada vulva, kulit, mata, walaupun jarang terjadi. Pada tempat-tempat tersebut kuman
membentuk pseudomembran dan melepaskan eksotoksin. Pseudomembran timbul lokal
kemudian menjalar dari faring, tonsil, laring dan saluran napas atas, kelenjar getah bening
sekitarnya akan membengkak dan mengandung toksin. Eksotoksin bila mengenai otot jantung
akan menyebabkan miokarditis toksik atau jika mengenai jaringan saraf perifer sehingga
timbul paralisis terutama otot-otot pernapasan. Toksin juga dapat menimbulkan nekrosis
fokal pada hati dan ginjal, yang dapat menyebabkan timbulnya nefritis interstitialis. Kematian
pasien difteria pada umumnya disebabkan oleh terjadinya sumbatan jalan napas akibat
pseudomembran pada laring dan trakea, gagal jantung karena terjadi sumbatan jalan napas
akibat pseudomembran pada laring dan trakea, gagal jantung karena terjadi miokarditis, atau
gagal napas akibat terjadinya bronkopneumonia.
Penularan penyakit diferia adalah melalui udara (droplet infection), tetapi juga dapat
perantaraan alat/benda yang terkontaminasi oleh kuman difteria. Penyakit dapat mengenai
bayi tetapi kebanyakan pada anak usia balita. Penyakit difteria dapat berat atau ringan
bergantung dari virulensi, banyaknya hasil, dan daya tahan sembuh anak. Bila ringan, hanya
berupa keluhan sakit menelan dan akan sembuh sendiri serta dapat menimbulkan kekebalan
pada anak jika daya tahan tubuhnya baik. Tetapi kebanyakan pasien yang datang berobat
sering dalam keadaan berat seperti lelah adanya bullneck atau sudah stridor dan dispnea.
Pasien difteria selalu dirawat dirumah sakit karena mempunyai resiko terjadi komplikasi
seperti miokarditis atau sumbatan jalan napas.
1. Difteria faring dan tonsil
Difteria ini paling sering dijumpai ialah sekitar 75%. Dalam keadaan ringan tidak terbentuk
pseudomembran, dapat memebentuk kekabalan.
Bila berat akan timbul gejala demam tetapi tidak tinggi, nyeri telan, terdapat pseudomembran
yang mula-mula hanya ada bercak-becak putih keabu-abuan dan cepat meluas kedaerah
faring dan laring.
2. Difteria laring dan trakea
Difteria ini merupakan yang terbanyak dan umumnya sebagai penjalaran dari difteria faring
dan tonsil. Gejala sama dengan difteria faring hanya lebih berat.

Prognosis
Prognosis penyakit ini bergantung kepada :
1. Umur pasien. Makin muda usianya makin jelek prognosisnya
2. Perjalanan penyakit ; makin terlambat ditemukan makin buruk keadaannya
3. Letak lesi difteria. Bila dihidung tergolong ringan
4. Keadaan umum pasien, bila keadaan gizinya buruk, juga buruk
5. Terdapatnya kompikasi miokarditis sangat memperburuk prognosis
6. Pengobatan ; terlambat pemberian ADS, prognosis makin buruk

Komplikasi
1. Pada saluran pernapasan : terjadi obstruksi jalan napas dengan segala akibatnya,
bronkopneumonia, atelektasis
2. kardiovaskular ; miokarditis, yang dapat terjadi akibat toksin yang dibentuk kuman difteria
3. Kelainan pada ginjal : nefritis
4. Kelainan saraf : kira-kira 10% pasien difteria mengalami komplikasi yang mengenai susunan
saraf terutama sistem motorik, dapat berupa :
a. Paralisis/parelisis palatum mole sehingga terjadi rinolalia (suara sengau), tersedak/sukar
menelan. Dapat terjadi pada minggu I-II
b. Paralisis/paresis otot-otot mata : dapat mengakibatkan strabismus, gangguan akomodasi,
dilatasi pupil atau ptosis yang timbul pada minggu III.
c. Paralisis umum yang dapat terjadi setelah minggu ke-IV. Kelainan dapat mengenai otot
muka, leher, anggota gerak dan yang paling berbahaya bila mengenai otot pernapasan.

Pencegahan
1. Imunisasi
2. Isolasi ; pasien difteria harus dirawat dengan isolasi dan baru dapat pulang setelah
pemeriksaan sediaan langsung tidak ditemukan corynebacterium diphteriae 2 kali berturut-
turut.
3. Pencarian seorang karier difteria dengan dilakukan Uji Shick. Bila diambil hapusan
tenggorok dan ditemukan C. diphteriae pasien diobati ; bila perlu dilakukan tonsilektomi (ini
ideal sekarang belum dapat dilaksanakan).

Gambaran Klinik
Masa tunas : 2-7 hari. Gejala umum : terdapat demam tidak terlalu tinggi, lesu, pucat,
nyeri kepala dan anoreksia sehingga pasien tampak sangat lemah.
Bila difteria mengenai hidung (hanya 2% dari jumlah pasien diferia) gejala yang timbul
berupa pilek, sekret yang keluar bercampur darah yang berasal dari pseudomembran dalam
hidung.

