Anda di halaman 1dari 57

PANDUAN PRAKTIK KLINIS

INSTALASI GAWAT DARURAT


RUMAH SAKIT UMUM NEGARA

RSU NEGARA

1. No. ICD 10 R56.01 febrile convulsions


2. Diagnosis KEJANG DEMAM
Kejang demam adalah suatu bangkitan kejang pada bayi atau anak,
yang terjadi pada peningkatan suhu tubuh (>38o C rectal), yang
disebabkan oleh suatu proses ekstrakranial. Pada umumnya terjadi
antara umur 6 bulan 5 tahun, dan tidak terbukti adanya infeksi
3. Pengertian
intrakranial atau penyebab tertentu. Anak yang pernah mengalami
kejang tanpa demam dan bayi umur di bawah 1 bulan tidak termasuk.
Dibagi menjadi 2 yakni kejang demam sederhana dan kejang demam
kompleks

Identifikasi/pastikan adanya kejang, jenis kejang, lama kejang,


suhu sebelum/pada saat kejang, ferekuensi, penyebab demam di
luar SSP.
4. Anamnesis Tidak ada riwayat kejang tanpa demam sebelumnya.
Riwayat kelahiran, tumbuh kembang, kejang demam, atau epilepsi
dalam keluarga.
Singkirkan penyebab kejang yang lain.
Kesadaran, suhu tubuh, tanda rangsangan meningial, tanda
Pemeriksaan peningkatan tekanan intrakaranial, dan tanda infeksi di luar SSP.
5.
Fisik Pemeriksaan fisik neurologis harus dilakukan walaupun pada
umumnya tidak ditemukan adanya kelainan.
6. Kriteria Kejang didahului oleh demam
Pasca kejang anak sadar kecuali kejang lebih dari 15 menit
Diagnosis
Pemeriksaan punksi lumbal normal
Klasifikasi Kejang Demam Menurut UKK Saraf Anak 2006
1. Kejang demam sederhana
Lama kejang 15 menit.
Kejang bersifat umum
Frekuensi 1 kali dalam 24 jam
2. Kejang demam kompleks
Lama kejang > 15 menit
Kejang bersifat fokal atau parsial
Frekuensi kejang> 1 kali dalam 24 jam(kejang multipel atau
kejang serial)
1
1. Kelainan intrakranium
Meningitis
Ensefalitis
Infeksi subdural dan epidural
Abses otak
Trauma kepala
Diagnosis Cytomegalic inclusion disease
7. 2. Gangguan metabolik
Banding
Hipoglikemi
Defisiensi vitamin B-6
Gangguan elektrolit seperti hiponatremia, hipokalsemia,
porfiria
Keracunan
3. Epilepsi

Pemeriksaan laboratorium tidak rutin, dilakukan jika ada indikasi.


Darah lengkap,gula darah, elektrolit serum lengkap (natrium,
kalium, calcium, magnesium).
Tindakan pungsi lumbal untuk pemeriksaan CSS dilakukan untuk
menegakkan atau menyingkirkan kemungkinan meningitis. Pada
bayi kecil, klinis meningitis tidak jelas, maka tindakan pungsi
lumbal dikerjakan dengan ketentuan sebagai berikut :
Pemeriksaan 1. Bayi < 12 bulan : diharuskan
8.
Penunjang 2. Bayi antara 12-18 bulan : dianjurkan
3. Bayi > 18 bulan : tidak rutin, kecuali bila ada tanda
menigitis.
EEG tidak direkomendasikan, kecuali pada kejang demam yang
tidak khas (misalnya kejang demam komplikata pada anak usia > 6
tahun atau kejang demam fokal).
X-ray kepala, CT-Scan kepala atau MRI tidak rutin dan
diindikasikan pada keadaan: kejang fokal/parsial, adanya kelainan
neurologis, atau tanda peningkatan tekanan intrakranial.
Dokter Spesialis Anak
9. Konsultasi Dokter Spesialis Anaestesi (apabila memerlukan perawatan di
ruang rawat intensif)
Perawatan
10. Unit Gawat Darurat, Ruang Rawat Intensif, Rawat Inap, Rawat Jalan
Rumah Sakit
11. Terapi / 1. Evaluasi dan stabilisasi ABC (Airway, Breathing, dan Circulation)
2. Oksigenasi dengan target saturasi oksigen 93%
Tindakan
3. Prinsip Penanganan kejang demam terdiri dari 3 hal:
a. Mengatasi kejang fase akut (lihat algoritme tata laksana kejang
akut dan status epileptikus).
Dosis diazepam rektal adalah 0,5 mg/kg atau diazepam rektal 5

2
mg untuk anak dengan berat badan < 10 kg dan 10 mg dengan
berat > 10 kg.
Bila setelah pemberian diazepam rektal kejang belum terhenti,
dapat diulang lagi dengan cara dan dosis yang sama dengan
interval 5 menit. Bila setelah 2 kali pemberian diazepam rektal
masih tetap kejang, dapat diberikan diazepam dengan dosis 0,3
-0,5 mg/kg IV (perlahan-lahan). Bila kejang masih belum
teratasi dapat diulang dengan dosis yang sama 20 menit
kemudian. Bila kejang telah berhenti, pemberian obat
selanjutnya tergantung dari jenis kejang demam apakah kejang
demam sederhana atau kompleks dan faktor resikonya.
b. Mengatasi demam, mencari, dan mengobati penyebab demam.
Antipiretik : Paracetamol 10-15 mg/KgBB/dosis PO atau
Ibuprofen 5-10 mg/KgBB/dosis PO, keduanya diberikan sehari
3-4 kali
Kompres : suhu >39C : air hangat; suhu > 38C : air biasa
Pengobatan penyebab : antibiotik diberikan sesuai indikasi
dengan penyakit dasarnya.
c. Pengobatan profilaksis terhadap berulangnya kejang demam.
Pasien yang dirawat di rumah sakit, bila kejang sudah berhenti
dengan diazepam, dapat diberikan antikonvulsan long acting
(phenobarbital) jika ada faktor risiko: kejang lama, kejang
fokal/parsial, adanya kelainan neurologis yang nyata, kejang
multipel>2 kali, riwayat epilepsi keluarga.
Dosis phenobarbital: loading dosesecara intramuskuler
Neonatus: 30 mg
Bayi : 50 mg
>1 tahun : 75 mg
Dilanjutkan 12 jam kemudian phenobarbital oral;
8-10 mg/kgbb/hari di bagi 2 dosis (selama 2 hari)
Selajutnya 3-5 mg/kgbb/hari dibagi 2 dosis.

Pengobatan profilaksis kejang demam dapat dibagi :


Profilaksis intermiten pada waktu demam
Antipiretik :
-Parasetamol 10-15 mg/kgbb/kali, diberikan 4-5
kali/hari.
- Ibuprofen 5-10 mg/kgbb/kali, 3-4 kali/hari
Obat antikonvulsan:
-Diazepam oral : 0,3 mg/kg setiap 8 jam
-Diazepam rektal : 0,5 mg/kg atau 5 mg untuk BB<10
kg, 10 mg untuk BB>10 mgsetiap 8 jam.
3
Profilaksis terus-menerus(Kesepakatan UKK Saraf Anak
2006)
Indikasi profilaksis terus menerus:
Kelainan neurologis nyata sebelum atau sesudah kejang
(hemiparese, paresis Tods, palsi serebral, retardasi
mental, hidrosefalus, dll) , Kejang lama > 15 menit,
Kejang fokal
Dapat dipertimbangkan pada:
Kejang berulang > 2 kali dalam 24 jam, Bayi usia < 12
bulan Kejang demam kompleks berulang > 4 kali. Lama
pengobatan 1 tahun bebas kejang.
4. Konsultasi kepada dokter spesialis anak yang bertugas jaga pada
hari tersebut untuk mendapatkan tatalaksan lanjutan serta
keputusan apakah pasien akan dirawat di ruang rawat inap biasa
atau ruang intensif.
5. Observasi keluhan, tanda-tanda vital, dan saturasi oksigen.
6. KIE pasien dan keluarga mengenai penyakit, tatalaksana, serta
risiko.
Tempat
Rumah Sakit Tipe A, B, atau C
Pelayanan
Trauma akibat jatuh atau terbentur objek sekitar
Aspirasi cairan ke dalam paru yang dapat menimbulkan pneumonia
Efek samping obat antikonvulsan yang digunakan seperti
12. Penyulit
hiperaktivitas, iritabilitas, letargi, rash, dan penurunan intelegensia
Komplikasi meningitis sebagai etiologi kejang demam
Kejang berulang tanpa disertai demam
Informed
13. Ya
Consent
Dokter Umum (Dokter Jaga UGD), Dokter Spesialis Anak, Dokter
14. Tenaga Standar
Spesialis Anaestesi
Lama
15. 3-5 hari tergantung kondisi pasien
Perawatan
16. Masa Pemulihan 1 minggu tergantung kondisi pasien
17. Hasil Tidak terjadi kejang berulang
18. Patologi Tidak
19. Otopsi Tidak
20. Prognosis Dubia
Rawat inap dengan perawatan oleh dokter spesialis anak
Kontrol ke poliklinik spesialis anak
Hampir semua anak mempunyai prognosis yang baik. Anak usia
21. Tindak Lanjut
dibawah 12 bulan yang mengalami kejang demam mempunyai
kemungkinan sebesar 50% terjadi rekurensi .
80% Pasien akan sembuh dalam waktu 2 hari
4
Tingkat Evidens 4
22.
& Rekomendasi
23. Indikator Medis Tidak ada kejang/ kondisi membaik
Penyakit
Tatalaksana
24. Edukasi
Hindari pencetus
Kontrol rutin sesuai jadwal
1. Konsensus penatalaksanaan kejang demam. Hardiono DP, Widodo
DP, Ismael S, Editor.UKK neurologi anak, IDAI, Jakarta, 2006.
2. Shinnar S. Febrile suizure. Dalam: Swaiman KF, Ashwal S, editor.
Pediatric neurology principles and practice. Edisi ke-4, St. Louis:
mousby; 2006. h. 676-91.
3. Hodgson ES, Glade CGB, Harbaugh NC, dkk. Febrile suizure:
25. Kepustakaan
clinical practice guideline for long-term management of the child
with simple febrile suizure. Pediatric 2008;121:1281- 6.
4. Duffner PK, Beumann RJ. A synopsis of the AmericanAcademy of
Pediatrics: practice parameters on the evaluation and treatment of
children with febrile suizure. Pediatr Review 1999;20:285-9.
5. Sadlier Lg, Scheffer IE. Febrile suizure. BMJ 2007; 334:307-11.

