Definisi Bangkitan kejang yang terjadi pada kenaikan suhu tubuh (suhu rektal di atas
38°C) yang disebabkan oleh suatu proses ekstrakranial.
Anamnesis Kejang : lama, frekuensi, sifat, tipe, interval, kondisi inter iktal dan post iktal
Gejala sebelum kejang, termasuk riwayat demam, jarak demam dan
terjadinya kejang
Riwayat trauma
Riwayat kejang sebelumnya
Riwayat kejang dalam keluarga
Kelainan neurologis
Kriteria Diagnosis Kejang yang didahului demam (suhu rektal > 38°C) yang bukan disebabkan
infeksi intrakranial
Differential diagnosis Kejang dengan demam yang disebabkan proses intrackranial misal meningitis,
meningoensefalitis, ensefalitis
Pengobatan Rumat
Pengobatan rumat adalah pengobatan yang diberikan secara terus menerus
dalam waktu tertentu.
1. Obat rumat yang dapat menurunkan risiko berulangnya kejang demam
hanya fenobarbital atau asam valproat. Semua obat antikonvulsan lain
tidak bermanfaat untuk mencegah berulangnya kejang demam.
2. Dosis valproat adalah 10-40 mg/kgBB/hari dibagi 2 – 3 dosis sedangkan
fenobarbital 3 – 5 mg/kgBB/hari dibagi 2 dosis.
3. Pengobatan rumat cukup diberikan selama satu tahun, kecuali pada kasus
yang sangat selektif (rekomendasi D)
4. Pemakaian fenobarbital setiap hari dapat menimbulkan gangguan perilaku
dan kesulitan belajar. Sedangkan pemakaian asam valproat pada usia
kurang dari 2 tahun dapat menyebabkan gangguan fungsi hati. Bila
memberikan valproate, periksa SGOT dan SGPT setelah 2 minggu, satu
bulan, kemudian tiap 3 bulan.
5. Pengobatan rumat hanya diberikan bila kejang demam menunjukkan salah
satu atau lebih gejala sebagai berikut :
Kejang lama 15 menit.
Anak mengalami kelainan neurologis yang nyata sebelum atau sesudah
kejang, misalnya hemparesis, paresis Todd, Cerebral Palsy, retardasi
mental, hidrosefalus.
Kejang fokal.
Bila ada keluarga sekandung atau orang tua yang mengalami epilepsy.
Pengobatan rumat tidak harus diberikan tetapi dapat dipertimbangkan dalam
keadaan :
1. Kejang berulang dua kali atau lebih dalam 24 jam.
2. Bila kejang demam terjadi pada bayi berumur kurang dari 12 bulan.
Catatan :
Semua peneliti setuju bahwa kejang demam 15 menit merupakan indikasi
pengobatan rumat.
Yang dimaksud dengan kelainan neurologis yang nyata misalnya
kelumpuhan, mikrosefali. Kelainan neurologis tidak nyata misalnya
keterlambatan perkembangan ringan bukan merupakan indikasi.
Kejang fokal atau fokal menjadi umum menunjukan bahwa anak mempunyai
fokus organik di otak sisi kontralateral.
Tidak semua setuju bahwa kejang 2 kali atau lebih dalam 1 hari sudah
merupakan indikasi pengobatan rumat
Pengobatan Intermiten
Yang dimaksud dengan pengobatan intermiten adalah pengobatan yang
diberikan pada saat anak mengalami demam, untuk mencegah terjadinya
kejang demam. Terdiri dari pemberian antipiretik dan antikonvulsan.
Antipiretik
Tidak ditemukan bukti bahwa penggunaan antipiretik mengurangi risiko
terjadinya kejang demam. Namum kesepakatan Saraf Anak menyatakan bahwa
pengalaman menunjukan bahwa antipirtetik tetap bermanfaat. Antipiretik yang
dapat digunakan adalah :
Parasetamol atau asetaminofen 10 – 15 mg/kgBB/kali diberikan 4 kali.
Ibuprofen 10 mg/kgBB/kali, diberikan 3 kali.
Definisi Manifestasi klinis lepasnya muatan listrik yang berlebihan di sel neuron otak yang bersi
gangguan fisiologi, biokimiawi, anatomis, atau gabungan factor-faktor tersebut.
a Epilepsi idiopatik
Etiologi penyebab tidak diketahui
b Epilepsi simptomatik
penyebab diketahui misal tumor otak, pasca trauma otak, panensefalitis
c\ Epilepsi kriptogenik
diduga ada penyebabnya tapi tidak diketahui
Kriteria Diagnosis 1. Adanya serangan kejang akibat gangguan fungsi otak yang bersifat
paroksismal dengan bangkitan spontan atau karena gangguan ringan lebih
dari 1(satu) kali/tahun dengan berbagai macam manifestasi klinik disertai
atau tidak disertai gangguan tingkat kesadaran.
2. Gambaran EEG yang abnormal dapat membantu menegakkan diagnosis.
Pemeriksaan Penunjang EEG dapat digunakan untuk mendiagnosis epilepsy hanya apabila kejang
terekam, dan ini sangat jarang karena kebanyakan anak-anak dengan epilepsi
memiliki frekuensi kejang yang jarang. Sebagian kecil anak-anak normal
memiliki aktivitas epileptiform pada EEG-nya tetapi belum pernah mengalami
kejang. Namun 40% pasien dengan epilepsi kronis tidak pernah menunjukkan
epileptiform pada EEG interiktal. Pencitraan otak tidak menjadi dasar untuk
mendiagnosis epilepsi
Tatalaksana Pengobatan :
Mengatasi kejang
Mencari faktor penyebab sindrom epilepsi
Menghindari faktor pencetus terjadinya serangan
Psikososial : memberikan penjelasan pada orang tua penderita tentang
perawatan anak dengan epilepsi
Obat maintenance yang diberikan diusahakan hanya satu jenis dengan dosis
serendah mungkin dan dosis dapat dinaikkan dalam 3-4 hari.
Definisi Kejang yang tidak berhubungan dengan adanya penyakit, demam, atau trauma
akut pada otak
Patogenesis Ketidakseimbangan antara eksitator dan inhibitor pada jaringan neuron korteks
yang terjadi secara tiba-tiba
Kriteria Diagnosis Sangat ditentukan anamnesis. Jika telah dipastikan terdapat bangkitan diagnosis
sangat dipengaruhi keadaan pasien. Bila pemeriksaan neurologis dan status
mental normal maka dapat dilakukan pemeriksaan penunjang
Daftar kepustakaan Pediatric Neurology: Principle & Practice fourth edition chapter 40
Child Neurology sixth edition chapter 13
The Epilepsies
SPASME INFANTIL Kode ICD :
DEPARTEMEN IKA G 40.4
RSMH PALEMBANG No Dokumen No.Revisi Halaman :
…………. …………….. 9
Ditetapkan Oleh,
Panduan Praktek Tanggal Revisi Ketua Divisi Neurologi
Klinis ………………..
Pemeriksaan 1. EEG
Penunjang Gambaran khas adalah hipsaritmia, yaitu adanya gelombang-gelombang
“spike” dan lambat yang timbul di seluruh bagian korteks tetapi tidak
sinkron.
2. CT scan tidak khas
Tatalaksana ACTH 40-80 Unit IM dalam 2 dosis
Dimulai dalam dosis besar selama 1-2 minggu, lama pengobatan
seluruhnya 4 minggu. Pengobatan dihentikan bila tidak ada
perbaikan klinis dalam 2 minggu.
Indikasi : pada kasus dimana tidak jelas ada kerusakan otak atau
spasme infantile idiopatik.
Prednison 1-2 mg/kgBB/hari atau hidrokortison 10-20 mg/kgBB/hari
dibagi dalam 2-3 dosis. Lama dan indikasi sama dengan golongan
ACTH.
Nitrazepam (mogadon). 0,1-2,2 mg/kgBB/hari dalam 2 dosis. Mula-
mula dosis rendah dan dinaikkan perlahan-lahan sampai kejang
terkontrol. Biasanya digunakan pada spasme infantile simptomatik.
Klonazepam, dosis 0,025-0,15 mg/kgBB/hari dalam 2 dosis.
Digunakan pada tipe simptomatik.
Asam valproat 10-40 mg/kgBB/hari. Dimulai dengan dosis rendah
Definisi Suatu sindroma didapat yang terjadi pada anak usia 3-7 tahun, ditandai
dengan afasia (perkembangan bahasa dan motorik sebelumnya normal)
disertai abnormalitas EEG berupa spikes, gelombang tajam, atau spike dan
gelombang yang umumnya bilateral dan predominan pada regio temporal
dan parietal. Dikenal juga sebagai afasia epileptik didapat.
