SITUBONDO
KECAMATAN BESUKI
KABUPATEN SITUBONDO
Email : rsud.besuki@gmail.com
DAFTAR ISI
DAFTAR ISI..............................................................................................................................................1
DAFTAR KONTRIBUTOR..........................................................................................................................iii
KRITERIA TRANSFER PASIEN DARI RECOVERY ROOM KAMAR OPERASI (RR – PACU) MENUJU
RUANG RAWAT INAP DAN PEMULANGAN PASIEN ODC.......................................................................44
i
PEMASANGAN KATETER DOBEL LUMEN UNTUK HEMODIALISIS..........................................................71
PROSEDUR ASESMEN NYERI PADA PASIEN TERSEDASI DI RUANG RAWAT INTENSIF DAN HIGH
CARE UNIT............................................................................................................................................97
ii
DAFTAR KONTRIBUTOR
1. dr. ISNGADI,M.Kes,SpAn,KAO
4. dr. KARMINI,SpAn,KAP
iii
PANDUAN PRAKTEK KLINIS PELAYANAN ANESTESI
1
ANESTESIA UMUM INTUBASI
(ICD 9: 00.9 )
1. Pengertian (Definisi)
Anastesi umum didefinisikan sebagai hilangnya rasa nyeri dan hilangnya kesadaran
yang reversible akibat pemberian obat.
Intubasi adalah proses pengelolaan jalan nafas dengan cara memasukkan pipa
endotrakeal ke dalam trakea pasien dengan bantuan alat laringoskop dengan tujuan
mengamankan jalan nafas atas sehingga ventilasi terjaga
2. Indikasi
2.1 Operasi yang memerlukan obat pelumpuh otot (contohnya: operasi abdomen)
2.2 Jalan nafas pasien dibagi dengan operator (meliputi telinga, hidung, dan
tenggorok)
2.3 Akses jalan nafas terbatas atau tidak dimungkinkan untuk intubasi secara cepat
(Contoh: posisi miring atau tengkurap)
2.4 Diprediksi akan sulit intubasi
2.5 Resiko aspirasi isi lambung atau darah (Contoh: obstruksi saluran gastrointestinal
atas, sepsis, trauma wajah, perdarahan pada saluran nafas karena sebab
apapun)
2.6 Operasi yang mengganggu pertukaran gas
2.7 Operasi yang panjang.
2.8 Pasien yang akan menjalani prosedur diagnostik, terapeutik maupun
pembedahan.
2.9 Teknik jalan nafas lain tidak efektif
3. Kontra Indikasi
4. Persiapan
4.1. Pasien :
4.1.1. Penjelasan rencana dan resiko komplikasi tindakan anestesi umum dengan
inhalasi via face mask.
4.1.2. Ijin persetujuan tindakan anestesi umum dengan intubasi.
4.1.3. Puasa.
4.1.4. Medikasi sesuai resiko anestesi.
4.1.5. Premedikasi pra anestesi.
4.1.6. Kelengkapan pemeriksaan penunjang
4.2. Alat
4.2.1. stetoskop
4.2.2. laringoskop dengan blade sesuai ukuran pasien
2
4.2.3. pipa endotrakeal 3 ukuran (ukuran pasien, satu nomor diatas, dan satu nomor
dibawah)
4.2.4. laryngeal mask airway 3 ukuran (ukuran pasien, satu nomor diatas, dan satu
nomor dibawah) yang memungkinkan pemasangan pipa nasogastrik dan
penghisapan cairan
4.2.5. introducer atau penuntun
4.2.6. masker 3 ukuran (ukuran pasien, satu nomor diatas, dan satu nomor
dibawah)
4.2.7. mesin anestesi dengan sumber gas
4.2.8. alat suction
4.2.9. monitor (SpO2, Elektrokardiogram, tekanan darah, nadi)
4.2.10. McGill tang
4.2.11. spuit cuff
4.2.12. laringoskop dengan blade khusus
3
4.3.12.1. Dexamethasone (5mg 2 ampul)
4.3.12.2. Methylprednisolone (125mg 2 ampul)
4.3.12.3. Hidrocortisone (100mg 1 ampul)
4.3.12.4. Aminophylin (240mg 1 ampul)
4.3.12.5. Bricasma
4.3.12.6. Asam tranexamat (500mg 2 ampul)
4.3.12.7. Ephedrine (50mg 1 ampul)
4.3.12.8. Epinephrine (1mg 2 ampul)
4.3.12.9. Sulfas atropine (0,25mg 4 ampul)
4.3.12.10.Norepinephrine (4mg 1 ampul)
4.3.12.11.Dopamin (200mg 1 vial)
4.3.12.12.Dobutamin (250mg 1 vial)
4.3.12.13.Milrinone
4.3.12.14.Clonidine (300mcg 1 ampul)
4.3.12.15.Diltiazem
4.3.12.16.Nitrogliserin
4.3.12.17.ISDN
4.3.12.18.Metoprolol
4.3.12.19.D40% (25ml 2 vial)
4.3.12.20.Natrium bicarbonat
4.3.12.21.Amiodarone (150mg 2 ampul)
4.3.12.22.Adenosine
4.3.12.23.Lidocaine (40mg 4 ampul)
4.3.12.24.Furosemide (20mg 4 ampul)
4.3.12.25.Dantrolene
4.3.12.26.Fenoterol nebul (1 buah)
4.3.12.27.Salbutamol nebul (1 buah)
4.3.12.28.Propanolol tablet (10mg 10 buah)
4.3.12.29.Iodine
4.3.12.30.PTU tablet (100mg 10 buah)
4.3.12.31.ISDN tablet (5mg 2 buah)
4.4. Dokter :
4.4.1. Visite perioperatif.
4.4.2. penentuan klasifikasi ASA PS.
4.4.3. Check list kesiapan anestesi
5. Prosedur Tindakan
5.1. Beri tau pasien tentang tindakan yang akan dilakukan
5.2. Pasang infus dengan IV kateter yang besar
5.3. Periksa sumber oksigen dan sumber gas lain
5.4. Periksa kesiapan mesin anestesia
5.5. Dilakukan pilihan teknik:
5.5.1. Awake VS Asleep
5.5.2. Paralized VS non paralized
5.6. Premedikasi menggunakan Midazolam dan/atau Diazepam dengan fentany
dan/atau pethidine serta lidokain 2% (pada teknik asleep)
4
5.7. Preoksigenasi 4-6 menit
5.8. Induksi menggunakan Midazolam dan/atau Propofol dan/atau Ketamine dan/atau
Thiopental dan/atau Halotane dan/atau Sevoflurane
5.9. Lumpuhkan otot dengan atracurium dan/atau Vecuronium dan/atau Rocuronium
(pada teknik Paralized)
5.10. Dilakukan laringoskopi dan pemasangan pipa endotrakeal (dilakukan sebelum
induksi pada teknik awake atau setelah induksi pada teknik asleep)
5.11. Maintanance anestesi menggunakan anestesi inhalasi isofluran dan/atau
sevofluran dan/atau halotan via face mask dan/atau propofol dan/atau midazolam
dan/atau ketamine dan/atau Thiopental, analgetik berupa fentany dan/atau morfin
dan/atau pethidine, pelumpuh otot atracurium dan/atau Vecuronium dan/atau
Rocuronium.
5.12. Selesai operasi pasien dibangunkan.
5.13. Pipa endotrakeal dilepas pada kondisi sadar penuh atau tidur dalam.
5.14. Pasien dipindahkan ke Ruang pulih bila: jalan nafas terkendali dan hemodinamik
stabil
7. Tingkat Evidens : I
8. Tingkat Rekomendasi : A
10. Kepustakaan
10.1. Miller’s Anesthesia 7th edition, Ronald D Miller, 2009
10.2. Morgan Clinical Anesthesiology 4th edition, G Edward Morgan, 2006
10.3. Standard dan Pedoman Pelayanan Anestesiologi Indonesia. IDSAI.2008
5
ANESTESIA UMUM TOTAL INTRAVENA
ICD 9 : 00.9
1. Pengertian (Definisi)
Anastesi umum didefinisikan sebagai hilangnya rasa nyeri dan hilangnya kesadaran
yang reversible akibat pemberian obat.
Intravena total didefinisikan sebagai pemberian obat anestesi hanya secara intravena
dan menghindari pemberian obat anestesi inhalasi
2. Indikasi
2.1. Untuk prosedur pendek dan ringan
2.2. Tidak memiliki obat anestesi inhalasi
2.3. Pasien tidak dapat diberikan obat anestesi inhalasi (contoh: kemungkinan besar
diprediksi terjadi resiko komplikasi malignant hyperthermia)
3. Kontra Indikasi
3.1. Pelaku tindakan anestesi tidak terbiasa dengan teknik intravena total
3.2. Tidak dapat mengevaluasi kedalaman anestesia dengan resiko pasien sadar
selama tindakan
3.3. Pembedahan pada pasien dengan lambung penuh.
3.4. Ketidakmampuan mengencerkan atau menghitung dosis sehingga dosis yang
diberikan dibawah atau diatas dosis seharusnya
3.5. Pemberian obat terganggu sehingga berpengaruh pada dosis obat (contoh: akses
vena tersumbat atau ekstravasasi, alat infusion pump tidak berfungsi baik)
4. Persiapan
4.1. Pasien :
4.1.1. Penjelasan rencana dan resiko komplikasi tindakan anestesi umum dengan
inhalasi via face mask
4.1.2. Ijin persetujuan tindakan anestesi umum intravena total.
4.1.3. Puasa.
4.1.4. Medikasi sesuai resiko anestesi.
4.1.5. Premedikasi pra anestesi.
4.1.6. Kelengkapan pemeriksaan penunjang.
4.2. Alat
4.2.1. stetoskop
4.2.2. laringoskop dengan blade sesuai ukuran pasien
4.2.3. laryngeal mask airway 3 ukuran (ukuran pasien, satu nomor diatas, dan
satu nomor dibawah) yang memungkinkan pemasangan pipa nasogastrik
dan penghisapan cairan
4.2.4. introducer atau penuntun
6
4.2.5. masker 3 ukuran (ukuran pasien, satu nomor diatas, dan satu nomor
dibawah)
4.2.6. mesin anestesi dengan sumber gas
4.2.7. alat suction
4.2.8. monitor (SpO2, Elektrokardiogram, tekanan darah, nadi)
4.2.9. McGill tang
4.2.10. spuit cuff
4.2.11. laringoskop dengan blade khusus
7
4.3.11.11.Dopamin (200mg 1 vial)
4.3.11.12.Dobutamin (250mg 1 vial)
4.3.11.13.Milrinone
4.3.11.14.Clonidine (300mcg 1 ampul)
4.3.11.15.Diltiazem
4.3.11.16.Nitrogliserin
4.3.11.17.ISDN
4.3.11.18.Metoprolol
4.3.11.19.D40 (25ml 2 vial)
4.3.11.20.Natrium bicarbonat
4.3.11.21.Amiodarone (150mg 2 ampul)
4.3.11.22.Adenosine
4.3.11.23.Lidocaine (40mg 4 ampul)
4.3.11.24.Furosemide (20mg 4 ampul)
4.3.11.25.Dantrolene
4.3.11.26.Fenoterol nebul (1 buah)
4.3.11.27.Salbutamol nebul (1 buah)
4.3.11.28.Propanolol tablet (10mg 10 buah)
4.3.11.29.Iodine
4.3.11.30.PTU tablet (100mg 10 buah)
4.3.11.31.ISDN tablet (5mg 2 buah)
8
4.4.10.4. Natrium Clorida 0,9% (1 kolf)
4.4.10.5. Koloid (Gelatine atau HAES) (2 kolf)
4.4.11. Obat Kegawatan:
4.4.11.1. Dexamethasone (5mg 2 ampul)
4.4.11.2. Methylprednisolone (125mg 2 ampul)
4.4.11.3. Hidrocortisone (100mg 1 ampul)
4.4.11.4. Aminophylin (240mg 1 ampul)
4.4.11.5. Bricasma
4.4.11.6. Asam tranexamat (500mg 2 ampul)
4.4.11.7. Ephedrine (50mg 1 ampul)
4.4.11.8. Epinephrine (1mg 2 ampul)
4.4.11.9. Sulfas atropine (0,25mg 4 ampul)
4.4.11.10.Norepinephrine (4mg 1 ampul)
4.4.11.11.Dopamin (200mg 1 vial)
4.4.11.12.Dobutamin (250mg 1 vial)
4.4.11.13.Milrinone
4.4.11.14.Clonidine (300mcg 1 ampul)
4.4.11.15.Diltiazem
4.4.11.16.Nitrogliserin
4.4.11.17.ISDN
4.4.11.18.Metoprolol
4.4.11.19.D40 (25ml 2 vial)
4.4.11.20.Natrium bicarbonat
4.4.11.21.Amiodarone (150mg 2 ampul)
4.4.11.22.Adenosine
4.4.11.23.Lidocaine (40mg 4 ampul)
4.4.11.24.Furosemide (20mg 4 ampul)
4.4.11.25.Dantrolene
4.4.11.26.Fenoterol nebul (1 buah)
4.4.11.27.Salbutamol nebul (1 buah)
4.4.11.28.Propanolol tablet (10mg 10 buah)
4.4.11.29.Iodine
4.4.11.30.PTU tablet (100mg 10 buah)
4.4.11.31.ISDN tablet (5mg 2 buah)
4.5. Dokter :
4.5.1. Visite perioperatif.
4.5.2. penentuan klasifikasi ASA PS.
4.5.3. Check list kesiapan anestesi
5. Prosedur Tindakan
5.1. Beri tau pasien tentang tindakan yang akan dilakukan
5.2. Pasang infus dengan IV kateter yang besar
5.3. Periksa sumber oksigen
5.4. Periksa kesiapan mesin anestesia
5.5. Premedikasi menggunakan Midazolam dan/atau Diazepam dengan fentany
dan/atau pethidine serta lidokain 2%
5.6. Preoksigenasi
9
5.7. Induksi menggunakan Midazolam dan/atau Propofol dan/atau Ketamine dan/atau
Thiopental dan/atau Halotane dan/atau Sevoflurane
5.8. Maintanance anestesi menggunakan propofol dan/atau midazolam dan/atau
ketamine dan/atau Thiopental, analgetik berupa fentany dan/atau morfin dan/atau
pethidine.
5.9. Pasien dipindahkan ke Ruang pulih bila: jalan nafas terkendali dan hemodinamik
stabil
7. Tingkat Evidens : II
8. Tingkat Rekomendasi : B
10. Kepustakaan
10.1. Miller’s Anesthesia 7th edition, Ronald D Miller, 2009
10.2. Morgan Clinical Anesthesiology 4th edition, G Edward Morgan, 2006
10.3. Standard dan Pedoman Pelayanan Anestesiologi Indonesia. IDSAI. 2008
Manual of Anaesthesia, C Y Lee, 2006
10
ANESTESIA UMUM FACE MASK
1. Pengertian (Definisi)
Anastesi umum didefinisikan sebagai hilangnya rasa nyeri dan hilangnya kesadaran
yang reversible akibat pemberian obat.
Face Mask atau masker wajah didefinisikan sebagai proses pengelolaan jalan nafas
dengan cara menggunakan masker wajah dimana pemberian obat anestesi dapat
dilakukan secara intravena dan/atau inhalasi.
2. Indikasi
2.1. Untuk prosedur pendek dan ringan
2.2. Pembedahan dengan kontra indikasi anestesi regional
3. Kontra Indikasi
3.1. Pelaku tindakan anestesi tidak terbiasa dengan teknik face mask
3.2. Pembedahan di daerah kepala dan leher.
3.3. Prosedur pembedahan panjang.
3.4. Pembedahan pada pasien dengan lambung penuh./ resiko aspirasi
4. Persiapan
4.1. Pasien :
4.1.1. Penjelasan rencana dan resiko komplikasi tindakan anestesi umum dengan
inhalasi via face mask.
4.1.2. Ijin persetujuan tindakan anestesi umum dengan inhalasi via face mask.
4.1.3. Puasa.
4.1.4. Medikasi sesuai resiko anestesi.
4.1.5. Premedikasi pra anestesi.
4.1.6. Kelengkapan pemeriksaan penunjang.
4.2. Alat
4.2.1. stetoskop
4.2.2. laringoskop dengan blade sesuai ukuran pasien
4.2.3. laryngeal mask airway 3 ukuran (ukuran pasien, satu nomor diatas, dan satu
nomor dibawah) yang memungkinkan pemasangan pipa nasogastrik dan
penghisapan cairan
4.2.4. introducer atau penuntun
4.2.5. masker 3 ukuran (ukuran pasien, satu nomor diatas, dan satu nomor
dibawah)
4.2.6. mesin anestesi dengan sumber gas
4.2.7. alat suction
4.2.8. monitor (SpO2, Elektrokardiogram, tekanan darah, nadi)
11
4.2.9. McGill tang
4.2.10. spuit cuff
4.2.11. laringoskop dengan blade khusus
12
4.3.11.13.Milrinone
4.3.11.14.Clonidine (300mcg 1 ampul)
4.3.11.15.Diltiazem
4.3.11.16.Nitrogliserin
4.3.11.17.ISDN
4.3.11.18.Metoprolol
4.3.11.19.D40 (25ml 2 vial)
4.3.11.20.Natrium bicarbonat
4.3.11.21.Amiodarone (150mg 2 ampul)
4.3.11.22.Adenosine
4.3.11.23.Lidocaine (40mg 4 ampul)
4.3.11.24.Furosemide (20mg 4 ampul)
4.3.11.25.Dantrolene
4.3.11.26.Fenoterol nebul (1 buah)
4.3.11.27.Salbutamol nebul (1 buah)
4.3.11.28.Propanolol tablet (10mg 10 buah)
4.3.11.29.Iodine
4.3.11.30.PTU tablet (100mg 10 buah)
4.3.11.31.ISDN tablet (5mg 2 buah)
4.4. Dokter :
4.4.1. Visite perioperatif.
4.4.2. penentuan klasifikasi ASA PS.
4.4.3. Check list kesiapan anestesi
5. Prosedur Tindakan
5.1. Beri tau pasien tentang tindakan yang akan dilakukan
5.2. Pasang infus dengan IV kateter yang besar
5.3. Periksa sumber oksigen
5.4. Periksa kesiapan mesin anestesia (bila ada)
5.5. Premedikasi menggunakan Midazolam dan/atau Diazepam dengan fentany
dan/atau pethidine serta lidokain 2% (pada teknik asleep)
5.6. Preoksigenasi 4-6 menit
5.7. Induksi menggunakan Midazolam dan/atau Propofol dan/atau Ketamine dan/atau
Thiopental dan/atau Halotane dan/atau Sevoflurane
5.8. Dipasang masker atau laringeal mask atau pipa endotrakeal bila diperlukan
5.9. Maintanance anestesi menggunakan anestesi inhalasi isofluran dan/atau
sevofluran dan/atau halotan via face mask dan/atau propofol dan/atau midazolam
dan/atau ketamine dan/atau Thiopental, analgetik berupa fentany dan/atau morfin
dan/atau pethidine..
5.10. Selesai operasi pasien dibangunkan.
5.11. Pasien dipindahkan ke Ruang pulih bila: jalan nafas terkendali dan hemodinamik
stabil
13
6.2. Pengawasan komplikasi yang mungkin terjadi dari tindakan operasi dan pembiusan
serta penanggulangannya.
7. Tingkat Evidens : II
8. Tingkat Rekomendasi : B
10. Kepustakaan
10.1. Miller’s Anesthesia 7th edition, Ronald D Miller, 2009
10.2. Morgan Clinical Anesthesiology 4th edition, G Edward Morgan, 2006
10.3. Standard dan Pedoman Pelayanan Anestesiologi Indonesia. IDSAI. 2008
14
REGIONAL ANESTESI BLOK SUBARACHNOID
ICD 9 : 03.91
1. Pengertian (Definisi)
Regional Anestesi Blok Subarachnoid adalah tindakan pembiusan dengan cara
melakukan penyuntikan ke rongga sub-arakhnoid dan memberikan obat anestesi lokal
kedalam rongga tersebut untuk memblok rangsangan nyeri.
2. Indikasi
2.1. Pasien yang akan menjalani tindakan pembedahan yang berlokasi
2.2. dari perut ke bawah,, inguinal, urogenital, rektal dan ektremitas inferior\
3. Kontra Indikasi
3.1. Absolut:
3.1.1. peningkatan tekanan intracranial
3.1.2. koagulopati, dalam terapi antikoagulan
3.1.3. infeksi kulit tempat tusukan
3.1.4. penolakan pasien
3.1.5. hipovolemia
3.1.6. kelainan katup jantung berat atau obstruksi aliran dari ventrikel
3.2. Relatif:
3.2.1. sepsis
3.2.2. pasien tidak kooperatif
3.2.3. kelainan neurologis sebelumnya
3.2.4. kelainan tulang belakang yang berat
3.3. Kontroversi:
3.3.1. operasi tulang belakang sebelumnya
3.3.2. pasien tidak dapat berkomunikasi
3.3.3. operasi yang memanjang
3.3.4. operasi dengan kehilangan darah dalam jumlah besar
3.3.5. maneuver yang mempengaruhi respirasi
4. Persiapan
4.1. Pasien :
4.1.1. Penjelasan rencana dan resiko komplikasi tindakan spinal anestesi.
4.1.2. Ijin persetujuan tindakan anestesi dengan blok subarachnoid
4.1.3. Puasa.
4.1.4. Medikasi sesuai resiko anestesi.
4.1.5. Premedikasi pra anestesi.
4.1.6. Kelengkapan pemeriksaan penunjang.
4.2. Alat
4.2.1. Set untuk general anestesi (Stetoskop, laringoskop, plester, Tube
Endotracheal, peralatan Airway, sungkup muka, sirkuit pernafasan, suction)
4.2.2. Monitor: EKG, Pulse oksimetri, tekanan darah
15
4.3. Bahan dan Obat:
4.3.1. Sarung tangan steril (2 buah)
4.3.2. jarum spinal 25/26/27 G (2 buah).
