Anda di halaman 1dari 18

BAB I

PENDAHULUAN

Sindrom paska gegar otak adalah istilah yang umum digunakan untuk
kumpulan sejumlah gejala yang terjadi setelah gegar otak. Sindrom paska gegar
otak (Post Concussion Syndrome-PCS) diperkirakan terjadi 10% dari seluruh
kasus gegar otak keseluruhan. Angka estimasi ini mungkin lebih rendah,
tergantung dari populasi dan definisi dari PCS itu sendiri. The Diagnostic and
Statistical Manual of Mental Disorders, 4th edition (DSM-IV) menyatakan bahwa
PCS terjadi bila ada tiga atau lebih gejala gegar otak yang terjadi dalam kurun
waktu minimal 3 bulan setelah trauma kepala. PCS sering tidak dikenali oleh
pasien maupun dokter lainnya. Mackenzie dan McMillan melaporkan hanya 20%
orang awam, 40% pasien dengan gegar otak berkelanjutan, dan 60% dokter umum
yang mampu mengenali kasus PCS berdasarkan gejala dasar (Morgan, et al.,
2015).
Insiden cedera kepala yang nyata yang memerlukan perawatan di RS dapat
diperkirakan 480.000 kasus pertahun (200 kasus/100.000 orang), yang meliputi
concussion, fraktur tengkorak, perdarahan intrakranial, laserasi otak, hematoma
dan cedera serius lainnya. Dari total ini 75-85% adalah concussion dan sekuele
cedera kepala ringan. Cedera kepala paling banyak terjadi pada laki-laki berumur
antara 15- 24 tahun, dan biasanya karena kecelakaan kendaraan bermotor
(Broshek, et al., 2015).
Banyak pasien-pasien dengan cedera ringan yang datang kedokter untuk
pertama kalinya karena gejala yang terus berlanjut, dikenal sebagai sindroma
postconcussion. Berdasarkan informasi statistik yang diketahui, masalah cedera
kepala ringan adalah gangguan sekuele pasca trauma dan dengan akibat gangguan
produktivitas (Rathbone, et al., 2015).

1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Definisi Post concussion syndrome


Post concussion syndrome atau post concussive syndrome (PCS), adalah
sekelompok gejala yang di alami seseorang, setelah seminggu, sebulan atau
bahkan setahun setelah suatu trauma (gegar) ringan dari trauma otak (traumatic
brain injury / TBI). PCS juga bisa terjadi pada trauma otak sedang dan berat.
Gejala-gejala PCS biasanya didiagnosis pada orang yang menderita TBI, dan 38-
80% biasanya terjadi pada trauma kepala ringan. Diagnosis dibuat berdasarkan
gejala yang ditimbulkan dari riwayat trauma 3 bulan setelah mendapat trauma
yang terakhir, bisa juga didiagnosis dalam hitungan minggu bahkan 10 hari
setelah trauma. Pada trauma yang sudah lama terjadi (late,persistent atau
prolonged PCS / PPCS), biasanya didiagnosis setelah menderita 3-6 bulan setelah
terjadi trauma (Rathbone, et al., 2015).
Sindroma postconcussion adalah kumpulan gejala yang terdiri atas nyeri
kepala, pusing (dizziness), iritabilitas, mudah lelah, ansietas, gangguan memori,
menurunnya konsentrasi dan insomnia, yang merupakan sekuele setelah cedera
kepala ringan tertutup. Istilah lain yang digunakan untuk keadaan ini adalah post
traumatic instability, post traumatic headache, traumatic neurasthenia,traumatic
psychasthenia, post traumatic syndrome. Yang dimaksud dengan cedera kepala
ringan adalah suatu trauma yang terjadi dengan gangguan kesadaran sesaat atau
gangguan fungsi neurologik lain (misalnya memori, penglihatan) dengan GCS
13-15 (Tim Neurotrauma RSUD dr. Soetomo, 2014).

Post concussional syndrome secara umum didefinisikan sebagai kondisi


yang muncul setelah cedera kepala yang berakibat defisit pada tiga area fungsi
SSP : 1) somatik (neurologis-umumnya berupa nyari kepala, kecenderungan
merasa cepat lelah), 2) psikologis (perubahan afek, kurangnya motivasi, ansietas,
atau emosi yang labil), 3) kognitif (kelemahan dalam mengingat, perhatian dan
konsentrasi). Post concussional syndrome sulit didefinisikan secara medis, karena

2
gejalanya berupa keluhan subjektif. Muncul beberapa kriteria diagnosis, yang
bentuk oleh spesialisasi dari dokter yang merawat (neurologis, psikiater,
rehabilitasi medik dan lain-lain), lokasi klinis pasien tersebut diperiksa (IGD,
rumah sakit, evaluasi forensik dan lain-lain) dan ada atau tidaknya penerapan
kriteria yang lebih teliti. Penelitian menunjukkan bahwa gejala postconcussional
umumnya muncul dalam 38 sampai 80% orang yang mengalami cedera kepala
ringan (Rathbone, et al., 2015).