Etiologi Terbanyak adalah idiopatik
Penyebab lain:
- Proses intrakranial: tumor otak,trauma kepala, stroke,neurosistisirkosis
- Vaskulitis SSP
- Defisiensi rantai kompleks I mitokondria
- Polimikrogiria perisilvian
Kriteria Diagnosis Afasia didapat dengan onset pada usia 3-7 tahun
Gambaran EEG:
- Saat bangun adalah gelombang spike di daerah temporo-parietal
- Saat tidur: gelombang spike generalisata
Riwayat kejang terutama pada malam hari (adanya electrical status
epilepticus in sleep - ESES)
Lain-lain (Algaritma,
Protokol, Prosedur,
Standing Order)
BREATH HOLDING SPELL Kode ICD:
DEPARTEMEN IKA R.06.8
RSMH PALEMBANG No Dokumen No.Revisi Halaman :
…………. …………….. 13
Ditetapkan Oleh,
Panduan Praktek Tanggal Revisi Ketua Divisi Neurologi
Klinis ………………..
Bentuk Klinis BHS jenis sianotik: diawali menangis akibat marah, takut, sakit, dan
(Klasifikasi) frustasi. Anak berancang-ancang mengangis kuat sebentar, menahan
napas saat ekspiras, membiru, tidak sadar, lemah (tonus otot hilang)
atau dapat kaku seluruh tubuh, kadang-kadang diikuti 2-3 sentakan
klonik dan mata membalik ke atas, kemudian anak bernapas lagi dan
sadar.
BHS jenis pucat terjadi akibat benturan kepala, anak tiba-tiba menjadi
pucat, tidak sadar, dan lemas. Sesudah lemas, tubuh menjadi kaku,
kadang disertai sentakan klonik, mata melirik ke bawah
Kriteria Diagnosis Serangan terjadi setelah ada pencetus, sianosis, apnea dan kehilangan
kesadaran
Pemeriksaan -
Penunjang
Tatalaksana Tidak ada pengobatan khusus karena tidak menyebabkan gangguan organik
Edukasi Menjelaskan kepada orangtua bahwa serangan ini tidak berbahaya, tidak
menyebabkan retardasi mental dan tidak menyebabkan epilepsi
Definisi Peradangan pada selaput otak ditandai dengan peningkatan jumlah sel
polimorfonuklear dalam cairan serebrospinal dan terbukti adanya bakteri
penyebab infeksi dalam cairan serebrospinal
Anamnesis Panas
Penurunan kesadaran
Kejang
High pitch cry pada bayi
Pemeriksaan fisik Suhu febris
Penurunan kesadaran GCS
GRM (+) kaku kuduk, Brudzinsky, Kernig
Gangguan syaraf otak
Tatalaksana 1. Kausal :
Antibiotika diberikan sesuai dengan kuman penyebab dan mampu
melewati “Blood Brain Barrier”
Beri antibiotika polifragmasi sebelum diketahui kuman penyebab.
Ampisilin 300-400 mg/kgBB/hari dibagi dalam 4 dosis IV dan
kloramfenikol 75-100 mg/kgBB/hari dibagi dalam 4 dosis, maksimum 2
gram perhari. Lama pemberian 10-14 hari atau cefotaxim 200-300
mg/kgBB/hari IV dibagi dalam 3 dosis atau ceftriaxone 100
mg/kgBB/hari dosis tunggal (maksimum 4 gram/hari) diberikan 7-10
hari.
Perubahan antibiotika selanjutnya tergantung dari hasil resistensi tes.
Untuk mengatasi edema otak diberi kortikosteroid dexametason 0,2-
0,3 mg/kgBB/kali diberikan 3 kali sehari selama 4–5 hari.
Untuk mencegah reaksi immunologis deksametason diberikan terlebih
dahulu sebelum pemberian antibiotika.
2. Suportif
Pemberian cairan
Jenis cairan yang diberikan cairan 2:1 (Dekstrose 5%+NaCI 15%)
jumlah cairan pada hari pertama 70% dari kebutuhan maintenance.
Nutrisi yang adekuat
Kejang diatasi sesuai dengan penatalaksanaan kejang demam sampai
diketahui sekuele +/-
Bila terjadi kenaikan tekanan intrakranial dengan tanda :
o Kesadaran menurun progresif
o Tonus otot meningkat
o Kejang yang tidak teratasi
o Fontanella menonjol
o Bradipnoe
o Tekanan darah meningkat
Diberikan manitol 20% dengan dosis 0,25-1 gram/kgBB/kali diberikan
perinfus selama 30-60 menit, dapat diulangi setelah 8 jam.
Pemberian O2.
Pembersihan jalan nafas
Awasi ketat fungsi vital
Perawatan atau follow up yang ketat 24-48 jam pertama untuk melihat
adanya “Sindroma Inapropriate Anti Diuretic Hormone” (SIADH).
Apabila ada SIADH dperlukan monitor kadar elektrolit dan berat badan,
manifestasi klinis SIADH sebagai berikut :
a. Retensi air
Balans cairan positif
Berat badan naik
Tidak ada edema perifer
Pitting edema di daerah sternum
b. Gejala sistem gastrointestinalis, anoreksia, nausea, muntah.
c. Gejala neurologik, letargi, pusing, kejang, perubahan pada pupil,
koma.
d. Laboratorium
- Hiponatremia (manifestasi klinis baru terlihat sesudah Na<125
mEq/L)
- Ureanitrogen dan kreatinin darah rendah
- Na urin > 20 mEq/L
- BD urin > 1,012
Tindak lanjut :
Mengawasi keseimbangan cairan dan elektrolit
Pengukuran lingkaran kepala jika UUB belum menutup
Setelah 48-72 jam pemberian antibiotika adekuat belum ada perbaikan
klinis yaitu berupa : keadaan umum memburuk, panas tetap tinggi,
kesadaran makin menurun, kejang sukar diatasi, maka harus dipikirkan
adanya komplikasi/pemberian antibiotika yang tidak teratur atau tidak
sensitif dan dilakukan pemeriksaan :
Lumbal fungsi ulang
Funduskopi
Transiluminasi
USG kepala jika UUB belum menutup
Komplikasi Komplikasi yang dapat segera timbul yaitu berupa :
danPrognosis
Kenaikan tekanan intrakranial
Nekrosis atau infark jaringan otak
Ventrikulitis
Gangguan nervus kranialis
Sindroma inappropriate antidiuretik hormone (SIADH)
Subdural empiema
Abses serebri
Setelah pemberian antibiotik selama 7-10 hari bila klinis sudah baik dan hasil
pemeriksaan LCS sudah normal, penderita dipulangkan. Jika klinis baik
namun pemeriksaan LCS belum normal tapi ada perbaikan dibandingkan LP
pertama (jumlah sel 60-120 per mm3) antibiotika diteruskan sampai dengan
14 hari untuk pemakaian Ampisilin & Kloramfenikol, 10 hari untuk Cefotaxim &
Ceftriakson jika klinis tetap baik penderita dipulangkan dan kontrol ke poliklinik
anak
Kesadaran koma :3
Suhu badan kurang dari 36, 6 0C :2
Kejang :2
Shock (TD sistole kurang dari 60 mmHg) :2
Umur kurang dari 1 tahun :1
WBC pada LCS kurang dari 1.000 :1
Hb kurang dari 11 gram :1
Glukosa pada LCS kurang dari 20 mg/dl : 0,5
Gejala sudah lebih dari 3 hari : 0,5
Lain-lain (Algaritma,
Protokol, Prosedur,
Standing Order)
MENINGITIS TUBERKULOSA Kode ICD :
DEPARTEMEN IKA A 17.0
RSMH PALEMBANG No Dokumen No.Revisi Halaman :
…………. …………….. 18
Ditetapkan Oleh,
Panduan Praktek Tanggal Revisi Ketua Divisi Neurologi
Klinis ………………..
Definisi Radang selaput otak akibat komplikasi tuberkulosis primer. Fokus primer
dapat berasal dari paru (terutama), kelenjar getah bening atau tulang
Patogenesis Pembentukan tuberkel di otak, selaput otak atau medulla spinalis yang
diakibatkan penyebaran basil hematogenselama infeksi primer atau selama
perjalanan tuberculosis kronik ( walaupun jarang ). Terlepasnya basil dan
antigennya dari tuberkel yang pecah akibat rangsangan trauma atau faktor
imunologis akan menimbulkan meningitis. Basil akan masuk ke ruangan sub
arachnoid menimbulkan reaksi peradangan yang menyebabkan perubahan
dalam cairan liquor cerebrospinal. Reaksi peradangan mula-mula timbul di
sekitar tuberkel yang pecah yang kemudian tampak jelas di selaput otak pada
dasar otak dan ependim.