4.3.3. Lidokain 2% (2 ampul).
4.3.4. Obat Anestesi lokal
4.3.4.1. Bupivacain 0,5% heavy (1 ampul)
4.3.4.2. Lidocaine 5% heavy (1 ampul)
4.3.4.3. Bupivacaine 0,5% plain 20cc (1 vial)
4.3.4.4. Ropivacaine 0,75% plain 20 cc (1 vial)
4.3.5. Obat Ajuvan
4.3.5.1. Clonidine 150 mcg (1 ampul)
4.3.5.2. Morphine 10 mg (1 ampul)
4.3.5.3. Fentanyl 100 mcg (1 ampul)
4.3.6. Disposable spuit 5 cc (1 buah)
4.3.7. Disposable spuit 3 cc (1 buah)
4.3.8. Kassa steril (7 lembar)
4.3.9. Doeck steril (1 buah)
4.3.10. Betadine (10cc) dan/atau Savlon (10cc) dan/atau alkohol (10cc)
4.3.11. Kasa+plester penutup bekas luka
4.3.12. Oksigen
4.3.13. Canula Oksigen dan Masker non rebreathing
4.3.14. Obat sedasi
4.3.14.1. Midazolam (5mg 1 ampul) dan/atau Diazepam (10 mg 1 ampul)
dan/atau Propofol (100mg 1 ampul) dan/atau Ketamine (100mg)
dan/atau Thiopental (250mg 1 ampul)
4.3.15. Obat analgetik
4.3.15.1. Morphine (10mg 1 ampul) dan/atau Fentanyl (100mcg 1 ampul)
dan/atau Sulfentanyl (50mcg 2 ampul) dan/atau Pethidine (100mg 2
ampul)
4.3.16. Cairan
4.3.16.1. Ringer Laktat (3 kolf)
4.3.16.2. Ringer Asetat (3 kolf)
4.3.16.3. Natrium Clorida 0,9% (1 kolf)
4.3.16.4. Koloid (Gelatine atau HAES) (2 kolf)
4.3.17. Obat Kegawatan:
4.3.17.1. Dexamethasone (5mg 2 ampul)
4.3.17.2. Methylprednisolone (125mg 2 ampul)
4.3.17.3. Hidrocortisone (100mg 1 ampul)
4.3.17.4. Aminophylin (240mg 1 ampul)
4.3.17.5. Bricasma
4.3.17.6. Asam tranexamat (500mg 2 ampul)
4.3.17.7. Ephedrine (50mg 1 ampul)
4.3.17.8. Epinephrine (1mg 2 ampul)
4.3.17.9. Sulfas atropine (0,25mg 4 ampul)
4.3.17.10. Norepinephrine (4mg 1 ampul)
16
4.3.17.11. Dopamin (200mg 1 vial)
4.3.17.12. Dobutamin (250mg 1 vial)
4.3.17.13. Milrinone
4.3.17.14. Clonidine (300mcg 1 ampul)
4.3.17.15. Diltiazem
4.3.17.16. Nitrogliserin
4.3.17.17. ISDN
4.3.17.18. Metoprolol
4.3.17.19. D40 (25ml 2 vial)
4.3.17.20. Natrium bicarbonat
4.3.17.21. Amiodarone (150mg 2 ampul)
4.3.17.22. Adenosine
4.3.17.23. Lidocaine (40mg 4 ampul)
4.3.17.24. Furosemide (20mg 4 ampul)
4.3.17.25. Dantrolene
4.3.17.26. Fenoterol nebul (1 buah)
4.3.17.27. Salbutamol nebul (1 buah)
4.3.17.28. Propanolol tablet (10mg 10 buah)
4.3.17.29. Iodine
4.3.17.30. PTU tablet (100mg 10 buah)
4.3.17.31. ISDN tablet (5mg 2 buah)
4.4. Dokter :
4.4.1. Visite perioperatif.
4.4.2. penentuan klasifikasi ASA PS.
4.4.3. Check list kesiapan anestesi.
4.4.4. Pengelolaan nyeri pasca bedah.
5. Prosedur Tindakan
5.1. Pasang monitor standar berupa, Tekanan darah, EKG, Saturasi oksigen.
5.2. Loading menggunakan cairan kristaloid sebanyak 500cc.
5.3. Posisikan Pasien duduk atau tidur miring.
5.4. Identifikasi tempat insersi jarum spinal dan diberikan penanda.
5.5. Mencuci tangan (scrubbing).
5.6. Menggunakan Sarung tangan steril
5.7. Desinfeksi daerah insersi jarum spinal, injeksi anestesi lokal lidokain 2% 40 mg.
5.8. Insersi jarum spinal ditempat yang telah ditandai.
5.9. Pastikan LCS keluar.
5.10.Barbotage cairan LCS yang keluar.
5.11.Injeksikan Bupivacain 0,5% 5-20 mg atau lidocaine 5% 50-100mg dikombinasikan
dengan adjuvan fentanyl 25 µg dan/atau pethidin 25mg dan/atau morfin 0,1-0,3 mg
dan/atau Clonidine 15-60 mcg intratekal.
5.12.Check level ketinggian block.
5.13.Maintanance dengan oksigen 2 lt/mnt menggunakan kanula nasal
5.14.Sedasi dengan midazolam dan/atau diazepam dan/atau Propofol dan/atau
Ketamine dan/atau Thiopental.
5.15.Jika terjadi hipotensi, lakukan prosedur terapi hipotensi
17
6. Pasca Prosedur Tindakan
Dilakukan di Ruang Pulih
6.1. Pengawasan Jalan Nafas, Pernafasan, tekanan darah, nadi, saturasi oksigen
6.2. Pengawasan komplikasi yang mungkin terjadi dari tindakan operasi dan pembiusan
serta penanggulangannya.
6.3. Oksigenasi menggunakan oksigen via Canula nasal
7. Tingkat Evidens : I
8. Tingkat Rekomendasi : A
10. Kepustakaan
10.1. Miller’s Anesthesia 7th edition, Ronald D Miller, 2009
10.2. Morgan Clinical Anesthesiology 4th edition, G Edward Morgan, 2006
18
REGIONAL ANESTESI BLOK EPIDURAL
ICD 9 : 03.90
1. Pengertian (Definisi)
2. Indikasi
Pasien yang akan menjalani tindakan pembedahan yang berlokasi dari dada ke bawah
3. Kontra Indikasi
3.1. Absolut:
3.1.1. peningkatan tekanan intracranial
3.1.2. koagulopati, dalam terapi antikoagulan
3.1.3. infeksi kulit tempat tusukan
3.1.4. penolakan pasien
3.1.5. hipovolemia
3.1.6. kelainan katup jantung berat atau obstruksi aliran dari ventrikel
3.2. Relatif:
3.2.1. sepsis
3.2.2. pasien tidak kooperatif
3.2.3. kelainan neurologis sebelumnya
3.2.4. kelainan tulang belakang yang berat
3.3. Kontroversi:
3.3.1. operasi tulang belakang sebelumnya
3.3.2. pasien tidak dapat berkomunikasi
3.3.3. operasi yang memanjang
3.3.4. operasi dengan kehilangan darah dalam jumlah besar
3.3.5. maneuver yang mempengaruhi respirasi
4. Persiapan
4.1. Pasien :
4.1.1. Penjelasan rencana dan resiko komplikasi tindakan epidural anestesi.
4.1.2. Ijin persetujuan tindakan anestesi dengan blok epidural
4.1.3. Puasa.
4.1.4. Medikasi sesuai resiko anestesi.
4.1.5. Premedikasi pra anestesi.
4.1.6. Kelengkapan pemeriksaan penunjang.
19
4.2. Alat
4.2.1. Set untuk general anestesi (Stetoskop, laringoskop, plester, Tube
Endotracheal, peralatan Airway, sungkup muka, sirkuit pernafasan, suction)
4.2.2. Monitor: EKG, Pulse oksimetri, tekanan darah
20
4.3.17.5. Bricasma
4.3.17.6. Asam tranexamat (500mg 2 ampul)
4.3.17.7. Ephedrine (50mg 1 ampul)
4.3.17.8. Epinephrine (1mg 2 ampul)
4.3.17.9. Sulfas atropine (0,25mg 4 ampul)
4.3.17.10. Norepinephrine (4mg 1 ampul)
4.3.17.11. Dopamin (200mg 1 vial)
4.3.17.12. Dobutamin (250mg 1 vial)
4.3.17.13. Milrinone
4.3.17.14. Clonidine (300mcg 1 ampul)
4.3.17.15. Diltiazem
4.3.17.16. Nitrogliserin
4.3.17.17. ISDN
4.3.17.18. Metoprolol
4.3.17.19. D40 (25ml 2 vial)
4.3.17.20. Natrium bicarbonat
4.3.17.21. Amiodarone (150mg 2 ampul)
4.3.17.22. Adenosine
4.3.17.23. Lidocaine (40mg 4 ampul)
4.3.17.24. Furosemide (20mg 4 ampul)
4.3.17.25. Dantrolene
4.3.17.26. Fenoterol nebul (1 buah)
4.3.17.27. Salbutamol nebul (1 buah)
4.3.17.28. Propanolol tablet (10mg 10 buah)
4.3.17.29. Iodine
4.3.17.30. PTU tablet (100mg 10 buah)
4.3.17.31. ISDN tablet (5mg 2 buah)
4.4. Dokter :
4.4.1. Visite perioperatif.
4.4.2. penentuan klasifikasi ASA PS.
4.4.3. Check list kesiapan anestesi.
4.4.4. Pengelolaan nyeri pasca bedah.
5. Prosedur Tindakan
5.1. Pasang monitor standar berupa, Tekanan darah, EKG, Saturasi oksigen.
5.2. Loading menggunakan cairan kristaloid sebanyak 500cc.
5.3. Posisikan Pasien duduk atau tidur miring.
5.4. Identifikasi tempat insersi jarum spinal dan diberikan penanda.
5.5. Mencuci tangan (scrubbing).
5.6. Menggunakan Sarung tangan steril
5.7. Desinfeksi daerah insersi jarum epidural, injeksi anestesi lokal lidokain 2% 40 mg.
5.8. Insersi jarum epidural ditempat yang telah ditandai.
5.9. Didapatkan loss of resistance
5.10. Dipasang kateter (bila diperlukan)
5.11. Injeksikan obat test dose
21
5.12. Injeksikan Bupivacain 0,5% dan/atau lidocaine 2% dan/atau ropivacaine 0,75%
dan/atau levobupivacaine 5-20cc dikombinasikan dengan adjuvan fentanyl 25-50
µg dan/atau pethidin 25-50mg dan/atau morfin 1-2 mg.
5.13. Check level ketinggian block.
5.14. Maintanance dengan oksigen 2 lt/mnt menggunakan kanula nasal
5.15. Sedasi dengan midazolam dan/atau diazepam dan/atau Propofol dan/atau
Ketamine dan/atau Thiopental.
5.16. Jika terjadi hipotensi, lakukan prosedur terapi hipotensi.
5.17. Evaluasi ulang untuk memasukkan obat anestesi lagi bila diperlukan untuk
memperpanjang masa anestesi maupun untuk penanganan nyeri setelah
pembedahan
7. Tingkat Evidens : II
8. Tingkat Rekomendasi : B
10. Kepustakaan
10.1. Miller’s Anesthesia 7th edition, Ronald D Miller, 2009
10.2. Morgan Clinical Anesthesiology 4th edition, G Edward Morgan, 2006
10.3. Standard dan Pedoman Pelayanan Anestesiologi Indonesia. IDSAI. 2008
22
REGIONAL ANESTESI KOMBINASI BLOK SPINAL – EPIDURAL
1. Pengertian (Definisi)
Regional Anestesi Kombinasi Blok Spinal-Epidural adalah tindakan pembiusan dengan
cara melakukan penyuntikan ke rongga subarachnoid dan Epidural, memberikan obat
anestesi lokal kedalam rongga tersebut untuk memblok rangsangan nyeri
2. Indikasi
Pasien yang akan menjalani tindakan pembedahan yang berlokasi dari dada ke bawah
3. Kontra Indikasi
3.1. Absolut:
3.1.1. peningkatan tekanan intracranial
3.1.2. koagulopati, dalam terapi antikoagulan
3.1.3. infeksi kulit tempat tusukan
3.1.4. penolakan pasien
3.1.5. hipovolemia
3.1.6. kelainan katup jantung berat atau obstruksi aliran dari ventrikel
3.2. Relatif:
3.2.1. sepsis
3.2.2. pasien tidak kooperatif
3.2.3. kelainan neurologis sebelumnya
3.2.4. kelainan tulang belakang yang berat
3.3. Kontroversi:
3.3.1. operasi tulang belakang sebelumnya
3.3.2. pasien tidak dapat berkomunikasi
3.3.3. operasi yang memanjang
3.3.4. operasi dengan kehilangan darah dalam jumlah besar
3.3.5. maneuver yang mempengaruhi respirasi
4. Persiapan
4.1. Pasien :
4.1.1. Penjelasan rencana dan resiko komplikasi tindakan kombinasi spinal epidural
anestesi.
4.1.2. Ijin persetujuan tindakan anestesi dengan kombinasi spinal epidural anestesi
4.1.3. Puasa.
4.1.4. Medikasi sesuai resiko anestesi.
4.1.5. Premedikasi pra anestesi.
4.1.6. Kelengkapan pemeriksaan penunjang.
23
4.2. Alat
4.2.1. Set untuk general anestesi (Stetoskop, laringoskop, plester, Tube
Endotracheal, peralatan Airway, sungkup muka, sirkuit pernafasan, suction)
4.2.2. Monitor: EKG, Pulse oksimetri, tekanan darah
24
4.3.18.5. Koloid (Gelatine atau HAES) (2 kolf)
4.3.19. Obat Kegawatan:
4.3.19.1. Dexamethasone (5mg 2 ampul)
4.3.19.2. Methylprednisolone (125mg 2 ampul)
4.3.19.3. Hidrocortisone (100mg 1 ampul)
4.3.19.4. Aminophylin (240mg 1 ampul)
4.3.19.5. Bricasma
4.3.19.6. Asam tranexamat (500mg 2 ampul)
4.3.19.7. Ephedrine (50mg 1 ampul)
4.3.19.8. Epinephrine (1mg 2 ampul)
4.3.19.9. Sulfas atropine (0,25mg 4 ampul)
4.3.19.10. Norepinephrine (4mg 1 ampul)
4.3.19.11. Dopamin (200mg 1 vial)
4.3.19.12. Dobutamin (250mg 1 vial)
4.3.19.13. Milrinone
4.3.19.14. Clonidine (300mcg 1 ampul)
4.3.19.15. Diltiazem
4.3.19.16. Nitrogliserin
4.3.19.17. ISDN
4.3.19.18. Metoprolol
4.3.19.19. D40 (25ml 2 vial)
4.3.19.20. Natrium bicarbonat
4.3.19.21. Amiodarone (150mg 2 ampul)
4.3.19.22. Adenosine
4.3.19.23. Lidocaine (40mg 4 ampul)
4.3.19.24. Furosemide (20mg 4 ampul)
4.3.19.25. Dantrolene
4.3.19.26. Fenoterol nebul (1 buah)
4.3.19.27. Salbutamol nebul (1 buah)
4.3.19.28. Propanolol tablet (10mg 10 buah)
4.3.19.29. Iodine
4.3.19.30. PTU tablet (100mg 10 buah)
4.3.19.31. ISDN tablet (5mg 2 buah)
4.4. Dokter :
4.4.1. Visite perioperatif.
4.4.2. penentuan klasifikasi ASA PS.
4.4.3. Check list kesiapan anestesi.
4.4.4. Pengelolaan nyeri pasca bedah.
5. Prosedur Tindakan
5.1. Pasang monitor standar berupa, Tekanan darah, EKG, Saturasi oksigen.
5.2. Loading menggunakan cairan kristaloid sebanyak 500cc.
5.3. Posisikan Pasien duduk atau tidur miring.
5.4. Identifikasi tempat insersi jarum spinal – epidural dan diberikan penanda.
5.5. Mencuci tangan (scrubbing).
5.6. Menggunakan Sarung tangan steril
25
5.7. Desinfeksi daerah insersi jarum spinal-epidural, injeksi anestesi lokal lidokain 2%
40 mg.
7. Tingkat Evidens : II
26
8. Tingkat Rekomendasi : B
10. Kepustakaan
10.1. Miller’s Anesthesia 7th edition, Ronald D Miller, 2009
10.2. Morgan Clinical Anesthesiology 4th edition, G Edward Morgan, 2006
10.3. Standard dan Pedoman Pelayanan Anestesiologi Indonesia. IDSAI. 2008
27
REGIONAL ANESTESI BLOK CAUDAL
1. Pengertian (Definisi)
Regional Anestesi Blok Caudal Adalah tindakan pembiusan dengan cara melakukan
penyuntikan ke rongga Epidural melalui hiatus sacralis dan memberikan obat anestesi
lokal kedalam rongga tersebut untuk memblok rangsangan nyeri
2. Indikasi
Pasien yang akan menjalani tindakan pembedahan yang berlokasi dari abdomen ke
bawah
3. Kontra Indikasi
3.1. Absolut:
3.1.1. koagulopati, dalam terapi antikoagulan
3.1.2. infeksi kulit tempat tusukan
3.1.3. penolakan pasien
3.2. Relatif:
3.2.1. sepsis
3.2.2. pasien tidak kooperatif
3.2.3. kelainan neurologis sebelumnya
3.2.4. kelainan tulang belakang yang berat
4. Persiapan
4.1. Pasien :
4.1.1. Penjelasan rencana dan resiko komplikasi tindakan caudal anestesi.
4.1.2. Ijin persetujuan tindakan anestesi dengan blok caudal
4.1.3. Puasa.
4.1.4. Medikasi sesuai resiko anestesi.
4.1.5. Premedikasi pra anestesi.
4.1.6. Kelengkapan pemeriksaan penunjang.
4.2. Alat
4.2.1. Set untuk general anestesi (Stetoskop, laringoskop, plester, Tube
Endotracheal, peralatan Airway, sungkup muka, sirkuit pernafasan, suction)
4.2.2. Monitor: EKG, Pulse oksimetri, tekanan darah
4.3. Bahan dan Obat:
4.3.1. Sarung tangan steril (2 buah)
4.3.2. Jarum 21/23 G (1 buah).
4.3.3. Lidokain 2% (2 ampul).
4.3.4. Obat Anestesi lokal
4.3.4.1. Bupivacaine 0,5% plain 20cc (1 vial)
4.3.4.2. Ropivacaine 0,75% plain 20 cc (1 vial)
28
4.3.4.3. Lidocaine 2% plain 20 cc (1 vial)
4.3.4.4. Levobupivacaine plain 20 cc (1 vial)
29
4.3.18.18. Metoprolol
4.3.18.19. D40 (25ml 2 vial)
4.3.18.20. Natrium bicarbonat
4.3.18.21. Amiodarone (150mg 2 ampul)
4.3.18.22. Adenosine
4.3.18.23. Lidocaine (40mg 4 ampul)
4.3.18.24. Furosemide (20mg 4 ampul)
4.3.18.25. Dantrolene
4.3.18.26. Fenoterol nebul (1 buah)
4.3.18.27. Salbutamol nebul (1 buah)
4.3.18.28. Propanolol tablet (10mg 10 buah)
4.3.18.29. Iodine
4.3.18.30. PTU tablet (100mg 10 buah)
4.3.18.31. ISDN tablet (5mg 2 buah)
4.4. Dokter :
4.4.1. Visite perioperatif.
4.4.2. penentuan klasifikasi ASA PS.
4.4.3. Check list kesiapan anestesi.
4.4.4. Pengelolaan nyeri pasca bedah
5. Prosedur Tindakan
5.1. Pasang monitor standar berupa, Tekanan darah, EKG, Saturasi oksigen.
5.2. Loading menggunakan cairan kristaloid sebanyak 500cc.
5.3. Posisikan Pasien duduk atau tidur miring.
5.4. Identifikasi tempat insersi jarum spinal dan diberikan penanda.
5.5. Mencuci tangan (scrubbing).
5.6. Menggunakan Sarung tangan steril
5.7. Desinfeksi daerah insersi jarum caudal.
5.8. Injeksi anestesi lokal lidokain 2% 40 mg (bila bukan kombinasi dengan anestesi
umum).
5.9. Insersi jarum caudal ditempat yang telah ditandai.
5.10.Didapatkan rasa menembus seperti “pop”.
5.11.Dilakukan aspirasi, tidak didapatkan darah
5.12.Injeksikan obat test dose dan tidak didapatkan tahanan
5.13.Injeksikan Bupivacain 0,5% dan/atau lidocaine 2% dan/atau ropivacaine 0,75%
dan/atau levobupivacaine 0,5 – 1,2 ml/kg BB dikombinasikan dengan adjuvan
morfin 10-30 mcg/kg BB.
5.14.Dipasang kateter (bila diperlukan)
5.15.Maintanance dengan oksigen 2 lt/mnt menggunakan kanula nasal (bila bukan
kombinasi dengan anestesi umum)
5.16.Sedasi dengan midazolam dan/atau diazepam dan/atau Propofol dan/atau
Ketamine dan/atau Thiopental (bila bukan kombinasi dengan anestesi umum).
5.17.Jika terjadi hipotensi, lakukan prosedur terapi hipotensi.
5.18.Evaluasi ulang untuk memasukkan obat anestesi lagi bila diperlukan untuk
memperpanjang masa anestesi maupun untuk penanganan nyeri setelah
pembedahan
30
6. Pasca Prosedur Tindakan
Dilakukan di Ruang Pulih
6.1. Pengawasan Jalan Nafas, Pernafasan, tekanan darah, nadi, saturasi oksigen
6.2. Pengawasan komplikasi yang mungkin terjadi dari tindakan operasi dan pembiusan
serta penanggulangannya.