B. Epidemiologi
Insidensi dari sindroma ini bervariasi. Suatu penelitian yang dilakukan
oleh Brenner dkk tahun 1994 pada 200 pasien dengan cedera kepala ringan yang
dirawat di RS, menemukan insidensi nyeri kepala pasca trauma 69% dan dizziness
51%. Menurut Tjahjadi (1990) gejala nyeri kepala terdapat 70%, lelah
(kekurangan energi) 60%, dizziness 53 %. Onset sindroma postconcussion
bervariasi,pada beberapa kasus gejala dapat timbul pada hari hari pertama cedera
dan menetap selama beberapa waktu sampai beberapa bulan bahkan tahun. Pada
kasus lainnya gejala-gejalanya timbul kemudian, kadang-kadang sampai beberapa
minggu setelah cedera (Japardi, 2002)
Nyeri kepala yang merupakan gejala utama sindroma postconcussion
biasanya timbul dalam 24 jam dari cedera, dan sekitar 6% terjadi beberapa hari
atau minggu kemudian. Menurut Guttman nyeri kepala terdapat lebih banyak pada
minggu-minggu pertama sesudah cedera kepala ringan. Tes psikologik yang
meliputi pemeriksaan pemrosesan informasi menunjukkan abnormalitas dengan
insidens yang sangat tinggi pada hari-hari pertama cedera (Japardi, 2002).
Gejala-gejala ini menetap pada separuh dari kasus setelah 2 bulan atau
lebih danditemukan bersama keluhan lain seperti ansietas, mudah lelah, iritabilitas
dan sulit berkonsentrasi. Penelitian Jones (1974) secara retrospektif terhadap 3500
pasien cedera kepala ringan menemukan insidensi nyeri kepala, dizziness atau
keduanya sebanyak 57%. Gejala-gejala ini tetap ada paling sedikit selam 2 bulan
tetapi kemudian sebagian besar menghilang, hanya tinggal 1 % pasien dengan
gejala setelah 1 tahun. Penelitian yang dilakukan Rimel dkk. (1981) terhadap 500

3
pasien trauma kepala ringan menemukan 79% terdapat paling sedikit satu keluhan
dalam suatu wawancara 3 bulan setelah cedera, 78 % mengeluh nyeri kepala dan
59% terdapat gangguan memori. Suatu penelitian multisenter tahun 1987 yang
dilakukan oleh Levin dkk. Terhadap 155 pasien dengan cedera kepala ringan,
ditemukan keluhan pertama yang paling sering adalah nyeri kepala (82%).
Kemudian diikuti dengan keluhan penurunan energi pada 60% dan dizziness pada
53% kasus (Japardi, 2002).
Keluhan ini kemudian berkurang pada 1 bulan dan 3 bulan setelah cedera,
dan pada kesimpulan dari penelitian tersebut didapatkan keluhan nyeri kepala
pada 47% kasus, penurunan energi 22%, dan dizziness 22%. Kay dkk (1971)
menduga bahwa gejala-gejala postconcussion berhubungan dengan lamanya
amnesia pasca trauma, dimana frekwensi dan lamanya berlangsung gejala
meningkat dengan makin lamanya periode amnesia. Penelitian-penelitian
berikutnya oleh Ruther Ford dkk. (1977-1979) gagal untuk mengkonfirmasikan
penemuan tersebut (Japardi, 2002).
Sindroma postconcussion jarang terjadi pada pasien-pasien dengan cedera
berat yang berhubungan dengan penurunan kesadaran berat (koma) selama
beberapa waktu. Hal ini mungkin disebabkan pada saat kesadaran pasien pulih
kembali nyeri kepala, concussion telah berlalu, terlebih lagi pada pasien dengan
cedera berat lebih mendapat perhatian, simpati dan pengertian selama masa
pemulihannya. Penelitian-penelitian lain menduga kejadian lebih sering terjadi
pada wanita, pasien dengan umur lebih dari 40 tahun,pasien dengan gangguan
neuropsikiatrik sebelumnya,alkoholisme, penyalah gunaan obat atau dengan
cedera kepala sebelumnya. Tetapi juga hal ini tidak dapat dikonfirmasikan dengan
penelitianpenelitian berikutnya (Japardi, 2002).

C. Patofisiologi Post concussion syndrome


Patofisiologi dari post concussion syndrome masih belum sepenuhnya
jelas. Namun tidak bisa lepas dari patofisiologi proses cedera kepala itu sendiri.
Hal ini dibuktikan dengan tidak ditemukannya kelainan organik pada pasien
dengan gejala PCS yang nyata, di sisi lain terdapat gejala yang muncul membaik

4
dalam waktu tiga bulan juga dengan tidak adanya kelainan organik yang nampak
pada pemeriksaan. Adanya variasi tersebut membuat patofisiologi PCS masih
menjadi perdebatan sampai saat ini (Broshek, et al., 2015).
Cedera kepala ringan menunjukkan adanya benturan kepala yang disertai
adanya periode loss of consciousness (LOC) atau pingsan yang singkat dan atau
disertai adanya amnesia post trauma atau adanya disorientasi. Pada saat terjadinya
trauma, skala koma Glasgow (GCS) menunjukkan angka 13-15, meskipun
beberapa literatur terkini mengatakan bahwa skor GCS 15 dan kadang 14
menunjukkan adanya injuri yang minor, sedangkan skor 13 berkaitan dengan
kemungkinan adanya kelainan intrakranial yang akan nampak pada pemeriksaan
CT Scan kepala. Pingsan (LOC) adalah merupakan manifestasi trauma pada
batang otak (brain stem) atau menandakan adanya cedera otak yang difus (diffuse
cerebral injury) (Tim Neurotrauma RSUD dr. Soetomo, 2014).

