(PPK)
RS UNIVERSITAS MATARAM
2022
DAFTAR ISI
DAFTAR ISI................................................................................................................................
DAFTAR KONTRIBUTOR......................................................................................................
1. Pengertian (Definisi)
Anastesi umum didefinisikan sebagai hilangnya rasa nyeri dan hilangnya kesadaran yang
reversible akibat pemberian obat.
Intubasi adalah proses pengelolaan jalan nafas dengan cara memasukkan pipa
endotrakeal ke dalam trakea pasien dengan bantuan alat laringoskop dengan tujuan
mengamankan jalan nafas atas sehingga ventilasi terjaga
2. Indikasi
2.1 Operasi yang memerlukan obat pelumpuh otot (contohnya: operasi abdomen)
2.2 Jalan nafas pasien dibagi dengan operator (meliputi telinga, hidung, dan tenggorok)
2.3 Akses jalan nafas terbatas atau tidak dimungkinkan untuk intubasi secara cepat
(Contoh: posisi miring atau tengkurap)
2.4 Diprediksi akan sulit intubasi
2.5 Resiko aspirasi isi lambung atau darah (Contoh: obstruksi saluran gastrointestinal
atas, sepsis, trauma wajah, perdarahan pada saluran nafas karena sebab apapun)
2.6 Operasi yang mengganggu pertukaran gas
2.7 Operasi yang panjang.
2.8 Pasien yang akan menjalani prosedur diagnostik, terapeutik maupun pembedahan.
2.9 Teknik jalan nafas lain tidak efektif
3. Kontra Indikasi
Penolakan pasien atau keluarga untuk tindakan
4. Persiapan
4.1. Pasien :
4.1.1. Penjelasan rencana dan resiko komplikasi tindakan anestesi umum dengan
inhalasi via face mask.
4.1.2. Ijin persetujuan tindakan anestesi umum dengan intubasi.
4.1.3. Puasa.
4.1.4. Medikasi sesuai resiko anestesi.
4.1.5. Premedikasi pra anestesi.
4.1.6. Kelengkapan pemeriksaan penunjang
4.2. Alat
4.2.1. stetoskop
4.2.2. laringoskop dengan blade sesuai ukuran pasien
4.2.3. pipa endotrakeal 3 ukuran (ukuran pasien, satu nomor diatas, dan satu nomor
dibawah)
4.2.4. laryngeal mask airway 3 ukuran (ukuran pasien, satu nomor diatas, dan satu
nomor dibawah) yang memungkinkan pemasangan pipa nasogastrik dan
penghisapan cairan
4.2.5. introducer atau penuntun
4.2.6. masker 3 ukuran (ukuran pasien, satu nomor diatas, dan satu nomor dibawah)
4.2.7. mesin anestesi dengan sumber gas
4.2.8. alat suction
4.2.9. monitor (SpO2, Elektrokardiogram, tekanan darah, nadi)
4.2.10. McGill tang
4.2.11. spuit cuff
4.2.12. laringoskop dengan blade khusus
4.4. Dokter :
4.4.1. Visite perioperatif.
4.4.2. penentuan klasifikasi ASA PS.
4.4.3. Check list kesiapan anestesi
5. Prosedur Tindakan
5.1. Beri tau pasien tentang tindakan yang akan dilakukan
5.2. Pasang infus dengan IV kateter yang besar
5.3. Periksa sumber oksigen dan sumber gas lain
5.4. Periksa kesiapan mesin anestesia
5.5. Dilakukan pilihan teknik:
5.5.1. Awake VS Asleep
5.5.2. Paralized VS non paralized
5.6. Premedikasi menggunakan Midazolam dan/atau Diazepam dengan fentany
dan/atau pethidine serta lidokain 2% (pada teknik asleep)
5.7. Preoksigenasi 4-6 menit
5.8. Induksi menggunakan Midazolam dan/atau Propofol dan/atau Ketamine dan/atau
Thiopental dan/atau Halotane dan/atau Sevoflurane
5.9. Lumpuhkan otot dengan atracurium dan/atau Vecuronium dan/atau Rocuronium
(pada teknik Paralized)
5.10. Dilakukan laringoskopi dan pemasangan pipa endotrakeal (dilakukan sebelum
induksi pada teknik awake atau setelah induksi pada teknik asleep)
5.11. Maintanance anestesi menggunakan anestesi inhalasi isofluran dan/atau sevofluran
dan/atau halotan via face mask dan/atau propofol dan/atau midazolam dan/atau
ketamine dan/atau Thiopental, analgetik berupa fentany dan/atau morfin dan/atau
pethidine, pelumpuh otot atracurium dan/atau Vecuronium dan/atau Rocuronium.
