Anda di halaman 1dari 14

Panduan Praktik Klinis

SMF : THT-KL
RUMAH SAKIT KARTIKA PULOMAS
TAHUN 2021

BENDA ASING SALURAN NAPAS

1. Pengertian (Definisi) Benda asing yang secara tidak sengaja terhirup


masuk ke saluran napas (laring, trakea, bronkus)
 Fase Akut
2. Anamnesis  Fase Tenang
 Fase Komplikasi

 Foreign body in larynx (ICD 10: T17.4)


 Asmatoid wheezing, Audible slap, Palpatory
thud
 Disfonia
 Bila ada sumbatan jalan nafas atas, retraksi
supraklavikuler intercostal atau epigastrial,
stridor inspirasi, gelisah sampai kesadaran
3. Pemeriksaan Fisik
menurun, sianosis.
 Foreign body in bronchus (ICD 10: T17.5)
 Inspeksi: Gerakan dada tertinggal ipsilateral
 Palpasi: Gerakan nafas asimetris
 Perkusi: di dapatkan perubahan suara ketuk
ipsilateral
 Auskultasi: suara nafas melemah ipsilateral,
stridor
Anamnesa
4. Kriteria Diagnosis Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan Penunjang
- Foreign body in larynx
5. Diagnosis
- Foreign body in trachea
- Foreign body in bronchus
 Acute laryngitis
6. Diagnosis Banding  Acute tracheaitis
 Acute bronchitis
 Pneumonia
 Asthma
 Benign neoplasma of larynx

7. Pemeriksaan Penunjang  Rontgen foto polos thoraks AP/Lateral


 Rontgen foto polos jaringan lunak
 Tomografi komputer thoraks
 Laboratorium
 Fiber optic bronchoscopy
8. Terapi  Bronkoskopi ekstraksi meliputi ekstraksi
benda asing pada laring dan trakea/bronkus
 1. Menjelaskan perjalanan penyakit dan komplikasi
9. Edukasi yang dapat timbul
 2. Menjelaskan indikasi operasi dan komplikasinya
Ad vitam : dubia ad bonam
10. Prognosis Ad sanationam : dubia ad bonam
Ad fumgsionam : dubia ad bonam

1
11. Penelaah Kritis dr. Mohammad Rizki Tri Ronoadi, SpTHT-KL

Kondisi pasien membaik


12. Indikator Medis
1. Snow JB, Bronchology. In: Ballenger
13. Kepustakaan JJ.Ed.Disease of the Nose, Throat, Ear, Head
and Neck. 14th ed. Philadelphia, London:
Lea&Febiger, 1991: 1278-96.
2. Jackson C, Jackson CL. Diseases of the nose,
throat, and ear. 2nd ed. Philadelphia, London:
WB Saunders Co, 1963:842-55.
3. Thompson JN, Browne JD. Caustic ingestion
and foreign bodies in the aero digestive tract
In: Bailey BJ and Pillsburry III HC eds. Head
and Neck Surgery – Otolaryngology Vol. I.
Philadelphia: JB Lippincott Company.
1993:725-37.

2
Panduan Praktik Klinis
SMF : THT-KL
RUMAH SAKIT KARTIKA PULOMAS
TAHUN 2021

BENIGN PAROXYSMAL POSITIONAL VERTIGO (BPPV)


Gangguan keseimbangan yang ditandai dengan adanya sensasi
1. Pengertian (Definisi) berputar dari dunia sekelilingnya atas dirinya sendiri yang
berputar dan bersifat episodic yang di provokasi oleh Gerakan
kepala.

 Vertigo atau sensasi berputar


2. Anamnesis  Awitan tiba-tiba/mendadak
 Episodik
 Dapat disertai gejala otonom, mual, muntah, keringat dingin
 Tidak didapatkan gangguan pendengaran
 Tidak ada gejala fokal otak (deficit neurologis)
 Nistagmus fase cepat rotoar searah jarum jam (sisi lesi)
3. Pemeriksaan Fisik  Timbulnya gejala otonom saat diprovokasi

Anamnesa
4. Kriteria Diagnosis Pemeriksaan Fisik

5. Diagnosis BPPV (ICD 10: H81.1)

 Meniere Disease (ICD 10: H81.0)