Gambar 1. PCS pada


permanent brain damage

Pada cedera kepala ringan, gejala yang muncul karena diffuse axonal
injury (DAI) yang ringan dimana hal ini disebabkan oleh mekanisme
perenggangan atau puntiran (shear) akson-akson saraf akibat dari gerakan
akselerasi dan deselerasi yang cepat saat terjadi cedera kepala. Patofisiologi
cedera kepala sendiri terdiri dari dua tahap injuri, yaitu: initial atau primary injury
dan secondary injury. Primary injury mengakibatkan kerusakan dan kematian
neuronal. Contoh primary injury adalah hematoma atau lesi yang difus, dimana
kondisi tersebut akan memicu terjadinya secondary injury. Proses yang terjadi
pada secondary injury antara lain termasuk efek hipoksia, pelepasan asam amino

5
excitatory, penghasilan mediator inflamasi dan radikal bebas, yang kesemuanya
akan mengakibatkan kerusakan yang semakin luas (Rathbone, et al., 2015).
Mekanisme cedera kepala sendiri terdapat tiga macam pergerakan, yaitu:
linear, rotasional, dan angular. Pada cedera kepala yang sering terjadi adalah
kombinasi ketiganya, sehingga sangat memungkinkan terjadinya peregangan atau
puntiran dari neuron. Otak adalah suatu bagian yang homogen dan masing-masing
bagian memiliki karakteristik fisik tersendiri (misalnya: gray matter, white matter,
LCS, dll). Difuse axonal injury disebabkan oleh peregangan (sher) dari
mekanisme rotasional atau angular pada akselerasi ataupun deselerasi (Silverberg
& Iverson, 2011)

D. Gejala Klinik Post Concussion Syndrome


1. Defisit Somatik
Nyeri kepala merupakan keluhan pasien tersering yang mengalami cedera
kepala ringan. Peningkatan nyeri kepala dilaporkan terdapat pada 30-90% pasien
dengan post concussional syndrome; 8 sampai 32% dilaporkan masih mengalami
nyeri kepala 1 tahun setelah trauma kepala. Umumnya, tipe nyeri kepala
(misalnya tension, migrain) yang dirasakan oleh individu dengan post
concussional syndrome, serupa dengan nyeri kepala yang mereka rasakan sebelum
trauma. Pasien dengan post concussional syndrome umumnya mengatakan bahwa
nyeri kepala terasa lebih lama dan muncul lebih sering bila dibandingkan dengan
sebelum mengalami trauma. The international headache society kriteria
diagnostik untuk nyeri kepala post trauma membagi menjadi dua kategori yaitu
akut dan kronis. Nyeri kepala akut muncul dalam 2 minggu setelah trauma dan
sembuh dalam 2 bulan. Nyeri kepala post trauma kronik muncul dalam 2 minggu
setelah trauma dan berlangsung selama lebih dari 8 minggu. 85 % dari nyeri
kepala berhubungan dengan post concussional syndrome digambarkan sebagai
terus menerus, nyeri, dan tension type headache. Nyeri kepala tersebut diyakini
diakibatkan oleh cedera pada jaringan lunak dan keras, seperti cedera miofasial,
cedera sendi temporomandibular, cedera diskus intervertebralis, dan spasme otot
trapezius.walaupun lebih jarang, migrain, dengan atau tanpa aura, dilaporkan

6
dapat muncul dalam beberapa jam atau hari setelah gegar otak. Migrain sering
ditemukan pada dewasa muda yang berpartisipasi dalam oleh raga yang
menyebabkan cedera kepala minor multipel, seperti sepakbola, tinju dan hoki.
Jenis nyeri kepala ini sering disebut “footballer’s migraine”. Cluster headache
jarang berkembang setelah cedera kepala sedang (Snell, et al., 2016)
Keluhan kedua yang sering ditemukan pada post concussional syndrome
adalah pusing, yang dilaporkan sekitar 50% pada kasus, dalam 1 tahun prevalensi
sekitar 19-25%. Umur diketahui sebagai faktor resiko. Semakin tua individu
tersebut, semakin besar kemungkinan mengalami pusing, baik bersumber dari
sentral atau perifer (misalnya gegar labirin, benigna positional vertigo, cedera
batang otak) (Snell, et al., 2016).
Post concussional syndrome sering menimbulkan gangguan pada panca
indera. Pandangan kabur muncul pada 14% dari pasien dan umumnya disebabkan
gangguan fokus penglihatan. 10% dari pasien dengan post concussional syndrome
dilaporkan mengalami lebih sensitif pada cahaya dan bunyi; 5% mengalami
kerusakan pada nervi kranialis I dan menyebabkan sensitifitas pada indera
pembauan dan perasa (Snell, et al., 2016).
2. Gejala Psikiatri
Setengah dari pasien yang mengalami gegar otak dilaporkan mengalami gejala
psikologis non spesifik, seperti perubahan kepribadian, ansietas, dan depresi.
Sering perubahan ini terjadi dalam 3 bulan pertama setelah cedera dan
mempunyai CT scan yang normal (Snell, et al., 2016).
Gangguan ansietas berkaitan dengan gangguan ansietas secara umum,
diantaranya gangguan panik, gangguan obsesif kompulsif dan gangguan stress
post trauma, telah dilaporkan muncul pada 11% sampai 70% dari penderita cedera
kepala. Yang sering dilaporkan berupa gejala adalah free-floating ansietas,
kecemasan yang berlebihan, menarik diri dari sosial, sensitif yang berlebihan dan
bermimpi tentang kecemasan. Gangguan ansietas dilaporkan terjadi pada cedera
trauma pada kedua hemisfer otak (Broshek, et al., 2015).
Apatis umum didapatkan pada post concussional syndrome.Apatis dapat
berupa sindrom isolasi primer atau akibat sekunder dari depresi. Apatis primer
dapat didefinisikan sebagai kurangnya motivasi dengan berkurangnya emosi,

