Anda di halaman 1dari 72

KEJANG DEMAM Kode ICD :

DEPARTEMEN IKA R 56.0


RSMH PALEMBANG No Dokumen No.Revisi Halaman :
…………. …………….. 1
Ditetapkan Oleh,
Panduan Praktek Tanggal Revisi Ketua Divisi Neurologi
Klinis ………………..

Dr. Msy. Rita Dewi, Sp.A(K)

Definisi Bangkitan kejang yang terjadi pada kenaikan suhu tubuh (suhu rektal di atas
38°C) yang disebabkan oleh suatu proses ekstrakranial.

Etiologi Demam yang disebabkan oleh infeksi ekstrakranial

Patogenesis Terdapat 3 faktor sebagai penyebab Kejang Demam :


 Imaturitas otak dan termoregulator
 Demam, dimana kebutuhan oksigen meningkat
 Predisposisi genetic  7 lokus kromosom (poligenik, autosom dominan )

Bentuk Klinis 1. Kejang Demam Sederhana


(Klasifikasi) Kejang demam yang berlangsung kurang dari 15 menit, umumnya berhenti
sendiri, berbentuk umum tonik, dan atau klonik, tanpa gerakan fokal, tidak
berulang dalam waktu 24 jam.
2. Kejang Demam Kompleks
Kejang demam dengan lama kejang >15 menit, kejang fokal atau parsial
satu sisi, atau kejang umum dengan frekuensi > 1 kali dalam 24 jam.

Anamnesis  Kejang : lama, frekuensi, sifat, tipe, interval, kondisi inter iktal dan post iktal
 Gejala sebelum kejang, termasuk riwayat demam, jarak demam dan
terjadinya kejang
 Riwayat trauma
 Riwayat kejang sebelumnya
 Riwayat kejang dalam keluarga
 Kelainan neurologis

Pemeriksaan fisis  Suhu > 38C


 Fokus infeksi (+) ekstrakranial, meliputi infeksi saluran nafas, saluran cerna,
saluran kemih, dsb.
 Status neurologis  defisit neurologis (-)

Kriteria Diagnosis Kejang yang didahului demam (suhu rektal > 38°C) yang bukan disebabkan
infeksi intrakranial

Differential diagnosis Kejang dengan demam yang disebabkan proses intrackranial misal meningitis,
meningoensefalitis, ensefalitis

Pemeriksaan 1. Pemeriksaan Laboratorium


Penunjang Tidak dikerjakan rutin tetapi dikerjakan untuk mengevaluasi sumber infeksi
penyebab demam atau keadaan lain.
2. Pungsi Lumbal
Dilakukan untuk menegakkan/menyingkirkan kemungkinan meningitis
3. EEG
Dilakukan pada kejang demam yang tidak khas misal KDK pada anak > 6
tahun atau kejang demam fokal
4. Pencitraan
Dilakukan pada papiledema, paresis N VI dan kelainan neurologis fokal
yang menetap (hemiparesis)
Tatalaksana Pengobatan Pada Saat Kejang
Diazepam rektal dapat diberikan di rumah. Dosis diazepam retal adalah:
 5 mg untuk anak dibawah usia 3 tahun atau dosis 7,5 mg untuk anak
diatas usia 3 tahun atau
 5 mg untuk berat badan kurang dari 10 kg dan 10 mg untuk berat badan
lebih dari 10 kg, atau 0,5 – 0,75 mg/kg BB/kali
Di rumah maksimum diberikan 2 kali berturut-turut dengan jarak 5 menit bila
anak masih kejang. Hati-hati dapat terjadi depresi pernapasan.
Diazepam juga dapat diberikan dengan suntikan intravena sebanyak 0,2 – 0,5
mg/kgBB. Berikan perlahan-lahan, dengan kecepatan 0,5 –1 mg per menit. Bila
kejang berhenti sebelum dosis habis, hentikan penyuntikan. Diazepam jangan
diberikan secara intramuskular karena tidak diabsorpsi dengan baik.
Bila anak masih kejang setelah pemberian diazepam maka dapat diberikan
fenitoin intravena sebanyak 20 mg/kgBB perlahan-lahan, dilanjutkan dengan
maintenance 10 mg/kgBB dibagi 2 dosis. Apabila dengan fenitoin masih tetap
kejang, rawat di Ruang Rawat Intensif dan diberikan tatalaksana sesuai status
epileptikus.

Setelah Kejang Berhenti


Bila kejang sudah berhenti, tentukan apakah anak termasuk dalam kejang
demam yang memerlukan pengobatan rumat atau cukup pengobatan intermiten.

Pengobatan Rumat
Pengobatan rumat adalah pengobatan yang diberikan secara terus menerus
dalam waktu tertentu.
1. Obat rumat yang dapat menurunkan risiko berulangnya kejang demam
hanya fenobarbital atau asam valproat. Semua obat antikonvulsan lain
tidak bermanfaat untuk mencegah berulangnya kejang demam.
2. Dosis valproat adalah 10-40 mg/kgBB/hari dibagi 2 – 3 dosis sedangkan
fenobarbital 3 – 5 mg/kgBB/hari dibagi 2 dosis.
3. Pengobatan rumat cukup diberikan selama satu tahun, kecuali pada kasus
yang sangat selektif (rekomendasi D)
4. Pemakaian fenobarbital setiap hari dapat menimbulkan gangguan perilaku
dan kesulitan belajar. Sedangkan pemakaian asam valproat pada usia
kurang dari 2 tahun dapat menyebabkan gangguan fungsi hati. Bila
memberikan valproate, periksa SGOT dan SGPT setelah 2 minggu, satu
bulan, kemudian tiap 3 bulan.
5. Pengobatan rumat hanya diberikan bila kejang demam menunjukkan salah
satu atau lebih gejala sebagai berikut :
 Kejang lama  15 menit.
 Anak mengalami kelainan neurologis yang nyata sebelum atau sesudah
kejang, misalnya hemparesis, paresis Todd, Cerebral Palsy, retardasi
mental, hidrosefalus.
 Kejang fokal.
 Bila ada keluarga sekandung atau orang tua yang mengalami epilepsy.
Pengobatan rumat tidak harus diberikan tetapi dapat dipertimbangkan dalam
keadaan :
1. Kejang berulang dua kali atau lebih dalam 24 jam.
2. Bila kejang demam terjadi pada bayi berumur kurang dari 12 bulan.

Catatan :
 Semua peneliti setuju bahwa kejang demam  15 menit merupakan indikasi
pengobatan rumat.
 Yang dimaksud dengan kelainan neurologis yang nyata misalnya
kelumpuhan, mikrosefali. Kelainan neurologis tidak nyata misalnya
keterlambatan perkembangan ringan bukan merupakan indikasi.
 Kejang fokal atau fokal menjadi umum menunjukan bahwa anak mempunyai
fokus organik di otak sisi kontralateral.
Tidak semua setuju bahwa kejang 2 kali atau lebih dalam 1 hari sudah
merupakan indikasi pengobatan rumat

Pengobatan Intermiten
Yang dimaksud dengan pengobatan intermiten adalah pengobatan yang
diberikan pada saat anak mengalami demam, untuk mencegah terjadinya
kejang demam. Terdiri dari pemberian antipiretik dan antikonvulsan.

Antipiretik
Tidak ditemukan bukti bahwa penggunaan antipiretik mengurangi risiko
terjadinya kejang demam. Namum kesepakatan Saraf Anak menyatakan bahwa
pengalaman menunjukan bahwa antipirtetik tetap bermanfaat. Antipiretik yang
dapat digunakan adalah :
 Parasetamol atau asetaminofen 10 – 15 mg/kgBB/kali diberikan 4 kali.
 Ibuprofen 10 mg/kgBB/kali, diberikan 3 kali.

Antikonvulsan pada saat demam


1. Pemakaian diazepam oral dosis 0,3 – 0,5 mg/kg setiap 8 jam pada saat
demam menurunkan risiko berulangnya kejang.
2. Dapat juga diberikan diazepam rectal dengan dosis 0,5 mg/kgBB/kali,
diberikan sebanyak 3 kali per hari.
Catatan :
Di Indonesia, dosis 0,3 – 0,5 mg/kg/8jam tersebut seringkali menyebabkan
sedasi yang cukup berat. Dosis yang dianjurkan adalah 0,5 mg/kgBB/hari
dibagi 4 dosis.
Fenobarbital, karbamazepin, fenitoin tidak berguna untuk mencegah kejang
demam bila diberikan secara intermitten. Fenobarbital dosis kecil baru
mempunyai efek antikonvulsan dengan kadar stabil di dalam darah bila telah
diberikan selama 2 minggu
Edukasi 1. Menyakinkan bahwa kejang demam umumnya mempunyai prognosis baik
2. Memberitahu cara penanganan kejang
3. Memberikan informasi mengenai kemungkinan kejang kembali
4. Pemberian obat untuk mencegah rekurensi memang efektif tetapi harus
diingat adanya efek samping obat

Komplikasi dan 1. Kemungkinan kecacatan atau kelainan neurologis


Prognosis Kemungkinan kecacatan tidak pernah dilaporkan
Kelainan neurologis pada sebagian kecil kasus yang terjadi pada kasus
kejang lama atau kejang berulang baik fokal atau umum
2. Kemungkinan kematian  tidak pernah dilaporkan
3. Kemungkinan berulangnya kejang demam
Faktor resiko berulangnya kejang demam :
a. Riwayat Kejang demam dalam keluarga
b. Usia < 12 bulan
c. Temperature yang rendah saat kejang
d. Cepatnya kejang setelah demam
Bila semua faktor tersebut ada kemungkinan berulangnya kejang demam
80%, sedang bila tidak terdapat faktor tersebut kemungkinan 10-15%.

Daftar kepustakaan 1. Child Neurology sixth edition chapter 13


2. The Epilepsies chapter 6
3. Pediatric Neurology : Principles and Practice chapter 42
4. Buku Ajar Neurologi Anak Bab 10
5. Konsensus Penatalaksanaan Kejang Demam
EPILEPSI Kode ICD :
DEPARTEMEN IKA G 40
RSMH PALEMBANG No Dokumen No.Revisi Halaman :
…………. …………….. 4
Ditetapkan Oleh,
Panduan Praktek Tanggal Revisi Ketua Divisi Neurologi
Klinis ………………..

Dr. Msy. Rita Dewi, Sp.A(K)

Definisi Manifestasi klinis lepasnya muatan listrik yang berlebihan di sel neuron otak yang bersi
gangguan fisiologi, biokimiawi, anatomis, atau gabungan factor-faktor tersebut.

a Epilepsi idiopatik
Etiologi penyebab tidak diketahui
b Epilepsi simptomatik
penyebab diketahui misal tumor otak, pasca trauma otak, panensefalitis
c\ Epilepsi kriptogenik
diduga ada penyebabnya tapi tidak diketahui

Patogenesis Faktor yang berperan dalam epilepsi :


a Gangguan pada membran sel neuron
b Gangguan pada mekanisme inhibisi prasinaps dan pasca sinaps
c Gangguan pada sel glia yang mengatur ion kalium ekstra seluler di sekitar
Neuron dan terminal presinaps
Klasifikasi
a Kejang parsial (fokal, lokal)
1. Parsial sederhana
2. Parsial kompleks
3. Kejang parsial menjadi tonik klonik umum secara sekunder
b Kejang umum
1. Absens
2. Mioklonik
3. Klonik
4. Tonik
5. Tonik klonik
6. Atonik atau astatik
Anamnesis
 Kejang: bervariasi tergantung lokasi gangguan elektrik pada otak,
berlangsung hanya beberapa detik hingga status epileptikus, berulang,
interiktal dan post iktal biasanya sadar.
 Suhu badan normal
 Riwayat trauma
 Riwayat kejang sebelumnya
 Riwayat kejang dalam keluarga
 Kelainan neurologis

Pemeriksaan Fisik  Suhu afebris


 Status neurologis

Kriteria Diagnosis 1. Adanya serangan kejang akibat gangguan fungsi otak yang bersifat
paroksismal dengan bangkitan spontan atau karena gangguan ringan lebih
dari 1(satu) kali/tahun dengan berbagai macam manifestasi klinik disertai
atau tidak disertai gangguan tingkat kesadaran.
2. Gambaran EEG yang abnormal dapat membantu menegakkan diagnosis.

Indikasi Rawat : Status Epileptikus


 Kejang tonik klonik umum (pallid syncope, cyanotic breath holding
Differential Diagnosis attacks, cataplexy
 Kejang absens umum (tic disorders)
 Kejang parsial kompleks (sleep walking, benign paroxysmal vertigo,
migrane related disorders)

Pemeriksaan Penunjang EEG dapat digunakan untuk mendiagnosis epilepsy hanya apabila kejang
terekam, dan ini sangat jarang karena kebanyakan anak-anak dengan epilepsi
memiliki frekuensi kejang yang jarang. Sebagian kecil anak-anak normal
memiliki aktivitas epileptiform pada EEG-nya tetapi belum pernah mengalami
kejang. Namun 40% pasien dengan epilepsi kronis tidak pernah menunjukkan
epileptiform pada EEG interiktal. Pencitraan otak tidak menjadi dasar untuk
mendiagnosis epilepsi

Tatalaksana Pengobatan :
 Mengatasi kejang
 Mencari faktor penyebab sindrom epilepsi
 Menghindari faktor pencetus terjadinya serangan
 Psikososial : memberikan penjelasan pada orang tua penderita tentang
perawatan anak dengan epilepsi
 Obat maintenance yang diberikan diusahakan hanya satu jenis dengan dosis
serendah mungkin dan dosis dapat dinaikkan dalam 3-4 hari.

Jenis obat yang sering diberikan yaitu :


1. Karbamazepin.
 Indikasi : bangkitan partial dan umum
 Dosis : 5-30 mg/kgBB/hari dimulai dengan dosis rendah dibagi
dalam 3 dosis
 Efek samping : diplopia, ataksia, mengantuk, pusing, ikterus,
anemia, sindroma Stevens Jhonson.
2. Asam Valproat
 Indikasi : semua jenis epilepsi
 Dosis : 10-60 mg/kgBB/hari dibagi 2-3 dosis
 Efek samping : nyeri perut, rambut rontok, peningkatan berat badan,
trombositopenia, hepatitis.
3. Difenilhidantoin
 Indikasi : bangkitan partial dan umum
 Dosis : 4-10 mg/kg/BB/hari dibagi 2 dosis
 Efek samping : hiperplasi gusi
4. Fenobarbital
 Indikasi : bangkitan partial umum, tonik
 Dosis : 3-5 mg/kgBB/hari dibagi 1-2 dosis
 Efek samping : mengantuk, gangguan sifat berupa hiperaktifitas,
hiperiritabilitas dan agresifitas, gangguan kognitif dan daya ingat.

Edukasi 1. Memberitahu cara penanganan kejang di rumah


2. Memberikan informasi mengenai kemungkinan kejang kembali
3. Penghentian pengobatan dilakukan setelah 2 tahun bebas kejang dan secara
perlahan – lahan
4. Menentukan obat yang dapat digunakan bersama-sama orang tua
Komplikasi dan Kejang yang berlangsung lebih dari 20-30 menit dapat menimbulkan kerusakan
Prognosis otak akibat hipoksia, keadaan ini jika ditambah lagi dengan hiperpireksia dan
hipotensi maka akan menimbulkan kerusakan di cerebellum

Daftar Kepustakaan 1. Buku Ajar Neurologi Anak bab 10


2. Child Neurology sixth edition chapter 13
3. The Epilepsies chapter 6
4. Pediatric Neurology : Principles and Practice chapter 42

Lain-lain (Algaritma, Tatalaksana Status Epileptikus


Protokol, Prosedur,
Standing Order)
DEPARTEMEN IKA UNPROVOKED SEIZURE Kode ICD :
RSMH PALEMBANG R 56.8
No Dokumen No.Revisi Halaman :
…………. …………….. 8
Ditetapkan Oleh,
Panduan Praktek Tanggal Revisi Ketua Divisi Neurologi
Klinis ………………..

Dr. Msy. Rita Dewi, Sp.A(K)

Definisi Kejang yang tidak berhubungan dengan adanya penyakit, demam, atau trauma
akut pada otak

Etiologi 1. Kriptogenik (tidak diketahui)


2. Remote symptomatik (malformasi/jejas otak sebelumnya)
3. Idiopatik (sindrom epilepsi genetik)

Patogenesis Ketidakseimbangan antara eksitator dan inhibitor pada jaringan neuron korteks
yang terjadi secara tiba-tiba

Kriteria Diagnosis Sangat ditentukan anamnesis. Jika telah dipastikan terdapat bangkitan diagnosis
sangat dipengaruhi keadaan pasien. Bila pemeriksaan neurologis dan status
mental normal maka dapat dilakukan pemeriksaan penunjang

Pemeriksaan Pemeriksaan laboratorium (pemeriksaan darah lengkap, elektrolit, BUN,


Penunjang kreatinin, glukosa), skrining toksikologi urin, punksi lumbal, EEG dan pencitraan.
Umumnya terdapat gejala-gejala yang sesuai dengan kelainan yang ditemukan,
kecuali pada usia dibawah 6 bulan yang lebih tersamar. EEG sebaiknya
dilakukan baik pada saat anak sadar dan tidur dan diberikan stimulasi fotik atau
hiperventilasi untuk memperakurat diagnosis

Tatalaksana Tujuan penatalaksanaan adalah menstabilisasi pasien, memastikan kejang, dan


menentukan penyebab bangkitan. Medikasi diberikan jika bangkitan timbul >15
menit, gambaran EEG abnormal, atau memiliki banyak faktor risiko tambahan
untuk terjadinya bangkitan tambahan (fokal, riwayat keluarga, riwayat kelainan
neurologis sebelumnya, pemeriksaan neurologis abnormal).

Daftar kepustakaan Pediatric Neurology: Principle & Practice fourth edition chapter 40
Child Neurology sixth edition chapter 13
The Epilepsies
SPASME INFANTIL Kode ICD :
DEPARTEMEN IKA G 40.4
RSMH PALEMBANG No Dokumen No.Revisi Halaman :
…………. …………….. 9
Ditetapkan Oleh,
Panduan Praktek Tanggal Revisi Ketua Divisi Neurologi
Klinis ………………..

Dr. Msy. Rita Dewi, Sp.A(K)

Definisi Merupakan sindrom epilepsi yang banyak ditemukan, sering diklasifikasikan


di dalam epilepsi mioklonik, yang muncul di masa perkembangan otak bayi
(tahun pertama kehidupan), khususnya usia 3-8 bulan.

