Pokok Bahasan Anatomi dan Fisiologi Sistem Pernapasan Definisi dari Difteri Klasifikasi Difteri Etiologi Difteri Patofisiologi/WOC Manifestasi Klinis Pemeriksaan Diagnostik Penatalaksanaan Komplikasi Prognosis Asuhan Keperawatan pada klien dengan difteri
Anatomi dan Fisiologi Sistem Pernapasan
Hidung adalah tempat dimulainya proses pernafasan. Di hidung terdapat rambut halus dan selaput lendir yang berfungsi untuk menyaring udara yang masuk agar udara menjadi bersih. Saluran nafas atas terdiri dari: 1. Hidung 2.Faring 3.Laring.
1. Hidung Hidung terdiri atas kerangka tulang dan tulang rawan yang dilapisi jaringan ikat dan kulit. Hidung terbagi atas kavum nasi kiri dan kanan oleh septum. Luas permukaannya diperbesar oleh tiga tonjolan dari dinding lateral yaitu: 1. Konka superior 2. Media 3. Inferior Sebagian besar rongga hidung dilapisi epitel kolumnar bersilia, sel Goblet, dan sel basofil kecil pada dasar epitel, yang dianggap sebagai sel induk. Pada manusia, jumlah sel Goblet berangsur bertambah dari anterior ke posterior. 2. Faring
Nasofaring dilapisi oleh epitel respirasi pada bagian yang berbatasan dengan palatum mole, sedangkan orofaring dilapisi epitel tipe skuamosa / pipih.
3. Laring Laring merupakan bagian yang menghubungkan faring dengan trakea.
Definisi dari Difteri
Difteri merupakan salah satu penyakit yang sangat menular (contagious disease). Penyakit ini disebabkan oleh infeksi bakteri Corynebacterium diphtheria yaitu kuman yang menginfeksi saluran pernafasan, terutama bagian tonsil, nasofaring (bagian antara hidung dan faring atau tenggorokan) dan laring.
Klasifikasi Difteri
A. Berdasarkan berat ringannya penyakit 1. Infeksi ringan : Pseudomembran terbatas pada mukosa hidung dengan gejala hanya nyeri menelan. 2. Infeksi sedang : Pseudomembran menyebar lebih luas sampai dinding posterior faring dengan edema ringan laring yang dapat diatasi dengan pengobatan konservatif.
3. Infeksi berat: a. Ada sumbatan jalan nafas, hanya dapat diatasi dengan trakeostomi b. Dapat disertai gejala komplikasi miokarditis, paralisis/ nefritis
B. Berdasarkan letaknya, digolongkan sebagai berikut:
3. Difteri Kulit, Vulvovaginal, Konjungtiva dan Telinga
1. Difteria Tonsil Faring (fausial) Gejala difteria tonsil-faring adalah anoreksia, malaise, demam ringan, dan nyeri menelan. 2. Difteria Laring Difteria laring merupakan perluasan difteri faring. Gejala klinis difteri laring sukar untuk dibedakan dengan tipe infectius croups yang lain, seperti nafas bunyi, stridor yang progresif, suara parau dan batuk kering.
3. Difteri Kulit, Vulvovaginal, Konjungtiva dan Telinga Difteria kulit, difteria vulvovaginal, difteri konjungtiva dan difteri telinga merupakan tipe difteri yang tidak lazim.
Etiologi Disebabkan oleh Corynebacterium diphteriae, bakteri gram positif yang bersifat polimorf, tidak bergerak dan tidak membentuk spora. Pada membran mukosa manusia C.diphteriae dapat hidup bersama- sama dengan kuman diphteroid saprofit yang mempunyai morfologi serupa, sehingga untuk membedakan kadang-kadang diperlukan pemeriksaan khusus dengan cara fermentasi glikogen, kanji,glukosa, maltosa dan sukrosa. Ciri khas C.diphteriae adalah kemampuannya memproduksi eksotoksin baik in vivo maupun in vitro. Kemampuan suatu strain untuk membentuk/memproduksi toksin dipengaruhi oleh adanya bakteriofag, toksin hanya bisa diproduksi oleh C.diphteriae yang terinfeksi oleh bakteriofag yang mengandung toxigene.
Untuk membedakan jenis virulen dan nonvirulen dapat diketahui dengan pemeriksaan produksi toksin, yaitu dengan cara : 1) Elek precipitin test, telah mulai dilakukan sejak tahun 1949, dan masih dipakai sampai saat sekarang, walaupun sudah dimodifikasi. 2) Polymerase chain pig inoculation test (PCR) 3) Rapid enzyme immunoassay (EIA), pemeriksaan ini hanya membutuhkan waktu 3 jam, lebih singkat dibandingkan dengan Elek precipitin test yang membutuhkan waktu 24 jam.