PANDUAN PRAKTIK KLINIS


INSTALASI GAWAT DARURAT
RUMAH SAKIT UMUM NEGARA

RSU NEGARA

G40.501 Epileptic seizures related to external causes, not intractable,


1. No. ICD 10 with status epilepticus
2. Diagnosis STATUS EPILEPTIKUS PADA BAYI DAN ANAK
3. Pengertian Status epileptikus adalah bangkitan kejang yang berlangsung terus-
5
menerus atau kejang berulang tanpa disertai pulihnya kesadaran di
antara kejang yang berlangsung > 30 menit. Status epileptikus
refrakter adalah kejang yang tidak dapat diatasi dengan serangkaian
pengobatan diazepam, phenitoin dan phenobarbital yang atau kejang
yang berlangsung > 60 menit meskipun sudah mendapatkan terapi
yang adekuat. Kejang serial atau kejang multipel dibedakan dengan
status epileptikus karena di antara kejang kesadaran penderita pulih
kembali.
Pastikan pasien memang mengalami kejang. Singkirkan
kemungkinan gerakangerakan yang menyerupai kejang seperti
breath holding spell, sinkop, tik dll. Kalau memang kejang, harus
tentukan tipe kejangnya.
Kesadaran penderita selama kejang dan ingatan pasien akan
kejadian kejang.
Lamanya kejang berlangsung (tidak mudah menentukan karena
lebih sering dokter tidak melihat kejadian kejangnya). Frekuensi
kejang dan riwayat kejang sebelumnya
4. Anamnesis Faktor pencetus, jika ada; kejang epilepsi pada umumnya tidak ada
factor pencetusnya. Adanya aura sebelum kejang seperti: rasa
takut, mual, rasa berputar, kesemutan atau mati rasa pada jari,
cahaya terang pada salah satu lapang pandang dll.
Jika ada, tanyakan obat anti epilepsi yang pernah diminum
sebelumnya, jenis obat, dosisnya, dan lamanya minum obat
tersebut. Riwayat kelahiran, tumbuh kembang anak, dan prestasi di
sekolah.
Adanya gejala lain yang menyertai
Riwayat epilepsi dalam keluarga
Pemeriksaan fisik, termasuk pemeriksaan neurologis lengkap,
Pemeriksaan
5. ditujukan terutama untuk menyingkirkan penyebab kejang lain, dan
Fisik
mendiagnosis adanya sindroma epilepsi.
Diagnosis ditegakkan berdasarkan pengamatan klinis. Terpenting
Kriteria
6. adalah memastikan itu memang kejang dan menghitung lamanya
Diagnosis
kejang berlangsung dengan benar.
7. Diagnosis 1. Kelainan intrakranium
Meningitis
Banding
Ensefalitis
Infeksi subdural dan epidural
Abses otak
Trauma kepala
Cytomegalic inclusion disease
6
2. Gangguan metabolik
Hipoglikemi
Defisiensi vitamin B-6
Gangguan elektrolit seperti hiponatremia, hipokalsemia,
porfiria
Keracunan
3. Kejang Deman
Pemeriksaan laboratorium dikerjakan atas dasar indikasi sesuai
anamnesis dan pemeriksaan fisik.Pemeriksaan dapat meliputi darah
lengkap, gula darah, elektrolit serum, BUN/SC.
Pemeriksaan kadar obat antikonvulsan dalam darah mungkin
diperlukan jika dicurigai pasien tidak patuh minum obat.
Pemeriksaan
8. Elektroensefalografi (EEG) bermanfaat dalam menentukan jenis
Penunjang
epilepsi, evaluasi pengobatan, dan prognosisnya.
Pemeriksaan pencitraan seperti CT scan atau MRI kepala dilakukan
bila dicurigai adanya fokus epileptogenik atau pada epilepsi yang
disertai kelainan neurologis yang nyata, seperti:mikrosefali, palsi
serebral, hidrosefalus, keterlambatan tumbuh kembang dll.
Dokter Spesialis Anak
9. Konsultasi Dokter Spesialis Anaestesi (apabila memerlukan perawatan di
ruang rawat intensif)
Perawatan
10. Unit Gawat Darurat, Rawat Inap, Rawat Jalan, Ruang rawat intensif
Rumah Sakit
1. Evaluasi dan stabilisasi ABC (Airway, Breathing, dan Circulation)
2. Oksigenasi dengan target saturasi oksigen 93%
3. Pasang IV line
4. Atasi kejang dengan cepat dan tepat. (Lihat algoritme tata laksana
Terapi /
kejang akut dan status epileptikus).
11. Tindakan 5. Konsultasi kepada dokter spesialis anak yang bertugas jaga pada
hari tersebut untuk mendapatkan tatalaksana lanjutan.
6. Observasi keluhan, tanda-tanda vital, dan SpO2
7. KIE pasien dan keluarga mengenai penyakit, tatalaksana, serta
risiko.
Tempat
Rumah Sakit Tipe A, B, atau C
Pelayanan
Trauma akibat jatuh atau terbentur objek sekitar
Aspirasi cairan ke dalam paru yang dapat menimbulkan pneumonia
12. Penyulit Efek samping obat antikonvulsan yang digunakan seperti
hiperaktivitas, iritabilitas, letargi, rash, dan penurunan intelegensia
Komplikasi meningitis sebagai etiologi kejang
Informed
13. Ya
Consent
14. Tenaga Standar Dokter Umum (Dokter Jaga UGD), Dokter Spesialis Anak, Dokter

7
Spesialis Anestesi
Lama
15. 3-5 hari tergantung kondisi pasien
Perawatan
16. Masa Pemulihan 1 minggu tergantung kondisi pasien
17. Hasil Tidak ada kejang/ kondisi membaik
18. Patologi Tidak
19. Otopsi Tidak
Dubia
Tergantung pada :
Penyakit dasar
20. Prognosis Kecepatan penanganan kejang
Komplikasi
Angka mortalitas konvulsif status epileptikus mencapai 3-11%

Rawat inap dengan perawatan oleh dokter spesialis anak


21. Tindak Lanjut
Kontrol ke poliklinik spesialis anak
Tingkat Evidens 4
22.
& Rekomendasi

Kegagalan untuk mendiagnosis dan manajemen terapi status


epileptikus secara akurat akan menghasilkan mortalitas sebesar 3-
23. Indikator Medis 7% dan morbiditas neurologi 9-28%.
Rute administrasi obat mempunyai peran penting dalam kecepatan
penanganan

Menjelaskan komplikasi status epileptikus termasuk gejala


neurologis fokal, gangguan kognitif maupun gangguan tingkah
laku.
24. Edukasi Keterlambatan penanganan akan berhubungan dengan respon terapi
yang terlambat, farmakoresistensi dan mortalitas.
Resiko berulangnya status epileptikus tahun I 11-16% dan 2 tahun
pertama 18%.

25. Kepustakaan 1. JJ Rivielo JR, Ashwal S, Hirzt.D, dkk. Diagnostic assessment of


the child with status epilepticus (an evidence base review). Report
of the quality standards subcommittee of American academy of
neurology and the practice committee of the child neurology
society. Neurology 2006;67:1542-50.
2. Lowenstein DH, Aldredge BK. Status epileptikus, current concept.
New England journal of medicine 1998:970-6.
3. Arzimanoglou A, Guerrini R, Aicardi J. Status epileptikus. Dalam:

8
Aicardis Epilepsy in children. Lippincott Williams & Wilkins,
2004.h.456-98. 325
4. Aicardi J. Status epileptikus in infant and children: consenquences
and prognosis. Int. Pediatr 1987; 2:189-95.
5. Widodo DP. Algoritme penanganan status epileptikus pada bayi dan
anak. Dalam: Pusponegoro HD, Handryastuti S, Kurniati N.
Pediatric neurology and neuroemergency in Daily practice. Naskah
lengkap PKB XLIX IKA. Jakarta; Badan penerbit IDAI, 2006. h.
63-69.
6. Walker MC. Serial seizure and status epileptikus. Neurology
2003;31-38.

9
PANDUAN PRAKTIK KLINIS
INSTALASI GAWAT DARURAT
RUMAH SAKIT UMUM NEGARA

RSU NEGARA

1. No. ICD 10 J05.0 Acute obstructive laryngitis [croup]


2. Diagnosis CROUP
Sebuah sindrom yang ditandai oleh berbagai derajat stridor, batuk
menggonggong, dan suara serak.
ETIOLOGI :
Parainfluenza virus tipe 1 and 3 (65%).
3. Pengertian Respiratory syncytial virus (RSV).
Parainfluenza virus tipe 2.
Influenza virus tipe A.
Mycoplasma pneumonia.
Influenza virus tipe B.
Other miscellaneous viruses.
Diawali oleh infeksi saluran respiratorik atas.
Bisa disertai demam.
Batuk menggonggong, serak, dan stridor tampak 1-2 hari
kemudian.
4. Anamnesis Gejala croup puncaknya pada hari ketiga-keempat dari sakit (hari
pertama-kedua dari gejala croup). Gejala biasanya menghilang
dalam seminggu. Gejala biasanya memburuk pada malam hari atau
bila pasien gelisah.
5. Pemeriksaan Manifestasi klinis tergantung pada beratnya obstruksi saluran
Fisik respiratorik. Obstruksi disebabkan oleh inflamasi pada area
subglotis.
Pada kasus ringan dijumpai batuk menggonggong dan stridor bila
agitasi atau gelisah.
Pada kasus berat ditemukan stridor yang bifasik. Ditemukan
retraksi suprasternal dan/ atau interkostal. Derajat gawat napas
antara lain dapat ditentukan dengan skor dari Westley (Tabel 1).
Beratnya obstruksi dapat ditentukan antara lain dengan:
1. Skor Westley (lihat tabel)
2. Cara lain menentukan beratnya obstruksi
Ringan; ditandai dengan adanya batuk keras menggonggong
yang kadangkadang muncul, stridor tidak terdengar ketika
pasien beristirahat/tidak beraktivitas, dan retraksi ringan

10
dinding dada.
Sedang; ditandai dengan batuk menggonggong yang sering
timbul, stridor yang mudah terdengar ketika pasien
beristirahat/tidak beraktivitas, retraksi dinding dada sedikit
lebih jelas tetapi tidak ada gawat napas.
Berat; ditandai dengan batuk menggonggong yang sering
timbul, stridor inspirasi terdengar jelas ketika pasien
beristirahat, kadang-kadang disertai stridor ekspirasi, retraksi
dinding dada sangat jelas, dan gawat napas.
Gagal napas mengancam; batuk kadang-kadang tidak jelas,
terdengar stridor (kadang-kadang sangat jelas ketika pasien
beristirahat), gangguan kesadaran, dan letargi.
Berdasarkan manifestasi klinik.
Radiograf berguna untuk menyingkirkan diagnosis lain, jarang
Kriteria
6. bermanfaat untuk membuat diagnosis.
Diagnosis Foto leher pada posisi A-P dan lateral tampak menyempitan area
subglotik sehingga tampak seperti menara (steeple sign)
Benda asing.
Epiglotitis.
Trakeitis bakterial.
Diagnosis Croup spasmodik.
7.
Banding Abses peritonsiler
Uvulitis.
Hemangioma
Neoplasma.
Laboratorium
Darah Lengkap
Pemeriksaan Kimia Klinik (Gula Darah Sewaktu)
8. Radiograf
Penunjang
Pemeriksaan lainnya sesuai indikasi apabila pasien stabil / setelah
konsultasi
9. Konsultasi Dokter Spesialis Anak
Perawatan
10. Unit Gawat Darurat, Rawat Inap, Rawat Jalan
Rumah Sakit
11. Terapi / 1. Evaluasi dan stabilisasi ABC (Airway, Breathing, dan Circulation)
2. Oksigenasi dengan target saturasi oksigen 93% Oksigen untuk
Tindakan
obstruksi sedang atau berat)
3. Pasang IV line
4. Uap dingin (cold mist) akan melembabkan, meringankan inflamasi,
dan
5. Konsultasi kepada dokter spesialis anak yang bertugas jaga pada
hari tersebut untuk mendapatkan tatalaksana lanjutan.
6. Apabila dokter spesialis yang bertugas jaga tidak dapat dihubungi,