6.3. Oksigenasi menggunakan oksigen via Canula nasal
7. Tingkat Evidens :I
8. Tingkat Rekomendasi : A
10. Kepustakaan
10.1. Miller’s Anesthesia 7th edition, Ronald D Miller, 2009
10.2. Morgan Clinical Anesthesiology 4th edition, G Edward Morgan, 2006
10.3. Standard dan Pedoman Pelayanan Anestesiologi Indonesia. IDSAI. 2008
31
REGIONAL ANESTESI BLOK SARAF PERIFER
1. Pengertian (Definisi)
Regional Anestesi Blok Saraf Perifer adalah Tindakan anestesi yang menginjeksikan
obat lokal anestesi dengan bantuan nerve stimulator atau USG untuk memblok inervasi
pada saraf tertentu
2. Indikasi
2.1. Pembedahan di daerah ekstremitas atas
2.2. Pembedahan di daerah ekstrimitas bawah
2.3. Pembedahan di daerah kepala leher, thorak dan abdomen dengan cakupan terbatas
2.4. Penatalaksanaan nyeri peri dan post operatif
3. Kontra Indikasi
3.1. Infeksi lokal site of Injection
3.2. Koagulopati
3.3. Alergi pada agen anestesi lokal
3.4. Pasien Menolak
4. Persiapan
4.1. Pasien :
4.1.1. Penjelasan rencana dan resiko komplikasi tindakan blok saraf perifer.
4.1.2. Ijin persetujuan tindakan anestesi dengan blok saraf perifer
4.1.3. Puasa.
4.1.4. Medikasi sesuai resiko anestesi.
4.1.5. Premedikasi pra anestesi.
4.1.6. Kelengkapan pemeriksaan penunjang.
4.2. Alat
4.2.1. Set untuk general anestesi (Stetoskop, laringoskop, plester, Tube
Endotracheal, peralatan Airway, sungkup muka, sirkuit pernafasan, suction)
4.2.2. Monitor: EKG, Pulse oksimetri, tekanan darah
32
4.3.5.4. Levobupivacaine plain 20 cc (2 vial)
33
4.3.17.21. Amiodarone (150mg 2 ampul)
4.3.17.22. Adenosine
4.3.17.23. Lidocaine (40mg 4 ampul)
4.3.17.24. Furosemide (20mg 4 ampul)
4.3.17.25. Dantrolene
4.3.17.26. Fenoterol nebul (1 buah)
4.3.17.27. Salbutamol nebul (1 buah)
4.3.17.28. Propanolol tablet (10mg 10 buah)
4.3.17.29. Iodine
4.3.17.30. PTU tablet (100mg 10 buah)
4.3.17.31. ISDN tablet (5mg 2 buah)
4.4. Dokter :
4.4.1. Visite perioperatif.
4.4.2. penentuan klasifikasi ASA PS.
4.4.3. Check list kesiapan anestesi.
4.4.4. Pengelolaan nyeri pasca bedah
5. Prosedur Tindakan
5.1. Pasang monitor standar berupa, Tekanan darah, EKG, Saturasi oksigen.
5.2. Loading menggunakan cairan kristaloid sebanyak 500cc.
5.3. Posisikan Pasien.
5.4. Identifikasi tempat insersi jarum blok dan diberikan penanda.
5.5. Mencuci tangan (scrubbing).
5.6. Menggunakan Sarung tangan steril
5.7. Desinfeksi daerah insersi jarum blok, injeksi anestesi lokal lidokain 2% 40 mg.
5.8. Insersi jarum blok ditempat yang telah ditandai.
5.9. Didapatkan kontraksi otot yang diharapkan
5.10. Dipasang kateter (bila diperlukan)
5.11. Injeksikan Bupivacain 0,5% dan/atau lidocaine 2% dan/atau ropivacaine 0,75%
dan/atau levobupivacaine 5-20cc dikombinasikan dengan adjuvan epineprine
1:200.000.
5.12. Check keberhasilan block.
5.13. Maintanance dengan oksigen 2 lt/mnt menggunakan kanula nasal
5.14. Sedasi dengan midazolam dan/atau diazepam dan/atau Propofol dan/atau
Ketamine dan/atau Thiopental.
5.15. Jika terjadi hipotensi, lakukan prosedur terapi hipotensi.
5.16. Evaluasi ulang untuk memasukkan obat anestesi lagi bila diperlukan untuk
memperpanjang masa anestesi maupun untuk penanganan nyeri setelah
pembedahan
34
7. Tingkat Evidens : II
8. Tingkat Rekomendasi : B
9. Indikator Prosedur Tindakan
90 % blok perifer berhasil tanpa komplikasi
10. Kepustakaan
10.1. Miller’s Anesthesia 7th edition, Ronald D Miller, 2009
10.2. Morgan Clinical Anesthesiology 4th edition, G Edward Morgan, 2006
10.3. Standard dan Pedoman Pelayanan Anestesiologi Indonesia. IDSAI. 2008
35
KOMBINASI ANESTESI UMUM DAN REGIONAL ANESTESI
1. Pengertian (Definisi)
Anastesi umum didefinisikan sebagai hilangnya rasa nyeri dan hilangnya kesadaran
yang reversible akibat pemberian obat.
Regional anestesi didefinisikan sebagai hilangnya rasa nyeri di sebagian tubuh sesuai
dengan saraf yang diblok
2. Indikasi
Sesuai masing-masing teknik yang digunakan
3. Kontra Indikasi
Sesuai masing-masing teknik yang digunakan
4. Persiapan
4.1. Pasien :
4.1.1. Penjelasan rencana dan resiko komplikasi tindakan anestesi umum dan
regional.
4.1.2. Ijin persetujuan tindakan anestesi umum dan regional.
4.1.3. Puasa.
4.1.4. Medikasi sesuai resiko anestesi.
4.1.5. Premedikasi pra anestesi.
4.1.6. Kelengkapan pemeriksaan penunjang.
4.2. Alat
Kombinasi alat anestesi umum dan regional sesuai masing-masing teknik yang
digunakan
4.3. Bahan dan Obat:
Kombinasi alat anestesi umum dan regional sesuai masing-masing teknik yang
digunakan
4.4. Dokter :
4.4.1. Visite perioperatif.
4.4.2. penentuan klasifikasi ASA PS.
4.4.3. Check list kesiapan anestesi.
5. Prosedur Tindakan
5.1. Pasang monitor standar berupa, Tekanan darah, EKG, Saturasi oksigen.
5.2. Loading menggunakan cairan kristaloid sebanyak 500cc.
5.3. Posisikan Pasien.
5.4. Dilakukan tindakan anestesi regional sesuai PPK masing-masing
Pilihan teknik anestesi umum:
36
5.4.1. Anestesi umum intubasi
5.4.2. Anestesi umum face mask
5.4.3. Anestesi umum total intravena
Pilihan teknik anestesi regional
5.4.4. Anestesi regional blok subarachnoid
5.4.5. Anestesi regional blok epidural
5.4.6. Anestesi regional kombinasi blok spinal epidural
5.4.7. Anestesi regional blok saraf perifer
5.4.8. Anestesi regional blok caudal
5.5. Check keberhasilan block.
5.6. Dilakukan anestesi umum sesuai masing-masing teknik yang digunakan
5.7. Jika terjadi hipotensi, lakukan prosedur terapi hipotensi.
5.8. Evaluasi ulang untuk memasukkan obat anestesi lagi bila diperlukan untuk
memperpanjang masa anestesi maupun untuk penanganan nyeri setelah
pembedahan
7. Tingkat Evidens : II
8. Tingkat Rekomendasi : B
10. Kepustakaan
10.1. Miller’s Anesthesia 7th edition, Ronald D Miller, 2009
10.2. Morgan Clinical Anesthesiology 4th edition, G Edward Morgan, 2006
10.3. Standard dan Pedoman Pelayanan Anestesiologi Indonesia. IDSAI. 2008
37
SEDASI SEDANG BERAT
1. Pengertian (Definisi)
Sedasi didefinisikan sebagai hilangnya rasa nyeri dan hilangnya kesadaran yang
reversible akibat pemberian obat.
2. Indikasi
Untuk prosedur non operasi yang dilakukan di berbagai tempat (dalam ataupun luar
kamar operasi)
3. Kontra Indikasi
3.1. Pasien dengan lambung penuh.
3.2. Pasien dengan adanya obstruksi jalan nafas bagian atas.
3.3. Gagal nafas akut dan kronis.
3.4. Pasien yang memerlukan bantuan nafas dengan respirator.
3.5. Terdapat banyak sputum.
3.6. Pasien tidak sadar dengan potensi jalan nafas terganggu.
3.7. Pasien henti nafas.
3.8. Trauma Thorak
4. Persiapan
4.1. Pasien :
4.1.1. Penjelasan rencana dan resiko komplikasi tindakan sedasi sedang berat.
4.1.2. Ijin persetujuan tindakan sedasi sedang berat.
4.1.3. Puasa.
4.1.4. Medikasi sesuai resiko anestesi.
4.1.5. Premedikasi pra anestesi.
4.1.6. Kelengkapan pemeriksaan penunjang.
4.2. Alat
4.2.1. stetoskop
4.2.2. laringoskop dengan blade sesuai ukuran pasien
4.2.3. laryngeal mask airway 3 ukuran (ukuran pasien, satu nomor diatas, dan satu
nomor dibawah) yang memungkinkan pemasangan pipa nasogastrik dan
penghisapan cairan
4.2.4. introducer atau penuntun
4.2.5. masker 3 ukuran (ukuran pasien, satu nomor diatas, dan satu nomor
dibawah)
4.2.6. mesin anestesi dengan sumber gas
4.2.7. alat suction
4.2.8. monitor (SpO2, Elektrokardiogram, tekanan darah, nadi)
4.2.9. McGill tang
38
4.2.10. spuit cuff
4.2.11. laringoskop dengan blade khusus
4.3. Bahan dan Obat:
4.3.1. oropharyngeal airway 3 ukuran (ukuran pasien, satu nomor diatas, dan satu
nomor dibawah)
4.3.2. nasopharyngeal airway 3 ukuran (ukuran pasien, satu nomor diatas, dan satu
nomor dibawah)
4.3.3. plester
4.3.4. catéter suction 2 buah
4.3.5. sarung tangan
4.3.6. Obat sedasi/induksi
4.3.6.1. Midazolam (5mg 1 ampul) dan/atau Diazepam (10 mg 1 ampul)
4.3.6.2. Propofol (100mg 1 ampul) dan/atau Ketamine (100mg) dan/atau
Thiopental (250mg 1 ampul)
4.3.7. Gas Anestesi
4.3.7.1. Halothane (1 botol) dan/atau Isoflurane (1 botol) dan/atau Enflurane (1
botol) dan/atau Desflurane (1 botol) dan/atau Sevoflurane (1 botol)
dan/atau N2O
4.3.7.2. Oksigen
4.3.8. Obat analgetik
4.3.8.1. Morphine (10mg 1 ampul) dan/atau Fentanyl (100mcg 3 ampul)
dan/atau Sulfentanyl (50mcg 2 ampul) dan/atau Pethidine (100mg 2
ampul)
4.3.9. Obat pelumpuh otot
4.3.9.1. Atracurium (25mg 4 ampul) dan/atau Rocuronium (50mg 2 ampul)
dan/atau Vecuronium (4mg 5 ampul)
4.3.10. Cairan
4.3.10.1. Cairan
4.3.10.2. Ringer Laktat (3 kolf)
4.3.10.3. Ringer Asetat (3 kolf)
4.3.10.4. Natrium Clorida 0,9% (1 kolf)
4.3.10.5. Koloid (Gelatine atau HAES) (2 kolf)
4.3.11. Obat Kegawatan:
4.3.11.1. Dexamethasone (5mg 2 ampul)
4.3.11.2. Methylprednisolone (125mg 2 ampul)
4.3.11.3. Hidrocortisone (100mg 1 ampul)
4.3.11.4. Aminophylin (240mg 1 ampul)
4.3.11.5. Bricasma
4.3.11.6. Asam tranexamat (500mg 2 ampul)
4.3.11.7. Ephedrine (50mg 1 ampul)
4.3.11.8. Epinephrine (1mg 2 ampul)
4.3.11.9. Sulfas atropine (0,25mg 4 ampul)
4.3.11.10. Norepinephrine (4mg 1 ampul)
4.3.11.11. Dopamin (200mg 1 vial)
4.3.11.12. Dobutamin (250mg 1 vial)
4.3.11.13. Milrinone
4.3.11.14. Clonidine (300mcg 1 ampul)
39
4.3.11.15. Diltiazem
4.3.11.16. Nitrogliserin
4.3.11.17. ISDN
4.3.11.18. Metoprolol
4.3.11.19. D40 (25ml 2 vial)
4.3.11.20. Natrium bicarbonat
4.3.11.21. Amiodarone (150mg 2 ampul)
4.3.11.22. Adenosine
4.3.11.23. Lidocaine (40mg 4 ampul)
4.3.11.24. Furosemide (20mg 4 ampul)
4.3.11.25. Dantrolene
4.3.11.26. Fenoterol nebul (1 buah)
4.3.11.27. Salbutamol nebul (1 buah)
4.3.11.28. Propanolol tablet (10mg 10 buah)
4.3.11.29. Iodine
4.3.11.30. PTU tablet (100mg 10 buah)
4.3.11.31. ISDN tablet (5mg 2 buah)
4.4. Dokter :
4.4.1. Visite perioperatif.
4.4.2. penentuan klasifikasi ASA PS.
4.4.3. Check list kesiapan anestesi
5. Prosedur Tindakan
5.1. Beri tau pasien tentang tindakan yang akan dilakukan
5.2. Pasang infus dengan IV kateter yang besar
5.3. Periksa sumber oksigen dan sumber gas lain
5.4. Periksa kesiapan mesin anestesia bila ada
5.5. Premedikasi menggunakan Midazolam dan/atau Diazepam dengan fentany
dan/atau pethidine serta lidokain 2%
5.6. Preoksigenasi 4-6 menit
5.7. Induksi menggunakan Midazolam dan/atau Propofol dan/atau Ketamine dan/atau
Thiopental dan/atau Halotane dan/atau Sevoflurane
5.8. Lumpuhkan otot dengan atracurium dan/atau Vecuronium dan/atau Rocuronium
(bila diperlukan)
5.9. Dilakukan laringoskopi dan pemasangan pipa endotrakeal (dilakukan sebelum
induksi pada teknik awake atau setelah induksi pada teknik asleep)
5.10. Maintanance anestesi menggunakan anestesi inhalasi isofluran dan/atau
sevofluran dan/atau halotan via face mask dan/atau propofol dan/atau midazolam
dan/atau ketamine dan/atau Thiopental, analgetik berupa fentany dan/atau morfin
dan/atau pethidine, pelumpuh otot atracurium dan/atau Vecuronium dan/atau
Rocuronium.
5.11. Selesai operasi pasien dibangunkan.
5.12. Pipa endotrakeal dilepas pada kondisi sadar penuh atau tidur dalam.
5.13. Pasien dipindahkan ke Ruang pulih bila: jalan nafas terkendali dan hemodinamik
stabil
40
6. Pasca Prosedur Tindakan
Dilakukan di Ruang Pulih
6.1. Pengawasan Jalan Nafas, Pernafasan, tekanan darah, nadi, saturasi oksigen
6.2. Pengawasan komplikasi yang mungkin terjadi dari tindakan operasi dan
pembiusan serta penanggulangannya
7. Tingkat Evidens : II
8. Tingkat Rekomendasi : B
10. Kepustakaan
10.1. Miller’s Anesthesia 7th edition, Ronald D Miller, 2009
10.2. Morgan Clinical Anesthesiology 4th edition, G Edward Morgan, 2006
10.3. Standard dan Pedoman Pelayanan Anestesiologi Indonesia. IDSAI. 2008
10.4. Manual of Anaesthesia, C Y Lee, 2006
41
PENATALAKSANAAN NYERI AKUT PASCAOPERASI
1. Pengertian (Definisi)
Nyeri akut pascaoperasi adalah nyeri yang terjadi setelah tindakan operasi
2. Indikasi
Pasien yang mengalami nyeri akut paska operasi
3. Kontra Indikasi
Tidak ada
4. Persiapan
DPJP anestesi melakukan penilaian nyeri sebelum operasi pada pasien-pasien yang
akan menjalani operasi untuk perencanaan pemberian analgetik pasca operasi
5. Prosedur Tindakan
5.1. Pemberian pasca operasi analgetik dibagi menjadi:
5.1.1. Pre-emptive analgesia : pemberian analgetik sebelum terjadi nyeri, diberikan
pada premedikasi: morfin 2-5 mg atau pethidin 15-50 mg, dan atau fentanyl
50-100 mcg.
5.1.2. Teknik analgesi sistemik, meliputi pemberian non-steroidal anti-inflammatory
drugs [NSAID], parasetamol, opioid (cara pemberian sesuai dengan WFSA
Analgesic Ladder)
5.1.3. Teknik analgesi regional, meliputi analgesi epidural yang diberikan dengan
durasi waktu tertentu sesuai dengan obat anestesi lokal yang digunakan
(sesuai PPK anestesi regional)
42
5.2. Analgesi multi-modal: merupakan gabungan berbagai macam teknik dan obat
analgetik
Bila setelah pemberian analgetik pasca operasi, pasien masih mengeluh nyeri (NRS
> 4), berikan pethidin 25 mg intravena dan 30 menit kemudian dilakukan penilaian
ulang NRS pasien bila NRS >4 berikan pethidin 25 mg
7. Tingkat Evidens : II
8. Tingkat Rekomendasi : B
10. Kepustakaan
10.1.Chandra, S. Panduan Tatalaksana Nyeri Perioperatif. PERDATIN. 2009
43
KRITERIA TRANSFER PASIEN DARI RECOVERY ROOM KAMAR
OPERASI (RR – PACU) MENUJU RUANG RAWAT INAP DAN
PEMULANGAN PASIEN ODC
1. Pengertian (Definisi)
Merupakan kriteria fisiologis yang harus dipenuhi untuk transfer yang aman dari RR –
PACU menuju ruang rawat inap dan pemulangan pasien one day care ( ODC)
2. Indikasi
Pasien-pasien yang telah menjalani proses anestesi baik sedasi sedang, anestesi
umum, anestesi regional, anestesi local ataupun kombinasi tehnik tersebut
3. Kontra Indikasi
Pasien yang memerlukan perawatan intensif pasca operasi
4. Persiapan
5. Prosedur Tindakan
5.1. Dokter anestesi menilai, mengisi dan menandatangani didalam rekam medis
berdasarkan kriteria yang ditetapkan
5.2. Perawat jaga RR melaporkan kondisi terakhir sebelum pasien ditransfer menuju
ruang rawat inap ataupun pemulangan pada pasien ODC
5.3. Perawat jaga RR melakukan serah terima pasien dengan petugas penjemput dan
terdokumentasi pada rekam medik
5.4. Kriteria transfer berdasarkan kriteria Pemulihan Fase 1 Aldrete Scoring System
pada pasien dewasa dan kriteria Pemulihan Fase 1 Steward Scoring System pada
pasien anak-anak. (terlampir)
5.5. Kriteria transfer pasien yang mendapatkan anestesi regional, ditambahkan
penilaian Bromage Score ( terlampir)
5.6. Kriteria pemulangan pasien one day care berdasarkan Postanesthetic Discharge
Scoring System (PADSS) dan disertai intruksi khusus pasien ODC (terlampir)
7. Tingkat Evidens : I
8. Tingkat Rekomendasi : A
44
90 % dari pasien pasca bedah terfasilitasi proses transfer secara aman
10. Kepustakaan
10.1. Miller’s Anesthesia 7th edition, Ronald D Miller, 2009
10.2. Morgan Clinical Anesthesiology 4th edition, G Edward Morgan, 2006
10.3. Standard dan Pedoman Pelayanan Anestesiologi Indonesia. IDSAI. 2008
45
PERSIAPAN PRA ANESTESIA PASIEN ELEKTIF
1. Pengertian (Definisi)
Evaluasi Pra Anestesi yang bertujuan untuk : menilai kondisi pasien, menentukan status
fisis dan resiko, menentukan status teknik anestesia yang akan dilakukan, memperoleh
persetujuan tindakan anestesia (informed consent), persiapan tindakan anestesia.
Evaluasi ini dilakukan di poli anestesi dan kunjungan preoperative saat pasien rawat
inap, setelah mendapatkan konsultasi dari DPJP operator untuk mendapatkan
assessment pra anestesi mengenai kelayakan kondisi pasien.
2. Indikasi
Semua pasien yang akan menjalani prosedur yang memerlukan pengawasan dokter
anestesia maupun tindakan anestesia
3. Kontra Indikasi
Tidak ada
4. Persiapan
4.1. Pasien :
4.1.1. Memperoleh informasi/konsultasi dari ruang perawatan / poli mengenai
rencana operasi pasien
4.1.2. Melakukan asessment pra operatif di poli anestesi
4.1.3. Menjelaskan kepada pasien tujuan evaluasi pra anestesi
4.1.4. Pasien kembali ke poli yang meminta konsultasi anestesi pra operatif
4.1.5. Penjadwalan rencana operasi oleh DPJP operator
4.1.6. Pasien rawat inap dan mendapatkan kunjungan preoperatif ulangan untuk
memastikan kelayakan kondisi pasien
4.2. Alat
4.2.1. Stetoskop
4.2.2. Tensimeter
4.2.3. Pulse oxymetri (bila dibutuhkan)
4.2.4. Termometer (bila dibutuhkan)
5. Prosedur Tindakan
5.1. Pemeriksaan pra-anestesia
5.1.1. anamnesis, pemeriksaan fisik, pemeriksaan penunjang sesuai indikasi serta
konsultasi dokter spesialis lain bila diperlukan.