Etiologi  Faktor prenatal dan prinatal: HIE, infeksi kongenital, kelainan


metabolisme bawaan tuberous sklerosis, prematuritas
 Faktor pascanatal: infeksi SSP, trauma kepala
 Tidak diketahui

Bentuk Klinis Berdasarkan etiologi ada 3 tipe :


(Klasifikasi)  Bentuk primer / kriptogenik
Perkembangan sebelum onset normal.
Faktor etiologi tidak jelas
 Bentuk sekunder / simptomatik
Perkembangan sebelum onset terganggu/sudah ada bangkitan-
bangkitan yang tidak khas
Faktor etiologi jelas:
- faktor prenatal dan prinatal: HIE, infeksi kongenital, kelainan
metabolisme bawaan tuberous sklerosis, prematuritas
- faktor pascanatal: infeksi SSP, trauma kepala
 Bentuk tersier /doubtfull
Perkembangan sebelum onset terganggu
Etiologi tidak jelas

Anamnesis  Waktu terjadinya  onset 3-7 bulan


 Riwayat keluarga  pada 3-6 % kasus
 Adanya kejang umum atau parsial

Pemeriksaan fisik  Spasme  fleksor, ekstensor atau campuran


 Defisit neurologis  kelumpuhan spastic, mikrosefali
 Retardasi mental

Kriteria Diagnosis 1. Kontraksi otot bilateral simetris yang timbul tiba-tiba


2. Adanya 3 bentuk bangkitan : fleksi, ekstensi dan campuran
3. EEG  hipsaritmia

Differential diagnosis Sindrom Lennox Gastaut

Pemeriksaan 1. EEG
Penunjang Gambaran khas adalah hipsaritmia, yaitu adanya gelombang-gelombang
“spike” dan lambat yang timbul di seluruh bagian korteks tetapi tidak
sinkron.
2. CT scan tidak khas
Tatalaksana  ACTH 40-80 Unit IM dalam 2 dosis
Dimulai dalam dosis besar selama 1-2 minggu, lama pengobatan
seluruhnya 4 minggu. Pengobatan dihentikan bila tidak ada
perbaikan klinis dalam 2 minggu.
Indikasi : pada kasus dimana tidak jelas ada kerusakan otak atau
spasme infantile idiopatik.
 Prednison 1-2 mg/kgBB/hari atau hidrokortison 10-20 mg/kgBB/hari
dibagi dalam 2-3 dosis. Lama dan indikasi sama dengan golongan
ACTH.
 Nitrazepam (mogadon). 0,1-2,2 mg/kgBB/hari dalam 2 dosis. Mula-
mula dosis rendah dan dinaikkan perlahan-lahan sampai kejang
terkontrol. Biasanya digunakan pada spasme infantile simptomatik.
 Klonazepam, dosis 0,025-0,15 mg/kgBB/hari dalam 2 dosis.
Digunakan pada tipe simptomatik.
 Asam valproat 10-40 mg/kgBB/hari. Dimulai dengan dosis rendah

Komplikasi dan Prognosis baik :


Prognosis  Kelompok primer
 Perkembangan mental dan motor normal sebelum onset
 Tidak ada kejang jenis lain
 Pengobatan dini
 Spasme hanya berlangsung beberapa bulan
Prognosis buruk :
 Kelompok sekunder
 Perkembangan mental dan motor abnormal sebelum onset
 Ada kejang jenis lain
 Onset sebelum 3 bulan

Daftar kepustakaan 1. Pediatric Neurology: Principles and Practice fourth edition


2. Child neurology sixth edition chapter 13
3. The epilepsies chapter 5
4. Buku ajar neurologi bab 10
SINDROMA LANDAU KLEFFNER Kode ICD :
DEPARTEMEN IKA F 80.3
RSMH PALEMBANG No Dokumen No.Revisi Halaman :
…………. …………….. 11
Ditetapkan Oleh,
Panduan Praktek Tanggal Revisi Ketua Divisi Neurologi
Klinis ………………..

Dr. Msy. Rita Dewi, Sp.A(K)

Definisi Suatu sindroma didapat yang terjadi pada anak usia 3-7 tahun, ditandai
dengan afasia (perkembangan bahasa dan motorik sebelumnya normal)
disertai abnormalitas EEG berupa spikes, gelombang tajam, atau spike dan
gelombang yang umumnya bilateral dan predominan pada regio temporal
dan parietal. Dikenal juga sebagai afasia epileptik didapat.
Etiologi Terbanyak adalah idiopatik
Penyebab lain:
- Proses intrakranial: tumor otak,trauma kepala, stroke,neurosistisirkosis
- Vaskulitis SSP
- Defisiensi rantai kompleks I mitokondria
- Polimikrogiria perisilvian

Bentuk Klinis Gejala Klinis


(Klasifikasi)  Regresi kemampuan berbahasa ekspresif dan reseptif
 Agnosia verbal auditorik
 Aktivitas abnormal epileptiform
 Kejang epileptik, terutama pada malam hari
 Hiperkinesia
 Gangguan tingkah laku: hiperaktif, agresif, depresi
 Gangguan perhatian

Anamnesis  Kejang terutama malam hari


 Regresi kemampuan bahasa ekspresif dan reseptif
 Gangguan tingkah laku dan perhatian

Pemeriksaan fisik  Keadaan umum baik


 Keadaan Spesifik: afasia, agnosia verbal auditorik, hiperkinesia

Kriteria Diagnosis  Afasia didapat dengan onset pada usia 3-7 tahun
 Gambaran EEG:
- Saat bangun adalah gelombang spike di daerah temporo-parietal
- Saat tidur: gelombang spike generalisata
 Riwayat kejang terutama pada malam hari (adanya electrical status
epilepticus in sleep - ESES)

Pemeriksaan  MRI untuk menyingkirkan tromboemboli serebrovaskuler, tumor otak,


Penunjang demielinisasi, penyakit neurodegeneratif, infeksi intrakranial
 EEG
 Tes audiometri
Tatalaksana  Medikamentosa
 Anti kejang: diazepam, valproat, benzodiazepin, etosuksimid
(fenobarbital, fenitoin dan karbamazepin tidak bermanfaat)
 Kortikosteroid:
- Prednison 2-5 mg/kgBB/hari po selama 6 bulan, lalu di-tappering
selama 3 bulan
- Metil prednisolon 20-30 mg/kgBB/hari iv selama 3-5 hari, selanjutnya
prednison 2 mg/kgBB/hari po, dan di-tappering selama 1-2 bulan
 ACTH 20-100 IU/m2 im/sc (dewasa 500-1000 IU/hari)
 Diet ketogenik
 Speech therapy
 Psikoterapi
 Terapi bedah: multiple subpial transection

Daftar kepustakaan Pediatric neurology: Principles and Practice fourth edition


Child neurology sixth edition chapter 13
The epilepsies chapter 7
Buku ajar neurologi bab 10

Lain-lain (Algaritma,
Protokol, Prosedur,
Standing Order)
BREATH HOLDING SPELL Kode ICD:
DEPARTEMEN IKA R.06.8
RSMH PALEMBANG No Dokumen No.Revisi Halaman :
…………. …………….. 13
Ditetapkan Oleh,
Panduan Praktek Tanggal Revisi Ketua Divisi Neurologi
Klinis ………………..

Dr. Msy. Rita Dewi, Sp.A(K)


Definisi Serangan nafas terhenti sejenak , kehilangan kesadaran, dapat berupa
sianotik dan jenis pucat

Etiologi Gangguan regulasi otonom sentral yang mungkin diturunkan secara


autosom dominan
Patogenesis  Breath Holding Spell jenis sianotik (cyanotic breath holding spell)
Berkurangnya aliran darah ke otak karena peninggian tekanan dalam
rongga dada
 Breath Holding Spell jenis pucat (Pallid/White breath holding spell)
Kegagalan sirkulasi akibat asistole yang disebabkan oleh reflex vagal

Bentuk Klinis  BHS jenis sianotik: diawali menangis akibat marah, takut, sakit, dan
(Klasifikasi) frustasi. Anak berancang-ancang mengangis kuat sebentar, menahan
napas saat ekspiras, membiru, tidak sadar, lemah (tonus otot hilang)
atau dapat kaku seluruh tubuh, kadang-kadang diikuti 2-3 sentakan
klonik dan mata membalik ke atas, kemudian anak bernapas lagi dan
sadar.
 BHS jenis pucat terjadi akibat benturan kepala, anak tiba-tiba menjadi
pucat, tidak sadar, dan lemas. Sesudah lemas, tubuh menjadi kaku,
kadang disertai sentakan klonik, mata melirik ke bawah

Anamnesis  Faktor pencetus  marah, takut, sakit, frustasi


 riwayat terbentur atau trauma
 Disertai atau tidak oleh sianosis
 Didahului atau tidak didahului oleh menangis
 Apnoe, kehilangan kesadaran
 Dapat disertai mata melirik ke bawah dan sentakan anggota gerak (jerk)

Pemeriksaan fisik  Sianosis atau pucat


 Badan kaku atau opistotonus

Kriteria Diagnosis Serangan terjadi setelah ada pencetus, sianosis, apnea dan kehilangan
kesadaran

Differential Diagnosis Epilepsi, penyakit jantung congenital, sinkop vasovagal

Pemeriksaan -
Penunjang

Tatalaksana Tidak ada pengobatan khusus karena tidak menyebabkan gangguan organik

Edukasi Menjelaskan kepada orangtua bahwa serangan ini tidak berbahaya, tidak
menyebabkan retardasi mental dan tidak menyebabkan epilepsi

Komplikasi dan Prognosis baik


Prognosis

Daftar kepustakaan Pediatric neurology : Principles and practices chapter 49


Buku ajar neurologi bab 10
DEPARTEMEN IKA MENINGITIS BAKTERIALIS Kode ICD :
RSMH PALEMBANG G.00
No Dokumen No.Revisi Halaman :
…………. …………….. 14
Ditetapkan Oleh,
Panduan Praktek Tanggal Revisi Ketua Divisi Neurologi
Klinis ………………..

Dr. Msy. Rita Dewi, Sp.A(K)

Definisi Peradangan pada selaput otak ditandai dengan peningkatan jumlah sel
polimorfonuklear dalam cairan serebrospinal dan terbukti adanya bakteri
penyebab infeksi dalam cairan serebrospinal

Etiologi  Neonatal : golongan Enterobacter terutama Escherichia coli, Streptococcus


grup B, Streptococcus pneumonia, Staphylococcus sp dan Salmonella sp
 Bayi 2 bln – 4 tahun : Haemophillus influenza tipe B, Streptococcus
pneumonia, Neisseria meningitidis
 Anak > 4 tahun : Streptococcus pneumonia, Neisseria meningitidis
 Kuman batang gram negative  Proteus, Areobacter, Enterobacter,
Klebsiella sp, Seprata sp

Patogenesis Merupakan proses yang kompleks, komponen – komponen bakteri dan


mediator inflamasi berperan dalam respon peradangan pada meningen yang
menyebabkan perubahan fisiologis dalam otak berupa peningkatan tekanan
intracranial dan penurunan aliran darah otak yang dapat mengakibatkan
timbulnya gejala sisa

Bentuk Klinis Gejala klinis :


(Klasifikasi) Tidak ada yang patognomonik untuk meningitis, bervariasi tergantung:
 Umur
 Lama sakit sebelum diperiksa
 Reaksi anak terhadap infeksi

Pada bayi sukar didiagnosis dini. Gejala klinis pada bayi :


 Panas
 Hyperirritable
 Gangguan kesadaran
 Poor muscle tone
 Kejang
 UUB menonjol
 Muntah

Pada anak gejala klinisnya :


 Gejala umum : panas, sakit kepala, nausea dan muntah, photophobia,
irritabilitas, letargi, gangguan kesadaran.
 Gejala Neurologis : GRM (tanda Kernig dan tanda Brudzinsky I & II,
kaku kuduk), kejang, UUB menonjol, penurunan kesadaran.

Anamnesis  Panas
 Penurunan kesadaran
 Kejang
 High pitch cry pada bayi
Pemeriksaan fisik  Suhu febris
 Penurunan kesadaran  GCS
 GRM (+)  kaku kuduk, Brudzinsky, Kernig
 Gangguan syaraf otak

Kriteria Diagnosis  Gejala klinis


 Pungsi lumbal

Differential diagnosis  Meningitis tuberkulosis


 Meningitis aseptik
 Encephalitis

Pemeriksaan a. Pemeriksaan darah tepi :


Penunjang  Leukositosis dengan pergeseran ke kiri
 LED meningkat
 Pemeriksaan CRP positif
b. LCS :
 Opalesen sampai keruh (stadium dini dapat jernih)
 Reaksi none dan pandy (+) satu atau lebih
 Jumlah sel ratusan sampai ribuan per mm3 cairan LCS, terutama
PMN, pedikel (-)
 Kadar glukosa menurun <40 mg/dl
 Kadar protein meningkat 100-500 mg/dl
 Kadar chlorida kadang-kadang merendah
 Mikrobiologi : sediaan langsung dengan pengecatan gram, kultur
dan resistensi test.

Tatalaksana 1. Kausal :
 Antibiotika diberikan sesuai dengan kuman penyebab dan mampu
melewati “Blood Brain Barrier”
 Beri antibiotika polifragmasi sebelum diketahui kuman penyebab.
 Ampisilin 300-400 mg/kgBB/hari dibagi dalam 4 dosis IV dan
kloramfenikol 75-100 mg/kgBB/hari dibagi dalam 4 dosis, maksimum 2
gram perhari. Lama pemberian 10-14 hari atau cefotaxim 200-300
mg/kgBB/hari IV dibagi dalam 3 dosis atau ceftriaxone 100
mg/kgBB/hari dosis tunggal (maksimum 4 gram/hari) diberikan 7-10
hari.
 Perubahan antibiotika selanjutnya tergantung dari hasil resistensi tes.
 Untuk mengatasi edema otak diberi kortikosteroid dexametason 0,2-
0,3 mg/kgBB/kali diberikan 3 kali sehari selama 4–5 hari.
 Untuk mencegah reaksi immunologis deksametason diberikan terlebih
dahulu sebelum pemberian antibiotika.
2. Suportif
 Pemberian cairan
Jenis cairan yang diberikan cairan 2:1 (Dekstrose 5%+NaCI 15%)
jumlah cairan pada hari pertama 70% dari kebutuhan maintenance.
 Nutrisi yang adekuat
 Kejang diatasi sesuai dengan penatalaksanaan kejang demam sampai
diketahui sekuele +/-
 Bila terjadi kenaikan tekanan intrakranial dengan tanda :
o Kesadaran menurun progresif
o Tonus otot meningkat
o Kejang yang tidak teratasi
o Fontanella menonjol
o Bradipnoe
o Tekanan darah meningkat
Diberikan manitol 20% dengan dosis 0,25-1 gram/kgBB/kali diberikan
perinfus selama 30-60 menit, dapat diulangi setelah 8 jam.
 Pemberian O2.
 Pembersihan jalan nafas
 Awasi ketat fungsi vital
 Perawatan atau follow up yang ketat 24-48 jam pertama untuk melihat
adanya “Sindroma Inapropriate Anti Diuretic Hormone” (SIADH).
Apabila ada SIADH dperlukan monitor kadar elektrolit dan berat badan,
manifestasi klinis SIADH sebagai berikut :
a. Retensi air
 Balans cairan positif
 Berat badan naik
 Tidak ada edema perifer
 Pitting edema di daerah sternum
b. Gejala sistem gastrointestinalis, anoreksia, nausea, muntah.
c. Gejala neurologik, letargi, pusing, kejang, perubahan pada pupil,
koma.
d. Laboratorium
- Hiponatremia (manifestasi klinis baru terlihat sesudah Na<125
mEq/L)
- Ureanitrogen dan kreatinin darah rendah
- Na urin > 20 mEq/L
- BD urin > 1,012

Apabila hiponatremia masih terus berlangsung sesudah retriksi cairan


(50% dari cairan maintenance) koreksi Na dengan rumus sebagai
berikut:

Na defisit dalam mmol = (135-Na os) x 0,6 x BB(kg)

Na defisit (ml) NaCI 15 % = Na defisit dalam mmol


2,55

Tindak lanjut :
 Mengawasi keseimbangan cairan dan elektrolit
 Pengukuran lingkaran kepala jika UUB belum menutup
 Setelah 48-72 jam pemberian antibiotika adekuat belum ada perbaikan
klinis yaitu berupa : keadaan umum memburuk, panas tetap tinggi,
kesadaran makin menurun, kejang sukar diatasi, maka harus dipikirkan
adanya komplikasi/pemberian antibiotika yang tidak teratur atau tidak
sensitif dan dilakukan pemeriksaan :
 Lumbal fungsi ulang
 Funduskopi
 Transiluminasi
 USG kepala jika UUB belum menutup
Komplikasi Komplikasi yang dapat segera timbul yaitu berupa :
danPrognosis
 Kenaikan tekanan intrakranial
 Nekrosis atau infark jaringan otak
 Ventrikulitis
 Gangguan nervus kranialis
 Sindroma inappropriate antidiuretik hormone (SIADH)
 Subdural empiema
 Abses serebri

Komplikasi lebih lanjut dapat berupa :

 Gangguan mental, pendengaran, penglihatan


 Hidrosefalus komunikan
 Gangguan tingkah laku
 Gangguan vestibular
 Hemiparesis atau kuadriparesis
 Epilepsi

Setelah pemberian antibiotik selama 7-10 hari bila klinis sudah baik dan hasil
pemeriksaan LCS sudah normal, penderita dipulangkan. Jika klinis baik
namun pemeriksaan LCS belum normal tapi ada perbaikan dibandingkan LP
pertama (jumlah sel 60-120 per mm3) antibiotika diteruskan sampai dengan
14 hari untuk pemakaian Ampisilin & Kloramfenikol, 10 hari untuk Cefotaxim &
Ceftriakson jika klinis tetap baik penderita dipulangkan dan kontrol ke poliklinik
anak

Skoring yang dibuat Herson dan Todd untuk menentukan prognosis :

 Kesadaran koma :3
 Suhu badan kurang dari 36, 6 0C :2
 Kejang :2
 Shock (TD sistole kurang dari 60 mmHg) :2
 Umur kurang dari 1 tahun :1
 WBC pada LCS kurang dari 1.000 :1
 Hb kurang dari 11 gram :1
 Glukosa pada LCS kurang dari 20 mg/dl : 0,5
 Gejala sudah lebih dari 3 hari : 0,5

Resiko menjadi tinggi bila skoring total lebih dari 4,5

Daftar kepustakaan Child neurology sixth edition chapter 6


Pediatric neurology : Principles and practice chapter 63
Buku ajar neurology bab 16
Neurology of the newborn capter 21

Lain-lain (Algaritma,
Protokol, Prosedur,
Standing Order)
MENINGITIS TUBERKULOSA Kode ICD :
DEPARTEMEN IKA A 17.0
RSMH PALEMBANG No Dokumen No.Revisi Halaman :
…………. …………….. 18
Ditetapkan Oleh,
Panduan Praktek Tanggal Revisi Ketua Divisi Neurologi
Klinis ………………..