5.12. Selesai operasi pasien dibangunkan.
5.13. Pipa endotrakeal dilepas pada kondisi sadar penuh atau tidur dalam.
5.14. Pasien dipindahkan ke Ruang pulih bila: jalan nafas terkendali dan hemodinamik
stabil
7. Tingkat Evidens : I
8. Tingkat Rekomendasi : A
10. Kepustakaan
10.1. Miller’s Anesthesia 7th edition, Ronald D Miller, 2009
10.2. Morgan Clinical Anesthesiology 4th edition, G Edward Morgan, 2006
10.3. Standard dan Pedoman Pelayanan Anestesiologi Indonesia. IDSAI.2008
ANESTESIA UMUM TOTAL INTRAVENA
1. Pengertian (Definisi)
Anastesi umum didefinisikan sebagai hilangnya rasa nyeri dan hilangnya kesadaran yang
reversible akibat pemberian obat.
Intravena total didefinisikan sebagai pemberian obat anestesi hanya secara intravena dan
menghindari pemberian obat anestesi inhalasi
2. Indikasi
2.1. Untuk prosedur pendek dan ringan
2.2. Tidak memiliki obat anestesi inhalasi
2.3. Pasien tidak dapat diberikan obat anestesi inhalasi (contoh: kemungkinan besar
diprediksi terjadi resiko komplikasi malignant hyperthermia)
3. Kontra Indikasi
3.1. Pelaku tindakan anestesi tidak terbiasa dengan teknik intravena total
3.2. Tidak dapat mengevaluasi kedalaman anestesia dengan resiko pasien sadar selama
tindakan
3.3. Pembedahan pada pasien dengan lambung penuh.
3.4. Ketidakmampuan mengencerkan atau menghitung dosis sehingga dosis yang
diberikan dibawah atau diatas dosis seharusnya
3.5. Pemberian obat terganggu sehingga berpengaruh pada dosis obat (contoh: akses vena
tersumbat atau ekstravasasi, alat infusion pump tidak berfungsi baik)
4. Persiapan
4.1. Pasien :
4.1.1. Penjelasan rencana dan resiko komplikasi tindakan anestesi umum dengan
inhalasi via face mask
4.1.2. Ijin persetujuan tindakan anestesi umum intravena total.
4.1.3. Puasa.
4.1.4. Medikasi sesuai resiko anestesi.
4.1.5. Premedikasi pra anestesi.
4.1.6. Kelengkapan pemeriksaan penunjang.
4.2. Alat
4.2.1. stetoskop
4.2.2. laringoskop dengan blade sesuai ukuran pasien
4.2.3. laryngeal mask airway 3 ukuran (ukuran pasien, satu nomor diatas, dan satu
nomor dibawah) yang memungkinkan pemasangan pipa nasogastrik dan
penghisapan cairan
4.2.4. introducer atau penuntun
4.2.5. masker 3 ukuran (ukuran pasien, satu nomor diatas, dan satu nomor
dibawah)
4.2.6. mesin anestesi dengan sumber gas
4.2.7. alat suction
4.2.8. monitor (SpO2, Elektrokardiogram, tekanan darah, nadi)
4.2.9. McGill tang
4.2.10. spuit cuff
4.2.11. laringoskop dengan blade khusus
7. Tingkat Evidens : II
8. Tingkat Rekomendasi : B
10. Kepustakaan
10.1. Miller’s Anesthesia 7th edition, Ronald D Miller, 2009
10.2. Morgan Clinical Anesthesiology 4th edition, G Edward Morgan, 2006
10.3. Standard dan Pedoman Pelayanan Anestesiologi Indonesia. IDSAI. 2008
Manual of Anaesthesia, C Y Lee, 2006
ANESTESIA UMUM FACE MASK
1. Pengertian (Definisi)
Anastesi umum didefinisikan sebagai hilangnya rasa nyeri dan hilangnya kesadaran yang
reversible akibat pemberian obat.