Patofisiologi/WOC Kuman berkembang biak pada saluran nafas atas, dan dapat juga pada vulva, kulit, mata, walaupun jarang terjadi. Kuman membentuk pseudomembran dan melepaskan eksotoksin.
Pseudomembran timbul lokal dan menjalar dari faring, laring dan saluran nafas atas. Kelenjar getah bening akan tampak membengkak dan mengandung toksin. Eksotoksin bila mengenai otot jantung akan mengakibatkan terjadinya miokarditis dan timbul mralisis otot-otot pernapasan bila mengenai jaringan saraf. Manifestasi Klinis Gejala klinis penyakit difteri ini adalah panas lebih dari 38 C, ada pseudomembrane bisa di faring, laring atau tonsil, sakit waktu menelan, leher membengkak seperti leher sapi (bullneck), disebabkan karena pembengkakan kelenjar leher. Gejala diawali dengan nyeri tenggorokan ringan dan nyeri menelan. Pada anak tak jarang diikuti demam, mual, muntah, menggigil dan sakit kepala. Pembengkakan kelenjar getah bening di leher sering terjadi. Pemeriksaan Diagnostic
Bakteriologik. Preparat apusan kuman difteri dari bahan apusan mukosa hidung dan tenggorok (nasofaringeal swab) Darah rutin : Hb, leukosit, hitung jenis, eritrosit, albumin Urin lengkap : aspek, protein dan sedimen Enzim CPK, segera saat masuk RS Ureum dan kreatinin (bila dicurigai ada komplikasi ginjal)
EKG secara berkala untuk mendeteksi toksin basil Tes schick: Uji Schick ialah pemeriksaan untuk mengetahui apakah seseorang telah mengandung antitoksin. Tes hapusan spesimen: Diambil dari hidung, tenggorokan dan terdapat lesi mukokutan lain, Penatalaksanaan Pencegahan Pencegahan penyakit difteri adalah dengan memberikan imunisasi DTP saat anak berumur 2, 4, 6, 18 bulan dan 5 tahun. Sedangkan pada usia 10 tahun dan 18 tahun diberikan imunisasi TD ( Toxoid Difteri ) saja.
Imunisasi DTP tidak boleh diberikan kepada anak yang sakit parah dan anak yang menderita penyakit kejang demam kompleks. Juga tidak boleh diberikan pada anak dengan batuk yang diduga mungkin sedang menderita batuk rejan. Bila pada suntikan DTP pertama terjadi reaksi yang berat maka sebaiknya suntikan berikut jangan diberikan DTP lagi melainkan DT saja (tanpa P).
Pengobatan Tujuan pengobatan penderita difteria adalah menginaktivasi toksin yang belum terikat secepatnya, mencegah dan mengusahakan agar penyulit yang terjadi minimal, mengeliminasi C. Diphtheriae untuk mencegah penularan serta mengobati infeksi penyerta dan penyulit difteria.
1. Pengobatan umum Pasien diisolasi sampai masa akut terlampaui dan biakan hapusan tenggorok negatif 2 kali berturut-turut, pada umumnya pasien tetap diisolasi selama 2-3 minggu. 2. Pengobatan Khusus A. Antitoksin : Anti Difteri Serum (ADS) Antitoksin harus diberikan segera setelah diagnosis difteri. Dosis diberikan berdasar atas luasnya membrane dan beratnya penyakit: a. 40.000 IU untuk difteri sedang b. 80.000 IU untuk difteri berat c. 120.000 IU untuk difteri sangat berat
Tabel 1. Dosis ADS Menurut Lokasi Membran dan Lama Sakit
NO Tipe Difteri Dosis DS (KI) Cara Pemberian 1. Difteri hidung 20.000 IM 2. Difteri tonsil 40.000 IM atau IV 3. Difteri faring 40.000 IM atau IV 4. Difteri laring 40.000 IM atau IV 5. Kombinasi lokasi di atas 80.000 IV 6. Difteri + penyulit, bullneck 80.000-120.000 IV 7. Terlambat berobat (>72 jam), lokasi dimana saja 80.000-120.000 IV B. Antibiotik Antibiotik diberikan bukan sebagai pengganti antitoksin melainkan untuk membunuh bakteri, menghentikan produksi toksin dan mencegah penularan organisme pada kontak. C. Diphtheriae biasanya rentan terhadap berbagai agen invitro, termasuk penisilin, eritromisin, klindamisin, rifampisin dan tetrasiklin.