Dr. Msy. Rita Dewi, SpA(K)

Definisi Radang selaput otak akibat komplikasi tuberkulosis primer. Fokus primer
dapat berasal dari paru (terutama), kelenjar getah bening atau tulang

Etiologi Mycobacterium tuberculosis

Patogenesis Pembentukan tuberkel di otak, selaput otak atau medulla spinalis yang
diakibatkan penyebaran basil hematogenselama infeksi primer atau selama
perjalanan tuberculosis kronik ( walaupun jarang ). Terlepasnya basil dan
antigennya dari tuberkel yang pecah akibat rangsangan trauma atau faktor
imunologis akan menimbulkan meningitis. Basil akan masuk ke ruangan sub
arachnoid menimbulkan reaksi peradangan yang menyebabkan perubahan
dalam cairan liquor cerebrospinal. Reaksi peradangan mula-mula timbul di
sekitar tuberkel yang pecah yang kemudian tampak jelas di selaput otak pada
dasar otak dan ependim.

Anamnesis  Riwayat demam tidak terlalu tinggi, rasa lemah, anoreksia, mual, muntah,
sakit kepala ± 2 minggu sebelum timbul manifestasi neurologis
 Kejang bersifat umum dan intermiten
 Kesadaran menurun
 Riwayat kontak TB atau menderita TB

Bentuk Klinis a. gejala umum sistemik :


(Klasifikasi)  demam
 anoreksia
 berat badan turun
 keringat malam
 malaise

b. gejala khusus : sesuai dengan organ yang terkena


Gejala klinis meningitis tuberkulosa terdiri beberapa stadium :
a. Stadium I (prodormal) gejala tidak khas
 Kenaikan suhu yang ringan
 Apatis
 Tidak nafsu makan
 Mual, muntah
 Sakit kepala ringan

b. Stadium II (transisi) timbulnya tanda dan gejala neurologis


 Tanda-tanda rangsang meningeal meningkat
 Seluruh tubuh kaku
 Refleks tendon menjadi tinggi
 Peningkatan tekanan intrakranial
 Kelumpuhan saraf otak
 Gangguan bicara
 Disorientasi
 Hemiplegia
 Ataksia
 Gerakan involunter
c. Stadium III (terminus) meningkatnya disfungsi serebral difus
 Penurunan kesadaran sampai koma
 Postur deserebrasi dekortikasi
 Pernafasan tidak teratur (cheyene stokes)
 Dilatasi pupil dan tidak bereaksi sama sekali

Pemeriksaan fisik  Ubun-ubun besar membonjol pada bayi


 Tanda peningkatan tekanan intrakranial
 Gejala rangsang meningeal positif
 Gangguan syaraf otak

Kriteria Diagnosis 1. CT-Scan Kepala : ditemukan tuberkuloma hidrosefalus


2. Uji tuberkulin
3. Riwayat kontak dengan penderita TBC dewasa
4. Diagnosa pasti : ditemukan basil tahan asam dalam sediaan hapus dan
biakan LCS

Differential diagnosis  Meningitis bakterialis


 Meningitis aseptik
 Encephalitis

Pemeriksaan 1. Laboratorium (LCS) :


Penunjang - jernih opalesen/kekuningan (xantocrom)
- jumlah sel meninggi, tapi jarang yang melebihi 1000 mm 3, dengan
limfosit MN>PMN
- kadar protein meningkat (>300 mg/100 ml)
- kadar glukosa menurun (<40 mg/100ml)
- kadar klorida (680 mg 100 ml)
- bila LCS didiamkan timbul: fibrinous web (pedikel) yang
merupakan tempat tersering ditemukan hasil kuman TBC

2. Foto thoraks : tidak selalu khas


 Pembesaran kelenjar hilus paratrakheal dan mediastinum
 Atelektasis
 Konsolidasi efusi pleura
 Kavitas
 Emfisema lobus
 Gambaran milier

3. Jika terbukti meningitis tuberkulosis, konsul boks paru untuk mencari


fokus infeksi primer

Tatalaksana 1. Pengobatan penunjang simptomatik :


 anti konvulsan
 antipiretika
 analgetika
2. Pengobatan suportif :
 pemberian cairan
 jenis cairan: cairan 2 : 1 (Dekstrosa 5% + NaCI 15%)
jumlah cairan pada hari pertama 70% dari kebutuhan maintenance
 nutrisi yang adekuat
 pemberian O2 dan pembebasan jalan nafas
 posisi diubah-ubah
 bila edema otak diterapi sesuai dengan talaksana edema otak
3. Obat Anti Tuberkulosis
 INH : 10-15 mg/kgBB/hari, maksimum 300 mg, selama 9-12 bulan
 Rifampisin 10-15 mg/kgBB/hari, maksimum 600 mg/hari, single dose
1 jam sebelum makan selama 9-12 bulan
 Pirazinamid : 20-35 mg/kgBB/hari, makimum 2 gram/hari selama 2
bulan
 Etambutol : 10-15 mg/kgBB/hari, selama 9 bulan atau
 Streptomisin : 20-50 mg/kgBB/hari, maksimum 750 mg/hari selama 1
bulan
4. Kortikosteroid :
Prednison : 1-2 mg/kgBB/hari dalam 3 dosis secara oral selama 1-3
bulan, kemudian diturunkan 1 mg setiap 1-2 mingu selama 1 bulan
5. Fisioterapi

Komplikasi dan Prognosis


Prognosis  Pasien yang tidak diobati biasanya meninggal dunia
 Tergantung pada stadium penyakit saat pengobatan dimulai dan umur
pasien, pasien berumur < 3 tahun mempunyai prognosis yang lebih buruk
Komplikasi
 Mata  atrofi optic dan kebutaan
 THT  gangguan pendengaran dan keseimbangan
 Sequel neurologis minor  kelainan syaraf otak, nistagmus, ataksia,
ganguan pada koordinasi dan spastisitas
 Kelainan pituitary dan hipotalamus  prekoks seksual,
hiperprolaktinemia, defisiensi ADH, hormon pertumbuhan, kortikotropin
dan gonadotropin

Daftar kepustakaan Child neurology sixth edition chapter 6


Pediatric neurology : Principles and practices chapter 63
Neurology of the newborn chapter 21
Buku ajar neurologi bab 10

Lain-lain (Algaritma,
Protokol, Prosedur,
Standing Order)
MENINGITIS ASEPTIK Kode ICD :
DEPARTEMEN IKA A 87
RSMH PALEMBANG No Dokumen No.Revisi Halaman :
…………. …………….. 21
Ditetapkan Oleh,
Panduan Praktek Tanggal Revisi Ketua Divisi Neurologi
Klinis ………………..

Dr. Msy. Rita Dewi, SpA(K)

Definisi Infeksi pada meningen yang disebabkan virus

Etiologi Penyebab yang sering : Herpes simpleks.arbovirus, Eastern and western


Equine St Louis encephalitis.
Penyebab yang jarang : Enterovirus, parotitis, Adenovirus, Lassa virus,
Rabies, Cytomegalovirus

Patogenesis Virus masuk melalui kulit, saluran pernafasan dan saluran pencernaan,
menyebar ke seluruh tubuh dengan cara :
 Setempat : infeksi terbatas di selaput lender permukaan atau organ
tertentu
 Hematogen primer : virus masuk ke darah yang menyebar le organ
 Hematogen sekunder : virus menyebar ke organ lain
 Penyebaran melalui syaraf : virus berkembang di selaput lender dan
menyebar melalui syaraf

Bentuk Klinis Gejala klinik : demam, sakit kepala, mual, muntah, letargi, GRM (+) (kaku
(Klasifikasi) kuduk, tanda kernig dan brudzinsky)

Pemeriksaan Laboratorium :
Penunjang  Darah tepi : normal
 LCS : - jernih
- jumlah sel 20 sampai beberapa ribu/mm3
- protein normal atau sedikit meningkat
(50-200 mg/dl)
- glukosa normal (>50 mg/dl)
Untuk menyingkirkan meningitis TBC dilakukan
 mantoux test atau BCG test
 foto thoraks

Tatalaksana  simptomatik
 antibiotika profilaksis diberikan ampisilin dan kloramfenikol sampai
diketahui faktor penyebabnya.

Daftar kepustakaan Child neurology sixth edition chapter 6


Pediatric neurology : Principles and practices chapter 64
Neurology of the newborn chapter 21
DEPARTEMEN IKA ENSEFALITIS Kode ICD :
RSMH PALEMBANG A.86
No Dokumen No.Revisi Halaman :
…………. …………….. 22
Ditetapkan Oleh,
Panduan Praktek Tanggal Revisi Ketua Divisi Neurologi
Klinis ………………..

Dr. Msy. Rita Dewi, SpA(K)

Definisi Peradangan pada jaringan otak

Penyebab yang sering : Herpes simpleks.arbovirus,Eastern and western


Etiologi Equine St Louis encephalitis.
Penyebab yang jarang : Enterovirus, parotitis, Adenovirus, Lassa virus,
Rabies, Cytomegalovirus

Patogenesis Virus masuk melalui kulit, saluran pernafasan dan saluran pencernaan,
menyebar ke seluruh tubuh dengan cara :
 Setempat : infeksi terbatas di selaput lender permukaan atau organ
tertentu
 Hematogen primer : virus masuk ke darah yang menyebar le organ
 Hematogen sekunder : virus menyebar ke organ lain
 Penyebaran melalui syaraf : virus berkembang di selaput lender dan
menyebar melalui syaraf

Anamnesis Gejala dapat ringan sampai berat, tergantung jenis virus dan jaringan otak
yang terkena.
 Panas mendadak tinggi (sering dengan hiperpireksia)
 Sakit kepala
 Nausea dan muntah
 Kesadaran cepat menurun (letargia, stupor, dan koma)
 Kejang umum/fokal/twitching
 Afasia, hemiparesis
 Adanya riwayat penyakit primer dapat membantu diagnosis. Misalnya
Mump, morbili, varicella

Pemeriksaan fisik  Demam tinggi


 GCS menurun
 Ruam kulit pada ensefalitis karena enterovirus, varisela zoster
 Defisit neurologis: paresis, paralisis, afasia, ataxia, paralisis syaraf
otak

Kriteria Diagnosis Adanya trias demam tinggi, penurunan kesadaran, dan kejang, tanpa
adanya tanda-tanda peningkatan tekanan intrakranial

Differential diagnosis  Meningitis TB


 Sindroma Reye
 Abses otak
 Tumor otak
 Ensefalopati
Pemeriksaan 1. Laboratorium (LCS)
Penunjang  Sering dalam batas normal (warna jernih, kadar protein dan
glukosa normal)
 Dapat juga jumlah sel sedikit meningkat, kadar protein sedikit
meningkat (50-200) dan kadar glukosa biasanya normal, pandy (-)
atau (+)
 Diagnosis pasti dengan mengisolasi virus dari LCS.
2. EEG
Sering menunjukkan aktivitas listrik yang merendah sesuai dengan
kesadaran yang menurun

Tatalaksana Terapi kausal tidak ada, karena umumnya disebabkan oleh virus, hanya
diberikan pengobatan simptomatis dan suportif.
1. Simptomatik
 Kejang diatasi sesuai dengan tatalaksana kejang
 Hiperpireksia diatasi dengan:
a. surface cooling : es ditempatkan pada pembuluh darah besar
yang letaknya superfisial
b. antipiretika
c. meniup udara/mendinginkan udara sekitarnya.
d. hibernasi, diberikan klorpromazin 2 mg/kgBB/hari atau
prometasin 4 mg/kgBB/hari secara IV atau IM dalam tiga kali
pemberian
 Untuk mengatasi edema otak diberikan kortikosteroid
deksametason 0,2-0,3 mg/kgBB/kali dalam 3 kali pemberian,
selama 4-5 hari.
2. Suportif
 Pemberian cairan : dilakukan retriksi cairan, jenis cairan diberikan
cairan (Dekstrose 5 % + NaCI 15%), dengan perbandingan 2 : 1.
jumlah cairan pada hari pertama 70 % dari kebutuhan
maintenance.
 Bila edema otak diterapi sesuai penatalaksanaan edema otak
 Pemberian O2 dan pembebasan jalan nafas
 Posisi diubah-ubah
 Nutrisi yang adekuat
4. Profilaksis antibiotika
Beri PP 50.000 IU/kgBB/hari dan Kloramfenikol 75 mg/kgBB/hari
dibagi 3-4 dosis, atau ampisilin 100 mg/kgBB/hari dibagi 3-4 dosis
dan Gentamisin 5 mg/kgBB/hari dibagi 2 dosis. Diberikan sampai 10
hari. Jika masih panas 3 hari setelah pengobatan fikirkan komplikasi
atau antibiotikanya tidak adekuat.
Tindak lanjut
 Mencari dan mengobati penyakit penyerta
 Fisioterapi bila sekuelle (+). Dilakukan 1 minggu tidak panas

Daftar kepustakaan Child neurology sixth edition chapter 6


Pediatric neurology : Principles and practices fourth edition chapter 64
Buku Ajar Neurologi

Lain-lain (Algaritma,
Protokol, Prosedur,
Standing Order)
SUB ACUTE SCLEROSING Kode ICD :
DEPARTEMEN IKA PANENCEPHALITIS A.81.1
RSMH PALEMBANG
No Dokumen No.Revisi Halaman :
…………. …………….. 24
Ditetapkan Oleh,
Panduan Praktek Tanggal Revisi Ketua Divisi Neurologi
Klinis ………………..

Dr. Msy. Rita Dewi, SpA(K)

Definisi SSPE adalah penyakit peradangan yang progresif susunan saraf pusat
yang disebabkan oleh infeksi virus campak menetap.

Etiologi Virus Morbili

Patogenesis Mekanisme yang jelas belum diketahui dengan pasti. Diperkirakan setelah
infeksi akut virus morbili hidup dalam bentuk inaktif dalam sel

Bentuk Klinis Dibagi menjadi 4 stadium :


(Klasifikasi)  Stadium I
Gangguan psikointelektual berupa gangguan mental dan kepribadian.
Pasien tampak labil, kemampuan belajar menurun, mudah lupa, letargi,
depresi. Stadium berlangsung 6 bulan
 Stadium II
Adanya kejang dan kerusakan motor. Kerusakan ekstrapiramidal
meliputi koreoatetosis, dan balismus
 Stadium III
Adanya koma dan opistotonus, spastisitas, gangguan syaraf otonom.
Stadium berlangsung kurang dari 6 bulan, kebanyakan meninggal pada
stadium ini
 Stadium IV
Hilangnya fungsi korteks cerebri, mutism dan disfungsi otonom.
Berlangsung 1-10 tahun

Anamnesis - Didahului oleh riwayat morbili tipikal, sembuh total tanpa komplikasi
beberapa tahun sebelum onset.
- Keluhan yang sering ditemukan:
- Jatuh/tersentak
- Kemunduran intelegensi
- Penyakit psikiatrik
- Paresis/paralisis
- Gangguan bicara

Pemeriksaan fisik Sesuai dengan stadium yang dialami

Kriteria Diagnosis  Gejala klinis sesuai stadium


 Titer antibody morbili dalam darah dan LCS
 EEG
 LCS

Pemeriksaan EEG : Tahap awal EEG normal atau perlambatan non spesifik
Penunjang Pada stadium II : gambaran supression burst pattern/periodic
slow wave complexes (PSWC)
Pada stadium lanjut : abnormal/bervoltase rendah
Darah: titer antibodi morbili 1/124-1/2048
LCS : jernih, sel normal, glukosa normal, protein normal/sedikit
meningkat. Titer antibodi morbili 1/8 s/d 1/64
MRI : Berguna untuk menilai progresifitas penyakit dan pengaruh
pengobatan. Tampak gambaran lekoensefali pada intensitas signal T2
pada substansia alba, batang otak maupun serebelum.

Tatalaksana - Belum ada pengobatan yang memuaskan


- manfaat isoprinosin 100 mg/kgBB/hari, interferon intraventrikel masih
kontroversial
- bila ada kejang mioklonik dapat diberikan antikonvulsan karbamazepin,
asam valproat/pirimidon
- pemberian nutrisi yang baik, pengobatan infeksi sekunder dan suportif

Komplikasi dan Fatal, pada umumnya penderita meninggal 6 bl – 3 th setelah gejala timbul.
Prognosis Dilaporkan 5% sembuh spontan

Daftar kepustakaan Child neurology sixth edition chapter 6


Pediatric neurology : Principles and practices fourth edition chapter 64
Buku Ajar Neurologi bab 20

Lain-lain (Algaritma,
Protokol, Prosedur,
Standing Order)
ABSES OTAK Kode ICD :
DEPARTEMEN IKA G06.0
RSMH PALEMBANG No Dokumen No.Revisi Halaman :
…………. …………….. 26
Ditetapkan Oleh,
Panduan Praktek Tanggal Revisi Ketua Divisi Neurologi
Klinis ………………..