Anamnesis Riwayat demam tidak terlalu tinggi, rasa lemah, anoreksia, mual, muntah,
sakit kepala ± 2 minggu sebelum timbul manifestasi neurologis
Kejang bersifat umum dan intermiten
Kesadaran menurun
Riwayat kontak TB atau menderita TB
Lain-lain (Algaritma,
Protokol, Prosedur,
Standing Order)
MENINGITIS ASEPTIK Kode ICD :
DEPARTEMEN IKA A 87
RSMH PALEMBANG No Dokumen No.Revisi Halaman :
…………. …………….. 21
Ditetapkan Oleh,
Panduan Praktek Tanggal Revisi Ketua Divisi Neurologi
Klinis ………………..
Patogenesis Virus masuk melalui kulit, saluran pernafasan dan saluran pencernaan,
menyebar ke seluruh tubuh dengan cara :
Setempat : infeksi terbatas di selaput lender permukaan atau organ
tertentu
Hematogen primer : virus masuk ke darah yang menyebar le organ
Hematogen sekunder : virus menyebar ke organ lain
Penyebaran melalui syaraf : virus berkembang di selaput lender dan
menyebar melalui syaraf
Bentuk Klinis Gejala klinik : demam, sakit kepala, mual, muntah, letargi, GRM (+) (kaku
(Klasifikasi) kuduk, tanda kernig dan brudzinsky)
Pemeriksaan Laboratorium :
Penunjang Darah tepi : normal
LCS : - jernih
- jumlah sel 20 sampai beberapa ribu/mm3
- protein normal atau sedikit meningkat
(50-200 mg/dl)
- glukosa normal (>50 mg/dl)
Untuk menyingkirkan meningitis TBC dilakukan
mantoux test atau BCG test
foto thoraks
Tatalaksana simptomatik
antibiotika profilaksis diberikan ampisilin dan kloramfenikol sampai
diketahui faktor penyebabnya.
Patogenesis Virus masuk melalui kulit, saluran pernafasan dan saluran pencernaan,
menyebar ke seluruh tubuh dengan cara :
Setempat : infeksi terbatas di selaput lender permukaan atau organ
tertentu
Hematogen primer : virus masuk ke darah yang menyebar le organ
Hematogen sekunder : virus menyebar ke organ lain
Penyebaran melalui syaraf : virus berkembang di selaput lender dan
menyebar melalui syaraf
Anamnesis Gejala dapat ringan sampai berat, tergantung jenis virus dan jaringan otak
yang terkena.
Panas mendadak tinggi (sering dengan hiperpireksia)
Sakit kepala
Nausea dan muntah
Kesadaran cepat menurun (letargia, stupor, dan koma)
Kejang umum/fokal/twitching
Afasia, hemiparesis
Adanya riwayat penyakit primer dapat membantu diagnosis. Misalnya
Mump, morbili, varicella
Kriteria Diagnosis Adanya trias demam tinggi, penurunan kesadaran, dan kejang, tanpa
adanya tanda-tanda peningkatan tekanan intrakranial
Tatalaksana Terapi kausal tidak ada, karena umumnya disebabkan oleh virus, hanya
diberikan pengobatan simptomatis dan suportif.
1. Simptomatik
Kejang diatasi sesuai dengan tatalaksana kejang
Hiperpireksia diatasi dengan:
a. surface cooling : es ditempatkan pada pembuluh darah besar
yang letaknya superfisial
b. antipiretika
c. meniup udara/mendinginkan udara sekitarnya.
d. hibernasi, diberikan klorpromazin 2 mg/kgBB/hari atau
prometasin 4 mg/kgBB/hari secara IV atau IM dalam tiga kali
pemberian
Untuk mengatasi edema otak diberikan kortikosteroid
deksametason 0,2-0,3 mg/kgBB/kali dalam 3 kali pemberian,
selama 4-5 hari.
2. Suportif
Pemberian cairan : dilakukan retriksi cairan, jenis cairan diberikan
cairan (Dekstrose 5 % + NaCI 15%), dengan perbandingan 2 : 1.
jumlah cairan pada hari pertama 70 % dari kebutuhan
maintenance.
Bila edema otak diterapi sesuai penatalaksanaan edema otak
Pemberian O2 dan pembebasan jalan nafas
Posisi diubah-ubah
Nutrisi yang adekuat
4. Profilaksis antibiotika
Beri PP 50.000 IU/kgBB/hari dan Kloramfenikol 75 mg/kgBB/hari
dibagi 3-4 dosis, atau ampisilin 100 mg/kgBB/hari dibagi 3-4 dosis
dan Gentamisin 5 mg/kgBB/hari dibagi 2 dosis. Diberikan sampai 10
hari. Jika masih panas 3 hari setelah pengobatan fikirkan komplikasi
atau antibiotikanya tidak adekuat.
Tindak lanjut
Mencari dan mengobati penyakit penyerta
Fisioterapi bila sekuelle (+). Dilakukan 1 minggu tidak panas
Lain-lain (Algaritma,
Protokol, Prosedur,
Standing Order)
SUB ACUTE SCLEROSING Kode ICD :
DEPARTEMEN IKA PANENCEPHALITIS A.81.1
RSMH PALEMBANG
No Dokumen No.Revisi Halaman :
…………. …………….. 24
Ditetapkan Oleh,
Panduan Praktek Tanggal Revisi Ketua Divisi Neurologi
Klinis ………………..
Definisi SSPE adalah penyakit peradangan yang progresif susunan saraf pusat
yang disebabkan oleh infeksi virus campak menetap.
Patogenesis Mekanisme yang jelas belum diketahui dengan pasti. Diperkirakan setelah
infeksi akut virus morbili hidup dalam bentuk inaktif dalam sel
Anamnesis - Didahului oleh riwayat morbili tipikal, sembuh total tanpa komplikasi
beberapa tahun sebelum onset.
- Keluhan yang sering ditemukan:
- Jatuh/tersentak
- Kemunduran intelegensi
- Penyakit psikiatrik
- Paresis/paralisis
- Gangguan bicara
Pemeriksaan EEG : Tahap awal EEG normal atau perlambatan non spesifik
Penunjang Pada stadium II : gambaran supression burst pattern/periodic
slow wave complexes (PSWC)
Pada stadium lanjut : abnormal/bervoltase rendah
Darah: titer antibodi morbili 1/124-1/2048
LCS : jernih, sel normal, glukosa normal, protein normal/sedikit
meningkat. Titer antibodi morbili 1/8 s/d 1/64
MRI : Berguna untuk menilai progresifitas penyakit dan pengaruh
pengobatan. Tampak gambaran lekoensefali pada intensitas signal T2
pada substansia alba, batang otak maupun serebelum.
Komplikasi dan Fatal, pada umumnya penderita meninggal 6 bl – 3 th setelah gejala timbul.
Prognosis Dilaporkan 5% sembuh spontan
Lain-lain (Algaritma,
Protokol, Prosedur,
Standing Order)
ABSES OTAK Kode ICD :
DEPARTEMEN IKA G06.0
RSMH PALEMBANG No Dokumen No.Revisi Halaman :
…………. …………….. 26
Ditetapkan Oleh,
Panduan Praktek Tanggal Revisi Ketua Divisi Neurologi
Klinis ………………..
Definisi Terdapatnya timbunan nanah yang terlokalisasi di dalam jaringan otak baik
disertai atau tidak disertai oleh pembentukan kapsul
Patogenesis 1. Penyebaran langsung dari fokus infeksi yang berdekatan dengan otak
2. Metastasis fokus jauh
3. Trauma tembus kepala
4. Pasca operasi kepala
5. Sumber infeksi tidak diketahui
Komplikasi dan Prognosis tinggi pada pasien dengan perjalanan penyakit yang cepat
Prognosis Pasien dengan gejala lebih dari 2 minggu dan abses berkapsul, soliter serta
superfisial mempunyai prognosis yang lebih baik
Prognosis buruk pada :
Pasien koma preoperative
Pasien dengan gangguan imunitas
Abses multiple, letak dalam
Terjadi pada umur muda
Lain-lain (Algaritma,
Protokol, Prosedur,
Standing Order)
ENSEFALOMIELITIS DISEMINATA AKUT Kode ICD :
DEPARTEMEN IKA G04.0
RSMH PALEMBANG No Dokumen No.Revisi Halaman :
…………. …………….. 28
Ditetapkan Oleh,
Panduan Praktek Tanggal Revisi Ketua Divisi Neurologi
Klinis ………………..