Face Mask atau masker wajah didefinisikan sebagai proses pengelolaan jalan nafas
dengan cara menggunakan masker wajah dimana pemberian obat anestesi dapat dilakukan
secara intravena dan/atau inhalasi.
2. Indikasi
2.1. Untuk prosedur pendek dan ringan
2.2. Pembedahan dengan kontra indikasi anestesi regional
3. Kontra Indikasi
3.1. Pelaku tindakan anestesi tidak terbiasa dengan teknik face mask
3.2. Pembedahan di daerah kepala dan leher.
3.3. Prosedur pembedahan panjang.
3.4. Pembedahan pada pasien dengan lambung penuh./ resiko aspirasi
4. Persiapan
4.1. Pasien :
4.1.1. Penjelasan rencana dan resiko komplikasi tindakan anestesi umum dengan
inhalasi via face mask.
4.1.2. Ijin persetujuan tindakan anestesi umum dengan inhalasi via face mask.
4.1.3. Puasa.
4.1.4. Medikasi sesuai resiko anestesi.
4.1.5. Premedikasi pra anestesi.
4.1.6. Kelengkapan pemeriksaan penunjang.
4.2. Alat
4.2.1. stetoskop
4.2.2. laringoskop dengan blade sesuai ukuran pasien
4.2.3. laryngeal mask airway 3 ukuran (ukuran pasien, satu nomor diatas, dan satu
nomor dibawah) yang memungkinkan pemasangan pipa nasogastrik dan
penghisapan cairan
4.2.4. introducer atau penuntun
4.2.5. masker 3 ukuran (ukuran pasien, satu nomor diatas, dan satu nomor dibawah)
4.2.6. mesin anestesi dengan sumber gas
4.2.7. alat suction
4.2.8. monitor (SpO2, Elektrokardiogram, tekanan darah, nadi)
4.2.9. McGill tang
4.2.10. spuit cuff
4.2.11. laringoskop dengan blade khusus
4.3. Bahan dan Obat:
4.3.1. oropharyngeal airway 3 ukuran (ukuran pasien, satu nomor diatas, dan satu
nomor dibawah)
4.3.2. nasopharyngeal airway 3 ukuran (ukuran pasien, satu nomor diatas, dan satu
nomor dibawah)
4.3.3. plester
4.3.4. catéter suction 2 buah
4.3.5. sarung tangan
4.3.6. Obat sedasi/induksi
4.3.6.1. Midazolam (5mg 1 ampul) dan/atau Diazepam (10 mg 1 ampul)
4.3.6.2. Propofol (100mg 1 ampul) dan/atau Ketamine (100mg) dan/atau
Thiopental (250mg 1 ampul)
4.3.7. Gas Anestesi
4.3.7.1. Halothane (1 botol) dan/atau Isoflurane (1 botol) dan/atau Enflurane
(1 botol) dan/atau Desflurane (1 botol) dan/atau Sevoflurane (1 botol)
dan/atau N2O
4.3.7.2. Oksigen
4.3.8. Obat analgetik
4.3.8.1. Morphine (10mg 1 ampul) dan/atau Fentanyl (100mcg 3 ampul)
dan/atau Sulfentanyl (50mcg 2 ampul) dan/atau Pethidine (100mg 2
ampul)
4.3.9. Obat pelumpuh otot
4.3.9.1. Atracurium (25mg 4 ampul) dan/atau Rocuronium (50mg 2 ampul)
dan/atau Vecuronium (4mg 5 ampul)
4.3.10. Cairan
4.3.10.1. Cairan
4.3.10.2. Ringer Laktat (3 kolf)