11
maka dicoba menghubungi dokter spesialis anak yang lain untuk
konsultasi. Apabila dokter spesialis tetap tidak dapat dihubungi,
dapat dilakukan tatalaksana sebagai berikut:
Epinefrin rasemik atau epinefrin-L. Karena epinefrin
rasemik tidak tersedia maka dipakai epinefrin-L dengan
dosis 0,5 ml/kgBB/dosis larutan 1:1.000, diencerkan 3 ml
NaCl 0,9%, dengan dosis maksimal 2,5 ml/dosis untuk usia
< 4 tahun dan 5 ml/dosis untuk usia > 4 tahun.
Kortikosteroid: deksametason 0,6 mg/kgBB/dosis
PO/IV/IM, bisa diulang dalam 6-24 jam. Dapat juga
diberikan budesonid 2-4 mg secara nebulisasi, dan dapat
diulang dalam 12-48 jam pertama.
Antibiotik tidak diperlukan kecuali disertai infeksi bakteri.
Pada obstruksi berat, intubasi endotrakeal merupakan terapi
alternatif selain trakeostomi. Pada keadaan ini perlu konsul
dengan bagian THT.
7. Terus berusaha menghubungi dokter spesialis anak yang bertugas
jaga pada hari tersebut untuk mendapatkan tatalaksana lanjutan.
8. Observasi keluhan, tanda-tanda vital, dan SpO2
9. KIE pasien dan keluarga mengenai penyakit, tatalaksana, serta
risiko.
Tempat
Rumah Sakit Tipe A, B, atau C
Pelayanan
Sekitar 15% kasus terjadi otitis media, dehidrasi, dan pneumonia.
12. Penyulit
Dapat juga terjadi gagal napas dan gagal jantung.
Informed
13. Ya
Consent
14. Tenaga Standar Dokter Umum (Dokter Jaga UGD), Dokter Spesialis Anak
Lama
15. 3-5 hari tergantung kondisi pasien
Perawatan
16. Masa Pemulihan 1 minggu tergantung kondisi pasien
17. Hasil Keluhan membaik
18. Patologi Tidak
19. Otopsi Tidak
Dubia

20. Prognosis Umumnya baik (sembuh dalam 2-5 hari)


Kasus berat: sembuh dalam waktu > 2 minggu
Trakeostomi: 3%
Rawat inap dengan perawatan oleh dokter spesialis anak
21. Tindak Lanjut
Kontrol ke poliklinik spesialis anak
Tingkat Evidens 4
22.
& Rekomendasi
12
23. Indikator Medis Keluhan membaik
Penyakit
24. Edukasi Tatalaksana
Risiko
1. Yangtjik K, Dadiyanto DW. Croup. Dalam: Rahajoe NN,
Supriyatno B, Setyanto DB, penyunting. Buku Ajar Respirologi
Anak. Edisi ke-1. Jakarta: BP IDAI; 2008. h. 320-9.
2. Balfour-Lynn IM, Davies JC. Acute Infections Producing Upper
Airway Obsturction. Dalam: Chernick V, Boat TF, Wilmott RW,
Bush A, penyunting. Kendigs Disorder of the Respiratory Tract in
Children. Edisi ke-7. Philadelphia: Saunders; 2006. h. 404-15
3. Fitzgerald DA, Kilham HA. Croup: assessment and evidence-based
management. MJA. 2003;179:372-7.
25. Kepustakaan
4. Knutson D, Aring A.Viral croup (diakses 19 Juni 2006). Diunduh
dari: http://www.aafp.org/afp/20040201/535.html
5. NSW Health Department. Acute management of infant and
children with croup: clinical practice guidelines (diakses 21
Desember 2004. (Diunduh dari: http//www.health.nsw.gov.au
6. 6. Lee C, PharmD, Custer JW, Rau RE. Drug Doses. Dalam: Custer
JW, Rau RE, penyunting. The Harriet Lane Handbook. A Manual
for Pediatric House Officers. Edisi ke-18. Philadelphia: Elsevier
Mosby; 2009. H. 697-1030.

13
14
15
PANDUAN PRAKTIK KLINIS
INSTALASI GAWAT DARURAT
RUMAH SAKIT UMUM NEGARA

RSU NEGARA

1. No. ICD 10 R11.10 Vomiting, unspecified


2. Diagnosis MUNTAH
Muntah adalah dikeluarkannya isi lambung melalui mulut secara
ekspulsif. Usaha mengeluarkan isi lambung terlihat sebagai kontraksi
otot dinding perut.
Muntah kadang sulit dibedakan dengan refluks gastroesofagus dan

3. Pengertian regurgitasi. Refluks gastroesofagus (RGE) definisikan sebagai


kembalinya isi lambung ke dalam esofagus tanpa adanya usaha dari bayi.
Apabila isi lambung tersebut dikeluarkan melalui mulut, maka keadaan
ini disebut sebagai regurgitasi. Oleh karena itu, muntah pada bayi harus
dipikirkan pula kemungkinan suatu RGE.
Muntah yang terjadi saat makanan atau minuman baru sampai di dalam
rongga mulut pikirkan adanya infeksi rongga mulut
Adanya riwayat hidramnion: pikirkan atresia esofagus
Bayi dengan muntah menyemprot beberapa saat setelah diberi minum
pikirkan adanya gangguan gastric outlet.
Muntah dengan riwayat keterlambatan pengeluaran mekonium atau
konstipasi sejak lahir: pikirkan Morbus Hirschsprung
4. Anamnesis Muntah yang didahului nyeri perut dan perut kembung: pikirkan
obstruksi saluran cerna
Muntah pada bayi yang terjadi beberapa saat setelah minum sedangkan
faktor di atas tidak ada, pikirkan kemungkinan RGE atau faktor non-
organik
Muntah pada anak yang selalu terjadi pada keadaan tertentu yang sama,
pikirkan faktor psikogenik sebagai dasar keluhan tersebut

5. Pemeriksaan Bila ada tanda infeksi, pikirkan muntah sebagai salah satu gejala infeksi
Fisik tersebut
Bercak putih dengan dasar merah pada rongga mulut perlu dipikirkan
suatu kandidosis oral
Hipersalivasi pada bayi baru lahir, pikirkan atresia esofagsus
Muntah yang didahului gambaran gerakan peristaltik lambung setelah
diberi minum, pikirkan stenosis pilorus hipertrofi

16
Distensi perut dan pada colok dubur ditemukan ampula kolaps, pikirkan
kemungkinan Morbus Hirschsprung
Perut distensi dan bising usus meningkat pada daerah proksimal dan
menurun pada daerah distal perlu pikirkan obstruksi saluran cerna
Muntah pada bayi yang disertai gejala klinis lainnya seperti diare,
kembung, eritema natum, sering flatus, pikirkan intoleransi laktosa
Muntah pada bayi sehat dan tidak ditemukan gejala seperti yang disebut
di atas, perlu dipikirkan adanya faktor non-organik, seperti teknik
pemberian minum atau iritasi cairan amnion (bayi baru Iahir).
Kontraksi otot dinding perut yang didahului fase mual dan retching
sebagai upaya mengeluarkan isi lambung
Nyeri perut yang mendahului muntah, muntah berwarna kehijauan, atau
perut distensi merupakan petunjuk kemungkinan adanya obstruksi
saluran cerna
Muntah tanpa didahului mual dan retching merupakan petunjuk
Bila tidak ditemukan kelainan organ, perlu dipikirkan faktor non-organik
sebagai penyebab muntah.
Penilaian status dehidrasi

Kriteria
6.
Diagnosis

Atresia Esofagus
Gangguan Gastric Outlet
Diagnosis
7. Morbus Hirchsprung
Banding Ileus (paralitik/obstruktif)
Infeksi
Faktor psikogenik
8. Pemeriksaan Kecurigaan terhadap atresia esofagus dapat dilakukaa pemasangan pipa
Penunjang nasogastrik dan pemeriksaan foto rontgen toraks.
Adanya gangguan gastric outlet dapat di buktikan dengan pemeriksaan
barium meal, sedangkan stenosis pilorus hipertrofi selain dengan barium
meal dapat dibuktikan dengan pemeriksaan ultrasonografi.
Kecurigaan terhadap Morbus Hisrchsprung dapat dilakukan pemeriksaan
17
barium enema dan biopsi hisap rectum.
Ileus (paralitik atau obstruksi) dapat dibuktikan dengan pemeriksaan foto
polos abdomen 2 atau 3 posisi untuk melihat distribusi udara.
Infeksi dapat dibuktikan dengan pemeriksaan darah perifer lengkap
Kecurigaan RGE dapat dibuktikan dengan melakukan pemeriksaan
pemantauan pH esofagus 24 jam.
Kecurigaan kelainan organ di luar saluran cerna dapat dilakukan
pemeriksaan sesuai SPM kelainan tersebut.
9. Konsultasi Dokter Spesialis Anak
Perawatan
10. Unit Gawat Darurat, Rawat Inap, Rawat Jalan
Rumah Sakit
11.Terapi / 1. Mencari penyebab muntah.
2. Atasi keadaan dehidrasi dan kelainan metabolik yang terjadi akibat
Tindakan
muntah.
3. Kelainan organik yan menyebabkan obstruksi saluran cerna (parsial
atau total) dikonsulkan ke Bagian Bedah untuk dilakukan koreksi.
4. Atasi infeksi yang ada.
5. Muntah yang bukan disebabkan oleh kelainan organik.
Umumnya akan berhenti dalam waktu 6-24 jam tanpa pemberian
obat anti muntah.
Obat anti muntah diberikan kepada kasus dengan muntah berlebihan
yang dikawatirkan akan menggangu keseimbangan cairan dan
elektrolit.
6. Obat anti muntah: domperidon 0,25 mg/kgBB diberikan 3 kali sehari
bila tidak didapatkan tanda dehidrasi
7. Bila pasien terus menerus muntah dan terdapat tanda dehidrasi
pertimbangkan dilakukan rehidrasi dengan pemasangan IV line dengan
dosis sesuai derajat dehidrasi dan edukasi kuluarga untuk MRS.
Tanpa Dehidrasi
Obat anti muntah: domperidon 0,25 mg/kgBB diberikan 3 kali dan
minum setiap muntah
Dehidrasi Ringan-Sedang
Dapat diberikan infus dengan cara pemberian cairan intravena
secepatnya. Berikan 70 ml/kg BB cairan Ringer Laktat atau Ringer
asetat (atau jika tak tersedia, gunakan larutan NaCl) yang dibagi
sebagai berikut :

18
Dehidrasi Berat
Dapat diberikan infus dengan cara pemberian cairan intravena
secepatnya. Berikan cairan Ringer Laktat atau Ringer asetat (atau
jika tak tersedia, gunakan larutan NaCl) yang dibagi sebagai berikut:

8. Konsultasi kepada dokter spesialis anak yang bertugas jaga pada hari
tersebut untuk mendapatkan tatalaksana lanjutan.
9. Observasi keluhan, tanda-tanda vital, dan CM-CK
10. KIE pasien dan keluarga mengenai penyakit, tatalaksana, serta risiko.
Penjelasan kepada orang tua cara memberikan minuman yang benar
kepada bayinya.

