RSU NEGARA
2
mg untuk anak dengan berat badan < 10 kg dan 10 mg dengan
berat > 10 kg.
Bila setelah pemberian diazepam rektal kejang belum terhenti,
dapat diulang lagi dengan cara dan dosis yang sama dengan
interval 5 menit. Bila setelah 2 kali pemberian diazepam rektal
masih tetap kejang, dapat diberikan diazepam dengan dosis 0,3
-0,5 mg/kg IV (perlahan-lahan). Bila kejang masih belum
teratasi dapat diulang dengan dosis yang sama 20 menit
kemudian. Bila kejang telah berhenti, pemberian obat
selanjutnya tergantung dari jenis kejang demam apakah kejang
demam sederhana atau kompleks dan faktor resikonya.
b. Mengatasi demam, mencari, dan mengobati penyebab demam.
Antipiretik : Paracetamol 10-15 mg/KgBB/dosis PO atau
Ibuprofen 5-10 mg/KgBB/dosis PO, keduanya diberikan sehari
3-4 kali
Kompres : suhu >39C : air hangat; suhu > 38C : air biasa
Pengobatan penyebab : antibiotik diberikan sesuai indikasi
dengan penyakit dasarnya.
c. Pengobatan profilaksis terhadap berulangnya kejang demam.
Pasien yang dirawat di rumah sakit, bila kejang sudah berhenti
dengan diazepam, dapat diberikan antikonvulsan long acting
(phenobarbital) jika ada faktor risiko: kejang lama, kejang
fokal/parsial, adanya kelainan neurologis yang nyata, kejang
multipel>2 kali, riwayat epilepsi keluarga.
Dosis phenobarbital: loading dosesecara intramuskuler
Neonatus: 30 mg
Bayi : 50 mg
>1 tahun : 75 mg
Dilanjutkan 12 jam kemudian phenobarbital oral;
8-10 mg/kgbb/hari di bagi 2 dosis (selama 2 hari)
Selajutnya 3-5 mg/kgbb/hari dibagi 2 dosis.
RSU NEGARA
7
Spesialis Anestesi
Lama
15. 3-5 hari tergantung kondisi pasien
Perawatan
16. Masa Pemulihan 1 minggu tergantung kondisi pasien
17. Hasil Tidak ada kejang/ kondisi membaik
18. Patologi Tidak
19. Otopsi Tidak
Dubia
Tergantung pada :
Penyakit dasar
20. Prognosis Kecepatan penanganan kejang
Komplikasi
Angka mortalitas konvulsif status epileptikus mencapai 3-11%
8
Aicardis Epilepsy in children. Lippincott Williams & Wilkins,
2004.h.456-98. 325
4. Aicardi J. Status epileptikus in infant and children: consenquences
and prognosis. Int. Pediatr 1987; 2:189-95.
5. Widodo DP. Algoritme penanganan status epileptikus pada bayi dan
anak. Dalam: Pusponegoro HD, Handryastuti S, Kurniati N.
Pediatric neurology and neuroemergency in Daily practice. Naskah
lengkap PKB XLIX IKA. Jakarta; Badan penerbit IDAI, 2006. h.
63-69.
6. Walker MC. Serial seizure and status epileptikus. Neurology
2003;31-38.
9
PANDUAN PRAKTIK KLINIS
INSTALASI GAWAT DARURAT
RUMAH SAKIT UMUM NEGARA
RSU NEGARA
10
dinding dada.
Sedang; ditandai dengan batuk menggonggong yang sering
timbul, stridor yang mudah terdengar ketika pasien
beristirahat/tidak beraktivitas, retraksi dinding dada sedikit
lebih jelas tetapi tidak ada gawat napas.
Berat; ditandai dengan batuk menggonggong yang sering
timbul, stridor inspirasi terdengar jelas ketika pasien
beristirahat, kadang-kadang disertai stridor ekspirasi, retraksi
dinding dada sangat jelas, dan gawat napas.
Gagal napas mengancam; batuk kadang-kadang tidak jelas,
terdengar stridor (kadang-kadang sangat jelas ketika pasien
beristirahat), gangguan kesadaran, dan letargi.
Berdasarkan manifestasi klinik.
Radiograf berguna untuk menyingkirkan diagnosis lain, jarang
Kriteria
6. bermanfaat untuk membuat diagnosis.
Diagnosis Foto leher pada posisi A-P dan lateral tampak menyempitan area
subglotik sehingga tampak seperti menara (steeple sign)
Benda asing.
Epiglotitis.
Trakeitis bakterial.
Diagnosis Croup spasmodik.
7.
Banding Abses peritonsiler
Uvulitis.
Hemangioma
Neoplasma.