4.3.10.3. Ringer Asetat (3 kolf)
4.3.10.4. Natrium Clorida 0,9% (1 kolf)
4.3.10.5. Koloid (Gelatine atau HAES) (2 kolf)
4.3.11. Obat Kegawatan:
4.3.11.1. Dexamethasone (5mg 2 ampul)
4.3.11.2. Methylprednisolone (125mg 2 ampul)
4.3.11.3. Hidrocortisone (100mg 1 ampul)
4.3.11.4. Aminophylin (240mg 1 ampul)
4.3.11.5. Bricasma
4.3.11.6. Asam tranexamat (500mg 2 ampul)
4.3.11.7. Ephedrine (50mg 1 ampul)
4.3.11.8. Epinephrine (1mg 2 ampul)
4.3.11.9. Sulfas atropine (0,25mg 4 ampul)
4.3.11.10. Norepinephrine (4mg 1 ampul)
4.3.11.11. Dopamin (200mg 1 vial)
4.3.11.12. Dobutamin (250mg 1 vial)
4.3.11.13. Milrinone
4.3.11.14. Clonidine (300mcg 1 ampul)
4.3.11.15. Diltiazem
4.3.11.16. Nitrogliserin
4.3.11.17. ISDN
4.3.11.18. Metoprolol
4.3.11.19. D40 (25ml 2 vial)
4.3.11.20. Natrium bicarbonat
4.3.11.21. Amiodarone (150mg 2 ampul)
4.3.11.22. Adenosine
4.3.11.23. Lidocaine (40mg 4 ampul)
4.3.11.24. Furosemide (20mg 4 ampul)
4.3.11.25. Dantrolene
4.3.11.26. Fenoterol nebul (1 buah)
4.3.11.27. Salbutamol nebul (1 buah)
4.3.11.28. Propanolol tablet (10mg 10 buah)
4.3.11.29. Iodine
4.3.11.30. PTU tablet (100mg 10 buah)
4.3.11.31. ISDN tablet (5mg 2 buah)
4.4. Dokter :
4.4.1. Visite perioperatif.
4.4.2. penentuan klasifikasi ASA PS.
4.4.3. Check list kesiapan anestesi
5. Prosedur Tindakan
5.1. Beri tau pasien tentang tindakan yang akan dilakukan
5.2. Pasang infus dengan IV kateter yang besar
5.3. Periksa sumber oksigen
5.4. Periksa kesiapan mesin anestesia (bila ada)
5.5. Premedikasi menggunakan Midazolam dan/atau Diazepam dengan fentany
dan/atau pethidine serta lidokain 2% (pada teknik asleep)
5.6. Preoksigenasi 4-6 menit
5.7. Induksi menggunakan Midazolam dan/atau Propofol dan/atau Ketamine dan/atau
Thiopental dan/atau Halotane dan/atau Sevoflurane
5.8. Dipasang masker atau laringeal mask atau pipa endotrakeal bila diperlukan
5.9. Maintanance anestesi menggunakan anestesi inhalasi isofluran dan/atau sevofluran
dan/atau halotan via face mask dan/atau propofol dan/atau midazolam dan/atau
ketamine dan/atau Thiopental, analgetik berupa fentany dan/atau morfin dan/atau
pethidine..
5.10. Selesai operasi pasien dibangunkan.
5.11. Pasien dipindahkan ke Ruang pulih bila: jalan nafas terkendali dan hemodinamik
stabil
6. Pasca Prosedur Tindakan
Dilakukan di Ruang Pulih
6.1. Pengawasan Jalan Nafas, Pernafasan, tekanan darah, nadi, saturasi oksigen
6.2. Pengawasan komplikasi yang mungkin terjadi dari tindakan operasi dan pembiusan
serta penanggulangannya.