7
kognitif, dan perilaku yang tidak mengarah kepada gangguan kecerdasan,
distress emosional, dan berkurangnya tingkat kesadaran. Apatis primer sering
ditemui didapatkan pada 10% penderita cedera kepala tertutup, sedangkan apatis
sekunder muncul hanya sementara, terjadi pada 60% pasien dengan cedera
kepala tertutup. Kerusakan neurologis pada regio subcortical-frontal, ganglia
basalis, dan talamus telah dihubungkan dengan patogenesis dari apatis primer
(Snell, et al., 2016).
Walaupun jarang ditemukan pada post concussional syndrome, namun
psikosis juga didapatkan pada cedera kepala berat. Psikosis mirip-skizofrenia
didapatkan pada 0,7 sampai 9,8% pada penderita cedera kepala berat. Faktor
resiko dapat berkembang menjadi psikosis adalah benturan hebat pada trauma
awal, riwayat epilepsi pada lobus temporal, adanya kelainan neurologis sebelum
trauma, dan ada trauma kepala pada usia remaja. Pengobatan kondisi ini masih
sulit, karena obat antipsikotik atipikal seperti haloperidol kurang efektif bila
dibandingkan pada penggunaan kondisi psikosis lainnya. Obat tersebut dapat
berpengaruh pada pemulihan neuron setelah trauma. Ada beberapa penelitian
yang menunjukkan bahwa obat risperidon dan clozapin mempunyai efek yang
bagus terhadap psikosis post trauma (Snell, et al., 2016).
Orang yang sebelumnya dengan diagnosis gangguan afektif (depresi,
gangguan bipolar), gangguan ansietas secara umum, gangguan somatoform,
gangguan kepribadian, lebih tinggi kemungkinan mengalami keluhan post
concussional syndrome daripada tanpa gangguan mental sebelumya. Banyak
gejala berupa gangguan afek, seperti perubahan mood, mood yang labil,
gangguan pada perhatian dan konsentrasi, gangguan tidur, dan ansietas memiliki
gejala yang sama yang terlihat pada post concussional syndrome. Keadaan
penyakit tersebut sebelum trauma dapat mengarah kepada diagnosis yang salah
pada post concussional syndrome. Pasien mengatakan keluhan lebih buruk, bila
membandingkan keadaan sebelum dan sesudah trauma. Keadaan tersebut
dinamakan “recall biases” atau fenomena “good old days”, didapatkan bila
pasien tidak mampu mengingat secara akurat level fungsinya serebelum terjadi
trauma. Sangatlah penting, terutama bila terdapat perkara yang terlibat, untuk
dokter mendapat tes kejiwaan sebelumnya, rekaman akademik, keadaan

8
penilaian fungsi kerja, dan berbicara dengan keluarga dan teman pasien untuk
menentukan secara akurat tingkat fungsi pasien saat sebelum dan sesudah trauma
(Snell, et al., 2016).
3. Defisit Kognitif
Kognitif dapat didefinisikan sebagai proses yang melibatkan fungsi otak dalam
menerima, menganalisis data dan mengatur informasi. Fungsi kognitif yang klasik
adalah perhatian, memori, bahasa, penjabaran, fungsi penilaian, dan tingkat
persepsi. Defisit pada kognitif didefinisikan sebagai ketidak mampuan untuk
berkonsentrasi, memproses informasi, kesulitan menentukan kata yang tepat, dan
ketidakmampuan proses menyatukan pendapat. Pasien dengan post concussional
syndrome terbukti mengalami penurunan dalam kecepatan memproses informasi,
perhatian dan waktu reaksi yang dapat ditemukan melalui tes neuropsikologis.
Indeks menunjukkan bahwa tes Stroop color test dan 2&7 Processing speed test
memiliki spesifitas yinggi dan nilai prediksi yang positif untuk menilai defisit
kognitif dari post concussional syndrome, kedua tes tersebut menilai proses
kecepatan mental. The Continous Performance Test of Attention merupakan tes
lain yang mempunyai sensitifitas tinggi untuk memprediksi hasil negatif dari
defisit kognitif setelah gegar otak. Di IGD, pemeriksaan Digin Span Forward dan
Hopkins Verbal Learning menunjukkan mampu memprediksi perkembangan dari
post concussional syndrome, dan dalam populasi tertentu juga memprediksi durasi
dari gejala tersebut6.
Defisit kognitif yang paling umum ditemukan setelah cedera kepala adalah
gangguan memori verbal dan nonverbal. Tergantung pada tingkat keparahan
cedera kepala tertutup, persentase orang yang menderita gangguan memori
berkisar 20-79%. Telah dapat diperkirakan bahwa 4-25% penderita post
concussional syndrome akan mengalami defisit memori setelah 1 tahun. Satu
penjelasan bahwa penurunan dalam membentuk memori baru akan mengurangi
efektifitas pengumpulan memori. Defisit pada memori jangka pendek (sebagai
contoh lupa menempatkan barang, kesulitan mengingat pembicaraan) adalah hal
sering ditemui pada post concussional syndrome. Bila individu dengan defisit
memori dihubungkan dengan cedera kepala berat menjalani tes neuropsikologis,