Dosis pemberian antibiotik : Penicillin prokain 100.000 IU/kgBB selama 10 hari. Maksimal 3 gram/hari. Eritromisin (bila alergi PP) 50 mg/kg BB secara oral 3-4 kali/hari selama 10 hari.
C. Kortikosteroid Belum ada persamaan pendapat mengenai kegunaan obat ini pada difteri. Dianjurkan korikosteroid diberikan kepada kasus difteri yang disertai dengan gejala obstruksi saluran nafas bagian atas dapat disertai atau tidak disertai bullneck dan bila terdapat penyulit miokarditis, namun pemberian kortikosteroid untuk mencegah miokarditis ternyata tidak terbukti.
Dosis : Indikasi : Difteri berat dan sangat berat (membran luas, komplikasi bull neck) Prednison 2 mg/kgBB/hari selama 3 minggu. Dexamethazon 0,5-1 mg/kgBB/hari seca IV (terutama untuk toksemia)
3. Pengobatan Penyulit Pengobatan terutama ditujukan untuk menjaga agar hemodinamika tetap baik. Penyulit yang disebabkan oleh toksin yang pada umumnya reversibel. Bila pasien mulai gelisah, iritabilitas meningkat serta gangguan pernafasan yang progresif merupakan indikasi tindakan trakeotomi. 4. Pengobatan Kontak Pada anak yang kontak dengan pasien sebaiknya diisolasi sampai tindakan berikut terlaksana
5. Pengobatan Karier Karier adalah mereka yang tidak menunjukkan keluhan, mempunyai uji Shick negatif tetapi mengandung hasil difteria dalam nasofaringnya. Pengobatan yang dapat diberikan adalah penisilin 100 mg/kgBB/oral/suntikan, atau eritromisin 40 mg/kkgBB/hari selama satu minggu. Mungkin diperlukan tindakan tonsilektomi/adenoidektomi.
Tabel Pengobatan Terhadap Kontak Difteria
NO Biarkan Uji Shick Tindakan 1.
2.
3.
4. (-)
(+)
(+)
(-) (-)
(-)
(+)
(+) Bebas isolasi: anak telah mendapat imunisasi dasar diberikan booster toksoid difteria. Pengobatan karier: penisilin 100mg/kgBB/hari oral/suntikan, atau eritromisin 40 mg/kgBB/hari selama 1 minggu Penisilin 100 mg/kgBB/hari oral/suntikan atau eritromisin 40 mg/kgBB + ADS 20.000 KI Toksoid difteria (imunisasi aktif), sesuaikan dengan status imunisasi Komplikasi Komplikasi difteri terdiri dari : Infeksi sekunder, biasanya oleh kuman streptokokus dan stafilokokus yang akan memperberat gejala Difteri Infeksi lokal : obstruksi jalan nafas akibat membran atau udim jalan nafas Infeksi sistemik karena efek eksotoksin
Prognosis Prognosis penyakit difteri dipengaruhi beberapa hal, yaitu tergantung pada: a. Usia penderita b. Waktu pemberian antitoksin c. Tipe klinis difteri d. Keadaan umum penderita
Asuhan Keperawatan pada Klien dengan Difteri
PENGKAJIAN KEPERAWATAN A. Identitas Biasanya menyerang pada individu yang berusia kurang dari 15 tahun (yang tidak dapat imunisasi lengkap).