7. Tingkat Evidens : II
8. Tingkat Rekomendasi : B
10. Kepustakaan
10.1. Miller’s Anesthesia 7th edition, Ronald D Miller, 2009
10.2. Morgan Clinical Anesthesiology 4th edition, G Edward Morgan, 2006
10.3. Standard dan Pedoman Pelayanan Anestesiologi Indonesia. IDSAI. 2008
1. Pengertian (Definisi)
Regional Anestesi Blok Subarachnoid adalah tindakan pembiusan dengan cara melakukan
penyuntikan ke rongga sub-arakhnoid dan memberikan obat anestesi lokal kedalam
rongga tersebut untuk memblok rangsangan nyeri.
2. Indikasi
2.1. Pasien yang akan menjalani tindakan pembedahan yang berlokasi
2.2. dari perut ke bawah,, inguinal, urogenital, rektal dan ektremitas inferior\
3. Kontra Indikasi
3.1. Absolut:
3.1.1. peningkatan tekanan intracranial
3.1.2. koagulopati, dalam terapi antikoagulan
3.1.3. infeksi kulit tempat tusukan
3.1.4. penolakan pasien
3.1.5. hipovolemia
3.1.6. kelainan katup jantung berat atau obstruksi aliran dari ventrikel
3.2. Relatif:
3.2.1. sepsis
3.2.2. pasien tidak kooperatif
3.2.3. kelainan neurologis sebelumnya
3.2.4. kelainan tulang belakang yang berat
3.3. Kontroversi:
3.3.1. operasi tulang belakang sebelumnya
3.3.2. pasien tidak dapat berkomunikasi
3.3.3. operasi yang memanjang
3.3.4. operasi dengan kehilangan darah dalam jumlah besar
3.3.5. maneuver yang mempengaruhi respirasi
4. Persiapan
4.1. Pasien :
4.1.1. Penjelasan rencana dan resiko komplikasi tindakan spinal anestesi.
4.1.2. Ijin persetujuan tindakan anestesi dengan blok subarachnoid
4.1.3. Puasa.
4.1.4. Medikasi sesuai resiko anestesi.
4.1.5. Premedikasi pra anestesi.
4.1.6. Kelengkapan pemeriksaan penunjang.
4.2. Alat
4.2.1. Set untuk general anestesi (Stetoskop, laringoskop, plester, Tube Endotracheal,
peralatan Airway, sungkup muka, sirkuit pernafasan, suction)