Dr. Msy. Rita Dewi, SpA(K)

Definisi Terdapatnya timbunan nanah yang terlokalisasi di dalam jaringan otak baik
disertai atau tidak disertai oleh pembentukan kapsul

Etiologi Berdasarkan etiologi penyebab :


1. organism anaeobik : gram (-): E. coli, Haemophilus influenza, Proteus,
Peudomonas, dan gram (+): Streptococcus, Staphylococcus,
Pneumococcus
2. Fungi : Candida
3. Parasit : E. Histolytica

Patogenesis 1. Penyebaran langsung dari fokus infeksi yang berdekatan dengan otak
2. Metastasis fokus jauh
3. Trauma tembus kepala
4. Pasca operasi kepala
5. Sumber infeksi tidak diketahui

Anamnesis Demam, kejang, defisit neurologis yang progresif, tanda-tanda peningkatan


tekanan intrakranial, lateralisasi.
Riwayat sinusitis, otitis, mastoiditis, gingivitis, pulpitis, trauma kepala, fokal
infeksi diabdomen, rongga panggul, infeksi paru, operasi tulang, meningitis
dan kelainan jantung bawaan serta penyakit jantung rematik

Pemeriksaan fisik Manifestasi abses otak :


 Peningkatan tekanan intracranial berupa sakit kepala, muntah,
papiledema
 Supurasi intracranial berupa iritabel, drowsiness, stupor, rangsang
meningeal
 Infeksi berupa demam, menggigil, leukositosis
 Tanda lokal jaringan otak berupa kejang, gangguan syaraf cranial,
afasia, ataksia, paresis

Kriteria Diagnosis  Gejala klinis


 EEG : gelombang delta yang bersifat fokal
 Labolatorium  LED meningkat, leukositosis
 CT Scan (definitif)  tampak focus abses

Pemeriksaan  Darah rutin : tanda infeksi akut atau normal


Penunjang  EEG : gelombang delta yang bersifat fokal
 Rontgen kranium : tanda-tanda tekanan intrakranial meningkat.
 CT- scan kepala dengan kontras : khas gambaran ring of enhancement

Tatalaksana Dilakukan tindakan bedah bila:


 Ukuran abses besar (>2 cm)
 Letak abses bukan di basal ganglia
 Jumlah abses hanya satu atau abses multiple dengan ukuran besar
Tindakan yang dilakukan adalah aspirasi atau pengeluaran abses beserta
kapsulnya. Diberi antibiotika sesuai hasil kultur, sementara menunggu hasil
kultur diberikan
 Ampisilin 200 mg/kgBB/hari
 Kloramfenikol 75 mg/kgBB/hari, sampai 4-6 minggu
 Metronidazol 30-50 mg/kgBB/hari
 Kortikosteroid

Komplikasi dan Prognosis tinggi pada pasien dengan perjalanan penyakit yang cepat
Prognosis Pasien dengan gejala lebih dari 2 minggu dan abses berkapsul, soliter serta
superfisial mempunyai prognosis yang lebih baik
Prognosis buruk pada :
 Pasien koma preoperative
 Pasien dengan gangguan imunitas
 Abses multiple, letak dalam
 Terjadi pada umur muda

Daftar kepustakaan Child neurology sixth edition chapter 6


Pediatric neurology : Principles and practices chapter 10
Buku Ajar Neurologi bab 10

Lain-lain (Algaritma,
Protokol, Prosedur,
Standing Order)
ENSEFALOMIELITIS DISEMINATA AKUT Kode ICD :
DEPARTEMEN IKA G04.0
RSMH PALEMBANG No Dokumen No.Revisi Halaman :
…………. …………….. 28
Ditetapkan Oleh,
Panduan Praktek Tanggal Revisi Ketua Divisi Neurologi
Klinis ………………..

Dr. Msy. Rita Dewi, SpA(K)

Definisi Penyakit autoimun yang menyebabkan terjadinya demielinisasi sehingga


mempengaruhi otak dan medulla spinalis, bersifat monofasik dan jarang
melibatkan syaraf tepi.

Etiologi  Umumnya timbul setelah infeksi virus atau vaksinasi, antara lain:
- Penyakit virus spesifik: Epstein-Barr, Influenza A, Mumps,
Coronavirus.
- Setelah penyakit eksantematosa pada anak-anak ( Varisela, Campak).
- Setelah vaksinasi: Difteri, Influenza, Rabies, Cacar, Tetanus, Tifoid.
 Dapat timbul spontan, merupakan gejala prodromal subklinis infeksi virus
 Epidemiologi: Umumnya merupakan kelainan para/post infeksi

Patogenesis Kelainan ini timbul akibat adanya reaksi antigen antibodi. Virus akan
merangsang pembentukan antibodi oleh tubuh, akan bereaksi dengan sel
saraf atau jaringan saraf dan antigen dari protein virus.

Bentuk Klinis Kriteria Klasifikasi, menurut Tenembaum dkk:


(Klasifikasi) - Grup A : Bila lesi < 5 mm
- Grup B : Bila dijumpai ≥ 1 lesi ukuran > 5mm
- Grup C : Kelainan melibatkan talamus bilateral simetris
- Grup D : Leukoensefalitis Hemoragik Akut ( Lesi lebih besar dengan
dampak massa lebih besar dan dijumpai perdarahan)

Anamnesis  Riwayat infeksi virus 1 minggu sampai 1 bulan sebelumnya


 Akut : gejala penurunan kesadaran mendadak
 Subakut : gejala penurunan kesadaran yang tidak terlalu dalam,
timbul 1-3 bulan setelah infeksi virus.

Pemeriksaan fisik  Penurunan kesadaran


 Deficit neurologis

Bentuk Klinis  Gejala klinis yang sering dijumpai adalah gejala prodromal seperti:
demam, malaise, mialgia.
 Ditemui gejala neurologis multifokal 5-14 hari setelah infeksi virus
atau vaksinasi, antara lain: gejala awalnya sakit kepala, demam,
kelemahan. Selanjutnya dijumpai kelumpuhan saraf kranial, terutama
N. VII, kejang, hemiparese, ataksia, gejala ekstrapiramidal,
nistagmus, penurunan kesadaran (letargi sampai koma). Gejala
lainnya: perubahan tingkah laku.
 Gambaran patologis pada pasien ini seperti pada ensefalitis
eksperimental alergi, yaitu adanya fokus perivaskular demielinisasi
disertai serbukan sel radang pada substantia alba.
Kriteria Diagnosis  Gejala Klinis
 Pemeriksaan penunjang

Pemeriksaan  EEG  gambaran abnormal berupa perlambatan dan kadang


Penunjang tampak gelombang tajam dan paku individual.
 LCS  pleiositosis ringan dengan mononuklear dominan, disertai
kenaikan protein.
 CT Scan  fase awal normal, dan pada fase lanjut terlihat adanya
atrofi serebral
 MRI  edema substansia alba

Tatalaksana Terapi Imunologis: Kortikosteroid, Imunoglobulin intravena, Plasmaparesis

Komplikasi dan - Pada yang monofasik, self-limited.


Prognosis - Sembuh tanpa sekuele dalam waktu satu bulan: 50-60%
- Sembuh dengan sekuele neurologis (kejang): 20-30%
- Meninggal: 10-30%

Daftar kepustakaan Buku Ajar Neurologi bab 10


Pediatric Neurology : Principles and practice chapter 55

Lain-lain (Algaritma,
Protokol, Prosedur,
Standing Order)
TETANUS NEONATORUM Kode ICD :
DEPARTEMEN IKA A 33
RSMH PALEMBANG No Dokumen No.Revisi Halaman :
…………. …………….. 30
Ditetapkan Oleh,
Panduan Praktek Tanggal Revisi Ketua Divisi Neurologi
Klinis ………………..

Dr. Msy. Rita Dewi, SpA(K)

Definisi Penyakit dengan tanda utama kekakuan otot ( spasme ) tanpa disertai
gangguan kesadaran yang terjadi pada neonatus

Etiologi Clostridium tetani

Patogenesis Spora yang masuk ke tubuh berubah menjadi bentuk vegetatif dan
menghasilkan toksin. Toksin merambat dari tempat luka lewat motor
endplate dan aksis silinder syaraf tepi ke kornu anterior sumsum belakang
dan menyebar ke seluruh SSP. Toksin menyebabkan blokade pada simpul
yang menyalurkan impils pada tonus otot sehingga tonus otot meningkat dan
menimbulkan kekakuan. Bila tonus makin meningkat akan timbul kejang
terutama pada otot yang besar

Anamnesis  Pemotongan dan perawatan tali pusat yang tidak steril


 Bayi sulit atau tidak mau menetek
 Ibu tidak mendapat imunisasi TT selama hamil

Pemeriksaan fisik  Kejang rangsang, kejang spontan


 Trismus
 Mulut mencucu
 Kaku kuduk
 Perut papan
 Anggota gerak spastis
 Mungkin dengan demam dan sianosis
 Mungkin terdapat radang atau supurasi umbilikus

Kriteria Diagnosis  Anamnesis riwayat persalinan


 Gejala klinis

Differential diagnosis  Sepsis


 Meningitis

Tatalaksana  ATS 10.000 unit pada hari I : 1/3 SC sekitar pusat


1/3 IV
1/3 IM
 ATS 10.000 unit pada hari II IM
 Antibiotika : Ampisillin 100 mg/kgBB/hari dalam 3 dosis
Garamisin 5 mg/kgBB/hari dalam 2 dosis
 Antikonvulsan : Diazepam 8-10 mg/kgBB/hari dibagi 12 kali IV
 Kalau tidak ada diazepam dapat diberikan:
- fenobarbital 30 mg sebagai dosis awal dilanjutkan 6 x 15 mg p.o
- largaktil 10 mg sebagai dosis awal, dilanjutkan 6x2 mg p.o
 Tali pusat dibersihkan dengan H2O2 3 %

Edukasi Pemotongan tali pusat menggunakan alat steril


Suntikan TT pada ibu hamil
Komplikasi dan Prognosis ditentukan oleh masa inkubasi, period of onset, jenis luka dan
Prognosis status imunitas pasien. Pada tetanus neonatorum prognosis buruk

Daftar kepustakaan Buku ajar infeksi dan penyakit tropis


Neuromuscular Disorder of infancy chapter 13
Neurology of the Newborn chapter 21

Lain-lain (Algaritma, Penentuan derajat tetanus neonatorum (kriteria Chandra):


Protokol, Prosedur,
No Penilaian Skor
Standing Order)
1 Umur : < 6 hari 4
6-10 hari 2
> 10 hari 1

2 Kejang : Spontan 2
Rangsang 1

3 Sianosis 2

4 Suhu tubuh 380C atau lebih 1

5 Trimus / rhisus sardonikus 1

Penentuan derajat : I : skor 2-5


II : skor 6-7
III : skor 8-10
TETANUS ANAK Kode ICD :
DEPARTEMEN IKA A 35
RSMH PALEMBANG No Dokumen No.Revisi Halaman :
…………. …………….. 31
Ditetapkan Oleh,
Panduan Praktek Tanggal Revisi Ketua Divisi Neurologi
Klinis ………………..

Dr. Msy. Rita Dewi, SpA(K)

Definisi Penyakit dengan tanda utama kekakuan otot ( spasme ) tanpa disertai
gangguan kesadaran yang terjadi pada anak

Etiologi Clostridium tetani

Patogenesis Spora yang masuk ke tubuh berubah menjadi bentuk vegetative dan berbiak
menghasilkan toksin. Toksin merambat dari tempat luka lewat motor endplate
dan aksis silinder syaraf tepi ke kornu anterior sumsum belakang dan
menyebar ke seluruh SSP. Toksin menyebabkan blockade pada simpul yang
menyalurkan impils pada tonus otot sehingga tonus otot meningkat dan
menimbulkan kekakuan. Bila tonus makin meningkat akan timbul kejang
terutama pada otot yang besar

Bentuk Klinis Untuk menentukan derajat berat ringannya penyakit, dipakai kriteria menurut
(Klasifikasi) Cole dan Youngman (1969) sebagai berikut :

DERAJAT
NO KRITERIA
I II III
1 Masa >14 hari 10-14 hari < 10 hari
inkubasi
2 Onset 6 hari 3-6 hari < 3 hari
3 Trismus Ringan Sedang Berat
4 Disfagia (-) Ringan Berat
5 Kekakuan Lokal dekat Kekakuan Kekakuan umum
luka umum sejak sering
mendahului awal menyebabkan
kekakuan kesulitan
umum bernafas dan
asfiksia
6 Kejang Sebentar, Lebih berat, Cepat memberat,
umum tidak lebih sering, sering, lama,
mengganggu tidak menyebabkan
pernafasan menyebabkan kegagalan
dispnoe dan pernafasan dan
sianosis spasme laring

Anamnesis mencari “port’d entre” yaitu adanya luka, radang telinga dan karies dentis

Pemeriksaan fisik Trismus, kaku kuduk, opistotonus, perut papan, tak dapat jalan, atau jalan
seperti robot, kejang rangsang, kejang spontan. Tidak terdapat penurunan
kesadaran dan biasanya tidak panas
Kriteria Diagnosis  Anamnesis luka
 Gejala klinis

Differential diagnosis  Tetani


 Trismus karena proses local seperti mastoiditis, abses tonsilar, OMSK

Tatalaksana 1. Medikamentosa
 ATS pada hari I 20.000 IU diberikan perdrip dengan diencerkan 20 kali
dengan NaCI fisiologis. Sebelum pemberian harus dilakukan tes kulit
terlebih dahulu, bila positif maka dilakukan desentisasi dengan cara
besredka. Pada hari II ATS 20.000 IU diberikan IM
 Antibiotika PP 50.000 U /kgBB/hari selama 10 hari
 Antikonvulsan :
a. fenobarbital dosis awal 100 mg IM dan largactil dosis awal 30 mg
IM dilanjutkan oral : fenobarbital 6x30 mg/hari dan largactil 2-5
mg/kgBB/hari dibagi 6 dosis
b. diazepam dengan dosis inisial 0,2 mg/kgBB/kali IV, kemudian
diteruskan dengan 4-8 mg/kgBB/hari diberikan secara IV dalam 12
kali pemberian
Dosis antikonvulsan diturunkan secara bertahap sesuai dengan
perbaikan klinis.
 Antiseptik H2O2 3% untuk pencucian luka.
2. Suportif
 Mencegah terjadinya aspirasi, segera setelah pemberian antikonvulsan
dipasang sonde lambung, lambung dikosongkan, posisi kepala
dimiringkan
 Penderita diisolasi dan dijauhkan dari rangsangan terutama cahaya
yang berubah mendadak, bunyi dan sentuhan
 Makanan diberikan dalam jumlah sedikit tetapi sering, untuk mencegah
terjadinya regurgitasi
 Oksigen diberikan bila ada gangguan oksigenasi
Penderita dipulangkan setelah tidak ada kejang rangsang lagi, tidak spastis,
atau spastis ringan, telah dapat berjalan dan tidak ada kesulitan makan atau
penyulit lain

Edukasi Imunisasi DPT dilanjutkan TT


Obati luka dengan antiseptic

Komplikasi dan Prognosis ditentukan masa inkubasi, period of onset, jenis luka, status
Prognosis imunitas, letak jenis luka, dan luas kerusakan jaringan

Daftar kepustakaan Buku ajar Infeksi dan Penyakit Tropis


Neuromuscular disorder of infancy chapter 13
Neurology of the newborn chapter 21
ACUTE FLACCID PARALYSIS Kode ICD :
DEPARTEMEN IKA A.80.3
RSMH PALEMBANG No Dokumen No.Revisi Halaman :
…………. …………….. 34

Ditetapkan Oleh,
Panduan Praktek Tanggal Revisi Ketua Divisi Neurologi
Klinis ………………..

Dr. Msy. Rita Dewi, SpA(K)

Definisi Kasus AFP adalah semua anak berusia kurang dari 15 tahun dengan
kelumpuhan yang sifatnya flaccid (layuh), terjadi secara akut (mendadak /
<14 hari) dan bukan disebabkan oleh ruda paksa

Bentuk Klinis 1. Poliomielitis paralitika


(Klasifikasi) 2. Mielitis transversa
3. Guillain Barre Syndrom
4. Neuritis traumatika
5. Chronic Inflammatory Demyelinating Polineuropathy

Anamnesis  Kelumpuhan bersifat flaccid ( layuh ) yang terjadi < 14 hari


 Riwayat trauma disangkal
Riwayat trauma disangkal
Pemeriksaan fisik Tergantung bentuk klinis

Kriteria Diagnosis  Gejala klinis


 Pemeriksaan fisik
 Laboratorium

Pemeriksaan  LCS: pleositosis dengan sel-sel mononuklear dan protein yang normal
penunjang atau sedikit meningkat, glukosa biasanya normal
 EMG
 MRI

Tatalaksana 1. Segera lapor ke Dinas Kesehatan setempat (termasuk laporan KLB)


2. Suportif
 Istirahat selama fase akut. Bila keadaan berat istirahat mutlak 2
minggu
 Pengawasan ketat akan terjadinya paralise pernafasan
 Kepala anak diletakkan lebih rendah dan dimniringkan ke salah satu
sisi bila refleks menelan terganggu
3. Simptomatik
 Antipiretik bila demam
 Keteterisasi bila retensi urin
 Bantuan pernafasan mekanis bila paralise pernafasan di ruang
perawatan khusus
4. Pengambilan spesimen feses
Pengambilan spesimen 2x dengan interval 24 jam
Syarat : - berat feses > 8 gram
- tidak dalam keadaan kering
- suhu dalam kontainer pengiriman 0 0–80 C atau masih ada
cold pack yang baku
5. Fisioterapi
Dilakukan untuk mencegah atrofi, kontraktur dan kelemahan otot
POLIOMIELITIS PARALITIKA Kode ICD :
DEPARTEMEN IKA A 80.9
RSMH PALEMBANG No Dokumen No.Revisi Halaman :
…………. …………….. 35
Ditetapkan Oleh,
Panduan Praktek Tanggal Revisi Ketua Divisi Neurologi
Klinis ………………..

