Anda di halaman 1dari 81

PANDUAN PRAKTIK KLINIK (PPK)

PROSEDUR TINDAKAN SMF


ANATESIOLOGI DAN TERAPI INTENSIP
RSUD OKU TIMUR

ANASTESI UMUM DENGAN INTUBASI ENDOTRAKHEAL


1. Pengertian ( Definisi ) Tindakan anestesi dengan mengunakan anestesi
inhalasi yang dihantarkan pada pasien dengan
mengunakan pipa endotrakheal tube yang
dimasukan ke dalam trakhea
2. Indikasi 1. Pembedahan daerah kepala dan leher.
2. Pembedahan yang membutuhkan relaksasi.
3. Pembedahan dengan kontra indikasi anatesi
regional.
3. Kontraindikasi Tidak Ada ( - )
4. Persiapan 1. Pasien :
- Penjelasan rencana dan resiko komplikasi
tindakan anastesi umum dengan intubasi
endotrakheal.
- Ijin persetujuan tindakan anastesi umum
dengan intubasi endoktrakheal.
- Puasa.
- Medikasi sesuai resiko anastesi.
- Premedikasi pra anastesi.
- Kelengkapan pemeriksaan penunjang.

2. Alat :
- Sulfas Atropin 0,25 mg ( 2 ampul )
- Lidokain 2 % ( 3 ampul )
- Efedrin 50 mg ( 1 ampul )
- Midazolam 5 mg ( 1 ampul )
- Fentanyl 100 ug
- Propofol 200 mg ( 1 ampul )
- Ketamin 100mg
- Atracurium 50 mg ( 1 ampul ).
- Laringoskop set
- Sungkup Muka
- Set Suction 1 buah
- Pipa endotrakheal 1 buah
- Selotip 1 buah
- Oksigen
- Mesin anastesi
- Isofulran/Sevofluran/Halotan ( 1 botol )

3. Dokter :
- Visite perioperatif.
- Penentuan klasifikasi ASA PS.
- Check list kesiapan anestesi.
5. Prosedur Tindakan 1. Premedikasi menggunakan midazolam 2mg
2. Preoksigenasi dengan oksigen 4-6 lt/mnt.
3. fentanyl 1ug/kg
4. Induksi menggunakan propofol 2-2,5mg/kg.
5. Lumpuhkan pasien dengan pelumpuh otot
atracurium 0,5 mg/kg.
6. Laringoskopi dan insersi pipa endotrakneal.
7. Check ketepatan insersi pipa endotrakneal
kesamaan bunyi nafas kemudian fiksasi pipa
endotrakheal.
8. Maintanance anastesi menggunakan oksigen
4lt/mnt,anastesi inhalasi isofluran / sevofluran /
halotan sebanyak 1-2 vol%, analgetik berupa
fentanyl 1ug/ kg / jam dan pelumpuhan otot
Atracurium 0,1 mg/kg/30 menit.
9. Ekstubasi jika napas spontan adekuat.
6. Pasca Prosedur 1. Observasi tanda vital di kamar pemulihan.
Tindakan 2. Terapi oksigen 6 lt/mnt dengan mengunakan
masker NRM.
3. Atasi komplikasi yang terjadi.
7. Tingkat Evidensi IV
8. Tingkat Rekomendasi C
9. Penelaah Kritis Dr. Dhanu Pitra Ariyanto, Sp.An
10. Indikator Prosedur 90 % dari pasien yang menjalani pembedahan dapat
Tindakan di anastesi dengan anastesi umum intubasi
endotrakheal.
11. Kepustakaan 1. Stoelting RK, Hillier SC. Hormones as drugs.
In : Pharmacology and physiology in
anesthesic practice. 4th Edition. Philadelphia:
Lippincott William and Wilkins; 2006. P.461-
69.
2. Morgan GE, Mikhail MS, Murray MJ. Airway
Management. In : Clinical Anesthesiology.4th
Edition. New York : Lange Medical Books;
2006. P.412-49
PANDUAN PRAKTIK KLINIK (PPK)
PROSEDUR TINDAKAN SMF
ANATESIOLOGI DAN TERAPI INTENSIP
RSUD OKU TIMUR

ANASTESI UMUM DENGAN TOTAL INTRAVENA


1. Pengertian ( Definisi ) Tindakan anastesi dengan mengunakan obat
anastesi intravena total yang diberikan secara
intermitten lewat infus.
2. Indikasi 1. Prosedur pembedahan yang singkat.
2. Prosedur pembedahan yang tidak
membutuhkan relaksasi.
3. Pembedahan dengan kontra indikasi anastesi
regional.
3. Kontraindikasi 1. Pembedahan didaerah kepala dan leher.
2. Pembedahan yang membutuhkan relaksasi
3. Prosedur pembedahan panjang.
4. Persiapan 1. Pasien :
- Penjelasan rencana dan resiko komplikasi
tindakan anastesi umum dengan total
intravena.
- Ijin persetujuan tindakan anastesi umum
dengan total intravena.
- Puasa
- Medikasi sesuai resiko anastesi.
- Premedikasi pra anastesi.
- Kelengkapan pemeriksaan penunjang.

2. Alat :
- Sulfas Atropin 0,25 mg ( 2 ampul )
- Lidokain 2 % ( 3 ampul )
- Efedrin 50 mg ( 1 ampul )
- Midazolam 5 mg ( 1 ampul )
- Fentanyl 100 ug (1 ampul)
- Propofol 200 mg ( 1 ampul )
- Kanula Oksigen
- Laringoskop 1 buah
- Set Suction 1 buah
- Oksigen
- Mesin anastesi

3. Dokter :
- Visite perioperatif.
- Penentuan klasifikasi ASA pasien.
- Check list kesiapan anastesi.
5. Prosedur Tindakan 1. Premedikasi menggunakan midazolam 2mg,
fentanyl 1ug/kg dan lidokain 1 % 1 mg/kg.
2. Induksi menggunakan propofol 2-2,5 mg/kg.
3. Maintanance anastesi menggunakan oksigen
via nasal kanul 2 lt/mnt, obat indukasi propofol
1 mg/kg/ 15 mnt diberikan secara
intermitten,analgetik berupa fentanyl 1 ug/kg

6. Pasca Prosedur 1. Observasi tanda vital dikamar pemulihan


Tindakan 2. Terapi Oksigen 2 lt/mnt dengan mengunakan
nasal kanula.
3. Atasi komplikasi yang terjadi.
7. Tingkat Evidensi IV
8. Tingkat Rekomendasi C
9. Penelaah Kritis dr. Dhanu Pitra ariyanto, Sp.An
10. Indikator Prosedur 90 % dari pasien yang menjalani pembedahan dapat
Tindakan di anastesi dengan anastesi umum total intervena.
11. Kepustakaan 1. Stoelting RK, Hillier SC. Hormones as drugs.
In : Pharmacology and physiology in
anesthesic practice. 4th Edition. Philadelphia:
Lippincott William and Wilkins; 2006. P.461-
69.
2. Morgan GE, Mikhail MS, Murray MJ. Airway
Management. In : Clinical Anesthesiology.4th
Edition. New York : Lange Medical Books;
2006. P.412-49
PANDUAN PRAKTIK KLINIK (PPK)
PROSEDUR TINDAKAN SMF
ANATESIOLOGI DAN TERAPI INTENSIP
RSUD OKU TIMUR

ANASTESI UMUM DENGAN INHALASI VIA FACE MASK


1. Pengertian ( Definisi ) Tindakan anastesi dengan menggunakan obat
anastesi inhalasi yang dihantarkan pada pasien via
face mask.
2. Indikasi 1. Proses pembedahan yang singkat.
2. Pemebdahan dengan kontra indikasi anastesi
regional.
3. Kontraindikasi 1. Pembedahan di daerah kepala dan leher.
2. Prosedur pembedahan yang panjang
3. Pembedahan pada pasien dengan lambung
penuh.
4. Persiapan 1. Pasien :
- Penjelasan rencana dan resiko komplikasi
tindakan anastesi umum dengan inhalasi
via face mask.
- Ijin persetujuan tindakan anastesi umum
dengan inhalasi via face mask.
- Puasa
- Medikasi sesuai resiko anastesi.
- Premedikasi pra anastesi.
- Kelengkapan pemeriksaan penunjang.

2. Alat :
- Sulfas Atropin 0,25 mg ( 2 ampul )
- Lidokain 2 % ( 3 ampul )
- Efedrin 50 mg ( 1 ampul )
- Midazolam 5 mg ( 2 ampul )
- fentanyl 100 ug (1 ampul)
- Propofol 200 mg ( 1 ampul )
- Sangkup oksigen
- Laringoskop 1 buah
- Set Suction 1 buah
- Oksigen
- Mesin anastesi
- Isofulran/Sevofluran/Halotan ( 1 botol )

3. Dokter :
- Visite perioperatif.
- Penentuan klasifikasi ASA PS.
- Check list kesiapan anastesi.
5. Prosedur Tindakan 1. Premedikasi menggunakan midazolam 2mg,
fentanyl 1ug/kg
2. Indukasi menggunakan propofol 1,5 mg/kg.
3. Maintanance anastesi menggunakan anastesi
inhalasi isofluran/sevofluran/halotan 0,5 – 1,5
vol % via face mask,analgetik berupa fentanyl
1 ug/kg jika perlu.
6. Pasca Prosedur 1. Observasi tanda vital dikamar pemulihan
Tindakan 2. Terapi Oksigen dengan mengunakan masker
NRM.
3. Atasi komplikasi yang terjadi.
7. Tingkat Evidensi IV
8. Tingkat Rekomendasi C
9. Penelaah Kritis dr. Dhanu Pitra ariyanto, Sp.An
10. Indikator Prosedur 90 % dari pasien yang menjalani pembedahan dapat
Tindakan di anastesi dengan anastesi umum via face mask.
11. Kepustakaan 1. Stoelting RK, Hillier SC. Hormones as drugs.
In : Pharmacology and physiology in
anesthesic practice. 4th Edition. Philadelphia:
Lippincott William and Wilkins; 2006. P.461-
69.
2. Morgan GE, Mikhail MS, Murray MJ. Airway
Management. In : Clinical Anesthesiology.4th
Edition. New York : Lange Medical Books;
2006. P.412-49.
PANDUAN PRAKTIK KLINIK (PPK)
PROSEDUR TINDAKAN
ANATESIOLOGI DAN TERAPI INTENSIP
RSUD OKU TIMUR

ANASTESI REGIONAL DENGAN SUB ARACHNOID BLOCK


ICD9CM : 03.91
1. Pengertian ( Definisi ) Tindakan anastesi dengan menggunakan obat
anastesi lokal yang disuntikkan ke ruang sub
arachnoid.
2. Indikasi 1. Pembedahan daerah lower abdomen.
2. Pembedahan daerah ekstremitas bawah.
3. Pembedahan daerah urogenitalia.
3. Kontraindikasi 1. Gangguan faal koagulasi.
2. Kelainan tulang belakang.
3. Pasien menolak.
4. Syok.
4. Persiapan 1. Pasien :
- Penjelasan rencana tindakan dan resiko
komplikasi tindakan spinal anastesi.
- Ijin persetujuan tindakan spinal
anastesi.an.
- Puasa.
- Medikasi sesuai resiko anastesi.
- Premedikasi pra anastesi.
- Kelengkapan pemeriksaan penunnjang.

2. Alat :
- Kelengkapan jarum spinal 25/26/27 G (1
buah)
- Lidokain 2% ( 1 ampul )
- Bupivacain 0,5 % ( 1 ampul )
- Spuit 5 cc ( 1 buah )
- Spuit 3 cc ( 1 buah )
- Kassa Streil ( 5 Lembar )
- Doeck Steril ( 1 buah )
- Betadine ( 10 cc )
- Efedrine ( 1 ampul )
- Midazolam ( 1 ampul )
- Sulfast atropin 0,25 mg ( 2 ampul )
- Oksigen
- Kanula oksigen
- Mesin anastesi.
3. Dokter :
- Visite perioperatif.
- Penentuan klasifikasi ASA PS.
- Check list kesiapan anastesi.
- Pengelolaan nyeri pasca bedah.
5. Prosedur Tindakan 1. Pasang monitor standar berupa. Tekanan
darah, EKG, Saturasi oksigen.
2. Loading menggunakan cairan kristaloid
sebanyak 500cc
3. Posisikan pasien duduk atau tidur miring.
4. Indentifikasi tempat insersi jarum spinal dan
diberikan penanda.
5. Desinfeksi daerah insersi jarum spinal, injeksi
anastesi lokal lidokain 2 % 40 mg.
6. Insersi jarum spinal ditempat yang lelah
ditandai.
7. Pastikan LCS keluar.
8. Barbotage cairan LCS yang keluar.
9. Injeksikan bupivacain 0,5% 5-20 mg
dikombinasikan dengan fentanyl 25ug/pethidin
25 mg intratekal.
10. Check level ketinggian block.
11. Maintanance dengan oksigen 2 lt/ mnt, sedasi
dengan midazolam 2 mg. Jika terjadi
hipotensi, lakukan prosedur terapi hipotensi.
6. Pasca Prosedur 1. Observasi tanda vital dikamar pemulihan.
Tindakan 2. Observasi tanda – tanda peningkatan tekanan
intrakranial.
3. Oksigenasi mengunakan oksigen via simple
mask.
4. Atasi komplikasi yang terjadi.
7. Tingkat Evidensi IV
8. Tingkat Rekomendasi C
9. Penelaah Kritis dr. Dhanu Pitra Ariyanto, Sp.An
10. Indikator Prosedur 90 % spinal anastesi berhasil tampa komplikasi.
Tindakan
11. Kepustakaan 1. Stoelting RK, Hillier SC. Hormones as drugs.
In : Pharmacology and physiology in
anesthesic practice. 4th Edition. Philadelphia:
Lippincott William and Wilkins; 2006. P.461-
69.
2. Morgan GE, Mikhail MS, Murray MJ. Airway
Management. In : Clinical Anesthesiology.4th
Edition. New York : Lange Medical Books;
2006. P.412-49.
PANDUAN PRAKTIK KLINIK (PPK)
PROSEDUR TINDAKAN
ANATESIOLOGI DAN TERAPI INTENSIP
RSUD OKU TIMUR

WEANING (PENYAPIHAN) DARI VENTILATOR


ICD9CM:93.90
1. Pengertian ( Definisi ) Tindakan pelepasan bantuan ventilasi mekanik.
2. Indikasi 1. Penyebab dasar gagal nafas telah teratasi.
2. Perbaikan fungsi respirasidan hemodinamik.
3. Kontraindikasi Tidak ada
4. Persiapan 1. Pasien :
- Pastikan sedasi telah dihentikan dan tidak
ada lagi efek pelumpuh otot.
- Pastikan adanya perbaikan fungsi napas.
- Pasien mampu bernafas spontan dan
adekuat.
- Kesadaran pasien GCS > 13.
- Pasien telah lepas atau mengunakan dosis
rendah vasopressor (Dopamin<5 mcg/kg,
Dobutamin < 5 mcg/kg atau norepinefrin <
0,1 mcg/kg.

2. Alat :
- Siapkan suction set ( 1 buah )
- Persiapan prosedur intubasi jika gagal
disapih.
- Laringoskop ( 1 buah ) uk standart No.3
- Pipa endotrakheal ( 1 buah ) No. ID 7,0
- Sulfast atropin 0,25 mg ( 4 ampul )
- Lidokain 20 mg ( 3 ampul )
- Dexamethason 10 mg ( 2 ampul )
- Handschoen streil 2 pasang
- Masker oksigen NRM dewasa ( 1 buah )
- Oksigen

3. Dokter :
- Memberikan informasi kepada keluarga
mengenai rencana penyapihan ventilator
dan resiko yang dapat terjadi.
5. Prosedur Tindakan 1. Persiapkan semua perlengkapan dilakukannya
intubasi ulang.
2. Pastikan pasien bernafas spontan adekuat
dan refleks batuk telah ada.
3. Percobaan nafas spontan selama 30 – 120
menit
4. Amati kondisi pasien, jika :
- Respiratory Rate > 35
- SaO2 < 90 %
- Nadi > 140 atau ↑ ≥ 20%
- TD Sistolik > 180 mmHg atau < 90 mmHg
- Agitasi, berkeringat, gelisah.
- RR/TV > 105 menandakan pasien blm
dapat di weaning dari ventilasi mekanik.
5. Jika tidak ada dan pasien dapat batuk secara
efektif, dapat dilakukan ekstubasi.
6. Lakukan suctioning jalan nafas, pastikan
bebas dari sekret dan lendir sebelum
dilakukan ekstubasi.
6. Pasca Prosedur 1. Observasi ketat hemodinamik.
Tindakan 2. Terapi oksigen dengan O2 lewat masker
NRM. Dan nebulisasi dengan bronkodilator
3. Tetap siap jika dibutuhkan tindakan intubasi
ulang.
7. Tingkat Evidensi IV
8. Tingkat Rekomendasi C
9. Penelaah Kritis dr. Fresca Yudiman Utama, Sp.An
10. Indikator Prosedur 80 % dari pasien dengan gagal napas yang sepih
Tindakan dari ventilator berhasil tanpa komplikasi.
11. Kepustakaan 1. Morgan GE, Mikhail MS, Murray MJ. Critical
Care . In : Clinical Anesthesiology.4th Edition.
New York : Lange Medical Books; 2006.
P.1452-96
2. Kacmareck RM, Hess DR, Mechanical
Ventilation For The Surgical Patient. In:
Longnecker DE, Brown DDL, Newman MF,
Zapol WM, Editors, Anasthesiology. New York:
Mc Graw Hill; 2008 p.2072-91.
.