Laboratorium
Darah Lengkap
Pemeriksaan Kimia Klinik (Gula Darah Sewaktu)
8. Radiograf
Penunjang
Pemeriksaan lainnya sesuai indikasi apabila pasien stabil / setelah
konsultasi
9. Konsultasi Dokter Spesialis Anak
Perawatan
10. Unit Gawat Darurat, Rawat Inap, Rawat Jalan
Rumah Sakit
11. Terapi / 1. Evaluasi dan stabilisasi ABC (Airway, Breathing, dan Circulation)
2. Oksigenasi dengan target saturasi oksigen 93% Oksigen untuk
Tindakan
obstruksi sedang atau berat)
3. Pasang IV line
4. Uap dingin (cold mist) akan melembabkan, meringankan inflamasi,
dan
5. Konsultasi kepada dokter spesialis anak yang bertugas jaga pada
hari tersebut untuk mendapatkan tatalaksana lanjutan.
6. Apabila dokter spesialis yang bertugas jaga tidak dapat dihubungi,
11
maka dicoba menghubungi dokter spesialis anak yang lain untuk
konsultasi. Apabila dokter spesialis tetap tidak dapat dihubungi,
dapat dilakukan tatalaksana sebagai berikut:
Epinefrin rasemik atau epinefrin-L. Karena epinefrin
rasemik tidak tersedia maka dipakai epinefrin-L dengan
dosis 0,5 ml/kgBB/dosis larutan 1:1.000, diencerkan 3 ml
NaCl 0,9%, dengan dosis maksimal 2,5 ml/dosis untuk usia
< 4 tahun dan 5 ml/dosis untuk usia > 4 tahun.
Kortikosteroid: deksametason 0,6 mg/kgBB/dosis
PO/IV/IM, bisa diulang dalam 6-24 jam. Dapat juga
diberikan budesonid 2-4 mg secara nebulisasi, dan dapat
diulang dalam 12-48 jam pertama.
Antibiotik tidak diperlukan kecuali disertai infeksi bakteri.
Pada obstruksi berat, intubasi endotrakeal merupakan terapi
alternatif selain trakeostomi. Pada keadaan ini perlu konsul
dengan bagian THT.
7. Terus berusaha menghubungi dokter spesialis anak yang bertugas
jaga pada hari tersebut untuk mendapatkan tatalaksana lanjutan.
8. Observasi keluhan, tanda-tanda vital, dan SpO2
9. KIE pasien dan keluarga mengenai penyakit, tatalaksana, serta
risiko.
Tempat
Rumah Sakit Tipe A, B, atau C
Pelayanan
Sekitar 15% kasus terjadi otitis media, dehidrasi, dan pneumonia.
12. Penyulit
Dapat juga terjadi gagal napas dan gagal jantung.
Informed
13. Ya
Consent
14. Tenaga Standar Dokter Umum (Dokter Jaga UGD), Dokter Spesialis Anak
Lama
15. 3-5 hari tergantung kondisi pasien
Perawatan
16. Masa Pemulihan 1 minggu tergantung kondisi pasien
17. Hasil Keluhan membaik
18. Patologi Tidak
19. Otopsi Tidak
Dubia
13
14
15
PANDUAN PRAKTIK KLINIS
INSTALASI GAWAT DARURAT
RUMAH SAKIT UMUM NEGARA
RSU NEGARA
5. Pemeriksaan Bila ada tanda infeksi, pikirkan muntah sebagai salah satu gejala infeksi
Fisik tersebut
Bercak putih dengan dasar merah pada rongga mulut perlu dipikirkan
suatu kandidosis oral
Hipersalivasi pada bayi baru lahir, pikirkan atresia esofagsus
Muntah yang didahului gambaran gerakan peristaltik lambung setelah
diberi minum, pikirkan stenosis pilorus hipertrofi
16
Distensi perut dan pada colok dubur ditemukan ampula kolaps, pikirkan
kemungkinan Morbus Hirschsprung
Perut distensi dan bising usus meningkat pada daerah proksimal dan
menurun pada daerah distal perlu pikirkan obstruksi saluran cerna
Muntah pada bayi yang disertai gejala klinis lainnya seperti diare,
kembung, eritema natum, sering flatus, pikirkan intoleransi laktosa
Muntah pada bayi sehat dan tidak ditemukan gejala seperti yang disebut
di atas, perlu dipikirkan adanya faktor non-organik, seperti teknik
pemberian minum atau iritasi cairan amnion (bayi baru Iahir).
Kontraksi otot dinding perut yang didahului fase mual dan retching
sebagai upaya mengeluarkan isi lambung
Nyeri perut yang mendahului muntah, muntah berwarna kehijauan, atau
perut distensi merupakan petunjuk kemungkinan adanya obstruksi
saluran cerna
Muntah tanpa didahului mual dan retching merupakan petunjuk
Bila tidak ditemukan kelainan organ, perlu dipikirkan faktor non-organik
sebagai penyebab muntah.
Penilaian status dehidrasi
Kriteria
6.
Diagnosis
Atresia Esofagus
Gangguan Gastric Outlet
Diagnosis
7. Morbus Hirchsprung
Banding Ileus (paralitik/obstruktif)
Infeksi
Faktor psikogenik
8. Pemeriksaan Kecurigaan terhadap atresia esofagus dapat dilakukaa pemasangan pipa
Penunjang nasogastrik dan pemeriksaan foto rontgen toraks.