Dr. Msy. Rita Dewi, SpA(K)

Definisi Penyakit infeksi virus akut yang mengenai medulla spinalis dan batang otak

Etiologi Virus polio tipe Brunhilde, Lansing dan Leon

Bentuk Klinis  Paralisis residual berupa asimetris, atrofi otot dan deformitas. Refleks
(Klasifikasi) tendon berkurang atau hilang
 tak ada gangguan rasa raba
 nyeri otot yang sangat hebat
 tak ada gangguan fungsi kandung kemih

Dalam surveilans AFP yang tujuannya mencari kasus polio diagnosa pasti
polio dapat ditegakkan berdasarkan klasifikasi sbb :
1. Klasifikasi pada surveilens yang belum memenuhi kriteria  secara
klinis
2. Klasifikasi pada surveilens yang memenuhi kriteria  secara
virologis

Kriteria Surveilens :
- AFP rate : 1 per 100.000 pada penduduk usia <15 tahun
- Spesimen yang adekuat dari kasus AFP > 60 %

Pada surveilans yang belum baik maka digunakan kriteria klasifikasi klinis
yaitu :
 Kelumpuhan menetap (paralise residual), setelah kunjungan ulang
60 hari sejak terjadinya kelumpuhan
 Meninggal sebelum 60 hari sejak terjadinya kelumpuhan
 Tak dapat diketahui keadaan kelumpuhan setelah 60 hari sejak mulai
lumpuh

Pada surveilans yang sudah baik digunakan kriteria klasifikasi virologis yaitu:
Didapatkan virus polio liar pada pemeriksaan spesimen

Anamnesis  Adanya demam tinggi yang timbul pada onset kelumpuhan


 Kelumpuhan bersifat akut, asimetris dengan progresifitas kelumpuhan 3-
4 hari

Pemeriksaan fisik  Demam


 Gejala rangsang meningeal diikuti kelumpuhan flaccid asimetris

Kriteria Diagnosis  Anamnesis


 Pemeriksaan fisik  kelumouhan flaccid, asimetris
 LCS
 Isolasi virus dari tinja dan orofaring
Pemeriksaan  LCS : kadar protein agak meningkat, berlangsung sampai 2 bulan. Awal
Penunjang penyakit jumlah sel leukosit meningkat terutama terdiri dari sel
polimorfonuklear, setelah itu jumlah limposit lebih banyak dan menjadi
normal dalam 2-3 minggu
 Isolasi virus

Tatalaksana Belum ada pengobatan kausal namun dapat dicegah dengan vaksinasi

Edukasi Imunisasi polio

Daftar kepustakaan Pediatric Neurology: Principles and Practice fourth edition


Child Neurology chapter 9
Buku ajar neurologi bab 11

Lain-lain (Algaritma,
Protokol, Prosedur,
Standing Order)
SINDROMA GUILLAIN BARRE Kode ICD :
DEPARTEMEN IKA G 61.0
RSMH PALEMBANG No Dokumen No.Revisi Halaman :
…………. …………….. 37
Ditetapkan Oleh,
Panduan Praktek Tanggal Revisi Ketua Divisi Neurologi
Klinis ………………..

Dr. Msy. Rita Dewi, SpA(K)

Definisi Ditandai proses radang non infeksi di daerah radiks syaraf tepi

Etiologi Proses imunologis

Patogenesis Infeksi virus menyebabkan penurunan suppressor sel T sehingga terjadi


peningkatan sel T, sel B dan limposit. Adanya kontak antara sensitive
lymphocyte dengan serabut syaraf mengakibatkan terjadinya kerusakan
myelin. Imunitas selular atau humoral yang mengakibatkan kerusakan
myelin masih controversial.

Anamnesis  adanya riwayat infeksi saluran pernafasan atas atau saluran


pencernaan 2-3 minggu sebelum gejala
 rasa kesemutan, nyeri atau tak terasa
 kelumpuhan bersifat ascending dan simetris bilateral

Pemeriksaan fisik  tetra parase/paraparese tipe flaksid


 gangguan sensorik berupa nyeri, parestesi, hipestesi sampai anestesi
 dapat disertai paralisis fasial
 Bila kasus berat dapat terjadi paralise bulber berupa paralise otot
pernafasan

Kriteria Diagnosis 1. Anamnesis


2. Pemeriksaan fisik
3. LCS  kenaikan protein tanpa disertai kenaikan jumlah sel ( disosiasi
sito albumin )
4. EMG  perlambatan kecepatan antar syaraf dengan latensi distal yang
memanjang

Pemeriksaan LCS : Adanya gambaran disosiasi sitoalbumin


Penunjang Darah : Gambaran tidak khas, tergantung pada jenis kuman
penyebab dan stadium penyakit

Tatalaksana  bed rest total, bila ada kelumpuhan otot bulbar rawat di ICU
 obati fokal infeksi
 plasmapharesis
 gama globulin 0,4 g/kgbb/hari selama 5 hari
 neurotonika
 fisioterapi bila tanda-tanda infeksi sudah reda
 Pemberian prednison 1-2 mg/kgBB/hari tak melebihi 100 mg selama 5
hari bila tak ada perbaikan

Daftar kepustakaan Child neurology chapter 7


Buku Ajar Neurologi bab 16
Neuromuscular disorder of infancy, childhood and adolescence chapter 23
MIELITIS TRANSVERSA Kode ICD :
DEPARTEMEN IKA M 79.2
RSMH PALEMBANG No Dokumen No.Revisi Halaman :
…………. …………….. 38
Ditetapkan Oleh,
Panduan Praktek Tanggal Revisi Ketua Divisi Neurologi
Klinis ………………..

Dr. Msy. Rita Dewi, SpA(K)

Definisi Penyakit ini ditandai kelumpuhan progresif disertai hilangnya fungsi perasa
dan fungsi otot sphingter

Etiologi Reaksi imunologis

Patogenesis Reaksi imunologis menyebabkan kerusakan medulla spinalis berupa


nekrosis elemen syaraf dan digantikan dengan sel radang atau
meninggalkan kavitas, reaksi imunologis akan menimbulkan vaskulitis dan
berakibat tersumbatnya arteri spinalis anterior sehingga menimbulkan
nekrosis pada medulla spinalis di daerah torakolumbal

Bentuk Klinis  Paralise residual, terjadi atrofi diplegi setelah beberapa tahun
(Klasifikasi)  Refleks tendon menurun
 Tidak ada rasa nyeri otot
 Anestesi tungkai atau kaki disertai gangguan rasa raba
 Ada gangguan fungsi kandung kemih

Anamnesis  Ada demam


 Kelumpuhan bersifat akut, simetris pada tungkai bawah dengan
progresifitas kelumpuhan beberapa jam sampai 4 hari

Pemeriksaan fisik  Paraparesis


 Gangguan sensorik
 Reflex fisiologis meningkat, klonus (+)
 Gangguan syaraf otonom

Kriteria Diagnosis  Anamnesis


 Pemeriksaan fisik
 LCS : pleiositosis dan peningkatan protein
 CT Mielografi : pembengkakan medulla spinalis

Differential diagnosis  Guillain Barre Syndrom


 Tumor Medulla Spinalis

Pemeriksaan Pemeriksaan laboratorium darah dan LCS tidak khas


Penunjang

Tatalaksana Hanya tindakan suportif, steroid tidak bermanfaat

Komplikasi dan Prognosis biasanya baik, 60% sembuh sempurna dan 15 % menimbulkan
Prognosis gejala sisa. Penyembuhan berangsur setelah 1 bulan dan sembuh total
dalam 6 bulan

Daftar kepustakaan Child Neurology chapter 7


Buku ajar neurologi bab 16
CHRONIC INFLAMMATORY DEMYELINATING Kode ICD :
DEPARTEMEN IKA POLINEUROPATHY G61.9
RSMH PALEMBANG No Dokumen No.Revisi Halaman :
…………. …………….. 39
Ditetapkan Oleh,
Panduan Praktek Tanggal Revisi Ketua Divisi Neurologi
Klinis ………………..

Dr. Msy. Rita Dewi, SpA(K)

Definisi Polineuropati yang disebabkan oleh proses imun, berlangsung lebih dari 2
bulan

Kriteria Diagnosis  Gambaran klinis yang muncul biasanya berupa kelemahan dan rasa
baal yang progresif dapat berlangsung lebih dari 8-12 minggu, tapi
kepustakaan lain mengatakan bahwa penyakit berlangsung lebih dari
empat minggu. Perjalanan penyakit mungkin dapat progresif, progresif
bertahap, atau relaps berulang.
 Pemeriksaan neurologi biasanya menampakkan kelemahan proksimal
dan distal, kehilangan sensori bagian distal dan refleks yang tertekan
atau absen.
 Gambaran laboratorium yang tipikal berupa : pada LCS yaitu dissosiasi
sitoalbumin, pada EMG memperlihatkan adanya demielinisasi, dan pada
biopsi syaraf menunjukkan adanya demielinisasi, serabut mielin yang
tipis, dan onion-bulbs. Biopsi tidak penting untuk menegakkan diagnosis
pada sebagian kasus tetapi hal ini dapat menolong pada pasien dengan
gejala klinis, elektrofisiologi dan laboratorium yang kurang jelas.

Tatalaksana  Kortikosteroid (obat hingga saat ini yang paling banyak dipakai)
- Prednison dosis 1 sampai 1,5 mg/kgBB/hari secara oral, dosis
tunggal, pada pagi hari.
- Khusus untuk penyakit yang berat dapat diobati dengan 1 gram
metilprednisolon secara intravena perhari (atau secara alternate
day), dibagi 4 sampai 5 dosis, dan kemudian dengan prednison dosis
tinggi yang diberikan secara oral.
- Sangat penting untuk mempertahankan terapi oral dengan dosis
yang tinggi sampai tampak adanya perbaikan. Kira-kira 90% pasien
akan menunjukkan perbaikan selama 2 bulan setelah pemberian
awal steroid. Pada waktu perbaikan muncul (berdasarkan uji otot
yang dilakukan secara manual atau dengan alat lain yang
memperlihatkan kuantitas), dosis kemudian diubah dengan regimen
alternate day. Hal ini dilakukan dengan beberapa langkah, misalnya
80 mg pada hari pertama diselingi dengan 40 mg pada hari
berikutnya, dengan pengurangan dosis tiap minggu menjadi 80 mg
dan 20 mg, 80 mg dan 10 mg, 80 mg dan 5 mg, akhirnya 80 mg dan
0 mg. Pengobatan dengan prednison dilanjutkan sampai terjadi
perbaikan yang maksimal. Hal ini terjadi pada 50% pasien setelah 6
bulan pengobatan dan 90 % setelah 12 bulan pengobatan dengan
prednison. Pada langkah ini, prednison dapat diturunkan dengan
pelan-pelan, biasanya 5 mg setiap 2-4 minggu.
 Immunoglobulin Intravena
Mahal dan masih jarang dipakai. Regiment standar yang digunakan
adalah 0,4 atau 0,5 gram/kgBB/hari masing-masing selama 4 sampai 5
hari. Selanjutnya dosis maintenans dapat diberikan sesuai dengan dosis
dan frekuensi respons klinik. Regimen standar yang diberikan untuk
booster adalah dalam bentuk infus dengan dosis 0,5 gram/kgBB setiap 3
sampai 4 minggu, hampir sama dengan waktu paruh imunoglobulin.
Pada pasien yang berat yang dirawat di rumah sakit, akan dilakukan
follow-up pemberian infus imunoglobulin dengan interval mingguan.
Pengunaan untuk terapi mingguan biasanya menggunakan dosis yang
lebih rendah yaitu 0, 2-0, 25 gm/kgBB.
 Plasma Exchange
Belum ada di Indonesia. Khusus pada pasien dengan penyakit yang
berat (khususnya pada pasien yang dirawat), pengobatan dilakukan
dengan plasma exchange bersama-sama dengan prednison pada saat
memulai pengobatan. Dilakukan dengan menggunakan dua exchange
setiap minggu selama tiga minggu, meskipun uji selanjutnya
menunjukkan keuntungan yang lebih besar dengan masa pengobatan
yang diperpanjang (tiga exchange setiap minggu selama dua minggu
pertama diikuti dengan dua exchange selama minggu ketiga sampai
minggu keenam). Jika terjadi relaps pada saat prednison ditappering,
pemberian plasma exchange yang singkat dapat diberikan untuk
membantu reinduksi remisi.
Plasma exchange masih terbatas digunakan pada anak-anak karena
kesukaran teknik untuk mengganti volume darah yang kecil dengan
menggunakan cell separator.
 Terapi pilihan lainnya
- Pada pasien CIPD yang sukar disembuhkan dengan prednison,
plasma exchange dan immunoglobulin intravena, maka dapat
digunakan obat-obat immunosupresan (azatioprin, siklofosfamid,
siklosporin), irradiasi limfoid total, serta alfa dan beta interferon.
- Dosis azatioprin yang digunakan adalah 50 mg peroral dibagi empat
dosis, ditingkatkan secara berlahan-lahan dengan dosis total perhari
menjadi 2-3 mg/kgBB peroral. Sulit untuk merekomendasikan salah
satu obat-obatan ini satu dengan yang lain, karena tidak adanya uji
terkontrol yang digunakan sebagai pedoman terapi. Satu penelitian
yang membandingkan antara kombinasi prednison, dan azatioprin
versus prednison saja menunjukkan tidak adanya manfaat yang
bermakna dengan azatioprin. Pada uji ini waktu tiga bulan
dipersingkat untuk mengharapkan respon azatioprin.
- Pilihan selanjutnya adalah siklosporin. Dosis siklosporin adalah 5
mg/kgBB/dosis sebagai dosis awal. Dosis kemudian ditingkatkan
sesuai dengan respons.
- Siklofosfamid merupakan pilihan selanjutnya dosisnya adalah 1-2
mg/kg BB/dosis peroral. Azatioprin digunakan sebagai obat yang
dapat menghemat prednison. Tetapi tidak sebagai obat
immunosupresan yang tunggal untuk penyakit ini. Diperlukan
pengalaman-pengalaman yang lebih banyak sebelum
merekomedasikan penggunaan interferon (alfa atau beta) sebagai
bagian dari penanganan rutin CIDP

Daftar kepustakaan Neuromuscular disorder of infancy, childhood and adolescence chapter 26


Neurology of the newborn chapter 18

Lain-lain (Algaritma,
Protokol, Prosedur,
Standing Order)
DISTONIA Kode ICD :
DEPARTEMEN IKA G 24
RSMH PALEMBANG No Dokumen No.Revisi Halaman :
…………. …………….. 41
Ditetapkan Oleh,
Panduan Praktek Tanggal Revisi Ketua Divisi Neurologi
Klinis ………………..

Dr. Msy. Rita Dewi, SpA(K)

Definisi Penyakit degeneratif berupa gangguan umum atau fokal yang progresif
ditandai kontraksi otot terus menerus menyebabkan gerakan berulang dan
meliuk-liuk atau postur tubuh yang abnormal
Insiden : jarang, dapat menyerang semua umur terutama 5-10 tahun

Etiologi - Kelainan kromosom


- Intoksikasi obat seperti: metoclopramide, fenitoin, domperidon
- Gangguan metabolik
- Trauma lahir
- Post infeksi ensefalitis, Subacut Leukoensefalopati, Sindroma Reye.
- Toksin : Mangan, Carbon disulfida, Sianida
- Psikogenesis dissosiasi
- Kelainan perkembangan janin

Patogenesis Belum diketahui dengan pasti, diperkirakan secara patologi ada kelainan
pada ganglia basalis, putamen, globus palidus, nukleus kaudatus

Bentuk Klinis Sangat bervariasi, kelainan fokal seperti : blepharospasm(kelopak mata),


(Klasifikasi) mulut (distonia oromandibular), leher (tortikolis), tangan (cramp writer.)

Anamnesis Adanya gerakan berulang-ulang & meliuk-liuk / postur tubuh abnormal

Pemeriksaan fisik  Distonia fokal  blefarospasme, distonia oromandibular, tortikolis, cramp


writer
 Distonia segmental
 Disartria, gerakan orofasial, disfagia, tremor

Kriteria Diagnosis  Gejala klinis  gerakan distonia dan posisi tubuh


 Tidak ada gangguan intelektual, traktus kortikospinal dan biokimia
 Riwayat perinatal normal
 PET Scan  penurunan metabolism glukosa di nucleus caudatus,
nucleus lentiforme dan mediodorsal nucleus thalamus
Pemeriksaan  PET Scan
Penunjang  CT Scan dan MRI tidak khas

Tatalaksana - Belum ada yang memuaskan


- Dapat diberikan Triheksilpenidil(THP)/artane dosis 2-4 mg/hari dinaikan
menjadi 30-60 mg/hari
- Levodopa dimulai dengan dosis 10-20 mg/kgbb/hari dibagi dalam 2-3
dosis
Komplikasi & Prognosis Bila makin dini, prognosa makin jelek

Daftar kepustakaan Buku Ajar Neurologi


Pediatric neurology : principles and practices 53
KHOREA Kode ICD :
DEPARTEMEN IKA G 25
RSMH PALEMBANG No Dokumen No.Revisi Halaman :
…………. …………….. 42
Ditetapkan Oleh,
Panduan Praktek Tanggal Revisi Ketua Divisi Neurologi
Klinis ………………..

Dr. Msy. Rita Dewi, SpA(K)

Definisi Gerakan yang tidak terkendali (involunter), bentuk gerakan cepat, mendadak,
tidak terkendali dan tidak dapat diramalkan

Bentuk Klinis 1. Khorea Sydenham :


(Klasifikasi)  Biasanya ditemukan setelah adanya infeksi streptokokus, sering
ditemukan pada penyakit jantung rematik
 Karakteristik : gerakan khoreik, emosional labil, hipotonia
 Laboratorium penunjang : ASTO dan AKG
 Pengobatan : istirahat, terapi suportif, dan diberikan trankuilizer. Jika
didapatkan penyakit jantung rematik maka penatalaksanaan sesuai
dengan penyakit jantung rematik
2. Khorea Hutington :
 Biasanya pada usia dewasa, diturunkan secara genetik
 Karakteristik : demensia progresif, perubahan kepribadian, khorea
 Bila terjadi pada anak-anak seringkali disertai kejang
 Pengobatan : diberikan penghambat reseptor dopamin seperti
haloperidol, bila kejang diberikan antikonvulsan.
3. Khorea Familial Benigna
 Bersifat non progresif
 Intelegensia tidak terganggu
 Sering disertai dengan ataksia
 Diturunkan secara genetik, diagnosis ditegakkan berdasarkan : onset
pada masa anak-anak, adanya riwayat keluarga, tidak ada defisit
neurologis/intelektual, laboratorium sedikit bermakna
 Pengobatan diberikan penghambat reseptor dopamine

Anamnesis  Adanya gerakan involunter pada anggota gerak, biasanya lengan atau
tangan yang menyentak-nyentak dan cepat, disadari tetapi tidak
terkendali, yang hanya berhenti dalam waktu tidur.
 Gangguan emosional memperhebat gerakan ini
 Gerakan ini dapat timbul pada salah satu anggota gerak saja, pada kedua
lengan saja atau pada lengan dan tungkai sesisi saja

Pemeriksaan fisik Tangan korea  tangan fleksi dan sendi metakarpopalang ekstensi
berlebihan bila lengan dijulurkan ke depan

Kriteria Diagnosis  Anamnesis : gerakan involunter


 Tangan korea

Tatalaksana  Istirahat
 Haloperidol 1-2 x 0,5 – 1 mg selama 4-6 bulan
 Phenobarbital 2-4 mg/kgBbhari
 Penisilin benzatin sebagai profilaksis terhadap infeksi streptococcus
Komplikasi dan Komplikasi : penyumbatan arteri retina dan papiledema
Prognosis Pasien sembuh tanpa gejala sisa neurologis mayor, hanya terdapat tremor
dan gangguan koordinasi

Daftar kepustakaan Child neurology chapter 2


Buku Ajar Neurologi bab 16

Lain-lain (Algaritma,
Protokol, Prosedur,
Standing Order)
TIC DAN SINDROM TOURETTE Kode ICD :
DEPARTEMEN IKA F 95
RSMH PALEMBANG No Dokumen No.Revisi Halaman :
…………. …………….. 44
Ditetapkan Oleh,
Panduan Praktek Tanggal Revisi Ketua Divisi Neurologi
Klinis ………………..