PANDUAN PRAKTIK KLINIK (PPK)


PROSEDUR TINDAKAN
ANATESIOLOGI DAN TERAPI INTENSIP
RSUD OKU TIMUR

ANASTESI REGIONAL DENGAN EPIDURAL


1. Pengertian ( Definisi ) Tindakan anastesi dengan menginjeksikan obat lokal
anastesi keruang epidural melalui kateter epidural
yang diberikan secara intermitten.
2. Indikasi 1. Pembedahan daerah abdomen.
2. Pembedahan di daerah thoraks.
3. Pembedahan di daerah ekstremitas bawah.
4. Pembedahan di daerah urogenital.
3. Kontraindikasi 1. Gangguan faal koagulasi.
2. Kelainan tulang belakang.
3. Terdapat inefeksi ditempat insersi kateter
epidural.
4. Pasien menolak.
5. Syok
4. Persiapan 1. Pasien :
- Mendapatkan penjelasan mengenai
tindakan yang akan dilakukan dan resiko
yang dapat terjadi.
- Puasa.
- Penjelasan rencana dan resiko komplikasi
tindakan spinal anastesi.
- Ijin persetujuan tindakan spinal anastesi
- Medikasi sesuai resiko anastesi.
- Premedikasi pra anastesi.
- Kelengkapan pemeriksaan penunjang.
2. Alat :
- Epidural set ( 1 buah )
- Hipafixx sebagai fiksassi kateter peidural.
- Lidokain 2% ( 10 ampul ).
- Epinefrin 1 : 1000 ( 1 ampul ).
- Bupivacain 0,5 % 20 cc isobarik ( 1 vial ).
- Spuit 1 cc ( 1 bauh )
- Spuit 5 cc ( 1 buah )
- Spuit 3 cc ( 1 buah )
- Spuit 10 cc ( 1 buah )
- Kassa steril ( 10 lembar )
- Doek steril ( 1 buah )
- Betadine ( 10 cc )
- Efedrin ( 1 ampul )
- Midazolam ( 1 ampul )
- Sulfas atropin 0,25 mg ( 2 ampul )
- Oksigen
- Kanula oksigen
3. Dokter :
- Visite perloperatif.
- Perencanaan kesiapan anastesi dan pasca
bedah.
5. Prosedur Tindakan 1. Dilakukan prosedur premedikasi.
2. Loading menggunakan cairan kristaloid
sebanyak 500 cc.
3. Posisikan pasien duduk atau tidur miring.
4. Indentifikasi tempat insersi jarum tuohy
epidural dan berikan penanda
5. Desinfeksi daerah insersi jarum tuohy dan
dilakukan penyuntikan anastesi lokal lidokain 2
% di tempat insersi.
6. Insersi jarum epidural ditempat yang telah
ditandai dengan teknik ‘Loss Of Resistance’
atau ‘Hanging Drop’.
7. Tarik penuntun pada jarum tuohy dan pastikan
LCS tidak keluar.
8. Insersikan kateter epidural menuju ruang
epidural melalui jarum tuohy.
9. Diberikan anastesi lokal berupa lidokain 2% 60
mg+epinefrin 1:200.000 sebagai dosis test
untuk mengetahui kemungkinan masuknya
obat anastesi lokal ke intravena maupun ruang
sub arachnoid.
10. Fiksasi kateter epidural.
11. Maintanance anastesi menggunakan obat
anastesi lokal yang disuntikkan ke ruang
epidural sesuai dermatom tubuh yang akan di
blok dan dapat dikombinasikan dengan
prosedur anastesi spinal atau prosedur
anastesi umum dengan intubasi endotrakheal.
6. Pasca Prosedur 1. Observasi tanda vital dikamar pemulihan.
Tindakan 2. Prosedur terapi oksigen di kamar pemulihan.
3. Atasi komplikasi yang terjadi.
7. Tingkat Evidensi IV
8. Tingkat Rekomendasi C
9. Penelaah Kritis dr. Dhanu Pitra Ariyanto, Sp.An
10. Indikator Prosedur 90 % dari pasien yang akan menjalani pembedahan
Tindakan dapat di anastesi menggunakan anastesi epidural.
11. Kepustakaan 1. Stoelting RK, Hillier SC. Hormones as drugs.
In : Pharmacology and physiology in
anesthesic practice. 4th Edition. Philadelphia:
Lippincott William and Wilkins; 2006. P.461-
69.
2. Morgan GE, Mikhail MS, Murray MJ. Spinal,
Epidural and Caudal blocks. In : Clinical
Anesthesiology.4th Edition. New York : Lange
Medical Books; 2006. P.472-99

PANDUAN PRAKTIK KLINIK (PPK)


PROSEDUR TINDAKAN SMF
ANATESIOLOGI DAN TERAPI INTENSIP
RSUD OKU TIMUR

KOMBINASI ANASTESI UMUM DENGAN INTUBASI DAN REGIONAL


ANASTESI DENGAN EPIDURAL
1. Pengertian ( Definisi ) Kombinasi tindakan anastesi dengan mengunakan
anastesi inhalasi yang dihantarkan pada pasien
dengan mengunakan pipa endotrakheal tube yang
dimasukkan ke dalam trakhea dan anastesi dengan
menginjeksikan obat lokal anastesi ke ruang epidural
melalui kateter epidural yang diberikan secara
intermitten.
2. Indikasi 1. Pembedahan di daerah abdomen.
2. Pembedahan di daerah thoraks.
3. Pembedahan di daerah urogenital.
4. Pembedahanyang membutuhkan relaksasi.
5. Pembedahan yang membutuhkan post op pain
epidural analgesia.
3. Kontraindikasi 1. Gangguan faal koagulasi.
2. Kelainan tulang belakang.
3. Terdapat inefeksi ditempat insersi kateter
epidural.
4. Pasien menolak.
5. Syok
4. Persiapan 1. Pasien :
- Mendapatkan penjelasan mengenai
tindakan yang akan dilakukan dan resiko
yang dapat terjadi.
- Puasa.
- Penjelasan rencana dan resiko komplikasi
tindakan kombinasi baik General anastesi
dan Epidural anastesi.
- Ijin persetujuan tindakan CEGA anastesi
- Medikasi sesuai resiko anastesi.
- Premedikasi pra anastesi.
- Kelengkapan pemeriksaan penunjang.

2. Alat :
- Sulfas Atropin 0,25 mg ( 2 ampul )
- Lidokain 2% ( 10 ampul ).
- Epinefrin 1 : 1000 ( 1 ampul ).
- Midazolam 5 mg ( 2 ampul )
- Fentanyl 100 ug atau Pethidin 100 mg
( 2 ampul )
- Propofol 200 mg ( 1 ampul )
- Laringoskop 1 buah
- Sungkup muka
- Set Suction 1 buah
- Pipa endotrakheal 1 buah
- Selotip 1 buah
- Mesin anastesi
- Isofluran/Sevofluran/Halotan ( 1 botol )
- Epidural set ( 1 buah )
- Hepafix sebagai fiksassi kateter peidural
- Lidokain 2 % ( 10 ampul )
- Epinefrin 1 : 1000 ( 1 ampul )
- Bupivacain 0,5 %/levobupivacain 20cc
isobarik
- Spuit 1 cc ( 1 bauh )
- Spuit 5 cc ( 1 buah )
- Spuit 3 cc ( 1 buah )
- Spuit 10 cc ( 1 buah )
- Kassa steril ( 10 lembar )
- Doek steril ( 1 buah )
- Betadine ( 10 cc )
- Oksigen

3. Dokter :
- Visite perloperatif.
- Perencanaan kesiapan anastesi dan pasca
bedah.
5. Prosedur Tindakan 1. Pasang monitor standar berupa.tekanan
darah. EKG, Saturasi oksigen.
2. Dilakukan prosedur premedikasi.
3. Loading mengunakan cairan kristaloid
sebanyak 500 cc.
4. Posisikan pasien duduk atau tidur miring.
5. Indentifikasi tempat insersi jarum touchy
epidural dan berikan penanda.
6. Desinfeksi daerah insersi jarum touchy dan
dilakukan penyutikkan anastesi lokal lidokain 2
% ditempat insersi.
7. Insersi jarum epidural ditempat yang telah
ditandai dengan teknik ‘ Los Of Resistance’
atau Hanging Drop;
8. Tarik penuntun pada jarum touchy dan
pastikan LCS tidak keluar.
9. Insersikan kateter epidural menuju ruang
epidural melalui jarum touchy.
10. Diberikan anastesi lokal berupa lidokain 2 %
60 mg+epinefrin 1:200.000 sebagai dosis test
untuk mengetahui kemungkinan masuknya
obat anastesi lokal ke intravena maupun ruang
sub arachnoid.
11. Fiksasi kateter epidural.
12. Premedikasi mengunakan midazolam 2 mg.
Fentanyl 1 ug/kg atau Pethidin 1 mg/kg dan
lidokain 1,5 mg/kg.
13. Indukasi mengunakan propofol 1,5 mg/kg.
14. Preoksigenasi dengan oksigen 4-6 lt/mnt.
15. Lumpuhkan pasien dengan pelumpuh otot
atracurium 0,5 mg/kg
16. Laringoskopi dan insersi pipa endotrakheal.
17. Check ketepatan insersi pipa endotrakheal,
kesamaan bunyi nafas kemudian fiksasi pipa
endotrakheal.
18. Maintanance anastesi mengunakan oksigen
4lt/mnt anastesi inhalasi
isofluran/sevofluran/halotan sebanyak 0,5-1,5
vol %,analgetik berupa fentanyl 1
ug/kg/jam.dan pelumpuh otot atracurium 0,1
mg/kg/30 menit.
19. Ekstubasi jika napas spontan adekuat.
6. Pasca Prosedur 1. Observasi tanda vital dikamar pemulihan.
Tindakan 2. Prosedur terapi oksigen di kamar pemulihan.
3. Atasi komplikasi yang terjadi.
7. Tingkat Evidensi IV
8. Tingkat Rekomendasi C
9. Penelaah Kritis dr. Dhanu Pitra Ariyanto, Sp.An
10. Indikator Prosedur 90 % dari pasien yang akan menjalani pembedahan
Tindakan dapat di anastesi menggunakan kombinasi anastesi
umum intubasi dan anastesi epidural.
11. Kepustakaan 1. Stoelting RK, Hillier SC. Hormones as drugs.
In : Pharmacology and physiology in
anesthesic practice. 4th Edition. Philadelphia:
Lippincott William and Wilkins; 2006. P.461-
69.
2. Morgan GE, Mikhail MS, Murray MJ. Spinal,
Epidural and Caudal blocks. In : Clinical
Anesthesiology.4th Edition. New York : Lange
Medical Books; 2006. P.412-19
.
PANDUAN PRAKTIK KLINIK (PPK)
PROSEDUR TINDAKAN SMF
ANATESIOLOGI DAN TERAPI INTENSIP
RSUD OKU TIMUR

DEFIBRILASI DAN KARDIOVERSI


ICD-9: 99.61
1. Pengertian ( Definisi ) Suatu upaya medis yang dilakukan dengan
pemberian kejut listrik bersifat asinkron ( defibrilasi )
atau sinkron
(kardioversi) dengan gelombang QRS kompleks
untuk mengembalikan denyut jantung yang sangat
cepat ke irama sinus.
2. Indikasi 1. Defibrilasi.
- Ventrikel Fibrilasi
- Pulseless Ventricular Tachycardia
- Polymorphic Ventricular Tachycardia

2. Kardioversi
SupraVentrikel takikardi dengan nadi ( + ),
tidak stabil ventrikel takikardi, atrial fibrilasi
dan atrial flutter stabil atau tidak stabil.
3. Kontraindikasi Kardioversi :
1. Atrial fibrilasi dengan slow ventricular rate.
2. Atrial fibrilasi kronik pada stenosi mitral atau
regurgitasi mitral dan tirotoksikosis
3. Hipokalemia\
4. Keracunan digitalis.
4. Persiapan Kardioversi :
1. Penjelasan kepada pasien dan keluarga.
2. Pasien sebaiknya puasa untuk menghindari
regurgitasi / aspirasi.\
3. Penggunaan obat gitalis dihentikan selama 1-
2 hari sebelum tindakan.
4. Kadar elektrolit serum dalam batas normal.
5. Persipan alat (defibrilasi dan kardioversi).
- Jelly atau self-adhesive defibrillation pads.
- Defibrilator / Kardioverter
- Kabel koneksi dan elektrode
- Obat-Obat sedasi
- Suplemen oksigen dengan peralatannya
- Mesin Suctoin dan perlengkapan intubasi
trakea
- Pulsa oksimeter
- Monitor EKG dan tekanan darah
- Kateter intervena, Infusion pump, cairan
infuse
- Trolley emergensi.
5. Prosedur Tindakan 1. Monitor dan evaluasi irama jantung pasien.
2. Pada pasien pasien dengan irama jantung
tidak stabil atau perfusisi stemik terganggu,
segera lakukan defibrilasi /kardioversi setelah
tindakan awal resusitasi jantung paru.
3. Lakukan pemasangan jalur intervena.
4. Berikan obat sedasi apabila diperlukan.
5. Berikan suplementasi oksigen.
6. Nyalakan defibrilator / kardioverter.
7. Oleskan jelly secara merata pada paddle, atau
rekatkan padding konduksi pada dinding dada
(pasien laki-laki dengan bulu dada yang lebat,
perlu dicukur supaya kontak lebig adekuat)
8. Paddle penempatan elektrode
- Anterolateral
 Satu paddle / elektrode diletakkan
sebelah kanan sternum bagian atas
dibawah klavikula.
 Satu paddle / elektrode lainnya disisi
kiri nipple sejajar garis mid aksila.
- Anteruposterior
 Satu paddle / elektrode diletakkan
sepanjang anterior dari prekordium
sebelah kiri dibawah klavikula.
 Satu paddle / elektrode lainnya di
posterior infraskapula kiri disebelah kiri
vertebrea thorakal.
- Hindari penenmpatan paddle di atas
implan pace maker permanen.
9. Tekanan Paddle
- Dewasa – kurang lebih 12 kg/paddle
- Anak – pastikan kontak paddle dengan
dinding dada adekuat.
10. Nyalakan tombol swith untuk synchronized
cardioversion atau asynchronized defibrillation
sesuai indikasi.
11. Atur besar energi listrik (sesuai rekomendasi
AHA)
- Defibrilasi dewasa
 Alat bifasik manual : setiap alat memiliki
anjuran pabrik mengenai besar energi
listrik, biasanya antara 120 J – 200 J.
Apabila tidak diketahui pergunakan
energi 200 J untuk dosis awal
defibrilasi.Dosis berikutnya sama atau
lebih tinggi dibandingkan dosis awal.
 Alat monofasik : 360 J untuk dosis
inisial dan dosis ulangan berikutnya.
- Kardioversi (synchronized) dewasa
 Ventrikel takikardi ( stabil ) : alat
monofasik, 100 J untuk inisial, dan
berikutnya dapat ditingkatkan : alat
bifasik, membutuhkan dosis terapi yang
lebih rendah.
 Ventrikel takikardi polimorfik : terapi
seperti ventrikel fibrilasi.
 Atrial fibrilasi : alat monofasik, 100 J :
alat bifasik, 100 J – 120 J atau sesuai
anjuran pabrik, Dosis energi listrik
ditingkatkan sesuai kebutuhan.
 Atrial flutter : 50 J, apabila irama
menetap, dosis ditingkatkan sesuai
kebutuhan.
 Takikardi supraven trikel paroksismal ;
50 J apabila irama menetap, dosis
ditingkatkan sesuai kebutuhan.
 Apabila kondisi pasien memburuk
segera pergunakan mode
unsynchronized
( mode defibrilator)
12. Dosis inisial kardioversi untuk takikardi
supraventrikel pada anak diberikan 0,5-1 J/kg
BB, apabila gagal dosis dinaikan bertahap 2
J/kg BB.
13. Dosis inisial kardioversi untuk takikardi
supraventrikel pada anak diberikan 0,5-1 J/kg
BB,apabila gagal dosis dinaikan bertahap 2
J/kgBB.
14. Perhatikan keamanan dari serkuit listrik
( semua personel tidak berkontak langsung
dengan pasien, tempat tidur dan peralatan di
sekeliling pasien saat tindakan defibrilasi /
kardioversi).
15. Charge kapasitor defibrilator / kardioverter.
16. Setelah irama jantung dievaluasi, tekan tombol
discharge sampai semua energi listrik
dilepaskan.
17. Apabila dilakukan tindakan defibrilasi, segera
dilanjutkan dengan tindakan kompresi dinding
dada, apabila tindakannya kardioversi,
evaluasi kondisi pasien (napas, nadi dan
irama jantung).
18. Apabila tindakan tidak berhasil, ulangi kembali
proses diatas sesuai protokol ACLS.
6. Pasca Prosedur 1. Monitoring EKG
Tindakan 2. Monitoring tanda vital setiap 15 menit sekali
sampai pasien bangun.
3. Suplementasi oksigen sampai pasien sadar
penuh dan SaO2 > 92 %.
4. Pemantauan komplikasi :
- Luka bakar
- Emboli arteri
- Edema paru
- Aritmia post kardioversi
- Post – shock syndrome
7. Tingkat Evidensi IV
8. Tingkat Rekomendasi A
9. Penelaah Kritis - Tim Perhimpunan Dokter Spesialis
Anestesiologi dan Terapi Intensif
Indonesia.
- Tim Perhimpunan Dokter Intensive Care
Indonesia
10. Indikator Prosedur 80 % pasien membaik irama jantung dengan
Tindakan komplikasi minimal.
11. Kepustakaan 1. Link MS, Atkins DL, Passman RS, Halperin
HR, Samson RA, White RD, et al. Part 6
:Electrical Therapies: Automated Eternal
Defibrillators, Defibrillation, Cardioversion, and
Pacing. 2010 American Heart Association
Guidelines for Cardiopulmonary Resuscitation
and Emergency Cardiovascular Care.
Circulation.2010;122
[suppI 3];S706 – S719.
2. Dries DJ, penyunting.
Defibrillation/Cardioversion. Dalam :
Fundamental Critical Care Support edisi ke-5.
Society of Critical Care Medicine. 2012.
Appendix 5-1 – 6 .
PANDUAN PRAKTIK KLINIK (PPK)
PROSEDUR TINDAKAN SMF
ANATESIOLOGI DAN TERAPI INTENSIP
RSUD OKU TIMUR

PROSEDUR TINDAKAN : INTUBASI TRAKEA


ICD-9 : 96.04
1. Pengertian ( Definisi ) Tindakan memasukan pipa endotracheal ke dalam
trakea yang dilakukan melalui mulut ( oral ).
2. Indikasi 1. Menjaga patensi jalan napas
2. Gagal napas .
3. Gangguan kesadaran dengan Glasgow Coma
Score ≤ 8
4. Gangguan hemodinamik berat ( syok ).
3. Kontraindikasi Sesuai dengan kontraindikasi prosedur
4. Persiapan Persiapan Alat :
1. Sarung tangan – ( 1 pasang )
2. Bag – mask resuscitator – ( 1 set )
3. Pipa endotrakeal ukuran 2,5 sampai 8 –
( masing-masing 1 buah ).
4. Laringoskop dengan bilah ukuran 0 sampai 4
– (masing-masing 1 buah).
5. Mandrin/stylet – ( 1 buah )
6. Spuit 20 ml untuk mengembangkan cuff –
( 1buah )
7. Oropharyngeal airway/nasopharyngeal airway
ukuran 000 sampai 4 – ( masing-masing 1
buah )
8. Laryngeal Mask airway ukuran 1 sampai 5 -
(masing-masing 1buah)
9. Gel pelumas – ( 1 tube )
10. Plester fiksasi – (20 cm )
11. Stetoskop
12. Mesin dan kateter suction – ( 1 set )
13. Monitor kardiovaskular dan pulse oxxymetry
14. Bantal 10 cm x 10 cm x 10-20 cm
15. Trolley emergency