Tempat
Rumah Sakit Tipe A, B, atau C
Pelayanan
Status dehidrasi
12.Penyulit Pasien tidak koperatif
Orang tua tidak koperatif
Informed
13. Ya
Consent
Tenaga
14. Dokter Umum (Dokter Jaga UGD), Dokter Spesialis Anak
Standar
Lama
15. 3-5 hari tergantung kondisi pasien
Perawatan
Masa
16. 1 minggu tergantung kondisi pasien
Pemulihan
17.Hasil Keluhan membaik
18.Patologi Tidak
19.Otopsi Tidak
20.Prognosis Dubia
Tindak Rawat inap dengan perawatan oleh dokter spesialis anak
21.
Lanjut Kontrol ke poliklinik spesialis anak
Tingkat
4
22.Evidens &
Rekomendasi
Indikator
23. Pasien sehat / keluhan membaik
Medis

19
Anak diistirahatkan (sebaiknya di tempat tidur) sampai merasa lebih
enak
Minuman diberikan dengan menggunakan sendok, sedikit demi sedikit
yang dinaikkan secara bertahap setiap 15 menit.
24.Edukasi Dapat diberikan minuman manis seperti jus (kecuali jeruk dan anggur
karena terlalu asam), sirup, atau madu (umur di atas 1 tahun).
Hindarkan makanan padat selama 6 jam.
Berikan rasa nyaman (turunkan suhu tubuh).
Hindarkan aktivitas berlebihan setelah makan.
1. Hegar B, Vandenplas Y. Gastroessophageal reflux in infancy. J Pediatr
Gastroenterol Nutr 1999;14:13-9.
2. Dodge JA. Vomiting and regurgitation. Dalam: Walker WA, Durie PR,
Hamilton JR, Walker-Smith JA, Watkins JB, penyunting. Pediatric
gastrointestinal diseases: Pathophysiology, diagnosis, management. Edisi
ke-1. Philadelphia: BC. Decker; 1999.p. 32-40.
3. Rudolph CD. Diagnosis and management of children with feeding
disorders. Dalam: Hyman PE, penyunting. Pediatric gastrointestinal
motility disorders. Edisi ke-1. New York: Academic Profesional
Information Services Inc; 1994.h. 33-43.
4. Weber AR, Hyman PE, Cucchiara S, Fleisher DR, Hyams JS, Milla PJ,
Staiano A. Childhood functional gastrointestinal disorders. Gut 1999;
45(suppl II): 60-8.
25.Kepustakaan 5. Rudolph CD, Mazur Lj, Liptak CS, Baker RD, Boyle JT, Colleti RB,
Gerson WT, Werlin SL. Guidelines for evaluation and treatment of
gastroesophageal reflux in infants and children: Recommendations of
The North American Society for Pediatric Gastroenterology and
Nutrition. J Pediatr Gastroenterol Nutr 2001; 32(Suppl 2): 1-31.
6. Kimura K, Loaning BV. Billious Vomiting in the newborn: rapid
diagnosis of intestinal obstruction. J Am Fam Physician 2002; 61:2791-
8.
7. Dinkevich E, Ozuah PO, Adain HM. Pyloric stenosis. Pediatric in review
2000; 21:1-3.
8. Roy CC, Silverman A, Alagille D. Diseases of the gastrointestinal tract.
Dalam: Roy CC, Silverman A, Alagille D, penyunting. Pediatric clinical
gastroenterology. Edisi ke-1. St Louis: Mosby; 1994: 20-30.

20
PANDUAN PRAKTIK KLINIS
INSTALASI GAWAT DARURAT
RUMAH SAKIT UMUM NEGARA

RSU NEGARA

1. No. ICPC-2 J21.9 Acute bronchiolitis, unspecified


2. Diagnosis BRONKIOLITIS
Bronkiolitis adalah inflamasi pada bronkiolus terminalis yang
umumnya disebabkan oleh infeksi virus dengan karakteristik
adanya mengi.
Umumnya mengenai usia < 2 tahun (puncak uisia 2-6 bulan),
69%(75%) terjadi pd usia < 1tahun, 95% terjadi pd usia < 2 tahun,
3. Pengertian 2,2 kasus per 100 anak/tahun, 1% dari anak yang rawat inap pada
usia 1 tahun. Laki > perempuan (1,25:1 sampai 1,5:1).
Biasanya menyerang anak usia 2 bulan-2 tahun terutama 2-6 bulan
Dapat terjadi sepanjang tahun (puncak musim dingin, musim
gugur, musim hujan). Terutama menular melalui kontak langsung
dengan sekret nasal.

Seringkali didahului dengan infeksi saluran nafas akut bagian atas


dengan gejala batuk pilek, dapat disertai demam atau hanya
subfebris.
Keluhan sesak nafas yang ditandai dengan nafas dangkal dan cepat
akan timbul setelahnya. Pada keadaan yang berat bisa didapatkan
cyanosis.
Biasanya tidak didapatkan riwayat atopi pada keluarga maupun
penderita.
4. Anamnesis Faktor resiko lainnya: anak laki-laki. Tidak mendapatkan ASI,
tinggal di pemukiman yang padat, waktu hamil ibu
merokok/terpapar asap rokok
Gejala:
Satu sampai empat hari sebelumnya didapat pilek encer,
hidung tersumbat.
Demam sub-febril (kecuali infeksi sekunder oleh bakteri).
Puncak gejala pada hari ke-5 sakit: batuk, sesak napas, takipne,
mengi, minum menurun, apne, sianosis.
21
5. Pemeriksaan Takipnea dengan laju respirasi untuk anak berusia :
<2 bulan 60x/menit
Fisik
2-12 bulan50x/menit
1-5 tahun40x/menit.
Tanda-tanda:
Napas cuping hidung .
Penggunaan otot bantu napas.
Sesak napas, takipne, apne.
Hiperinflasi dada.

Retraksi, expiratory effort.

Ronki pada akhir inspirasi dan awal ekspirasi.


Ekspirasi memanjang, mengi.
Hepar atau limpa dapat teraba.
Derajat beratnya penyakit
1. Ringan
Frekuensi respirasi masih di bawah ambang batas
Pertukaran udara masih baik
Tanpa retraksi atau retraksi minimal
Tidak ada tanda-tanda dehidrasi.
2. Sedang
Frekuensi respirasi di atas ambang batas,
Retraksi sedang,
Pemanjangan fase ekspirasi dengan penurunan pertukaran
udara.
3. Berat
Pasien risiko tinggi,
Frekuensi respirasi > 70x /menit,
Retraksi yang nyata,
Pertukaran udara yang minimal atau jelek,
Merintih,
Saturasi O2 <94% (untuk area setinggi permukaan laut)
atau <90% (untuk area setinggi 5000 kaki di atas
permukaan laut,
Terdapat dehidrasi atau tampak toksik.
4. Sangat berat

22
Apne atau henti napas,
Tetap sianosis dengan pemberian O2,
Tidak mampu mempertahankan PaO2 > 50 mmHg dengan
FiO2>80%,
Tidak mampu mempertahankan PaCO2 < 55 mmHg,
Terdapat tanda-tanda syok.
Berdasarkan klinis.
Pemeriksaan penunjang dapat mengkorfimasi diagnosis dan
memprediksi perjalanan penyakit:
Baku emas: usapan nasofaring untuk biakan RSV. Rapid RSV test:
Elisa, direct fluorescent antibody staining (sensitivitas dan
spesifisitas 90%).
Serologi: terbatas karena perlu waktu 7-10 hari untuk serokonversi
setelah inokulasi.
Pulse oxymetri: dapat membantu menentukan derajat hipoksia dan

Kriteria respon terhadap terapi O2.


6. Analisis gas darah untuk menilai beratnya gawat napas dan
Diagnosis
ancaman gagal napas.
Pemeriksaan darah tepi: tidak khas.
Foto dada:
Hiperinflasi, penebalan peribronkial, infiltrat interstisial,
atelektasis.
Sepuluh persen (10%) normal.
Tidak ada korelasi antara beratnya klinis dengan temuan foto
dada.

Asma bronkiale.
Pneumonia.
Diagnosis Gagal jantung.
7. Aspirasi benda asing.
Banding Bronkomalasia.
Vascular ring.
Fibrosis kistik.
1. Foto polos dada AP dan lateral
Pemeriksaan 2. Analisa Gas Darah
8.
Penunjang 3. Pemeriksaan untuk mendeteksi Antigen RSV

9. Konsultasi Tidak diperlukan


Perawatan
10. Unit Gawat Darurat, Rawat Inap, Rawat Jalan
Rumah Sakit
23
11. Terapi / Penatalaksanaan
Tindakan 1. Evaluasi dan stabilisasi ABC (Airway, Breathing, dan Circulation)\
2. Oksigenasi dengan target saturasi oksigen 93% Oksigen untuk
obstruksi sedang atau berat)
3. Pasang IV line
4. Indikasi rawat inap pada penderita bronkiolitis adalah:
Hipoksia yang berat dan takipnea yang berat
Keadaan umum yang lemah dan tidak dapat diberikan intake
peroral
Usia < 12 minggu atau riwayat kelahiran prematur
Disertai kelainan kardiovaskular, imunologi atau paru lainnya.
5. Pemeriksaan Laboratorium (DL, GDS, analisa gas darah)
6. Konsultasi kepada dokter spesialis anak yang bertugas jaga pada
hari tersebut untuk mendapatkan tatalaksana lanjutan.
7. Apabila dokter spesialis yang bertugas jaga tidak dapat dihubungi,
maka dicoba menghubungi dokter spesialis anak yang lain untuk
konsultasi. Apabila dokter spesialis tetap tidak dapat dihubungi,
dapat dilakukan tatalaksana sebagai berikut:
Kortikosteroid sistemik: deksametason dengan dosis bolus 1
mg/kgBB, diikuti dengan dosis 0,5-1 mg/kgBB/hari diberikan
setiap 8 jam.
Nebulasi dapat dilakukan dengan 2-agonis (misalnya
salbutamol 0,1 ml/kgBB/dosis), sehari 4-6 kali) yang diencerkan
dengan normal saline untuk membantu bersihan mukosilier.
Penggunaan epinefrine maupun hypertonic saline belum
dianjurkan secara rutin
Pemberian antivirus masih belum dilakukan secara rutin
Antibiotik tidak rutin diberikan kecuali didapatkan kecurigaan
infeksi bakteri atau disertai pneumonia . Ampisilin 100
mg/kgBB/hari setiap 6 jam.
8. Terus berusaha menghubungi dokter spesialis anak yang bertugas
jaga pada hari tersebut untuk mendapatkan tatalaksana lanjutan.
9. Observasi keluhan, tanda-tanda vital, dan SpO2
10. KIE pasien dan keluarga mengenai penyakit, tatalaksana, serta

24
risiko.
Tempat
Puskesmas, Rumah Sakit Tipe A, B, atau C
Pelayanan
12. Penyulit infeksi
Informed
13. Ya
Consent
14. Tenaga Standar Dokter Umum (Dokter Jaga UGD), Dokter Spesialis Anak
Lama
15. -
Perawatan
16. Masa Pemulihan 5-7 hari
17. Hasil Sembuh dengan atau tanpa komplikasi
18. Patologi Tidak
19. Otopsi Tidak
20. Prognosis Dubia
Rawat inap dengan perawatan oleh dokter spesialis anak
21. Tindak Lanjut
Kontrol ke poliklinik spesialis anak
Tingkat Evidens 4
22.
& Rekomendasi
Perbaikan gejala klinis
23. Indikator Medis
Perbaikan saturasi oksigen dan analisa gas darah
1. Menghindari paparan asap rokok baik saat bayi dalam kandungan
maupun setelah lahir
2. Pemberian ASI pada saat bayi dan pemberian nutrisi yang cukup
saat anak-anak
24. Edukasi
3. Lingkungan rumah yang cukup ventilasi dan sinar matahari
4. Bila bayi terutama di bawah 6 bulan menderita infeksi saluran nafas
akut yang masih ringan agar segera diperiksakan ke dokter

25. Kepustakaan 1. Zains MS. Bronkiolitis. Dalam: Rahajoe NN, Supriyatno B,


Setyanto DB, penyunting. Buku Ajar Respirologi Anak. Edisi ke-1.
Jakarta: BP IDAI; 2008. h. 333-49..
2. Wohl MEB. Bronchiolitis. Dalam: Chernick V, Boat TF, Wilmott
RW, Bush A, penyunting. Kendigs Disorder of the Respiratory
Tract in Children. Edisi ke-7. Philadelphia: Saunders; 2006. h. 423-
40.
3. Eichner JM, Berman S.Brochiolitis. Dalam: Berman S, penyunting.
Pediatric Decision Making. Edisi ke-4. Philadelphia: Mosby; 2003.
h. 748-51.
4. Watt KD, Goodman DM. Wheezing in infant: brochiolitis. Dalam:
Behrman RE, Kliegman RM, Jenson HB, Stanton BF, penyunting.
25
Nelson Textbook of pediatrics. Edisi ke-18. Philadelphia: WB
Saunders; 2007. h. 1773-7.
5. Zorc JJ, Hall CB. Bronchiolitis: Recent evidence on diagnosis and
management. Pediatrics. 2010;125:342-9.
6. Setyanto DB, Suardi AU, Setiawati L, Triasih R, Yani FF.
Bronkiolitis. Dalam: Pudjiadi AH, Hegar B, Handryastuti S, Idris
NS, Gandaputra EP, Harmoniati ED, pemyunting. Pedoman
Pelayanan Medis. Ikatan Dokter Anak Indonesia. Jakarta: BP IDAI;
2010. h. 30-2.