5.1.2. Pemeriksaan penunjang rutin yang harus dilakukan :
5.1.2.1. Pemeriksaan darah lengkap
5.1.2.2. Urinalis (bila gula positif harus ditambah pemeriksaan gula darah)
5.1.2.3. Ureum, kreatinin, elektrolit : pada pembedahan besar
5.1.2.4. EKG : umur > 40 tahun
5.1.2.5. Foto toraks: umur > 60 tahun
5.1.2.6. Uji fungsi hati : pada pembedahan besar pasien umur > 50 tahun
5.1.3. Pemeriksaan penunjang berdasarkan indikasi :
46
5.1.3.1. Pemeriksaan darah lengkap :
5.1.3.1.1. Anemia dan kelainan/penyakit hematologi lainnya
5.1.3.1.2. Gangguan ginjal
5.1.3.1.3. Pasien dalam kemoterapi
5.1.3.2. Ureum, kreatinin, dan elektrolit
5.1.3.2.1. Gangguan/penyakit hati dan ginjal
5.1.3.2.2. Gangguan metabolic, seperti diabetes mellitus
5.1.3.2.3. Riwayat diare, muntah
5.1.3.2.4. Kondisi nutrisi buruk
5.1.3.2.5. Persiapan usus prabedah
5.1.3.2.6. Riwayat pemberian obat-obat digitalis, diuretika,
antihipertensi, steroid,obat anti diabetes
5.1.3.3. Gula darah
5.1.3.3.1. Diabetes mellitus
5.1.3.3.2. Penyakit hati berat
5.1.3.4. Elektrokardiogram
5.1.3.4.1. Hipertensi, penyakut jantung atau penyakit paru kronik
5.1.3.4.2. Diabetes mellitus
5.1.3.5. Foto toraks
5.1.3.5.1. Gangguan pernafasan yang bermakna atau penyakit paru
5.1.3.5.2. Penyakit jantung
5.1.3.6. Analisis gas darah arteri
5.1.3.6.1. Obesitas
5.1.3.6.2. Pesien dengan gangguan nafas
5.1.3.6.3. Penyakit paru sedang sampai berat
5.1.3.6.4. Sakit kritis atau sepsis
5.1.3.6.5. Bedah toraks
5.1.3.7. Uji Fungsi paru
5.1.3.7.1. Bedah toraks
5.1.3.7.2. Penyakit paru sedang sampai berat, seperti PPOK,
bronkiektasi, penyakit paru restriksi
5.1.3.8. Uji Fungsi hati
5.1.3.8.1. Penyakit hepatobilier
5.1.3.8.2. Riwayat peminum alcohol
5.1.3.8.3. Tumor dengan kemungkinan metastase ke ahti
5.1.3.9. Uji hemostase dan koagulasi darah
5.1.3.9.1. Penyakit/kelainan darah
5.1.3.9.2. Penyakit hati berat
5.1.3.9.3. Koagulopati apapun sebabnya
5.1.3.9.4. Riwayat terapi antikoagulan seperti heparin atau warfarin
5.1.3.10. Uji fungsi tiroid
5.1.3.10.1. Riwayat penyakit tiroid
5.1.3.10.2. Gangguan endokrin seperti tumor hipofise
5.1.3.10.3. Bedah tiroid
5.1.3.11. Uji fungsi jatung : Ekokardiografi
5.1.3.11.1. Penyakit jantung
5.1.3.11.2. Kelainan EKG yang bermakna
47
5.1.4. Dokter anestesia dapat menunda atau menolak tindakan anestesia bila hasil
evaluasi pra-anestesia dinilai belum dan atau tidak layak untuk tindakan
anestesia.
< 6 bulan 4 2 6 4
6-36 bulan 6 3 6 4
> 36 bulan 6 2 6
dewasa 6-8 2
7. Tingkat Evidens : I
8. Tingkat Rekomendasi : A
48
9. Indikator Prosedur Tindakan
90% pasien yang akan menjalani prosedur yang memerlukan pengawasan dokter
anestesia maupun tindakan anestesia
10. Kepustakaan
10.1. Menteri Kesehatan Republik Indonesia. 2015. SK NOMOR
HK.02.02/MENKES/251/2015 Tentang Pedoman Nasional Pelayanan Kedokteran
Anestesiologi dan Terapi Intensif. Jakarta: Pengurus Pusat Perhimpunan Dokter
Spesialis Anestesiologi dan Terapi Intensif Indonesia
10.2. Kolegium Anestesiologi & Reanimasi Indonesia. 2008. Modul Pendidikan Dokter
Spesialis Anestesiologi dan Reanimasi. Bandung : Kolegium Anestesiologi &
Reanimasi Indonesia
49
PERSIAPAN PRA ANESTESIA PASIEN CITO
1. Pengertian (Definisi)
Evaluasi Pra Anestesi yang bertujuan untuk : menilai kondisi pasien, menentukan status
fisis dan resiko, menentukan status teknik anestesia yang akan dilakukan, memperoleh
persetujuan tindakan anestesia (informed consent), persiapan tindakan anestesia
2. Indikasi
Semua pasien yang akan menjalani prosedur yang memerlukan pengawasan dokter
anestesia maupun tindakan anestesia
3. Kontra Indikasi
Tidak ada
4. Persiapan
4.1. Pasien :
4.1.1. Memperoleh informasi/konsultasi dari ruang perawatan / poli mengenai
rencana operasi pasien segera setelah rencana tindakan operasi
disampaikan operator
4.1.2. Melakukan visite pra operatif
4.1.3. Menjelaskan kepada pasien tujuan evaluasi para anestesi
4.2. Alat
4.2.1. Stetoskop
4.2.2. Tensimeter
4.2.3. Pulse oxymetri (bila dibutuhkan)
4.2.4. Termometer (bila dibutuhkan)
5. Prosedur Tindakan
5.1. Pemeriksaan pra-anestesia
5.1.1. anamnesis, pemeriksaan fisik, pemeriksaan penunjang sesuai indikasi serta
konsultasi dokter spesialis lain bila diperlukan.
5.1.2. Pemeriksaan penunjang rutin yang harus dilakukan :
5.1.2.1. Pemeriksaan darah lengkap
5.1.2.2. Urinalis (bila gula positif harus ditambah pemeriksaan gula darah)
5.1.2.3. Ureum, kreatinin, elektrolit : pada pembedahan besar
5.1.2.4. EKG : umur > 40 tahun
5.1.2.5. Foto toraks: umur > 60 tahun
5.1.2.6. Uji fungsi hati : pada pembedahan besar pasien umur > 50 tahun
5.1.3. Pemeriksaan penunjang berdasarkan indikasi :
5.1.3.1. Pemeriksaan darah lengkap :
5.1.3.1.1. Anemia dan kelainan/penyakit hematologi lainnya
5.1.3.1.2. Gangguan ginjal
5.1.3.1.3. Pasien dalam kemoterapi
5.1.3.2. Ureum, kreatinin, dan elektrolit
50
5.1.3.2.1. Gangguan/penyakit hati dan ginjal
5.1.3.2.2. Gangguan metabolic, seperti diabetes mellitus
5.1.3.2.3. Riwayat diare, muntah
5.1.3.2.4. Kondisi nutrisi buruk
5.1.3.2.5. Persiapan usus prabedah
5.1.3.2.6. Riwayat pemberian obat-obat digitalis, diuretika,
antihipertensi, steroid, obat anti diabetes
5.1.3.3. Gula darah
5.1.3.3.1. Diabetes mellitus
5.1.3.3.2. Penyakit hati berat
5.1.3.4. Elektrokardiogram
5.1.3.4.1. Hipertensi, penyakut jantung atau penyakit paru kronik
5.1.3.4.2. Diabetes mellitus
5.1.3.5. Foto toraks
5.1.3.5.1. Gangguan pernafasan yang bermakna atau penyakit paru
5.1.3.5.2. Penyakit jantung
5.1.3.6. Analisis gas darah arteri
5.1.3.6.1. Obesitas
5.1.3.6.2. Pesien dengan gangguan nafas
5.1.3.6.3. Penyakit paru sedang sampai berat
5.1.3.6.4. Sakit kritis atau sepsis
5.1.3.6.5. Bedah toraks
5.1.3.7. Uji Fungsi paru
5.1.3.7.1. Bedah toraks
5.1.3.7.2. Penyakit paru sedang sampai berat, seperti PPOK,
bronkiektasi, penyakit paru restriksi
5.1.3.8. Uji Fungsi hati
5.1.3.8.1. Penyakit hepatobilier
5.1.3.8.2. Riwayat peminum alcohol
5.1.3.8.3. Tumor dengan kemungkinan metastase ke ahti
5.1.3.9. Uji hemostase dan koagulasi darah
5.1.3.9.1. Penyakit/kelainan darah
5.1.3.9.2. Penyakit hati berat
5.1.3.9.3. Koagulopati apapun sebabnya
5.1.3.9.4. Riwayat terapi antikoagulan seperti heparin atau warfarin
5.1.3.10. Uji fungsi tiroid
5.1.3.10.1. Riwayat penyakit tiroid
5.1.3.10.2. Gangguan endokrin seperti tumor hipofise
5.1.3.10.3. Bedah tiroid
5.1.3.11. Uji fungsi jatung : Ekokardiografi
5.1.3.11.1. Penyakit jantung
5.1.3.11.2. Kelainan EKG yang bermakna
5.1.4. Dokter anestesia dapat menunda atau menolak tindakan anestesia bila hasil
evaluasi pra-anestesia dinilai belum dan atau tidak layak untuk tindakan
anestesia.
51
5.2. Menentukan status fisis pasien
5.2.1. status fisik mengacu pada klasifikasi ASA
5.2.2. evaluasi jalan napas
< 6 bulan 4 2 6 4
6-36 bulan 6 3 6 4
> 36 bulan 6 2 6
dewasa 6-8 2
7. Tingkat Evidens : I
8. Tingkat Rekomendasi : A
10. Kepustakaan
52
10.1. Menteri Kesehatan Republik Indonesia. 2015. SK NOMOR
HK.02.02/MENKES/251/2015 Tentang Pedoman Nasional Pelayanan Kedokteran
Anestesiologi dan Terapi Intensif. Jakarta: Pengurus Pusat Perhimpunan Dokter
Spesialis Anestesiologi dan Terapi Intensif Indonesia
10.2. Kolegium Anestesiologi & Reanimasi Indonesia. 2008. Modul Pendidikan Dokter
Speliasi Anestesiologi dan Reanimasi. Bandung : Kolegium Anestesiologi &
Reanimasi Indonesia
53
PANDUAN PRAKTEK KLINIS PELAYANAN ICU
54
DEFIBRILASI DAN KARDIOVERSI
ICD-9: 99.61
1. Pengertian (Definisi)
Suatu upaya medis yang dilakukan dengan pemberian kejut listrik bersifat asinkron
(defibrilasi) atau sinkron (kardioversi) dengan gelombang QRS kompleks untuk
mengembalikan denyut jantung yang sangat cepat ke irama sinus
2. Indikasi
2.1. Defibrilasi
2.1.1. Ventrikel fibrilasi
2.1.2. Pulseless Ventricular Tachycardia
2.1.3. Polymorphic Ventricular Tachycardia
2.2. Kardioversi
Ventrikel takikardi dengan nadi (+), stabil atau tidak stabil Ventrikel takikardi, atrial
fibrilasi dan atrial flutter stabil atau tidak stabil
3. Kontra Indikasi
Kardioversi :
3.1. Atrial fibrilasi dengan slow ventricular rate
3.2. Atrial fibrilasi kronik pada stenosis mitral atau regurgitasi mitral dan tirotoksikosis
3.3. Hipokalemia
3.4. Keracunan digitalis
4. Persiapan
Kardioversi :
4.1. Penjelasan kepada pasien dan keluarga,
4.2. Pasien sebaiknya puasa untuk menghindari regurgitasi/ aspirasi,
4.3. Penggunaan obat digitalis dihentikan selama 1-2 hari sebelum tindakan,
4.4. Kadar elektrolit serum berada dalam batas normal,
4.5. Persiapan alat (defibrilasi dan kardioversi) :
4.5.1. Jelly atau self-adhesive defibrillation pads
4.5.2. Defibrilator/Kardioverter
4.5.3. Kabel koneksi dan elektrode
4.5.4. Obat-obat sedasi
4.5.5. Suplemen oksigen dengan peralatannya
4.5.6. Mesin Suction dan perlengkapan intubasi trakea
4.5.7. Pulse oksimeter
4.5.8. Monitor EKG dan tekanan darah
4.5.9. Kateter intravena, infusion pump, cairan infuse
4.5.10. Trolley emergensi
55
5. Prosedur Tindakan
5.1. Monitor dan evaluasi irama jantung pasien,
5.2. Pada pasien-pasien dengan irama jantung tidak stabil atau perfusi sistemik
terganggu, segera lakukan defibrilasi/kardioversi setelah tindakan awal resusitasi
jantung paru.
5.3. Lakukan pemasangan jalur intravena
5.4. Berikan obat sedasi apabila diperlukan
5.5. Berikan suplementasi oksigen
5.6. Nyalakan defibrilator/ kardioverter
5.7. Oleskan jelly secara merata pada paddle, atau rekatkan padding konduksi pada
dinding dada (pasien laki-laki dengan bulu dada yang lebat, perlu dicukur supaya
kontak lebih adekuat)
5.8. Paddle penempatan elektrode
5.8.1. Anterolateral
5.8.1.1. Satu paddle/elektrode diletakkan sebelah kanan sternum bagian
atas, dibawah klavikula.
5.8.1.2. Satu paddle/elektrode lainnya di sisi kiri nipple sejajar garis mid
aksila
5.8.2. Anteroposterior
5.8.2.1. Satu paddle/elektrode diletakkan sepanjang anterior dari
prekordium sebelah kiri, di bawah klavikula
5.8.2.2. Satu paddle/elektrode lainnya di posterior infraskapula kiri,
disebelah kiri vertebrae thorakal.
5.8.3. Hindari penempatan paddle di atas implan pace maker permanen
56
5.11.2.4. Atrial flutter : 50 J, apabila irama menetap, dosis ditingkatkan
sesuai kebutuhan.
5.11.2.5. Takikardi supraventrikel paroksismal : 50 J, apabila irama
menetap, dosis ditingkatkan sesuai kebutuhan
5.11.2.6. Apabila kondisi pasien memburuk, segera pergunakan mode
unsynchronized (mode defibrilator)
5.12. Dosis inisial kardioversi untuk takikardi supraventrikel pada anak diberikan 0,5-1
J/kgBB, apabila gagal dosis dinaikkan bertahap 2 J/kgBB.
5.13. Dosis inisial kardioversi untuk ventrikel takikardi pada anak diberikan 0,5-1
J/kgBB, apabila gagal dosis dinaikkan bertahap 2 J/kgBB.
5.14. Perhatikan keamanan dari sirkuit listrik (semua personel tidak berkontak langsung
dengan pasien, tempat tidur dan peralatan di sekeliling pasien saat tindakan
defibrilasi/kardioversi)
5.15. Charge kapasitor defibrilator/ kardioverter
5.16. Setelah irama jantung dievaluasi, tekan tombol discharge sampai semua energi
listrik dilepaskan.
5.17. Apabila dilakukan tindakan defibrilasi, segera dilanjutkan dengan tindakan
kompresi dinding dada; apabila tindakannya kardioversi, evaluasi kondisi pasien
(napas, nadi dan irama jantung)
5.18. Apabila tindakan tidak berhasil, ulangi kembali proses diatas sesuai protokol
ACLS
10. Kepustakaan
10.1. Link MS, Atkins DL, Passman RS, Halperin HR, Samson RA, White RD, et al. Part
6 : Electrical Therapies: Automated External Defibrillators, Defibrillation,
Cardioversion, and Pacing. 2010 American Heart Association Guidelines for
Cardiopulmonary Resuscitation and Emergency Cardiovascular Care. Circulation.
2010;122[suppl 3]:S706 –S719.
10.2. Dries DJ, penyunting. Defibrillation/Cardioversion. Dalam : Fundamental Critical
Care Support edisi ke-5. Society of Critical Care Medicine. 2012. Appendix 5-1 – 6
57
INTUBASI TRAKEA PADA PASIEN KRITIS
ICD-9: 96.04
1. Pengertian (Definisi)
Tindakan memasukan pipa endotracheal ke dalam trakea yang dilakukan melalui mulut
(oral)
2. Indikasi
2.1. Menjaga patensi jalan napas
2.2. Gagal napas akut
2.3. Gangguan kesadaran dengan Glasgow Coma Score ≤ 8
2.4. Gangguan hemodinamik berat (syok)
3. Kontra Indikasi
Sesuai dengan kontraindikasi prosedur
4. Persiapan
4.1. Persiapan Alat:
4.1.1. Sarung tangan – ( 1 pasang)
4.1.2. Bag-mask resuscitator – (1 set)
4.1.3. Pipa endotrakeal ukuran 6,5 sampai 9 – (masing-masing 1 buah)
4.1.4. Larigoskop dengan bilah ukuran 3 dan 4- (masing-masing 1 buah)
4.1.5. Mandryn/stylet – (1 buah)
4.1.6. Spuit 20 ml untuk mengembangkan cuff -(1 buah)
4.1.7. Oropharyngeal airway/nasopharyngeal airway ukuran 3 dan 4 – (masing-
masing 1 buah)
4.1.8. Laryngeal Mask airway ukuran 3,4 dan 5 – (masing-masing 1 buah)
4.1.9. Gel pelumas – (1 tube)
4.1.10. Plester fiksasi – ( 30 cm)
4.1.11. Stetoskop
4.1.12. Mesin dan kateter suction – (1 set)
4.1.13. Monitor kardiovaskular dan pulse oxymetry
4.1.14. Bantal 10cmx10cmx10-20cm
4.1.15. Trolley emergency
4.2. Persiapan Obat:
4.2.1. Sedasi
4.2.1.1. Midazolam 0,1 – 0,3 mg/kg bolus intravena, atau
4.2.1.2. Propofol 1 -2 mg/kg bolus intravena, atau
4.2.1.3. Ketamin 1-2 mg/kg bolus intravena
4.2.2. Analgetik
4.2.2.1.Morphin 1-2mg/kg bolus intravena, atau
4.2.2.2.Fentanyl 1-2 mikrogm/kg bolus intravena
58
4.2.3. Pelumpuh otot:
4.2.3.1.Vecuronium 0,08-0,12 mg/kg bolus intravena, atau
4.2.3.2.Rocuronium 0,6-1,2 mg/kg bolus intravena, atau
4.2.3.3.Atracurium 0,5 mg/kg bolus intravena.
4.2.4. Obat-obat lain:
4.2.4.1.Lidocain 2% 1 mg/kg bolus intravena
5. Prosedur Tindakan
5.1. Posisi pasien supine dengan kepala bagian occipital diatas bantal (tebal 10-20
cm), posisi dokter intubator dibelakang kepala pasien.
5.2. Berikan oksigen dan bantuan ventilasi menggunakan bag- mask dengan aliran
oksigen 100% 10-15 L/menit, sembari melakukan Sellick’s maneuver
5.3. berikan obat sedasi dan analgetik
5.4. bila ventilasi dengan bag mask mudah yaitu dada terangkat cukup baik, berikan
obat pelumpuh otot, bantuan ventilasi dengan oksigen 100% dilakukan sampai 3-
5 menit
5.5. Pada pasien dengan GCS ≤ 8, harus diberikan obat sedasi, analgetik dan
pelumpuh otot, serta bantuan ventilasi dengan oksigen 100% selama 3-5 menit
5.6. Laringoskopi dilakukan dengan memegang laringoskop dengan tangan kiri,
masukkan bilahnya kedalam mulut, susuri lidah sampai terlihat epiglottis.
5.7. Angkat laringoskop sampai terlihat pita suara dengan jelas
5.8. Masukkan pipa endotrakeal sampai cuff melewati pita suara ke dalam trakea
5.9. Angkat laringoskop, sambungkan pipa endotracheal dengan bag mask, dan
berikan bantuan ventilasi
5.10. Periksa posisi pipa endotrakeal dengan melihat gerakan dada bagian kanan dan
kiri,serta melakukan auskultasi di kedua bagian dada untuk meyakinkan bahwa
suara napas teredangar sama di kedua lapangan paru.
5.11. Fiksasi pipa endotrakeal dengan plester
7. Tingkat Evidens : IV
8. Tingkat Rekomendasi : A
10. Kepustakaan
59
10.1. Lavery GG, Jamison CA. Airway management in the critically ill adult. In Parillo
JE. Dellinger RP (eds) Critical Care Medicine: Principles of Diagnosis and
Management in the adult.3rd.ed.Philadelphia,PA: Mosby Elsivier;2008:p.17
10.2. Dries DJ (ed.) Fundamental Critical Care Support. Society of Critical Care
Medicine, 5th ed.,2012:p.2.1
60
PEMASANGAN KATETER ARTERI
2. Indikasi
2.1. Pasien dalam infus inotropik dan vasopresor yang perlu pemantauan tekanan darah
secara kontinyu
2.2. Operasi jantung
2.3. Tekanan darah pasien < 90 mmHg
2.4. Ada episode hipotensi dalam 12 jam terakhir
2.5. Pada operasi besar dengan resiko tinggi perdarahan
2.6. Guna pengambilan sampel darah yang sering
2.7. Monitoring noninvasive tidak memungkin kan misalnya luka bakar, obesitas morbid
3. Kontra Indikasi
3.1. Absolut pada area suntikan
3.1.1. Raynaud syndrome
3.1.2. Gangguan sirkulasi daerah ekstremitas
3.1.3. Ada “A-V shunt” untuk hemodialisa
3.1.4. Infeksi daerah suntikan
3.1.5. Tromboangitis obliterans
3.2. Relative pada kondisi pasien :
3.2.1. Sirkulasi kolateral kurang baik (dengan Allen test)
3.2.2. Sedang dalam terapi trombolisis atau antikoagulan (karena resiko
perdarahan)
3.2.3. Jumlah trombosit < 50.000
4. Persiapan
4.1. Persiapan pasien :
4.1.1. Informed concent kepada pasien atau keluarga pasien
4.1.2. Pasang monitor EKG dan oksimetri
4.1.3. Anamnesa riwayat alergi anestetik local
4.1.4. Periksa adanya faktor-faktor kontra indikasi
4.1.5. Tempat pemasangan arteri umumnya a. radialis, a. brachialis, a. dorsalis
pedis atau a. femoralis
4.2. Persiapan alat :
4.2.1. Kateter intravena steril no 20 G, 18 G jika tusukan pada a femoralis – (1
buah)
4.2.2. Jarum steril no 18 G – (1 buah)
61
4.2.3. Pengganjal pergelangan (dengan handuk atau kasa yang digulung)
4.2.4. Plester untuk memfiksasi pergelangan – (1 lembar)
4.2.5. Cairan antiseptic- ( 30 ml)
4.2.6. Masker dan sarung tangan steril – ( 1 buah dan 1 pasang)
4.2.7. Peralatan monitor (3 way “stopcock” yang sudah di “flush” dengan NaCl 0,9 %
dan heparin, syringe 5 cc steril, “pressure transducer” yang sudah di “flush”
dengan heparin konsentrasi 1 unit /ml, buat cairan “flush” dari NaCl 0,9% 500
ml, dicampurkan heparin 500 unit, hubungkan dengan “transducer” dan
“pressure bag “ dipompa sampai tekanannya 300 mmHg )
4.2.8. Syringe 1 ml yang sudah diisi lidocaine 2 %
4.2.9. Alat monitor dihubungkan dengan pressure transducer kemudian di zeroing
dan disesuaikan ketinggiannya
5. Prosedur Tindakan
5.1. Pemasangan pada a radialis
5.1.1. Pasien posisi terlentang dan lakukan Allen test pada ke dua tangan
5.1.2. Lakukan cuci tangan dan memakai sarung tangan steril
5.1.3. Lakukan tindakan disinfeksi dengan poviiodine, tutup dengan doek steril
5.1.4. Atur posisi tangan dalam dorsi fleksi 600 dan palpasi arteri
5.1.5. Lalu suntikan anestetik local dengan lidocaine 2 %
5.1.6. Raba a radialis dengan jari ke 2,3 dan 4 tangan kiri
5.1.7. Buat sayatan kecil pada subkutis dengan jarum no 18 pada daerah yang akan
dipasang
5.1.8. Tusukkan kateter intravena kearah a radialis dengan sudut 300 kearah kulit
sampai terlihat darah dalam chamber kateter
5.1.9. Pertahankan mandrin jarum intravena dan dorong selongsong kateter masuk
ke pembuluh darah arteri
5.1.10. Tekan kulit ujung kateter yang sudah masuk dalam pembuluh darah arteri
dan lepaskan mandrin, sambung dengan threeway stopcock yang telah
disiapkan.