Adanya gangguan gastric outlet dapat di buktikan dengan pemeriksaan
barium meal, sedangkan stenosis pilorus hipertrofi selain dengan barium
meal dapat dibuktikan dengan pemeriksaan ultrasonografi.
Kecurigaan terhadap Morbus Hisrchsprung dapat dilakukan pemeriksaan
17
barium enema dan biopsi hisap rectum.
Ileus (paralitik atau obstruksi) dapat dibuktikan dengan pemeriksaan foto
polos abdomen 2 atau 3 posisi untuk melihat distribusi udara.
Infeksi dapat dibuktikan dengan pemeriksaan darah perifer lengkap
Kecurigaan RGE dapat dibuktikan dengan melakukan pemeriksaan
pemantauan pH esofagus 24 jam.
Kecurigaan kelainan organ di luar saluran cerna dapat dilakukan
pemeriksaan sesuai SPM kelainan tersebut.
9. Konsultasi Dokter Spesialis Anak
Perawatan
10. Unit Gawat Darurat, Rawat Inap, Rawat Jalan
Rumah Sakit
11.Terapi / 1. Mencari penyebab muntah.
2. Atasi keadaan dehidrasi dan kelainan metabolik yang terjadi akibat
Tindakan
muntah.
3. Kelainan organik yan menyebabkan obstruksi saluran cerna (parsial
atau total) dikonsulkan ke Bagian Bedah untuk dilakukan koreksi.
4. Atasi infeksi yang ada.
5. Muntah yang bukan disebabkan oleh kelainan organik.
Umumnya akan berhenti dalam waktu 6-24 jam tanpa pemberian
obat anti muntah.
Obat anti muntah diberikan kepada kasus dengan muntah berlebihan
yang dikawatirkan akan menggangu keseimbangan cairan dan
elektrolit.
6. Obat anti muntah: domperidon 0,25 mg/kgBB diberikan 3 kali sehari
bila tidak didapatkan tanda dehidrasi
7. Bila pasien terus menerus muntah dan terdapat tanda dehidrasi
pertimbangkan dilakukan rehidrasi dengan pemasangan IV line dengan
dosis sesuai derajat dehidrasi dan edukasi kuluarga untuk MRS.
Tanpa Dehidrasi
Obat anti muntah: domperidon 0,25 mg/kgBB diberikan 3 kali dan
minum setiap muntah
Dehidrasi Ringan-Sedang
Dapat diberikan infus dengan cara pemberian cairan intravena
secepatnya. Berikan 70 ml/kg BB cairan Ringer Laktat atau Ringer
asetat (atau jika tak tersedia, gunakan larutan NaCl) yang dibagi
sebagai berikut :
18
Dehidrasi Berat
Dapat diberikan infus dengan cara pemberian cairan intravena
secepatnya. Berikan cairan Ringer Laktat atau Ringer asetat (atau
jika tak tersedia, gunakan larutan NaCl) yang dibagi sebagai berikut:
8. Konsultasi kepada dokter spesialis anak yang bertugas jaga pada hari
tersebut untuk mendapatkan tatalaksana lanjutan.
9. Observasi keluhan, tanda-tanda vital, dan CM-CK
10. KIE pasien dan keluarga mengenai penyakit, tatalaksana, serta risiko.
Penjelasan kepada orang tua cara memberikan minuman yang benar
kepada bayinya.
Tempat
Rumah Sakit Tipe A, B, atau C
Pelayanan
Status dehidrasi
12.Penyulit Pasien tidak koperatif
Orang tua tidak koperatif
Informed
13. Ya
Consent
Tenaga
14. Dokter Umum (Dokter Jaga UGD), Dokter Spesialis Anak
Standar
Lama
15. 3-5 hari tergantung kondisi pasien
Perawatan
Masa
16. 1 minggu tergantung kondisi pasien
Pemulihan
17.Hasil Keluhan membaik
18.Patologi Tidak
19.Otopsi Tidak
20.Prognosis Dubia
Tindak Rawat inap dengan perawatan oleh dokter spesialis anak
21.
Lanjut Kontrol ke poliklinik spesialis anak
Tingkat
4
22.Evidens &
Rekomendasi
Indikator
23. Pasien sehat / keluhan membaik
Medis
19
Anak diistirahatkan (sebaiknya di tempat tidur) sampai merasa lebih
enak
Minuman diberikan dengan menggunakan sendok, sedikit demi sedikit
yang dinaikkan secara bertahap setiap 15 menit.
24.Edukasi Dapat diberikan minuman manis seperti jus (kecuali jeruk dan anggur
karena terlalu asam), sirup, atau madu (umur di atas 1 tahun).
Hindarkan makanan padat selama 6 jam.
Berikan rasa nyaman (turunkan suhu tubuh).
Hindarkan aktivitas berlebihan setelah makan.
1. Hegar B, Vandenplas Y. Gastroessophageal reflux in infancy. J Pediatr
Gastroenterol Nutr 1999;14:13-9.