B. Riwayat Kesehatan - Keluhan utama : klien akan mengeluh batuk dan demam. - Riwayat Kesehatan Sekarang Demam, Sakit Kepala, Batuk, lesu/ lemah, sianosis, sesak nafas, dan pilek. a. Difteri nasal : Sakit jantung serosa inguinosa, epistaksis, ada membrane putih pada septum nadi. b. Difteri tonsil dan faring : Panas tidak tinggi, nyeri telan ringan, mual, muntah, nafas berbau, dan Bullneck. c. Difteri laring dan trachea : Sesak nafas hebat, stridor inspirator, terdapat retraksi otot supra sternal dan epigastrium, laring tampak kemerahan, sembab, banyak secret, permukaan tertutup oleh pseudomembran. - Riwayat Kesehatan Dahulu Klien pernah atau tidak terkena difteri, atau gejala- gejala difteri yang masih akut. - Riwayat Kesehatan Keluarga Mengkaji apakah anggota keluarga ada yang mengidap penyakit difteri
- Riwayat imunisasi Imunisasi DPT 1, 2, 3 pada usia 2 bulan, 4 bulan, 6 bulan yang kurang memadai. C. Pemeriksaan 1. Pemeriksaan umum - Kesadaran : compos mentis sampai dengan coma - TD : turun - RR : cepat dan dangkal - Nadi : cepat - Suhu : peningkatan suhu tubuh
B4 : Bladder (Genitourinary system) Normal B5 : Bowel (Gastrointestinal System) Anorexia, nyeri menelan, kekurangan nutrisi B6 : Bone (Bone-Muscle-Integument) Lemah pada lengan, turgor kulit
D. Pemeriksaan Penunjang Bakteriologik Darah rutin Urin lengkap Enzim CPK, segera saat masuk RS Ureum dan kreatinin (bila dicurigai ada komplikasi ginjal) EKG secara berkala Tes schick:
DIAGNOSA KEPERAWATAN Bersihan jalan nafas tidak efektif berhubungan dengan obstruksi pada jalan nafas. Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan intake nutrisi yang kurang). Resiko kurangnya volume cairan berhubungan dengan proses penyakit (metabolisme meningkat, intake cairan menurun).
ANALISA DATA NO Sympton Etiologi Problem 1. DS: Klien mengeluh sesak nafas dan batuk berdahak DO: Auskultasi paru terdengar suara ronki Frekuensi napas klien meningkat (RR > 20 x/menit) Klien terlihat susah untuk bernafas / sesak nafas Sekret yang di keluarkan klien kental Posisi tidur klien semi fowler
Massa di broncus
Hipersekresi mukus/sekret oleh sel goblet untuk menghilangkan massa
Sekret mengental dan tertahan pada da jalan nafas
Imobilisasi sekret pada jalan nafas
Akumulasi sekret pada jalan nafas
Bersihan jalan nafas tidak efektif berhubungan dengan obstruksi pada jalan nafas.
Penyumbatan jalan nafas 2. DS: Klien mengeluh sulit untuk menelan dan sakit di tenggorokan kalau menelan Klien mengatakan tidak mau makan DO: Klien terlihat lemas dan lemah Berat badan klien turun 10 kg sejak dirawat di rumah sakit Klien terlihat tidak nafsu makan Klien selalu menolak makanan yang diberikan orang tuanya Lemak pada subcutan tipis Klien hanya menghabiskan tidak lebih dari setengah porsi diet bubur kasar dari rumah sakit
Toxin difteri menyerang ke saraf di tenggorokan
Susah untuk menelan
nyeri saat menelan makanan dan minuman
nafsu makan menurun
nutrisi tidak terpenuhi
Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan intake nutrisi yang kurang).
3 DS: Klien mengeluh badannya panas Klien mengeluh badannya lemas dan lemah DO: Turgor kulit kering Suhu badan klien 38.9C Klien tampak lemas Minuman yang disediakan tidak dihabiskan oleh klien Suhu badan yang tinggi karena infeksi dan inflamasi dari penyakit
Intake cairan menurun
Tidak seimbangnya intake dan output cairan dalam tubuh
Dehidrasi Resiko kurangnya volume cairan berhubungan dengan proses penyakit (metabolisme meningkat, intake cairan menurun) INTERVENSI KEPERAWATAN
Diagnosa: Tidak efektifnya jalan nafas berhubungan dengan obstruksi pada jalan nafas Tujuan Intervensi Rasional Bersihan nafas kembali efektif.
KH: - Menunjukkan adanya perbaikan ventilasi dan oksigenasi jaringan - Berpartisispasi pada tindakan untuk memaksimalkan oksigenasi
Observasi a. Kaji frekuensi atau kedalaman pernafasan dan gerakan dada
b. Auskultasi area paru, satat area penurunan atau tidak ada aliran udara dan bunyi nafas adventisius, mis. Crackles, mengi.
a. Takypnea, pernafasan dangkal, dan gerakan dada tidak simetris sering terjadi karena ketidaknyamanan gerakan dinding dada dan atau cairan paru b. Penurunan aliran udara terjadi pada area konsolidasi dengan cairan.
c. Bantu pasien latian nafas sering. Tunjukan atau bantu pasien mempelajari melakukan batuk, misalnya menekan dada dan batuk efektif sementara posisi duduk tinggi.
d. Berikan cairan sesuai berat badan klien.