4.2.2. Monitor: EKG, Pulse oksimetri, tekanan darah
4.3.16. Cairan
4.3.16.1. Ringer Laktat (3 kolf)
4.3.16.2. Ringer Asetat (3 kolf)
4.3.16.3. Natrium Clorida 0,9% (1 kolf)
4.3.16.4. Koloid (Gelatine atau HAES) (2 kolf)
4.3.17. Obat Kegawatan:
4.3.17.1. Dexamethasone (5mg 2 ampul)
4.3.17.2. Methylprednisolone (125mg 2 ampul)
4.3.17.3. Hidrocortisone (100mg 1 ampul)
4.3.17.4. Aminophylin (240mg 1 ampul)
4.3.17.5. Bricasma
4.3.17.6. Asam tranexamat (500mg 2 ampul)
4.3.17.7. Ephedrine (50mg 1 ampul)
4.3.17.8. Epinephrine (1mg 2 ampul)
4.3.17.9. Sulfas atropine (0,25mg 4 ampul)
4.3.17.10. Norepinephrine (4mg 1 ampul)
4.3.17.11. Dopamin (200mg 1 vial)
4.3.17.12. Dobutamin (250mg 1 vial)
4.3.17.13. Milrinone
4.3.17.14. Clonidine (300mcg 1 ampul)
4.3.17.15. Diltiazem
4.3.17.16. Nitrogliserin
4.3.17.17. ISDN
4.3.17.18. Metoprolol
4.3.17.19. D40 (25ml 2 vial)
4.3.17.20. Natrium bicarbonat
4.3.17.21. Amiodarone (150mg 2 ampul)
4.3.17.22. Adenosine
4.3.17.23. Lidocaine (40mg 4 ampul)
4.3.17.24. Furosemide (20mg 4 ampul)
4.3.17.25. Dantrolene
4.3.17.26. Fenoterol nebul (1 buah)
4.3.17.27. Salbutamol nebul (1 buah)
4.3.17.28. Propanolol tablet (10mg 10 buah)
4.3.17.29. Iodine
4.3.17.30. PTU tablet (100mg 10 buah)
4.3.17.31. ISDN tablet (5mg 2 buah)
4.4. Dokter :
4.4.1. Visite perioperatif.
4.4.2. penentuan klasifikasi ASA PS.
4.4.3. Check list kesiapan anestesi.
4.4.4. Pengelolaan nyeri pasca bedah.
5. Prosedur Tindakan
5.1. Pasang monitor standar berupa, Tekanan darah, EKG, Saturasi oksigen.
5.2. Loading menggunakan cairan kristaloid sebanyak 500cc.
5.3. Posisikan Pasien duduk atau tidur miring.
5.4. Identifikasi tempat insersi jarum spinal dan diberikan penanda.
5.5. Mencuci tangan (scrubbing).
5.6. Menggunakan Sarung tangan steril
5.7. Desinfeksi daerah insersi jarum spinal, injeksi anestesi lokal lidokain 2% 40 mg.
5.8. Insersi jarum spinal ditempat yang telah ditandai.
5.9. Pastikan LCS keluar.
5.10. Barbotage cairan LCS yang keluar.
5.11. Injeksikan Bupivacain 0,5% 5-20 mg atau lidocaine 5% 50-100mg
dikombinasikan dengan adjuvan fentanyl 25 µg dan/atau pethidin 25mg dan/atau
morfin 0,1-0,3 mg dan/atau Clonidine 15-60 mcg intratekal.
5.12. Check level ketinggian block.
5.13. Maintanance dengan oksigen 2 lt/mnt menggunakan kanula nasal
5.14. Sedasi dengan midazolam dan/atau diazepam dan/atau Propofol dan/atau
Ketamine dan/atau Thiopental.
5.15. Jika terjadi hipotensi, lakukan prosedur terapi hipotensi
7. Tingkat Evidens : I
8. Tingkat Rekomendasi : A
10. Kepustakaan
10.1. Miller’s Anesthesia 7th edition, Ronald D Miller, 2009
10.2. Morgan Clinical Anesthesiology 4th edition, G Edward Morgan, 2006
1. Pengertian (Definisi)
Adalah tindakan pembiusan dengan cara melakukan penyuntikan ke rongga Epidural dan