2. Dodge JA. Vomiting and regurgitation. Dalam: Walker WA, Durie PR,
Hamilton JR, Walker-Smith JA, Watkins JB, penyunting. Pediatric
gastrointestinal diseases: Pathophysiology, diagnosis, management. Edisi
ke-1. Philadelphia: BC. Decker; 1999.p. 32-40.
3. Rudolph CD. Diagnosis and management of children with feeding
disorders. Dalam: Hyman PE, penyunting. Pediatric gastrointestinal
motility disorders. Edisi ke-1. New York: Academic Profesional
Information Services Inc; 1994.h. 33-43.
4. Weber AR, Hyman PE, Cucchiara S, Fleisher DR, Hyams JS, Milla PJ,
Staiano A. Childhood functional gastrointestinal disorders. Gut 1999;
45(suppl II): 60-8.
25.Kepustakaan 5. Rudolph CD, Mazur Lj, Liptak CS, Baker RD, Boyle JT, Colleti RB,
Gerson WT, Werlin SL. Guidelines for evaluation and treatment of
gastroesophageal reflux in infants and children: Recommendations of
The North American Society for Pediatric Gastroenterology and
Nutrition. J Pediatr Gastroenterol Nutr 2001; 32(Suppl 2): 1-31.
6. Kimura K, Loaning BV. Billious Vomiting in the newborn: rapid
diagnosis of intestinal obstruction. J Am Fam Physician 2002; 61:2791-
8.
7. Dinkevich E, Ozuah PO, Adain HM. Pyloric stenosis. Pediatric in review
2000; 21:1-3.
8. Roy CC, Silverman A, Alagille D. Diseases of the gastrointestinal tract.
Dalam: Roy CC, Silverman A, Alagille D, penyunting. Pediatric clinical
gastroenterology. Edisi ke-1. St Louis: Mosby; 1994: 20-30.
20
PANDUAN PRAKTIK KLINIS
INSTALASI GAWAT DARURAT
RUMAH SAKIT UMUM NEGARA
RSU NEGARA
22
Apne atau henti napas,
Tetap sianosis dengan pemberian O2,
Tidak mampu mempertahankan PaO2 > 50 mmHg dengan
FiO2>80%,
Tidak mampu mempertahankan PaCO2 < 55 mmHg,
Terdapat tanda-tanda syok.
Berdasarkan klinis.
Pemeriksaan penunjang dapat mengkorfimasi diagnosis dan
memprediksi perjalanan penyakit:
Baku emas: usapan nasofaring untuk biakan RSV. Rapid RSV test:
Elisa, direct fluorescent antibody staining (sensitivitas dan
spesifisitas 90%).
Serologi: terbatas karena perlu waktu 7-10 hari untuk serokonversi
setelah inokulasi.
Pulse oxymetri: dapat membantu menentukan derajat hipoksia dan
Asma bronkiale.
Pneumonia.
Diagnosis Gagal jantung.
7. Aspirasi benda asing.
Banding Bronkomalasia.
Vascular ring.
Fibrosis kistik.
1. Foto polos dada AP dan lateral
Pemeriksaan 2. Analisa Gas Darah
8.
Penunjang 3. Pemeriksaan untuk mendeteksi Antigen RSV
24
risiko.
Tempat
Puskesmas, Rumah Sakit Tipe A, B, atau C
Pelayanan
12. Penyulit infeksi
Informed
13. Ya
Consent
14. Tenaga Standar Dokter Umum (Dokter Jaga UGD), Dokter Spesialis Anak
Lama
15. -
Perawatan
16. Masa Pemulihan 5-7 hari
17. Hasil Sembuh dengan atau tanpa komplikasi
18. Patologi Tidak
19. Otopsi Tidak
20. Prognosis Dubia
Rawat inap dengan perawatan oleh dokter spesialis anak
21. Tindak Lanjut
Kontrol ke poliklinik spesialis anak
Tingkat Evidens 4
22.
& Rekomendasi
Perbaikan gejala klinis
23. Indikator Medis
Perbaikan saturasi oksigen dan analisa gas darah
1. Menghindari paparan asap rokok baik saat bayi dalam kandungan
maupun setelah lahir
2. Pemberian ASI pada saat bayi dan pemberian nutrisi yang cukup
saat anak-anak
24. Edukasi
3. Lingkungan rumah yang cukup ventilasi dan sinar matahari
4. Bila bayi terutama di bawah 6 bulan menderita infeksi saluran nafas
akut yang masih ringan agar segera diperiksakan ke dokter
RSU NEGARA
26
-2 dan / atau nebulisasi kortikosteroid sebanyak tiga kali dengan jarak
masing-masing 20 menit, serta kortikosteroid sistemik. Beberapa faktor
risiko yang berhubungan dengan status asmatikus antara lain:
Riwayat serangan asma yang membutuhkan intubasi / ventilasi
mekanik
Riwayat perawatan di rumah sakit / kunjungan ke instalasi gawat
darurat dalam satu tahun terakhir
Dengan riwayat gangguan / penyakit psikiatri atau masalah
psikososial, termasuk penggunaan sedasi
Riwayat tidak patuh dengan pengobatan asma jangka panjang.