5.1.11. Aspirasi darah dan perhatikan apakah darah keluar secara pulsasi
5.1.12. Fiksasi dan tutup dengan kasa steril atau tutup transparan steril
5.1.13. Sambung ke monitor, lihat gambaran gelombang, pastikan gelombang yang
terlihat adalah gambaran gelombang arteri.
5.1.14. Lakukan levelling, zeroing
5.2. Pemasangan pada a femoralis :
5.2.1. Pasien posisi terlentang dan pasang ganjal didaerah inguinal sehingga a
femoralis dan v femoralis terpapar.
5.2.2. Lakukan cuci tangan dan memakai sarung tangan steril
5.2.3. Desinfeksi dengan chlorhexidine atau poviiodine pada daerah inguinal
5.2.4. Tutup dengan doek steril
5.2.5. Infiltrasi dengan lidocaine 2%
5.2.6. Raba a femoralis dengan jari ke 2,3 dan 4 tangan kiri (biasanya a femoralis
terletak di pertengahan garis yang ditarik antara spina iliaca anterior dan
symphisis pubis)
5.2.7. Buat sayatan kecil pada subkutis dengan jarum no 18 G pada daerah yang
akan ditusuk
62
5.2.8. Insersikan kateter intravena kearah pulsasi a femoralis dengan sudut 300
terhadap kulit sampai terlihat darah dalam chamber kateter
5.2.9. Pertahankan mandrin dan dorong selongsong kateter sampai masuk kedalam
pembuluh darah arteri
5.2.10. Tekan kulit ujung kateter yang sudah dalam pembuluh darah arteri
5.2.11. Cabut mandrin dan sambung dengan threewaystopcock yang sudah
disiapkan
5.2.12. Aspirasi darah dan perhatikan apakah darah yang keluar secara pulsasi
5.2.13. Fiksasi dan tutup dengan kasa steril atau tegaderm
5.2.14. Sambung ke monitor, perhatikan gambaran gelombang, pastikan gelombang
yang terlihat adalah gelombang arteri.
5.2.15. Lakukan levelling, zeroing
5.3. Pemasangan pada a dorsalis pedis :
5.3.1. Pasien posisi terlentang dengan posisi kaki menekuk sehingga a dorsalis
pedis terpapar
5.3.2. Lakukan cuci tangan dan memakai sarung tangan steril
5.3.3. Desinfeksi dengan chlorhexidine atau poviiodine pada daerah dorsalis
5.3.4. Tutup dengan doek steril
5.3.5. Infiltrasi dengan lidocaine 2%
5.3.6. Raba a dorsalis pedis dengan jari ke 2,3 dan 4 tangan kiri
5.3.7. Buat sayatan kecil subkutis dengan jarum 18 G
5.3.8. Insersikan kateter intravena kearah pulsasi a dorsalis pedis dengan sudut 300
terhadap kulit sampai terlihat aliran darah dalam chamber kateter
5.3.9. Pertahankan mandrin, dan dorong selongsong kateter sampai masuk
kedalam pembuluh darah arteri
5.3.10. Tekan kulit ujung kateter yang sudah dalam pembuluh darah arteri
5.3.11. Cabut mandrin dan sambung dengan threewaystepcock yang telah disiapkan
5.3.12. Aspirasi darah dan perhatikan apakah darah yang keluar secara pulsasi
5.3.13. Fiksasi dan tutup dengan kasa steril atau tegaderm
5.3.14. Sambung ke monitor, perhatikan gambaran gelombang, pastikan gelombang
yang terlihat adalah gelombang arteri.
5.3.15. Lakukan leveling, zeroing
5.4. Pemasangan pada a brachialis :
5.4.1. Pasien posisi terlentang
5.4.2. Fiksasi lengan pasien sehingga daerah cubiti terpapar
5.4.3. Lakukan cuci tangan dan memakai sarung tangan steril
5.4.4. Lakukan tindakan disinfeksi dengan poviiodine, tutup dengan doek steril
5.4.5. Infiltrasi dengan lidocaine 2%
5.4.6. Raba a brachialis dengan jari ke 2,3 dan 4 tangan kiri,
5.4.7. Buat sayatan kecil subkutis dengan jarum 18 G
5.4.8. Insersikan kateter intravena keaarah a brachialis dengan sudut 300 terhadap
kulit sampai terlihat aliran darah dalam chamber kateter
5.4.9. Pertahankan mandrin, dan dorong selongsong kateter sampai masuk dalam
pembuluh darah arteri.
5.4.10. Tekan kulit ujung kateter yang sudah didalam pembuluh darah arteri
5.4.11. Cabut mandrin, dan sambung dengan threewaystopcock yang sudah
disiapkan
63
5.4.12. Aspirasi darah dan perhatikan apakah darah yang keluar secara pulsasi
5.4.13. Fiksasi dan tutup dengan kasa steril atau tegaderm
5.4.14. Sambung ke monitor, perhatika gambaran gelombang, pastikan gelombang
yang terlihat adalah gelombang arteri.
5.4.15. Lakukan leveling, zeroing
7. Tingkat Evidens : IV
8. Tingkat Rekomendasi : A
10. Kepustakaan
10.1. Oh’s Intensive care Manual. 5th ed. Editors Andrew D Bersten, Neil Soni.
Butterworth Heinemann. 2003
10.2. Manual of Perioperative Care in Adult Cardiac surgery. 5th ed. Editor Robert M
Bojar. Wiley-Blackwell. 2011
10.3. Arterial line placement. Freemann CJ. Chief Ed Rowe VL et al.
www.Medscape.com. updated July 2012
10.4. ICU Protocols. A Stepwise Approach. Editors Chawla R; Todi S. Springer. ISCCM
2012
64
PEMASANGAN VENTILASI MEKANIK INVASIF
ICD-9: 96.79
1. Pengertian (Definisi)
Pemasangan alat bantu napas yaitu ventilator ke jalan napas pasien dengan melalui
pipa endotrakeal
2. Indikasi
2.1. Henti napas (apnea)
2.2. Gagal napas akut hipoksemia:
2.2.1.Udem paru kardiogenik dan non kardiogenik
2.2.2.Pneumonia
2.2.3.Acute respiratory distress syndrome (ARDS)
2.2.4.Immunocompromised (keganasan, pasca transplantasi)
2.3. Gagal napas akut hiperkapnia
2.3.1.Eksarsebasi akut penyakit paru obstruksi kronik
2.3.2.Asma akut
2.3.3.Penyakit neuromuskuler ( Guillan Barre syndrome, Myasthenia Gravis)
2.3.4.Disfungsi otot ventilasi ( ketidakseimbangan elektrolit, malnutrisi, deformitas
toraks,atrofi)
2.3.5.Gangguan pusat napas ( hipotiroid, cedera otak)
2.4. Pasca henti jantung
2.5. Pasca bedah dengan gangguan-gangguan: hemodinamik,atau respirasi, atau
kesadaran
2.6. Gangguan kesadaran dengan GCS ≥ 8 dengan/ tanpa tanda-tanda peningkatan
tekanan intracranial
2.7. Syok
3. Kontra Indikasi
Tidak ada
4. Persiapan
4.1. Persiapan alat:
4.1.1.Sarung tangan – (1 pasang)
4.1.2.bag – mask resuscitator – ( 1 set)
4.1.3.mesin ventilator ICU dengan mode ventilation dasar (A/C,SIMV,PSV
(volume/pressure ventilation),PEEP
4.1.4.Alat pemantau kardiovaskular dan pulse oximetri
4.1.5.Mesin analisis gas darah
4.1.6.Set kanulasi intravena – (1 set)
4.1.7.Trolley emergency
4.2. Persiapan obat
4.2.1.Sedasi
4.2.2.Midazolam 0,1 – 0,3 mg/kg bolus intravena, atau
4.2.3.propofol 1 -2 mg/kg bolus intravena
65
4.2.4.Analgetik
4.2.5.Morphin 1-2mg/kg bolus intravena, atau
4.2.6.Fentanyl 1-2 mikrogm/kg bolus intravena
4.3. Pelumpuh otot:
4.3.1.Vecuronium 0,08-0,12 mg/kg bolus intravena, atau
4.3.2.Rocuronium 0,6-1,2 mg/kg bolus intravena, atau
4.3.3.Atracurium 0,5 mg/kg bolus intravena
4.4. Persiapan pasien:
4.4.1.Penjelasan kepada keluarga pasien tentang prosedur yang akan dilakukan
4.4.2.Pasien sudah mempunyai akses intravena
4.4.3.pasien sudah dilakukan intubasi trakea
5. Prosedur Tindakan
5.1. Pemeriksaan gas darah arteri
5.2. Penjelasan kepada keluarga tentang prosedur tindakan
5.3. Melakukan tindakan intubasi trakea
5.4. Menyambungkan pipa endotracheal ke ventilator
5.5. Menyetel mode ventilasi pada ventilator yang paling dikuasai ( misal: assist-
control volume atau assist-control pressure ventilation atau synchronized
intermittent mandatory ventilation)
5.6. Penyetelan awal FiO2 100%, setelah itu dapat dirubah dengan target SpO 2 92%-
95% atau ≥88% pada pasien ARDS
5.7. Penyetelan awal volume tidal adalah 8-10 ml/kg pada pasien dengan daya
kembang paru normal, 6-8 ml/kg pada pasien dengan daya kembang paru buruk
(ARDS) dianjurkan dengan menjaga tekanan plateau ≤ 30 cmH2O
5.8. Penyetelan laju napas disesuaikan target ventilasi semenit 100 ml/kg, dan pH ~
7,4
5.9. Penyetelan PEEP ≥ 5 cmH2O
5.10. Penyetelan trigger sensitivity sebesar 3 L/menit atau - 2 cmH2O
5.11. Selama pasien dalam ventilator, dapat diberikan obat sedasi dan/ analgetik
intravena kontinyu, sedapat mungkin tidak diberikan obat pelumpuh otot
5.12. Pemeriksaan gas darah arteri dilakukan 30 menit setelah penyetelan awal dan
perubahan penyetelan pada ventilator
7. Tingkat Evidens : IV
8. Tingkat Rekomendasi : A
66
10.1. Caples SM, Gay PC. Noninvasive positive pressure ventilation in the intensive
care unit: A concise review. Crit Care Med 2005;33:2651-2658.
10.2. Tobin MJ. Principles and Practice of Mechanical Ventilation. Rev.ed, New
York,NY:Mc Graw-Hill Co;2006
10.3. Dries DJ (ed) Fundamental Critical Care Support. 5th ed.Society of Critical Care
Medicine;2012:p.5.1
67
PERCUTANEOUS DILATATION TRACHEOSTOMY (PDT)
ICD-9: 31.1
1. Pengertian (Definisi)
Pembuatan lubang pada dinding depan trakea dengan cara dilatasi lubang tusukan
jarum pada celah antar kartilago trakea dan pemasangan pipa trakea (tracheostomy
tube, TT)
2. Indikasi
2.1. Obstruksi jalan napas atas
2.2. Tracheal toilets :
2.2.1.Tidak bisa membersihkan sekret karena kelemahan umum, kesadaran
menurun, sekresi berlebihan,
2.2.2.Penyakit-penyakit neuromuskular,
2.2.3.Menggunakan ventilator jangka panjang
3. Kontra Indikasi
3.1. Kontra indikasi mutlak : tidak ada
3.2. Kontra indikasi relatif : koagulopati, ventilasi mekanik dengan PEEP tinggi
4. Persiapan
4.1. Informed consent
4.2. Pengetahuan anatomi dan fisiologi sistem respirasi,
4.3. Persiapan Alat: Gaun & sarung tangan steril, Povidon iodine, kain duk berlobang
steril dan kasa steril, gel, lidokain 2 %, spuit 3 ml, scalpel + blade, klem pean, pipa
trachea + pemandunya, PDT-set steril yang berisi : jarum Seldinger 16 G + spuit
10 cc, kawat pemandu, dilator primer, dilator Cula Badak , ( jika tersedia :
bronkoskopi fleksibel dengan monitor).
4.4. Alat pengisap dan Kit emergensi yang berisi laringoskop, pipa orotrakhea, pipa
endotrachea, Bag-Mask dan obat: epinefrin dan pelumpuh otot, dan sumber
oksigen (+pipa & flometer)
4.5. Persiapan obat : midazolam, opioid, analgetika non opioid
5. Prosedur Tindakan
5.1. Pasien diposisikan terlentang dengan kepala ekstensi, kalau perlu diganjal
pundaknya, kemudian identifikasi titik yang akan ditrakheostomi,
5.2. Diberikan sedasi dan analgetika (ditambahkan opioid jika tersedia) pada pasien,
5.3. Operator mencuci tangan,
5.4. Operator mengenakan topi, masker, gaun steril, dan sarung tangan steril
5.5. Desinfektan kulit leher dan dada bagian atas, tutup duk lobang steril, injeksi
lidokain sub kutis pada titik trakheostomi,
5.6. Buat irisan kulit melintang 1,5 cm, perdarahan dihentikan/ ditekan dengan kasa
steril, jaringan subkutis dibebaskan dengan klem pean sampai menyentuh
kartilago trakhea.
68
5.7. Tusuk jarum Seldinger dengan tekanan negatif pada spuit pada celah antar
kartilago trachea 1-2, sampai spuit menyedot udara dari dalam trachea (bila
memungkinkan dengan panduan bronkoskopi). Kemudian jarum diarahkan ke
kaudal dan spuit dilepas, kawat pemandu dimasukkan ke dalam jarum, kemudian
jarum dicabut,
5.8. Dilakukan dilatasi lubang bekas tusukan jarum dengan dilator primer melalui
kawat pemandu,
5.9. Dilakukan dilatasi lubang bekas tusukan jarum tersebut melalui kawat pemandu
dengan dilator Cula Badak sampai garis batas atas, kemudian dilator cula badak
dilepaskan,
5.10. Pipa trakhea dipasang dituntun kawat pemandu, balon (cuff) diisi udara, kemudian
kawat pemandu dilepas, dilakukan penghisapan jalan napas memalui pipa trakea,
kemudian pipa trakea dihubungkan dengan alat bantu napas (Bag-Mask, atau
Ventilator)
5.11. Dilakukan fiksasi dengan pita melingkar leher
7. Tingkat Evidens : IV
8. Tingkat Rekomendasi : C
10. Kepustakaan
10.1. Irwin & Rippe’s Intensive Care Medicine 7 th Ed. Editor : Irwin, R.S. & Rippe, J.M.,
Wolters Kluwer Lippincott Williams & Wilkins, Philadelpia, 2012, hal : 105-116.
10.2. Oh’s Intensive Care Manual 6th Ed. Editor : Bersten, A.D and Soni, N., Butterworth
Heinemann Elsevier, Philadelpia, 2009, hal : 68, 332-334
69
PEMASANGAN KATETER DOBEL LUMEN UNTUK HEMODIALISIS
ICD-9: 38.93
1. Pengertian (Definisi)
Adalah suatu tindakan pemasangan dobel lumen kateter pada vena sentral seperti pada
v jugularis interna, v subclavia atau v femoralis pada pasien Terapi Sulih Ginjal (RRT)
2. Indikasi
Pasien hemodialisis
3. Kontra Indikasi
3.1. Absolut :
Distorsianatomi local (karena operasi, injuri pembuluh darah dan riwayat radiasi)
3.2. Absolut pada v subclavia :
3.2.1. Trauma ipsilateralclavicula, iga proksimal anterior atau pembuluh darah
subclaviaa
3.2.2. Koagulopati
3.3. Kontra indikasi relatif pada v subclavia :
3.3.1. Deformitas dinding dada
3.3.2. PPOK
3.4. Kontraindikasi relative:
3.4.1. Ada gangguan koagulasi darah yang berat
3.4.2. Pasienoverweight atau underweight
3.4.3. Gangguan mekanis pada daerah leher
3.4.4. Jumlah trombosit< 50.000
3.4.5. Dalam terapi atau riwayat terapi trombolisis
3.4.6. Pasien tidak kooperatif
4. Persiapan
4.1. Persiapan pasien :
4.1.1. Informed concent pada pasien atau keluarga pasien
4.1.2. Pasang monitor EKG, pulse-oksimetri
4.2. Persiapan alat :
4.2.1. Set kateter double lumen atau multi lumen no 12 Fr – (1 set)
4.2.2. Sarung tangan steril – (1 pasang)
4.2.3. Gaunsteril – (1 buah)
4.2.4. Syringe 5 ml, untuk anestesi local – (1 buah)
4.2.5. Anestetik local- ( lidocaine 2% 3-5 ampul)
4.2.6. Minor set (pinsetanatomis, gunting, needle holder, klem, kom )
4.2.7. Doeksteril - (2-4 buah)
4.2.8. Benang – ( 1 buah)
4.2.9. Scalpel no 11 – (1 buah)
4.2.10. Cairan NaCl 0,9% steril, sudah heparinisasi – ( 500 ml)
70
4.2.11. Cairan antiseptic – (30 ml)
4.2.12. Ganjal (bantal)
4.2.13. Persiapkan trolley emergency
4.2.14. Kasa steril dan plester untuk menutup atau tegaderm- (1 lembar)
4.3. Persiapan obat:
4.3.1. Obat sedatif (jika pasien tidak kooperatif) : midazolam atau propofol
5. Prosedur Tindakan
5.1. Pemasangan pada v subclavia :
5.1.1. Punggung pasien diganjal
5.1.2. Pasien posisi terlentang dan Trendelenberg 150
5.1.3. Cucitangan, pakai gaun steril dan sarung tangan steril
5.1.4. Desinfeksi daerah subclavia dengan cairan anti septic meluas ke daerah
jugular ipsilateral sampai dengan papilla mamaeipsilateral dan 1/3 lengan
atas ipsilateral
5.1.5. Tutup dengan doeksteril
5.1.6. Infiltrasi dengan lidocaine 2% disekitar tempat tusukan
5.1.7. Dari inferior clavicula, susuriclavicula sampai dengan pertemuan clavicula
dengan iga pertama, lakukan puncture dengan jarum ke arah sternal notch
sambil dilakukan aspirasi dan bevel mengarah ke bawah
5.1.8. Bila saat aspirasi keluar darah warna kehitaman kedalam syringe lalu
lepaskan synring, tutup lumen jarum dan masukkan guide wire (jaga jangan
sampai ada emboli udara) melalui jarum sampai guide wire bertanda garis 2
(kedalaman ± 20 cm), berhenti memasukkan wire jika ada tahanan
5.1.9. Dilatasi dengan scalpel no 11
5.1.10. Lepaskan jarum dan pertahankan guide wire
5.1.11. Masukkan dilator melalui wire (ukuran kecil lebih dahulu kemudian yang
ukuran lebih besar)
5.1.12. Lepaskan dilator dan pertahankan wire ditempatnya
5.1.13. Masukkan kateter melalui wire sampai kateter mencapai kedalaman 15-20 cm
(perkiraan ujung kateterter letak pada pertemuan vena cava superior dengan
atrium kanan
5.1.14. Aspirasi dari masing-masing cabang kateter dengan syringe yang berisi
cairan NaCl kemudian di flush sampai kateter tampak jernih kemudian tutup
masing-masing lumen kateter
5.1.15. Fiksasi dengan jahitan dan ditutup dengan kasasteril dan plester atau
tegaderm
5.1.16. Konfirmasi posisi kateter dengan melakukan pemeriksaan fototoraks
71
antiseptic meluas kedaerah jugular Ipsilateral sampai dengan papilla
mamaeipsilateral dan 1/3 Lengan atas ipsilateral
5.2.5. Tutup dengan doeksteril
5.2.6. Infiltrasi dengan lidocaine 2% disekitar tempat tusukan
5.2.7. Raba a carotis, v jugularis terletak lateral dari a carotis
5.2.8. Insersikan jarum dengan sudut 300 didepan otot sternocleidomastoideus,
ditengah jarak antara processus Mastoideus dan sternum, dengan jarum
diarahkan ke nipple Ipsilateral.
5.2.9. Saa tinsersi jarum, sambil jarum dimasukkan dengan ke dalaman kira-kira 1-3
cm,sampai tampak keluar darah berwarna kehitaman
5.2.10. Bila darah mengalir lancer, lepaskan jarum dan tutup lobang jarum lalu
masukkan guide wire dengan kedalaman sampai garis 2
5.2.11. Kemudian dilatasi dengan scalpel no 11
5.2.12. Lepaskan jarum dengan pertahankan wire pada tempatnya
5.2.13. Masukkan dilator, yang kecil terlebih dahulu
5.2.14. Lepas dilator dengan wire tetap ditempatnya
5.2.15. Masukkan kateter melalui wire, lalu flush masing-masing kateter dengan NaCl
0,9% yang sudah dicampur heparin, bilas sampai jernih.