6. Diagnosis Banding  Vestibular Neuronitis (ICD 10: H81.2)
 Disorders of vestibular function (ICD 10: H81)
 Other peripheral vertigo (ICD 10: H81.3)
 Unspecified disorder of vestibular function (ICD 10: H81.9)
 Jumlah sel darah lengkap
7. Pemeriksaan Penunjang  Prothrombin time (PT), activated partial thromboplastin
time (aPTT)
 CT-scan urgensi tanpa zat kontras
 Angiografi serebral
 MRI

 Canalith Repotitional Therapy/CRT


8. Terapi  Latihan Brandt-Daroff
 Medikamentosa: Betahistin 48mg/hari dibagi 2 atau 3 dosis
 Vestibular Retraining Therapy
Setelah tindakan reposisi, pasien disarankan agar tetap
9. Edukasi mempertahankan kepalanya pada posisi tegak selama 24 jam,
tidur dengan 2 bantal, sehinga kanalit tidak akan mengikuti
gravitasi kembali ke krus dan masuk kembali ke kanalis
semisirkularis posterior. Jika nigtasmus tipikal masih ada maka
maneuver ini diulang tiap minggu.

3
Ad vitam : bonam
10. Prognosis Ad sanationam : dubia
Ad fumgsionam : dubia ad bonam

11. Penelaah Kritis dr. Mohammad Rizki Tri Ronoadi, SpTHT-KL

12. Indikator Medis Kondisi pasien membaik

 Nocacio C, Myrelly K, Ribeiro OBDF, Vanessa R, Freitas


13. Kepustakaan DM, Maria L, et al. Vertiginous Symptoms and Objective
Measures of Postural Balance in Elderly People with
Benign Paroxysmal Positional Vertigo Submitted to the
Epley Maneuver. Int Arch Otorhinolaryngol. 2016;20:61-68
 Helminski JP. Effectiveness of the Canalith Repositioning
Procedure in the Treatment of Benign Paroxysmal
Positional Vertigo. Physical Therapy Journal.
2014;94(10):1373-82

4
Panduan Praktik Klinis
SMF : THT-KL
RUMAH SAKIT KARTIKA PULOMAS
TAHUN 2021

SUMBATAN JALAN NAPAS ATAS

1. Pengertian (Definisi) Kondisi terbuntunya jalan nafas atas baik sebagian/parsial


maupun keseluruhan yang menyebabkan terjadinya gangguan
ventilasi. Etiologi sumbatan ini adalah tertutupnya jalan nafas
atas yang dapat disebabkan oleh tumor, benda asing atau infeksi
terutama di daerah orofaring dan laring.
1. Gejala Utama:
2. Anamnesis  Sesak nafas
 Bunyi saat bernafas seperti mengorok
2. Gejala Tambahan:
 Gelisah
 Batuk
 Serak
 Sulit komunikasi
 Sulit menelan
 Gangguan kesadaran
3. Gejala, faktor resiko, jika ada:
 Edema laring
 Alkohol
 Rokok
 Infeksi gigi

 Frekuensi nafas meningkat


 Stridor
 Retraksi supraklavikula, epigastrial dan intercostal
3. Pemeriksaan Fisik
 Nafas cuping hidung
 Laringoskopi: celah glottis sempit/tertutup
 Stadium obstruks ditentukan berdasarkan kriteria Jackson
Anamnesa
4. Kriteria Diagnosis Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan Penunjang
Acute Respiratory Failure (ICD 10: J96.0)
5. Diagnosis
Gangguan saluran nafas bawah/paru
6. Diagnosis Banding

7. Pemeriksaan Penunjang  Rontgen leher AP dan Lateral


 Tomografi komputer kepala dan leher
 Laboratorium (Analisa Gas Darah)

8. Terapi 1. Non Pembedahan-Medikamentosa:


 Oksigenasi
 Antibiotik, jika penyebab utama infeksi
 Kortikosteroid

5
2. Pembedahan
 Intubasi Endotrakea
 Krikotiroidotomi
 Transient Tracheostomy

9. Edukasi  1. Penjelasan tentang rencana pengobatan dan operasi
 2. Penjelasan penyakit utama dan tatalaksana selanjutnya