Persiapan Obat :
Sedasi
- Midazolam 0,1 – 0,3 mg / kg bolus
intravena,atau
- Propofol 1 – 2 mg / kg bolus intravena,
atau
- Ketamin 1 – 2 mg / kg bolus intravena
Analgetik
- Morphin 1 – 2 mg / kg bolus intravena, atau
- Fentanyl 1 – 2 mg / kg bolus intravena

Pelumpuh Otot
- Vecuronium 0,08 – 0,12 mg/kg bolus
intravena, atau
- Rocuronium 0,6 – 1,2 mg/kg bolus
intravena atau
- Atracurium 0,5 mg/kg bolus intravena.
Obat-Obat lain
Lidocain 2 % 1 mg/kg bolus intravena
Persiapan pasien :
1. Persetujuan keluarga bila bukan pasien
emergensi.
2. Pasien sudah mempunyai akses intravena.
5. Prosedur Tindakan 1. Posisi pasien supine dengan kepala bagian
occipital diatas bantal ( tebal 10 – 20 cm),
posisi dokter intubator dibelakang kepala
pasien.
2. Berikan oksigen dan bantuan ventilasi
mengunakan bag – mask dengan aliran
oksigen 100% 10 -15 L/menit, Sembari
melakukan sellick’s maneuver.
3. Berikan obat sedasi dan analgetik.
4. Bila ventilasi dengan bag mask mudah yaitu
dada terangkat cukup baik, berikan obat
pelumpuh otot, bantuan ventilasi dengan
oksigen 100% selama 3-5 menit.
5. Laringoskopi dilakukan dengan memegang
laringoskop dengan tangan kiri,masukan
bilahnya kedalm mulut,susun lidah sampai
terlihat epiglottis.
6. Laringoskopi dilakukan dengan memegang
laringoskop dengan tangan kiri,masukan
bilahnya kedalam mulut,susuri lidah sampai
terlihat epiglottis.
7. Angkat laringoskop sampai terlihat pita suara
dengan jelas.
8. Masukkan pipa endotrakeal sampai cuff
melewati pita suara kedalam trakea.
9. Angkat laringoskop, sambungkan pipa
endotracheal dengan bag mask dan berikan
bantuan ventilasi.
10. Periksa posisi pipa endotrakeal dengan
melihat gerakan dada bagian kanan dan kiri
serta melakukan auskultasi d kedua bagian
dada untuk menyakinkan bahwa suara napas
terdengar sama dikedua lapangan paru.
11. Fiksasi pipa endotrakeal dengan plester.
6. Pasca Prosedur 1. Rontgen Thorak
Tindakan 2. Monitor pulse oxxymetri dan kardiovaskuler.
7. Tingkat Evidensi IV
8. Tingkat Rekomendasi A
9. Penelaah Kritis - Tim Perhimpunan Dokter Spesialis
Anestesiologi dan Terapi Intensif
Indonesia.
- Tim Perhimpunan Dokter Intensive Care
Indonesia
10. Indikator Prosedur 90 % pasien dapat terintubasi tanpa komplikasi.
Tindakan
11. Kepustakaan 1. Laver GG, Jamison CA. Airway management
in the critically ill adult. In Parillo JE. Dellinger
RP (eds) Critical Care Medicine: Principles of
Diagnosis and Management in the
adult.3rd.ed.Philadelphia,PA: Mosby
Elsivier;2008p.17
2. Dries DJ (ed). Fundamental Critical Care
Support. Society of Critical Care Medicine,
5th.ed.,2012:p.2.1
PANDUAN PRAKTIK KLINIK (PPK)
PROSEDUR TINDAKAN SMF
ANATESIOLOGI DAN TERAPI INTENSIP
RSUD OKU TIMUR

PEMASANGAN CHEST TUBE


ICD-9: 34.04
1. Pengertian ( Definisi ) Pemasangan Chest tube adalah insersi dan
penempatan suatu pipa steril kedalam ruangan
pleura untuk mengeluarkan udara atau cairan
kedalam system penampung tertutup untuk
mengembalikan tekanan intra toraks yang negatif,
memperbaiki pengembangan paru-paru dan
mencegah terjadinya kematian akibat tension
pneumothorak
2. Indikasi 1. Pneumotoraks
2. Hemotoraks
3. Empiema
4. Chylothorax
5. Efusi Pleura.
3. Kontraindikasi Kontraindikasi :
1. Penyakit paru dengan bulla besar
2. Abses Paru
3. Pneumonia
4. Atelektasis
5. Koagulopati
4. Persiapan 1. Informed consent.
2. Pengetahuan anatomi, struktur – struktur
dinding dada, intra toraks dan intra abdomen,
dan teknik aseptic secara umum.
3. Persiapan alat & bahan :
Gaun dan sarung tangan steril,
- Topi dan Masker
- Larutan chlorhexidine atau povidone –
iodine.
- Kain duk penutup yang berlubang dan
kassa steril.
- Lidocain 2 % tanpa epinefrin,
- Spuit + Jarumnya.
- Pisau scalpel
- Klem-pean.
- Chest tube dengan trokar ukuran 32 – 38
fr.
- Alat penampung dengan system tertutup
( wsd, water sealed device ).
- Pemegang jarum jahit.
- Benang Jahit non serap.
- Jarum kulit
- Plester.
5. Prosedur Tindakan 1. Pasien diposisikan terlentang kepala lebih
tinggi, lengan atas ke ats, tentukan titik isersi
pada linea axillaris medis, celah iga 4 – 5.
2. Operator mengunakan gaun dan sarung
tangan steril. Dilakukan desinfeksi pada
tempat insersi dan sekelilingnya, tutup duk
steril, kemudian infiltrasi lidokain 2% pada
tempat insersi.
3. Insisi kulit melintang 1- 2 cm, darah
dihentikan/ditekan dengan kasa steril,jaringan
subkitus debebaskan dengan diklem pean
sampai menyentuh iga.
4. Chest tube dengan trokardi insersikan dengan
cara ujungnya diletakkan pada celah iga 4-5
tegak lurus dengan permukaan kulit didorong
masuk ( dengan kuat ) kedalam rongga toraks.
Setelah ujung chest tube menembus dingding
toraks kemudian diarahkan cranial untuk
kasus pneumo toraks atau kearah kaudal
untuk kasus cairan dalam ruang pleura,
kemudian chest tube didorong masuk sampai
semua lubangnya berada dalam ruang pleura,
kemudian trokar ditarik keluar/dilepas
kemudian ujung distal chest tube dihubungkan
dengan WSD.kemudian dilakukan fiksasi
chest tube dengan jahitan pada kulit dan
kemudian ditutup kasa steril dan plester.
6. Pasca Prosedur 1. Evaluasi fungsi chest tube – WSD dengan
Tindakan melihat gelembung dan gerakan cairan dalam
pipa terhadap dengan gerak napas.
2. Foto rontgen thorak untuk mengevaluasi
efisiensi tindandakan pemasangan chest tube
dan kemungkinan terjadinya komplikasi
(perdarahan,emfisema subkutis,trauma organ
solid)
7. Tingkat Evidensi IV
8. Tingkat Rekomendasi A
9. Penelaah Kritis - Tim Perhimpunan Dokter Spesialis
Anestesiologi dan Terapi Intensif
Indonesia.
- Tim Perhimpunan Dokter Intensive Care
Indonesia.
10. Indikator Prosedur Perbaikan mekanika pernapasan dan fungsi
Tindakan respirasi, SaO2 dan PaO2 meningkat, PaCO2 dalam
kisaran normal. Angka keberhasilan 80 %.
11. Kepustakaan 1. Irwin & Rippe’s Intensive Care Medicine
7thEd. Editor: Irwin, R.S & Rippe, J.M. Wolters
Kluwer Lippincott Williams & Wilkins.
Philadelpia, 2012. Hal : 83-88.
2. Texbook of Critical Care 6th Ed. Editor:
Vincent, J.L et al.Elsevier Saunder,
Philadelpia. 2011, hal:439 – 450 & 1509 –
1517 .
PANDUAN PRAKTIK KLINIK (PPK)
PROSEDUR TINDAKAN SMF
ANATESIOLOGI DAN TERAPI INTENSIP
RSUD OKU TIMUR

PEMASANGAN KATETER VENA SENTRAL


ICD-9: 38.93
1. Pengertian ( Definisi ) Suatu tindakan pemasangan kateter pada vena
sentral seperti pada v jugularis interna, v subclavia, v
jugularis externa atau v femoralis.
2. Indikasi 1. Pasien yang memerlukan pemantauan
tekanan vena sentral serta pemeriksaan
saturasi vena sentral.
2. Pemberian obat – obatan dengan konsentrasi
tinggi.
3. Pemberian obat vasoaktif ( inotropic dan
vasopressor ).
4. Pemberian nutrisi parenteral.
5. Pengambilan simple darah.
6. Resusitasi cairan yang membutuhkan
largebore venous access.
7. Kesulitan memasang infus perifer.
8. Transvenous pacing.\
9. Pemasangan kateter Swan – Ganz.
10. Prolong intravenous chemoterapi.
3. Kontraindikasi Absolut :
Keluarga menolak,Distorsi anatomi local ( karena
operasi, injuri pembuluh darah dan riwayat rediasi )
Absolut pada v subclavia :
1. Trauma ipsilateral calvicula, iga proksimal
anterior atau pembuluh darah subclavia.
2. Koagulopati.
Kontraindikasi relative pada v subclavia :
1. Deformitas dinding dada
2. PPOK
Kontra indikasi relatif :
1. Ada ganguan koagulasi darah yang berat.
2. Pasien overwelght atau underweight
3. Gangguan mekasnis pada daerah leher
4. Jumlah trambosit < 20.000
5. Dalam terapi atau riwayat terapi trombolisis
6. Pasien tidak kooperatif.
4. Persiapan Persiapan pasien :
1. Informed concent pasien dan keluarga pasien
2. Pasang monitor EKG, Pulse – Oksimetri
Persiapan Alat :
1. Set kateter sentral sesuai ukuran dan
kebutuhan akses vena (double lumen atau
multi lumen) – (1set)
2. Sarung tangan steril – ( 2 pasang )
3. Gaun steril – ( 2 buah )
4. Syringe 5 ml, untuk anastesi local – ( 1 buah )
5. Anestetik local ( lidocaine 2 % 2 – 5 ampul )
6. Minor set ( pinset anastomis, gunting, needle
holder, klem, kom )
7. Doek steril 2 – 4 buah.
8. Benang – ( 1 set )
9. Scalpel no 11 – ( 1 buah )
10. Cairan NACL 0,9 % steril, sudah heparinisasi

( 1 labu )
11. Cairan antiseptic – ( 50 ml )
12. Ganjal bahu ( bantal kecil )
13. Persiapkan trolley emergency.
14. Kasa steril dan plaster untuk menutup atau
tegaderm – ( 1 lembar ).

Persiapan Alat :
Obat sedatif ( Jika pasien tidak kooperatif )
Midazolam atau propofol – ( 1ampul )
5. Prosedur Tindakan Pemasangan Pada V Subclavia :
1. Punggung pasien diganjal
2. Pasien posisi terlentang dan trendelenberg
15°
3. Cuci tangan, pakai gaun steril dan sarung
tangan steril.
4. Desinfeksi daerah subclavia dengan cairan
antiseptic meluas kedaerah jugular ipsilateral
sampai dengan papilla mamae ipsilateral dan
1/3 lengan atas ipsilateral.
5. Tutup doek steril.
6. Infiltrasi dengan lidocaine 2 % disekitar tempat
tusukan.
7. Dari inferior clavicula, susuri clavicula sampai
dengan pertemuan clavicula dengan iga
pertama, lakukan puncture dengan jarum
kearah sternal notch sambil dilakukan aspirasi
dan bevel mengarah kebawah.
8. Bila saat aspirasi keluar darah warna
kehitaman kedalam syringe lalu lepaskan
synring, tutup lumen jarum dan masukkan
guide wire ( jaga jangan sampai ada emboli
udara ) melalui jarum sampai guide wire
bertanda garis 2 ( kedalam ± 20 cm ). Berhenti
memasukkan wire jika ada tahanan.
9. Dilatasi dengan scalpel no 1:
10. Lepaskan jarum dan pertahankan guide wire.
11. Masukkan dilator melalui wire ( ukuran kecil
lebih dahulu kemudian yang ukuran lebih
besar ).
12. Lepaskan dilator dan pertahnkan wire
ditempatnya.\
13. Masukkan kateter melalui wire sampai kateter
mencapai kedalaman 15 – 20 cm ( perkiraan
ujung katetr terletak pada pertemuan vena
cava superior ) dengan atrium kanan).
14. Aspirasi dari masing – masing cabang kateter
dengan syringe yang berisi cairan NaCL
kemudian di flush sampai kateter tampak
jernih kemudian tutup masing m,asing lumen
kateter.
15. Fiksasi dengan jahitan dan ditutup dengan
kasa steril dan plaster atau tegaderm.
16. Konfirmaasi posisi kateter dengan melakukan
pemeriksaan fhoto thoraks.

Pemasangan Pada V Jugularis Interna :


1. Punggung pasien diganjal.
2. Pasien posisi terlentang dan trendelenberg
15° kepala menoleh ke kontralateral.
3. Cuci tangan, pakai gaun steril dan sarung
tangan steril.
4. Desinfeksi daerah jugularis, meluas ke
subclavia ipsilateral sampai dengan pailla
mamae ipsilateral dan 1/3 lengan atas
ipsilateral dengan cairan antiseptic meluas
kedaerah jugular ipsilateral sampai dengan
papilla mamae ipsilateral dan 1/3 lengan atas
ipsilateral.
5. Tutup dengan doek steril
6. Infiltrasi dengan lidocaien 2% disekitar
temapat tusukkan.
7. Raba a carotis, v jugularis terletak lateral dari
a carotis.
8. Insersikan jarum dengan sudut 30 ° didepan
otot sternocleidomastoideus ditengah jarak
antara processus mastoideus dan sternum
dengan jarum diarahkan ke nipple ipsilateral.
9. Saat insersi jarum sambil jarum dimasukkan
dengan kedalam kira-kira 1-3 cm, sampai
tampak keluar darah berwarna kehitaman.
10. Bila darah mengalir lancar lepaskan jarum dan
tutup lobang jarum lalu masukkan guide wire
dengan kedalamaan sampai garis 2.
11. Kemudiaan dilatasi dengan scalpel no 11.
12. Lepaskan jarum dengan pertahankan wire
pada tempatnya.
13. Masukkan dilator yang kecil terlebih dahulu.
14. Lepas dilator dengan wire tetap ditempatnya.
15. Masukkan kateter melalui wire lalu flush
masing- masing katetr dengan Nacl 0,9 %
yang sudah dicampur heparin, bilas sampai
jernih.
16. Tutup ujung semua cabang kateter.
17. Fiksasi dengan jahitan,tutup dengan kasa
steril dan plester atau tegaderm.
18. Konfirmasi posisi kateter dengan foto thoraks.

Pemasangan Pada V Femoralis :


1. Pinggul pasien diganjal.
2. Pasien posisi terlentang dan trendelenberg
15° kepala menoleh ke kontralateral.
3. Cuci tangan, pakai gaun steril dan sarung
tangan steril.
4. Desinfeksi daerah inguinalis meluas ke
umbilicus dan paha.
5. Tutup dengan doek steril.
6. Infiltrasi dengan lidocaien 2 % disekitar tempat
tusukan.
7. Raba a femoralis, v femoralis terletak ditengah
garis antara symphisis pubis dan spina iliaca
anterior. Vena femoralis terletak medial dari a
fermoralis.
8. Insersikan jarum 1 – 2 cm dibawah
ligamentum inguinal sambil melakukan
aspirasi.
9. Arahkan jarum dengan sudut 15 - 45° kearah
umbilical.
10. Bila darah mengalir lancer dari syringe, lepas
syringe dari jarum introducer, tutup lobang
jarum dan masukkan guide wire berhenti bila
ada tahanan.
11. Kemudian dilatasi dengan scalpel no 11
12. Lepaskan jarum dengan pertahnkan wire pada
tempatnya.
13. Masukkan dilator yang kecil terlebih dahulu.
14. Lepas dilator dengan wire tetap ditempatnya.
15. Masukkan kateter melalui wire lalu flush
masing – masing kateter dengan NaCL 0,9 %
yang sudah dicampur heparin, bilas sampai
jernih.
16. Tutup ujung semua cabang kateter.
17. Fiksasi dengan jahitan tutup dengan kasa
steril dan plaster atau tegaderm.
18. Konfirmasi posisi kateter dengan foto toraks.
6. Pasca Prosedur 1. Monitor hemodinamik
Tindakan 2. Monitor komplikasi : pneumothoraks,
hematotoraks, chylotoraks, hematom,
dysrhythmia, nerve injury, thrombosis, emboli,
perdarahan.
3. Monitor tanda – tanda infeksi.
4. Kateter dilepas jika :\
- Tidak diperlukan hemodialisa lagi
- Tanda – tanda indurasi, kemerahan atau
keluar cairan dari daerah tusukan.
- Terjadi catether related infection
- Oklusi kateter atau trombosis
- Erosi vascular karena kateter.
7. Tingkat Evidensi IV
8. Tingkat Rekomendasi A
9. Penelaah Kritis - Tim Perhimpunan Dokter Spesialis
Anestesiologi dan Terapi Intensif
Indonesia.
- Tim Perhimpunan Dokter Intensive Care
Indonesia.
10. Indikator Prosedur 80 % pasien yang dipasang kateter vena lancar dan
Tindakan komplikasi minimal.
11. Kepustakaan 1. Principles of Critical Care. 3rd. Editor Hall JB.
Schmidt GA, Wood LDH. Mc Graw-Hill.2005.
2. Oh’s Intensive care Manual.5th ed,Editors
andrew D Bersten, Neil Soni. Butterworth
Heinemann.2003.
3. Central Venous access via v subclavian
approach to the subclavian vein. Roe III JE.
Editor Rick Kulkani. Updated Augusts 2012.
4. Guideline on the insertion and management of
central venous access devices in adult. L.
Bishop: L Dougherty; A Boedenham et al.
International journal of laboratory hematology;
2007;29; 261 – 278.
5. ICU Protocols.A Stepwise Approach. Editors
Chawla R; todi S. ISCCM. Springer 2012.
PANDUAN PRAKTIK KLINIK (PPK)
PROSEDUR TINDAKAN SMF
ANATESIOLOGI DAN TERAPI INTENSIP
RSUD OKU TIMUR

PEMASANGAN ALAT VENTILASI MEKANIK INVASIF ICD-9: 96.79


1. Pengertian ( Definisi ) Pemasangan alat bantu napas yaitu ventilator ke
jalan napas pasien dengan melalui pipa endotrakeal.
2. Indikasi 1. Henti napas ( apnea )
2. Gangguan kesadaran dengan GCS ≤ 8
dengan / tanpa tanda – tanda peningkatan
tekanan intracranial.
3. Gangguan Jalan Napas Airway
(snoring,gargling,crowing)
4. Distres pernafasan :
Gelisah,Tachynea (frekuensi napas ≥
30x/mnt), Bradipnea (frekuensi napas
≤10x/mnt), WOB ( work of brething)
meningkat, gerakan cuping hidung,Retraksi
interkostal, sianosis,gerak dada dan perut
paradoxal,Saturasi O2 ≤ 90%
5. Gagal napas akut
- Gangguan pusat napas (Cedera otak,
Hipotiroid).
- Eksarsebasi akut penyakit paru obstruksi
kronik.
- Asma akut.
- Penyakit neuromuskuler ( Guillan Barre
syndrome, Myasthenia Gravis ).
- Disfungsi otot ventilasi
(Ketidakseimbangan elektrolit, malnutrisi,
deformitas toraks, atrofi )
- Udem paru kardiogenik dan non
kardiogenik
- Pneumonia
- Acute respiratory distress syndrome
(ARDS )
- Immunocompromised (keganasan, pasca
transplantasi).
6. Pasca henti jantung.
7. Pasca bedah dengan gangguan – gangguan:
hemodinamik, atau respirasi, atau kesadaran.
8. Syok

3. Kontraindikasi Tidak Ada.


4. Persiapan Persiapan Alat :
1. Sarung tangan steril – ( 1 pasang )
2. Bag – mask resuscitator – ( 1 set ).
3. Mesin ventilator ICU dengan mode Ventilation
dasar ( A/C, SIMV,PSV ( Volume/ Pressure
Ventilation). PEEP
4. Alat pemantau kardiovaskular dan pulse
oximetri.
5. Suction
6. Set kanulasi intravena – ( 1 set )
7. Trolley emergency.