5.2.16. Tutup ujung semua cabang kateter
5.2.17. Fiksasi dengan jahitan, tutup dengan kasa steril dan plester atau tegaderm
5.2.18. Konfirmasi posisi kateter dengan fototoraks
72
6. Pasca Prosedur Tindakan
6.1. Monitor hemodinamik
6.2. Monitor komplikasi :pneumothoraks, hematotoraks, chylotoraks, hematom,
dysrhythmia, nerve injury, thrombosis, emboli, perdarahan.
6.3. Monitor tanda-tandainfeksi
6.4. Kateter dilepas jika :
6.4.1. Tidak diperlukan untuk hemodialisa lagi
6.4.2. Tanda-tanda indurasi, kemerahan atau keluar cairan dari daerah tusukan
6.4.3. Terjadi catether related infection
6.4.4. Oklusi kateter atau trombosis
6.4.5. Erosi vascular karena kateter
7. Tingkat Evidens : IV
8. Tingkat Rekomendasi : A
10. Kepustakaan
10.1. Principles of Critical Care. 3rd ed. Editor Hall JB, Schmidt GA, Wood LDH. Mc
Graw-Hill. 2005
10.2. Central venous access via v subclavian approach to the subclavian vein. Roe III
JE. Editor Rick Kulkani. Updated august 2012.
10.3. Oh’s Intensive care Manual. 5th ed. Editors Andrew D Bersten, Neil Soni.
Butterworth Heinemann. 2003.
10.4. Guideline on the insertion and management of central venous access devices in
adult. L. Bishop; L Dougherty; A Bodenham et al. international Journal of
Laboratory Hematology; 2007;29: 261-278.
10.5. ICU Protocols. A Stepwise Approach. Editors Chawla R; Todi S. ISCCM. Springer
2012.
73
PEMASANGAN CHEST TUBE
ICD-9: 34.04
1. Pengertian (Definisi)
Pemasangan chest tube adalah insersi dan penempatan suatu pipa steril ke dalam
ruang pleura untuk mengeluarkan udara atau cairan ke dalam sistem penampung
tertutup untuk mengembalikan tekanan intra toraks yang negatif, memperbaiki
pengembangan paru-paru dan mencegah terjadinya kematian akibat tension
pneumothorax
2. Indikasi
2.1. Pneumotoraks,
2.2. Hemotoraks
2.3. Empiema
2.4. Chylothorax
2.5. Efusi pleura
3. Kontra Indikasi
Kontra indikasi relatif :
3.1. Penyakit paru dengan bulla besar
3.2. Abses paru
3.3. Pneumonia
3.4. Atelektasis
3.5. Koagulopati
4. Persiapan
4.1. Informed consent
4.2. Pengetahuan anatomi,struktur-struktur dinding dada, intra toraks dan intra abdomen
, dan teknik aseptic secara umum,
4.3. Persiapan alat & bahan:
4.3.1. Gaun dan sarung tangan steril,
4.3.2. Topi & masker,
4.3.3. Larutan chlorhexidine atau povidone-iodine,
4.3.4. Kain duk penutup yang berlubang dan kasa steril,
4.3.5. Lidocain 2% tanpa epinefrin,
4.3.6. Spuit + jarumnya,
4.3.7. Pisau scalpel,
4.3.8. Klem-pean,
4.3.9. Chest tube dengan trokar ukuran 32-38 fr,
4.3.10. Alat penampung dengan sistem tertutup (wsd, water sealed device),
4.3.11. Pemegang jarum jahit,
4.3.12. Benang jahit non serap,
4.3.13. Jarum kulit,
4.3.14. Plester
74
5. Prosedur Tindakan
5.1. Pasien diposisikan terlentang kepala lebih tinggi, lengan atas ke atas, tentukan titik
insersi pada linea axillaris media, celah iga 4-5,
5.2. Operator menggunakan gaun dan sarung tangan steril, bertopi dan menggunakan
masker mulut-hidung. Dilakukan desinfeksi pada tempat insersi dan sekelilingnya,
tutup duk steril, kemudian infiltrasi lidokain 2% pada tempat insersi
5.3. Insisi kulit melintang 1-2 cm, darah dihentikan/ditekan dengan kasa steril, jaringan
subkutis dibebaskan dengan klem pean sampai menyentuh iga,
5.4. Chest tube dengan trokar diinsersikan dengan cara ujungnya diletakkan pada celah
iga 4-5 tegak lurus dengan permukaan kulit didorong masuk (dengan kuat) ke dalam
rongga toraks, setelah ujung chest tube menembus dinding toraks kemudian
diarahkan kranial untuk kasus pneumotoraks atau ke arah kaudal untuk kasus
cairan dalam ruang pleura, kemudian chest tube didorong masuk sampai semua
lubangnya berada dalam ruang pleura, kemudian trokar ditarik keluar/dilepas,
kemudian ujung distal chest tube dihubungkan dengan WSD, kemudian dilakukan
fiksasi chest tube dengan jahitan pada kulit, dan kemudian ditutup kasa steril dan
plester
7. Tingkat Evidens : IV
8. Tingkat Rekomendasi : C
10. Kepustakaan
10.1. Irwin & Rippe’s Intensive Care Medicine 7thEd. Editor: Irwin, R.S. & Rippe, J.M.,
Wolters Kluwer Lippincott Williams & Wilkins, Philadelpia, 2012, hal : 83-88
10.2. Texbook of Critical Care 6th Ed. Editor: Vincent, J.L. et al, Elsevier Saunder,
Philadelpia, 2011, hal: 439-450 & 1509-1517
75
PEMASANGAN KATETER VENA SENTRAL
ICD-9: 38.93
1. Pengertian (Definisi)
Suatu tindakan pemasangan kateter pada vena sentral seperti pada v jugularis interna, v
subclavia, v jugularis externa atau v femoralis
2. Indikasi
2.1. Pasien yang memerlukan pemantauan tekanan vena sentral serta pemeriksaan
saturasi vena sentral
2.2. Pemberian obat-obat dengan konsentrasi tinggi
2.3. Pemberian obat vasoaktif (inotropic dan vasopressor)
2.4. Pemberian nutrisi parenteral
2.5. Pengambilan sample darah
2.6. Resusitasi cairan yang membutuhkan largebore venous access
2.7. Kesulitan memasang infus perifer
2.8. Transvenous pacing
2.9. Pemasangan kateter Swan-Ganz
2.10.Prolong intravenous chemoterapi
3. Kontra Indikasi
3.1. Absolut :
3.1.1. Distorsi anatomi local (karena operasi, injuri pembuluh darah dan riwayat
radiasi)
3.2. Absolut pada v subclavia :
3.2.1. Trauma ipsilateral clavicula, iga proksimal anterior atau pembuluh darah
subclaviaa
3.2.2. Koagulopati
3.3. Kontraindikasi relative pada v subclavia :
3.3.1. Deformitas dinding dada
3.3.2. PPOK
3.4. Kontra indikasi relative :
3.4.1. Ada gangguan koagulasi darah yang berat
3.4.2. Pasien overweight atau underweight
3.4.3. Gangguan mekanis pada daerah leher
3.4.4. Jumlah trombosit < 20.000
3.4.5. Dalam terapi atau riwayat terapi trombolisis
3.4.6. Pasien tidak kooperatif
4. Persiapan
4.1. Persiapan pasien :
4.1.1. Informed concent pada pasien dan/keluarga pasien
4.1.2. Pasang monitor EKG, pulse- oksimetri
76
4.2. Persiapan alat :
4.2.1. Set kateter vena sentral sesuai ukuran dan kebutuhan akses vena (double
lumen atau multi lumen) – (1 set)
4.2.2. Sarung tangan steril – (2 pasang)
4.2.3. Gaun steril – (2 buah)
4.2.4. Syringe 5 ml, untuk anestesi local – (1 buah)
4.2.5. Anestetik local ( lidocaine 2% 3-5 ampul)
4.2.6. Minor set (pinset anatomis, gunting, needle holder, klem, kom )
4.2.7. Doek steril 2-4 buah
4.2.8. Benang – ( 1 set)
4.2.9. Scalpel no 11 – (1 buah)
4.2.10. Cairan NaCl 0,9% steril, sudah heparinisasi – (1 labu)
4.2.11. Cairan antiseptic – ( 50 ml)
4.2.12. Ganjal bahu (bantal kecil)
4.2.13. Persiapkan trolley emergency
4.2.14. Kasa steril dan plester untuk menutup atau tegaderm- (1 lembar)
4.3. Persiapan obat :
4.3.1. Obat sedatif (jika pasien tidak kooperatif) : midazolam atau propofol – (1
ampul)
5. Prosedur Tindakan
5.1. Pemasangan pada v subclavia :
5.1.1. Punggung pasien diganjal
5.1.2. Pasien posisi terlentang dan Trendelenberg 150
5.1.3. Cuci tangan, pakai gaun steril dan sarung tangan steril
5.1.4. Desinfeksi daerah subclavia dengan cairan antiseptic meluas kedaerah
jugular ipsilateral sampai dengan papilla mamae ipsilateral dan 1/3 lengan
atas ipsilateral
5.1.5. Tutup dengan doek steril
5.1.6. Infiltrasi deengan lidocaine 2% disekitar tempat tusukan
5.1.7. Dari inferior clavicula, susuri clavicula sampai dengan pertemuan clavicula
dengan iga pertama, lakukan puncture dengan jarum kearah sternal notch
sambil dilakukan aspirasi dan bevel mengarah kebawah
5.1.8. Bila saat aspirasi keluar darah warna kehitaman kedalam syringe lalu
lepaskan synring, tutup lumen jarum dan masukkan guide wire (jaga jangan
sampai ada emboli udara) melalui jarum sampai guide wire bertanda garis 2
( kedalaman ± 20 cm), berhenti memasukkan wire jika ada tahanan
5.1.9. Dilatasi dengan scalpel no 11
5.1.10. Lepaskan jarum dan pertahankan guide wire
5.1.11. Masukkan dilator melalui wire (ukuran kecil lebih dahulu kemudian yang
ukuran lebih besar)
5.1.12. Lepaskan dilator dan pertahankan wire ditempatnya
5.1.13. Masukkan kateter melalui wire sampai kateter mencapai kedalaman 15-20 cm
(perkiraan ujung kateter terletak pada pertemuan vena cava superior dengan
atrium kanan
77
5.1.14. Aspirasi dari masing-masing cabang kateter dengan syringe yang berisi
cairan NaCl kemudian di flush sampai kateter tampak jernih kemudian tutup
masing-masing lumen kateter
5.1.15. Fiksasi dengan jahitan dan ditutup dengan kasa steril dan plester atau
tegaderm
5.1.16. Konfirmaasi posisi kateter dengan melakukan pemeriksaan foto toraks
78
5.3.8. Insersikan jarum 1-2 cm dibawah ligamentum inguinal sambil melakukan
aspirasi
5.3.9. Arahkan jarum dengan sudut 15-450 kearah umbilical.
5.3.10. Bila darah mengalir lancer dari syringe, lepas syringe dari jarum introducer,
tutup lobang jarum dan masukkan guide wire, berhenti bila ada tahanan
5.3.11. Kemudian dilatasi dengan scalpel no 11
5.3.12. Lepaskan jarum dengan pertahankan wire pada tempatnya
5.3.13. Masukkan dilator, yang kecil terlebih dahulu
5.3.14. Lepas dilator dengan wire tetap ditempatnya
5.3.15. Masukkan kateter melalui wire, lalu flush masing-masing kateter dengan NaCl
0,9% yang sudah dicampur heparin, bilas sampai jernih
5.3.16. Tutup ujung semua cabang kateter
5.3.17. Fiksasi dengan jahitan, tutup dengan kasa steril dan plester atau tegaderm
5.3.18. Konfirmasi posisi kateter dengan foto toraks
7. Tingkat Evidens : IV
8. Tingkat Rekomendasi : A
10. Kepustakaan
10.1. Principles of Critical Care. 3rd ed. Editor Hall JB, Schmidt GA, Wood LDH. Mc
Graw-Hill. 2005
10.2. Oh’s Intensive care Manual. 5tth ed. Editors Andrew D Bersten, Neil Soni.
Butterworth Heinemann. 2003
10.3. Central venous access via v subclavian approach to the subclavian vein. Roe III
JE. Editor Rick Kulkani. Updated August 2012
10.4. Guideline on the insertion and management of central venous access devices in
adult. L. Bishop; L Dougherty; A Bodenham et al. international Journal of
Laboratory Hematology; 2007;29: 261-278
10.5. ICU Protocols. A Stepwise Approach. Editors Chawla R; Todi S. ISCCM. Springer
2012
79
RESUSITASI JANTUNG PARU LANJUT PADA PASIEN KRITIS
ICD-9: 99.6
1. Pengertian (Definisi)
Resusitasi Jantung Paru Lanjut pada pasien kritis adalah suatu tindakan yang ditujukan
untuk mengembalikan sirkulasi spontan pada pasien yang menderita penyakit atau
kondisi akut dan reversible yang mengalami henti jantung
2. Indikasi
2.1. Fibrilasi Ventrikel
2.2. Takhikardia Ventrikel tanpa nadi
2.3. Aktifitas listrik tanpa nadi
2.4. Asistol
3. Kontra Indikasi
Tidak ada
4. Persiapan
4.1. Pastikan pasien tidak sadar, tidak bernapas, napas tidak adekuwat, (monitor EKG
menujukkan bradikardia atau asistole dan gambaran SpO2 tidak muncul).
4.2. Raba karotis <10 detik, bila tidak teraba lakukan RJP (30 kali kompresi dan 2 kali
bantuan napas), segera persiapkan tindakan intubasi trakea.
4.3. Bila pasien dalam bantuan ventilasi mekanik, lepaskan dari ventilator, lakukan RJP
dengan 100x kompresi/menit dan berikan ventilasi dengan bag-mask 8-10x/menit.
4.4. Kualitas yang harus terpenuhi dalam melakukan RJP:
4.4.1.Tekan yang keras (>5 cm) dan cepat (>100 X/menit) dan memungkinkan
paru-paru mengembang (recoil)
4.4.2.Minimalkan interupsi waktu RJP
4.4.3.Hindarkan ventilasi yang berlebihan
4.4.4.Rotasi kompresor setiap 2 menit
4.4.5.Monitor gelombang kapnografi kuantitatif (bila ada fasilitas) Bila PETCO2< 10
mmHg coba untuk memperbaiki kualitas kompresi
4.5. Bila tekanan fase relaksasi (diastol< 20 mmHg, perbaiki kualitas kompresi
Catatan:
a) Pulih kesirkulasi spontan ( ROSC)
- Nadi dan tekanan darah
- Tiba-tiba terjadi peningkatan PETCO2 (> 40 mmHg)
- Terlihat spontan gelombang arteri
b) Shock (Energi)
- Bifasik: Rekomendasi 120-200 J. Bila tidak tahu gunakan dosis maksimal.
Dosis kedua dan seterusnya harus sama atau lebih tinggi
- Monofasik: 360 J
c) Terapi Medik amentosa
80
- Epinefrin IV bolus 1 mg tiap 3-5 menit
- Vasopresin IV bolus 40 Unit dapat menggantikan dosis pertama dan kedua
epinefrin
- Amiodaron IV :Dosis pertama 300 mg IV bolus; dosis kedua 150 mg IV bolus
5. Prosedur Tindakan
5.1. Evaluasi penyebab henti jantung yaitu:
5.1.1. Hipoksemia
5.1.2. Hipovolemia
5.1.3. Hidrogen ion (asidosis)
5.1.4. Hipo/Hiperkalemia
5.1.5. Hipotermia
5.1.6. Tension pnemotoraks
5.1.7. Tamponade kardiak
5.1.8. Toksin
5.1.9. Trombosis paru
5.1.10. Trombosis kardiak
7. Prognosis :
7.1. Ad Vitam : Dubia at bonam
7.2. Ad sanationam : Dubia ad bonam
7.3. Ad Fungsionam : Dubia ad bonam
8. Tingkat Evidens : IV
9. Tingkat Rekomendasi : A
11. Kepustakaan
11.1. Morrison LJ, Chair, Kirzek G, Diekema DS, Sayre MR, Silvers SM, Idris AH,
Mancini ME. Ethics. American Heart Association Guidelines for Cardiopulmonary
Resuscitation and Emergency Cardiovascular Care. Circulation. 2010;122 (Suppl
3): S665-75
11.2. Neumar RW, Chair, Otto CW, Link MS, Kronick SL, Shuster M, Callaway CW,
Kudenchuck PJ, Ornato JP, McNally B, Silver SM, Passman RS, White RD, Hess
81
EP, Tang W, Davis D, Sinz E Morrison LJ. Adult advance cardiovascular life
support: 2010 American Heart Association Guidelines for Cardiopulmonary
Resuscitation and Emergency Cardiovascular Care. Circulation. 2010;122 (Suppl
3): S729-767
82
TORAKOSENTESIS (DENGAN PANDUAN ULTRASOUND)
ICD-9: 33.93/34.91
1. Pengertian (Definisi)
Torakosentesis adalah suatu tindakan memasukkan jarum ke rongga pleura untuk
mengeluarkan cairan dari rongga pleura
2. Indikasi
2.1. Diagnostik :
2.1.1. Untuk mengetahui proses infeksi atau proses lain yang menyebabkan
terjadinya efusi pleura
2.1.2. Kemungkinan adanya proses keganasan
2.2. Terapi :
2.2.1. Mengurangi sesak napas pada efusi pleura
3. Kontra Indikasi
3.1. Relatif : Gangguan pembekuan darah/faal hemostasis
3.2. Mutlak : Tidak ada.
4. Persiapan
4.1. Pasien :
4.1.1. Penjelasan kepada pasien tentang tindakan yang akan dilakukan
4.1.2. Ijin tindakan dari pasien atau keluarga
4.1.3. Foto toraks PA/lateral
4.1.4. USG toraks
4.1.5. Pasien diberikan terapi oksigen sesuai kebutuhan.
4.2. Alat :
4.2.1. USG dengan probe konkaf.
4.2.2. Alat monitor tekanan darah, ekg, puls oksimetri.
4.2.3. Meja steril berisi :
4.2.3.1. Sarung tangan 1-2 pasang
4.2.3.2. Pinset
4.2.3.3. Kain kasa
4.2.4. Blood set 1 buah
4.2.5. Abocath no 14, 1 buah
4.2.6. Spuit 5 cc, 1-2 buah
4.2.7. Lidokain 2% untuk anestesi lokal – 2 ampul
4.2.8. Povidon-iodine/chlorhexidine/alkohol untuk desinfektan
4.2.9. Plester/gunting
4.2.10. Pot plastik untuk tempat cairan pleura untuk bahan pemeriksaan laboratorium
4.2.11. Cairan rivalta untuk uji rivalta
4.2.12. Botol berisi Nacl 0,9%+povidon-iodine untuk tempat penampungan cairan
pleura
4.2.13. Alat/obat-obatan emergensi ( Troley emergency)
83
4.3. Ruangan tindakan
5. Prosedur Tindakan
5.1. Atur posisi pasien sesuai lokasi yang akan dilakukan tindakan (sebaiknya posisi
pasien duduk). Pasien agak menunduk dengan kedua lengan bertumpu pada
meja Mayo atau kedua lengan memeluk bantal.
5.2. Ultrasonografi dilakukan untuk mengkonfirmasi adanya efusi pleura, menilai
volume cairan efusi, melihat adanya lokulasi, dan menentukan titik pungsi yang
optimal. Probe dapat menggunakan transduser kurvalinear (2-5 MHz) atau
transduser linear frekuensi tinggi (7.5-1 MHz). Diafragma yang tampak ekogenik
terang harus terindentifikasi jelas. Posisi diafragma selama siklus inspirasi-
ekspirasi harus jelas, agar pemilihan sela iga yang menjadi titik pungsi tidak
bersentuhan dengan posisi tertinggi diafragma.
5.3. Mode M (Motion) pada USG dapat digunakan untuk menentukan kedalaman
pleura viseralis dan jumlah cairan efusi.
5.4. Titik pungsi yang optimal dapat ditentukan dengan mencari kantong cairan
terbesar. Biasanya posisi ini di interkostal 7-9 di antara garis aksilaris posterior
dan media. Titik ini lalu diberi tanda.
5.5. Lakukan tindakan desinfeksi pada daerah yang akan dilakukan punksi pleura
dengan betadine lalu alkohol 70%
5.6. Lakukan anestesi infiltrasi dengan lidokain 2% pada lokasi tindakan di sela iga
dan di atas iga bawah sampai pleura parietal.
5.7. Lakukan punksi percobaan dengan melakukan pengisapan cairan pleura dengan
spuit anestesi tersebut.
5.8. Setelah yakin cairan pleura keluar, spuit dicabut.
5.9. Masukkan abocath no 14 pada bekas tusukan tadi lalu hubungkan dengan blood
set.
5.10. Cairan pleura dialirkan ke dalam botol berisi Nacl 0,9% +betadin
5.11. Cairan pleura untuk bahan pemeriksaan ditampung dalam pot plastik.
5.12. Bila cairan pleura tidak keluar lagi atau pasien mengeluh sesak nafas atau batuk-
batuk, jarum dicabut (pengeluaran cairan maksimal 1500cc)
5.13. Tutup bekas tusukan dengan kasa steril yang telah diberi betadin lalu fiksasi
dengan plester.