Masih didapatkan tanda-tanda sebagai berikut setelah dilakukan pemberian
oksigen, nebulisasi agonis -2 dan / atau nebulisasi kortikosteroid sebanyak
tiga kali dengan jarak masing-masing 20 menit, serta kortikosteroid
Pemeriksaan sistemik.
5.
Fisik Pasien tampak sesak, gelisah, sulit bicara
Hiperinflasi dada
Penggunaan otot bantu napas
Sianosis apabila serangan sangat berat
Mengi / wheezing pada auskultasi thoraks
Takikardi
6. Kriteria Pasien serangan asma dengan keluhan sesak dan temuan mengi / wheezing
Diagnosis yang signifikan dan tidak menunjukkan perbaikansetelah dilakukan
pemberian oksigen, nebulisasi agonis -2 dan / atau nebulisasi
kortikosteroid sebanyak tiga kali dengan jarak masing-masing 20 menit,
serta kortikosteroid sistemik.
27
28
7. Diagnosis Bronkiolitis
29
Croup
Pneumonia
Gagal jantung kongestif
Banding Tuberkulosis
Disfungsi laring
Obstruksi mekanis (misal tumor)
Emboli Paru
Laboratorium
Darah Lengkap
Pemeriksaan Kimia Klinik (Gula Darah Sewaktu, Ureum, Kreatinin)
8.
Penunjang Ro. Thoraks (apabila kondisi pasien stabil / setelah konsultasi)
Pemeriksaan lainnya (Analisis Gas Darah, Elektrolit, Spirometri,
dll) apabila pasien stabil / setelah konsultasi
Dokter Spesialis Anak
9. Konsultasi Dokter Spesialis Anaestesi (apabila memerlukan perawatan di ruang
rawat intensif)
Perawatan
10. Unit Gawat Darurat, Ruang Rawat Intensif, Rawat Inap, Rawat Jalan
Rumah Sakit
11. Terapi / 1. Evaluasi dan stabilisasi ABC (Airway, Breathing, dan Circulation)
2. Oksigenasi dengan target saturasi oksigen 93%
Tindakan
3. Pasang IV line / infus kristaloid
4. Pasien asma sebelumnya harus sudah mendapatkan oksigen, nebulisasi
bronkodilator (agonis -2 dan / atau antikolinergik) dan / atau nebulisasi
kortikosteroid sebanyak tiga kali dengan jarak masing-masing 20 menit.
Apabila setelahnya pasien masih sesak dan masih didapatkan mengi
yang signifikan, maka pasien dapat didiagnosis sebagai status
asmatikus.
5. Konsultasi kepada dokter spesialis anak dalam yang bertugas jaga pada
hari tersebut untuk mendapatkan tatalaksana lanjutan serta keputusan
apakah pasien akan dirawat di ruang rawat inap biasa atau ruang
intensif.
6. Apabila dokter spesialis yang bertugas jaga tidak dapat dihubungi, maka
dicoba menghubungi dokter spesialis penyakit anak yang lain untuk
konsultasi. Apabila dokter spesialis tetap tidak dapat dihubungi, dapat
dilakukan tatalaksana sebagai berikut:
a. Injeksi epinefrin / adrenalin 1:1.000 0,3-0,5 cc IM atau SC (dengan
pengawasan ketat), jika tidak berhasil:
b. Berikan Aminofilin intravena :
Bila pasien belum mendapatkan Aminofilin sebelumnya,
berikan amonofilin dosis awal 6 mg/kg BB drip dalam NS
atau D5% sebanyak 20 ml habis dalam 20-30 menit.
Selanjutnya berikan aminofilin dosis rumatan 0,5-1
30
mg/kgBB/jam
Bila pasien telah mendapatkan aminofilin (kurang dari 4
jam) dosis diberikan separuhnya.
c. Kortikosteroid
Injeksi Deksametason 0,2 mg/kgBB/x diberikan tiap 6-8 jam
selama 3-5 hari
d. Antibiotik (apabila ada indikasi / bukti infeksi bakteri sekunder)
Injeksi Anpicilin 25mg/kgBB/x tiap 6 jam atau Seftriakson
50mg/kgBB/x tiap 12 jam
e. Simtomatik
Antitusif atau mukolitik serta antipiretik apabila diperlukan
31
7. Terus berusaha menghubungi dokter spesialis penyakit anak yang
bertugas jaga pada hari tersebut untuk mendapatkan tatalaksana lanjutan
serta keputusan ruang rawat untuk pasien.
8. Observasi keluhan, tanda-tanda vital, dan saturasi oksigen.
9. KIE pasien dan keluarga mengenai penyakit, tatalaksana, serta risiko.
Tempat
Puskesmas, Rumah Sakit Tipe A, B, atau C
Pelayanan
Pneumothoraks
Pneumomediastinum dan emfisema subkutis
Atelektasis
12. Penyulit Aspergilosis bronkopulmoner alergik
Gagal napas
Bronkitis
Fraktur tulang rusuk
Informed
13. Ya
Consent
Tenaga Dokter Umum (Dokter Jaga UGD), Dokter Spesialis Anak, Dokter
14. Spesialis Anaestesi
Standar
Lama 3-5 hari tergantung kondisi pasien
15.