Etiologi Umumnya timbul setelah infeksi virus atau vaksinasi, antara lain:
- Penyakit virus spesifik: Epstein-Barr, Influenza A, Mumps,
Coronavirus.
- Setelah penyakit eksantematosa pada anak-anak ( Varisela, Campak).
- Setelah vaksinasi: Difteri, Influenza, Rabies, Cacar, Tetanus, Tifoid.
Dapat timbul spontan, merupakan gejala prodromal subklinis infeksi virus
Epidemiologi: Umumnya merupakan kelainan para/post infeksi
Patogenesis Kelainan ini timbul akibat adanya reaksi antigen antibodi. Virus akan
merangsang pembentukan antibodi oleh tubuh, akan bereaksi dengan sel
saraf atau jaringan saraf dan antigen dari protein virus.
Bentuk Klinis Gejala klinis yang sering dijumpai adalah gejala prodromal seperti:
demam, malaise, mialgia.
Ditemui gejala neurologis multifokal 5-14 hari setelah infeksi virus
atau vaksinasi, antara lain: gejala awalnya sakit kepala, demam,
kelemahan. Selanjutnya dijumpai kelumpuhan saraf kranial, terutama
N. VII, kejang, hemiparese, ataksia, gejala ekstrapiramidal,
nistagmus, penurunan kesadaran (letargi sampai koma). Gejala
lainnya: perubahan tingkah laku.
Gambaran patologis pada pasien ini seperti pada ensefalitis
eksperimental alergi, yaitu adanya fokus perivaskular demielinisasi
disertai serbukan sel radang pada substantia alba.
Kriteria Diagnosis Gejala Klinis
Pemeriksaan penunjang
Lain-lain (Algaritma,
Protokol, Prosedur,
Standing Order)
TETANUS NEONATORUM Kode ICD :
DEPARTEMEN IKA A 33
RSMH PALEMBANG No Dokumen No.Revisi Halaman :
…………. …………….. 30
Ditetapkan Oleh,
Panduan Praktek Tanggal Revisi Ketua Divisi Neurologi
Klinis ………………..
Definisi Penyakit dengan tanda utama kekakuan otot ( spasme ) tanpa disertai
gangguan kesadaran yang terjadi pada neonatus
Patogenesis Spora yang masuk ke tubuh berubah menjadi bentuk vegetatif dan
menghasilkan toksin. Toksin merambat dari tempat luka lewat motor
endplate dan aksis silinder syaraf tepi ke kornu anterior sumsum belakang
dan menyebar ke seluruh SSP. Toksin menyebabkan blokade pada simpul
yang menyalurkan impils pada tonus otot sehingga tonus otot meningkat dan
menimbulkan kekakuan. Bila tonus makin meningkat akan timbul kejang
terutama pada otot yang besar
2 Kejang : Spontan 2
Rangsang 1
3 Sianosis 2
Definisi Penyakit dengan tanda utama kekakuan otot ( spasme ) tanpa disertai
gangguan kesadaran yang terjadi pada anak
Patogenesis Spora yang masuk ke tubuh berubah menjadi bentuk vegetative dan berbiak
menghasilkan toksin. Toksin merambat dari tempat luka lewat motor endplate
dan aksis silinder syaraf tepi ke kornu anterior sumsum belakang dan
menyebar ke seluruh SSP. Toksin menyebabkan blockade pada simpul yang
menyalurkan impils pada tonus otot sehingga tonus otot meningkat dan
menimbulkan kekakuan. Bila tonus makin meningkat akan timbul kejang
terutama pada otot yang besar
Bentuk Klinis Untuk menentukan derajat berat ringannya penyakit, dipakai kriteria menurut
(Klasifikasi) Cole dan Youngman (1969) sebagai berikut :
DERAJAT
NO KRITERIA
I II III
1 Masa >14 hari 10-14 hari < 10 hari
inkubasi
2 Onset 6 hari 3-6 hari < 3 hari
3 Trismus Ringan Sedang Berat
4 Disfagia (-) Ringan Berat
5 Kekakuan Lokal dekat Kekakuan Kekakuan umum
luka umum sejak sering
mendahului awal menyebabkan
kekakuan kesulitan
umum bernafas dan
asfiksia
6 Kejang Sebentar, Lebih berat, Cepat memberat,
umum tidak lebih sering, sering, lama,
mengganggu tidak menyebabkan
pernafasan menyebabkan kegagalan
dispnoe dan pernafasan dan
sianosis spasme laring
Anamnesis mencari “port’d entre” yaitu adanya luka, radang telinga dan karies dentis
Pemeriksaan fisik Trismus, kaku kuduk, opistotonus, perut papan, tak dapat jalan, atau jalan
seperti robot, kejang rangsang, kejang spontan. Tidak terdapat penurunan
kesadaran dan biasanya tidak panas
Kriteria Diagnosis Anamnesis luka
Gejala klinis
Tatalaksana 1. Medikamentosa
ATS pada hari I 20.000 IU diberikan perdrip dengan diencerkan 20 kali
dengan NaCI fisiologis. Sebelum pemberian harus dilakukan tes kulit
terlebih dahulu, bila positif maka dilakukan desentisasi dengan cara
besredka. Pada hari II ATS 20.000 IU diberikan IM
Antibiotika PP 50.000 U /kgBB/hari selama 10 hari
Antikonvulsan :
a. fenobarbital dosis awal 100 mg IM dan largactil dosis awal 30 mg
IM dilanjutkan oral : fenobarbital 6x30 mg/hari dan largactil 2-5
mg/kgBB/hari dibagi 6 dosis
b. diazepam dengan dosis inisial 0,2 mg/kgBB/kali IV, kemudian
diteruskan dengan 4-8 mg/kgBB/hari diberikan secara IV dalam 12
kali pemberian
Dosis antikonvulsan diturunkan secara bertahap sesuai dengan
perbaikan klinis.
Antiseptik H2O2 3% untuk pencucian luka.
2. Suportif
Mencegah terjadinya aspirasi, segera setelah pemberian antikonvulsan
dipasang sonde lambung, lambung dikosongkan, posisi kepala
dimiringkan
Penderita diisolasi dan dijauhkan dari rangsangan terutama cahaya
yang berubah mendadak, bunyi dan sentuhan
Makanan diberikan dalam jumlah sedikit tetapi sering, untuk mencegah
terjadinya regurgitasi
Oksigen diberikan bila ada gangguan oksigenasi
Penderita dipulangkan setelah tidak ada kejang rangsang lagi, tidak spastis,
atau spastis ringan, telah dapat berjalan dan tidak ada kesulitan makan atau
penyulit lain
Komplikasi dan Prognosis ditentukan masa inkubasi, period of onset, jenis luka, status
Prognosis imunitas, letak jenis luka, dan luas kerusakan jaringan
Ditetapkan Oleh,
Panduan Praktek Tanggal Revisi Ketua Divisi Neurologi
Klinis ………………..
Definisi Kasus AFP adalah semua anak berusia kurang dari 15 tahun dengan
kelumpuhan yang sifatnya flaccid (layuh), terjadi secara akut (mendadak /
<14 hari) dan bukan disebabkan oleh ruda paksa
Pemeriksaan LCS: pleositosis dengan sel-sel mononuklear dan protein yang normal
penunjang atau sedikit meningkat, glukosa biasanya normal
EMG
MRI
Definisi Penyakit infeksi virus akut yang mengenai medulla spinalis dan batang otak
Bentuk Klinis Paralisis residual berupa asimetris, atrofi otot dan deformitas. Refleks
(Klasifikasi) tendon berkurang atau hilang
tak ada gangguan rasa raba
nyeri otot yang sangat hebat
tak ada gangguan fungsi kandung kemih
Dalam surveilans AFP yang tujuannya mencari kasus polio diagnosa pasti
polio dapat ditegakkan berdasarkan klasifikasi sbb :
1. Klasifikasi pada surveilens yang belum memenuhi kriteria secara
klinis
2. Klasifikasi pada surveilens yang memenuhi kriteria secara
virologis
Kriteria Surveilens :
- AFP rate : 1 per 100.000 pada penduduk usia <15 tahun
- Spesimen yang adekuat dari kasus AFP > 60 %
Pada surveilans yang belum baik maka digunakan kriteria klasifikasi klinis
yaitu :
Kelumpuhan menetap (paralise residual), setelah kunjungan ulang
60 hari sejak terjadinya kelumpuhan
Meninggal sebelum 60 hari sejak terjadinya kelumpuhan
Tak dapat diketahui keadaan kelumpuhan setelah 60 hari sejak mulai
lumpuh
Pada surveilans yang sudah baik digunakan kriteria klasifikasi virologis yaitu:
Didapatkan virus polio liar pada pemeriksaan spesimen
Tatalaksana Belum ada pengobatan kausal namun dapat dicegah dengan vaksinasi
Lain-lain (Algaritma,
Protokol, Prosedur,
Standing Order)
SINDROMA GUILLAIN BARRE Kode ICD :
DEPARTEMEN IKA G 61.0
RSMH PALEMBANG No Dokumen No.Revisi Halaman :
…………. …………….. 37
Ditetapkan Oleh,
Panduan Praktek Tanggal Revisi Ketua Divisi Neurologi
Klinis ………………..