Pemeriksaan diagnositik
Laboratorium. Pada pemeriksaan darah terdapat penurunan kadar hemoglobin dan
leukosit polimorfonukleus, penurunan jumlah eritrosit, dan kadar albumin. Pada urin terdapat
albuminuria ringan.
Penatalaksanaan
Medik
1. Pengobatan umum
2. Pengobatan spesifik
a. Antidiphtheria serum
b. Antibiotik
c. Kortikosteroid
Keperawatan
Pasien diffteria harus dirawat dikamar isolasi yang tertutup. Petugas harus memakai
gaun khusus (celemek) dan masker yang harus diganti tiap penggantian tugas atau sewaktu-
waktu bila kotor (jangan dari pagi sampai malam). Sebaiknya penunggu pasien juga harus
memakai gaun tersebut untuk mencegah penularan ke luar ruangan. Harus disediakan
perlengkapan cuci tangan : desinfektan.
Masalah yang perlu diperhatikan adalah resiko terjadi komplikasi obstruksi jalan napas,
miokarditis, komplikasi pada ginjal, komplikasi susunan saraf pusat, gangguan masukan
nutrisi, gangguan rasa aman dan nyaman, resiko terjadi efek samping dari pengobatan,
kurangnya pengetahuan orang tua mengenai penyakit, dan jika pasien perlu dilakukan
trakeostomi/perawatan trakeostomi.

Patogenesis
Basil hidup dan berkembang biak pada saluran napas atas, terlebih-lebih bila terdapat
peradangan kronis pada tonsil, sinus, dll. Basil dapat pula hidup pada vulva, telinga dan kulit.
Pada tempat ini basil membentuk pseudomembran dan melepaskan eksotoksin.

Klasifikasi
1. Infeksi ringan : pseudomembran terbatas pada mukosa hidung atau fasial dengan gejala
hanya nyeri menelan.
2. Infeksi sedang : pseudomembran menyebar lebih luas sampai ke dinding posterior faring
dengan edema ringan laring yang dapat diatasi dengan pengobatan konservatif.
3. Infeksi berat : disertai gejala sumbatan jalan napas yang berat, yang hanya dapat diatasi
dengan trakeostomi. Juga gejala komplikasi miokarditis, paralisis tataupun nefritis dapat
menyertainya.

Manifastasi Klinis
 Difteri hidung : pilek dengan sekret bercampur darah. Gejala konstitusi ringan.
 Difteri faring dan tonsil (fausial) : terdapat radang akut tenggorok, demam sampai 38,5 OC,
trakikardi, tampak lemah, napas berbau, timbul pembengkakan kelenjar regional (bull neck).
Membran dapat berwarna putih, abu-abu kotor atau abu kehijauan dengan tepi yang sedikit
terangkat. Bila membran diangkat akan timbul pendarahan. Tetapi, prosedur ini
dikontraindikasikan karena mempercepat penyerapan toksin.
 Difteri laring : jenis yang terberat, terdapat afonia, sesak, stridor inspirasi, demam sampai 40
O
C, sangat lemah, sianosis, bull neck.
 Difteri kutaneus dan vaginal : lesi ulseratif dengan pembentukan membran. Lasi peresisten
dan sering terdapat anestesi.

Pemeriksaan Penunjang
Dapat terjadi leukositosis ringan.

Diagnosis
Ditegakan dengan ditemukannya corynebacterium diphtheriae pada preparat langsung
dengan pewarnaan biru metilen atau biru toluidin tau biakan dengan media loeffler.

Diagnosis Banding
Difteria nasal : perdarahan akibat luka dalam hidung, korpus alineum atau sifilis
kongenital.
Difteria faring dan tonsil (fausial) : tonsilitis folikularis atau lakunaris, angina Plaut
Vincent, infeksi mononukleosis infeksiosa, blood dyscrasia.
Difteria laring : laringitis akut, laringotrakeitis, laringitis membranosa, benda asing pada
laring.
Penatalaksanaan
Dilakukan bila klinis menyokong ke arah difteria tanpa menunggu hasil pemeriksaan
penunjang. Tata laksana umum dengan tirah baring, isolasi pasien, pengawasan ketat atas
kemungkinan komplikasi, antara lain pemeriksaan EKG setiap minggu. Pasien dirawat
selama3-4 minggu. Sedangkan secara khusus.
 Anti-Diptheria Serum (ADS) diberikan dengan dosis 20.000-100.000 U bergantung pada
lokasi, adanya komplikasi dan durasi penyakit. Sebelumnya lakukan uji kulit (pengenceran
1:100) atau mata (pengenceran (1:10). Bila pasien sensitif, lakukan desensitisasi cara
besredka.
 Antibiotik. Penisilin prokain 50.000 U/kgBB/hari sampai 10 hari. Bila alergi, berikan
eritromisin 40 mg/kgBB/hari. Bila dilakukan trakeostomi, tambahkan kloramfenikol 75
mg/kgBB/hari dalam dosis.
 Kortikosteroid. Digunakan untuk mengurangi edema laring dan mencegah komplikasi
miokarditis. Diberikan prednison 2 mg/kgBB/hari selama 3 minggu yang dihentikan secara
bertahap.
 Bila ada paresis otot dapat diberikan striknin ¼ mg dan vitamin B1 100 mg setiap hari, 10
hari berturut-turut.

Komplikasi
1. Saluran napas : obstruksi jalan napas, bronkopneumonia, atelektasis paru.
2. Kardiovaskular : miokarditis akibat toksin kuman.
3. Urogenital : nefritis.
4. Susunan syaraf : paralisis/paresis palatum mole (minggu I dan II), otot mata (minggu III) dan
umum (setelah minggu IV).

Pencegahan
1. Isolasi pasien. Isolasi dihentikan bila hasil pemeriksaan sediaan langsung C. diphtheriae 2
hari berturut-turut negatif.
2. Imunisasi.
3. Pencarian dan pengobatan karier. Dilakukan dengan uji Schick. Bila hasil negatif, dilakukan
apusan tenggorok. Jika ditemukan C. diphtheriae, harus diobati.
Prognosis
Prognosis lebih buruk lagi pada pasien dengan usia yang lebih muda, perjalanan
penyakit yang lama, letak lesi yang dalam, gizi kurang dan pemberian antitoksin yang
terlambat.

Anda mungkin juga menyukai