Ad vitam : dubia
10. Prognosis Ad sanationam : dubia
Ad fungsionam : dubia

11. Penelaah Kritis


dr. Mohammad Rizki Tri Ronoadi, SpTHT-KL

12. Indikator Medis Kondisi pasien membaik

 Myers EN. Tracheostomy. In: EN Myers, ed. Operative


13. Kepustakaan Otolaryngology Head and Neck Surgery Vol. 1. WB
Saunders. Philadelphia. 2014, pp.293-305
 Goldsmith AJ, Wynn R. Upper Airway Obstruction. In:
Lucente FE, Har-Williams & Wilkins. Philadelphia, 2004;
257-61

Panduan Praktik Klinis


SMF : THT-KL
RUMAH SAKIT KARTIKA PULOMAS
TAHUN 2021

6
RHINITIS ALERGI
Penyakit Simtomatis pada hidung yang terinduksi oleh proses
1. Pengertian (Definisi) inflamasi yang diperantara IgE pada mukosa hidung setelah
pajanan allergen. Karakteristik gejala rhinitis alergi adalah
bersin berulang, hidung tersumbat, hidung berair dan hidung
gatal.
 Gejala hidung: berair, tersumbat dan gatal
2. Anamnesis  Gejala mata: mata merah, gatal dan berair
 Gejala lain: batuk, tenggorokan gatal, gangguan konsentrasi,
gangguan tidur. Penderita dengan asma dapat ditemukan
keluhan sesak nafas dan mengi

 Tanda khas: Allergic Shiner, Allergic Salute, Allergic Crease


 Gambaran khas rongga hidung: mukosa hidung edema,
3. Pemeriksaan Fisik
berwarna pucat atau livid, disertai secret encer banyak dan
ditemukan juga konka inferior yang hipertrofi
Anamnesa
4. Kriteria Diagnosis Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan Penunjang
 Allergic rhinitis due to pollen (ICD 10: J30.1)
5. Diagnosis  Other seasonal allergic rhinitis (ICD 10: J30.2)
 Allergic rhinitis due to food (ICD 10: J30.5)
 Allergic rhinitis due to animal hair and dander (ICD 10:
J30.81)
 Other allergic rhinitis (ICD 10: J30. 89)
 Allergic rhinitis, unspecified (ICD 10: J30.9)
 Rhinitis Vasomotor/Idiopatik
6. Diagnosis Banding  Rhinitis Hormonal
 Chronic rhinitis
 Pemeriksaan laboratorium: kadar IgE spesifik dengan
7. Pemeriksaan Penunjang ELISA atau RAST, pemeriksaan jumlah eosinophil sebagai
pelengkap
 Pemeriksaan nasoendoskopi
 Tes kulit alergi
 Farmakoterapi
8. Terapi  Penghindaran allergen dan kontrol lingkungan
 Imunoterapi
 Edukasi

9. Edukasi Menjelaskan diagnosis, pencegahan dan rencana terapi

Ad vitam : dubia ad bonam


10. Prognosis Ad sanationam : dubia ad bonam
Ad fumgsionam : dubia ad bonam

11. Penelaah Kritis dr. Mohammad Rizki Tri Ronoadi, SpTHT-KL

12. Indikator Medis Kondisi pasien membaik

 Irawati N, Kasakeyan E, Rusmono N. RinitisAlergi. Dalam:


13. Kepustakaan Soepardi EA, Iskandar N, Bashiruddin J, Restuti RD, editor.
Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok

7
Kepala dan Leher. Edisi 7. Jakarta: Balai Penerbit
FKUI;2012
 Krouse JH, Chadwick SJ, Gordon BR, Derebery MJ,
editors. Allergy and Immunology an Otolaryngic Approach.
Lippincott Williams & Wilkins: Philadelphia; 2002

Panduan Praktik Klinis


SMF : THT-KL
RUMAH SAKIT KARTIKA PULOMAS
TAHUN 2021

SERUMEN IMPAKSI
Derumen yang terkumpul di dalam liang telinga sehingga
1. Pengertian (Definisi) menimbulkan gejala yang dikeluhkan, dan menghalangi