Definisi Ditandai proses radang non infeksi di daerah radiks syaraf tepi
Tatalaksana bed rest total, bila ada kelumpuhan otot bulbar rawat di ICU
obati fokal infeksi
plasmapharesis
gama globulin 0,4 g/kgbb/hari selama 5 hari
neurotonika
fisioterapi bila tanda-tanda infeksi sudah reda
Pemberian prednison 1-2 mg/kgBB/hari tak melebihi 100 mg selama 5
hari bila tak ada perbaikan
Definisi Penyakit ini ditandai kelumpuhan progresif disertai hilangnya fungsi perasa
dan fungsi otot sphingter
Bentuk Klinis Paralise residual, terjadi atrofi diplegi setelah beberapa tahun
(Klasifikasi) Refleks tendon menurun
Tidak ada rasa nyeri otot
Anestesi tungkai atau kaki disertai gangguan rasa raba
Ada gangguan fungsi kandung kemih
Komplikasi dan Prognosis biasanya baik, 60% sembuh sempurna dan 15 % menimbulkan
Prognosis gejala sisa. Penyembuhan berangsur setelah 1 bulan dan sembuh total
dalam 6 bulan
Definisi Polineuropati yang disebabkan oleh proses imun, berlangsung lebih dari 2
bulan
Kriteria Diagnosis Gambaran klinis yang muncul biasanya berupa kelemahan dan rasa
baal yang progresif dapat berlangsung lebih dari 8-12 minggu, tapi
kepustakaan lain mengatakan bahwa penyakit berlangsung lebih dari
empat minggu. Perjalanan penyakit mungkin dapat progresif, progresif
bertahap, atau relaps berulang.
Pemeriksaan neurologi biasanya menampakkan kelemahan proksimal
dan distal, kehilangan sensori bagian distal dan refleks yang tertekan
atau absen.
Gambaran laboratorium yang tipikal berupa : pada LCS yaitu dissosiasi
sitoalbumin, pada EMG memperlihatkan adanya demielinisasi, dan pada
biopsi syaraf menunjukkan adanya demielinisasi, serabut mielin yang
tipis, dan onion-bulbs. Biopsi tidak penting untuk menegakkan diagnosis
pada sebagian kasus tetapi hal ini dapat menolong pada pasien dengan
gejala klinis, elektrofisiologi dan laboratorium yang kurang jelas.
Tatalaksana Kortikosteroid (obat hingga saat ini yang paling banyak dipakai)
- Prednison dosis 1 sampai 1,5 mg/kgBB/hari secara oral, dosis
tunggal, pada pagi hari.
- Khusus untuk penyakit yang berat dapat diobati dengan 1 gram
metilprednisolon secara intravena perhari (atau secara alternate
day), dibagi 4 sampai 5 dosis, dan kemudian dengan prednison dosis
tinggi yang diberikan secara oral.
- Sangat penting untuk mempertahankan terapi oral dengan dosis
yang tinggi sampai tampak adanya perbaikan. Kira-kira 90% pasien
akan menunjukkan perbaikan selama 2 bulan setelah pemberian
awal steroid. Pada waktu perbaikan muncul (berdasarkan uji otot
yang dilakukan secara manual atau dengan alat lain yang
memperlihatkan kuantitas), dosis kemudian diubah dengan regimen
alternate day. Hal ini dilakukan dengan beberapa langkah, misalnya
80 mg pada hari pertama diselingi dengan 40 mg pada hari
berikutnya, dengan pengurangan dosis tiap minggu menjadi 80 mg
dan 20 mg, 80 mg dan 10 mg, 80 mg dan 5 mg, akhirnya 80 mg dan
0 mg. Pengobatan dengan prednison dilanjutkan sampai terjadi
perbaikan yang maksimal. Hal ini terjadi pada 50% pasien setelah 6
bulan pengobatan dan 90 % setelah 12 bulan pengobatan dengan
prednison. Pada langkah ini, prednison dapat diturunkan dengan
pelan-pelan, biasanya 5 mg setiap 2-4 minggu.
Immunoglobulin Intravena
Mahal dan masih jarang dipakai. Regiment standar yang digunakan
adalah 0,4 atau 0,5 gram/kgBB/hari masing-masing selama 4 sampai 5
hari. Selanjutnya dosis maintenans dapat diberikan sesuai dengan dosis
dan frekuensi respons klinik. Regimen standar yang diberikan untuk
booster adalah dalam bentuk infus dengan dosis 0,5 gram/kgBB setiap 3
sampai 4 minggu, hampir sama dengan waktu paruh imunoglobulin.
Pada pasien yang berat yang dirawat di rumah sakit, akan dilakukan
follow-up pemberian infus imunoglobulin dengan interval mingguan.
Pengunaan untuk terapi mingguan biasanya menggunakan dosis yang
lebih rendah yaitu 0, 2-0, 25 gm/kgBB.
Plasma Exchange
Belum ada di Indonesia. Khusus pada pasien dengan penyakit yang
berat (khususnya pada pasien yang dirawat), pengobatan dilakukan
dengan plasma exchange bersama-sama dengan prednison pada saat
memulai pengobatan. Dilakukan dengan menggunakan dua exchange
setiap minggu selama tiga minggu, meskipun uji selanjutnya
menunjukkan keuntungan yang lebih besar dengan masa pengobatan
yang diperpanjang (tiga exchange setiap minggu selama dua minggu
pertama diikuti dengan dua exchange selama minggu ketiga sampai
minggu keenam). Jika terjadi relaps pada saat prednison ditappering,
pemberian plasma exchange yang singkat dapat diberikan untuk
membantu reinduksi remisi.
Plasma exchange masih terbatas digunakan pada anak-anak karena
kesukaran teknik untuk mengganti volume darah yang kecil dengan
menggunakan cell separator.
Terapi pilihan lainnya
- Pada pasien CIPD yang sukar disembuhkan dengan prednison,
plasma exchange dan immunoglobulin intravena, maka dapat
digunakan obat-obat immunosupresan (azatioprin, siklofosfamid,
siklosporin), irradiasi limfoid total, serta alfa dan beta interferon.
- Dosis azatioprin yang digunakan adalah 50 mg peroral dibagi empat
dosis, ditingkatkan secara berlahan-lahan dengan dosis total perhari
menjadi 2-3 mg/kgBB peroral. Sulit untuk merekomendasikan salah
satu obat-obatan ini satu dengan yang lain, karena tidak adanya uji
terkontrol yang digunakan sebagai pedoman terapi. Satu penelitian
yang membandingkan antara kombinasi prednison, dan azatioprin
versus prednison saja menunjukkan tidak adanya manfaat yang
bermakna dengan azatioprin. Pada uji ini waktu tiga bulan
dipersingkat untuk mengharapkan respon azatioprin.
- Pilihan selanjutnya adalah siklosporin. Dosis siklosporin adalah 5
mg/kgBB/dosis sebagai dosis awal. Dosis kemudian ditingkatkan
sesuai dengan respons.
- Siklofosfamid merupakan pilihan selanjutnya dosisnya adalah 1-2
mg/kg BB/dosis peroral. Azatioprin digunakan sebagai obat yang
dapat menghemat prednison. Tetapi tidak sebagai obat
immunosupresan yang tunggal untuk penyakit ini. Diperlukan
pengalaman-pengalaman yang lebih banyak sebelum
merekomedasikan penggunaan interferon (alfa atau beta) sebagai
bagian dari penanganan rutin CIDP
Lain-lain (Algaritma,
Protokol, Prosedur,
Standing Order)
DISTONIA Kode ICD :
DEPARTEMEN IKA G 24
RSMH PALEMBANG No Dokumen No.Revisi Halaman :
…………. …………….. 41
Ditetapkan Oleh,
Panduan Praktek Tanggal Revisi Ketua Divisi Neurologi
Klinis ………………..