memberikan obat anestesi lokal kedalam rongga tersebut untuk memblok rangsangan
nyeri
2. Indikasi
Pasien yang akan menjalani tindakan pembedahan yang berlokasi dari dada ke bawah
3. Kontra Indikasi
3.1. Absolut:
3.1.1. peningkatan tekanan intracranial
3.1.2. koagulopati, dalam terapi antikoagulan
3.1.3. infeksi kulit tempat tusukan
3.1.4. penolakan pasien
3.1.5. hipovolemia
3.1.6. kelainan katup jantung berat atau obstruksi aliran dari ventrikel
3.2. Relatif:
3.2.1. sepsis
3.2.2. pasien tidak kooperatif
3.2.3. kelainan neurologis sebelumnya
3.2.4. kelainan tulang belakang yang berat
3.3. Kontroversi:
3.3.1. operasi tulang belakang sebelumnya
3.3.2. pasien tidak dapat berkomunikasi
3.3.3. operasi yang memanjang
3.3.4. operasi dengan kehilangan darah dalam jumlah besar
3.3.5. maneuver yang mempengaruhi respirasi
4. Persiapan
4.1. Pasien :
4.1.1. Penjelasan rencana dan resiko komplikasi tindakan epidural anestesi.
4.1.2. Ijin persetujuan tindakan anestesi dengan blok epidural
4.1.3. Puasa.
4.1.4. Medikasi sesuai resiko anestesi.
4.1.5. Premedikasi pra anestesi.
4.1.6. Kelengkapan pemeriksaan penunjang.
4.2. Alat
4.2.1. Set untuk general anestesi (Stetoskop, laringoskop, plester, Tube Endotracheal,
peralatan Airway, sungkup muka, sirkuit pernafasan, suction)
4.2.2. Monitor: EKG, Pulse oksimetri, tekanan darah
4.4. Dokter :
4.4.1. Visite perioperatif.
4.4.2. penentuan klasifikasi ASA PS.
4.4.3. Check list kesiapan anestesi.
4.4.4. Pengelolaan nyeri pasca bedah.
5. Prosedur Tindakan
5.1. Pasang monitor standar berupa, Tekanan darah, EKG, Saturasi oksigen.
5.2. Loading menggunakan cairan kristaloid sebanyak 500cc.
5.3. Posisikan Pasien duduk atau tidur miring.
5.4. Identifikasi tempat insersi jarum spinal dan diberikan penanda.
5.5. Mencuci tangan (scrubbing).
5.6. Menggunakan Sarung tangan steril
5.7. Desinfeksi daerah insersi jarum epidural, injeksi anestesi lokal lidokain 2% 40 mg.
5.8. Insersi jarum epidural ditempat yang telah ditandai.
5.9. Didapatkan loss of resistance
5.10. Dipasang kateter (bila diperlukan)
5.11. Injeksikan obat test dose
5.12. Injeksikan Bupivacain 0,5% dan/atau lidocaine 2% dan/atau ropivacaine 0,75%
dan/atau levobupivacaine 5-20cc dikombinasikan dengan adjuvan fentanyl 25-50
µg dan/atau pethidin 25-50mg dan/atau morfin 1-2 mg.
5.13. Check level ketinggian block.
5.14. Maintanance dengan oksigen 2 lt/mnt menggunakan kanula nasal
5.15. Sedasi dengan midazolam dan/atau diazepam dan/atau Propofol dan/atau Ketamine
dan/atau Thiopental.
5.16. Jika terjadi hipotensi, lakukan prosedur terapi hipotensi.
5.17. Evaluasi ulang untuk memasukkan obat anestesi lagi bila diperlukan untuk
memperpanjang masa anestesi maupun untuk penanganan nyeri setelah
pembedahan
7. Tingkat Evidens : II
8. Tingkat Rekomendasi : B
10. Kepustakaan
10.1. Miller’s Anesthesia 7th edition, Ronald D Miller, 2009
10.2. Morgan Clinical Anesthesiology 4th edition, G Edward Morgan, 2006
10.3. Standard dan Pedoman Pelayanan Anestesiologi Indonesia. IDSAI. 2008
REGIONAL ANESTESI KOMBINASI BLOK SPINAL – EPIDURAL
1. Pengertian (Definisi)
Regional Anestesi Kombinasi Blok Spinal-Epidural adalah tindakan pembiusan dengan
cara melakukan penyuntikan ke rongga subarachnoid dan Epidural, memberikan obat
anestesi lokal kedalam rongga tersebut untuk memblok rangsangan nyeri
2. Indikasi
Pasien yang akan menjalani tindakan pembedahan yang berlokasi dari dada ke bawah
3. Kontra Indikasi
3.1. Absolut:
3.1.1. peningkatan tekanan intracranial
3.1.2. koagulopati, dalam terapi antikoagulan
3.1.3. infeksi kulit tempat tusukan
3.1.4. penolakan pasien
3.1.5. hipovolemia
3.1.6. kelainan katup jantung berat atau obstruksi aliran dari ventrikel
3.2. Relatif:
3.2.1. sepsis
3.2.2. pasien tidak kooperatif
3.2.3. kelainan neurologis sebelumnya
3.2.4. kelainan tulang belakang yang berat
3.3. Kontroversi:
3.3.1. operasi tulang belakang sebelumnya
3.3.2. pasien tidak dapat berkomunikasi
3.3.3. operasi yang memanjang
3.3.4. operasi dengan kehilangan darah dalam jumlah besar
3.3.5. maneuver yang mempengaruhi respirasi
4. Persiapan
4.1. Pasien :
4.1.1. Penjelasan rencana dan resiko komplikasi tindakan kombinasi spinal epidural
anestesi.