9
episodik memori atau deklaratif memori mengalami gangguan, sedangkan
prosedural memori tidak terganggu (Snell, et al., 2016).
Pasien dengan cedera otak juga mengalami gangguan dalam perhatian
menerus dan terbagi, sedangkan perhatian selektif jarang terganggu. Hal ini
terlihat jelas berupa pasien yang kesulitan berkonsentrasi, masalah dalam
memfokuskan pada satu tugas, dan mudah dialihkan atau terganggu. Disfungsi
kolinergik yang mengarah kepada gangguan mengatur sensoris dan
ketidakmampuan untuk menghentikan stimulus diduga sebagai penyebab defisit
perhatian.Defisit kognitif dianggap sebagai akibat dari kerusakan kortikal,
terutama gangguan yang melibatkan lobus anterotemporal dan orbitofrontal, yang
sering muncul karena dekatnya lobus tersebut pada protuberantia pada tulang
tengkorak. Lamanya muncul defisit ini bervariasi mengikuti jenis trauma, yang
akan pulih sempurna dalam 6 bulan. Gangguan dalam memori, perhatian,
berbahasa, dan fungsi keputusan yang muncul lebih menetap, dan akan pulih
dalam waktu setelah 1 tahun setelah mengalami trauma kepala (Snell, et al.,
2016).

E. Diagnosa Post Concussion Syndrome


Gejala postconcussional syndrome (PCS) dapat muncul segera setelah
cedera kepala terjadi atau baru muncel beberapa minggu atau bahkan beberapa
bulan. Semakin lama munculnya gejala PCS sejak terjadinya cedera kepala, maka
semakin kecil tingkat severitasnya. Pola gejala yang muncul dapat berupa gejala
fisik, mental atau emosional, dan dapat berubah menurut dimensi waktu. Pola
yang umum adalah muncul gejala fisik terlebih dahulu segera setelah terjadi
cedera, selanjutnya gejala akan berubah menjadi gejala psikologis yang lebih
dominan (Snell, et al., 2016)
Gejala yang muncul pada post concussion syndrom terbagi menjadi tiga
yaitu: (1) Somatik, (2) Kognitif, dan (3) Emosional. Secara rinci dapat dilihat
pada table 1:
Tabel 1. Gejala-gejala yang sering muncul pada PCS
Tipe Gejala
Somatik Nyeri kepala, dizziness, pandangan kabur, diplopia, nausea,

10
vomitus, gangguan tidur, mudah kecapaian, hipersensitif
terhadap suara dan cahaya, tinitus.
Kognitif Gangguan atensi, memori, bicara, slow thingking, gangguan
fungsi eksekutif
Emosional Instabilitas emosional, sedih, anxietas, apatis

Gejala seperti menjadi lebih sensitif terhadap kegaduhan, gangguan


konsentrasi dan memori, iritabel, depresi, ansietas, fatique dan gangguan dalam
pengambilan keputusan (judgment) dapat dikatakan sebagai gejala “late onset”
karena gejala-gejala tersebut tidak muncul segera setelah cedera kepala terjadi,
namun muncul beberapa hari atau beberapa minggu kemudian. Nausea dan rasa
kantuk (drowsiness) sering muncul segera setelah cedera kepala terjadi namun
tidak berlangsung lama, sementara nyeri kepala dan dizziness muncul segera
setelah cedera kepala dan biasanya berlangsung lama (Snell, et al., 2016).
Secara umum pemeriksaan pasien dengan PCS akan didapatkan hasil
pemeriksaan fisik yang normal. Pasien dengan PCS kadang hanya didapatkan
kelainan neurologi yang sangat minimal, namun bila didapatkan adanya defisit
motorik fokal maka harus dipikirkan adanya perdarahan intrakranial. Beberapa hal
yang dapat ditemukan pada pasien dengan PCS antara lain:
a. Adanya tanda-tanda depresi
b. Adanya penurunan kemampuan membau dan merasakan (lidah).
c. Adanya neurasthenia atau hiperesthesia (tapi bukan dermatomal).
d. Gangguan kognitif, antara lain: naming (vocabularies), short-term
memori dan intermediate memori, atensi, informasi processing, recall,
menggambar dan fungsi eksekutif.
Kriteria dignosis untuk PCS pertama kali disampaikan dalam International
Classification of Disease revisi ke sepuluh (ICD-10) pada tahun 1992. Kode untuk
PCS adalah F07.2 (Boake et.al, 2005)11. Menurut ICD-10 tersebut kriteria
diagnostik untuk PCS adalah adanya riwayat cedera kepala (traumatic brain
injury / TBI) dan disertai dengan 3 atau lebih dari 8 gejala berikut ini, yaitu:
a. Nyeri kepala (headache)