PANDUAN PRAKTIK KLINIS


INSTALASI GAWAT DARURAT
RUMAH SAKIT UMUM NEGARA

RSU NEGARA

1. No. ICPC-2 J45.32 Mild persistent asthma with status asthmaticus


2. Diagnosis STATUS ASMATIKUS
Status asmatikus (asma akut berat) didefinisikan sebagai serangan asma
berat yang tidak memberikan respon perbaikan terhadap terapi inhalasi
3. Pengertian
agonis -2, kortikosteroid intravena / oral, serta oksigen sehingga
memerlukan perawatan lanjutan di rumah sakit.
4. Anamnesis Penderita asma biasa mengeluhkan gejala berupa batuk , sesak napas, rasa
berat di dada dan berdahak dengan karakteristik:
Bersifat episodik, seringkali reversibel dengan atau tanpa pengobatan
Gejala timbul/ memburuk terutama malam/ dini hari
Diawali oleh faktor pencetus yang bersifat individual (udara dingin,
debu, makanan, infeksi saluran napas, dll)
Adanya respon perbaikan terhadap pemberian bronkodilator
Riwayat penyakit lainnya yang perlu digali :
Riwayat asma / pengobatan asma sebelumnya.
Riwayat alergi / atopi
Riwayat asma / atopi pada keluarga
Dikatakan status asmatikus apabila seorang penderita asma tetap
mengeluhkan sesak setelah dilakukan pemberian oksigen, nebulisasi agonis

26
-2 dan / atau nebulisasi kortikosteroid sebanyak tiga kali dengan jarak
masing-masing 20 menit, serta kortikosteroid sistemik. Beberapa faktor
risiko yang berhubungan dengan status asmatikus antara lain:
Riwayat serangan asma yang membutuhkan intubasi / ventilasi
mekanik
Riwayat perawatan di rumah sakit / kunjungan ke instalasi gawat
darurat dalam satu tahun terakhir
Dengan riwayat gangguan / penyakit psikiatri atau masalah
psikososial, termasuk penggunaan sedasi
Riwayat tidak patuh dengan pengobatan asma jangka panjang.
Masih didapatkan tanda-tanda sebagai berikut setelah dilakukan pemberian
oksigen, nebulisasi agonis -2 dan / atau nebulisasi kortikosteroid sebanyak
tiga kali dengan jarak masing-masing 20 menit, serta kortikosteroid

Pemeriksaan sistemik.
5.
Fisik Pasien tampak sesak, gelisah, sulit bicara
Hiperinflasi dada
Penggunaan otot bantu napas
Sianosis apabila serangan sangat berat
Mengi / wheezing pada auskultasi thoraks
Takikardi
6. Kriteria Pasien serangan asma dengan keluhan sesak dan temuan mengi / wheezing
Diagnosis yang signifikan dan tidak menunjukkan perbaikansetelah dilakukan
pemberian oksigen, nebulisasi agonis -2 dan / atau nebulisasi
kortikosteroid sebanyak tiga kali dengan jarak masing-masing 20 menit,
serta kortikosteroid sistemik.

27
28
7. Diagnosis Bronkiolitis
29
Croup
Pneumonia
Gagal jantung kongestif
Banding Tuberkulosis
Disfungsi laring
Obstruksi mekanis (misal tumor)
Emboli Paru
Laboratorium
Darah Lengkap
Pemeriksaan Kimia Klinik (Gula Darah Sewaktu, Ureum, Kreatinin)
8.
Penunjang Ro. Thoraks (apabila kondisi pasien stabil / setelah konsultasi)
Pemeriksaan lainnya (Analisis Gas Darah, Elektrolit, Spirometri,
dll) apabila pasien stabil / setelah konsultasi
Dokter Spesialis Anak
9. Konsultasi Dokter Spesialis Anaestesi (apabila memerlukan perawatan di ruang
rawat intensif)
Perawatan
10. Unit Gawat Darurat, Ruang Rawat Intensif, Rawat Inap, Rawat Jalan
Rumah Sakit
11. Terapi / 1. Evaluasi dan stabilisasi ABC (Airway, Breathing, dan Circulation)
2. Oksigenasi dengan target saturasi oksigen 93%
Tindakan
3. Pasang IV line / infus kristaloid
4. Pasien asma sebelumnya harus sudah mendapatkan oksigen, nebulisasi
bronkodilator (agonis -2 dan / atau antikolinergik) dan / atau nebulisasi
kortikosteroid sebanyak tiga kali dengan jarak masing-masing 20 menit.
Apabila setelahnya pasien masih sesak dan masih didapatkan mengi
yang signifikan, maka pasien dapat didiagnosis sebagai status
asmatikus.
5. Konsultasi kepada dokter spesialis anak dalam yang bertugas jaga pada
hari tersebut untuk mendapatkan tatalaksana lanjutan serta keputusan
apakah pasien akan dirawat di ruang rawat inap biasa atau ruang
intensif.
6. Apabila dokter spesialis yang bertugas jaga tidak dapat dihubungi, maka
dicoba menghubungi dokter spesialis penyakit anak yang lain untuk
konsultasi. Apabila dokter spesialis tetap tidak dapat dihubungi, dapat
dilakukan tatalaksana sebagai berikut:
a. Injeksi epinefrin / adrenalin 1:1.000 0,3-0,5 cc IM atau SC (dengan
pengawasan ketat), jika tidak berhasil:
b. Berikan Aminofilin intravena :
Bila pasien belum mendapatkan Aminofilin sebelumnya,
berikan amonofilin dosis awal 6 mg/kg BB drip dalam NS
atau D5% sebanyak 20 ml habis dalam 20-30 menit.
Selanjutnya berikan aminofilin dosis rumatan 0,5-1
30
mg/kgBB/jam
Bila pasien telah mendapatkan aminofilin (kurang dari 4
jam) dosis diberikan separuhnya.
c. Kortikosteroid
Injeksi Deksametason 0,2 mg/kgBB/x diberikan tiap 6-8 jam
selama 3-5 hari
d. Antibiotik (apabila ada indikasi / bukti infeksi bakteri sekunder)
Injeksi Anpicilin 25mg/kgBB/x tiap 6 jam atau Seftriakson
50mg/kgBB/x tiap 12 jam
e. Simtomatik
Antitusif atau mukolitik serta antipiretik apabila diperlukan

31
7. Terus berusaha menghubungi dokter spesialis penyakit anak yang
bertugas jaga pada hari tersebut untuk mendapatkan tatalaksana lanjutan
serta keputusan ruang rawat untuk pasien.
8. Observasi keluhan, tanda-tanda vital, dan saturasi oksigen.
9. KIE pasien dan keluarga mengenai penyakit, tatalaksana, serta risiko.
Tempat
Puskesmas, Rumah Sakit Tipe A, B, atau C
Pelayanan
Pneumothoraks
Pneumomediastinum dan emfisema subkutis
Atelektasis
12. Penyulit Aspergilosis bronkopulmoner alergik
Gagal napas
Bronkitis
Fraktur tulang rusuk
Informed
13. Ya
Consent
Tenaga Dokter Umum (Dokter Jaga UGD), Dokter Spesialis Anak, Dokter
14. Spesialis Anaestesi
Standar
Lama 3-5 hari tergantung kondisi pasien
15.
Perawatan
Masa
16. 1 minggu tergantung kondisi pasien
Pemulihan
17. Hasil Asma terkontrol / tidak
18. Patologi Tidak
19. Otopsi Tidak
32
20. Prognosis Dubia
Observasi 1-2 jam setelah semua terapi dilaksanakan
Apabila saturasi O2 > 90%, dapat pulang dengan terapi oral
21. Tindak Lanjut Respons klinis kurang baik dan saturasi O2 < 90%, rawat inap
Respons klinisburuk dan tidak ada perbaikan, dilakukan pemeriksaan
AGD. Apabila PO2 < 60 mmHg dilakukan perawatan di ICU
Tingkat
22. Evidens & 4
Rekomendasi
Indikator Serangan asma terkontrol, serangan jarang atau tidak ada sama sekali
23.
Medis dengan obat controller seminimal mungkin.
Penyakit
Tatalaksana
24. Edukasi
Hindari pencetus
Kontrol rutin sesuai jadwal
25. Kepustakaan 1. Rahajoe N, Supriyatno B, Setyanto DB. Pedoman Nasional Asma Anak.
Jakarta: UKK Pulmonologi PP IDAI; 2004.
2. Kartasasmita CB. Epidemiologi asma anak. Dalam: Rahajoe NN,
Supriyatno B, Setyanto DB, penyunting. Buku Ajar Respirologi Anak.
Edisi pertama. Jakarta: BP IDAI; 2008. h. 71-84.
3. Supriyatno B, Wahyudin B. Patogenesis dan patofisiologi asma anak.
Dalam: Rahajoe NN, Supriyatno B, Setyanto DB, penyunting. Buku
Ajar Respirologi Anak. Edisi pertama. Jakarta: BP IDAI; 2008. h. 85-
97.
4. Makmuri MS. Patofisiologi asma. Dalam: Rahajoe NN, Supriyatno B,
Setyanto DB, penyunting. Buku Ajar Respirologi Anak. Edisi pertama.
Jakarta: BP IDAI; 2008. h. 98-103.
5. Nata prawira HMD. Diagnosis asma anak. Dalam: Rahajoe NN,
Supriyatno B, Setyanto DB, penyunting. Buku Ajar Respirologi Anak.
Edisi pertama. Jakarta: BP IDAI; 2008. h. 104-119.
6. Supriyatno B, Makmuri MS. Serangan asma akut. Dalam: Rahajoe NN,
Supriyatno B, Setyanto DB, penyunting. Buku Ajar Respirologi Anak.
Edisi pertama. Jakarta: BP IDAI; 2008. h. 120-133.
7. Rahajoe N. Tata laksana jangka panjang asma pada anak. Dalam:
Rahajoe NN, Supriyatno B, Setyanto DB, penyunting. Buku Ajar
Respirologi Anak. Edisi pertama. Jakarta: BP IDAI; 2008. h. 134-47.
8. Suardi AU, Sudarwati S. Asma dengan masalah khusus. Dalam:
Rahajoe NN, Supriyatno B, Setyanto DB, penyunting. Buku Ajar
33
Respirologi Anak. Edisi pertama. Jakarta: BP IDAI; 2008. h. 148-57.
9. Rosmayudi O, Supriyatno B. Pencegahan asma. Dalam: Rahajoe NN,
Supriyatno B, Setyanto DB, penyunting. Buku Ajar Respirologi Anak.
Edisi pertama. Jakarta: BP IDAI; 2008. h. 158-61.

34
PANDUAN PRAKTIK KLINIS
INSTALASI GAWAT DARURAT
RUMAH SAKIT UMUM NEGARA

RSU NEGARA

1. No. ICPC-2 T15.9 Foreign body on external eye, part unspecified

2. Diagnosis BENDA ASING DI MATA

Benda asing di konjungtiva adalah benda yang dalam keadaan


normal tidak dijumpai di konjungtiva dan dapat menyebabkan
Pengertian iritasi jaringan.
3.
Pada umumnya kelainan ini bersifat ringan, namun pada beberapa
keadaan dapat berakibat serius terutama pada benda asing yang
bersifat asam atau basa dan bila timbul infeksi sekunder.
Keluhan adanya benda yang masuk ke dalam konjungtiva atau
matanya.
Gejala yang ditimbulkan berupa nyeri, mata merah dan berair,
sensasi benda asing, dan fotofobia.
4. Anamnesis
Faktor Risiko :
Pekerja di bidang industri yang tidak memakai kacamata
pelindung, seperti: pekerja gerinda, pekerja las, pemotong keramik,
pekerja yang terkait dengan bahan-bahan kimia (asam-basa).