Kolaborasi e. Bantu mengawasi efek pengobatan nebulizer dan fisioterapi c. Nafas dalam memudakan ekspansi maksimum paru-paru atau jalan nafas lebih kecil.
d. Cairan (khususnya yang hangat)memobilisas i dan mengluarkan secret. Memudahkan pengenceran dan pembuangan secret
Alat untuk menurunkan spasme bronkus dengan mobilisasi secret Diagnosa: Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan intake nutrisi yang kurang). Tujuan Intervensi Rasional Kebutuhan nutrisi klien terpenuhi.
KH: - Klien tidak ada mual muntah - Penambahan berat badan pasien - Peningkatan nafsu makan
a. Identifikasi faktor yang menimbulkan mual/ muntah.
b. Berikan wadah tertutup untuk sputum dan buang sesering mungkin, bantu kebersihan mulut.
c. Jadwalkan pengobatan pernafasan sedikitnya 1 jam sebelum makan. d. Auskultasi bunyi usus, observasi/ palpasi distensi abdomen
a. Pilihan intervensi tergantung pada penyebab masalah b. Menghilangkan bahaya, rasa, bau,dari lingkungan pasien dan dapat menurunkan mual
c. Menurunkan efek mual yang berhubungan dengan pengobatan ini d. Bunyi usus mungkin menurun bila proses infeksi berat, distensi abdomen terjadi sebagai akibat menelan udara dan menunjukkan pengaruh toksin bakteri pada saluran gastro intestinal
e. Berikan makan porsi kecil dan sering termasuk makanan kering atau makanan yang menarik untuk pasien.
f. Evaluasi status nutrisi umum, ukur berat badan dasar. e. Tindakan ini dapat meningkatkan masukan meskipun nafsu makan mungkin lambat untuk kembali f. Adanya kondisi kronis dapat menimbulkan malnutrisi, rendahnya tahanan terhadap infeksi, atau lambatnya responterhadap terapi.
Diagnosa: Resiko kurangnya volume cairan berhubungan dengan proses penyakit (metabolisme meningkat, intake cairan menurun). Tujuan Intervensi Rasional Volume cairan pasien akan menjadi adekuat.
KH: Intake cairan meningkat. Kulit lembab. Membran mukosa oral lembab
a. Timbang pasien
b. Mengukur intake dan output cairan. c. Kaji turgor kulit.
d. Observasi konsistensi sputum. e. Observasi konsentrasi urine. Monitor hemoglobin a,. Periksa tambahan atau kehilangan cairan b. Menetapkan data keseimbangan cairan c. Kulit tetap baik berkaitan dengan inadekuat cairan interstitial d. Sputum tebal menunjukkan kebutuhan cairan e. Urine terkonsentrasi mungkin menunjukkan kekurangan cairan.
f. Monitor hemoglobin dan hematocrit.
g. Observasi lidah dan mukosa membran. h. Bantu pasien mengidentifikasi cara untuk mencegah kekurangan cairan. f. Peninggian mungkin menunjukkan hemokonsentrasi tepatnya kekurangan cairan. g. Kekeringan menunjukkan kekurangan cairan. h. Mencegah kambuh dan melibatkang. pasien dalam perawatan EVALUASI
Evaluasi adalah stadium pada proses keperawatan dimana taraf keberhasilan dalam pencapaian tujuan keperawatan dinilai dan kebutuhan untuk memodifikasi tujuan atau intervensi keperawatan ditetapkan (Brooker, 2001). Evaluasi juga berdasarkan pada kriteria hasil.Jika kriteria hasil yang diinginkan baik, maka evaluasi pun juga baik.
DAFTAR PUSTAKA
Anonim. 2010.Difteria pada Buku Ajar Infeksi & Pediatri Tropis Hal 312-21. Jakarta: Badan Penerbit IDAI Buescher, E Stephen. 2007.Di pht heri a in Nelson Textbook of Pediatrics 18th Chapter 186. USA: Saunders Nursalam, dkk. 2005. Asuhan Keperawatan Bayi dan Anak. Salemba Medika: Jakarta Pearce, Evelyn C.2009.Anatomi dan Fisiologi untuk Paramedis.Jakarta: Gramedia Staf Pengajar IKA FKUI. 2007. Ilmu Kesehatan Anak. Vol.2. Infomedika: Jakarta Sudoyo, Aru W. 2006. Ilmu Penyakit Dalam. Jilid III Edisi IV. Penerbit Ilmu Penyakit Dalam: Jakarta Sumarmo, dkk. 2008. Infeksi dan Pediatri Tropis. Edisi 2. Ikatan Dokter Anak Indonesia. Bag. IKA FK UI: Jakarta Widoyono.2005.Penyakit Tropis Epidemiologi Penularan dan Pemberantasannya.Erlanggga: Jakarta.