8
pemeriksaan liang telinga, membrane telinga atau system
audiovestibular.
 Asimptomatik
2. Anamnesis  Sensasi telinga penuh
 Tinitus
 Nyeri/gatal pada telinga
 Penurunan pendengaran
 Vertigo
 Di dalam liang telinga terdapat banyak kumpulan serumen
berwarna coklat kehitaman
 Liang telinga biasanya normal atau bias disertai otitis
3. Pemeriksaan Fisik eksterna
 Penurunan pendengaran bisa berkisar 5-40 dB
 Faktor modifikasi yang perlu diperhatikan karena
mempengaruhi teknik penatalaksanaan
Anamnesa
4. Kriteria Diagnosis Pemeriksaan Fisik

5. Diagnosis Serumen/Impacted cerumen (ICD 10: H61.2)

6. Diagnosis Banding Keratosis obturans


 Mikroskop
7. Pemeriksaan Penunjang  Endoskopi telinga
 Audiometri

8. Terapi  Bahan pelunak serumen:


 Bahan air: Hidrogen peroksida 3%, Asam asetat 2%,
Natrium bikarbonat 10%, air dan Natrium klorida 0,9%
 Bahan bukan air bukan minyak: Gliserol, Karbogliserin
10%
 Bahan minyak: Minyak kelapa, Minyak zaitun, Minyak
almond
 Irigasi DAN/ATAU
 Suctioning DAN/ATAU
 Ekstraksi manual
 Menjelaskan diagnosis penyakit
9. Edukasi  Menjelaskan rencana tatalaksana
 Tidak boleh melakukan pembersihan telinga sendiri
dengan cotton bud
 Pada individu dengan serumen padat, disarankan control
teratur 2-4 kali setahun untuk pembersihan telinga

9
Ad vitam : bonam
10. Prognosis Ad sanationam : bonam
Ad fumgsionam : bonam

11. Penelaah Kritis dr. Mohammad Rizki Tri Ronoadi, SpTHT-KL

Kondisi pasien membaik


12. Indikator Medis
 Rolans PS, Smith TL, Schwartz SR, et al. Clinical Practice
13. Kepustakaan guideline: Cerumen Impaction. Otolaryngo Head and Neck
surg 2008;139:S1-S21
 Mc Carter DF, et.al. Cerumen Impaction. Am Fam
Physician 2007;75:1523-28

Panduan Praktik Klinis


SMF : THT-KL
RUMAH SAKIT KARTIKA PULOMAS
TAHUN 2021

TRAUMA WAJAH DAN MAKSILOFASIAL


Trauma wajah yang mengakibatkan fraktur yang berhubungan
1. Pengertian (Definisi) dengan sistem pilar vertikal dan horizontal pada sepertiga
tengah wajah.
 Edema infra orbital
2. Anamnesis  Hipestesi cabang N.V2
 Maloklusi (Le Fort I – II)
 Epistaksis (Le Fort II – III)

10
 Kebocoran cairan otak (Le Fort III)
 Mekanisme trauma : tentang kekuatan, lokasi dan arah
benturan yang terjadi
 Cedera di bagian tubuh yang lain
 Riwayat perubahan status mental dan penuruna kesadaran
 Adanya disfungsi yang berhubungan dengan jalan nafas,
penglihatan, syaraf otak ataupun pendengaran
 Inspeksi:
Evaluasi kelainan lokal berupa : luka, disproporsi, asimetri
wajah, adakah gangguan fungsi mata, gangguan oklusi,
trismus, paresis fasialis dan edema jaringan lunak serta
3. Pemeriksaan Fisik ekimosis.
 Palpasi:
Di daerah supraorbital, lateral orbital rim, zygoma, infra
orbital, hidung, mandibula, sendi temporomandibular,
palpasi bimanual (ekstra – intra oral)
Anamnesa
4. Kriteria Diagnosis Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan Penunjang
TRAUMA WAJAH DAN MAKSILOFASIAL:
5. Diagnosis  Fracture of skull and facial bones (ICD 10: S 02)
 Fracture of malar and maxillary bones (ICD 10:S 02.4)
 Fracture of other skull and facial bones (ICD 10:S 02.8)
 Fracture of skull and facial bones, part unspecified (ICD
10:S 02.9)

6. Diagnosis Banding Fraktur Multipel Wajah


Pemeriksaan radiologi:
7. Pemeriksaan Penunjang  Foto polos sinus paranasal : posisi Waters
 Foto kepala lateral maupun servikal lateral
 Tomografi komputer sinus paranasal dan wajah 3 dimensi
 Rontgen toraks