1. Visus biasanya normal.


Pemeriksaan 2. Ditemukan injeksi konjungtiva tarsal dan/atau bulbi.
5. Fisik 3. Ditemukan benda asing pada konjungtiva tarsal superior dan/atau
inferior dan/atau konjungtiva bulbi.
Kriteria
6. Diagnosis Penegakan diagnosis berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik.

Konjungtivitis akut
Diagnosis
Keratitis/Ulkus kornea akut
7. Banding Uveitis akut
Trauma Orbita
Pemeriksaan
8. -
Penunjang

9. Konsultasi Dokter Umum (Dokter Jaga UGD)

10. Perawatan Unit Gawat Darurat, Rawat Jalan

35
Rumah Sakit

1. Non-medikamentosa: Pengangkatan benda asing


Berikut adalah cara yang dapat dilakukan:
Berikan tetes mata Tetrakain-HCl 2% sebanyak 1-2 tetes pada
mata yang terkena benda asing.
Gunakan kaca pembesar (lup) dalam pengangkatan benda
asing.
Terapi / Angkat benda asing dengan menggunakan lidi kapas atau
jarum suntik ukuran 23G.
11. Tindakan
Arah pengambilan benda asing dilakukan dari tengah ke tepi.
Oleskan lidi kapas yang dibubuhkan Povidon Iodin pada
tempat bekas benda asing.
2. Medikamentosa
Antibiotik topikal (salep atau tetes mata), misalnya
Kloramfenikol tetes mata, 1 tetes setiap 2 jam selama 2 hari
3. Dirujuk bila terjadi penurunan visus dan bila benda asing tidak
dapat dikeluarkan, misal: karena keterbatasan fasilitas
Tempat
SMF MATA
Pelayanan

12. Penyulit -

Informed
13. Consent Ya

14. Tenaga Standar Dokter Umum (Dokter Jaga UGD), Dokter Spesialis Mata

Lama
15. Perawatan -

16. Masa Pemulihan 1-2 minggu

17. Hasil Tidak ada keluhan

18. Patologi Tidak

19. Otopsi Tidak

20. Prognosis Dubia

21. Tindak Lanjut Kontrol dokter spesialis mata

Tingkat Evidens 4
22. & Rekomendasi

23. Indikator Medis Luka sembuh dan penglihatan tidak kabur

24. Edukasi Memberitahu pasien agar tidak menggosok matanya agar tidak
memperberat lesi.
36
Menggunakan alat/kacamata pelindung pada saat bekerja atau
berkendara.
Menganjurkan pasien untuk kontrol bila keluhan bertambah berat
setelah dilakukan tindakan, seperti mata bertambah merah,
bengkak, atau disertai dengan penurunan visus.
1. Gondhowiardjo, T.D. Simanjuntak, G. Panduan Manajemen Klinis
Perdami, 1th Ed. Jakarta: CV Ondo. 2006.
2. Sidarta, I. Ilmu Penyakit Mata. Edisi III. Cetakan V. Jakarta: Balai
25. Kepustakaan
Penerbit FK UI. 2008.
3. Vaughan, D.G. Oftalmologi Umum. Ed 14. Cetakan I. Jakarta:
Widya Medika. 2000.

37
PANDUAN PRAKTIK KLINIS
INSTALASI GAWAT DARURAT
RUMAH SAKIT UMUM NEGARA

RSU NEGARA

1. No. ICPC-2 S.05.6

2. Diagnosis TRAUMA TAJAM OKULI

3. Pengertian Trauma atau cedera yang terjadi pada mata yang dapat mengakibatkan
kerusakan pada bola mata, kelopak mata, saraf mata dan rongga
orbita, kerusakan ini akan memberikan penyulit sehingga mengganggu
fungsi mata sebagai indra penglihat.

Trauma tembus ( luka akibat benda tajam ), dimana strutur okular


mengalami kerusakanakibat benda asing yang menembus lapisan
okular, yang terdiri atas :
Non perforasi.
Dengan perforasi, meliputi :
Perforasi tanpa benda asing intra okuler
Perforasi dengan benda asing intra okuler,yang menurut sifat benda
asingnya terbagi atas
a. Berdasarkan sifat fisisnya,terdiri atas :
- Benda logam.E.g.
Emas,perak,platina,timah,seng,tembaga,besi,dll
- Benda non logamE.g. Kaca,bahan tumbuh-
tumbuhan,bahan pakaian,dll
b. Berdasarkan keaktifan ( potensi menyebabkan reaksi
inflamasi ) terdiri atas:
-Benda inert,merupakan bahan-bahan yang tidak
menimbulkan reaksi jaringanmata,kalaupun terjadi
hanya reaksi ringan saja dan tidak mengganggu
fungsimata,seperti :Emas, perak, platina, bath, kaca,
porselin, dll.
-Benda reaktif yang merupakan bahan-bahan yang dapat
menimbulkan reaksi jaringan sehingga mengganggu
fungsi mata,seperti seng,timah hitam,nikel ,alumunium,
besi, kuningan,tumbuh-tumbuhan,bulu ulat.
38
Mata sakit
Anamnesis Berair
4.
Kabur
Bengkak dan kadang-kadang berdarah
Erosi Kornea
Pemeriksaan Luka robek pada
5. Fisik palpebra/konjungtiva/limbus/kornea/sclera/lesa/iris/
Prolaps
Hifema
Subyektif
Mata sakit
Berair
Kabur
Kriteria Bengkak dan kadang-kadang berdarah
6. Obyektif
Diagnosis Erosi Kornea
Luka robek pada
palpebra/konjungtiva/limbus/kornea/sclera/lesa/iris/
Prolaps
Hifema
Diagnosis
7. Banding -

Pemeriksaan
8. Tes flouresin
Penunjang

9. Konsultasi Dokter Spesialis Mata

Perawatan Unit Gawat Darurat, Rawat Jalan, Rujuk RS terdepat yang terdapat
10. Rumah Sakit spesialis mata

11. Terapi / 1. Perkirakan kedalaman luka serta kemungkinan cedera organ dalam
2. Penanganan khusus untuk luka lecet:
Tindakan
a. Pencucian luka dengan cairan infus
b. Hilangkan semua debu, pasir, serta kotoran yang menempel
dengan kain / kassa steril secara hati-hati
c. Oleskan povidon iodin / betadine pada luka dan biarkan
terbuka.
d. Tetes mata gentamisin pada erosi mata/ruptur konjugtiva
ringan/ kelopak
e. Antibiotik, sistemik (amoksisilin 3 500 mg, amoksiklav 3
1 tablet, atau antibiotik lainnya)apabila dirasa perlu
f. Terapi simtomatik (analgesik), dapat diberikan Obat Anti
Inflamasi non-Steroid (OAINS) apabila tidak ada
kontraindikasi (alergi, riwayat perdarahan saluran cerna) atau
39
Parasetamol.
g. Pertimbangkan untuk rujuk ke RS terdekat yang sudah terdapat
dokter spesialis mata
h. Observasi keluhan, tanda-tanda vital
i. KIE pasien dan keluarga mengenai penyakit, tatalaksana, serta
risiko.
Tempat
SMF MATA
Pelayanan

Ruptur bola mata


Ruptur duktus lakrimalis
12. Penyulit
Endoftalmitis
Simpoatik oftalmia
Informed
13. Consent Ya

14. Tenaga Standar Dokter Umum (Dokter Jaga UGD), Dokter Spesialis Mata

Lama
15. Perawatan 5-8 hari

16. Masa Pemulihan 7-14

17. Hasil Sembuh parsial/sempurna/buta/anoftalmus

18. Patologi Tidak

19. Otopsi Tidak

20. Prognosis Dubia

21. Tindak Lanjut Kontrol dokter spesialis mata

Tingkat Evidens 4
22. & Rekomendasi

23. Indikator Medis Luka sembuh dan penglihatan tidak kabur

Jaga kebersihan luka


24. Edukasi
Kontrol rutin
1. Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia. Panduan Praktik Klinis
Bagi Dokter di Fasilitas Pelayanan Kesehatan Primer. Jakarta:
Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia; 2014. h. 255-8
25. Kepustakaan
2. American College of Surgeons. Advanced Trauma Life Support
(ATLS) Student Course Manual. edisi ke-9. USA: ACS Committee
on Trauma; 2012. h. 2-23

40
PANDUAN PRAKTIK KLINIS
INSTALASI GAWAT DARURAT
RUMAH SAKIT UMUM NEGARA

RSU NEGARA

1. No. ICPC-2 S.05.6

2. Diagnosis TRAUMA TUMPUL OKULI

Trauma atau cedera yang terjadi pada mata yang dapat mengakibatkan
kerusakan pada bola mata, kelopak mata, saraf mata dan rongga
orbita, kerusakan ini akan memberikan penyulit sehingga mengganggu
fungsi mata sebagai indra penglihat.
Trauma tumpul okuli adalah trauma pada mata yang diakibatkan
benda yang keras atau benda tidak keras dengan ujung tumpul, dapat

3. Pengertian mengenai mata dengan kencang atau lambat sehingga terjadi


kerusakan pada jaringan bola.

Trauma tumpul, yang terdiri atas :


Konkusio, yaitu trauma tumpul pada mata yang masih
reversibel, dapat sembuh dannormal kembali.
Kontusio, yaitu trauma tumpul yang biasanya menyebabkan
kelainan vaskuler dan kelainan jaringan/ robekan
Mata sakit
Anamnesis Berair
4.
Kabur
Bengkak
Visus menurun
edema pada palpebra
Pemeriksaan edema korne
5. Fisik darah pada bilik mata depan
Pupil lebar
Lensa keruh
Bola mata sulit digerakkan
6. Kriteria Subyektif
Mata sakit
Diagnosis
Berair
Kabur
Bengkak
Obyektif
Visus menurun
41
edema pada palpebra
edema korne
darah pada bilik mata depan
Pupil lebar
Lensa keruh
Bola mata sulit digerakkan
Diagnosis
7. Banding -

Pemeriksaan
8. Tes flouresin
Penunjang

9. Konsultasi Dokter Spesialis Mata

Perawatan Unit Gawat Darurat, Rawat Jalan, Rujuk RS terdepat yang terdapat
10. Rumah Sakit spesialis mata

1. Perkirakan kedalaman luka serta kemungkinan cedera organ dalam


2. Penanganan khusus untuk luka lecet:
a. Pencucian luka dengan cairan infus
b. Hilangkan semua debu, pasir, serta kotoran yang menempel
dengan kain / kassa steril secara hati-hati
c. Oleskan povidon iodin / betadine pada luka dan biarkan
terbuka.
d. Tetes mata gentamisin pada erosi mata/ruptur konjugtiva
ringan/ kelopak
Terapi / e. Antibiotik, sistemik (amoksisilin 3 500 mg, amoksiklav 3
11. Tindakan 1 tablet, atau antibiotik lainnya)apabila dirasa perlu
f. Terapi simtomatik (analgesik), dapat diberikan Obat Anti
Inflamasi non-Steroid (OAINS) apabila tidak ada
kontraindikasi (alergi, riwayat perdarahan saluran cerna) atau
Parasetamol.
3. Pertimbangkan untuk rujuk ke RS terdekat yang sudah terdapat
dokter spesialis mata
4. Observasi keluhan, tanda-tanda vital
5. KIE pasien dan keluarga mengenai penyakit, tatalaksana, serta
risiko.
Tempat
SMF MATA
Pelayanan

Ruptur bola mata


Ruptur duktus lakrimalis
12. Penyulit
Endoftalmitis
Simpoatik oftalmia
13. Informed Ya