Definisi Penyakit degeneratif berupa gangguan umum atau fokal yang progresif
ditandai kontraksi otot terus menerus menyebabkan gerakan berulang dan
meliuk-liuk atau postur tubuh yang abnormal
Insiden : jarang, dapat menyerang semua umur terutama 5-10 tahun
Patogenesis Belum diketahui dengan pasti, diperkirakan secara patologi ada kelainan
pada ganglia basalis, putamen, globus palidus, nukleus kaudatus
Definisi Gerakan yang tidak terkendali (involunter), bentuk gerakan cepat, mendadak,
tidak terkendali dan tidak dapat diramalkan
Anamnesis Adanya gerakan involunter pada anggota gerak, biasanya lengan atau
tangan yang menyentak-nyentak dan cepat, disadari tetapi tidak
terkendali, yang hanya berhenti dalam waktu tidur.
Gangguan emosional memperhebat gerakan ini
Gerakan ini dapat timbul pada salah satu anggota gerak saja, pada kedua
lengan saja atau pada lengan dan tungkai sesisi saja
Pemeriksaan fisik Tangan korea tangan fleksi dan sendi metakarpopalang ekstensi
berlebihan bila lengan dijulurkan ke depan
Tatalaksana Istirahat
Haloperidol 1-2 x 0,5 – 1 mg selama 4-6 bulan
Phenobarbital 2-4 mg/kgBbhari
Penisilin benzatin sebagai profilaksis terhadap infeksi streptococcus
Komplikasi dan Komplikasi : penyumbatan arteri retina dan papiledema
Prognosis Pasien sembuh tanpa gejala sisa neurologis mayor, hanya terdapat tremor
dan gangguan koordinasi
Lain-lain (Algaritma,
Protokol, Prosedur,
Standing Order)
TIC DAN SINDROM TOURETTE Kode ICD :
DEPARTEMEN IKA F 95
RSMH PALEMBANG No Dokumen No.Revisi Halaman :
…………. …………….. 44
Ditetapkan Oleh,
Panduan Praktek Tanggal Revisi Ketua Divisi Neurologi
Klinis ………………..
Definisi Penyakit yang ditandai tic motor dan verbal yang tidak terkontrol, kadang
disertai ucapan cabul
Bentuk Klinis Tic motorik sederhana: meliputi suatu grup otot involunter, mendadak, cepat,
(Klasifikasi) lama < 1 detik, berulang, tidak ritmis, dan stereotipik.
Gerakan yang sering terlihat: mengedip, menyeringai, gerakan mulut,
sentakan kepala, mengangkat bahu,dan gerak sentakan tangan dan kaki
Tic motoric multipel
Kriteria Diagnosis Diagnosis sindrom Tourette ditegakkan berdasarkan kriteria DSM IV:
1. Gejala tic motor multiple & satu / lebih tic fokal pada saat bersamaan.
2. Tic dapat terjadi beberapa kali dalam sehari atau intermiten selama lebih
dari satu tahun tanpa periode bebas tic > 3 bulan berturut-turut
3. Umur onset kurang dari 18 bulan
4. Gangguan tidak disebabkan oleh obat-obatan
Pemeriksaan PET scan peningkatan aktivitas metabolic di daerah frontal dan penurunan
Penunjang penggunaan glukosa di ganglia basalis
Tatalaksana Tic motor ringan tidak memerlukan terapi. Pasien sindrom tourette yang tidak
mengalami gangguan psikososial maupun fisik juga belum memerlukan
terapi.
Obat yang dianjurkan untuk pengobatan sindrom tourette
Lini pertama : clonidine (0,05 mg dinaikkan perlahan-lahan setiap 7 hari),
baclofen (20 mg, 3 kali sehari).
Lini kedua: pimozide (1 mg/hari, dinaikkan 1 mg tiap minggu sampai gejala
berkurang 70% atau muncul efek samping), risperidone (0,25- 0,3 mg/hari),
haloperidol (0,5-2 mg/hari)
Ditetapkan Oleh,
Panduan Praktek Tanggal Revisi Ketua Divisi Neurologi
Klinis ………………..
Definisi Cefalgia adalah nyeri atau sakit sekitar kepala, termasuk nyeri di belakang mata
serta perbatasan antara leher dan kepala bagian belakang
Etiologi Secara garis besar, penyebab cefalgia dapat dibagi 5 kategori, antara lain:
Nyeri kepala vaskuler
Muskuloskeletal (nyeri kepala tegang otot)
Organik (tumor, malformasi, dan ensefalopati)
Psikogenik
Lain-lain (peradangan,arthritis, neuralgia)
Bentuk Klinis 1. Sefalgia Primer : bila tidak ditemukan penyebab organik dari suatu sakit
(Klasifikasi) kepala. Yang termasuk cefalgia primer yaitu migrain, tension-typed
headache, dan cluster headache.
2. Sefalgia Sekunder : bila didapat penyebab organik yang mendasari keluhan
sakit kepala pada penderita.
Penyebab sefalgia sekunder:
Sefalgia yang berhubungan dengan trauma kepala atau leher
Sefalgia yang berhubungan dengan gangguan vaskuler kepala dan
servikal
Sefalgia yang berhubungan dengan gangguan intrakranial nonvaskuler
Sefalgia yang berhubungan dengan infeksi
Sefalgia yang berhubungan dengan gangguan hemostasis
Sefalgia yang berhubungan dengan gangguan cranium, leher, mata,
telinga, hidung, sinus, gigi, mulut, atau stuktur kranial atau wajah lainnya
Sefalgia yang berhubungan dengan gangguan psikiatri
Anamnesis Saat sakit kepala muncul, lokasi, kualitas, frekuensi, durasi, beratnya sakit
kepala, gangguan aktivitas sehari-hari oleh sakit kepala, gejala prodormal atau
aura yang mendahului sakit kepala, riwayat trauma kepala, adakah defisit
neurologis sebelum, selama dan sesudah sakit kepala, riwayat keluarga sakit
kepala. Adanya depresi, gangguan emosi
B. Tension headache
Istirahat
Analgetik
Dipertimbangkan : terapi relaksasi, biofeedback, terapi massage,
tizanidine (0,01 mg/kgBB/kali) , amitriptilin (0,5-1 mg/kgBB/kali)
Dinilai selama 1 – 3 bulan
Jika tidak ada perbaikan pertimbangkan untuk pemberian konseling
psikologi, injeksi trigger point, injeksi Botox
C. Cluster Headache
Fase akut: oksigen atau ergotamine (1mg/hari) atau sumatriptan
Preventif: verapamil, litium, ergotamine, metisergit, kortikosteroid,
topiramat
2. Cefalgia sekunder
Diatasi penyakit yang mendasarinya
Lain-lain (Algaritma,
Protokol, Prosedur,
Standing Order)
PROSES DESAK RUANG Kode ICD :
DEPARTEMEN IKA G93.9/G95.9
RSMH PALEMBANG No Dokumen No.Revisi Halaman :
…………. …………….. 48
Ditetapkan Oleh,
Panduan Praktek Tanggal Revisi Ketua Divisi Neurologi
Klinis ………………..
Definisi Suatu proses pendesakan di dalam ruang kranial yang dapat menggangu
fungsi otak, menyebabkan peningkatan tekanan intrakranial dan defisit
neurologis fokal
Definisi Tumor tersering ketiga pada usia dibawah 15 tahun. Puncak kejadian adalah
umur 3-5 tahun.
Lokasi menentukan prognosis. Pada anak 60% atau lebih terdapat di bawah
tentorium dan kebanyakan di daerah serebelum, sedang pada dewasa
hanya 25-30% saja. Umumnya pasien datang dalam keadaan lanjut
Patogenesis Migrasi dan differensiasi lapisan sel primitive tabung syaraf berubah menjadi
meduloblas yang berdiferensiasi menjadi 2 bagianyaitu golongan neuron (
menjadi neuroblas dan neuron ) dan golongan glia ( melalui spongioblas
menjadi astrosit dan oligodendrosit ). Tiap sel dapat berubah menjadi
neoplastik
Bentuk Klinis Klasifikasi Russel dan Rubinstein berdasarkan letak tumor yang sering
(Klasifikasi) ditemukan pada anak adalah:
I. Tumor fosa posterior
1. Meduloblastoma
2. Astrositoma
3. Ependimoma
4. Glioma batang otak
5. Hemangioblastoma
II. Tumor fosa media
1. Kraniofaringioma
2. Kista intraselar
3. Glioma optik dan hipotalamik
III. Tumor daerah hemisfer
1. Golongan yang berasal dari glia
Astrositoma
Glioblastoma
Oligodendroglioma
Ependimoma
Papiloma pleksus koroid
2. Tumor daerah pineal
Pinealoblastoma
Pinealositoma
Germinoma
3. Angioma
4. Meningioma
Meningioma jinak
Sarkoma selaput otak
Tatalaksana Operatif
Radioterapi
Kemoterapi
Komplikasi dan Tergantung jenis tumor, lokasi dan jumlah tumor
Prognosis
Lain-lain (Algaritma,
Protokol, Prosedur,
Standing Order )
TRAUMA KEPALA PADA ANAK Kode ICD :
DEPARTEMEN IKA S09.9
RSMH PALEMBANG No Dokumen No.Revisi Halaman :
…………. …………….. 52
Ditetapkan Oleh,
Panduan Praktek Tanggal Revisi Ketua Divisi Neurologi
Klinis ………………..