8. Terapi 1. Perbaikan keadaan umum


 Medikamentosa kausal
 Transfusi darah (bila perlu)
2. Operatif
Reduksi atau repair fraktur maksila dengan metode
Open Reduction Internal Fixation (ORIF): open
reduction of malar and zygomatic fracture (ICD 9CM:
76.72), open reduction of maxillary fracture (ICD 9CM:
76.73), open reduction of mandibular fracture (ICD
9CM: 76.76), other open reduction of facial fracture
(ICD 9CM: 76.79). Dapat berupa :
 Le Fort I : Fiksasi interdental dan intermaksilar
selama 4 – 6 minggu
 Le Fort II: Seperti Le Fort I disertai fiksasi dari
sutura zigomatikum atau rim orbita
 Le Fort III: Reduksi terbuka dengan fiksasi
interdental dan intermaksilar, suspensi dari
sutura zigomatikum dan pemasangan kawat dari
rim orbita.
 Penjelasan tentang rencana pengobatan dan operasi

11
9. Edukasi  Penjelasan penyakit utama dan tatalaksana selanjutnya

Ad vitam : dubia ad bonam


10. Prognosis Ad sanationam : dubia ad bonam
Ad fumgsionam : dubia ad bonam

11. Penelaah Kritis dr. Mohammad Rizki Tri Ronoadi, SpTHT-KL

Kondisi pasien membaik


12. Indikator Medis
 Stack Jr BC. Ruggiero FP. Midface Fracture. In: Johnson
13. Kepustakaan JT, Rosen CA eds. Bailey’s Head and Neck Surgery-
Otolaryngology Vol 1. Lippincot Williams and Wilkins.
Philadelphia. 2014:1209-24.
 Doerr TD, Mathog RH. Le Fort Fractures (Maxillary
fractures). In: Papel ID, Frodel JL eds. Facial Plastic and
Reconstructive Surgery. Thieme. New York. 2008: 991-
1000.
 Loyo M, Boahene KDO. Maxillary and Mandibular. In :
Sclafani AP. Sataloff’s Comprehensive Textbook Of
Otolaryngology Head and Neck Surgery Vol. 3. Jaypee.
New Delhi. 2016: 947- 961.
 Banks P, Brown A. Fractures of the facial skeleton. Wright;
2001

Panduan Praktik Klinis


SMF : THT-KL
RUMAH SAKIT KARTIKA PULOMAS
TAHUN 2021
TULI KONGENITAL/GANGGUAN PENDENGARAN PADA BAYI &
ANAK
Tuli kongenital merupakan gangguan fungsi pendengaran sejak
1. Pengertian (Definisi) lahir. Jenis ketulian biasanya berupa tuli sensorineural berat
bilateral. Dapat juga berupa tuli konduktif bila disertai kelainan
struktur anatomi telinga. Penyebab ketulian kongenital bisa
terjadi pada masa prenatal, perinatal atau postnatal.
 Belum dapat berbicara atau bicara tidak lancar
2. Anamnesis  Tidak dapat mendengar atau pendengaran yang kurang
 Curiga gangguan pendengaran
 Riwayat prenatal seperti infeksi dalam kehamilan (TORCH),
mendapatkan pengobatan ototoksik