Perawatan
Masa
16. 1 minggu tergantung kondisi pasien
Pemulihan
17. Hasil Asma terkontrol / tidak
18. Patologi Tidak
19. Otopsi Tidak
32
20. Prognosis Dubia
Observasi 1-2 jam setelah semua terapi dilaksanakan
Apabila saturasi O2 > 90%, dapat pulang dengan terapi oral
21. Tindak Lanjut Respons klinis kurang baik dan saturasi O2 < 90%, rawat inap
Respons klinisburuk dan tidak ada perbaikan, dilakukan pemeriksaan
AGD. Apabila PO2 < 60 mmHg dilakukan perawatan di ICU
Tingkat
22. Evidens & 4
Rekomendasi
Indikator Serangan asma terkontrol, serangan jarang atau tidak ada sama sekali
23.
Medis dengan obat controller seminimal mungkin.
Penyakit
Tatalaksana
24. Edukasi
Hindari pencetus
Kontrol rutin sesuai jadwal
25. Kepustakaan 1. Rahajoe N, Supriyatno B, Setyanto DB. Pedoman Nasional Asma Anak.
Jakarta: UKK Pulmonologi PP IDAI; 2004.
2. Kartasasmita CB. Epidemiologi asma anak. Dalam: Rahajoe NN,
Supriyatno B, Setyanto DB, penyunting. Buku Ajar Respirologi Anak.
Edisi pertama. Jakarta: BP IDAI; 2008. h. 71-84.
3. Supriyatno B, Wahyudin B. Patogenesis dan patofisiologi asma anak.
Dalam: Rahajoe NN, Supriyatno B, Setyanto DB, penyunting. Buku
Ajar Respirologi Anak. Edisi pertama. Jakarta: BP IDAI; 2008. h. 85-
97.
4. Makmuri MS. Patofisiologi asma. Dalam: Rahajoe NN, Supriyatno B,
Setyanto DB, penyunting. Buku Ajar Respirologi Anak. Edisi pertama.
Jakarta: BP IDAI; 2008. h. 98-103.
5. Nata prawira HMD. Diagnosis asma anak. Dalam: Rahajoe NN,
Supriyatno B, Setyanto DB, penyunting. Buku Ajar Respirologi Anak.
Edisi pertama. Jakarta: BP IDAI; 2008. h. 104-119.
6. Supriyatno B, Makmuri MS. Serangan asma akut. Dalam: Rahajoe NN,
Supriyatno B, Setyanto DB, penyunting. Buku Ajar Respirologi Anak.
Edisi pertama. Jakarta: BP IDAI; 2008. h. 120-133.
7. Rahajoe N. Tata laksana jangka panjang asma pada anak. Dalam:
Rahajoe NN, Supriyatno B, Setyanto DB, penyunting. Buku Ajar
Respirologi Anak. Edisi pertama. Jakarta: BP IDAI; 2008. h. 134-47.
8. Suardi AU, Sudarwati S. Asma dengan masalah khusus. Dalam:
Rahajoe NN, Supriyatno B, Setyanto DB, penyunting. Buku Ajar
33
Respirologi Anak. Edisi pertama. Jakarta: BP IDAI; 2008. h. 148-57.
9. Rosmayudi O, Supriyatno B. Pencegahan asma. Dalam: Rahajoe NN,
Supriyatno B, Setyanto DB, penyunting. Buku Ajar Respirologi Anak.
Edisi pertama. Jakarta: BP IDAI; 2008. h. 158-61.
34
PANDUAN PRAKTIK KLINIS
INSTALASI GAWAT DARURAT
RUMAH SAKIT UMUM NEGARA
RSU NEGARA
Konjungtivitis akut
Diagnosis
Keratitis/Ulkus kornea akut
7. Banding Uveitis akut
Trauma Orbita
Pemeriksaan
8. -
Penunjang
35
Rumah Sakit
12. Penyulit -
Informed
13. Consent Ya
14. Tenaga Standar Dokter Umum (Dokter Jaga UGD), Dokter Spesialis Mata
Lama
15. Perawatan -
Tingkat Evidens 4
22. & Rekomendasi
24. Edukasi Memberitahu pasien agar tidak menggosok matanya agar tidak
memperberat lesi.
36
Menggunakan alat/kacamata pelindung pada saat bekerja atau
berkendara.
Menganjurkan pasien untuk kontrol bila keluhan bertambah berat
setelah dilakukan tindakan, seperti mata bertambah merah,
bengkak, atau disertai dengan penurunan visus.
1. Gondhowiardjo, T.D. Simanjuntak, G. Panduan Manajemen Klinis
Perdami, 1th Ed. Jakarta: CV Ondo. 2006.