Definisi Trauma kepala pada anak adalah keadaan yang disebabkan jejas pada
kepala baik disertai maupun tidak disertai lesi pada isinya.
Trauma kepala yang bermakna adalah trauma yang diikuti oleh satu atau
lebih hal sebagai berikut :
Periode tidak sadar
Muntah-muntah
Fraktur tengkorak
Amnesia retrograd
Menurunnya derajat kesadaran
Adanya defisit neurologis lainnya (afasia, hemiparesis, refleks patologis,
kelumpuhan syaraf otak)
Nilai
Membuka mata :
Spontan 4
Terhadap bicara 3
Terhadap nyeri 2
Tidak ada
1
Respons motorik
Mengikuti perintah 5
Lokalisasi nyeri 4
Fleksi terhadap nyeri 3
Ektensi terhadap nyeri
2
Tidak ada
1
Respons verbal
Terorientasi 5
Kata-kata 4
Suara 3
Menangis
2
Tidak ada
1
Skor normal : - Lahir – 6 bulan 9
- 6-12 bulan 11
- 1-2 tahun 12
- 2-5 tahun 13
- > 5 tahun 14
Tatalaksana Perbaiki jalan nafas, bila perlu pernafasan buatan dan intubasi
Atasi kejang dan shock
Pemberian cairan intravena, diberikan 75% dari kebutuhan untuk
mengurangi edema otak
Obati edema otak dengan mannitol 20 % sebanyak 0,25-1
gram/kgBB/kali, diberikan perinfus selama 30-60 menit. Dan dapat
diulang setelah 8 jam, atau gliserol 10 % peroral dengan dosis 1
gram/kgBB (dibagi dalam 4 dosis selama 5 hari)
Antibiotika diberikan pada luka yang kotor
Toksoid tetanus diberikan sebagai profilaksis pada luka yang kotor dan
bila anak belum mendapat booster dalam 4 tahun
Pemberian nutrisi yang adekuat
observasi terhadap fungsi vital dan gejala neurologis
konsultasi
- Bagian bedah syaraf bila ada kecurigaan terhadap trauma kapitis
maligna
- Bagian bedah umum bila ada trauma di tempat lain (trauma thoraks,
trauma abdomen, dan fraktur).
Etiologi Trauma
Kriteria Diagnosis Penderita tidak atau kehilangan kesadaran sebentar (<10 mnt)
Disertai keluhan subyektif berupa mual, muntah, pusing atau sakit
kepala
Dengan atau tanpa amnesia (anterograd/retrograd), tidak lebih dari 1
jam
Tidak disertai defisit neurologis dan EEG normal
Pemeriksaan Sampai hari kelima pasca trauma dapat dijumpai absolut / relatif
Penunjang limfositopenia
Tatalaksana Pengobatan :
1. Perawatan
a. istirahat baring hingga semua keluhan hilang, kepala ditinggikan kira-
kira 300
b. lamanya perawatan tergantung keadaan klinis
c. perawatan terhadap luka / fraktur yang ada
d. kemudian mobilisasi secara berangsur-angsur
e. selama perawatan dilakukan observasi, paling sedikit 2x24 jam
terhadap kesadaran, tensi, nadi, pernafasan, gejala tekanan
intrakranial meningkat, defisit neurologis yang timbul progresif, pupil
mata.
2. Medikamentosa
a. Pengobatan terhadap luka dan perdarahan dengan antibiotika dan
ATS profilaksis
Pengobatan simptomatis hanya pada keadaan yang sangat
diperlukan/terpaksa dengan analgesik, anti muntah
Etiologi Trauma
Pemeriksaan EEG
penunjang
Tatalaksana 1. Perawatan
a. Istirahat baring total dengan posisi kepala ditinggikan kira-kira 300 dan
lamanya tergantung keadaan klinis.
b. Mobilisasi dilakukan secara berangsur
c. Perawatan terhadap luka/fraktur yang ada
d. Selama perawatan perlu diperhatikan : keadaan sistem
kardiovaskuler, sistem respirasi, pemberian cairan dan elektrolit,
nutrisi dan infeksi
2. Medikamentosa
a. Terapi osmotik : manitol 20% atau glicerol 10%
b. Terapi simptomatik : boleh diberikan anti muntah dan bila penderita
gelisah diberikan diazepam
c. Terapi profilaksis terhadap infeksi
d. Roborantia
Komplikasi Prognosis Prognosis baik jika anak tetap sadar setelah 48 jam
Gerakan deserebrasi dan hipotonia prognosis jelek
Etiologi Trauma
Patogenesis Hematoma terjadi akibat robekan vena dura, arteri meningea media dan
cabang-cabangnya, vena meningea media, vena emissaria yang kecil dari
duramater
Kriteria Diagnosis a. Setelah trauma didapatkan suatu periode bebas gejala yang disebut lucid
interval, beberapa hari/jam (tidak lebih dari 3 hari)
b. Kemudian disusul dengan penurunan kesadaran dan timbulnya gejala
fokal serebral progresif/gejala lateralisasi, pupil anisokor, kejang, defisit
neurologis
c. dilanjutkan dengan gejala peningkatan tekanan intrakranial
d. EEG abnormal
e. CT Scan lentiform
Pemeriksaan Rontgen kepala sering ditemukan fraktur linier pada sisi hematoma
Penunjang CT- scan kepala tampak hematoma berupa area hiperdens diantara tulang
tengkorak dengan durameter, gambaran berbentuk lentiform
Tatalaksana Begitu diagnosis ditegakkan segera kirim ke bagian bedah syaraf untuk
tindakan operasi segera.
Etiologi Trauma
Patogenesis Trauma kapitis merobek bridging veins dalam perjalanannya menuju sinus
dura, sebagian besar ditemukan bilateral di fronto parietal
Bentuk Klinis Mirip hematoma epidural bedanya perjalanan penyakit lebih lama, dapat
(Klasifikasi) beberapa hari, bulan atau lebih lama lagi
Komplikasi dan Prognosis tergantung penyebab dan luas lesi yang menekan otak
Prognosis Efusi subdural akibat infeksi mempunyai prognosis yang lebih baik dari
trauma
Lain-lain (Algaritma,
Protokol, Prosedur,
Standing Order)
FRAKTUR BASIS KRANII Kode ICD :
DEPARTEMEN IKA S02.1
RSMH PALEMBANG No Dokumen No.Revisi Halaman :
…………. …………….. 58
Ditetapkan Oleh,
Panduan Praktek Tanggal Revisi Ketua Divisi Neurologi
Klinis ………………..
Etiologi Trauma
Pemeriksaan CT Scan
Penunjang
Lain-lain (Algaritma,
Protokol, Prosedur,
Standing Order)
PERDARAHAN SUB ARACHNOID Kode ICD :
DEPARTEMEN IKA I60.9
RSMH PALEMBANG No Dokumen No.Revisi Halaman :
…………. …………….. 59
Ditetapkan Oleh,
Panduan Praktek Tanggal Revisi Ketua Divisi Neurologi
Klinis ………………..
Definisi Stroke adalah gangguan fungsi neurologis yang mendadak akibat lesi
vaskuler di otak yang menimbulkan gejala-gejala defisit neurologis
Pemeriksaan fisik Pemeriksaan fisik umum pada dasarnya ditujukan untuk mengevaluasi
faktor predisposisi
Pemeriksaaan neurologis, dicari adanya kelainan motorik, sensorik,
fungsi luhur, lapang pandang, serta kelumpuhan syaraf otak.