Dr. Msy. Rita Dewi, SpA(K)

Definisi Penyakit yang ditandai tic motor dan verbal yang tidak terkontrol, kadang
disertai ucapan cabul

Patogenesis Belum diketahui diduga gangguan pada ganglia basalis

Bentuk Klinis Tic motorik sederhana: meliputi suatu grup otot involunter, mendadak, cepat,
(Klasifikasi) lama < 1 detik, berulang, tidak ritmis, dan stereotipik.
Gerakan yang sering terlihat: mengedip, menyeringai, gerakan mulut,
sentakan kepala, mengangkat bahu,dan gerak sentakan tangan dan kaki
Tic motoric multipel

Anamnesis  Gejala awal tic multifocal pada muka dan kepala


 Pada keadaan berat dijumpai koprolalia atau ekolalia konvulsif
 Adanya penurunan perhatian ditandai hiperaktivitas, perhatian singkat,
gelisah, konsentrasi buruk dan keinginan untuk mengganggu

Pemeriksaan fisik Tic fokal

Kriteria Diagnosis Diagnosis sindrom Tourette ditegakkan berdasarkan kriteria DSM IV:
1. Gejala tic motor multiple & satu / lebih tic fokal pada saat bersamaan.
2. Tic dapat terjadi beberapa kali dalam sehari atau intermiten selama lebih
dari satu tahun tanpa periode bebas tic > 3 bulan berturut-turut
3. Umur onset kurang dari 18 bulan
4. Gangguan tidak disebabkan oleh obat-obatan

Pemeriksaan PET scan  peningkatan aktivitas metabolic di daerah frontal dan penurunan
Penunjang penggunaan glukosa di ganglia basalis

Tatalaksana Tic motor ringan tidak memerlukan terapi. Pasien sindrom tourette yang tidak
mengalami gangguan psikososial maupun fisik juga belum memerlukan
terapi.
Obat yang dianjurkan untuk pengobatan sindrom tourette
Lini pertama : clonidine (0,05 mg dinaikkan perlahan-lahan setiap 7 hari),
baclofen (20 mg, 3 kali sehari).
Lini kedua: pimozide (1 mg/hari, dinaikkan 1 mg tiap minggu sampai gejala
berkurang 70% atau muncul efek samping), risperidone (0,25- 0,3 mg/hari),
haloperidol (0,5-2 mg/hari)

Daftar kepustakaan Buku Ajar Neurologi bab 20


CEFALGIA Kode ICD :
DEPARTEMEN IKA R51
RSMH No Dokumen No.Revisi Halaman :
PALEMBANG …………. …………….. 45

Ditetapkan Oleh,
Panduan Praktek Tanggal Revisi Ketua Divisi Neurologi
Klinis ………………..

Dr. Msy. Rita Dewi, SpA(K)

Definisi Cefalgia adalah nyeri atau sakit sekitar kepala, termasuk nyeri di belakang mata
serta perbatasan antara leher dan kepala bagian belakang

Etiologi Secara garis besar, penyebab cefalgia dapat dibagi 5 kategori, antara lain:
 Nyeri kepala vaskuler
 Muskuloskeletal (nyeri kepala tegang otot)
 Organik (tumor, malformasi, dan ensefalopati)
 Psikogenik
 Lain-lain (peradangan,arthritis, neuralgia)

Pola sakit kepala Kemungkinan penyebabnya


Akut Terlokalisir
 Infeksi saluran nafas akut seperti sinusitis,
otitis media
 Kerusakan pada gigi seperti abses gigi,
disfungsi sendi temporomandibular
Infeksi sistemik seperti mengitis
Sentral : perdarahan akut intrakranial
Akut rekuren Migrain
Kronis non progresif Penyebab psikis
Kronis progresif Space occupying lesion. Hipertensi intrakranial
jinak

Patogenesis Penurunan aliran darah ke otak  depolarisasi sel saraf  menurunnya


kativitas sel saraf  edema neurogenik  aktivasi trigeminal  pengurangan
nilai ambang nyeri dari kulit hingga kutaneus.

Bentuk Klinis 1. Sefalgia Primer : bila tidak ditemukan penyebab organik dari suatu sakit
(Klasifikasi) kepala. Yang termasuk cefalgia primer yaitu migrain, tension-typed
headache, dan cluster headache.
2. Sefalgia Sekunder : bila didapat penyebab organik yang mendasari keluhan
sakit kepala pada penderita.
Penyebab sefalgia sekunder:
 Sefalgia yang berhubungan dengan trauma kepala atau leher
 Sefalgia yang berhubungan dengan gangguan vaskuler kepala dan
servikal
 Sefalgia yang berhubungan dengan gangguan intrakranial nonvaskuler
 Sefalgia yang berhubungan dengan infeksi
 Sefalgia yang berhubungan dengan gangguan hemostasis
 Sefalgia yang berhubungan dengan gangguan cranium, leher, mata,
telinga, hidung, sinus, gigi, mulut, atau stuktur kranial atau wajah lainnya
 Sefalgia yang berhubungan dengan gangguan psikiatri
Anamnesis Saat sakit kepala muncul, lokasi, kualitas, frekuensi, durasi, beratnya sakit
kepala, gangguan aktivitas sehari-hari oleh sakit kepala, gejala prodormal atau
aura yang mendahului sakit kepala, riwayat trauma kepala, adakah defisit
neurologis sebelum, selama dan sesudah sakit kepala, riwayat keluarga sakit
kepala. Adanya depresi, gangguan emosi

Pemeriksaan fisik  Keadaan umum pasien dan status mentalnya


 Ada kelainan pada kekuatan otot, reflex, dan koordinasinya. Terutama otot-
otot leher dan bahu.
 Cari abnormalitas dari gigi dan gusi serta struktur kranial dan wajah lainnya.
 Pemeriksaan saraf kranial, cerebellum, sensoris, fungsi motorik termasuk
reflex untuk mencari kelainan tumor atau vaskuler di hemisphere cereberi,
cerebellum, atau batang otak.
 Pemeriksaan rangsang meningeal
 Pemeriksaan funduskopi

Kriteria Diagnosis  Sifat, lama, lokasi, frekuensi nyeri kepala


 Pemeriksaan fisik dan neurologis
 Pemeriksaan penunjang

Pemeriksaan  Laboratorium darah, LED


Penunjang  Lumbal Pungsi
 Elektroensefalografi
 CT Scan Kepala, MRI
 Foto Rontgen

Tatalaksana 1. Cefalgia primer


A. Migrain
 Istirahat
 Analgetik : ibuprofen (10 mg/kgBB/kali) atau naproxen (10 mg/KgBB/kali)
 Jika sakit kepala moderat dan berat dipertimbangkan diberi Triptans
 Di follow up selama 12 - 24 jam jika tidak membaik: pemberian obat
parenteral di UGD dengan Triptans, atau dihydroergotamin (1 mg), atau
asam valproat jika membaik nilai frekuensi migrain
 Frekuensi migrain < 2x/bulan tidak ada profilaksis
 Frekuensi migrain ≥ 2x/bulan diobati profilaksis dengan Cyproheptadine
(0,1 mg/kgBB/kali), atau propanolol (0,2-0,5 mg/kgBB/kali), atau
amitriptilin (0,5-1 mg/kgBB/kali). Kemudian di follow up frekuensi migraine
selama 1 – 3 bulan. Kalau membaik tidak diobati, kalau tidak membaik
diterapi dengan biofeedback, latihan relaksasi, riboflavin, tablet valproat
extended release (5mg/kgBB/kali), gabapentin (2mg/kgBB/kali),
topiramate (1mg/kgBB/kali) atau verapamil (1-3 mg/kgBB/kali)

B. Tension headache
 Istirahat
 Analgetik
 Dipertimbangkan : terapi relaksasi, biofeedback, terapi massage,
tizanidine (0,01 mg/kgBB/kali) , amitriptilin (0,5-1 mg/kgBB/kali)
 Dinilai selama 1 – 3 bulan
Jika tidak ada perbaikan pertimbangkan untuk pemberian konseling
psikologi, injeksi trigger point, injeksi Botox
C. Cluster Headache
 Fase akut: oksigen atau ergotamine (1mg/hari) atau sumatriptan
 Preventif: verapamil, litium, ergotamine, metisergit, kortikosteroid,
topiramat

2. Cefalgia sekunder
Diatasi penyakit yang mendasarinya

Komplikasi dan Tergantung jenis nyeri kepala


Prognosis

Daftar kepustakaan Child neurology chapter 13


Pediatric neurology: Principle and Practice chapter 48
Buku Ajar Neurologi bab 4

Lain-lain (Algaritma,
Protokol, Prosedur,
Standing Order)
PROSES DESAK RUANG Kode ICD :
DEPARTEMEN IKA G93.9/G95.9
RSMH PALEMBANG No Dokumen No.Revisi Halaman :
…………. …………….. 48
Ditetapkan Oleh,
Panduan Praktek Tanggal Revisi Ketua Divisi Neurologi
Klinis ………………..

Dr. Msy. Rita Dewi, SpA(K)

Definisi Suatu proses pendesakan di dalam ruang kranial yang dapat menggangu
fungsi otak, menyebabkan peningkatan tekanan intrakranial dan defisit
neurologis fokal

Bentuk Klinis Manifestasi klinis:


(Klasifikasi)  Sakit kepala:
 terutama tampak pada anak besar
 makin lama makin hebat
 terutama pada saat bangun pagi dan keadaan batuk, bersin,
mengedan, perubahan posisi tiba-tiba.
 Lokasi tersering bifrontal.
 Muntah:
 Muntah biasanya proyektil, terutama bangun tidur
 Biasanya tanpa didahului rasa mual.
 Pembesaran kepala:
 Pembesaran kepala karena peninggian tekanan intrakranial dapat
terjadi sampai umur 3 tahun
 Pelebaran sutura masih dapat ditemukan sampai umur 10 tahun
Manifestasi okuler:
 Subyektif : mata kabur, lapangan pandang menyempit, diplopia.
 Obyektif : edema papil, atrofi papil nervus optikus bila sudah
lama, strabismus biasanya konvergen.

Manifestasi neurologis fokal


 Gejala yang timbul berupa kelumpuhan sesuai dengan jaras yang
terkena atau kejang karena kerusakan korteks serebri.
 Ataksia dan gangguan koordinasi
 Defisit saraf kranialis
 Nistagmus
 Kaku kuduk

Anamnesis  Klinis : muntah, sakit kepala, pembesaran kepala


 Okuler : lapang pandang menyempit, mata kabur, diplopia

Pemeriksaan fisik  Okuler : papil edema, atrophi papil, strabismus


 Neurologis : nistagmus, kaku kuduk, deficit neurologis

Kriteria Diagnosis  Anamnesis dan pemeriksaan fisik: adanya tanda-tanda peningkatan


tekanan intrakranial dan deficit neurologis fokal
 Pemeriksaan penunjang

Pemeriksaan 1. Foto Kranium : terdapat tanda-tanda tekanan intrakranial meningkat atau


Penunjang kalsifikasi abnormal.
2. EEG :dijumpai kelainan fokal pada tumor supra tentorial.
3. USG kepala : bila UUB masih terbuka
4. CT- Scan kepala
Tatalaksana 1. Konsul ahli bedah syaraf untuk mengatasi tekanan intrakranial
meningkat, ektirpasi tumor, pengeluaran abses.
2. Sambil menunggu hasil konsul, dilakukan tindakan supportif seperti:
Mengatasi edema serebri  deksametason dosis 0,2-0,3 mg/kgBB/kali
diberikan 3 kali sehari.

Bila sudah ada tanda-tanda herniasi diberikan:


- Manitol 20% 0,25-1 gram/kgBB/kali perinfus selama 30 menit -1 jam.
- Gliserol 10% dosis 0,5-1 gram/kgBB/hari peroral diberikan 4 dosis.

Pemberian terapi lain sesuai diagnosis pasca bedah atau etiologi


TUMOR OTAK Kode ICD :
DEPARTEMEN IKA C71.9
RSMH PALEMBANG No Dokumen No.Revisi Halaman :
…………. …………….. 50
Ditetapkan Oleh,
Panduan Praktek Tanggal Revisi Ketua Divisi Neurologi
Klinis ………………..

Dr. Msy. Rita Dewi, SpA(K)

Definisi Tumor tersering ketiga pada usia dibawah 15 tahun. Puncak kejadian adalah
umur 3-5 tahun.
Lokasi menentukan prognosis. Pada anak 60% atau lebih terdapat di bawah
tentorium dan kebanyakan di daerah serebelum, sedang pada dewasa
hanya 25-30% saja. Umumnya pasien datang dalam keadaan lanjut

Patogenesis Migrasi dan differensiasi lapisan sel primitive tabung syaraf berubah menjadi
meduloblas yang berdiferensiasi menjadi 2 bagianyaitu golongan neuron (
menjadi neuroblas dan neuron ) dan golongan glia ( melalui spongioblas
menjadi astrosit dan oligodendrosit ). Tiap sel dapat berubah menjadi
neoplastik

Bentuk Klinis Klasifikasi Russel dan Rubinstein berdasarkan letak tumor yang sering
(Klasifikasi) ditemukan pada anak adalah:
I. Tumor fosa posterior
1. Meduloblastoma
2. Astrositoma
3. Ependimoma
4. Glioma batang otak
5. Hemangioblastoma
II. Tumor fosa media
1. Kraniofaringioma
2. Kista intraselar
3. Glioma optik dan hipotalamik
III. Tumor daerah hemisfer
1. Golongan yang berasal dari glia
 Astrositoma
 Glioblastoma
 Oligodendroglioma
 Ependimoma
 Papiloma pleksus koroid
2. Tumor daerah pineal
 Pinealoblastoma
 Pinealositoma
 Germinoma
3. Angioma
4. Meningioma
 Meningioma jinak
 Sarkoma selaput otak

Anamnesis  Sakit kepala, muntah dan pembesaran kepala


 Perubahan kepribadian
 Kejang
Pemeriksaan fisik Manifestasi umum: Meliputi gejala peninggian tekanan intrakranial dan
neurologis lokal akibat penekanan. Gejala infratentorial lebih cepat
menimbulkan gejala. Peninggian tekanan intrakranial menimbulkan gejala
trias Cushing: hipertensi, bradikardia, pernapasan lambat dan tak teratur.
Manifestasi klinis: sakit kepala, muntah, manifestasi okular (papiledema,
atropi optik, gangguan lapang pandang, strabismus, diplopia, eksoftalmus),
pembesaran kepala, perubahan kepribadian, gangguan neurovegetatif
(regulasi suhu badan, sirkulasi dan pernapasan), kejang, manifestasi
neurologis fokal, ataksia dan gangguan koordinasi, defisit saraf kranialis,
nistagmus, kaku kuduk, kelumpuhan motor, kelainan endokrin (diabetes
insipidus, sindrom hipotalamus, insufisiensi hormon)

Kriteria Diagnosis  Anamnesis


 Peningkatan tekanan intra cranial dan gejala neurologis fokal
 Pemeriksaan penunjang

Differential diagnosis Berdasarkan klasifikasi letak tumor

Pemeriksaan Foto rontgen kepala  kalsifikasi, pelebaran sutura, pembesaran kepala


Penunjang EEG  gelombang delta atau teta, disritmia
Pemeriksaan cairan serebrospinal  peninggian kadar protein
Ultrasonografi kepala
CT-scan kepala
Angiografi, mielografi
MRI
Pemeriksaan patologi anatomi

Tatalaksana  Operatif
 Radioterapi
 Kemoterapi
Komplikasi dan Tergantung jenis tumor, lokasi dan jumlah tumor
Prognosis

Daftar kepustakaan Buku ajar nurologi bab 15

Lain-lain (Algaritma,
Protokol, Prosedur,
Standing Order )
TRAUMA KEPALA PADA ANAK Kode ICD :
DEPARTEMEN IKA S09.9
RSMH PALEMBANG No Dokumen No.Revisi Halaman :
…………. …………….. 52
Ditetapkan Oleh,
Panduan Praktek Tanggal Revisi Ketua Divisi Neurologi
Klinis ………………..

Dr. Msy. Rita Dewi, SpA(K)

Definisi Trauma kepala pada anak adalah keadaan yang disebabkan jejas pada
kepala baik disertai maupun tidak disertai lesi pada isinya.
Trauma kepala yang bermakna adalah trauma yang diikuti oleh satu atau
lebih hal sebagai berikut :
 Periode tidak sadar
 Muntah-muntah
 Fraktur tengkorak
 Amnesia retrograd
 Menurunnya derajat kesadaran
 Adanya defisit neurologis lainnya (afasia, hemiparesis, refleks patologis,
kelumpuhan syaraf otak)

Etiologi Adanya trauma

Patogenesis Kerusakan pada otak berupa :


a. Kerusakan otak primer
Terjadi proses akselerasi dan deselerasi
b. Kerusakan otak sekunder
Akibat kerusakan otak primer  hipotensi, hiperkarbia dan hipoksia
menyebabkan iskemia dan edema otak

Bentuk Klinis Pembagian berdasarkan tindakan yang harus dilakukan :


(Klasifikasi) 1. Trauma kapitis benigna, adalah suatu trauma yang tidak memerlukan
tindakan operasi, yaitu :
a. komosio cerebri
b. kontusio serebri
c. fraktur kranii tertutup
d. fraktur basis kranii
e. fraktur impresi tanpa gejala neurologis
2. Trauma kapitis maligna adalah trauma kapitis yang memerlukan tindakan
operatif segera, yaitu :
a. fraktur kranii terbuka
b. fraktur impresi dengan gejala neurologis
c. hematoma epidural
d. hematoma subdural
e. perdarahan intraserebral.