2. Sidarta, I. Ilmu Penyakit Mata. Edisi III. Cetakan V. Jakarta: Balai
25. Kepustakaan
Penerbit FK UI. 2008.
3. Vaughan, D.G. Oftalmologi Umum. Ed 14. Cetakan I. Jakarta:
Widya Medika. 2000.
37
PANDUAN PRAKTIK KLINIS
INSTALASI GAWAT DARURAT
RUMAH SAKIT UMUM NEGARA
RSU NEGARA
3. Pengertian Trauma atau cedera yang terjadi pada mata yang dapat mengakibatkan
kerusakan pada bola mata, kelopak mata, saraf mata dan rongga
orbita, kerusakan ini akan memberikan penyulit sehingga mengganggu
fungsi mata sebagai indra penglihat.
Pemeriksaan
8. Tes flouresin
Penunjang
Perawatan Unit Gawat Darurat, Rawat Jalan, Rujuk RS terdepat yang terdapat
10. Rumah Sakit spesialis mata
11. Terapi / 1. Perkirakan kedalaman luka serta kemungkinan cedera organ dalam
2. Penanganan khusus untuk luka lecet:
Tindakan
a. Pencucian luka dengan cairan infus
b. Hilangkan semua debu, pasir, serta kotoran yang menempel
dengan kain / kassa steril secara hati-hati
c. Oleskan povidon iodin / betadine pada luka dan biarkan
terbuka.
d. Tetes mata gentamisin pada erosi mata/ruptur konjugtiva
ringan/ kelopak
e. Antibiotik, sistemik (amoksisilin 3 500 mg, amoksiklav 3
1 tablet, atau antibiotik lainnya)apabila dirasa perlu
f. Terapi simtomatik (analgesik), dapat diberikan Obat Anti
Inflamasi non-Steroid (OAINS) apabila tidak ada
kontraindikasi (alergi, riwayat perdarahan saluran cerna) atau
39
Parasetamol.
g. Pertimbangkan untuk rujuk ke RS terdekat yang sudah terdapat
dokter spesialis mata
h. Observasi keluhan, tanda-tanda vital
i. KIE pasien dan keluarga mengenai penyakit, tatalaksana, serta
risiko.
Tempat
SMF MATA
Pelayanan
14. Tenaga Standar Dokter Umum (Dokter Jaga UGD), Dokter Spesialis Mata
Lama
15. Perawatan 5-8 hari
Tingkat Evidens 4
22. & Rekomendasi
40
PANDUAN PRAKTIK KLINIS
INSTALASI GAWAT DARURAT
RUMAH SAKIT UMUM NEGARA
RSU NEGARA
Trauma atau cedera yang terjadi pada mata yang dapat mengakibatkan
kerusakan pada bola mata, kelopak mata, saraf mata dan rongga
orbita, kerusakan ini akan memberikan penyulit sehingga mengganggu
fungsi mata sebagai indra penglihat.
Trauma tumpul okuli adalah trauma pada mata yang diakibatkan
benda yang keras atau benda tidak keras dengan ujung tumpul, dapat
Pemeriksaan
8. Tes flouresin
Penunjang
Perawatan Unit Gawat Darurat, Rawat Jalan, Rujuk RS terdepat yang terdapat
10. Rumah Sakit spesialis mata
42
Consent
14. Tenaga Standar Dokter Umum (Dokter Jaga UGD), Dokter Spesialis Mata
Lama
15. Perawatan 5-8 hari
Tingkat Evidens 4
22. & Rekomendasi
43
PANDUAN PRAKTIK KLINIS
INSTALASI GAWAT DARURAT
RUMAH SAKIT UMUM NEGARA
RSU NEGARA
Perawatan Unit Gawat Darurat, Rawat Jalan, Rujuk RS terdepat yang terdapat
10. Rumah Sakit spesialis mata
11. Terapi / 1. Segera lakukan irigasi mata yang terkena zat kimia dengan cairan
Tindakan mengalir sebanyak mungkin dan nilai kembali dengan kertas
lakmus. Irigasi dengan RL minimal 2 liter dan irigasi terus
dilakukan hingga tidak terjadi pewarnaan pada kertas lakmus. Bila
trauma kimia basa bisa dilakukan 5-6 liter sampai lakmus berubah.
4. Pengobatan :
EDTA ed
45
Terapi simtomatik (analgesik), dapat diberikan Obat Anti
Inflamasi non-Steroid (OAINS) apabila tidak ada
kontraindikasi (alergi, riwayat perdarahan saluran cerna) atau
Parasetamol.