Pemeriksaan funduskopi adakah perdarahan retina, papil N. II yang
kabur
Lain-lain (Algaritma,
Protokol, Prosedur,
Standing Order)
SEREBRAL PALSI Kode ICD :
DEPARTEMEN IKA G80.9
RSMH PALEMBANG No Dokumen No.Revisi Halaman :
…………. …………….. 62
Ditetapkan Oleh,
Panduan Praktek Tanggal Revisi Ketua Divisi Neurologi
Klinis ………………..
Definisi Suatu kelainan gerakan dan postur yang tidak progresif, oleh karena suatu
kerusakan/gangguan pada sel-sel motorik pada susunan saraf pusat yang
sedang tumbuh/belum selesai pertumbuhannya
Etiologi 1. Pranatal
Infeksi intrauterin: TORCH, sifilis
Radiasi
Asfiksia intrauterin
Toksemia gravidarum
DIC
2. Perinatal
Anoksia/hipoksia
Perdarahan otak
Prematuritas
Postmaturitas
Hiperbilirubinemia
Gemelli
3. Postnatal
Trauma kepala
Meningitis/ensefalitis
Racun: logam berat, CO
Kriteria Diagnosis Riwayat prenatal, perinatal, gejala klinis, keterlambatan motorik kasar
Pemeriksaan penunjang
Komplikasi dan Makin baik bila manifestasi motornya lebih ringan dan manifestasi penyerta
Prognosis lebih sedikit
Etiologi Imunologis
Anamnesis Kelemahan otot yang bertambah berat pada siang dan sore hari atau
sesudah aktivitas
Pemeriksaan fisik Kelemahan pada otot muka dan mata : Ptosis, diplopia, disfagia
Kelemahan otot pernafasan yang bisa mengakibatkan gagal nafas
Kelemahan pada otot anggota gerak
Kriteria Diagnosis kelemahan otot (ptosis, kelemahan fleksi dan ekstensi leher serta
ekstremitas)
Pemeriksaan penunjang: Uji tensilon, EMG meningkatnya jitter value,
serologis (definitif) antibodi anti AchR
Komplikasi dan Sukar diramalkan, beberapa sembuh spontan dalam beberapa bulan sampai
Prognosis beberapa tahun, yang lain menderita penyakit permanen sampai dewasa.
Lain-lain (Algaritma,
Protokol, Prosedur,
Standing Order)
ATROFI CEREBRAL Kode ICD :
DEPARTEMEN IKA G31.9
RSMH PALEMBANG No Dokumen No.Revisi Halaman :
…………. …………….. 67
Ditetapkan Oleh,
Panduan Praktek Tanggal Revisi Ketua Divisi Neurologi
Klinis ………………..
Definisi Merupakan gejala umum dari banyak penyakit yang mempengaruhi otak.
Atropi menggambarkan hilangnya neuron dan hubungan di antaranya. Atropi
dapat digeneralisasi, yang berarti bahwa semua otak telah menyusut atau
dapat fokus, hanya mempengaruhi wilayah yang terbatas otak dan
mengakibatkan penurunan fungsi daerah kontrol otak
Pemeriksaan fisik Banyak penyakit yang menyebabkan atropi serebral berhubungan dengan
demensia, kejang, dan sekelompok gangguan bahasa yang disebut aphasia.
Demensia ditandai oleh gangguan progresif memori dan fungsi intelektual
yang cukup parah untuk mengganggu pekerjaan sosial dan keterampilan.
Memori, orientasi, abstraksi, kemampuan untuk belajar, persepsi visual-
spasial, dan fungsi eksekutif yang lebih tinggi seperti perencanaan,
pengorganisasian juga dapat terganggu.
Kejang dapat mengambil bentuk yang berbeda, muncul sebagai disorientasi,
gerakan aneh berulang-ulang, kehilangan kesadaran atau kejang-kejang.
Aphasia adalah sekelompok gangguan yang ditandai oleh gangguan dalam
berbicara dan memahami bahasa. Aphasia reseptif menyebabkan gangguan
pemahaman. Aphasia ekspresif tercermin dalam pilihan kata-kata aneh,
penggunaan parsial frase, klausa terputus-putus, dan kalimat-kalimat tidak
lengkap.
Kriteria Diagnosis Anamnesis
Pemeriksaan fisik
Pemeriksaan penunjang
Pemeriksaan CT Scan
Penunjang MRI
EEG
Tatalaksana Secara umum, simtomatik dan suportif. Dalam beberapa kasus, terapi obat
dapat meredakan beberapa gejala. Perawatan dengan mempertahankan
dan menstimulasi individu dapat meningkatkan kualitas hidup mereka
Lain-lain (Algaritma,
Protokol, Prosedur,
Standing Order)
HIDROCEPHALUS Kode ICD :
DEPARTEMEN IKA G91.9
RSMH PALEMBANG No Dokumen No.Revisi Halaman :
…………. …………….. 69
Ditetapkan Oleh,
Panduan Praktek Tanggal Revisi Ketua Divisi Neurologi
Klinis ………………..
Patogenesis Terdapat penyumbatan aliran LCS pada salah satu tempat antara tempat
pembentukan LCS dalam system ventrikel dan tempat absorpsi dalam
ruang sub arachnoid, sehingga terjadi dilatasi ruangan LCS di atasnya
Pemeriksaan fisik Pada bayi tampak pembesaran kepala yang abnormal, ubun-ubun besar
melebar dan menonjol, sutura melebar, “crackpot sign”, “sun set sign”, gagal
tumbuh, terlambatnya pertumbuhan motorik khususnya kekuatan leher.
Pada anak : gejala peningkatan tekanan intrakranial seperti sakit kepala,
muntah, letargi.
Tatalaksana Medikamentosa :
Indikasi : bila pembesaran ventrikel ringan dan stabil
Diberikan : Asetazolamid 40-75 mg/kgBB/hari
Operatif :
Indikasi : - hidrosefalus progresif
- pembesaran ventrikel sedang atau berat, umur dibawah 3 tahun
dipasang VP shunt
Edukasi Semua penderita dengan atau tidak dipasang shunt harus diobservasi
selama 2 tahun pertama dengan CT- scan pada bulan ke 12 dan 24 dan
selanjutnya dengan melihat kemampuan sekolah sesuai dengan umurnya
Lain-lain (Algaritma,
Protokol, Prosedur,
Standing Order)
SINDROMA NEUROKUTAN Kode ICD :
DEPARTEMEN IKA
RSMH PALEMBANG No Dokumen No.Revisi Halaman :
…………. …………….. 71
Ditetapkan Oleh,
Panduan Praktek Tanggal Revisi Ketua Divisi Neurologi
Klinis ………………..
Definisi Sindrom neurokutan mencakup lesi di kulit dan susunan syaraf, sering
disertai kelainan di mata dan visera. Sindrom yang tergolong kelainan ini di
antaranya tuberosklerosis, neurofibromatosis, penyakit Sturge-Weber, dan
ataxia telangiektasia
Pemeriksaan CT Scan
Penunjang Alfa feto protein ataxia telangiektasis
Pengobatan:
Mencakup pengobatan epilepsy dan penilaian fungsi intelektual.
Metilphenidat atau dekstroamfetamin dapat mengurangi hiperaktifitas.
Prognosis:
Sangat bervariasi. Dengan gangguan ringan (bentuk tidak komplit) prognosis
lebih baik.
Diagnosis:
Bila dijumpai nevus vascular pada muka yang disertai manifestasi epilepsy.
CT Scan : kalsifikasi intraKranial yang khas( tersusun seperti garis yang
paralel atau konvolusi seperti ular, menonjol di daerah oksipital)
Pengobatan:
Tergantung pada manifestasi klinis, misalnya antikonvulsan bagi epilepsy,
fisioterapi bila ada kelumpuhan, dan pemeriksaan mata untuk mendeteksi
glaucoma. Hemisferektomi dapat dipertimbangkan pada bayi usia satu tahun
dan serangan epilepsy yang tidak dapat dikontrol.
Diagnosis:
Biopsi tumor subkutan, pemeriksaan MRI atau CT scan menunjukkan
neurilemoma. Rontgen thoraKS dan abdomen menunjukkan neurofibroma di
mediastinum atau retroperitoneum.
Pengobatan:
Neurofibroma yang mengakibatkan kompresi pada syaraf perifer atau pada
medulla spinalis membutuhkan tindakan bedah untuk dibuang.
Diagnosis:
Depresi IgA dan IgE dalam serum, kadar alfafetoprotein dalam serum
meningkat, rontgen tengkorak (sinusitis kronik), rontgen paru (pneumonia,
bronchitis, dan bronkiektasis), CT scan (atropi serebelar).
Pengobatan:
Tidak ada pengobatan khusus