Persiapan Obat :
Sedasi.
- Midazolam 0,1 – 0,3 mg/kg bolus intravena
atau
- Propofol 1 – 2 mg/kg bolus intravena atau
- Ketamin 1-2mg/kg bolus intravena.
Analgetik
- Morphin 1 – 2 mg/kg bolus intravena atau
- Fentanyl 1 – 2 mikrogm/kg bolus intravena.
Pelumpuh otot
- Vecuronium 0,08 – 0,12 mg/kg bolus
intravena atau
- Rocuronium 0,6 – 1,2 mg/kg bolus
intravena atau
- Atracurium 0,5 mg/kg bolus intravena.

Persiapan Pasien :
1. Penjelasan kepada keluarga pasien tentang
prosedur yang akan dilakukan.
2. Pasien sudah mempunyai akses intravena
3. Pasien sudah dilakukan intubasi trakea.
5. Prosedur Tindakan 1. Penjelasan kepada keluarga tentang prosedur
tindakan
2. Melakukan tindakan intubasi trakea.
3. Menyambungkan pipa endotracheal ke
ventilator.
4. Menyetel mode ventilasi pada ventilator yang
paling dikuasai ( misal: assist – control volume
atau assist-control pressure ventilation atau
synchronized intermittent ventilation atau
synchronized intermittent mandatory
ventilation ).
5. Penyetelan awal FiO2 100% setelah itu dapat
dapat dirubah dengan terget SpO2 92% - 95%
atau
≥ 88 % pada pasien ARDS.
6. Penyetelan awal volume tidal adalah 8 – 10
ml/kg pada pasien dengan daya kembang
paru buruk
( ARDS ) dianjurkan dengan menjaga tekanan
pleteau ≤ 30 cmH2O
7. Penyetelan laju napas disesuaikan target
ventilasi semenit 100 ml/kg
8. Penyetelan PEEP ≥ 5 cmH2O
9. Penyetelan trigger sensitivity sebesar 1- 3
L/Menit atau – 2 cmH2O
10. Selama pasien dalam ventilator dapat
diberikan obat sedasi dan analgetik intravena
kontinyu, sedapat mungkin tidak diberikan
obat pelumpuh otot.
6. Pasca Prosedur 1. Pemeriksaan suara napas pada kedua
Tindakan lapangan paru dengan stetoskop.
2. Pemantauan Kardiovaskuler dan pulse
oximetry
3. Pemeriksaan Foto Thoraks.
7. Tingkat Evidensi IV
8. Tingkat Rekomendasi A
9. Penelaah Kritis - Tim Perhimpunan Dokter Spesialis
Anestesiologi dan Terapi Intensif
Indonesia.
- Tim Perhimpunan Dokter Intensive Care
Indonesia.
10. Indikator Prosedur 75 % pasien yang dipasang Ventilator dan dapat
Tindakan disapih serta tidak ada komplikasi.
11. Kepustakaan 1. Caples SM, Gay PC. Noninvasive positive
pressure ventilation in the intensive care unit;A
concise review. Crit Care Med 2005;33;2651-
2658.
2. Tobin MJ. Principles and Practice of
Mechanical Ventilation, Rev.ed. New
York.NY;MC Graw-Hill Co;2006
3. Dries DJ (ed) Fundamental Critical Care
Support 5th ed. Society of Critical Care
Medicine:2012:p.5.1
PANDUAN PRAKTIK KLINIK (PPK)
PROSEDUR TINDAKAN SMF
ANATESIOLOGI DAN TERAPI INTENSIP
RSUD OKU TIMUR

PEMASANGAN VENTILASI MEKANIK NON INVASIF ICD-9: 93.90


1. Pengertian ( Definisi ) Pemasangan alat bantu jalan napas yaitu ventilator
ke jalan napas pasien dengan melalui sungkup
muka.
2. Indikasi 1. Edema paru yang bersifat kardio genik tanpa
adanya ketidak stabilan hemodinamik.
2. Gagal napas pada pasien dengan Pneumonia
Pneumocystis.
3. Gagal napas pada pasien imunokom promise (
khususnya keganasan darah dan pasien
dengan transplantasi).
4. Eksarsebasi akut penyakit penyumbatan paru
obstruksi kronik.
5. Eksarsebasi akut pada asma
6. Gagal napas pada pasien dengan kistik
fibrosis.
7. Proses Weaning ventilator pasca intubasi.
3. Kontraindikasi 1. Henti jantung atau henti napas
2. Hemodinamik tidak stabil.
3. Iskemiamio kardium atau aritmia.
4. Pasien yang tidak kooperatif.
5. Pasien yang tidak mampu menjaga jalan
napas.
6. Resiko tinggi terjadi aspirasi
7. Perdarahaan aktif saluran cerna bagian atas
8. Hipoksemia berat.
9. Ensafalopati berat.
10. Trauma luka bakar pada wajah.
11. Agitasi
4. Persiapan Persiapan Alat :
1. Mesin ventilator ICU yang mempunyai fasilitas
mede NIV dan mode dasar ( PCV, VC,SIMV)
2. Sangkup muka no 3 dan 4 yang dengan
harness – (masing – masing 1 set ).
3. Sarung tangan – ( 1 Pasang ).
4. Monitor kardiovaskuler dan pulse oksimetri
5. Trolley emergency.
Persiapan Pasien :
1. Permintaan persetujuan tindakan – tindakan
kepada pasien dan keluarga pasien.
2. Nilai keadaan pasien apakah toleran untuk
pemasangan ventilasi non invasiv.
3. Jelaskan tentang prosedur kepada pasien
4. Pasien mempunyai akses intravena
5. Pastikan ukuran sungkup atau helm yang
sesuai.
6. Prosedur Tindakan 1. Head up ≥ 45°
2. Pengaturan mode :
 Mode : spontan
 Trigger : Sensitifitas maksimal
 Fi02 : 1.00
 EPAP : 4 – 5 mm H2O
 IPAP : 10 – 15 mm H2O
 Backup rate : mulai 6x/menit
3. Jika mode CPAP yang digunakan :
 Tekanan diberikan mulai dari 5 mm
H2O
 Tekanan ditingkatkan bertahap sampai
toleransi dan perbaikan secara klinis
pasien tercapai.
4. Titrasi tekanan volume dan FiO2 untuk
mencapai pH, PaO2, PaCO2 yang sesuai.
Perubahan penganturan ventilator dapat
dilakukan setiap 15 – 30 menit.
7. Pasca Prosedur 1. Pantau tanda vital, satu rasi oksigen, status
Tindakan mental, keadaan klinis dan analisa gas darah
pada awal dan 1 – 2 jam berikutnya sesuai
indikasi.
2. Evaluasi dan atasi bila ada kebocoran udara
dari sirkuit ventilator, bantuan tekanan dan
PEEP yang adekuat, Volume tidal ( 6-8 ml/kg )
dan sinkronisasi pasien – ventilator.
3. Beralih ke metode invasive vantilasi non
invasive gagal memberikan perbaikan pada
pasien setelah
4– 6 jam.
8. Tingkat Evidensi IV
9. Tingkat Rekomendasi A
Penelaah Kritis 1. Tim Perhimpunan Dokter Spesialis
Anestesiologi dan Terapi Intensif Indonesia.
2. Tim Perhimpunan Dokter Intensive Care
Indonesia.
11. Indikator Prosedur 75 % pasien yang dipasang Ventilator dan dapat
Tindakan disapih serta tidak ada komplikasi.
12. Kepustakaan 1. Fundamental Critical Care Support.
Mechanical Ventilation. Fifth Edition.2012.5:2
–7
2. Baudouin S, et al. Non – Invasive Ventilation
in Acute Respiratory Failure. Thoraks
2002.57 : 192 – 211.
3. Hartawan, Dicky, et al. Ventilasi Mekanik Non
invasif. Jurnal Anestesiologi Indonesia. 2010.
II-3:171 – 178.
PANDUAN PRAKTIK KLINIK (PPK)
PROSEDUR TINDAKAN SMF
ANATESIOLOGI DAN TERAPI INTENSIP
RSUD OKU TIMUR

RESUSITASI JANTUNG PARU LANJUT PADA PASIEN KRITIS


ICD-9:99.6
1. Pengertian ( Definisi ) Resusitasi Jantung Paru Lanjut pada pasien kritis
adalah suatu tindakan yang ditujukan untuk
mengembalikan sirkulasi spontan pada pasien yang
menderita penyakit atau kondisi akut dan reversible
yang mengalami henti jantung.
2. Indikasi 1. Fibrilasi Ventrikel
2. Takhikardi Ventrikel tanpa nadi
3. Aktifitas listrik tanpa nadi
4. Asistol
3. Kontraindikasi Tidak Ada
4. Persiapan 1. Pastikan pasien tidak sadar, tidak bernapas,
napas tidak adekuwat, ( monitor EKG
menunjukkan bradikardia atau sistole dan
gambaran SpO2 tidak muncul )
2. Raba karotis < 10 detik, bila tidak teraba
lakukan RJP (30 kali kompresi dan 2 kali
bantuan napas), segera persiapkan tindakan
intubasi trakea.
3. Bila pasien dalam bantuan ventilasi mekanik,
lepaskan dari ventilator, lakukan RJP dengan
120x kompresi/menit dan berikan ventilasi
dengan bag-mask 8 – 10 x/menit.
4. Kualitas yang harus terpenuhi dalam
melakukan RJP :
- Tekan yang keras ( >5 cm ) dan cepat
( 120 X/menit ) dan memungkinkan paru –
paru mengembang ( recoil )
- Minimalkan intrerupsi waktu RJP
- Hindarkan ventilasi yang berlebihan
- Rotasi kompresor setiap 2 menit.
- Monitor gelombang kapnografi kuantitatif
( bila ada fasilitas ) Bila P et CO2 < 10
mmHg coba untuk memperbaiki kualitas
kompresi.
Catatan:
1. Pulih ke sirkulasi pontan ( ROSC )
- Nadi dan tekanan darah evaluasi ulang
2. Shock ( Energi )
- Bifasik : Rekomendasi 120 – 200 J. Bila
tidak tahu gunakan dosis maksimal. Dosis
kedua dan seterusnya harus sama atau
lebih tinggi.
- Monofasik : 360 J
3. Terapi Medika Mentosa
- Epineprin IV bolus 1 mg tiap 3 – 5 menit
- Vasopresin IV bolus 40 unit dapat
menggantikan dosis pertama dan kedua
epinefrin.
- Amiodaron IV : Dosis pertama 300 mg IV
bolus : dosis kedua 150 mg IV bolus.
5. Prosedur Tindakan 1. Evaluasi penyebab henti jantung yaitu :
- Hipoksemia
- Hipovolemia
- Hidrogen ion ( asidosis )
- Hipo / Hiperkalemia
- Hipotermia
- Tension Pnemotoraks
- Tamponade kardiak
- Toksin
- Trombosis paru
- Trombosis Kardiak
2. Pengelolaan pasca henti jantung.
6. Pasca Prosedur 1. Evaluasi fungsi pipa trachea, cek
Tindakan pengembangan kedua paru – paru, monitor
mekanika pernafasan dan SaO2.
2. Foto rongent thoraks dan periksa analisa gas
darah.
7. Tingkat Evidensi IV
8. Tingkat Rekomendasi A
9. Penelaah Kritis 1. Tim Perhimpunan Dokter Spesialis
Anestesiologi dan Terapi Intensif Indonesia.
2. Tim Perhimpunan Dokter Intensive Care
Indonesia.
10. Indikator Prosedur 60 % pasien kritis yang mengalami henti jantung dan
Tindakan berhasil dilakukan RJPL serta dilakukan tatalaksana
pasca henti jantung akan pulih kembali dengan
komplikasi minimal.
11. Kepustakaan 1. Morrison LJ, Chair, Kirzek G, Diekema DS,
Sayre MR, Silvers SM, Idris AH, Mancini
ME.Ethics. Amirican Heart Association
Guidelines for Cardiopulmonary Resuscitation
and Emergency Cardiovascular Care.
Circulation. 2010: 122
(suppl 3 ): S665 - 57.
2. Neumar RW, Chair, Otto CW, Link MS,
Kronick SL, Shuster M, Callaway CW,
Kudenchuck PJ. Ornato JP, McNally B, Silver
SM, Passman RS, White RD, Hess EP, Tang
W, Davis D,Sinz E, Morrison LJ. Adult
Advance cardiovascular lif e support:2010
american Heart associatio Guidelines For
Cardiopulmonary Resuscitation and
Emergency Cardiovascular Care Circulation.
2010:122 ( Suppl 3): S729 – 767 .
PANDUAN PRAKTIK KLINIK (PPK)
PROSEDUR TINDAKAN SMF
ANATESIOLOGI DAN TERAPI INTENSIP
RSUD OKU TIMUR

ACUTE RESPIRATORY DISTRESS SYNDROME


ICD-10 J80
1. Pengertian ( Definisi ) Penyakit ARDS memiliki karakteristik :
1. Cedera paru dengan onset akut, yang timbul
dalam 1 minggu sejak gejala timbul, dengan
perburukan gejala pernafasan.
2. Gambaran opak bilateral pada rontgen toraks
yang tidak disebabkan oleh penyakit paru lainnya
( efusi pleura, kolaps paru, atau nodul paru ).
3. Gagal napas yang tidak disebabkan oleh gagal
jantung atau kelebihan cairan ( edema paru ).
4. Rasio PO2/FiO2 < 300 mmHg
2. Anamnesis - Keluhan sesak napas.
- Riwayat sepsis, tranfusi darah, kontusio paru,
aspirasi isi lambung, Penyalahgunaan obat
atau overdosis.
- Atau riwayat syok, hampir tenggelam, inhalasi
zat iritan atau toksik.
3. Pemeriksaan Fisiki - Takipneu
- Hipoksemia
- Penyerta : Penurunan kesadaran, takikardi.
- Ronki paru.
4. Kreteria Diagnosis Terpenuhinya 4 kriteria :
1. Cedera paru dengan onset akut, yang timbul
dalam 1minggu sejak gejala timbul, dengan
perburukan gejala pernafasan.
2. Gambaran opak bilateral pada rontgen toraks
yang tidak disebabkan oleh penyakit paru lainya.
( efusi pleura, kolaps paru, atau nodul paru ).
3. Gagal napas yang tidak disebabkan oleh gagal
jantung atau kelebihan cairan ( edema paru )
4. Rasio PO2/FiO2 < 300 mmHg.

Kategori ARDS :
- ARDS ringan PaO2/FiO2 200-300 mmHg
- ARDS sedang PaO2/FiO2 101-200 mmHg.
- ARDS berat PaO2/FiO2 ≤ 100 mmHg.
- ( dengan PEEP minimum 5 cmH2O )
5. Diagnosis ARDS ringan / ARDS sedang / ARDS berat.
6. Diangnosis Banding - Edema paru
- Penyakit paru kronis ( Luluh paru, Penyakit
paru interstisial )
- Keganasan paru.
7. Pemeriksaan - Analisa Gas Darah
Penunjang - Rontgen Thoraks
- Tekanan Vena Sentral
8. Terapi 1. Perawatan di ICU
2. Pemberian ventilasi mekanik
- Target volum tidal 6 ml/kg BBP ( Berat Badan
Prediksi ) pada pasien ARDS - sepsis ( grade
1A).
- Tekanan plateau diukur dengan target batas
atas inisial saat inflasi paru pasif ≤30 cmH2O
(grade 1B).
- Tekanan akhir ekspirasi positif (PEEP)
diberikan untuk menghindari kolaps alveolar
pada ekspirasi akhir (atelektrauma) (grade 1
B).
- Strategi menggunakan PEEP yang lebih
tinggi pada pasien sepsis dengan ARDS
sedang atau berat. ( grade 2c ).
- Teknik rekruit alveolus diberikan pada pasein
sepsis dengan hipoksemia refrakter berat
( grade 2C ).
- Posisi tengkurap dilakukan pada pasien
ARDS dengan PaO2/FiO2 ≤ 100 mmHg
difasilitas yang telah berpengalaman (grade
2B).
- Kepala pasien dielevasi 30 – 45 derajat untuk
mencegah resiko aspirasi dan mencegah
VAP ( grade 1B ).
- Ventilasi sangkup non-invasif (NIV) dapat
diberikan pada sebagian kecil pasien ARDS
yang mungkin dapat memperoleh manfaat
positif dari NIV dengan penuh pertimbangan (
grade 2B ).
- Protokol penyapihan harus dilakukan dan
pasien secara teratur menjalani Uji Napas
Spontan untuk evaluasi penghentian ventilasi
mekanik ketika pasien memenuhi kreteria:
a) sadar, dapat dibangunkan.
b) Hemodinamik stabil ( tanpa
vasopresor).
c) Tidak ada kondisi perburukan baru
yang berpontensi serius.
d) Kebutuhan ventilasi rendah dan PEEP
rendah.
e) Kebutuhan FiO2 yang rendah yang
dapat terpenuhi dengan sangkup muka
atau kanula nasal.Bila Uji Napas
Spontan berhasil,ekstubasi harus
dipertimbangkan.
- Tidak perlu secara rutin mengunakan kateter
swan-granz ( grade 1 A )
- Pemberian cairan secara konservatif bila
tidak ada tanda hipoperfusi jaringan
( grade 1C ).
- Obat beta 2 agonis tidak diperlukan bila tidak
ada indikasi spesifik seperti bronkospasme
( grade 1B ).
3. Setting ventilasi mekanik mengikuti protokol
ARDS net.