Tempat
SMF MATA
Pelayanan
1. Simblefaron
3. Ptisis bulbi
12. Penyulit
4. Entropion
5. Katarak
6. Neovaskularisasi kornea
Informed
13. Consent Ya
14. Tenaga Standar Dokter Umum (Dokter Jaga UGD), Dokter Spesialis Mata
Lama
15. Perawatan -
46
& Rekomendasi
47
PANDUAN PRAKTIK KLINIS
INSTALASI GAWAT DARURAT
RUMAH SAKIT UMUM NEGARA
RSU NEGARA
48
Pusing , mual dan muntah
Badan terasa keringat dingin dan bradikardi
Objektif:
Kelopak mata bengkak
Konjungtiva hiperemis, mix injection
Tekanan intra okuler (TIO) tinggi (diatas 30 mmHg)
Kornea edema
Bilik mata depan dangkal
Pupil yang lebar iriguler dan tidak bereaksi terhadap sinar
Lensa tampak keruh Katarak Fog
Ada kasus yang menyebabkan kenaikan TIO
Diagnosis Konjungtivitis akut
7. Banding Keratitis/Ulkus kornea akut
Uveitis akut
Pemeriksaan Aplanasi Goldman, gonioskopi, lapang pandang
8. (perimetrioctopol) OCT, ONH, RNFL jika media refraksi
Penunjang jernih.
Perawatan Unit Gawat Darurat, Rawat Inap, Rujuk RS terdepat yang terdapat
10. Rumah Sakit spesialis mata
49
mata steroid 6x1 serta antibiotik.
4. Observasi keluhan, tanda-tanda vital
5. KIE pasien dan keluarga mengenai penyakit, tatalaksana, serta
risiko.
Tempat
SMF MATA
Pelayanan
Katarak
Bilik mata depan flat
12. Penyulit
Endoftalmitis
Suprachoroid hemorrhage
Informed
13. Consent Ya
14. Tenaga Standar Dokter Umum (Dokter Jaga UGD), Dokter Spesialis Mata
Lama
15. Perawatan 4-6 hari
tahun
Tingkat Evidens 4
22. & Rekomendasi
50
Ophthalmology.
2. Foster, P.J., Khaw, P.T. 2008. Glaucoma. In: Moorfields Manual of
Ophthalmology. Philadelphia : Mosby Elsevier. Pp. 274 325.
3. Gerstenblith, A.T., Rabinowitz, M.P. 2012. The Wills Eye Manual:
Office and Emergency Room Diagnosis and Treatment of Eye
Disease. 6 th ed. Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins,
pp. 204-241
4. Stamper, R.L., Lieberman, M.F., Drake, M.V. 2009. Becker-
Shaffers : Diagnosis and Therapy of the Glaucomas. 8 th ed.
Mosby Elsevier.
5. Tsai, J.C., Denniston, A.K.O., Murray, P.I., Huang, J.J., Aldad, T.S.
2011. Oxford American Handbook of Ophthalmology. New York:
Oxford University Press I
51
PANDUAN PRAKTIK KLINIS
INSTALASI GAWAT DARURAT
RUMAH SAKIT UMUM NEGARA
RSU NEGARA
Konjungtivitis akut
Diagnosis
Keratitis/Ulkus kornea akut
7. Banding Uveitis akut
Trauma Orbita
Pemeriksaan
8. -
Penunjang
Perawatan
10. Rumah Sakit Unit Gawat Darurat, Rawat Jalan
12. Penyulit -
Informed
13. Consent Ya
14. Tenaga Standar Dokter Umum (Dokter Jaga UGD), Dokter Spesialis Mata
Lama
15. Perawatan -
Tingkat Evidens 4
22. & Rekomendasi
24. Edukasi Tidak perlu khawatir karena perdarahan akan terlihat meluas dalam
53
24 jam pertama, namun setelah itu ukuran akan berkurang perlahan
karena diabsorpsi
Kondisi hipertensi memiliki hubungan yang cukup tinggi dengan
angka terjadinya perdarahan subkonjungtiva sehingga diperlukan
pengontrolan tekanan darah pada pasien dengan hipertensi.
1. Gondhowiardjo, T.D. Simanjuntak, G. Panduan Manajemen Klinis
Perdami, 1th Ed. Jakarta: CV Ondo. 2006.
2. James, Brus.dkk. Lecture Notes Oftalmologi. Erlangga. Jakarta.
2005.
3. Riordan. Paul, E. Whitcher, John P. Vaughan & Asbury Oftalmologi
25. Kepustakaan
Umum. Ed 17. Jakarta: EGC. 2009.
4. Sidarta, I. Ilmu Penyakit Mata. Edisi III. Cetakan V. Jakarta: Balai
Penerbit FK UI. 2008.
5. Vaughan, D.G. Oftalmologi Umum. Ed 14. Cetakan I. Jakarta:
Widya Medika. 2000.
54
PANDUAN PRAKTIK KLINIS
INSTALASI GAWAT DARURAT
RUMAH SAKIT UMUM NEGARA
RSU NEGARA
Perawatan
10. Rumah Sakit Unit Gawat Darurat, Rawat Inap
Informed
13. Consent Ya
14. Tenaga Standar Dokter Umum (Dokter Jaga UGD), Dokter Spesialis Mata
Lama
15. Perawatan 1 minggu
56
18. Patologi Tidak
Tingkat Evidens
22. & Rekomendasi
23. Indikator Medis Berkurangnya tanda-tanda radang pada bola mata dan sekitarnya
57