Anamnesis  tanyakan waktu, cara dan beratnya trauma


 adanya mual, muntah, dan irritabilitas
 Penurunan kesadaran, kejang

Pemeriksaan fisik a. tanda-tanda vital : nadi, pernafasan, suhu, tekanan darah,


kesadaran/GCS.
b. Lakukan pemeriksaan neurologis lengkap dengan perhatian khusus
pada pupil, syaraf kranial dan fungsi motorik
c. Bentuk jejas di kepala
d. Kelainan di tempat lain : mata, telinga, hidung, leher, rongga thoraks,
abdomen dan ekstremitas
Nilai kesadaran penderita dengan skala koma Glasgow pediatrik

Nilai
Membuka mata :
 Spontan 4
 Terhadap bicara 3
 Terhadap nyeri 2
 Tidak ada
1
Respons motorik
 Mengikuti perintah 5
 Lokalisasi nyeri 4
 Fleksi terhadap nyeri 3
 Ektensi terhadap nyeri
2
 Tidak ada
1
Respons verbal
 Terorientasi 5
 Kata-kata 4
 Suara 3
 Menangis
2
 Tidak ada
1
Skor normal : - Lahir – 6 bulan 9
- 6-12 bulan 11
- 1-2 tahun 12
- 2-5 tahun 13
- > 5 tahun 14

Kriteria Diagnosis  Anamnesis  riwayat trauma


 Pemeriksaan fisik
 Pemeriksaan penunjang

Pemeriksaan  foto rontgen kepala bila ada fraktur linear/fraktur impresio


Penunjang  CT-Scan kepala tanpa kontras bila skala koma turun >1
 EEG bila terdapat gangguan kesadaran yang lama dan kejang
 USG kepala pada trauma lahir atau fontanela belum menutup

Tatalaksana  Perbaiki jalan nafas, bila perlu pernafasan buatan dan intubasi
 Atasi kejang dan shock
 Pemberian cairan intravena, diberikan 75% dari kebutuhan untuk
mengurangi edema otak
 Obati edema otak dengan mannitol 20 % sebanyak 0,25-1
gram/kgBB/kali, diberikan perinfus selama 30-60 menit. Dan dapat
diulang setelah 8 jam, atau gliserol 10 % peroral dengan dosis 1
gram/kgBB (dibagi dalam 4 dosis selama 5 hari)
 Antibiotika diberikan pada luka yang kotor
 Toksoid tetanus diberikan sebagai profilaksis pada luka yang kotor dan
bila anak belum mendapat booster dalam 4 tahun
 Pemberian nutrisi yang adekuat
 observasi terhadap fungsi vital dan gejala neurologis
 konsultasi
- Bagian bedah syaraf bila ada kecurigaan terhadap trauma kapitis
maligna
- Bagian bedah umum bila ada trauma di tempat lain (trauma thoraks,
trauma abdomen, dan fraktur).

Daftar kepustakaan Buku ajar neurologi


KOMOSIO SEREBRI/TRAUMA KAPITIS Kode ICD :
DEPARTEMEN IKA RINGAN S06.0
RSMH PALEMBANG
No Dokumen No.Revisi Halaman :
…………. …………….. 54
Ditetapkan Oleh,
Panduan Praktek Tanggal Revisi Ketua Divisi Neurologi
Klinis ………………..

Dr. Msy. Rita Dewi, SpA(K)

Definisi Disfungsi neuron sementara akibat trauma yang menyebabkan gangguan


kesadaran selintas

Etiologi Trauma

Anamnesis  Riwayat trauma sebelumnya


 Amnesia sebelum dan saat kejadian  amnesia retrograde
Pemeriksaan fisik Dalam batas normal

Kriteria Diagnosis  Penderita tidak atau kehilangan kesadaran sebentar (<10 mnt)
 Disertai keluhan subyektif berupa mual, muntah, pusing atau sakit
kepala
 Dengan atau tanpa amnesia (anterograd/retrograd), tidak lebih dari 1
jam
 Tidak disertai defisit neurologis dan EEG normal

Differential diagnosis Contusion cerebri

Pemeriksaan Sampai hari kelima pasca trauma dapat dijumpai absolut / relatif
Penunjang limfositopenia

Tatalaksana Pengobatan :
1. Perawatan
a. istirahat baring hingga semua keluhan hilang, kepala ditinggikan kira-
kira 300
b. lamanya perawatan tergantung keadaan klinis
c. perawatan terhadap luka / fraktur yang ada
d. kemudian mobilisasi secara berangsur-angsur
e. selama perawatan dilakukan observasi, paling sedikit 2x24 jam
terhadap kesadaran, tensi, nadi, pernafasan, gejala tekanan
intrakranial meningkat, defisit neurologis yang timbul progresif, pupil
mata.
2. Medikamentosa
a. Pengobatan terhadap luka dan perdarahan dengan antibiotika dan
ATS profilaksis
Pengobatan simptomatis hanya pada keadaan yang sangat
diperlukan/terpaksa dengan analgesik, anti muntah

Edukasi  Istirahat dengan kepala ditinggikan


 Jika terdapat tanda peningkatan TIK segera lapor ke tenaga medis

Daftar Kepustakaan Buku ajar Neurologi


KONTUSIO SEREBRI Kode ICD :
DEPARTEMEN IKA S.06.2
RSMH PALEMBANG No Dokumen No.Revisi Halaman :
…………. …………….. 55
Ditetapkan Oleh,
Panduan Praktek Tanggal Revisi Ketua Divisi Neurologi
Klinis ………………..

Dr. Msy. Rita Dewi, SpA(K)

Definisi Disfungsi neuron sementara akibat trauma yang menyebabkan gangguan


kesadaran selintas disertai deficit neurologis

Etiologi Trauma

Patogenesis Manifestasi neurologis yang timbul disebabkan pembengkakan otak progresif


sdang gejala fokal disebabkan perdarahan intracranial sekunder,
vasospasme atau thrombosis

Anamnesis  Riwayat trauma


 Mengantuk dan sukar dibangunkan, gelisah
 Nausea dan muntah
 Kejang
 Sakit kepala hebat
 Vertigo
 Mengacau dan sukar konsentrasi

Pemeriksaan fisik  Adanya deficit neurologis


 Hemiparesis dan hemihipestesia

Kriteria Diagnosis a. Setelah trauma didapatkan kehilangan kesadaran yang lama


b. Kemudian disusul dengan kejang, defisit neurologis
c. Dilanjutkan dengan peningkatan tekanan intrakranial
d. EEG abnormal

Differential diagnosis Concussion

Pemeriksaan EEG
penunjang

Tatalaksana 1. Perawatan
a. Istirahat baring total dengan posisi kepala ditinggikan kira-kira 300 dan
lamanya tergantung keadaan klinis.
b. Mobilisasi dilakukan secara berangsur
c. Perawatan terhadap luka/fraktur yang ada
d. Selama perawatan perlu diperhatikan : keadaan sistem
kardiovaskuler, sistem respirasi, pemberian cairan dan elektrolit,
nutrisi dan infeksi
2. Medikamentosa
a. Terapi osmotik : manitol 20% atau glicerol 10%
b. Terapi simptomatik : boleh diberikan anti muntah dan bila penderita
gelisah diberikan diazepam
c. Terapi profilaksis terhadap infeksi
d. Roborantia

Komplikasi Prognosis Prognosis baik jika anak tetap sadar setelah 48 jam
Gerakan deserebrasi dan hipotonia  prognosis jelek

Daftar Kepustakaan Buku ajar Neurologi


DEPARTEMEN IKA HEMATOMA EPIDURAL Kode ICD :
RSMH PALEMBANG S.06.4
No Dokumen No.Revisi Halaman :
…………. …………….. 56
Ditetapkan Oleh,
Panduan Praktek Tanggal Revisi Ketua Divisi Neurologi
Klinis ………………..

Dr. Msy. Rita Dewi, SpA(K)

Definisi Adanya perdarahan di ruangan epidural

Etiologi Trauma

Patogenesis Hematoma terjadi akibat robekan vena dura, arteri meningea media dan
cabang-cabangnya, vena meningea media, vena emissaria yang kecil dari
duramater

Anamnesis  Riwayat trauma


 Penurunan kesadaran sebentar disusul period bebas gejala yang
dilanjutkan gangguan kesadaran progresif dan kelainan neurologis
menetap

Pemeriksaan fisik  Pupil anisokor


 Penurunan kesadaran
 Hemiparesis
 Papil edema, perdarahan retina
 Paresis N III

Kriteria Diagnosis a. Setelah trauma didapatkan suatu periode bebas gejala yang disebut lucid
interval, beberapa hari/jam (tidak lebih dari 3 hari)
b. Kemudian disusul dengan penurunan kesadaran dan timbulnya gejala
fokal serebral progresif/gejala lateralisasi, pupil anisokor, kejang, defisit
neurologis
c. dilanjutkan dengan gejala peningkatan tekanan intrakranial
d. EEG abnormal
e. CT Scan  lentiform

Pemeriksaan Rontgen kepala sering ditemukan fraktur linier pada sisi hematoma
Penunjang CT- scan kepala tampak hematoma berupa area hiperdens diantara tulang
tengkorak dengan durameter, gambaran berbentuk lentiform

Tatalaksana Begitu diagnosis ditegakkan segera kirim ke bagian bedah syaraf untuk
tindakan operasi segera.

Edukasi Segera kontrol ke rumah sakit jika terjadi gangguan kesadaran

Daftar kepustakaan Buku ajar neurologi


HEMATOMA SUBDURAL Kode ICD :
DEPARTEMEN IKA S.06.5
RSMH PALEMBANG No Dokumen No.Revisi Halaman :
…………. …………….. 57
Ditetapkan Oleh,
Panduan Praktek Tanggal Revisi Ketua Divisi Neurologi
Klinis ………………..

Dr. Msy. Rita Dewi, SpA(K)

Definisi Hematoma di ruang subdural akibat trauma kapitis

Etiologi Trauma

Patogenesis Trauma kapitis merobek bridging veins dalam perjalanannya menuju sinus
dura, sebagian besar ditemukan bilateral di fronto parietal

Bentuk Klinis Mirip hematoma epidural bedanya perjalanan penyakit lebih lama, dapat
(Klasifikasi) beberapa hari, bulan atau lebih lama lagi

Anamnesis  Riwayat trauma


 Sakit kepala, penurunan kesadaran dan kejang

Pemeriksaan fisik  Ubun-ubun membonjol, lingkar kepala abnormal


 Penurunan kesadaran
 Papiledema
 Perdarahan retina

Kriteria Diagnosis  Riwayat trauma, peningkatan TIK


 Pemeriksaan Penunjang: CT scan  Hematom subdural

Pemeriksaan  Rontgen kepala terlihat pergeseran glandula pinealis


Penunjang  CT Scan Kepala tampak hematom berupa area hiperdens dibawah
lapisan duramater, gambaran berbentuk kresentik
 EEG : abnormal

Tatalaksana  Resusitasi ( intubasi, hiperventilasi, manitol )


 Tap bilateral untuk mengurangi ketegangan ubun-ubun
 Operasi

Komplikasi dan Prognosis tergantung penyebab dan luas lesi yang menekan otak
Prognosis Efusi subdural akibat infeksi mempunyai prognosis yang lebih baik dari
trauma

Daftar kepustakaan Buku Ajar Neurologis bab 17

Lain-lain (Algaritma,
Protokol, Prosedur,
Standing Order)
FRAKTUR BASIS KRANII Kode ICD :
DEPARTEMEN IKA S02.1
RSMH PALEMBANG No Dokumen No.Revisi Halaman :
…………. …………….. 58
Ditetapkan Oleh,
Panduan Praktek Tanggal Revisi Ketua Divisi Neurologi
Klinis ………………..

Dr. Msy. Rita Dewi, SpA(K)

Definisi .Fraktur pada tulang tengkorak yang disebabkan trauma kapitis

Etiologi Trauma

Anamnesis  Riwayat trauma sebelumnya


 Perdarahan dari mulut, hidung dan telinga

Pemeriksaan fisik  perdarahan /likuor melalui mulut, hidung dan telinga


 bisa berupa “brill hematoma” / ”monocele hematoma”,”battle’s sign”.
 Gejala lesi nervi kranialis
 Gejala trauma kapitis penyerta: komosio serebri, kontusio serebri,
hematoma epidural/subdural
 Gejala akibat fraktur : tergantung lokasi fraktur, dapat di fossa kranii
anterior atau media

Kriteria Diagnostik  Riwayat trauma, perdarahan THT, brill hematoma


 Pemeriksaan penunjang  CT scan  fraktur basis kranii

Pemeriksaan CT Scan
Penunjang

Tatalaksana 1. Istirahat baring total


2. Antibiotika
3. Terapi lain sesuai penyakit penyerta

Edukasi Istirahat baring total

Daftar kepustakaan SP IKA RSMH

Lain-lain (Algaritma,
Protokol, Prosedur,
Standing Order)
PERDARAHAN SUB ARACHNOID Kode ICD :
DEPARTEMEN IKA I60.9
RSMH PALEMBANG No Dokumen No.Revisi Halaman :
…………. …………….. 59
Ditetapkan Oleh,
Panduan Praktek Tanggal Revisi Ketua Divisi Neurologi
Klinis ………………..

Dr. Msy. Rita Dewi, SpA(K)

Definisi Perdarahan di ruangan subarachnoid

Etiologi  Trauma kepala dan rupture aneurisma intracranial


 Perdarahan perimenfalik
 Malformasi arteriovenous
 Diseksi arteri
 Perluasan perdarahan intraserebral
 Iatrogenic
 Fistula arteriovenous
 Meningitis
 Keganasan

Anamnesis  Nyeri kepala hebat


 Mual, muntah
 Perubahan kewaspadaan dan kesadaran

Pemeriksaan fisik  Tanda peningkatan tekanan intrakranial


 Gangguan kesadaran

Kriteria Diagnosis  Tanda-tanda peningkatan tekanan intrakranial


 Pemeriksaan penunjang (CT scan)  perdarahan subarachnoid

Pemeriksaan Pada lumbal punksi terdapat xantochromia. Evaluasi radiologis sangat


Penunjang penting dalam menentukan prognosis dan penatalaksanaan. CT-scan
dengan kontras merupakan terapi diagnostik pilihan, disusul angiografi
serebral. Prosedur radiologis intervensional telah menjadi bagian penting
dalam penatalaksanaan. Angiografi harus dihindari bila dicurigai terjadi
trauma

Tatalaksana Segera kirim ke bedah syaraf

Komplikasi dan Perdarahan menyebabkan peningkatan tekanan intrakranial dan mengurangi


Prognosis perfusi serebral sehingga sering menyebabkan kehilangan keasadaran
sementara. Efek lanjut dari perdarahan subarachnoid meliputi vasospasme,
yang dapat menyebabkan infark otak dan hidrosefalus komunikans

Daftar kepustakaan Buku Ajar Neurologi


STROKE PADA ANAK Kode ICD :
DEPARTEMEN IKA I64
RSMH PALEMBANG No Dokumen No.Revisi Halaman :
…………. …………….. 60
Ditetapkan Oleh,
Panduan Praktek Tanggal Revisi Ketua Divisi Neurologi
Klinis ………………..

Dr. Msy. Rita Dewi, SpA(K)

Definisi Stroke adalah gangguan fungsi neurologis yang mendadak akibat lesi
vaskuler di otak yang menimbulkan gejala-gejala defisit neurologis

Etiologi Kelainan pembuluh darah otak


Faktor predisposisi : kelainan jantung, infeksi, trauma, penyakit sistemik,
status epileptikus, malformasi arteriovenous dan idiopatik

Patogenesis  Terganggunya aliran darah ke otak akibat trombosis atau emboli


menyebabkan asidosis metabolik lokal dan dilatasi pembuluh darah
 Ruptur pembuluh darah dengan perdarahan ke jaringan otak
Anamnesis
 Riwayat timbulnya defisit neurologis mendadak
 Riwayat penyakit hematologi, hipertensi, jantung, kolagen atau infeksi
sistemik yang non spesifik dan infeksi sistem syaraf
 Dapat ditemui riwayat sakit kepala/muntah yang mendahului defisit
neurologi
 Cari faktor pencetus

Pemeriksaan fisik  Pemeriksaan fisik umum pada dasarnya ditujukan untuk mengevaluasi
faktor predisposisi
 Pemeriksaaan neurologis, dicari adanya kelainan motorik, sensorik,
fungsi luhur, lapang pandang, serta kelumpuhan syaraf otak.
Pemeriksaan funduskopi adakah perdarahan retina, papil N. II yang
kabur

Kriteria Diagnosis  Adanya defisit neurologis mendadak


 Pemeriksaan penunjang

Pemeriksaan Pemeriksaan untuk mendeteksi faktor predisposisi :


Penunjang  Pemeriksaan darah lengkap, pemeriksaan faktor pembekuan, kimia
adarah
 CT Scan dan MRI kepala
 Angiografi

Tatalaksana 1. Terapi umum :


 Airway : mengusahakan jalan nafas yang bebas agar oksigenasi
otak terjamin
 Brain : mencegah jangan sampai terjadi edema otak
 Circulatory: mempertahankan / mengusahakan fungsi
kardiovaskuler secara ketat agar dapat berfungsi optimal
 Infection : mencegah infeksi sekunder
 Nutrition : memberikan makanan cukup kalori dan protein
2. Terapi khusus
 medik : tirah baring minimal 4 minggu. Pada stroke hemoragik
mengupayakan penderita tdk mengedan, menjaga keseimbangan
elektrolit
 bedah : diindikasikan bila faktor predisposisi berupa aneurisma dan
malformasi arteriovenous.
3. Rehabilitasi
 Fisioterapi
 Speech terapi
 Terapi oksigen
 Ortotik prostetik
4. Mengobati penyakit yang merupakan faktor resiko

Edukasi Fisioterapi rutin


Pendidikan untuk anak pasien hemiplegic yang sring disertai retardasi
mental memerlukan sekolah khusus

Daftar kepustakaan Buku Ajar Neurologi bab 14

Lain-lain (Algaritma,
Protokol, Prosedur,
Standing Order)
SEREBRAL PALSI Kode ICD :
DEPARTEMEN IKA G80.9
RSMH PALEMBANG No Dokumen No.Revisi Halaman :
…………. …………….. 62
Ditetapkan Oleh,
Panduan Praktek Tanggal Revisi Ketua Divisi Neurologi
Klinis ………………..