5.14. Pantau tanda vital akhir pasien 15 menit setelah tindakan.
5.15. Bahan pemeriksaan diberi label lalu dikirim ke laboratorium
7. Tingkat Evidens : IV
8. Tingkat Rekomendasi : C
84
9. Indikator Prosedur Tindakan
80% pasien yang dilakukan prosedur torakosentesis dengan panduan ultrasound tidak
mengalami komplikasi
10. Kepustakaan
10.1. Sokolowski JW, Jr., Burgher LW, Jones FL, Jr., Patterson JR, and Paul A. Selecky
"Guidelines for Thoracentesis and Needle Biopsy of the Pleura", American Review
of Respiratory Disease, Vol. 140, No. 1 (1989), pp. 257-258
10.2. Brauner ME, Mosenifar Z. Thoracentesis.
http://emedicine.medscape.com/article/80640-overview#showall Diunduh tanggal
15 Oktober 2013
85
REGIONAL ANESTESI BLOK EPIDURAL
1. Pengertian (Definisi)
Adalah tindakan pembiusan dengan cara melakukan penyuntikan ke rongga Epidural
dan memberikan obat anestesi lokal kedalam rongga tersebut untuk memblok
rangsangan nyeri
2. IndikasI
Pasien yang akan menjalani tindakan pembedahan yang berlokasi dari dada ke bawah
3. Kontra Indikasi
3.1. Absolut:
3.1.1. peningkatan tekanan intracranial
3.1.2. koagulopati, dalam terapi antikoagulan
3.1.3. infeksi kulit tempat tusukan
3.1.4. penolakan pasien
3.1.5. hipovolemia
3.1.6. kelainan katup jantung berat atau obstruksi aliran dari ventrikel
3.2. Relatif:
3.2.1. sepsis
3.2.2. pasien tidak kooperatif
3.2.3. kelainan neurologis sebelumnya
3.2.4. kelainan tulang belakang yang berat
3.3. Kontroversi:
3.3.1. operasi tulang belakang sebelumnya
3.3.2. pasien tidak dapat berkomunikasi
3.3.3. operasi yang memanjang
3.3.4. operasi dengan kehilangan darah dalam jumlah besar
3.3.5. maneuver yang mempengaruhi respirasi
4. Persiapan
4.1. Pasien :
4.1.1. Penjelasan rencana dan resiko komplikasi tindakan epidural anestesi.
4.1.2. Ijin persetujuan tindakan anestesi dengan blok epidural
4.1.3. Puasa.
4.1.4. Medikasi sesuai resiko anestesi.
4.1.5. Premedikasi pra anestesi.
4.1.6. Kelengkapan pemeriksaan penunjang.
4.2. Alat
4.2.1. Set untuk general anestesi (Stetoskop, laringoskop, plester, Tube
Endotracheal, peralatan Airway, sungkup muka, sirkuit pernafasan, suction)
4.2.2. Monitor: EKG, Pulse oksimetri, tekanan darah
86
4.3. Bahan dan Obat:
4.3.1. Sarung tangan steril (2 buah)
4.3.2. Epidural set 18 G + cateter (1 buah).
4.3.3. Lidokain 2% (2 ampul).
4.3.4. Obat Anestesi lokal
4.3.4.1. Bupivacaine 0,5% plain 20cc (1 vial)
4.3.4.2. Ropivacaine 0,75% plain 20 cc (1 vial)
4.3.4.3. Lidocaine 2% plain 20 cc (1 vial)
4.3.4.4. Levobupivacaine plain 20 cc (1 vial)
4.3.5. Obat Ajuvan
4.3.5.1. Morphine 10 mg (1 ampul)
4.3.5.2. Fentanyl 100 mcg (1 ampul)
4.3.5.3. Natrium bicarbonat 25 cc (1 vial)
4.3.6. Disposable spuit 10 cc (1 buah)
4.3.7. Disposable spuit 3 cc (1 buah)
4.3.8. Kassa steril (8 lembar)
4.3.9. Doeck steril (1 buah)
4.3.10. Betadine (10cc) dan/atau Savlon (10cc) dan/atau alkohol (10cc)
4.3.11. Kasa+plester penutup bekas luka
4.3.12. Oksigen
4.3.13. Canula Oksigen dan Masker non rebreathing
4.3.14. Obat sedasi
4.3.14.1. Midazolam (5mg 1 ampul) dan/atau Diazepam (10 mg 1 ampul)
dan/atau Propofol (100mg 1 ampul) dan/atau Ketamine (100mg)
dan/atau Thiopental (250mg 1 ampul)
4.3.15. Obat analgetik
4.3.15.1. Morphine (10mg 1 ampul) dan/atau Fentanyl (100mcg 1 ampul)
dan/atau Sulfentanyl (50mcg 2 ampul) dan/atau Pethidine (100mg 2
ampul)
4.3.16. Cairan
4.3.16.1. Ringer Laktat (3 kolf)
4.3.16.2. Ringer Asetat (3 kolf)
4.3.16.3. Natrium Clorida 0,9% 500cc (1 kolf)
4.3.16.4. Natrium Clotida 0,9% 25 cc (2 vial)
4.3.16.5. Koloid (Gelatine atau HAES) (2 kolf)
4.3.17. Obat Kegawatan:
4.3.17.1. Dexamethasone (5mg 2 ampul)
4.3.17.2. Methylprednisolone (125mg 2 ampul)
4.3.17.3. Hidrocortisone (100mg 1 ampul)
4.3.17.4. Aminophylin (240mg 1 ampul)
4.3.17.5. Bricasma
4.3.17.6. Asam tranexamat (500mg 2 ampul)
4.3.17.7. Ephedrine (50mg 1 ampul)
4.3.17.8. Epinephrine (1mg 2 ampul)
4.3.17.9. Sulfas atropine (0,25mg 4 ampul)
4.3.17.10.Norepinephrine (4mg 1 ampul)
87
4.3.17.11.Dopamin (200mg 1 vial)
4.3.17.12.Dobutamin (250mg 1 vial)
4.3.17.13.Milrinone
4.3.17.14.Clonidine (300mcg 1 ampul)
4.3.17.15.Diltiazem
4.3.17.16.Nitrogliserin
4.3.17.17.ISDN
4.3.17.18.Metoprolol
4.3.17.19.D40 (25ml 2 vial)
4.3.17.20.Natrium bicarbonat
4.3.17.21.Amiodarone (150mg 2 ampul)
4.3.17.22.Adenosine
4.3.17.23.Lidocaine (40mg 4 ampul)
4.3.17.24.Furosemide (20mg 4 ampul)
4.3.17.25.Dantrolene
4.3.17.26.Fenoterol nebul (1 buah)
4.3.17.27.Salbutamol nebul (1 buah)
4.3.17.28.Propanolol tablet (10mg 10 buah)
4.3.17.29.Iodine
4.3.17.30.PTU tablet (100mg 10 buah)
4.3.17.31.ISDN tablet (5mg 2 buah)
4.4. Dokter :
4.4.1. Visite perioperatif.
4.4.2. penentuan klasifikasi ASA PS.
4.4.3. Check list kesiapan anestesi.
4.4.4. Pengelolaan nyeri pasca bedah.
5. Prosedur Tindakan
5.1. Pasang monitor standar berupa, Tekanan darah, EKG, Saturasi oksigen.
5.2. Loading menggunakan cairan kristaloid sebanyak 500cc.
5.3. Posisikan Pasien duduk atau tidur miring.
5.4. Identifikasi tempat insersi jarum spinal dan diberikan penanda.
5.5. Mencuci tangan (scrubbing).
5.6. Menggunakan Sarung tangan steril
5.7. Desinfeksi daerah insersi jarum epidural, injeksi anestesi lokal lidokain 2% 40 mg.
5.8. Insersi jarum epidural ditempat yang telah ditandai.
5.9. Didapatkan loss of resistance
5.10. Dipasang kateter (bila diperlukan)
5.11. Injeksikan obat test dose
5.12. Injeksikan Bupivacain 0,5% dan/atau lidocaine 2% dan/atau ropivacaine 0,75%
dan/atau levobupivacaine 5-20cc dikombinasikan dengan adjuvan fentanyl 25-50
µg dan/atau pethidin 25-50mg dan/atau morfin 1-2 mg.
5.13. Check level ketinggian block.
5.14. Maintanance dengan oksigen 2 lt/mnt menggunakan kanula nasal
5.15. Sedasi dengan midazolam dan/atau diazepam dan/atau Propofol dan/atau
Ketamine dan/atau Thiopental.
88
5.16. Jika terjadi hipotensi, lakukan prosedur terapi hipotensi.
5.17. Evaluasi ulang untuk memasukkan obat anestesi lagi bila diperlukan untuk
memperpanjang masa anestesi maupun untuk penanganan nyeri setelah
pembedahan
7. Tingkat Evidens : II
8. Tingkat Rekomendasi : B
10. Kepustakaan
10.1. Miller’s Anesthesia 7th edition, Ronald D Miller, 2009
10.2. Morgan Clinical Anesthesiology 4th edition, G Edward Morgan, 2006
10.3. Standard dan Pedoman Pelayanan Anestesiologi Indonesia. IDSAI. 2008
89
PANDUAN PRAKTEK KLINIS PAIN
90
PENANGANAN NYERI AKUT NON-BEDAH
1. Pengertian (Definisi)
Nyeri akut non-bedah adalah nyeri akut pada pasien yang bukan merupakan akibat
pembedahan. Nyeri dapat terjadi dengan intensitas ringan sampai berat akibat keadaan
patologi selain pembedahan seperti akibat trauma, luka bakar dan kondisi penyakit
tertentu lainnya.
2. Indikasi
Nyeri akut non-bedah dapat berupa nyeri nosiseptif, neuropatik maupun kombinasi dari
keduanya. Rangsangan pada nosiseptor akibat kerusakan pada trauma mekanik,
kimiawi dan termal akan menghasilkan nyeri nosiseptif. Nyeri nosiseptif dapat berupa
nyeri visceral maupun nyeri somatik tergantung dari organ yang menjadi sumber
terjadinya nyeri. Nyeri neuropatik banyak terjadi akibat adanya kerusakan dari struktur
saraf baik perifer maupun sentral. Proses sensitisasi perifer dan sensitisasi sentral akan
terjadi pada nyeri akut non-bedah akibat besarnya input dari perifer yang akan
diteruskan ke susunan saraf pusat bila tidak ditangani dengan cepat dan tepat akan
berkembang menjadi nyeri kronik.
3. Kontraindikasi
Tidak ada.
4. Persiapan
DPJP Anestesi melakukan assesmen nyeri akut non bedah, termasuk lokasi,
karakteristik, onset/durasi, frekuensi, kualitas, intensitas, atau beratnya nyeri dan faktor
presipitasi
5. Prosedur Tindakan
5.1. Menilai intensitas nyeri dengan menggunakan penilaian Numerical Rating Scale
(NRS) atau dengan Visual Analogue Score (VAS)
5.2. Menilai kualitas dan jenis nyeri sangat penting untuk membedakan nyeri nosiseptif
visceral atau somatik, atau nyeri neuropatik
5.3. Menilai tanda vital lainnya untuk melihat dampak fisiologis bila nyeri tidak ditangani
dengan adekuat seperti terjadinya peningkatan tekanan darah, frekuensi denyut
nadi dan frekuensi nafas
5.4. Memberikan edukasi mengenai penyebab nyeri akut dan cara mengatasinya, cara
penggunaan obat-obatan yang disarankan dan evaluasi terapi melalui kontrol rutin
5.5. Memberikan terapi nyeri akut dengan metode multimodal analgesia yaitu
memberikan obat-obatan dan atau tindakan analgesik yang bekerja pada proses
91
perjalan nyeri yang berbeda, mulai dari proses transduksi, konduksi, transmisi dan
modulasi sesuai dengan jenis dan intensitas nyeri yang didapatkan. Proses
transduksi dapat dihambat dengan pemberian analgesic golongan NSAID dan
parasetamol, proses modulasi banyak diperkuat dengan pemberian opioid terutama
untuk nyeri sedang sampai berat. Tindakan analgesia dengan menghambat proses
konduksi/transmisi nyeri seperti blok saraf menjadi hal yang paling penting karena
dapat mengurangi nyeri secara bermakna dan meningkatkan kepuasan pasien.
f) Tidak ada perbedaan efektifitas antara f) Tidak ada perbedaan efektifitas antara
petidin dan morfin pada kolik ginjal petidin dan morfin pada kolik ginjal
(Level II). (Level II).
92
6. Pasca Prosedur Tindakan
6.2. Melakukan asesmen ulang kualitas dan jenis nyeri sangat penting untuk
membedakan nyeri nosiseptif visceral atau somatik, atau nyeri neuropatik
6.3. Melakukan asesmen ulang tanda vital lainnya untuk melihat dampak fisiologis bila
nyeri tidak ditangani dengan adekuat seperti terjadinya peningkatan tekanan darah,
frekuensi denyut nadi dan frekuensi nafas
7. Tingkat Evidens : II
8. Tingkat Rekomendasi : B
10. Kepustakaan
93
PROSEDUR ASESMEN NYERI PADA PASIEN NEONATUS DAN
INFANT
1. Pengertian (Definisi)
Memeriksa derajat nyeri yang diderita oleh pasien pasien bayi di ruang rawat
intensif / kamar operasi / ruang rawat inap.
2. Indikasi
Mengetahui derajat nyeri yang diderita oleh pasien sehingga dapat diberikan obat
penghilang nyeri yang sesuai
3. Kontra Indikasi
Tidak ada
4. Persiapan
5. Prosedur Tindakan
5.1 Penilaian dilakukan dengan menggunakan The Neonatal Infant Pain Scale
(NIPS).Parameter yang dinilai pada skala ini adalah :
5.1.1 Ekspresi wajah
5.1.1.1 Relaksasi (nilai 0)
5.1.1.2 Meringis (nilai 1)
5.1.2 Menangis
5.1.2.1 Tidak menangis (nilai 0)
5.1.2.2 Merengek (nilai 1)
5.1.2.3 Menangis kuat (nilai 2)
5.1.3 Pola nafas
5.1.3.1 Relaksasi (nilai 0)
5.1.3.2 Perubahan pola nafas (nilai 1)
5.1.4 Ekstremitas atas
5.1.4.1 Diikat (nilai 0)
5.1.4.2 Relaksasi (nilai 0)
5.1.4.3 Fleksi (nilai 1)
5.1.4.4 Ekstensi (nilai 1)
5.1.5 Ekstremitas bawah
5.1.5.1 Diikat (nilai 0)
5.1.5.2 Relaksasi (nilai 0)
5.1.5.3 Fleksi (nilai 1)
5.1.5.4 Ekstensi (nilai 1)
94
5.1.6 Tingkat kesadaran
5.1.6.1 Tidur (nilai 0)
5.1.6.2 Sadar (nilai 0)
5.1.6.3 Rewel (nilai 1)
8. Tingkat Evidens : II
9. Tingkat Rekomendasi : B
11.Kepustakaan
95
PROSEDUR ASESMEN NYERI PADA PASIEN TERSEDASI DI
RUANG RAWAT INTENSIF DAN HIGH CARE UNIT
1. Pengertian (Definisi)
Memeriksa derajat nyeri yang diderita oleh pasien pasien bayi, anak, dan dewasa di
ruang rawat intensif / high care unit /kamaroperasi / ruang rawat inap yang tidak dapat
dinilai menggunakan Numeric Rating Scale atau Wong-Baker FACES Pain Scale.
2. Indikasi
Mengetahui derajat nyeri yang diderita oleh pasien sehingga dapat diberikan obat
penghilang nyeri yang sesuai
3. Kontra Indikasi
Tidak ada
4. Persiapan
DPJP Anestesi melakukan anamnesis tentang nyeri, termasuk lokasi, karakteristik,
onset/durasi, frekuensi, kualitas, intensitas, atau beratnya nyeri dan faktor presipitasi
5. Prosedur Tindakan
Penilaian dilakukan dengan menggunakan skala comfort. Indikator yang dinilai pada
skala ini adalah :
5.1 Kesadaran
Nilai respon pasien saat dirangsang dengan suara, sinar, gerakan. Derajat
kedalaman sedasi diukur dengan:
5.1.1 Tidur dalam :
Pasien menutup mata mereka lebih sering atau membuat upaya untuk
membuka mata dan kurang respon sifter hadap lingkungan.
5.1.4 Waspada dan terjaga:
96
Pasien responsif dan interaktif dengan lingkungan, tapi tanpa respon
berlebihan terhadap lingkungan. Pasien mata tetap terbuka sebagian besar
waktu atau membuka mudah dalam menanggapi rangsangan lingkungan.
5.1.5 Hyper-alert
Pasien tampak agak gelisah dan emosional tertekan, tetapi tetap dapat
dikendalikan
5.2.4 Sangat cemas:
Nilai respon oral dan respirasi pasien terhadap endotracheal tube dan ventilasi
intermiten
5.3.1 Tidak ada batuk atau tidak ada respirasi spontan:
Yang ada hanya napas yang dihasilkan dari ventilator. Tidak ada
pergerakan pernafasan diantara nafas yang diberikan ventilator. Tidak ada
pergerakan mulut atau dinding dada kecuali yang diciptakan oleh ventilator.
5.3.2 Respirasi spontan
97
Ada sesekali pergerakan mulut pasien atau pergerakan diding dada yang
bertentangan dengan pola nafas ventilator. Pasien kadang-kadang
bernafas tidak sinkron dengan ventilator
5.3.4 Nafas aktif berlawanan dengan ventilator
Sering ada pergerakan mulut atau Pergerakan dada yang melawan pola
nafas ventilator, batuk teratur, atau sering bernafas tidak sinkron dengan
ventilator
5.3.5 Berkelahi dengan ventilator – batuk/ tersedak/ muntah
Pasien secara aktif membuat pergerakan mulut atau dada yang berlawanan
dengan pola nafas dari ventilator, batuk dan atau muntah yang terjadi dapat
mengganggu ventilasi
5.4 Pergerakan Tubuh
Mean arterial blood pressure (MAP) dinilai 5-6 kali dalam waktu 2 menit dan
didokumentasikan.
5.5.1 Tekanan darah dibawah baseline
5.5.2 Tekanan darah konstan pada baseline
5.5.3 Peningkatan lebih dari 15% (1-3 kali selama periode observasi)
5.5.4 Peningkatan lebih dari 15% (lebihdari 3 kali selama periode observasi)
5.5.5 Peningkatan berkelanjutan sama dengan atau lebih dari 15%
98
Observasi dilakukan 5-6 kali selama 2 menit periode observasi dan
didokumentasikan.
5.6.1 Denyut jantung dibawah baseline
5.6.2 Denyut jantung konstan pada baseline
5.6.3 Peningkatan 15% atau lebih (1-3 kali selama periode observasi)
5.6.4 Peningkatan 15% atau lebih (lebih dari 3 kali periode observasi)
5.6.5 Peningkatan berkelanjutan sama dengan atau lebih dari 15%
Penilaian ini berdasarkan respon pasien pada fleksi dan eksten silambat pada
ekstremitas yang bebas (tanpa infus, plester, arterial line atau physical restraint)
5.7.1 Relaksasi/ Tidak Ada
Pasien menunjukkan tidak ada tonus otot wajah dengan tidak bisa menutup
mulut dan menutup mata. Mulut tampak terbuka dan pasien mengeluarkan
air liur
5.8.2 Tonus normal
Tidak termasuk ketegangan terus menerus pada otot alis, dahi atau mulut
5.8.4 Ketegangan seluruh wajah
Patut diperhatikan ketegangan pada seluruh otot wajah, termasuk alis, dahi,
mulut, pipi dan dagu
5.8.5 Hyper-alert
99
Tampak muka meringis dengan ekspresi muka menangis dan tidak nyaman.
Temasuk kerutan ekstrim dari alis, dahi dan lekukan mulut
7. Tingkat Evidens : II
8. Tingkat Rekomendasi : B
10. Kepustakaan
10.1 Chandra, S. Panduan Tatalaksana Nyeri Perioperatif. PERDATIN. 2009.
100
PROSEDUR ASESMEN NYERI PADA PASIEN TIDAK SADAR
1. Pengertian (Definisi)
Memeriksa derajat nyeri yang diderita oleh pasien yang tidak sadar atau tidak kooperatif
yang tidak bisa dilakukan asesmen nyeri menggunakan Numeric Rating Scale.
2. Indikasi
Mengetahui derajat nyeri yang diderita oleh pasien sehingga dapat diberikan obat
penghilang nyeri yang sesuai
3. Kontra Indikasi
Tidak ada
4. Persiapan
DPJP Anestesi melakukan anamnesis tentang nyeri, termasuk lokasi, karakteristik,
onset/durasi, frekuensi, kualitas, intensitas, atau beratnya nyeri dan faktor presipitasi
5. Prosedur Tindakan
5.1 Lakukan anamnesis tentang nyeri, termasuk lokasi, karakteristik, onset/durasi,
frekuensi, kualitas, intensitas, atau beratnya nyeri dan faktor presipitasi
5.2 Lakukan asesmen nyeri dengan menggunakan :
5.2.1 Wong Baker Faces Pain Scale Amati raut wajah pasien lalu sesuaikan
dengan gambar yang ada.
7. Tingkat Evidens : II
8. Tingkat Rekomendasi : B
10. Kepustakaan
10.1 Chandra, S. Panduan Tatalaksana Nyeri Perioperatif. PERDATIN. 2009.
101
PROSEDUR ASESMEN NYERI
1. Pengertian (Definisi)
Memeriksa derajat nyeri yang diderita oleh pasien
2. Indikasi
Mengetahui derajat nyeri yang diderita oleh pasien sehingga dapat diberikan obat
penghilang nyeri yang sesuai
3. Kontra Indikasi
Tidak ada
4. Persiapan
DPJP Anestesi melakukan edukasi dan persetujuan medik pada keluarga pasien
sebelum melakukan asesmen
5. Prosedur Tindakan
5.1 Lakukan anamnesis tentang nyeri, termasuk lokasi, karakteristik, onset/durasi,
frekuensi, kualitas, intensitas, atau beratnya nyeri dan faktor presipitasi
5.2 Lakukan asesmen nyeri dengan menggunakan :
Numeric Rating Scale pada pasien dewasa dan anak berusia > 14 tahun yang
kooperatif dengan menggunakan angka untuk melambangkan intensitas nyeri
yang dirasakannya. Tanyakan pasien mengenai intensitas nyeri yang
dirasakan dan dilambangkan dengan angka antara 0 – 10.
0 = tidak nyeri
1 – 3 = nyeri ringan (sedikit mengganggu aktivitas sehari-hari)
4 – 6 = nyeri sedang (gangguan nyata terhadap aktivitas sehari-hari)
7 – 10 = nyeri berat (tidak dapat melakukan aktivitas sehari-hari)9
5.3 Minta pasien untuk menunjukkan angka yang sesuai dengan derajat nyeri yang
dideritanya
102
Asesmen Wong Baker FACES Pain Scale (gambar wajah tersenyum –
cemberut – menangis) pada pasien yang tidak dapat menggambarkan
intensitas nyerinya dengan angka ataupun pasien yang tidak kooperatif. Amati
raut wajah pasien lalu sesuaikan dengan gambar yang ada.