11
b. Dizziness
c. Fatique
d. Iritabel
e. Insomnia
f. Gangguan konsentrasi
g. Gangguan memori
h. Intolerance dari stress, emosi, atau alkohol.
Selain berdasar pada ICD-10, terdapat kriteria lain yang juga telah
dikenalkan, yaitu menurut Diagnostic and Statistic Manual of Mental Disorder
(DSM) yang telah mencapai revisi ke empat. Menurut DSM-IV, kriteria untuk
PCS meliputi:
a. Riwayat trauma kepala yang menyebabkan adanya konkusi
serebral yang signifikan.
b. Defisit kognitif dan atau memori
c. Terdapat 3 dari 8 gejala (fatique, gangguan tidur, nyeri kepala,
dizziness, iritabel, gangguan afektif, perubahan kepribadian, apatis)
yang muncul setelah trauma dan menetap selama 3 bulan.
d. Gejala-gejala muncul pada saat injuri atau memburuk setelah
injuri.
e. Mengganggu fungsi sosial
f. Dieksklusi adanya demensia paska trauma atau kelainan lain yang
menerangkan gejala yang muncul.
Kriteria c dan d mensyaratkan bahwa munculnya gejala atau perburukan
gejala harus mengikuti/setelah trauma kepala, dibedakan dengan gejala yang
muncul sebelum trauma, dan minimal durasinya adalah 3 bulan (Snell, et al.,
2016).
Pembanding kedua kriteria PCS berdasarkan ICD-10 maupun DSM-IV
didapatkan hasil bahwa prevalensi PCS menurut ICD-10 lebih besar sekitar enam
kali lipat dibandingkan dengan menggunakan DSM-IV. Perbedaan tersebut sangat
signifikan baik untuk pasien TBI maupun ekstrakranial trauma kepala. Hal
tersebut menyebabkan kriteria berdasarkan ICD-10 lebih inklusif dan ini

12
dikarenakan kriteria yang lebih sedikit dibandingkan bila menggunakan DSM-IV.
Namun, kedua kriteria tersebut masih menjadi perdebatan oleh para ahli, sehingga
sampai saat ini masih diperlukan penyesuaian dan belum didapatkan kesepakatan
untuk kriteria yang baru (Snell, et al., 2016).
Kriteria pada ICD-10 dan DSM-IV terdapat beberapa poin yang
overlaping, yaitu: nyeri kepala, fatique, gangguan tidur, iritabel dan dizziness.
Kelima kriteria ini memiliki nilai kesepakatan yang tinggi. Untuk menegakkan
diagnosa PCS, tidak ada pemeriksaan laboratorium yang spesifik. Adapun
pemeriksaan laboratrium yang dilakukan lebih kepada pencarian underlying
disease yang lain yang mungkin sebagai penyebab munculnya gejala yang
menyerupai PCS. Beberapa kondisi yang mungkin dapat memberikan gejala yang
mirip PCS yang dapat disingkirkan dengan pemeriksaan laboratorium antara laian
adalah adanya toksisitas dan penyakit metabolik. Selain itu pemeriksaan
laboratorium juga dilakukan bila ada kecurigaan adanya penyakit lain yang
menyertai adanya PCS (Snell, et al., 2016).
Pemeriksaan imaging yang dapat dilakukan pada pasien PCS adalah CT
scanning dan MRI, namun harus dengan indikasi yang jelas. CT Scanning
digunakan untuk mengetahui adanya kelainan intrakranial dan adanya fraktur
tulang tengkorak. Pada pasien yang tidak disertai adanya episode pingsan (LOC)
dan dari pemeriksaan neurologinya dalam batas normal, hasil CT Scan biasanya
tidak didapatkan gambaran yang patologis (Tim Neurotrauma RSUD dr.
Soetomo, 2014).
Bila pemeriksaan CT Scan telah dilakukan segera setelah cedera kepala
terjadi, maka CT scan ulang sudah tidak diperlukan pada pasien yang tidak ada
defisit neurologi, kecuali pasien yang memiliki risiko perdarahan yang tertunda
(lucid interval). Pasien dengan riwayat pingsan (LOC) dan memiliki kesadaran
yang baik (GCS 15) sebagian besar akan memberikan gambaran CT scan yang
normal, meskipun terdapat sejumlah kecil yang didapatkan adanya lesi struktural
yang membutuhkan ntervensi bedah. Secara umum pemeriksaan CT Scan tunggal
(sekali) masih bisa diterima (reasonable), cepat dan merupakan alat skrinning