42
Consent

14. Tenaga Standar Dokter Umum (Dokter Jaga UGD), Dokter Spesialis Mata

Lama
15. Perawatan 5-8 hari

16. Masa Pemulihan 7-14

17. Hasil Sembuh parsial/sempurna/buta/anoftalmus

18. Patologi Tidak

19. Otopsi Tidak

20. Prognosis Dubia

21. Tindak Lanjut Kontrol dokter spesialis mata

Tingkat Evidens 4
22. & Rekomendasi

23. Indikator Medis Luka sembuh dan penglihatan tidak kabur

Jaga kebersihan luka


24. Edukasi
Kontrol rutin
1. Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia. Panduan Praktik Klinis
Bagi Dokter di Fasilitas Pelayanan Kesehatan Primer. Jakarta:
Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia; 2014. h. 255-8
25. Kepustakaan
2. American College of Surgeons. Advanced Trauma Life Support
(ATLS) Student Course Manual. edisi ke-9. USA: ACS Committee
on Trauma; 2012. h. 2-23

43
PANDUAN PRAKTIK KLINIS
INSTALASI GAWAT DARURAT
RUMAH SAKIT UMUM NEGARA

RSU NEGARA

1. No. ICPC-2 T.26

2. Diagnosis TRAUMA KIMIA OKULI

Trauma kimia mata adalah salah satu kasus kedaruratan mata,


umumnya terjadi karena masuknya zat-zat kimia ke jaringan mata
dan adneksa di sekitarnya.
Keadaan ini memerlukan penanganan cepat dan segera oleh karena
dapat mengakibatkan kerusakan berat pada jaringan mata dan
menyebabkan kebutaan.
Pengertian Zat kimia penyebab dapat bersifat asam atau basa. Trauma basa
3.
terjadi dua kali lebih sering dibandingkan trauma asam dan
umumnya menyebabkan kerusakan yang lebih berat pada mata.
Selain itu, beratnya kerusakan akibat trauma kimia juga ditentukan
oleh besarnya area yang terkena zat kimia serta lamanya pajanan
Pajanan terhadap zat kimia yang sering menjadi penyebab trauma
antara lain detergen, desinfektan, pelarut kimia, cairan pembersih
rumah tangga, pupuk, pestisida, dan cairan aki.
Mata merah, bengkak dan iritasi
Rasa sakit pada mata
Penglihatan buram
Sulit membuka mata
Rasa mengganjal pada mata
4. Anamnesis Anamnesis perlu dilakukan untuk mengetahui zat kimia penyebab
trauma, lama kontak dengan zat kimia, tempat dan kronologis
kejadian, adanya kemungkinan kejadian kecelakaan di tempat
kerja atau tindak kriminal, serta penanganan yang sudah
dilakukan sebelumnya..
5. Pemeriksaan Dengan bantuan senter dan lup, dapat ditemukan kelainan berikut
Fisik ini:
1. Hiperemia konjungtiva
2. Defek epitel kornea dan konjungtiva
3. Iskemia limbus kornea
4. Kekeruhan kornea dan lensa
44
Kriteria Penegakan diagnosis berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan
6. Diagnosis fisik.
Diagnosis
7. Banding -

Pemeriksaan visus menunjukkan ada penurunan ketajaman


penglihatan. Bila tersedia, dapat dilakukan tes dengan kertas
Pemeriksaan lakmus untuk mengetahui zat kimia penyebab :
8. Penunjang 1. Bila kertas lakmus terwarnai merah, maka zat penyebab
bersifat asam
2. Bila kertas lakmus terwarnai biru, maka zat penyebab bersifat
basa
9. Konsultasi Dokter Spesialis Mata

Perawatan Unit Gawat Darurat, Rawat Jalan, Rujuk RS terdepat yang terdapat
10. Rumah Sakit spesialis mata

11. Terapi / 1. Segera lakukan irigasi mata yang terkena zat kimia dengan cairan
Tindakan mengalir sebanyak mungkin dan nilai kembali dengan kertas
lakmus. Irigasi dengan RL minimal 2 liter dan irigasi terus
dilakukan hingga tidak terjadi pewarnaan pada kertas lakmus. Bila
trauma kimia basa bisa dilakukan 5-6 liter sampai lakmus berubah.

2. Lakukan eversi pada kelopak mata selama irigasi dan singkirkan


debris yang mungkin terdapat pada permukaan bola mata atau pada
forniks.

3. Setelah irigasi selesai dilakukan, nilai tajam penglihatan, kemudian


rujuk segera ke dokter spesialis mata di fasilitas sekunder atau
tersier.

4. Pengobatan :

Tetes mata anti edema ( cendo xytrol), tetes mata


antibiotika+steroid ( cendo polygran)

Antibiotik, sistemik (amoksisilin 3 500 mg, amoksiklav 3


1 tablet, atau antibiotik lainnya)apabila dirasa perlu

EDTA ed

45
Terapi simtomatik (analgesik), dapat diberikan Obat Anti
Inflamasi non-Steroid (OAINS) apabila tidak ada
kontraindikasi (alergi, riwayat perdarahan saluran cerna) atau
Parasetamol.

5. Observasi keluhan, tanda-tanda vital, bila ada tanda-tanda


penurunan visus segera rujuk ke RS terdekat yang terdapat dokter
spesialis mata.

6. KIE pasien dan keluarga mengenai penyakit, tatalaksana, serta


risiko.

Tempat
SMF MATA
Pelayanan

1. Simblefaron

2. Hipotoni bola mata

3. Ptisis bulbi
12. Penyulit
4. Entropion

5. Katarak

6. Neovaskularisasi kornea

Informed
13. Consent Ya

14. Tenaga Standar Dokter Umum (Dokter Jaga UGD), Dokter Spesialis Mata

Lama
15. Perawatan -

16. Masa Pemulihan 5-8 hari

17. Hasil Sembuh

18. Patologi Tidak

19. Otopsi Tidak

20. Prognosis Dubia

21. Tindak Lanjut Kontrol dokter spesialis mata

22. Tingkat Evidens 4

46
& Rekomendasi

23. Indikator Medis Luka sembuh dan penglihatan tidak kabur

Anjuran untuk menggunakan pelindung (kacamata / goggle,


24. Edukasi sarung tangan, atau masker) pada saat kontak dengan bahan kimia
Kontrol rutin
1. Sidarta, I. Ilmu Penyakit Mata. Edisi III. Cetakan V. Jakarta: Balai
Penerbit FK UI. 2008.

2. Vaughan, D.G. Oftalmologi Umum. Ed 14. Cetakan I. Jakarta:


Widya Medika. 2000.
25. Kepustakaan
3. Ehlers JP, Shah CP, editors. The Wills Eye Manual-office and
emergency room diagnosis and treatment of eye disease. 5th
edition. Philadelphia: Lippincott Williams and Wilkins; 2008.
(Ehlers & Shah, 2008

47
PANDUAN PRAKTIK KLINIS
INSTALASI GAWAT DARURAT
RUMAH SAKIT UMUM NEGARA

RSU NEGARA

1. No. ICPC-2 H 40.2 Primary angle-closure glaucoma

2. Diagnosis GLUKOMA PRIMER SUDUT TERTUTUP AKUT

Peningkatan tekanan intraokuler secara mendadak (TIO > 30


mmHg) disertai dengan gejala akut.
Glaukoma akut dapat bersifat primer atau sekunder. Glaukoma
primer timbul dengan sendirinya pada orang yang mempunyai

Pengertian bakat bawaan glaukoma, sedangkan glaukoma sekunder timbul


3.
sebagai penyulit penyakit mata lain ataupun sistemik.
Umumnya penderita glaukoma telah berusia lanjut, terutama bagi
yang memiliki risiko. Bila tekanan intraokular yang mendadak
tinggi ini tidak diobati segera akan mengakibatkan kehilangan
penglihatan sampai kebutaan yang permanen.
Penglihatan kabur mendadak,
Rasa sakit atau nyeri pada mata yang dapat menjalar ke kepala
4. Anamnesis Mata merah, berair
Mual dan muntah (pada tekanan bola mata yang sangat tinggi)
Riwayat penyakit glaukoma dalam keluarga
Visus, pemeriksaan segmen anterior, segmen posterior (apabila
medis refraksi jernih)
Tekanan intra okular meningkat
Pemeriksaan
Konjungtiva bulbi: hiperemia kongesti, kemosis dengan injeksi
5. Fisik
silier, injeksi konjungtiva
Edema kornea
Bilik mata depan dangkal
Pupil mid-dilatasi, refleks pupil negatif
6. Kriteria Subjektif:
Penglihatan kabur mendadak
Diagnosis
Sakit pada bola mata yang menyebar ke kepala di sisi yang
sama.
Melihat halo (warna warni) disekitar bola lampu dan silau
Mata merah dan berair

48
Pusing , mual dan muntah
Badan terasa keringat dingin dan bradikardi

Objektif:
Kelopak mata bengkak
Konjungtiva hiperemis, mix injection
Tekanan intra okuler (TIO) tinggi (diatas 30 mmHg)
Kornea edema
Bilik mata depan dangkal
Pupil yang lebar iriguler dan tidak bereaksi terhadap sinar
Lensa tampak keruh Katarak Fog
Ada kasus yang menyebabkan kenaikan TIO
Diagnosis Konjungtivitis akut
7. Banding Keratitis/Ulkus kornea akut
Uveitis akut
Pemeriksaan Aplanasi Goldman, gonioskopi, lapang pandang
8. (perimetrioctopol) OCT, ONH, RNFL jika media refraksi
Penunjang jernih.

9. Konsultasi Dokter Spesialis Mata

Perawatan Unit Gawat Darurat, Rawat Inap, Rujuk RS terdepat yang terdapat
10. Rumah Sakit spesialis mata

11. Terapi / 1. Non-Medikamentosa


Pembatasan asupan cairan untuk menjaga agar tekanan intra okular
Tindakan
tidak semakin meningkat
2. Turunkan TIO segera dengan obat-obatan, evaluasi dalam 24 jam
a. Miotikum tetes mata (carpin 2%) 5x/hari
c. Timolol 0,5% 2 x 1 tetes
d. Acetazolamid 3x250mg
e. Tablet K (Aspar K) 3x1tablet
f. Analgetik ( asam mefenamat 3x500mg)
g. Gliserin 3x100cc , bila perlu manitol
h. Berikan obat steroid topikal 6 x 1 tetes
3. Pertimbangkan untuk rujuk ke RS terdekat yang sudah terdapat
dokter spesialis mata untuk operasi.
a. Iridektomi perifer dengan laser atau gonioplasti
b. Bila perlu, dilakukan parasintesis oleh konsultan
c. Bila TIO sudah relatif turun, dan kornea sudah lebih jernih,
dapat dilakukan iridektomi perifer dengan laser/pembedahan
d. Bila dengan iridektomi, TIO tetap tidak terkontrol, maka
dapat dilakukan trabekulektomi kemudian, saat sel endotel
kornea sudah tenang
e. Untuk mata sebelahnya (fellow eye) dilakukan iridektomi
perifer preventif
f. Pasca trabekulektomi atau triple procedure, diberikan tetes

49
mata steroid 6x1 serta antibiotik.
4. Observasi keluhan, tanda-tanda vital
5. KIE pasien dan keluarga mengenai penyakit, tatalaksana, serta
risiko.
Tempat
SMF MATA
Pelayanan

Katarak
Bilik mata depan flat
12. Penyulit
Endoftalmitis
Suprachoroid hemorrhage
Informed
13. Consent Ya