Tahap I : Pengaturan ventilator tahap awal


1. Hitung berat badan prediksi (BBP) Predicted
Body Weight ( PWB ).
>> Laki-laki (kg)= 50 + 0,9 (tinggi badan)(cm) –
153 ).
>> Perempuan (kg)=45,5 + 0,9 (tinggi badan
(cm) – 153 ).
2. Pilih mode ventilasi ( Volume Controlled /
Pressure Controlled ).
3. Volume tidal inisial = 8 mL/kgBBPrediksi.
4. Turunkan velome tidal 1 mL/kg tiap ≤ 2 jam
hingga volume tidal 6 mL/kgBBPrediksi.
5. Laju napas diatur dengan target tercepainya
ventilasi semenit basal (<35x/menit).
6. Sesuiakan velume tidal dan laju napas agar
target pH: 7,300-7450
Tatalaksana asidosis : (pH < 7,30) Bila pH
7,150-,7,300:Naikan laju napas hingga pH
>7,300 atau PaCO2 < 25 ( laju napas maksimum
= 35 x/menit).
Bila pH < 7,150, volume tidal dapat dinaikan
sebesar 1 mL/kg sampai pH > 7,150
( Pplat 30 cmH2O boleh dilampaui ).
Tatalaksana alkalosis : (ph > 7,45) Turunkan laju
napas bila memungkinkan.
Target rasio I:E: Inspirasi ≤ ekspirasi target
oksigenasi: PaO2 55-80 mmHg atau SpO2 88-95
%. PEEP minimum 5 cmH2O. Pertimbangkan
untuk meningkatkan kombinasi FiO2/PEEP
seperti tabel di bawah ini untuk mencapai target.

PEEP lebih rendah / FiO2 lebih tinggi


FiO2 0,3 0,4 0,4 0,5 0,5 0,6 0,7 0,7
PEEP 5 5 8 8 10 10 10 12

FiO2 0,7 0,8 0,9 0,9 0,9 1,0


PEEP 14 14 14 16 18 18 – 24

PEEP lebih tinggi / FiO2 lebih rendah


FiO2 0,3 0,3 0,3 0,3 0,3 0,4 0,4 0,5
PEEP 5 8 10 12 14 10 10 12

FiO2 0,5 0,5 – 0,8 0,8 0,9 1,0 1,0


PEEP 5 5 8 8 10 10

Target tekanan plateau: ≤ 30 cmH2O periksa


Pplat ( 0,5 inspiratory Pause ) Sekurangnya 4
jam dan setiap setelah perubahan PEEP atau
volume tidal. Bila Pplat > 30 cmH2O : turunkan
volume tidal 1 mL/kg ( minimum 4 mL/kg )
Bila Pplat < 25 cmH2O dan volume tidal 1
mL/kg,naikan volume tidal 1 mL/kg hingga Pplat
.>25 cmH2O atau volume tidal = 6 mL/kg. Bila
Pplat < 30 dan tampak dis-sinkroni: tingkatkan
volume tidal 1 mL/kg hingga 7-8 mL/kg bila
Pplat tetap ≤ 30 cmH2O.

Tahap II : Penyapihan
A. Lakukan Uji Napas Spontan setiap
hari,ketika :
1. FiO2 ≤ 0,4 dan PEEP ≤ 8.
2. PEEP dan FiO2 ≤ dari nilai dihari
sebelumnya.
3. Pasien mengeluarkan usaha
bernapas spontan yang cukup.
( dengan cara mennurunkan laju
ventilator hingga 50% selama 5 menit
untuk mendeteksi usaha napas ).
4. Tekanan darah sistolik ≥ 90 mmHg
tanpa topangan vasopresor.
5. Tidak ada obat pelumpuh otot.

B. Uji Napas spontan :


Bila seluruh kriteria di atas terpenuhi,
mulai Uji Napas Spontan hingga 120
menit dengan FiO2 ≤ 0,5 dan PEEP ≤ 5 :
1. Pasangkan T-Piece, atau CPAP ≤ 5
cmH2O dengan PS ≤ 5.
2. Nilai toleransi pasien hingga 2 jam
dengan paramater :
a. SpO2 ≥ 90:dan/atau PaO2 ≥
60 mmHg
b. Volume tidal ≥ 4 mL/kgBB
prediksi.
c. Laju napas ≤ 35 x / manit.
d. pH ≥ 7,300
e. Tidak ada distres pernapasan
( distres = adanya 2 gejala
atau lebih) :
- Denyut Jantung > 120 % dari basal.
- Penggunaan otot napas aksesoris.
- Napas paradoks
- Diaforesis
- Tanda sesak napas.

3. Bila pasien tampak toleran selama 30


menit, pertimbangan ekstubasi.
4. Indentifikasi dan terapi penyebab /
kondisi yang menyebabkan terjadinya
ARDS. Bila penyebabnya adalah
pneumonia, maka diberikan terapi
antibiotika seseuai panduan dari
ATS/IDSA tentang CAP, HAP, Vap,
HCAP.
5. Mengembalikan dan
mempertahankan fungsi
hemodinamik, pemberian cairan
mengunkan strategi yang konservatif
dengan target, dan mengunakan
topangan vasopresor dan inotropik
sesuai target.
6. Pencegahan komplikasi pada
penyakit kritis, dengan cara
pemberian profilaksis ulkus lambung,
pencegahan emboli paru dan Deep
vein thrombosis pencegahan
ventilator associated pneumonia,
kontrol gula darah dan fungsi
metabolik dan pencegahan gagal
organ multipel.
7. Pemberian nutrisi yang cukup.
8. Sedasi kontinu atau sidasi berkala
harus diminimalisasi pada pasien
sepsis dengan ventilasi mekanik
dengan memakai target sedasi.
9. Pemakaian metilprednisolon dosis
rendah pada fase awal ARDS berat
dapat diberikan.
10. Pengunaan High Frequency
Oscillation Ventilation bila pasien
terintubasi dalam ventilator > 48 jam
dan; FiO2 > 0,6 dan tidak dapat
mempertahankan PaO2 > 65 mmHg
(PEEP > 15cmH2O) bila fasilitas
tersedia.
11. Pengguna Extra Corporeal
Membrane Oxygenation ( ECMO )
hanya di rumah sakit yang telah
berpengalaman. ECMO dapat
dipertimbangkan bila rasio
PaO2/FiO2 < 150 mmHg, dan ECMO
diindikasikan ketika PaO2/FiO2 < 80
mmHg. PaCO2 > 80 mmHg atau
tekanan plateau akhir inspirasi > 30
cmH2O juga dapat menjadi indikasi
ECMO pada pasien ARDS.
9. Edukasi Edukasi keluarga mengenai berbagai prosedur, resiko,
komplikasi dan morlitas.
10. Prognosis Ad Vitam : Dubia Ad Malam
Ad Sanationam : Dubia Ad Malam
Ad Fungsionam : Dubia Ad Malam

Mortilitas : ARDS ringan 27 %


ARDS sedang 32 %
ARDS berat 45 %
11. Tingkat Evidensi IV
12. Tingkat Rekomendasi B
13. Penelahan Kritis - Tim Perhimpunan Dokter Anestesiologi dan
terapi Insentif Indonesia.
- Tim Perhimpuanan Dokter Intensive Care
Indonesia.
14. Indikator Medis 80 % pasien dirawat selama 16 hari bila tanpa
komplikasi.
15. Kepustakaan 1. Acute Respiratory Distress Syndrome; the Berlin
definition, ARDS Definition Task Force, Ranieri
VM, Rubenfeld GD, Thompson BT, Ferguson
ND, Caldwell E, Fan E. JAMA. 2012 Jun 20;307
(23):2526-33.
2. Dellinger RP, Levy MM, Rhodes A et al:
Surviving Sepsis Campaign: International
guidelines for management of severe sepsis and
septic shock: 2012. Crit Care Med. 2013; 41:580-
637.
3. ARDS net.Protokol Ventilasi Mekanik.
Htpp://www.ardsnet.org/system/files/ventilator
%20
Protocol%20card.pdf Diunduh tanggal 15 oktober
2013.
4. Gurka DP, Balk RA, Acute respiratory failure. In:
Parillo Je, Dellinger RP. Cricital care
medicine:Principles of diagnosis and
management in the adult. 3rd ed. Philadelphia,
PA : Mosby Elsevier; 2008.P.773-89.
5. Meduri GU, Golden E, Freire AX, et al.
Methylprednisolone infusion in early severe
ARDS: results of a randomized controlled trial.
Chest 2007; 131954-63.
6. Intensive Care Prince of Wales Hospital. Clinical
Practice Guidelines HFOV.
Htpp://intensivecare,hsnet.nsw.gov.au/five/doc/P
OW/ventilation high frequency oscillation V pow
pdf.
7. Extracorporeal Life Support Organization. Patient
Specific guidelines: a supplement to the ELSO
general guidelines. April 2009: 15-19
(http://www.elso.med.umich.edu/WordForms/ELS
O% 20Pt%20Specifitc%20Guidelines.pdf).
PANDUAN PRAKTIK KLINIK (PPK)
PROSEDUR TINDAKAN SMF
ANATESIOLOGI DAN TERAPI INTENSIP
RSUD OKU TIMUR

SEPSIS BERAT DAN SYOK SEPSIS


ICD10 : R 65.2
1. Pengertian ( Definisi ) - Sepsis adalah disfungsi organ yang
mengancam jiwa akibat disregulasi respon
tubuh terhadap infeksi.
- Syok sepsis adalah bagian dari sepsis
dimana terjadi abnormalitas sirkulasi dan
metabolisme seluler yang dapat
meningkatkan mortalitas.
2. Anamnesis Tidak spesifik ditujukan untuk mencari sumber infeksi
dari organ yang terkena dan gangguan fungsi organ
terkait.
3. Pemeriksaan Fisik - Demam > 38,3° C atau hipotermia (suhu inti)
< 36 ° C
- Laju nadi ≥ 90 x / menit atau ≥ 2 x SD nilai
normal sesuai usia.
- Takhipnea
- Perubahan status mental

4. Kriteria Diagnosis SEPSIS


Kriteria klinis pasien dengan skor Sequential (sepsis-
Realated) Organ Failure Assesment (SOFA)
Skor SOFA ≥ 2 maka sudah tegak diagnosis sepsis
atau menggunakan skrining dengan metode quick
SOFA (qSOFA), qSOFA dinyatakan positip bila terdapat
2 dari 3kriteria. Jika qSOFA positip selanjutnya akan
dilakukan skoring dengan metode SOFA

SYOK SEPSIS
Adanya klinis sepsis dengan hipotensi menetap yang
membutuhkan vasopresor untuk mempertahankan MAP
≥65mmHg dan kadar laktat serum >2mmol/L (18mg/dl)
meskipun volume resusitasi memadai.

5. Diangnosis Banding Invasive Candidiasis


6. Pemeriksaan - Pemeriksaan Kultur dan Resistensi
Penunjang - Elektrolit ( Na, K, Ca, Mg, Cl ).
- Analisa gas darah arteri dan vena.
- Pemeriksaan PT,APTT,INR, D – Dimer,
Fibrinogen.
- Pemeriksaan Bilirubin total
- Pemeriksaan Foto Thorak
- Pemeriksaan EKG
- Pemeriksaan Urinalisis
- Pemeriksaan Prokalsitonin atau CRP
7. Terapi - Resusitation Bundle harus selesai dalam 3
jam.
1. Pengukuran kadar laktat.
2. Ambil kultur sebelum pemberian antibiotik.
3. Berikan antibiotik empirik spektrum luas
4. Berikan cairan kristaloid 30cc/kgBB pada
hipotensi atau laktat ≥ 4 mmol/L

- Syok Sepsis Bundle harus selesai dalam 6


jam.
1. Berikan vasopresor Norepineprin sebagai
first line (pada hipotensi yang tidak
memberikan respon terhada resusitasi
cairan awal) untuk mempertahankan
tekanan arteri rerata ≥ 65 mmHg.
2. Apabila tetap hipotensi walaupun telah
diberikan resusitasi cairan atau kadar
laktat awal ≥ 4 mmol/L
a. Pasang kateter vena sentral ( CVC )
b. Periksa resusitasi Oksigen dari CVC
(ScvO2).
c. Periksa ulang kadar laktat
( target ≥ CVP 8 – 12 mmHg/10 – 15
cmH2O, ScvO2 ≥ 70 % dan kadar
laktat normal dan TAR ≥ 65 mmHg).

- Terapi antimikroba harus diberikan dalam


satu jam setelah diagnosis
 Empirik anti infeksi satu atau lebih
yang mempunyai aktifitas terhadap
patogen ( bakteri dan/atau jamur atau
virus ) dan mengalami penetrasi
dengan konsentrasi yang adekuat
terhadap jaringan yang diduga sebagai
sumber infeksi.
 Pemberian antimikroba harus dinilai
ulang setiap hari untuk memungkinkan
dilakukan de-eskalasi.
 Pemeriksaan Prokalsitonin yang
rendah atau parameter lain yang sama
digunakan untuk menghentikan
antimikroba empirik,tapi tidak ada bukti
infeksi lain.
a. Terapi kombinasi diberikan pada
pasien netropeni dan pada pasien
yang susah diterapi, Infeksi MDR
seperti acinetobachter. Pada
pasien dengan infeksi berat dengan
gagal nafas dan syok bisa diberikan
kombinasi beta laktam spectrum
luas dengan aminoglikosida atau
fluoroquinolon untuk P.aeruginosa.
kombinasi beta laktam dengan
makrolid diberikan pada infeksi
Streptococcus pneumoniae.
b. Terapi kombinasi empirik tidak
boleh diberikan lebih dari 3-5 hari.
De-eskalasi dilakukan segera
setelah diketahui kuman penyebab.
c. Lama pemberian 7-10 hari,
pemberian lebih lama bisa
diberikan pada pasien dengan
respon klinis yang lambat, tidak
dipasang drainage dari sumber
infeksi atau bakteriemi dengan
S.aureus,infeksi jamur dan virus
atau defisiensi imun termasuk
netropeni.
d. Terapi antivirus harus dimulai
sedini mungkin pada pasien
dengan syok sepsis atau sepsis
berat pada daerah endemik virus.

- Kontrol Sumber Infeksi.


 Apabila diketahui ada sumber infeksi,
maka harus dilakukan kontrol dalam 12
jam setelah di diagnosis.
 Bila kontrol sumber infeksi harus
dilakukan sebaiknya sefisiologis
mungkin yaitu dengan pemasangan
drainage perkutaneus dari pada
tindakan bedah.
 Apabila dicurigai akses IV sebagai
sumber infeksi, harus dicabut setelah
bisa dipasang akses IV lain.

- Pencegahan Infeksi.
a. Dekontaminasi oral selektif atau
dekontaminasi digestif harus dimulai
dan diduga sebagi metode untuk
mengurangi insidensi VAP.
b. Untuk dekontaminasi orofaringeal
digunakan chlorhexidine untuk
mengurangi risiko VAP.

- Support Hemodinamik dan Terapi


penunjang Terapi Cairan:
 Kristaloid
 Albumin 5 %
 Resusitasi cairan pada pasien dengan
gejala hipoperfusi dengan curiga
hipovolemia diberikan minimal 30
ml/kg BB kristaloid ( albumin dengan
dosis ekivalen ). Pada beberapa
pasien memerlukan pemberian yang
lebih banyak dan lebih cepat.

- Vasopresor.
 Terapi vasopresor awal untuk
mencapai MAP ≥ 65 mmHg
 Pilih utama adalah Norepinefrin.
 Vasopresin 0,03 U/menit dapat
ditambahkan pada norepinefrin, untuk
lebih meningkatkan tekanan darah
atau untuk menurunkan dosis
norepinefrin.
 Dosis rendah vasopressin tidak
dianjurkan sebagai vasopresor awal
tunggal.
 Dopamin dapat digunakan sebagai
alternatif pada beberapa pasien ( misal
pada pasien dengan risiko rendah
untuk mengalami takhiaritmia dan
absolut atau relatif bradikardi ).
 Dosis rendah dopamine tidak boleh
diberikan untuk proteksi ginjal.
 Semua pasiennyang diberikan
vasopresor harus dipasang kateter
urin.

- Terapi Inotropik.
 Dobutamin bisa diberikan sampai dosis
20 mg/kgBB/menit bila diduga ada :
a. Disfungsi miokard, peningkatan
tekanan pengisian jantung, isi
sekuncup rendah.
b. Apabila gejala hipoperfusi menetap
walaupun CVP dan TAR sudah
tercapai.

- Kortikosteroid
 Apabila pemberian cairan dan
vasopresor sudah bisa memperbaiki
hemodinamik, tidak usah diberikan
hidrokortison. Apabila tidak bisa
tercapai bisa diberikan hidrokortison
dosis 200 mg/hari kontinu intravena.
 Hidrokortison tidak usah diberikan
apabila tidak ada syok sepsis.
 Gunakan secara kontinu.

- Terapi Suportif lain


Pemberian Produk Darah.
 Bila tidak ada iskemia miokard,
hipoksemia berat, perdarahan akut,
maka pemberian transfusi hanya
diberikan bila Hb < 7 gr/dL dengan
target 7 – 8 gr/dl pada dewasa.
 FFP tidak boleh diberikan untuk
memperbaiki faktor koagulasi kecuali
ada perdarahan.
 Pemberian profilaksis platelet hanya
diberikan bila < 10.000/mm³
(Walaupun tidak ada perdarahan). Bila
pasien mempunyai resiko perdarahan
disarankan diberikan tranfusi platelet
bila kadarnya < 20.000mm³. Pada
perdarahan aktif atau akan dilakukan
prosedur invasif disarankan diberikan
tranfusi platelet untuk mencapai kadar
≥ 50.000/mm³.