13
yang efektif yang dapat dilakukan pada pasien trauma kepala dengan gejala klinis
yang nyata (Tim Neurotrauma RSUD dr. Soetomo, 2014).
Tidak adanya pingsan dan atau hasil CT scan yang normal tidak serta
merta menyatakan bahwa tidak ada kerusakan pada otak. Adanya puntiran atau
peregangan akson dan neuron yang akan menyebabkan diffuse axonal injury dapat
muncul tanpa kelainan yang nyata pada gambaran CT scan kepala. Hal ini diduga
oleh adanya penguatan (strained) dari jaringa lunak sekitar leher yang melindungi
batang otak dan mencegah terjadinya pingsan (LOC) (Tim Neurotrauma RSUD dr.
Soetomo, 2014).
Pemeriksaan MRI lebih sensitif dibandingkan CT scan pada kasus cedera
kepala ringan atau kasus PCS. Lesi di daerah frontotemporal adalah lesi yang
paling sering ditemui dan nampaknya berhubungan dengan defisit yang ditemui
pada pemeriksaan neuropsykologi. MRI yang dilakukan 24 jam setelah terjadinya
cedera kepala dapat melihat adanya bekas kontusi yang lama, kaburnya batas
antara white matter dan gray matter, dan adanya kontur otak yang irreguler. MRI
yang dilakukan pada fase akut (segera setelah terjadinya cedera kepala) hanya
memiliki sedikit manfaat saja, sehingga disarankan dilakukan observasi terlebih
dahulu sampai paling tidak 24 jam dan dilakukan follow up untuk melihat adanya
defisit neurologis ataupun adanya gejala klinis yang menetap atau bahkan
memberat sebagai salah satu indikasinya (Tim Neurotrauma RSUD dr. Soetomo,
2014).

F. Penatalaksanaan Post concussion syndrome


Biasanya PCS tidak diterapi, terapi hanya ditujukan pada gejala-gejala
yang muncul, misalnya penderita diberi penghilang nyeri untuk keluhan nyeri
kepala dan obat-obat untuk mengurangi depresi, dizziness atau muntah. Penderita
disarankan istirahat yang cukup, karena hal ini cukup efektif. Terapi fisik dan
tingkah laku juga dilakukan untuk masalah kehilangan keseimbangan atensi dan
respon.
1. Obat-obatan
Pengobatan dari post concussional syndrome tergantung pada gejala
yang muncul pada tiap-tiap pasien. Salah satu pengobatan yang paling efektif

14
adalah melakukan edukasi kepada pasien dan keluarganya tentang post
concussional syndrome, menjelaskan bahwa gejala tersebut akan pulih
sempurna dalam waktu 6 bulan. Penelitian menunjukkan bahwa keterlambatan
mendiagnosa dan kurangnya edukasi kepada pasien mengarah kepada
perburukan gejala psikogenik penyakit dan memperpanjang waktu pemulihan.
Untuk keluhan nyeri kepala yang terus menerus, terapi standar nyeri kepala
dapat dimulai dari NSAID sampai terapi profilaksis migrain, seperti fluoxetine
dan verapamil, dikatakan dapat membantu. Bila perlu, terapi fisik dan
Transcutaneus Electrical Nerve Stimulators (TENS) dapat digunakan pada
pasien dengan tension headache yang berhubungan dengan kekakuan otot.
Pasien dengan gejala psikologis dapat diberi terapi psikoterapi suportif,
edukasi, dan farmakoterapi, seperti obat antidepresi atau antiansietas diberikan
dalam waktu yang terbatas (Broshek, et al., 2015).
Selective serotonin inhibitor merupakan antidepresan pilihan pada
sebagian besar kasus dan dapat mengatasi gejala nyeri kepala, ansietas,
tekanan dan depresi. Agonis dopamin, psikostimulan, amantadine dan
cholinestrase inhibitor telah digunakan dalam mengobati penurunan
kemampuan fokus atau memori, dan defisit dalam fungsi kognitif, tapi hanya
memberikan keuntungan setengah dari pasien yang mengalami cedera kepala.
Dokter harus berhati-hati dalam meresepkan obat yang mempengaruhi SSP
seperti phenitoin, haloperidol, barbiturat, dan benzodiazepin. Obat ini dapat
memberikan efek samping, seperti terhambatnya penyembuhan neuron, dan
gangguan pemulihan memori, yang dapat memperburuk gejala post
concussional syndrome atau memperpanjang waktu pemulihan (Broshek, et
al., 2015).
2. Psikoterapi
Psikoterapi pada sekitar 40% penderita PCS dapat mengurangi gejala-
gejala. Terapi ini membantu penderita agar dapat melakukan aktivitas
kerjanya. Protokol terapi PCS dibuat berdasarkan prinsif yang terdapat dalam
Cognitif Behavioral Therapy (CBT), suatu metode psikoterapi yang
berpengaruh untuk gangguan emosional yang muncul atas dasar pikiran dan