12
 Riwayat perinatal seperti cara lahir tidak normal, saat lahir
tidak menangis, berat badannya yang tidak normal, umur
kelahiran yang tidak cukup bulan
 Riwayat post natal seperti adanya riwayat kejang,
hiperbilirubinemia, infeksi TORCHs, campak, parotitis,
meningitis dan kelainan bawaan (genetik)
 Pemeriksaan lingkar kepala: mikrosefali atau hidrosefalus
 Kelainan anatomi maksilofasial
3. Pemeriksaan Fisik
 Pemeriksaan telinga, daun telinga, liang telinga dan
membran timpani yang abnormal
 Anamnesis
4. Kriteria Diagnosis  Pemeriksaan Fisik
 Pemeriksaan Penunjang
 Speech and language development delay to hearing loss
5. Diagnosis (ICD 10: F80.4)
 Conductive hearing loss, bilateral (ICD 10: H90.0)
 Conductive hearing loss, unilateral with unrestricted
hearing on the contralateral side (ICD 10: H90.1)
 Conductive hearing loss, unilateral, right ear, with
unrestricted hearing on the contralateral side (ICD10:
H90.11)
 Conductive hearing loss, unilateral, left ear, with
unrestricted hearing on the contralateral side (ICD10:
H90.12)
 Conductive hearing loss, unspecified (ICD10: H90.2)
 Sensorineural hearing loss, bilateral (ICD10: H90.3)
 Sensorineural hearing loss, unilateral with unrestricted
hearing on the contralateral side (ICD10: H90.4)
 Sensorineural hearing loss, unilateral, right ear, with
unrestricted hearing on the contralateral side (ICD10:
H90.4)
 Sensorineural hearing loss, unilateral, left ear, with
unrestricted hearing on the contralateral side (ICD10:
H90.42)
 Neuropati Auditori
6. Diagnosis Banding  ADHD
 Autism
 CAPD
 Afasia
 Retardasi mental
 Disleksia
 Gangguan komunikasi (keterlambatan perkembangan
lainnya)
Pemeriksaan fungsi koklea dan pendengaran:
7. Pemeriksaan Penunjang  Timpanometri (high frequency < 6 bulan)
 Oto Acoustic Emission (OAE)
 Brainstem Evoked Response Audiometry (BERA) click
dan tone burst
 BERA hantaran tulang
 Auditory Steady-State Response (ASSR)
 Pemeriksaan Behavioral audiometry
8. Terapi 1. Tentukan usia sesuai maturasi yang tepat (prematur/
cukup bulan/usia koreksi)
2. Penilaian perkembangan mendengar dan wicara serta
perkembangan motorik
3. Evaluasi faktor risiko ketulian, termasuk kemungkinan

13
adanya sindroma yang berhubungan dengan ketulian
4. Konsul dokter spesialis anak (tumbuh kembang),
neurologi anak
5. Bila diperlukan konsul dokter spesialis mata, jantung,
dan psikolog/psikiatri anak
6. Pemeriksaan genetik jika diperlukan
7. Habilitasi :
 Alat Bantu Dengar (ABD) (ICD 9CM: 95.48)
 Implan koklea (ICD 9CM: 20.98)
8. Terapi wicara (ICD 9CM : 93.74)
9. Terapi mendengar (ICD 9CM : 93.74)
 Taman latihan & observasi/ PAUD (Pendidikan Anak
9. Edukasi Usia Dini)
 Edukasi orang tua
Ad vitam : dubia ad bonam
10. Prognosis Ad sanationam : dubia ad bonam
Ad fumgsionam : dubia ad bonam

11. Penelaah Kritis dr. Mohammad Rizki Tri Ronoadi, SpTHT-KL

Kondisi pasien membaik


12. Indikator Medis
 Hodgson WR. Testing infants and young children. In:
13. Kepustakaan Handbook of Clinical Audiology. Katz JK. 5th edition.
William and Wilkins, Baltimore, 2002.
 Gelfand SA. Assessment of Infant and Children. In:
Essentials of Audiology. 2nd edition Thieme, New York,
Stutgart, 2001: p. 377-96
 Diefendorf AO. Detection and Assessment of Hearing Loss
in Infant and Children. In: Handbook of clinical audiology.
Katz JK. Ed 5th edition. William and Wilkins, Baltimore,
2002: p. 440-65.
 Rehm HL. Genetic hearing loss. In: Pediatric audiology. 1st
edition. Thieme, New York, 2008: p. 13-25.
 Alexiades G. Medical evaluation and management of
hearing loss in children. In: Pediatric audiology. 1st edition.
Thieme, New York, 2008: p. 25-31.
 Lee KJ. Congenital hearing loss. In: Essential
otolaryngology head and neck surgery. Ninth edition. The
McGraw-Hill Companies, Inc. New York, 2008: p. 135-62.
 Wetmore RF. Pediatric otolaryngology. In: the requisites in
pediatric. Mosby Elsevier, Philadelphia, 2007: p. 66.
 International Classification of Diseases 10th Revision (ICD
10). World Health Organization
 International Classification of Diseases 9th Revision
Clinical Modification (ICD 9CM). World Health
Organization

14

Anda mungkin juga menyukai