- Ventilasi Mekanik pada ARDS Akibat


Sepsis.
 Target volume tidal 6 ml/kgBB prediksi
pada ARDS akibat sepsis.
 Tekanan plateau ≤ 30 mmH2O.
 Gunakan PEEP mencegah kolaps
alveoli.
 Gunakan strategi PEEP tinggi
dibandingkan PEEP rendah.
 Recruitment maneuver digunakan
pada hipoksemia berat refrakter.
 Pada pasien dengan ventelasi mekanik
kepala tempat tidur harus dinaikan 30 -
45° untuk mencegah risiko aspirasi
dan VAP.
 Penggunaan NIV harus
dipertimbangkan resikonya.
 Protokol penyepihan dengan
spontaneous Breathing Tria (SBT)
harus dilakukan secara reguler untuk
evaluasi kemampuan untuk dilepas
dari ventilasi mekanik, bila memenuhi
kreteria :a. Sadar, b. Hemodinamik
stabil ( tanpa vasopresor ), c. Tidak
ada kondisi serius baru. d. Kebutuhan
ventilasi dan PEEP rendah,
e. Kebutuhan FiO2 rendah, dapat
diberikan dengan kanula nasal atau
sangkup muka. Bila SBT berhasil
lakukan ekstubasi.
 Strategi pemberian cairan konservatif
dibandingkan liberal pada pasien tanpa
tanda – tanda hipoperfusi.
 Bila tidak ada indikasi spesifik jangan
diberikan ß -2 agonis.

- Sedasi, Analgesi dan pelumpuh otot pada


sepsis.
 Pemberian sedasi kontinu atau
intermiten pada pasien dengan
ventilasi mekanik harus diminimalkan
dengan target tertentu.
 Pelumpuh otot sebaiknya dihindarkan
pada pasien dengan ventilasi mekanik.
Bila diperlukan pemberian intermiten
atau kontinu harus diberikan dengan
monitor train-of-four untuk monitor
kedalaman blokade.
 Penggunaan pelumpuh otot tidak boleh
> 48 jam.

- Kontrol Glukosa
 Protokol pengelolaan gula darah di
ICU dilakukan bila pada 2 kali
pemerksaan kadar gula darah > 180
gr/dL. Target gula darah ≤ 180 gr/dL.
 Pemeriksaan gula darah dilakukan
1 – 2 jam sampai gula darah stabil,
kemudian dilakukan setiap 4 jam.
 Hati – hati apabila mengunakan
pemeriksaan gula darah kapiler,
karena bisa tidak akurat.

- Terapi Renal Pengganti ( Renal


Replacement Therapy ).
 CRRT dan IHD bisa dilakukan pada
sepsis berat dengan hemodinamik
stabil.
 Bila hemodinamik tidak stabil harus
digunakan CRRT.

- Terapi Bikarbonat.
 Jangan menggunakan bikarbonat
untuk memperbaiki hemodinamik atau
untuk mengurangi vasopresor pada
pasien hipoperfusi akibat laktatemia
dengan pH ≥ 7,15

- Profilaksis DVT ( Depp Vein Thorombosis )


 Pemberian 1 x/hari LMWH lebih baik
dibandingkan dengan 2 x/hari UFH.
 Kalau klirens kreatinin < 30 mL/menit,
gunakan LMWH lain dengan
metabolisme ginjal yang rendah.
 Bila memungkinkan diberikan
kombinasi dengan intermitten
pneumatic compression.
 Bila pasien dengan kontraindikasi
dengan heparin (misal pada pasien
trombositopeni, koagulopati berat,
perdarahan aktif, perdarahan
intraserebral) gunakan terapi mekanik
profilaksis seperti stocking atau
intermitten pneumatic compression,
kecuali ada kontraindikasi.

- Profilaksis Ulkus Stres


 Anti Histamin-2 (AH-2) atau proton
pump inhibator (PPI) diberikan pada
pasien dengan resiko perdarahan.
 PPI lebih baik dibandingkan AH-2
 Pasien tanpa faktor resiko tidak usah
diberikan profilaksis.

- Nutrisi
 Pemberian oral atau enteral lebih baik
daripada puasa atau pemberian IV
glukosa selama 48 jam pertama
setelah diagnosis.
 Hindarkan pemberian kalori penuh
pada minggu pertama 20-
25kkal/KgBB, bila toleransi baik bisa
ditingkatkan.
 Gunakan IV glukosa dan enteral nutrisi
dari pada TPN atau PN untuk
menambah enteral nutrisi dalam 7 hari
pertama setelah diagnosis
 Jangan memberikan immunomodulasi
spesifik.
8. Edukasi - Penjelasan kepada keluarga pasien mengenai
resiko gagal multi organ dan mortalitas yang tinggi
pada pasien sepsis berat.
- Penjelasan tentang pentingnya pencegahan
infeksi.
9. Prognosis Ad Vitam : Dubia
Ad Sanationam : Dubia
Ad Fungsionam : Dubia
10. Tingkat Evidensi IV
11. Tingkat Rekomendasi B
12. Penelahan Kritis - Tim Perhimpunan Dokter Anestesiologi dan
terapi Insentif Indonesia.
- Tim Perhimpuanan Dokter Intensive Care
Indonesia.
13. Indikator Medis 50 % pasien dirawat di ICU selama 10 – 15 hari.
14. Kepustakaan Dellinger RP, Levy MM, Rhodes A etal. Surviving
Sepsis Campaign: Internasional Guidelines for
Management of severe sepsis and septic shock:2012.
Crit Care Med,2013;41(2):580-637.
PERDICI: Penatalaksanaan Sepsis dan syok sepsis
optimalisasi FASTHUGSBID :2017

PANDUAN PRAKTIK KLINIK (PPK)


PROSEDUR TINDAKAN SMF
ANATESIOLOGI DAN TERAPI INTENSIP
RSUD OKU TIMUR

CEDERA KEPALA
ICD-10 : S 09
1. Pengertian ( Definisi ) Adanya disfungsi otak akibat pengaruh eksternal.
2. Anamnesis Terdapat riwayat trauma yang diikuti tanda – tanda
penurunan fungsi otak ( antara lain : sakit kepala,
kejang, kelemahan satu/dua sisi tubuh, penurunan daya
ingat, penurunan kemampuan berpikir, ganguan
metabolik, gangguan pernapasan, penurunan
kesadaran ).
3. Pemeriksaan Fisiki - Dengan/tanpa jelas.
- Kesadran menurun ( Lihat PPK penilaian
kesadaran ).
- Tanda vital bervariasi ( Lihat PPK penilaian
tanda vital ).
- Terdapat lateralisasi ( Lihat PPK penilaian
fungsi otak ).
- Penurunan fungsi otak lainnya ( Lihat PPK
penilaian fungsi otak ).
4. Kreteria Diagnosis Adanya gejala klinis penurunan fungsi otak pasca
trauma disertai gambaran abnormal CT scan/MRI
kepala (lihat prosedur CT scan kepala, MRI kepala)
5. Diagnosis Cedera Kepala
6. Diangnosis Banding Cedera kepala non traumatic
7. Pemeriksaan Pemeriksaan laboraturium awal bisa menunjukkan nilai
Penunjang normal.
Gambaran abnormal dari CT scan kepala atau MRI
kepala
8. Terapi 1. Intubasi endotrakeal mutlak dilakukan pada
pasien dengan GCS ≤ 8, ( lihat prosedur intubasi
endotrakea).
2. Pada pasien dengan GCS ≥ 8, intubasi
endotrakeal dilakukan bila terdapat insufisiensi
pernapasan akibat cedera kepala.
3. Hindari hipoksia dan peningkatan beban kerja
pernapasan dengan mengunakan ventilasi
mekanik. Pengaturan ventilasi mekanik.
Pengaturan ventilasi mekanik disesuaikan
dengan target PaO2 ≥ 100 mmHg,PaCO2 35-45
mmHg, SpO2> 90 % (lihat prosedur ventilasi
mekanik, pneumonia, ARDS).
4. Hindari hipotensi (MAP < 90 mmHg, TD sistolik <
100 mmHg). Status normovolemia dicapai
dengan menggunakan kristaloid (NacL 0,9 %
ringer laktat). Koloid sintetik dengan target
tekanan vena sentral (CVP) 7 - 12 cmH2O. (lihat
prosedur tekanan vena sentral)
5. Pada pasien yang anemis, berikan transfusi sel
darah merah (packed red blood cells) dengan
target hematokrit (Hct) 30 %. (Lihat preosedur
transfusi)
6. Pada hipotensi refrakter setelah pemberian
cairan yang adekuat, gunakan dopamine atau
norepinefrin.
7. Target tekanan intrakranial ( TIK / intracranial
pressure ) 20-25 mmHg, target tekanan perfusi
serebral ( cerebral perfusion pressure ) 60-70
mmHg. ( Lihat prosedur monitoring TIK ).
8. Bila ada peningkatan TIK, tatalaksana sesuai
algoritme terlampir, ( Lihat lampiran algoritme
peningkatan TIK )
9. Lakukan pemeriksaan laboraturium ( darah
perifer lengkap, fungsi hemostasis, analisa gas
darah, elektrolit darah, gula darah, protein darah,
fungsi hati, dan lain-lain ) secara berkala. ( Lihat
prosedur pemeriksaan laboraturium )
10.Lakukan pemeriksaan penunjang radiologi
berkala ( Rontgen dada, CT scan/MRI kepala )
(Lihat prosedur rontgen dada, CT scan
kepala,MRI kepala)
11.Lakukan FAST HUG :
- Feeding : berikan nutrisi enteral sesegera
mungkin ( Lihat prosedur nutrisi enteral ).
- Analgesia : Gunakan analgetik yang sesuai
( morfin, fantanyl, non narkotika )
( lihatprosedur analgesia di ICU ).
- Sedation : berikan cukup sedasi untuk
menghindari peningkatan TIK ( Lihat
prosedur sedasi di ICU ).
- Thromboembolic prophylaxis : intermittent
compression pneumatic stocking, heparin dan
turunnya, fisioterapi. (Lihat prosedur
thromboembolic prophylaxis).
- Head of bed elevation : letakkan pasien
dengan posisi kepala naik 30-40°
- Stress ulcer prophylaxis : antagonis sebagian
reseptor H2, penghambat pompa proton
( Lihat prosedur pencegahan stress ulcer ).
- Glucose control : kadar gula darah
dipertahankan stabil dengan target ≤ 180 g/dL
(Lihat prosedur regulasi kadar gula darah)

9. Edukasi 1. Edukasi keluarga mengenai kondisi pasien.


2. Edukasi keluarga mengenai rencana tindakan
semasa perawatan.
3. Edukasi keluarga mengenai perkiraan lama
perawatan.
4. Edukasi keluarga mengenai kemungkinan
komplikasi selama perawatan.
5. Edukasi keluarga mengenai prognosis pasien.
10. Prognosis Insiden kematian, kondisi vegetatif, cacat permanen :
- > 60 tahun : 92 %
- > 56 tahun : 86 %
- < 50 tahun : 50 %
Prognosis diperkirakan berdasarkan status APACHE
score II dan/atau SOFA score ( Lihat PPK APACHE
score, SOFA score )
11. Tingkat Evidensi IV
12. Tingkat Rekomendasi A
13. Penelahan Kritis - Tim Perhimpunan Dokter Anestesiologi dan
terapi Insentif Indonesia.
- Tim Perhimpuanan Dokter Intensive Care
Indonesia.
14. Indikator Medis 60 % pasien dirawat selama 10 hari.
30 % pasien dirawat selama 14 hari.
10 % pasien dirawat selama > 14 hari.
15. Kepustakaan 1. Torbey MT ed. Neurocritical care. Cambridge
Univ. Press.
2. Cohen MS, Marion DW : Traumatic brain injury.
Di Fink MP, Abraham E, Vincent JL, Kochanek
PM : Textbook of critical care 5th ed.
3. Guidelines for the Management of severe
traumatic brain injury 3 rd ed.
PANDUAN PRAKTIK KLINIK (PPK)
PROSEDUR TINDAKAN SMF
ANATESIOLOGI DAN TERAPI INTENSIP
RSUD OKU TIMUR

EKLAMPSI DAN PREEKLAMPSI


ICD-014. 13
1. Pengertian ( Definisi ) Preeklampsi Berat adalah keadaan terjadinya
peningkatan tekanan darah ≥ 160/110 mmHg.
Proteinuria ≥ 5 gr/24 jam disertai gangguan visus, sakit
kepala, penurunan kesadaraan, epigastric pain. Edema
paru, olguria < 500 ml/24 jam dan disebut eklampsi bila
disertai kejang dengan atau tanpa koma pada
kehamilan > 20 minggu atau setelah melahirkan tanpa
adanya defisit neurologis.
2. Anamnesis Riwayat penyakit atau keluhan :
- Adanya hipertensi sebelum dan selama
kehamilan.
- Adanya riwayat keluarga dengan hipertensi
dan penyakit yang sama.
- Adanya tanda klinis : sakit kepal, gangguan
pengelihatan, edema paru, penurunan
kesadaran, sesak nyeri ulu hati, Kelemahan
tubuh.
- Adanya kejang dengan atau tanpa koma.
3. Pemeriksaan Fisiki a. Hamil ≥ 20 minggu
b. Kesadaran : menurun disertai atau tanpa kejang.
c. Tekanan darah : ≥ 160 / 110 mmHg.
d. Dyspnoe.
e. Cyanosis
4. Kreteria Diagnosis a. Anamnesis
b. Pemeriksaan Fisik
c. Pemeriksaan penunjang ( Laboraturium,
Radiologi ).
5. Diagnosis Preeklampsi Berat/Eklampsi
6. Diangnosis Banding a. Kejang :
- CVA
- Hypertensive Encephalopathy.
- Infeksi otak ( meningitis,Ensefalitis,Abses).
- Thrombotic trombocytopenia purpura.
- Gangguan metabolik.
- Epilepsi
- Tumor Otak
- Posterior reversible encephalopathy
syndrome.
- Penggunaan obat-obatan.
b. Nyeri Perut / Epigastric :
- Abruptio Plancentae
- Acute appendicitis
- Blunt abdominal trauma.
- Aneurisma abdomen.
- Kista Ovarium terplintir.
7. Pemeriksaan Laboraturium :
Penunjang - proteinuria≥ 5 gr dalam urine 24 jam
- HELP Sindrome( hemolisysis,Elevated,Liver
Enzimes,low Plateles)
- Trombosit< 100.000/mm
- Peningkatan LDH (Latic Acid
Dehydrogenase ) > 600IU/I
- Peningkatn Creatinin
- AST,ALT Meningkat 2x normal 200-700 IU/I
- Peningkatan Uric acid > 6mg/dl
8. Terapi 1. Penanganan Tekanan Darah > 160/110 Dengan
target penurunan 15-25 %, Sekitar
140/90.Diberikan Obat-obat :
- Nicardipin titrasi mulai dosis 0, 15 ug/kg/jam.
- Nitroglycerin 10-100 mg/ menit
- Diltiazem dosis 0, 15 ug/kg/jam

2. Penanganan kejang :
- Bolus 4- 6 gr dalam 2 menit, dilanjutkan 1 – 2
gr/jam
- Monitor toxicity, terepetik level : 5 – 8 mg/DI
- Dapat Diberikan 2gr/IV bila Kejang timbul lagi.
- MgSO4 Dihentikan 24 jam setelah partus
- Bila Masih Kejang, Dapat di berikan
Diasepam atau Propofol dan dilakukan
penanganan jalan nafas (intubasi + control)

3. Penanganan HELP syndrome :


- Terminsi kehamilan bila sudah > 34 mg,dapat
secara normal atau sectio caecar
- Bila masih >34 mg dapat di berikan untuk
pemberian Bethamethason 12mg/24 jam /IM
sebanyak 2x Terminasi Kehamilan dilakukan
setelah 24 jam pemberian Bethamethason
terkhir
- Bila trombosit < 20.000 lakukan tranfusi
trombosit

4. Penanganan endema paru


- Berikan furosemide 20-40 mg/IV, Dapat di
berikan lagi setelah 20 menit.
- Monitor Balans cairan, pemasangan catheter
ven central dapat membantu menghitung
meskipun secara kasar .
- Dapat dilakukan tindakan intubasi dan
bantuan ventilasi mekanis bila edema paru
tetap ada dan pasien mengalami gawat/gagal
nafas .

5. Pemantauan lebih pada penanganan hipertensi,


fungsi ginjal, adanya koagulapati.
9. Edukasi Edukasi keluarga mengenai risiko dan komplikasi.
10. Prognosis Ad Vitam : Dubia Ad Malam
Ad Sanationam : Dubia Ad Malam
Ad Fungsionam : Dubia Ad Malam
11. Tingkat Evidensi IV
12. Tingkat Rekomendasi C
13. Penelahan Kritis - Tim Perhimpunan Dokter Anestesiologi dan
terapi Insentif Indonesia.
- Tim Perhimpuanan Dokter Intensive Care
Indonesia.
14. Indikator Medis 80 % pasien dirawat selama 3 – 7 hari.
15. Kepustakaan 1. Chawla R, Nasa P, Chawla R. Severe
Preeclampsia. In : ICU Protocols : A Stepwise
Appoach. India : Springer India. 2012. Pp.599 –
605.
2. David R, Gambling M. Hypertensive Disorders. In
Chesnut Obstetric Anesthesia : Principles and
Practice.3rd ed.Mosby. Inc. 2004, PP.825 – 827 .
3. Varelmann Dj.Obstetric Critical Care. In : Pocket
ICU. Philadelphia. Lipincott Williams & Wilkins.
2013 : 33:1 – 3.
4. I Gouviea, C Costa et al, Pre eclampsia in the
intensive care unit : Indicators of severity and
hospital outcome, Critical Care 2005, 9 (suppl 1)
P 216.