Dr. Msy. Rita Dewi, SpA(K)

Definisi Suatu kelainan gerakan dan postur yang tidak progresif, oleh karena suatu
kerusakan/gangguan pada sel-sel motorik pada susunan saraf pusat yang
sedang tumbuh/belum selesai pertumbuhannya

Etiologi 1. Pranatal
 Infeksi intrauterin: TORCH, sifilis
 Radiasi
 Asfiksia intrauterin
 Toksemia gravidarum
 DIC
2. Perinatal
 Anoksia/hipoksia
 Perdarahan otak
 Prematuritas
 Postmaturitas
 Hiperbilirubinemia
 Gemelli
3. Postnatal
 Trauma kepala
 Meningitis/ensefalitis
 Racun: logam berat, CO

Bentuk Klinis Berdasarkan tipe


(Klasifikasi) I. Spastik: hemiplegia, diplegia, tetraplegia, paraplegia, triplegia
II. Diskinetik: atetosis, distonia
III. Hipotonik: diplegia atonik, hipotonia & ataksia, hipotonia & atetosis
IV. Ataksia
V. Campuran: spastisitas dan ataksia, spastisitas dan atetosis

Berdasarkan Gejala Klinis


 Spastik: monoparese, hemiparese, paraparese, triparese, tetraparese
 Atetoid: diskinetik, distonik
 Rigid
 Ataksia
 Tremor
 Atonik/hipotonik
 Campuran: spastik-atetoid, rigid-spastik, spastik-ataksik

Berdasarkan Fungsi Motorik Kasar


 Derajat I : berjalan tanpa hambatan, keterbatasan terjadi pada
gerakan motorik kasar yang lebih rumit.
 Derajat II : berjalan tanpa alat bantu, keterbatasan dalam ber-jalan di
luar rumah dan di lingkungan masyarakat.
 Derajat III : berjalan dengan alat bantu mobilitas, keterbatasan dalam
berjalan di luar rumah dan di lingkungan masyarakat.
 Derajat IV : kemampuan bergerak sendiri terbatas, mengguna-kan
alat bantu gerak yang cukup canggih untuk berada di luar
rumah dan di lingkungan masyarakat.
 Derajat V : kemampuan bergerak sendiri sangat terbatas, walaupun
sudah menggunakan alat bantu yang canggih

Anamnesis  Gangguan motorik


Spastisitas, rigiditas, ataksia, tremor, atonik/hipotonik, refleks primitif tidak
ada (fase awal) atau menetap (fase lanjut), diskinesia
 Gejala penyerta
- Retardasi mental
- Kejang-kejang
- Gangguan psikologis

Pemeriksaan fisik  Spastik: monoparese, hemiparese, paraparese, triparese, tetraparese


 Atetoid: diskinetik, distonik
 Rigid
 Ataksia
 Tremor
 Atonik/hipotonik

Kriteria Diagnosis  Riwayat prenatal, perinatal, gejala klinis, keterlambatan motorik kasar
 Pemeriksaan penunjang

Pemeriksaan  Pemeriksaan mata dan pendengaran


Penunjang  Pemeriksaan LCS
 Pemeriksaan serum antibodi terhadap TORCH
 Foto kepala
 CT scan/MRI kepala
 EEG, EMG, evoked potensialis
 Analisis kromosom
 Penilaian psikologis

Tatalaksana Hanya simtomatik, tidak ada pengobatan kausal. Memerlukan penanganan


holistik.
Aspek Medis
 Umum:
- Gizi
- Imunisasi,
- Perawatan kesehatan, pencegahan dekubitus
- Obat-obatan: anti kejang, muscle relaksan, psikotropik dll
 Fungsional
- Bedah ortopedi
- Fisioterapi
- Terapi okupasi
- Ortostatik
- Terapi bicara
Aspek Nonmedis
 Pendidikan
 Pekerjaan
 Problem sosial
 Lain-lain: olahraga, rekreasi, kesenian, aktivitas kemasyarakatan.
Edukasi Fisioterapi rutin
Kerjasama lini medis dan non medis

Komplikasi dan Makin baik bila manifestasi motornya lebih ringan dan manifestasi penyerta
Prognosis lebih sedikit

Daftar kepustakaan Buku ajar neurologi


MIASTENIA GRAVIS Kode ICD :
DEPARTEMEN IKA G.70.0
RSMH PALEMBANG No Dokumen No.Revisi Halaman :
…………. …………….. 65
Ditetapkan Oleh,
Panduan Praktek Tanggal Revisi Ketua Divisi Neurologi
Klinis ………………..

Dr. Msy. Rita Dewi, SpA(K)

Definisi Penyakit yang disebabkan oleh blokade neuromuskular secara imunologis


yang secara klinis ditandai dengan kelemahan otot otot skelet, biasanya
bersifat progresif.

Etiologi Imunologis

Patogenesis Pengeluaran asetilkolin ke dalam celah sinaps melalui terminal akson


normal, tetapi motor end plate menjadi kurang responsif. Penurunan jumlah
reseptor asetilkolin disebabkan oleh antibody pengikat reseptor dalam
sirkulasi.

Bentuk Klinis  MG neonatal sementara


(Klasifikasi)  MG congenital
 MG familial
 MG juvenile

Anamnesis Kelemahan otot yang bertambah berat pada siang dan sore hari atau
sesudah aktivitas

Pemeriksaan fisik  Kelemahan pada otot muka dan mata : Ptosis, diplopia, disfagia
 Kelemahan otot pernafasan yang bisa mengakibatkan gagal nafas
 Kelemahan pada otot anggota gerak

Kriteria Diagnosis  kelemahan otot (ptosis, kelemahan fleksi dan ekstensi leher serta
ekstremitas)
 Pemeriksaan penunjang: Uji tensilon, EMG  meningkatnya jitter value,
serologis (definitif)  antibodi anti AchR

Pemeriksaan Edrophonium Test (Tensilon Test)


Penunjang Elektromiogram (EMG)
Antibodi anti AchR
profil thyroid

Tatalaksana - Miastenia gravis ringan tidak memerlukan pengobatan


- Pemberian inhibitor kolinesterase : neostigmin metilsulfat 0.04 mg/kgBB
IM tiap 4-6 jam, alternatif lain piridostigmin
- Pengobatan steroid jangka panjang dengan prednison
- Plasmafaresis pada anak yang tidak resposif terhadap steroid
- Imunoglobulin Intaravena (IGIV) kadang kadang bermanfaat
Edukasi Pengobatan miastenia gravis merupakan pengobatan seumur hidup
sehingga diperlukan kerjasama dari pihak keluarga dan tenaga medis serta
non medis

Komplikasi dan Sukar diramalkan, beberapa sembuh spontan dalam beberapa bulan sampai
Prognosis beberapa tahun, yang lain menderita penyakit permanen sampai dewasa.

Daftar kepustakaan Buku Ajar Neurologi Bab 11

Lain-lain (Algaritma,
Protokol, Prosedur,
Standing Order)
ATROFI CEREBRAL Kode ICD :
DEPARTEMEN IKA G31.9
RSMH PALEMBANG No Dokumen No.Revisi Halaman :
…………. …………….. 67
Ditetapkan Oleh,
Panduan Praktek Tanggal Revisi Ketua Divisi Neurologi
Klinis ………………..

Dr. Msy. Rita Dewi, SpA(K)

Definisi Merupakan gejala umum dari banyak penyakit yang mempengaruhi otak.
Atropi menggambarkan hilangnya neuron dan hubungan di antaranya. Atropi
dapat digeneralisasi, yang berarti bahwa semua otak telah menyusut atau
dapat fokus, hanya mempengaruhi wilayah yang terbatas otak dan
mengakibatkan penurunan fungsi daerah kontrol otak

Etiologi Penyakit yang menyebabkan atropi serebral meliputi :


1. Stroke dan cedera otak traumatik.
2. Alzheimer, penyakit Pick, pikun, fronto-temporal demensia, dan
demensia vaskular.
3. Cerebral Palsy, di mana lesi (daerah rusak) dapat mengganggu
koordinasi motorik.
4. Penyakit Huntington, dan kelainan genetik lain yang menyebabkan
penumpukan kadar protein toksik di neuron.
5. Leukodistrofi, seperti Krabbe penyakit, yang merusak selubung myelin
yang melindungi akson.
6. Ensefalomiopati mitokondria, seperti sindrom Kearns-Sayre, yang
mengganggu fungsi dasar neuron.
7. Multiple Sclerosis, yang menyebabkan peradangan, kerusakan myelin,
dan luka di jaringan otak.
8. Penyakit menular, seperti ensefalitis, neurosifilis, dan AIDS, di mana
agen infeksius atau reaksi inflamasi itu merusak neuron dan akson.
9. Epilepsi, di mana menyebabkan lesi abnormal discharge elektrokimia
yang mengakibatkan kejang
10. Malnutrisi dan perubahan hormonal abnormal

Patogenesis Tergantung penyakit yang mendasarinya

Anamnesis  Adanya penyakit yang melatarbelakangi timbulnya atrofi cerebral


 Gangguan memori
 Gangguan bicara dan bahasa

Pemeriksaan fisik Banyak penyakit yang menyebabkan atropi serebral berhubungan dengan
demensia, kejang, dan sekelompok gangguan bahasa yang disebut aphasia.
Demensia ditandai oleh gangguan progresif memori dan fungsi intelektual
yang cukup parah untuk mengganggu pekerjaan sosial dan keterampilan.
Memori, orientasi, abstraksi, kemampuan untuk belajar, persepsi visual-
spasial, dan fungsi eksekutif yang lebih tinggi seperti perencanaan,
pengorganisasian juga dapat terganggu.
Kejang dapat mengambil bentuk yang berbeda, muncul sebagai disorientasi,
gerakan aneh berulang-ulang, kehilangan kesadaran atau kejang-kejang.
Aphasia adalah sekelompok gangguan yang ditandai oleh gangguan dalam
berbicara dan memahami bahasa. Aphasia reseptif menyebabkan gangguan
pemahaman. Aphasia ekspresif tercermin dalam pilihan kata-kata aneh,
penggunaan parsial frase, klausa terputus-putus, dan kalimat-kalimat tidak
lengkap.
Kriteria Diagnosis Anamnesis
Pemeriksaan fisik
Pemeriksaan penunjang

Pemeriksaan CT Scan
Penunjang MRI
EEG

Tatalaksana Secara umum, simtomatik dan suportif. Dalam beberapa kasus, terapi obat
dapat meredakan beberapa gejala. Perawatan dengan mempertahankan
dan menstimulasi individu dapat meningkatkan kualitas hidup mereka

Edukasi Edukasi pada keluarga pasien untuk menstimulasi pasien guna


meningkatkan kualitas hidupnya
Fisiotherapi

Daftar kepustakaan SP IKA RSMH

Lain-lain (Algaritma,
Protokol, Prosedur,
Standing Order)
HIDROCEPHALUS Kode ICD :
DEPARTEMEN IKA G91.9
RSMH PALEMBANG No Dokumen No.Revisi Halaman :
…………. …………….. 69
Ditetapkan Oleh,
Panduan Praktek Tanggal Revisi Ketua Divisi Neurologi
Klinis ………………..

Dr. Msy. Rita Dewi, SpA(K)

Definisi Pembesaran sistem ventrikal akibat ketidak seimbangan antara produksi


dan absorbsi cairan serebrospinalis (CSS).

Etiologi Penyebab penyumbatan aliran LCS :


 Kelainan congenital
 Infeksi
 Neoplasma
 perdarahan

Patogenesis Terdapat penyumbatan aliran LCS pada salah satu tempat antara tempat
pembentukan LCS dalam system ventrikel dan tempat absorpsi dalam
ruang sub arachnoid, sehingga terjadi dilatasi ruangan LCS di atasnya

Bentuk Klinis 1. Hidrosefalus komunikans


(Klasifikasi) 2. Hidrosefalus non komunikans

Anamnesis Kepala terlihat lebih besar dibanding tubuh

Pemeriksaan fisik Pada bayi tampak pembesaran kepala yang abnormal, ubun-ubun besar
melebar dan menonjol, sutura melebar, “crackpot sign”, “sun set sign”, gagal
tumbuh, terlambatnya pertumbuhan motorik khususnya kekuatan leher.
Pada anak : gejala peningkatan tekanan intrakranial seperti sakit kepala,
muntah, letargi.

Kriteria Diagnosis  Gambaran klinis :


Pada bayi tampak pembesaran kepala yang abnormal, ubun-ubun besar
melebar dan menonjol, sutura melebar, “crackpot sign”, “sun set sign”,
gagal tumbuh, terlambatnya pertumbuhan motorik khususnya kekuatan
leher.
Pada anak : gejala peningkatan tekanan intrakranial seperti sakit kepala,
muntah, letargi.
 USG transfontanella : pelebaran sistem ventrikel
 CT- scan : pelebaran sistem ventrikel

Pemeriksaan  USG transfontanella


Penunjang  CT Scan

Tatalaksana Medikamentosa :
 Indikasi : bila pembesaran ventrikel ringan dan stabil
 Diberikan : Asetazolamid 40-75 mg/kgBB/hari
Operatif :
Indikasi : - hidrosefalus progresif
- pembesaran ventrikel sedang atau berat, umur dibawah 3 tahun
dipasang VP shunt

Edukasi Semua penderita dengan atau tidak dipasang shunt harus diobservasi
selama 2 tahun pertama dengan CT- scan pada bulan ke 12 dan 24 dan
selanjutnya dengan melihat kemampuan sekolah sesuai dengan umurnya

Daftar kepustakaan Buku Ajar Neurologis

Lain-lain (Algaritma,
Protokol, Prosedur,
Standing Order)
SINDROMA NEUROKUTAN Kode ICD :
DEPARTEMEN IKA
RSMH PALEMBANG No Dokumen No.Revisi Halaman :
…………. …………….. 71
Ditetapkan Oleh,
Panduan Praktek Tanggal Revisi Ketua Divisi Neurologi
Klinis ………………..

Dr. Msy. Rita Dewi, SpA(K)

Definisi Sindrom neurokutan mencakup lesi di kulit dan susunan syaraf, sering
disertai kelainan di mata dan visera. Sindrom yang tergolong kelainan ini di
antaranya tuberosklerosis, neurofibromatosis, penyakit Sturge-Weber, dan
ataxia telangiektasia

Etiologi Tergantung bentuk klinis

Patogenesis Tergantung bentuk klinis

Bentuk Klinis Tuberosclerosis


(Klasifikasi) Neurofibromatosis
Penyakit Sturge weber
Ataxia telangiektasia

Anamnesis Tergantung bentuk klinis

Pemeriksaan fisik Tergantung bentuk klinis

Kriteria Diagnosis  Anamnesis


 Pemeriksaan fisik
 Pemeriksaan penunjang

Pemeriksaan  CT Scan
Penunjang  Alfa feto protein  ataxia telangiektasis

Tatalaksana Tergantung bentuk klinis

Komplikasi dan Tergantung bentuk klinis


Prognosis

Daftar kepustakaan Buku Ajar Neurologi

Lain-lain (Algaritma, Tuberosklerosis (ICD-10: Q85.1)


Protokol, Prosedur, Merupakan kelainan degenerative neuroektodermal yang ditandai oleh trias
Standing Order) epilepsy, retardasi mental dan adenoma sebaseum.

Diagnosis: klinis rontgen tengkorak (perkapuran periventrikular, kalsifikasi


intracranial di daerah foramina Monroe atau periventrikular); CT scan
(hematoma serebral, tumor subependim, ventrikulomegali dan daerah
demielinisasi difus.

Pengobatan:
Mencakup pengobatan epilepsy dan penilaian fungsi intelektual.
Metilphenidat atau dekstroamfetamin dapat mengurangi hiperaktifitas.
Prognosis:
Sangat bervariasi. Dengan gangguan ringan (bentuk tidak komplit) prognosis
lebih baik.

Penyakit Sturge Weber (ICD-10: Q85.5)


Manifestasi klinis:
Nevus di muka adalah congenital, unilateral, melipatkan muka bagian atas,
kelopak mata superior, atau daerah supraorbital.
Angioma dapat melibatkan selapun mukosa nasofaring dan membrane
koroid mata serta visera lainnya.

Diagnosis:
Bila dijumpai nevus vascular pada muka yang disertai manifestasi epilepsy.
CT Scan : kalsifikasi intraKranial yang khas( tersusun seperti garis yang
paralel atau konvolusi seperti ular, menonjol di daerah oksipital)

Pengobatan:
Tergantung pada manifestasi klinis, misalnya antikonvulsan bagi epilepsy,
fisioterapi bila ada kelumpuhan, dan pemeriksaan mata untuk mendeteksi
glaucoma. Hemisferektomi dapat dipertimbangkan pada bayi usia satu tahun
dan serangan epilepsy yang tidak dapat dikontrol.

Neurofibromatosis (ICD-10: Q85.0)


Suatu degenerasi neuroektodermal yang ditandai oleh pertumbuhan local
berlebih dari unsure mesoderm dan ectoderm di kulit dan system syaraf.

Manifestasi klinis: Ada 2 jenis neurofibromatosis, yaitu jenis perifer dan


sentral.
Bentuk perifer : bercak kopi susu (caffe au lait) multiple, neurofibromatosis
subkutan, neurofibromata yang letaknya lebih dalam.
Bentuk sentral: neurilemoma pada syaraf otak VII atau syaraf otak lain.
Tumor dapat bilateral atau multiple dan terdapat tanda neurofibromatosis di
kutan.

Diagnosis:
Biopsi tumor subkutan, pemeriksaan MRI atau CT scan menunjukkan
neurilemoma. Rontgen thoraKS dan abdomen menunjukkan neurofibroma di
mediastinum atau retroperitoneum.

Pengobatan:
Neurofibroma yang mengakibatkan kompresi pada syaraf perifer atau pada
medulla spinalis membutuhkan tindakan bedah untuk dibuang.

Ataxia Teleangiektasia (ICD-10: G11.3)


Ditandai oleh ataxia cerebral yang progresif, telangiektasia okulokutaneus,
dan tingginya frekuensi infeksi sinus dan paru.

Diagnosis:
Depresi IgA dan IgE dalam serum, kadar alfafetoprotein dalam serum
meningkat, rontgen tengkorak (sinusitis kronik), rontgen paru (pneumonia,
bronchitis, dan bronkiektasis), CT scan (atropi serebelar).

Pengobatan:
Tidak ada pengobatan khusus

Anda mungkin juga menyukai