15
tingkah laku. CBT membantu mencegah timbulnya gejala iatrogenik persisten
(Snell, et al., 2016).
Dalam situasi seperti kecelakaan kendaraan bermotor, gejala PCS bisa
menyebabkan penyakit stress pasca trauma (PTSD) yang sangat penting untuk
diterapi dengan benar. Penderita dengan PTSD, depresi dan cemas dapat
diterapi dengan obat-obatan dan psikoterapi (Snell, et al., 2016).
3. Edukasi
Salah satu pengobatan yang paling efektif adalah melakukan edukasi
kepada pasien dan keluarganya tentang post concussional syndrome,
menjelaskan bahwa gejala tersebut akan pulih sempurna dalam waktu 6 bulan.
Edukasi mengenai gejala sangat efektif dilakukan segera setelah cedera. Sejak
stress mulai muncul sebagai gejala PCS, edukasi diperlukan untuk mengatasi
kerusakan tersebut. Edukasi dini dapat mengurangi gejala pada anak dengan
baik (Broshek, et al., 2015).

G. Prognosis
Cedera kepala bisa menyebabkan kematian atau penderita bisa mengalami
penyembuhan total. Jenis dan beratnya kelainan tergantung kepada lokasi dan
beratnya kerusakan otak yang terjadi. Berbagai fungsi otak dapat dijalankan oleh
beberapa area, sehingga area yang tidak mengalami kerusakan bisa menggantikan
fungsi dari area lainnya yang mengalami kerusakan. Tetapi semakin tua umur
penderita, maka kemampuan otak untuk menggantikan fungsi satu sama lainnya
semakin berkurang. Kemampuan berbahasa pada anak kecil dijalankan oleh
beberapa area di otak, sedangkan pada dewasa sudah dipusatkan pada satu area.
jika hemisfer kiri mengalami kerusakan hebat sebelum usia 8 tahun, maka
hemisfer kanan bisa mengambil alih fungsi bahasa. Kerusakan area bahasa pada
masa dewasa lebih cenderung menyebabkan kelainan yang menetap.
Beberapa fungsi (misalnya penglihatan serta pergerakan lengan dan
tungkai) dikendalikan oleh area khusus pada salah satu sisi otak. Kerusakan pada
area ini biasanya menyebabkan kelainan yang menetap. Dampak dari kerusakan
ini bisa diminimalkan dengan menjalani terapi rehabilitasi. Penderita cedera
kepala berat kadang mengalami amnesia dan tidak dapat mengingat peristiwa

16
sesaat sebelum dan sesudah terjadinya penurunan kesadaran. Jika kesadaran telah
kembali pada minggu pertama, maka biasanya ingatan penderita akan pulih
kembali.
Status vegetatif kronis merupakan keadaan tak sadarkan diri dalam waktu
yang lama, yang disertai dengan siklus bangun dan tidur yang mendekati normal.
Keadaan ini merupakan akibat yang paling serius dari cedera kepala yang non-
fatal. Penyebabnya adalah kerusakan pada bagian atas dari otak (yang
mengendalikan fungsi mental), sedangkan talamus dan batang otak (yang
mengatur siklus tidur, suhu tubuh, pernafasan dan denyut jantung) tetap utuh. Jika
status vegetatif terus berlangsung selama lebih dari beberapa bulan, maka
kemungkinan untuk sadar kembali sangat kecil.

17
BAB III
PENUTUP

Sindroma postconcussion adalah suatu keadaan yang merupakan akibat


dari cedera kepala ringan tertutup. Gejala-gejalanya bervariasi namun mempunyai
suatu pola yang tertentu. Terdapat banyak faktor yang terkait dalam sindroma ini,
yang dapat memberikan prognosa yang berbeda-beda dari yang baik sampai yang
menimbulkan gangguan yang berkepanjangan sehingga menyebabkan gangguan
psikososial. Upaya penanggulangannya dilakukan secara menyeluruh baik
terhadap gejalanya maupun terhadap faktor-faktor yang menjadi latar belakang
yang memperberat keadaan penyakit.
Patofisiologi dari postconcussion syndrome masih belum sepenuhnya
jelas. Namun tidak bisa lepas dari patofisiologi proses cedera kepala itu sendiri.
Hal ini dibuktikan dengan tidak ditemukannya kelainan organik pada pasien
dengan gejala PCS yang nyata, di sisi lain terdapat gejala yang muncul membaik
dalam waktu tiga bulan juga dengan tidak adanya kelainan organik yang nampak
pada pemeriksaan.
Gejala yang muncul pada post concussion syndrom terbagi menjadi tiga
yaitu somatik, kognitif, dan emosional dengan pemeriksaan fisik yang normal.
Manajemen PCS masih menjadi banyak perdebatan para ahli. Terapi Pada Pasien
Post Concussion Syndrome hanya ditujukan pada gejala-gejala yang muncul,
misalnya penderita diberi penghilang nyeri untuk keluhan nyeri kepala dan obat-
obat untuk mengurangi depresi, dizziness atau muntah. Penderita disarankan
istirahat yang cukup, karena hal ini cukup efektif. Terapi fisik dan tingkah laku
juga dilakukan untuk masalah kehilangan keseimbangan, atensi dan respon.

18

Anda mungkin juga menyukai