PANDUAN PRAKTIK KLINIK (PPK)


PROSEDUR TINDAKAN SMF
ANATESIOLOGI DAN TERAPI INTENSIP
RSUD OKU TIMUR

GANGGUAN ELEKTROLIT YANG MENGANCAM NYAWA


ICD-10. E 87.8
1. Pengertian ( Definisi ) - Gangguan elektrolit adalah nilai elektrolit
dalam serum yang melebihi atau
kuangdarinilai normal.
- Gangguan elektrolit yang mengancam nyawa
adalah gangguan elektrolit yang dapat
mengganggu fungsi jantung.
- Aritmia jantung hingga mengakibatkan henti
jantung dan/atau mempengaruhi kesadaran.
- Hiperkalemia adalah konsentrasi kalium
serum melebihi 5.5 mEq/L.
- Hiperkalemia ringan adalah konsentrasi
kalium serum 5.5 – 5.9 mEq/L.
- Hiperkalemia sedang adalah konsentrasi
kalium serum 6.0 – 6.4 mEq/L.
- Hiperkalemia berat adalah konsentrasi kalium
serum ≥ 6.5 mEq/L.
- Hipokalemia adalah konsentrasi kalium serum
kurang dari 3.5 mEq/L.
- Hipokalemia berat adalah konsentrasi serum
< 2.5 mEq/L.
- Hipernatremia adalah konsentrasi natrium
serum melebihi 145 mEq/L.
- Hiponatremia adalah konsentrasi natrium
serum kurang dari 135 mEq/L.
- Hiponatremia berat adalah konsentrasi
natrium serum < 120 mEq/L.
- Hipercalcemia adalah konsentrasi kalsium
serum melebihi 10,5 mg/dL (2.5 mmol/L) atau
ion kalsium melebihi 5.6 m.g/dL. (1.4 mmol/L)
- Krisis hiperkalsemia adalah konsentrasi
kalsium serum melebihi 14 mg/dL
(3,5 mmol/L) atau ion kalsium melebihi 10
mg/dL (2,5 mmol/L).
- Hipocalcemia adalah konsentrasi kalsium
serum kurang dari 8 mg/dL (2.1 mmol/L) ion
kalsium kurang dari 4.2 mg/dL.(1.1 mmol/L).
- Hipermagnesemia adalah konsentrasi
magnesium serum melebihi 2.2 mEq/L.
(1.1 mmol/L).
- Hipomagnesemia adalah konsentrasi
magnesium serum kurang dari 1.3 mEq/L
( 0.6 mmol/L )
2. Anamnesis Hiperkalemia :
Lemas, paralisis, parestesia, gagal ginjal, pemakaian
obat ACE-I, angiotensin II receptor antagonist, diuretik
yang hemat kalium, NSAID, beta bloker.

Hipokalemia :
Diare, riwayat pemakian obat diuretik, laxatif, steroid,
low intake.
Lemas, fatigue, kram kaki, konstipasi, paralisis hingga
sulit bernapas.

Hipernatremia :
Haus, demam, gangguan kesadaran.

Hiponatremia :
Mual, muntah, sakit kepala, diplopia
Riwayat pemakaian thuazide diuretic, gagal ginjal,
operasi tumor otak, trauma kepala.

Hiperkalsemia :
Batu ginjal, artritis, mual, muntah, anoreksia, konstipasi,
nyeri abdomen, gangguan konsentransi dan daya ingat,
confusion, stupor, coma, letargi, fatigue, lemas, gatal,
keratitis.
Riwayat hiperparatiroid, gagal ginjal kronik, keganasan,
pemakaian diuretic thiazide, hipertiroid.
Hipokalsemia :
Riwayat hipooarateroid pasca op atau gagal ginjal
kronik.

Hipermagnesemia :
Riwayat gagal ginjal, pemberian MgSO4.

Hipomagnesemia:
Diare, polyuria, kelaparan, alcoholisrn, malabasorpsi.
3. Pemeriksaan Fisiki Hiperkalemia :
Paralisis flaccid, reflex tendon menurun, aritmia

Hipokalemia :
Ascending paralysis, aritmia.

Hipernatremia :
Demam, deficit neorologis focal, kejang, hiperventilasi.

Hiponatremia :
Kejang, koma.

Hipercalcemia :
Hipertensi, Peptic ulcer.

Hipocalcemia :
Hiperreflexia, Chovstek dan Trousseau sign, parestesia
ekstremitas dan wajah, kram otot, tetani, kejang, papill
edema, gejala extrapyramidal, diaphoresis, hipotensi,
gagal jantung kongestif.

Hipermagnesemia :
Confusion, depresinapas, cardiac arrest

Hipomagnesemia :
Tremor, ataxia, nistagmus, aritmia.
4. Kreteria Diagnosis 1. Konsentrasi kalium serum melebihi 5.5 mEq/L
disertai gangguan irama jantung.
2. Konsentrasi kalium serum ≥ 6.5 mEq/L dengan
atau tanpa gangguan irama jantung.
3. Konsentrasi kalium serum < 2.5 mEq/L disertai
gangguan irama jantung malignan.
4. Konsentrasi kalium serum melebihi 145 mEq/L
atau konsentrasi natrium serum < 120 mEq/L
yang disertai gangguan kesadaran, kejang.
5. Konsentrasi kalium > 14 mEq/L ( > 3.5 mmol/L ).
6. Konsentrasi kalium serum < 8 mEq/L ( 2.1
mmol/L) atau ion kalsium < 4.4 mg/dL (1.1
mmol/L).
7. Konsentrasi magnesium serum melebihi 2.2
mEq/L ( 1.1 mmol/L ).
8. Hipomagnesemia adalah Konsentras magnesium
serum kurang dari 1.3 mEq/L ( 0.6 mmol/L ).
5. Diagnosis - HIPERKALEMIA BERAT
- HIPOKALEMIA BERAT
- HIPERNATREMIA BERAT
- HIPONATREMIA BERAT
- HIPERMAGNESEMIA BERAT
- HIPOMAGNESEMIA BERAT
- KRISIS HIPERCALCEMIA
- HIPOCALCEMIA AKUT
6. Diangnosis Banding Tidak Ada
7. Pemeriksaan - Pemeriksaan elektrolit serum natrium, kalium,
Penunjang magnesium, kalsium, dan/atau kalsium ion.
- Gula darah.
- Urinalisa, elektrolit urin ( natrium ). Glukosa
urin.
- Fungsi ginjal ( ureum dan kreatinin )

EKG
Hiperkalemia :
- Blok derajat 1 ( PR interval memanjang > 0.2
detik ).
- Gelombang P hilang/flat.
- Gelombang T tinggi (peaked/tented) (Gel T
lebih besar dari gelombang R pada lebih dari
1 lead).
- ST depresi.
- Gelombang S dan T menyatu (sine wave
pattern)
- QRS melebar (>.012 detik)
- Takikardia ventricular.
- Bradikardia.

Hipokalemia :
- Gelombang U
- Gelombang T flat.
- Perubahan ST
- Aritmia
(terutama bila pasien mengkomsumsi
digoksin).
- Cardiopulmonary arrest (PEA, Pulseless
VT/VF, asystole).

Hipokalsemia :
- Prolonged QT interval
- Terminal T wave inversion.
- AV Blok
- Fibrilasi ventrikel

Hipermagnesemia :
- Prolonged PR dan QT interval
- Gelombang T peaking.
- AV blok
- Cardiac arrest.

Hipomagnesemia :
- Prolonged PR dan QT interval.
- ST depresi
- Gelombang T inversion
- Gelombang P flat.
- Torade de pointes.
- Durasi QRS meningkat.

Analisa gas darah


8. Terapi Hiperkalemia berat :
1. Bolus calcium glukonas 10% 10 ml ( jika ada
gangguan gambaran EKG ).
2. Glucose plus insulin – 25 g glucose dan 10 U
regular insulin berikan IV dalam 15 – 30 menit.
3. Nebulized salbutamol 5 mg nebulized selama 15
minutes.
4. Furosemide iv 40 – 80 mg
5. Pemberian bikarbonat 50 mEq dalam 5 menit
bila asidosis berat.
6. Dialysis.

Hipokalemia :
1. Pemberian K + is 10 mEq/jam melalui jalur iv per
iv atau 20 mEq/jam melalui jalur iv central
venous catheter dengan ECG monitoring.
2. Hentikan obat yang mengakibatkan hipokalemia.
3. Koreksi hipomagnesemia.

Hipernetremia :
1. Bila hipernatremia akut atau simtomatik berat
berikan cairan hipotonik.
2. Bila pasein hipovolemia dengan hemodinamik
terganggu, berikan cairan isotonic untuk
memperbaiki status volume. Setelah
hemodinamik stabil berikan cairan hipotonik iv
(Nacl 0,4% atau Dextrose 5 %).
3. Koreksi maksimal 12 mEq/L dalam 24 jam.
4. Akut hypernatremia dapat dikoreksi lebih cepat
diawal (1-2 mEq/L/Jam). Kenaikan 5 mEq/L
sudah memperbaiki gejala.

Hiponatremia :
1. Bila hiponatermia akut atau simtomatik berat
berikan Nacl hipertonik (NaCl 3 %) 1mEq/L/jam
hingga gejala neurologis hilang setelah itu
kecepatan koreksi 0,5 mEq/L/Jam
2. Koreksi maksimal 12 mEq/L dalam 24 jam
pertama.
3. Bila SIADH restriksi cairan 50-66 % dari
kebutuhan cairan.

Adrogen Medias Formula

Perubahan Na = ( Na infus + K Infus ) – serum Na


Total Body Water + 1

Total body water 0.6 x berat badan untuk laki-laki dan


0.5 x berat badan untuk perempuan.

Krisis Hiperkalsemia :
1. Hidrasi dengan normal saline target urin output
200 ml/jam.
2. Bila volume intra vascular telah tercukupi dapat
diberikan furosemide.
3. Calcitonin 4-8 IU per kg IM tiap 6 jam selama 24
jam.
4. Bila akibat keganasan berikan hidrokortison 200
mg IV selama 3 hari.
5. Pasien gagal ginjal atau gagal jantung diterapi
dengan dialysis.

Hipokalsemia akut dan simtomatik.


1. Calcium gluconas 10 % 10-20 ml IV dilarutkan
dalam dextrose 5 % diberikan selama 10 menit
dengan monitor EKG.
2. 10 ampul calcium gluconas 10 % 10 ML
dilarutkan dalam 1 liter detrose 5 % diberikan 50
ml/jam untuk mencegah hipocalcemia berulang.
3. Koreksi hipomagnesemia.

Hipermagnesemia :
1. Calcium gluconas 10% 10 ml
2. Suport ventilator
3. NaCl 0.9 % dan furosemide IV
4. Dialysis.

Hipomagnesemia :
1. 2 g MgSO4 50 % iv diberikan selama 15 menit.
2. Bila Torsade de pointes 2 g MgSO4 iv selama
1 – 2 menit.
3. Bila kejang 2 g MgSO4 selama 10 menit
9. Edukasi Edukasi keluarga mengenai risiko dan komplikasi.
10. Prognosis Ad Vitam : Dubia Ad Malam
Ad Sanationam : Dubia Ad Malam
Ad Fungsionam : Dubia Ad Malam
11. Tingkat Evidensi IV
12. Tingkat Rekomendasi C
13. Penelahan Kritis - Tim Perhimpunan Dokter Anestesiologi dan
terapi Insentif Indonesia.
- Tim Perhimpuanan Dokter Intensive Care
Indonesia.
14. Indikator Medis 80 % pasien dirawat selama 4 – 7 hari.
15. Kepustakaan 1. European Resuscitation Council Guidelines for
Rescucitation 2010, Section 8. Cardiac arrest in
special scircumstances: Electrolyte abnormalities
poisoning, drowning, accidental hypothermia.
Hyperthermia, asthma, anaphylaxis, cardiac
surgery, trauma, pregnancy, electrocution.
2. Life Thereatening electrolyte abnormalities.
Ciruculatioion 2005: 112:IV-121-IV-125.
3. A Practical approach to Hypercalcemia. Amirican
family Physucian.2003; 67; 9: 1959 – 1966.
4. Diagnosis and management of Hypocalcemia
BMJ 2008; 336: 1298 – 302.

PANDUAN PRAKTIK KLINIK (PPK)


PROSEDUR TINDAKAN SMF
ANATESIOLOGI DAN TERAPI INTENSIP
RSUD OKU TIMUR

SYOK HIPOVOLEMIK
ICD-10. R 57.1
1. Pengertian ( Definisi ) Syok adalah hipotensi yang berhubungan dengan
hipoperfusi ( aliran darah organ yang tidak memadaim ).
Sehingga hantaran oksigen tingkat seluler terganggu.
2. Anamnesis Diare, perdarahan, buang air kecil yang berlebihan,
dehidrasi, luka bakar luas, pankreatitis.
3. Pemeriksaan Fisiki Kesadaran menurun, lemah.
KV : TD < 90 mmHg ( MAP < 60 mmHg, penurunan >
40% TD sistolik dari TD sistolik sehari – hari).
 Nadi : Cepat dan Lemah.
 Paru : Normal atau ada tanda-tanda
pneumothorak atau hematothorax.
 Abdomen : bisa ada kelanian sesuai asal
penyakit produksi urin menurun.
 Ekstremitas : Dingin.
4. Kreteria Diagnosis Tekanan darah sistolik < 90 mmHg, tekanan arteri rata-
rata < 60 mmHg atau hipotensi yang signifikan apabila
terjadi penurunan tekanan darah sistolik > 40 mmHg
dari tekanan sehari-hari.
5. Diagnosis Syok Hipovolemik
6. Diangnosis Banding 1. Syok Kardiogenik.
2. Syok Distributive.
3. Syok Obstruktif.
7. Pemeriksaan 1. Lab : Hemaglobin, Hematokrit, AGD, Elektrolit,
Penunjang ureum/kreatinin, Gula darah sewaktu.
2. Penunjang lainnya : Fhoto thoraks, USG
abdomen.
8. Terapi Kristaloid ( Ringrer Laktat, Natrium Klorida 0.9% ).
Koloid ( gelatin, Hydroxyethyl starches ).
Produk darah (PRC,FFP).
Obat-obatan ( dosis titrasi )
Norepinephrine.
Epinephine.
Dopamin.
9. Edukasi Resiko terjadi gagal resusitasi dan terjadi gangguan
organ yang lain.
10. Prognosis Ad Vitam : Dubia Ad Malam
Ad Sanationam : Dubia Ad Malam
Ad Fungsionam : Dubia Ad Malam
11. Tingkat Evidensi IV
12. Tingkat Rekomendasi C
13. Penelahan Kritis - Tim Perhimpunan Dokter Anestesiologi dan
terapi Insentif Indonesia.
- Tim Perhimpuanan Dokter Intensive Care
Indonesia.
14. Indikator Medis 80 % pasien dirawat selama 4 – 7 hari.
15. Kepustakaan Dries DJ ( ed ) Fundamental Critical Care Support.
Society of Critical Care Medicine.5 th.20012:7 – 1.
PANDUAN PRAKTIK KLINIK (PPK)
PROSEDUR TINDAKAN SMF
ANATESIOLOGI DAN TERAPI INTENSIP
RSUD OKU TIMUR

ACUTE KIDNEY INJURY


ICD-10. : N 17
1. Pengertian ( Definisi ) Penurunan mendadak faat ginjal dalam 48 jam yang
ditandai dengan kenaikan kadar kreatinin dalam serum
≥ 0.3 mg/dl ( ≥ 26.4 ummol/l ), atau dalam 7 hari ada
kenaikan ≥ 1,5 kali dari nilai dasar, atau pengurangan
produksi urine ( olguri ) ≤ 0.5 ml/kg/jam dalam waktu 6
jam.
2. Anamnesis - Riwayat kehilangan cairan dari saluran cerna
( muntah-muntah, diare ). Riwayat
perdarahan.
- Riwayat penyakit yang dapat menurunkan
perfusi ginjal seperti gagal jantung, sirosis
hepatis, tirotoksikosis, hipoprotenemia berat.
- Riwayat pengunaan diuretik yang cukup lama
dan tidak terkontrol.
- Riwayat minum Ace inhibitor / ARB, NSAID,
obat tradisional/herbal.
- Riwayat panas, rash, artralgia, sinusitis dan
hemoptisis bias karena penyakit autoimun,
vaskulitis, allergic interstitial nephritis (AIN).
- Adakah kejadian yang bias menyebabkan
akut tubuler nekrosis seperti penyakit tropic
(malaria), gigi tanular, crushing injury, toksin
lingkungan, sepsis, pascaoperasi, zat
nefrotoksik ( zat radiokontras, anti jamur,
antivirus, anti neoplastik, narkoba ).
- Riwayat nyeri pinggang yang bias disebabkan
oleh trombosis vena renalis, nefrolitiasis,
obstruksi atau infark ginjal. Obstruksi intristik
(tumor, batu, nekrosis papila), Obstruksi
ekstrinstik ( keganasan di pelvis
retroperitoneal, fibrosis, penekanan kandung
kemih seperti hipertrofi/keganasan prostat,
batu, tumor, striktur uretra.)
- Riwayat keluarga ginjal polikistik.
3. Pemeriksaan Fisiki Pada pemeriksaan fisik harus difokuskan ke
hemodinamik, penilaian status volum dan ada tidaknya
penyakit sistemik penyerta yang bisa mencederai ginjal.
- Hipotensi yang disertai hipotermia atau panas
bias karena sepsis atau respon inflamsi
sismetik.
- Hipertensi berat karena glomerulonefritis
akut, skleroderma, hipertensi malignan atau
preeklampsia.
- Tanda-tanda kekurangan cairan seperti mata
cengkung, mukosa mulut yang kering, lidah
keriput, vena leher kolaps saat pasien
terlentang, hipotensi ortostatik ( penurunan
tekanan sistolik ≥ 10 mmHg, nadi naik ≥ 10 –
15 kali/menit ).nadi cepat dan kecil, oliguria,
kurangnya turgo kulit, akral dingin dan
sianosis perifer.
- Peningkatan tekanan vena jugularis, ronkhi
basah di paru, asites dan edema adalah
tanda-tanda kelebihan volume total tubuh.
- Skleritis dan uveitis dijumpai pada penyakit
autoimun.
- Pada pemeriksaan abdomen, adakah asites,
hepatosplenomegali, bruit vaskuler atau
aneurism penuh, menandakan distensi akibat
obstruksi.
- Pada pemeriksaan rectal adakah
pembesaran prostat yang difus.
4. Kreteria Diagnosis A. Kriteria AKIN
Tahap Kriteria Kreatinin Serum
Kreteria Produksi Urin.
1. Kenaikan kreatinin serum ≥ 0.3 mg/dl
(≥26.4µmol/l). Atau produksi urin kurang dari
0.5 ml/kg/jam lebih dari 6 jam kenaikan ≥
150% sampai 200% ( 1,5 sampai 2 kali lipat
dari nilai dasar ).
2. Kenaikan kreatinin serum > 200% - 300 %
atau produksi urin kurang dari 0.5 ml/kg/jam
lebih dari 12 jam (>2-3 kali lipat dari kenaikan
nilai dasar).
3. Kenaikan Kreatinin serum > 300% (>3 kali
lipat dari nilai dasar) atau produksi urin
kurang dari 0.3 ml/kg/jam lebih dari 24 jam.
4. Kadar kretinin ≥ 4.0 mg/dl (≥354µmol/l) atau
anuria 12 jam.

B. Kreteria RIFLE
Kelas Kreteria Kreatinin Serum/GFR
Kreteria Produksi Urine.
Risk :
- Kenaikan kreatinin serum 1,5 kali atau
produksi urin kurang dari 0.5 ml/kg/jam
selama 6 jam.
- GFR > 20%.

Injury :
- Kenaikan kreatinin serum 2 kali atau produksi
urin kurang dari 0.5 ml/kg/jam selama 12 jam.
- GFR > 50 %.