14. Tenaga Standar Dokter Umum (Dokter Jaga UGD), Dokter Spesialis Mata

Lama
15. Perawatan 4-6 hari

16. Masa Pemulihan 4-6 hari

17. Hasil Stabil bila TIO terkontrol

18. Patologi Tidak

19. Otopsi Tidak

20. Prognosis Dubia

Kontrol dokter spesialis mata

Follow up dievaluasi visus, TIO dan funduskopi setiap 3


21. Tindak Lanjut
bulan, gonioskopi setiap 6 bulan, perimetridan OCT setiap

tahun

Tingkat Evidens 4
22. & Rekomendasi

23. Indikator Medis Luka sembuh dan penglihatan tidak kabur

Kepatuhan pemakaian obat, kontrol sesuai anjuran, untuk


pemeriksaan TIO, papil n.II, lapang pandangan
24. Edukasi Risiko serupa dapat terjadi pada keluarga (disarankan juga untuk
memeriksakan diri), pengobatan bila ada penyakit sistemik, misal
diabetes melitus
25. Kepustakaan 1. American Academy of Ophthalmology and Staff. 2015-2016.
Glaucoma. United State of America: AmericanAcademy of

50
Ophthalmology.
2. Foster, P.J., Khaw, P.T. 2008. Glaucoma. In: Moorfields Manual of
Ophthalmology. Philadelphia : Mosby Elsevier. Pp. 274 325.
3. Gerstenblith, A.T., Rabinowitz, M.P. 2012. The Wills Eye Manual:
Office and Emergency Room Diagnosis and Treatment of Eye
Disease. 6 th ed. Philadelphia: Lippincott Williams &amp; Wilkins,
pp. 204-241
4. Stamper, R.L., Lieberman, M.F., Drake, M.V. 2009. Becker-
Shaffers : Diagnosis and Therapy of the Glaucomas. 8 th ed.
Mosby Elsevier.
5. Tsai, J.C., Denniston, A.K.O., Murray, P.I., Huang, J.J., Aldad, T.S.
2011. Oxford American Handbook of Ophthalmology. New York:
Oxford University Press I

51
PANDUAN PRAKTIK KLINIS
INSTALASI GAWAT DARURAT
RUMAH SAKIT UMUM NEGARA

RSU NEGARA

1. No. ICPC-2 H57.8 Other specified disorders of eye and adnexa

2. Diagnosis PERDARAHAN SUBKONJUNGTIVA

Perdarahan akibat ruptur pembuluh darah dibawah lapisan


konjungtiva yaitu pembuluh darah konjungtivalis atau episklera.
Sebagian besar kasus perdarahan subkonjungtiva merupakan kasus
3. Pengertian spontan atau idiopatik, dan hanya sebagian kecil kasus yang terkait
dengan trauma atau kelainan sistemik.
Perdarahan subkonjungtiva dapat terjadi di semua kelompok umur.
Perdarahan subkonjungtiva sebagian besar terjadi unilateral (90%).
Pasien datang dengan keluhan adanya darah pada sklera atau mata
berwarna merah terang (tipis) atau merah tua (tebal).
Sebagian besar tidak ada gejala simptomatis yang berhubungan
dengan perdarahan subkonjungtiva selain terlihat darah pada
bagian sklera.
Perdarahan akan terlihat meluas dalam 24 jam pertama setelah itu
4. Anamnesis kemudian akan berkurang perlahan ukurannya karena diabsorpsi.
Faktor Risiko :
1. Hipertensi atau arterosklerosis
2. Trauma tumpul atau tajam
3. Penggunaan obat, terutama pengencer darah
4. Manuver valsava, misalnya akibat batuk atau muntah
5. Anemia
6. Benda asing
7. Konjungtivitis
1. Pemeriksaan status generalis
2. Pemeriksaan oftalmologi:
a. Tampak adanya perdarahan di sklera dengan warna merah terang

Pemeriksaan (tipis) atau merah tua (tebal).


b. Melakukan pemeriksaan tajam penglihatan umumnya 6/6, jika
5. Fisik
visus <6/6 maka dicurigai terjadi kerusakan selain di
konjungtiva
c. Pemeriksaan funduskopi adalah perlu pada setiap penderita
dengan perdarahan subkonjungtiva akibat trauma.
52
Kriteria
6. Diagnosis Penegakan diagnosis berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik.

Konjungtivitis akut
Diagnosis
Keratitis/Ulkus kornea akut
7. Banding Uveitis akut
Trauma Orbita
Pemeriksaan
8. -
Penunjang

9. Konsultasi Dokter Umum (Dokter Jaga UGD)

Perawatan
10. Rumah Sakit Unit Gawat Darurat, Rawat Jalan

1. Perdarahan subkonjungtiva akan hilang atau diabsorpsi dalam 1-2


Terapi /
minggu tanpa diobati.
11. Tindakan 2. Pengobatan penyakit yang mendasari bila ada.
3. Kriteria rujukan bila didapatkan perdarahan subkonjungtiva harus
segera dirujuk ke spesialis mata jika ditemukan penurunan visus.
Tempat
SMF MATA
Pelayanan

12. Penyulit -

Informed
13. Consent Ya

14. Tenaga Standar Dokter Umum (Dokter Jaga UGD), Dokter Spesialis Mata

Lama
15. Perawatan -

16. Masa Pemulihan 1-2 minggu

17. Hasil Tidak ada keluhan

18. Patologi Tidak

19. Otopsi Tidak

20. Prognosis Dubia

21. Tindak Lanjut Kontrol dokter spesialis mata

Tingkat Evidens 4
22. & Rekomendasi

23. Indikator Medis Luka sembuh dan penglihatan tidak kabur

24. Edukasi Tidak perlu khawatir karena perdarahan akan terlihat meluas dalam
53
24 jam pertama, namun setelah itu ukuran akan berkurang perlahan
karena diabsorpsi
Kondisi hipertensi memiliki hubungan yang cukup tinggi dengan
angka terjadinya perdarahan subkonjungtiva sehingga diperlukan
pengontrolan tekanan darah pada pasien dengan hipertensi.
1. Gondhowiardjo, T.D. Simanjuntak, G. Panduan Manajemen Klinis
Perdami, 1th Ed. Jakarta: CV Ondo. 2006.
2. James, Brus.dkk. Lecture Notes Oftalmologi. Erlangga. Jakarta.
2005.
3. Riordan. Paul, E. Whitcher, John P. Vaughan & Asbury Oftalmologi
25. Kepustakaan
Umum. Ed 17. Jakarta: EGC. 2009.
4. Sidarta, I. Ilmu Penyakit Mata. Edisi III. Cetakan V. Jakarta: Balai
Penerbit FK UI. 2008.
5. Vaughan, D.G. Oftalmologi Umum. Ed 14. Cetakan I. Jakarta:
Widya Medika. 2000.

54
PANDUAN PRAKTIK KLINIS
INSTALASI GAWAT DARURAT
RUMAH SAKIT UMUM NEGARA

RSU NEGARA

1. No. ICPC-2 H05.019

2. Diagnosis SELULITIS ORBITAL

Selulitis Orbital adalah infeksi jaringan ikat yang berada di


3. Pengertian posterior dari septum orbita termasuk jaringan lemak dan otot
diruang orbita
Dari anamnesis didapatkan keluhan kelopak mata bengkak,

Anamnesis proptosis kemerahan, nyeri, hangat pada perabaan, penurunan


4.
visus, nyeri saat menggerakkan bola mata, serta riwayat infeksi
saluran pernafasan.
1. Pemeriksaan visus dengan kartu Snellen/chart projector dengan
koreksi terbaik serta menggunakan pin hole dan penglihatan
warna
2. Pemeriksaan lapang pandang dengan konfrontasi tes atau
Pemeriksaan
perimetri
5. Fisik 3. Pemeriksaan proptosis dengan Hertel exopthalmometry
4. Pemeriksaan tekanan intraokular dengan tonometri non-contact
5. Dilakukan pemeriksaan slit lamp untuk menilai segmen anterior
6. Dilakukan pemeriksan motilitas ocular (nyeri gerak bola mata
tidak ditemukan)
7. Pemeriksaan segmen posterior dengan oftalmoskopi indirek.
Memenuhi kriteria anamnesis dan gejala klinis di atas
Dari pemeriksaan fisik umumnya didapatkan penurunan visus,
defek colour vision,diplopia, Relative Afferen Pupil Defect.
Pemeriksaan dengan slit lamp untuk menilai keadaan palpebra dan

Kriteria segmen anterior lainnya (tanda-tanda trauma, inflamasi berat di


6. Diagnosis palpebra yang mencakup oedema, eritema, hangat pada perabaan,
proptosis, discharge,kemosis konjungtiva, keratopati).
Dari pemeriksaan motilitas ocular didapatkan hambatan atau nyeri
pergerakan bola mata.
Dari pemeriksaan segmen dapat ditemukan optik disc swelling,
optik neuropati, oklusi vena.
7. Diagnosis 1. Idiopathic Inflamation (pseudo tumor, Wegeners Disease,
55
sarcoidosis)
Banding 2. Neoplasia (leukemia, rhabdomyosarcoma)
3. Trauma (retrobulbar hemorrhage, orbital emfisema)
4. Kelainan Endokrim (tiroid orbitopathy)
Pemeriksaan 1. DL, GD (dengan riwayat diabetes sebelumnya)
8. 2. CT-Scan kepala focus orbita jika ada abses di orbita
Penunjang 3. Biakan kultur dilakukan jika terdapat abses

9. Konsultasi Dokter Spesialis Mata

Perawatan
10. Rumah Sakit Unit Gawat Darurat, Rawat Inap

1. Ampicillin-sulbactam 3 gr i.v tiap 6 jam untuk dewasa; 300


mg/kg per hari terbagi menjadi 4 dosis, Pada anak -anak,
dengan dosis maximal harian 12 gr ampicillin-sulbactam (8 g
ampicillin component).
2. Piperacillin-tazobactam 4.5 gr iv tiap 8 jam atau 3.375 gr tiap 6
jam untuk orng dewasa; dan 240 mg piperacillin/kg/hari
Terapi / terbagi jadi 3 dosis pada anak-anak, dengan dosis maksimal
11. Tindakan harian 12 gr piperacillin.
3. Erythromycin ointment 4x sehari untuk korneal exposuredan
kemosis jika terdapat lagoftalmos.
4. Jika orbita terasa kencang dan padat, kemungkinan terjadi
optic neuropati atau peningkatan IOP, sehingga memerlukan
tindakan canthotomy/cantholysis.
5. Penggunaan steroid sistemik (metilprednisolon) jika 2 hari
pemberian antibiotic tidak membaik.
6. Dilakukan drainase surgical jika terdapat abses
Tempat
SMF MATA
Pelayanan

12. Penyulit Abses palpebra

Informed
13. Consent Ya

14. Tenaga Standar Dokter Umum (Dokter Jaga UGD), Dokter Spesialis Mata

Lama
15. Perawatan 1 minggu

16. Masa Pemulihan 3 minggu

Tanda-tanda peradangan berkurang


17. Hasil Visus membaik

56
18. Patologi Tidak

19. Otopsi Tidak

20. Prognosis Dubia

Kontrol dokter spesialis mata


21. Tindak Lanjut
Kontrol poliklinik mata 1 minggu setelah rawat inap

Tingkat Evidens
22. & Rekomendasi

23. Indikator Medis Berkurangnya tanda-tanda radang pada bola mata dan sekitarnya

1. Menjelaskan mengenai diagnosis


2. Menjelaskan mengenai rencana tindakan
24. Edukasi 3. Progresi dan prognosis penyakit
4. Komplikasi dan rekurensi.

1. Lee S, Yen MT. Management of preseptal and orbital cellulitis.


Saudi Journal of Ophthalmology. 2011; Vol 25:p. 21-29.
2. American Academy of Ophthalmology Staff. Endophthalmitis. In:
Intraocular Inflammation and Uveitis. Basic and Clinical Science
25. Kepustakaan Course 9. California: American Academy of Ophthalmology
2011;p.269-80
3. Gerstenblith A, Rabinowitz M. The Will Eye Manual Office and
Emergency Room Diagnosis and Treatment of Eye
Disease.Lippincot William and wilkins. 2008;p.146- 149

57

Anda mungkin juga menyukai