7. Tingkat Evidens : II
8. Tingkat Rekomendasi : B
10. Kepustakaan
10.1 Chandra, S. Panduan Tatalaksana Nyeri Perioperatif. PERDATIN. 2009.
103
PROSEDUR EDUKASI MANAJEMEN NYERI
1. Pengertian (Definisi)
Menyiapkan pasien dan keluarga tentang strategi mengurangi nyeri atau menurunkan
nyeri ke level kenyamanan yang diterima oleh pasien
2. Indikasi
3. Kontra Indikasi
Tidak ada
4. Persiapan
DPJP Anestesi melakukan identifikasi pada identitas pasien dan keluarga pasien
5. Prosedur Tindakan
5.1 Lakukan pengkajian yang komprehensif tentang nyeri, termasuk lokasi,
karakteristik, onset/durasi, frekuensi, kualitas, intensitas, atau beratnya nyeri dan
faktor presipitasi
5.2 Amati perlakuan non verbal yang menunjukkan ketidaknyamanan, khususnya
ketidakmampuan komunikasi efektif
5.3 Pastikan pasien menerima analgetik yang tepat
5.4 Gunakan strategi komunikasi terapeutik yang dapat diterima tentang pengalaman
nyeri merasa menerima respon pasien terhadap nyeri
5.5 Identifikasi dampak pengalaman nyeri terhadap kualitas hidup
5.6 Bantu pasien dan keluarga untuk memberikan dukungan
5.7 Bersama keluarga mengidentifikasi kebutuhan untuk mengkaji kenyamanan
pasien dan merencanakan monitoring tindakan
5.8 Beri informasi tentang nyeri seperti penyebab nyeri, berapa lama berakhir,
antisipasi ketidaknyamanan dari prosedur
5.9 Ajarkan kepada pasien untuk mengontrol faktor lingkungan yang dapat
mempengaruhi respon pasien mengalami ketidaknyamanan (misal) temperatur
ruangan, cahaya, kebisingan)
5.10 Mengajarkan pada pasien bagaimana mengurangi atau menghilangkan faktor
yang menjadi presipitasi atau meningkatkan pengalaman nyeri (misal: ketakutan,
kelemahan dan rendahnya pengetahuan
5.11 Pilih dan implementasikan berbagai cara (misal: farmakologi, nonfarmakologi, dan
interpersonal) untuk memfasilitasi penurun nyeri
5.12 Mengajarkan kepada pasien untuk mempertimbangkan jenis dan sumber nyeri
ketika memilih strategi penurun nyeri
5.13 Anjurkan pasien untuk memantau nyerinya sendiri dan intervensi segera
5.14 Ajarkan teknik penggunaan nonfarmakologi (misal: hypnosis, relaksasi, terapi
musik, distraksi, terapi bermain, terapi aktivitas, acupressure, terapi dingin/panas,
dan pijatan.
104
6. Pasca Prosedur Tindakan
7. Tingkat Evidens : II
8. Tingkat Rekomendasi : B
10. Kepustakaan
10.1 Chandra, S. Panduan Tatalaksana Nyeri Perioperatif. PERDATIN. 2009.
105
PROSEDUR MANAJEMEN NYERI
1. Pengertian (Definisi)
2. Indikasi
3. Kontra Indikasi
Tidak ada
4. Persiapan
5. Prosedur Tindakan
5.1 Farmakologi: gunakan Step-Ladder WHO
5.1.1 OAINS efektif untuk nyeri ringan-sedang, opioid efektif untuk nyeri sedang-
berat.
5.1.2 Mulailah dengan pemberian OAINS / opioid lemah (langkah 1 dan 2)
dnegan pemberian intermiten (pro re nata-prn) opioid kuat yang
disesuaikan dengan kebutuhan pasien.
Jika langkah 1 dan 2 kurang efektif / nyeri menjadi sedang-berat, dapat
ditingkatkan menjadi langkah 3
5.1.3 (ganti dengan opioid kuat dan prn analgesik dalam kurun waktu 24 jam
setelah langkah 1).
5.1.4 Penggunaan opioid harus dititrasi. Opioid standar yang sering digunakan
adalah morfin, kodein.
5.1.5 Jika pasien memiliki kontraindikasi absolut OAINS, dapat diberikan opioid
ringan.
5.1.6 Jika fase nyeri akut pasien telah terlewati, lakukan pengurangan dosis
secara bertahap
5.1.6.1 Intravena: antikonvulsan, ketamine, OAINS, opioid
5.1.6.2 Oral: antikonvulsan, antidepresan, antihistamin, anxiolytic,
kortikosteroid, anestesi lokal, OAINS, opioid, tramadol.
5.1.6.3 Rektal (supositoria): parasetamol, aspirin, opioid, fenotiazin
5.1.6.4 Topical: lidokain patch, EMLA
5.1.6.5 Subkutan: opioid, anestesi lokal
5.2 Non-farmakologi:
5.2.1 Olah raga
5.2.2 Imobilisasi
106
5.2.3 Pijat
5.2.4 Relaksasi
5.3 Follow-up / asesmen ulang
5.3.1 Asesmen ulang sebaiknya dilakukan dengan interval yang teratur.
5.3.2 Panduan umum:
5.3.2.1 Pemberian parenteral: 30 menit
5.3.2.2 Pemberian oral: 60 menit.
5.3.2.3 Intervensi non-farmakologi: 30-60 menit.
7. Tingkat Evidens : II
8. Tingkat Rekomendasi : B
10. Kepustakaan
10.1 Chandra, S. Panduan Tatalaksana Nyeri Perioperatif. PERDATIN. 2009.
107
PROSEDUR PELAPORAN HASIL ASESMEN NYERI DI RUANGAN
1. Pengertian (Definisi)
Suatu mekanisme pelaporan yang dilakukan oleh perawat atau dokter jaga ruangan
kepada dokter pananggung jawab pasien untuk menangani nyeri
2. Indikasi
Melakukan tatalaksana nyeri di ruangan sehingga pasien dapat dengan segera
ditanggulangi rasa nyeri yang dialami
3. Kontra Indikasi
Tidak ada
4. Persiapan
Perawat dan Dokter jaga melakukan persiapan pelaporan dengan teknik SBAR-TBAK
5. Prosedur Tindakan
5.1 Pelaporan pasien dilakukan oleh perawat atau dokter jaga ruangan pada pasien
yang mengeluh nyeri. Semua pasien nyeri merupakan tanggung jawab dokter
penanggung jawab pelayanan (DPJP), kecuali pasien 24 jam post operasi.
5.2 Bila perawat atau dokter jaga menemukan pasien yang mengeluh nyeri, lakukan
penilaian derajat nyeri dengan menggunakan numeric rating scale atau wong
baker face, setelah itu laporkan pada DPJP kemudian DPJP memberikan terapi
berdasarkan derajat nyeri sesuai panduan terapi penanganan nyeri RSHS
5.3 Pada pasien-pasien 24 jam post operasi, penananganan nyeri diberikan oleh
dokter spesialis anestesi yang bersangkutan. Bila pasien mengeluh nyeri,
laporkan pada dokter anestesi yang bersangkutan atau pada residen jaga
anestesi. Dokter Spesialis Anestesi yang bersangkutan atau residen jaga anestesi
memberikan terapi berdasarkan derajat nyeri sesuai panduan terapi penanganan
nyeri RSHS.
7. Tingkat Evidens : II
8. Tingkat Rekomendasi : B
10. Kepustakaan
10.1 Chandra, S. Panduan Tatalaksana Nyeri Perioperatif. PERDATIN. 2009.
108
PROSEDUR TATA LAKSANA NYERI AKUT
1. Pengertian (Definisi)
Nyeri akut adalah nyeri yang berlangsung kurang dari enam minggu
2. Indikasi
Sebagai acuan penerapan langkah-langkah untuk tatalaksana pasien yang mengalami
nyeri akut dalam mengurangi
3. Kontra Indikasi
Tidak ada
4. Persiapan
DPJP anestesi melakukan penilaian nyeri sebelum tindakan untuk perencanaan
pemberian analgetik
5. Prosedur Tindakan
5.1 TIM APS (Acute Pain Service) melakukan evaluasi klinis terhadap nyeri yang
dikeluhkan oleh pasien (patologis, pengobatan, lamanya keluhan,
kecemasan/ketakutan dan lain-lain) berdasarkan kosultasi dari ruangan
perawatan dan poliklinik.
5.2 Seluruh pasien yang akan mengalami pembedahan berencana (dan pembedahan
darurat bila memungkinkan) selayaknya mendapatkan penjelasan tentang
rencana pengelolaan nyeri pascaoperasi sesuai umur ( anak dan dewasa) dan
prosedur operasinya.
5.3 Nyeri harus dinilai oleh pasien sendiri berdasarkan skor nyeri pada saat menarik
napas dalam, batuk dan bergerak, tidak hanya pada saat istirahat. Penilaian
berkala terhadap keluhan nyeri dan mual, dikombinasi dengan penilaian
keperawatan (laju napas, level sedasi, laju nadi dan tekanan darah) harus
dilakukan pada seluruh pasien pascaoperasi dan pascatrauma dengan
menggunakan standar observasi pascaoperasi atau standar obervasi
ACPS( acute and chronic pain services
5.5 Pemberian modalitas nyeri parenteral disesuaikan dengan tingkat nyeri, keadaan
penyakit penyerta, jenis operasi, dan indikasi klinisnya. Modalitasnya dapat
berupa sistemik (PCA, infus terkontrol,transdermal,rektal atau mukosal, NSAID),
regional (infiltrasi daerah operasi, blok regional neuroaksial atau perifer
109
5.6 Pemberian analgesi lebih awal (pre-emptive analgesia) dapat menurunkan
keluhan nyeri berikutnya dan kebutuhan obat analgesinya pada sebagian besar
pasien. Untuk pasien pascaoperasi atau pascatrauma kemungkinan timbulnya
nyeri yang sedang sampai berat harus diantisipasi dengan pendekatan kombinasi
analgesi yang tepat. Untuk pasien yang mengalami nyeripada preoperasi,
penggunaan analgesi awal sangat dibutuhkan dan memerlukan analgesi opioid
secara titrasi sampai efek yang diinginkan tercapai.
5.9 Beberapa pasien mungkin tidak mendapatkan penanganan nyeri yang adekuat
dan membutuhkan pengelolaan secara individual akibat masalah kesehatah yang
dideritanya. Mungkin diperlukan diskusi dengan konsultan anestesi pada
beberapa kondisi khusus ini.
7. Tingkat Evidens : II
8. Tingkat Rekomendasi : B
10. Kepustakaan
10.1 Chandra, S. Panduan Tatalaksana Nyeri Perioperatif. PERDATIN. 2009.
110
PROSEDUR TATA LAKSANA NYERI KRONIK
1. Pengertian (Definisi)
Nyeri kronik adalah nyeri yang berlangsung lebih dari enam minggu
2. Indikasi
Sebagai acuan penerapan langkah-langkah untuk tatalaksana pasien yang mengalami
nyeri kronik
3. Kontra Indikasi
Tidak ada
4. Persiapan
DPJP anestesi melakukan penilaian nyeri sebelum tindakan untuk perencanaan
pemberian analgetik
5. Prosedur Tindakan
5.1 Tim Nyeri melakukan evaluasi klinis terhadap nyeri yang dikeluhkan oleh pasien
berdasarkan kosultasi dari ruangan perawatan dan poliklinik.
5.2 Evaluasi klinis dimulai dari riwayat nyeri yang diderita dan penilaian pengaruhnya
terhadap diri pasien, pemeriksaan fisik, riwayat pemeriksaan diagnostik nyeri yang
sudah dijalani, riwayat intervensi nyeri yang telah didapat, riwayat pemakaian
obat-obatan, dan penilaian terhadap penyakit penyerta serta kondisinya.
5.3 Perencanaan pengobatan harus berdasarkan kebutuhan individu dan masalah
yang dihadapi saat itu. Pertimbangan kemungkinan penggunaan modalitas yang
berbeda harus dijelaskan kepada pasien seperti penggunaan teknik non-invasif
atau penggunaan obat-obatan antinyeri atau penggunaan teknik intervensi invasif
seperti blok regional neuraksial atau perifer, akupuntur, akupressure, trigger point
massage. Penggunaan obat golongan opioid jangan dilakukan sebelum diperoleh
penilaian yang lengkap terhadap keluhan nyeri kronik yang diderita pasien.
5.4 Informed Consent –Tim APS-CPS harus mendiskusikan resiko dan keuntungan
dari penggunaan modalitas terapi nyerinya, ditandatangani oleh pasien atau
keluarganya atau orang yang bertanggung jawab bila pasien tidak mampu
mengambil keputusan medis. Diskusi menyangkut resiko adiksi/penyalahgunaan
obat, tidak meredanya seluruh nyeri dan alternatif modalitas terapi yang lain bila
terapi yang diberikan tidak berpengaruh.
5.5 Persetujuan lisan dan tertulis harus didokumentasikan. Bagi pasien rawat jalan
persetujuan tertulis dan lisan antara dokter dan pasien harus didokumentasikan.
Untuk keamanan dan pertanggungjawaban, persetujuan menyangkut:
5.5.1 Pemeriksaan serum/urine level obat dan sekrining baseline bila diminta.
5.5.2 jumlah dan frekuensi pemberian resep.
5.5.3 Alasan untuk penghentian terapi.
5.5.4 Pengendalian resep dari satu dokter dan satu pharmasi.
111
5.6 Penilaian secara berkala terhadap efektifitas terapi harus dilakukan. Penilaian
tentang informasi baru etiologi nyeri atau status kesehatan pasien, status
fungsional, obat-obatananalgesi yang akan dilanjutkan, efek samping opioid,
kualitas hidup dan penggunaan indikasi yang salah dari obat-obatan.
Pemeriksaan periodik harus dilakukan untuk menilai kembali penyebab nyeri dan
untuk menjamin terapi opioid masih ada indikasinya. Perhatian juga ditujukan
terhadap penurunan fungsi secara global atau kualitas hidup pasien akibat
penggunaan opioid.
5.7 Konsultasi dengan spesialis dibidang lainnya perlu dilakukan tergantung
masalah yang dihadapi pada saat itu. Pengelolaan nyeri kronik pada pasien
dengan riwayat ketergantungan obat atau adanya penyerta gangguan psikiatri
dibutuhkan pertimbangan khusus, tetapi tidak menutup kemungkinan untuk tetap
diberikan opioid.
5.8 Rekam Medis. Pencatatan pada rekam medis oleh dokter harus akurat, dapat
dibaca dan lengkap, sehingga dapat menyediakan informasi yang cukup untuk
dokter yang lain bila dibutuhkan perawatan lanjutan. Rekam medis minimal
harus menyangkut tentang:
5.8.1 Riwayat pengobatan dan pemeriksaan fisik
5.8.2 Diagnostik, terapi, laboratorium yang menunjang diagnostic
5.8.3 Evaluasi dan hasil konsultasi
5.8.4 Obyektif terapi
5.8.5 Diskusi resiko dan keuntungan
5.8.6 Dokumentasi inform consent lisan dan atau tulisan
5.8.7 Terapi menyeluruh penyakit definitifnya.
5.8.8 Instruksi
5.8.9 Peninjauan berkala
112
7. Tingkat Evidens : II
8. Tingkat Rekomendasi : B
10. Kepustakaan
10.1 Chandra, S. Panduan Tatalaksana Nyeri Perioperatif. PERDATIN. 2009.
113
LAMPIRAN ALUR PELAYANAN ANESTESI
114
LAMPIRAN KRITERIA PEMULIHAN FASE 1 STEWARD SCORING
SYSTEM (ANAK)
KRITERIA SKOR
Pergerakan:
Gerak bertujuan 2
Tidak bergerak 0
Pernafasan:
Kesadaran:
Tidak respon 0
115
LAMPIRAN KRITERIA PEMULIHAN FASE 1 ALDRETE SCORING
SYSTEM (DEWASA)
KRITERIA SKOR
Saturasi O2:
2
SpO2 ≥ 92% pada udara kamar
1
SpO2 ≥ 90% dengan oksigen
0
SpO2 ≥ 90% dengan oksigen
Respirasi:
Apnea 0
Sirkulasi:
Kesadaran:
Sadar penuh 2
Dapat dibangunkan 1
Tidak respon 0
Aktivitas:
Nilai total 10. Nilai ≥ 9 masuk pemulihan fase 2 ( Ruang rawat inap )
116
LAMPIRAN MODIFIED BROMAGE SCORE
117
LAMPIRAN KRITERIA PEMULANGAN PASIEN RAWAT JALAN –
ODC Postanesthetic Discharge Scoring System (PADSS)
KRITERIA SKOR
Tanda vital:
Tidak dua-duanya 0
Minimal 2
Sedang 1
Berat 0
Pendarahan surgical:
Minimal 2
Sedang 1
Berat 0
Tidak keduanya 0
118
LAMPIRAN KONSULTASI PELAYANAN ANESTESI
119
120
ANESTESIA UMUM PADA OPERASI BEDAH MIKRO
(ICD 9:……)
1. Pengertian (Definisi)
Anastesi umum didefinisikan sebagai hilangnya rasa nyeri dan hilangnya kesadaran
yang reversible akibat pemberian obat.
Bedah mikro didefinisikan sebagai tindakan yang dilakukan pada bagian tubuh yang
memerlukan mikroskop untuk melihat dan mengoperasinya. Hal ini termasuk pembuluh
darah kecil, saraf, dan tuba. Bedah mikro biasanya dilakukan pada daerah telinga,
hidung, dan tenggorokan karena ini memiliki struktur kecil dan halus.
Pada operasi bedah mikro dilakukan dengan anestesi umum dan dilakukan intubasi
untuk mempertahankan patensi jalan nafas sehingga ventilasi terjaga
2. Indikasi
Operasi yang memerlukan obat pelumpuh otot secara berkelanjutan (contohnya: operasi
vitrectomy)
3. Kontra Indikasi
4. Persiapan
4.1. Pasien :
4.1.1. Penjelasan rencana dan resiko komplikasi tindakan anestesi umum dengan
inhalasi via face mask.
4.1.2. Ijin persetujuan tindakan anestesi umum dengan intubasi.
4.1.3. Puasa.
4.1.4. Medikasi sesuai resiko anestesi.
4.1.5. Premedikasi pra anestesi.
4.1.6. Kelengkapan pemeriksaan penunjang
4.2. Alat
4.2.1. stetoskop
4.2.2. laringoskop dengan blade sesuai ukuran pasien
4.2.3. pipa endotrakeal 3 ukuran (ukuran pasien, satu nomor diatas, dan satu nomor
dibawah)
4.2.4. laryngeal mask airway 3 ukuran (ukuran pasien, satu nomor diatas, dan satu
nomor dibawah) yang memungkinkan pemasangan pipa nasogastrik dan
penghisapan cairan
4.2.5. introducer atau penuntun
4.2.6. masker 3 ukuran (ukuran pasien, satu nomor diatas, dan satu nomor
dibawah)
4.2.7. mesin anestesi dengan sumber gas
4.2.8. alat suction
121
4.2.9. monitor (SpO2, Elektrokardiogram, tekanan darah, nadi)
4.2.10. McGill tang
4.2.11. spuit cuff
4.2.12. laringoskop dengan blade khusus
122
4.3.12.12.Dobutamin (250mg 1 vial)
4.3.12.13.Milrinone
4.3.12.14.Clonidine (300mcg 1 ampul)
4.3.12.15.Diltiazem
4.3.12.16.Nitrogliserin
4.3.12.17.ISDN
4.3.12.18.Metoprolol
4.3.12.19.D40% (25ml 2 vial)
4.3.12.20.Natrium bicarbonat
4.3.12.21.Amiodarone (150mg 2 ampul)
4.3.12.22.Adenosine
4.3.12.23.Lidocaine (40mg 4 ampul)
4.3.12.24.Furosemide (20mg 4 ampul)
4.3.12.25.Dantrolene
4.3.12.26.Fenoterol nebul (1 buah)
4.3.12.27.Salbutamol nebul (1 buah)
4.3.12.28.Propanolol tablet (10mg 10 buah)
4.3.12.29.Iodine
4.3.12.30.PTU tablet (100mg 10 buah)
4.3.12.31.ISDN tablet (5mg 2 buah)
4.4. Dokter :
4.4.1. Visite perioperatif.
4.4.2. penentuan klasifikasi ASA PS.
4.4.3. Check list kesiapan anestesi
5. Prosedur Tindakan
5.1. Beri tau pasien tentang tindakan yang akan dilakukan
5.2. Pasang infus dengan IV kateter yang besar
5.3. Periksa sumber oksigen dan sumber gas lain
5.4. Periksa kesiapan mesin anestesia
5.5. Dilakukan teknik:anestesi umum dengan intubasi oral sleep apneu
5.6. Preoksigenasi 4-6 menit
5.7. Induksi menggunakan Midazolam dan/atau Propofol dan/atau Thiopental dan/atau
Halotane dan/atau Sevoflurane
5.8. Lumpuhkan otot dengan atracurium dan/atau Vecuronium dan/atau Rocuronium
(pada teknik Paralized)
5.9. Dilakukan laringoskopi dan pemasangan pipa endotrakeal (dilakukan sebelum
induksi pada teknik awake atau setelah induksi pada teknik asleep)
5.10. Maintanance anestesi menggunakan anestesi inhalasi isofluran dan/atau
sevofluran dan/atau halotan dan/atau propofol dan/atau Thiopental, analgetik
berupa fentany dan/atau morfin dan/atau pethidine, pelumpuh otot atracurium
dan/atau Vecuronium dan/atau Rocuronium secara continue dengan penggunaan
syringe pump.
5.11. Selesai operasi pasien dibangunkan.
5.12. Pipa endotrakeal dilepas pada kondisi sadar penuh atau tidur dalam.
123
5.13. Pasien dipindahkan ke Ruang pulih bila: jalan nafas terkendali dan hemodinamik
stabil
7. Tingkat Evidens : I
8. Tingkat Rekomendasi : A
10. Kepustakaan
10.1. Miller’s Anesthesia 7th edition, Ronald D Miller, 2009
10.2. Morgan Clinical Anesthesiology 4th edition, G Edward Morgan, 2006
10.3. Standard dan Pedoman Pelayanan Anestesiologi Indonesia. IDSAI.2008
124
125