Failure :
- Kenaikan kreatinin serum 3 kali atau kreatinin
≥ 4 mg/dl atau produksi urin kurang dari 0.3
ml/kg/jam selama 24 jam atau kenaikan akut
≥ 0.5 mg/dl atau anuria selama 12 jam.
- GFR > 75 %.

Loss :
- Gagal ginjal akut persisten = Hilang fungsi
ginjal selama > 4 minggu.

ESRD :
- End Stage Renal Disease
5. Diagnosis Acute Kidney Injury ( AKI ).
6. Diangnosis Banding Pemeriksaan ATN Prerenal GN HRS AIN Post RF
bno:creati 8.1 >20:1 8.1 8.1 8.1 8.1
nin
Volume urine Olguria oiiguria Nonol olguria nonoligu Anuri
atau ugoria, ria poliuria atau
nonolgur jarang diantara
ia anuria keduanya
pH urine 1.010 >1.020 >1.02 >1.02 1.010 >1.020
-1.012 0 0 <1.020
Osmolalitas < 350 >500 >350 >350 <350 >400 akut
urine 300 kronik
(mOsm/kg)
Sedemia Sel Hialin, Eritros <50 Eosinofil Kadang
tubuler, siliuder it,dism eritrosi ,leukosit, Terdapat
silinder granuler orfik, t/LPB eritrosit, eritrosit
tubuler silinde <500 silinder,
muddy r,eritro mgpro leukosit.
brown sit, tein/ha
graular jarang ri
casi silinde
r
leukos
it.
Natrium urine >40 <20 <20 <10 >40 <20 akut
>40 kronik
Eksresi >2% <1% <1% <1% >2% <1 % akut
fraksional >1% kronik
natrium
Eksresi >35% <35%
fraksional uria
netrogen
Chlorida urine >15 <15
Pemeriksaan nonsfesi Hans +ana, LFT Eosinofil Usidosis
serologis: fik gejala Ds- abnor ia metabolik
gejala ortostati DNA mal, perifer, denganhiper
k ANCA natriu demam, kalemia
anti- m rash Dan
GMB serum Hiperelilore
ab, <130; mik jika
ASO, gejala kronis
C3,C4 gagal
CH50: hati
rash,n
yeri
sendi,
hemop
tisis,
gejala
pada
sinus
Ultras onografi Ukuran Ukuran Kadan Mungk Mungkin Dilatasi
ginjal dan g in menunju sistem
normal ekhosita memb menun kan saluran
atau s normal esar jukkan hiperekh kemih atau
dapat denga hasil ositas hidronetiosis
membes n yang
ar hipere berlaw
hiperekh khoik. anan
oik
7. Pemeriksaan - Langkah awal adalah pemeriksaan kreatinin
Penunjang dan urea nitrogen darah guna menilai fungsi
ginjal.
- Normal bila rasio urea nitrogen darah dengan
kretinin darah adalah 8:1 pada prerenal, rasio
ini > 20:1
- Eosinofilia perifer ditemukan pada Allergic
Interstitial Nephritis (AIN) atau penyakit
ateroemboli.
- Hiperkalemia diduga karena minum obat
NSAID, inhibitor ACE, rabdomiolisis atau
sindrome tumor lisis.
- Periksa berat jenis dan osmolalitas urin,
menilai kemampuan konsentrasi urine. Pada
oliguria, berat jenis urine > 1.020 dan
osmolalitas > 500 mOsm/kg.Pada ATN/AIN
berat jenis urin 1.010 – 1.012 dan osmolalitas
300 – 350 mOsm/kg.
- Analisis sedimen urine :
 Perdaraan nonglomerular bentuk
eritrosit di urine relatif normal sedang
perdarahan glomerular eritrosit
berbentuk dismorfik.
 Leukosituria dijumpai AIN,nekrosis
papiler dan pielonefritis.
 Hialin dan selinder granular pada
prenal gagal ginjal akut.
 Silinder lebar (diameter lebih dari 3 sel
darah putih) pada insufisiensi ginjal
kronik,
 Muddy Brown Tubular Cast atau sel
bebas epiteltubulus ginjal yang spesifik
untuk ATN.
 Silinder eritrosit dijumpai pada
glomerulonefritis, vaskulitis dan
kadang AIN.
 Silinder leukosit dijumpai pada
AIN.pielonefritis, glomerulonefritis.
 Kristal asam urat bisa di urin yang
pekat, kalau banyak nefropati asam
urat, sindrom lisis tumor.
 Kristal oksalat karena keracunan etilen
glikol.
- Fraksi oksalat karena keracunan etilen glikol.
Na yang difilter yang dibuang ke urin. Pada
ATN selalu > 2 %.
- Ultrasound ginjal : melihat ukuran ginjal,
mendeteksi tanda-tanda obstruksi seperti
hidronefrosis atau dilatasi system kolekting
dan menilai ekhogenisitas ginjal.
- Penilaian laboraturium yang spesifik :
 Glomerulonefritis : anti nuclear
antibody, double stranded DNA,
komplemen serum.
 Vaskulitis: anti neutrofi sitoplasmik
antibody.
 Good pasture sindrom: antiglomerular
basement membrene antibody.
 Glomerulo nefritis pasca infeksi
disaluranan nafas atas atau di kulit:
titer antistreptolisin O tinggi.
- Marker untuk cedera tubuler :
 Cystatin C.
 Kidney Injury Molecule 1( KIM-1 )
 Neutrophil Gelatinase – Associated
Lipocalin (NGAL).
 Interleukin-18 (IL-18).
Plasma panel: NGAL dan Cystatin C.
Urin Panel : NGAL IL-18 dan KIM-1.
- Biopsi ginjal,mendiagnosis kelaina
glomeruler atau penyakit mikrovaskuler,
diagnosis defenitif AIN.
8. Terapi Prinsip manajemen berdasarkan stadium AKI.
Resiko tinggi.
 Hentikan semua obat-obatan yang nefrotoksik.
 Optimalkan status volum dan tekanan perfusi.
 Monitoring hemodinamik.
 Monitor kreatinin serum dan diuresis
 Hindari hiperglikemia
 Hindari prosedur radiokontras.

AKI Stadium 1
 Diagnostik yang bersifat non invasif.
 Pertimbangan diagnostik invasif.

AKI Stadium 2
 Penyesuaian dosis obat
 Pertimbangan terapi pengganti ginjal, seperti
hemodialisis, SLEDD, CVVH.
 Pertimbangan dirawat di ICU.

AKI Stadium 3
 Hindari pemasangan kateter di subklavia.

Rekomendasi Pengobatan
 Ekspensi volume intravaskuler pasien
berisiko/dengan AKI yang tanpa syok hemoragik
disarankan memakai cairan kristaloid dari pada
koloid (albumin atau starches) (2B).
 Pemakaian vasopresor bersamaan resusitasi
cairan untuk pasien syok vasomotor atau berisiko
AKI ( 1 C ).
 Ada protocol manajemen hemodinamik dan
parameter oksigenasi untuk pasien perioperatif
resiko tinggi (2C) dan syok septik (2C) guna
mencegah terjadi/perburukan
 Kebutuhan kalori pasien AKI ( semua stadium )
adalah 20 - 30 Kacl/kg/hari (2C).
 Hindari pembatasan protein intako dengan
harapan mencegah atau menunda RRT (2D).
 Protein 0.8 – 1 gr/kg/hari untuk pasien AKI non
katabolik yang tanpa dialysis (2D),1-1.5gr/kg/hari
(2D) pasien AKI yang didialisis dan maksimum
1,7 gr/kg/hari pasien dengan terapi pengganti
ginjal kontonyu ( CRRT ) dan pasien hiper
katabolik (2D).
 Nutrisi yang diberikan lebih disukai via rute
enteral (2C).
 Tidak direkomendasikan memakai diuretic
mencegah AKI (1B).
 Tidak mengunakan diuretik untuk pengobatan
AKI, kecuali manajemen volum overload (2C).
 Tidak disarankan mengunakan atrial natriuretik
peptide (ANP) untuk mencegah atau mengobati
AKI (1A)/(2C).
 Tidak disarankan mengunakan atrial natriuretik
peptide (ANP) untuk mencegah (2C) atau
mengobati AKI ( 2B ).
 Tidak disarankan antibiotik aminoglikosid, kecuali
tidak ada pilihan lain (2A).
 Pasien dengan fungsi ginjal normal disarankan
aminoglikosid dosis tunggal dari pada dosis
multiple harian (2B).
 Monitor kadar aminoglikosid darah kalau
diberikan dosis tunggal lebih 48 jam (2A), dosis
multiple harian lebih 24 jam (1A).
 Pengobatan mikosis sistemik disarankan anti
fungal azole dan/atau echinocandin dari pada
amfoterisin B bila efikasi terapinya sama (1A).

Kriteria terapi pengganti ginjal/dialisis pada AKI :


 Oliguria : produksi urin < 200 ml dalam 12 jam.
 Anuria : Produksi urin < 50 ml dalam 12 jam.
 Hiperkalemia : potasium > 6.5 mmol/l
 Asidemia (keracunan asam) yang berat : pH <7,0
 Azotemia : kadar urea > 30 mmol/L
 Uremik organ seperti ensefalopati, perikaditis,
neuropati atau miopatiuremikum.
 Disnatremia berat : konsentrasi > 160 mmol/L
atau < 115 mmol/L
 Hipertermia ( suhu > 39.5 selsius ).
 Edema organ khususnya paru.
 Keracunan obat yang bias didialisis.
 Pasien berisiko edema/ARDS yang
membutuhkan produk darah banyak karena
koagulopati.
9. Edukasi - Evaluasi 3 bulan pertama pasca AKI, adakah
onset baru atau mengalami perburukan.
- Obati penyakit dasar seperti hipertensi,
diabetes.
- Rutin medical check up.
10. Prognosis Tergantung dari beberapa faktor :
a. Penyakit dasarnya.
b. Pada umumnya hospital acquired mempunyai
prognosis lebih buruk dibandingkan dengan
community acquired.
c. Komplikasi terutama perdarahan saluran cerna
dan penyakit system kardiovaskuler,
infeksisekunder disertai sindroma sepsis.
d. Oliguria lebih dari 24 jam
e. Umur pasien lebih dari 50 tahun.
f. Diagnosis dan pengobatan terlambat.

Prognosis AKI buruk bila :


a. Infeksi sekunder disertai sindroma sepsis.
b. Disertai gagal multiorgan.
c. Umur pasien diatas 50 tahun disertai penyakit
system kardiovaskuler.
d. Program dialysis terlambat.
11. Tingkat Evidensi IV
12. Tingkat Rekomendasi B
13. Penelahan Kritis - Tim Perhimpunan Dokter Anestesiologi dan
terapi Insentif Indonesia.
- Tim Perhimpuanan Dokter Intensive Care
Indonesia.
14. Indikator Medis Indikator medis : 80% pasien AKI dengan sepsis berat
mortalitasnya tinggi.
15. Kepustakaan 1. Bellomo R, Ronco C, Kellum JA, et al,Acute renal
failure – definition, outcome measures, animal
models, fluid therapy and information technology
needs: the Second international consensus
conference of the acute dialysis Quality initiative
(ADQI) Group. Crit care 2004; 8:R204 – 212 with
permission from bellomo R et al:22 accessed
http://ccforum.com/content/8/4/R204.
2. Devarajan P.Emerging Biomarker Of Acute
Kidney Injury. In Acute Kidney Injury,ed,Ronco C,
Bellomo R, Kellim JA. Karger.2007.p.1203 – 12.
3. Kidney International Supplements (2012) 2, 8-12;
Doi:10.1038/kisup.2012.7
4. Raggio J, Umans JG. Diagnosis Acute Renal
Failure. In Murray PT, Brady HR, Hall JB, ed.
Intensive care in nephrology.London: Taylor &
Francis,2006.p.99 – 111.
5. Sukandar E. Nefrologi klinik. Edisi III. Bandung:
Pusat informasi ilmiah FK UNPAD 2002.
Peninjauan ulang.
6. Uchino S, Bellomo R. Indication for initiatiation,
cessation, and withdrawal of renal replacement
therapy. In: Murray PT, Brady HR, Hall JB, ed.
London: Taylor & Francis,p.2006. 137 – 45.
PANDUAN PRAKTIK KLINIK (PPK)
PROSEDUR TINDAKAN SMF
ANATESIOLOGI DAN TERAPI INTENSIP
RSUD OKU TIMUR

KOMA DIABETIC KETOASIDOSIS (DKA)


ICD-E9. : 11
1. Pengertian ( Definisi ) Kesadaran menurun pada pasien diabetes mellitus
yang mengalami ketoasidosis.
2. Anamnesis Kesadaran menurun, pasien diabetes mellitus.
3. Pemeriksaan Fisiki Kesadaran menurun (veriatif dari gelisah s/d GCS
1.1.1)
Lethargis, nafas kussmaul, nafas bau keton (aseton).
4. Kreteria Diagnosis Penderita DM, dengan kesadaran menurun, nafas
kussmaul dan berbau keton, dengan laboraturium
penunjang : analisa gas darah :pH < 7.3 HCO3-< 15
mmol/l,kadar gula sewaktu: > 14 mmol/l atau > 400 mg
% terdapat keton dalam plasma.
5. Diagnosis Acute Kidney Injury ( AKI ).
6. Diangnosis Banding Koma DKA
7. Pemeriksaan 1. Laboraturium : hemoglobin, hematokrit, angka
Penunjang eritrosit, angka leukosit, angka trombosit, hitung
jenis leukosit, hemaglobin A1-C, GDS ( gula
darah sewaktu), keton plasma/urin, Na+, K+,
CI-,analisa gas darah ( arteri ), ureum, kreatinin.
2. Elektrokardiografi.
3. Radiologi : rontgen thoraks
8. Terapi 1. Bantuan hidup umum untuk pasien kritis ( jalan
nafas bebas dan aman, bantuan nafas dengan
oksigen sampai SaO2 > 93 %, bantuan sirkulasi
dengan mengusahakan parameter
hemodinamik dalam kisaran baik/normal. ( T 90
– 140 mmHg sistol, MAP > 65 mmHg, nadi <
100 x/menit ).
2. Pemberian cairan infus sampai normovolemia
dengan kristaloid maupun koloid dengan
panduan tanda vital dan ferfusi perifer.
3. Terapi insulin : Initial bolus intravena 0.15
unit/kgBB dilanjutkan 0.1 unit/kgBB/jam,dengan
panduan cek GDS tiap jam. Bila GDS tidak
turun 50mg%, kecepatan insulin dinaikan 2x,
bila penurunan > 150 mg%, kecepatan insulin
diturunkan ½ x, pemberian insulin kontinyu
diberikan sampai dengan tidak ditemukan keton
dalam urin/plasma. Pemberian insulin harus
memperhitungkan kadar K+ > 3.0.
4. Regulasi kadar glukosa darah : dalam 24 jam
pertama GDS minimum : 200 mg%, bila GDS <
200 mg% beri infus D5% dan kecepatan insulin
sekitar 1.0 unit/jam.
5. Kadar elektrolit dipantau sejak awal, diperiksa
bersamaan dengan pemeriksaan gula darah.
Regulasi elektrolit :
- Koreksi K+ untuk mencapai kadar normal.
- Koreksi fosfat- : hanya apabila sangat
rendah (< 0.4 mmol/I).
- Mg++ : tidak dianjurkan pemberian Mg.
6. Koreksi Asam – Basa : pemberian bikarbonat
natrikus hanya dibolehkan bila pH < 6.9.
7. Terapi penyakit penyerta dan penyakit-penyakit
yang mendasari, dan komplikasi-komplikasi
yang terjadi, misal : pemberian antibiotika untuk
infeksinya, hemodialisis atau CRRT untuk gagal
ginjal.
9. Edukasi Edukasi keluarga mengenai resiko dan komplikasi :
Hipoglikemia, hipotensi, shock, thrombosis vena dalam
edema otak, gagal ginjal, gagal multi organ,
meninggal.
10. Prognosis Ad Vitam : Dubia Ad Bonam
Ad Sanationam : Dubia Ad Bonam
Ad Fungsionam : Dubia Ad Bonam
11. Tingkat Evidensi IV
12. Tingkat Rekomendasi C
13. Penelahan Kritis - Tim Perhimpunan Dokter Anestesiologi dan
terapi Insentif Indonesia.
- Tim Perhimpuanan Dokter Intensive Care
Indonesia.
14. Indikator Medis 80 % Pasien dirawat selama 5 hari
15. Kepustakaan 1. Oh’s Intensive Care Manual 6 th Ed. Editor:
Bersten A.D & Soni, N., Butterworth Heinemann
Elsevier,Philadelpia,2009, hal:615 – 620.
2. Irwin & Rippe’s Intensive Care Medicine 7th Ed.
Editor: Irwin,R.S & Rippe, J.M, Wolter Kluwer
Lippincott Williams & wilkins, Philadelpia,2012,
hal: 1139 – 1145.
3. Tebook of Critical Care 6th Ed. Editor : vincent,
J.L et al. Elsevier Saunders, Philadelpia, 2011,
hal: 1205 – 1214.

PANDUAN PRAKTIK KLINIK (PPK)


PROSEDUR TINDAKAN SMF
ANATESIOLOGI DAN TERAPI INTENSIP
RSUD OKU TIMUR

TETANUS
ICD X
16. Pengertian ( Definisi ) Penyakit pada sistem saraf yang disebabkan oleh
tetanospamin
17. Anamnesis
18. Pemeriksaan Fisiki
19. Kreteria Diagnosis
20. Diagnosis
21. Diangnosis Banding
22. Pemeriksaan
Penunjang
23. Terapi
24. Edukasi
25. Prognosis
26. Tingkat Evidensi IV
27. Tingkat Rekomendasi A
28. Penelahan Kritis - Tim Perhimpunan Dokter Anestesiologi dan
terapi Insentif Indonesia.
- Tim Perhimpuanan Dokter Intensive Care
Indonesia.
29. Indikator Medis
30. Kepustakaan

PANDUAN PRAKTIK KLINIK (PPK)


PROSEDUR TINDAKAN SMF
ANATESIOLOGI DAN TERAPI INTENSIP
RSUD OKU TIMUR

CVD HEMORAGIK

31. Pengertian ( Definisi )


32. Anamnesis
33. Pemeriksaan Fisiki
34. Kreteria Diagnosis
35. Diagnosis
36. Diangnosis Banding
37. Pemeriksaan
Penunjang
38. Terapi
39. Edukasi
40. Prognosis
41. Tingkat Evidensi
42. Tingkat Rekomendasi
43. Penelahan Kritis
44. Indikator Medis
45. Kepustakaan

Anda mungkin juga menyukai