4.1.2. Ijin persetujuan tindakan anestesi dengan kombinasi spinal epidural anestesi
4.1.3. Puasa.
4.1.4. Medikasi sesuai resiko anestesi.
4.1.5. Premedikasi pra anestesi.
4.1.6. Kelengkapan pemeriksaan penunjang.
4.2. Alat
4.2.1. Set untuk general anestesi (Stetoskop, laringoskop, plester, Tube Endotracheal,
peralatan Airway, sungkup muka, sirkuit pernafasan, suction)
4.2.2. Monitor: EKG, Pulse oksimetri, tekanan darah
4.4. Dokter :
4.4.1. Visite perioperatif.
4.4.2. penentuan klasifikasi ASA PS.
4.4.3. Check list kesiapan anestesi.
4.4.4. Pengelolaan nyeri pasca bedah.
5. Prosedur Tindakan
5.1. Pasang monitor standar berupa, Tekanan darah, EKG, Saturasi oksigen.
5.2. Loading menggunakan cairan kristaloid sebanyak 500cc.
5.3. Posisikan Pasien duduk atau tidur miring.
5.4. Identifikasi tempat insersi jarum spinal – epidural dan diberikan penanda.
5.5. Mencuci tangan (scrubbing).
5.6. Menggunakan Sarung tangan steril
5.7. Desinfeksi daerah insersi jarum spinal-epidural, injeksi anestesi lokal lidokain 2%
40 mg.
7. Tingkat Evidens : II
8. Tingkat Rekomendasi : B
10. Kepustakaan
10.1. Miller’s Anesthesia 7th edition, Ronald D Miller, 2009
10.2. Morgan Clinical Anesthesiology 4th edition, G Edward Morgan, 2006
10.3. Standard dan Pedoman Pelayanan Anestesiologi Indonesia. IDSAI. 2008
REGIONAL ANESTESI BLOK CAUDAL
1. Pengertian (Definisi)
Regional Anestesi Blok Caudal Adalah tindakan pembiusan dengan cara melakukan
penyuntikan ke rongga Epidural melalui hiatus sacralis dan memberikan obat anestesi
lokal kedalam rongga tersebut untuk memblok rangsangan nyeri
2. Indikasi
Pasien yang akan menjalani tindakan pembedahan yang berlokasi dari abdomen ke bawah
3. Kontra Indikasi
3.1. Absolut:
3.1.1. koagulopati, dalam terapi antikoagulan
3.1.2. infeksi kulit tempat tusukan
3.1.3. penolakan pasien
3.2. Relatif:
3.2.1. sepsis
3.2.2. pasien tidak kooperatif
3.2.3. kelainan neurologis sebelumnya
3.2.4. kelainan tulang belakang yang berat
4. Persiapan
4.1. Pasien :
4.1.1. Penjelasan rencana dan resiko komplikasi tindakan caudal anestesi.
4.1.2. Ijin persetujuan tindakan anestesi dengan blok caudal
4.1.3. Puasa.
4.1.4. Medikasi sesuai resiko anestesi.
4.1.5. Premedikasi pra anestesi.
4.1.6. Kelengkapan pemeriksaan penunjang.
4.2. Alat
4.2.1. Set untuk general anestesi (Stetoskop, laringoskop, plester, Tube Endotracheal,
peralatan Airway, sungkup muka, sirkuit pernafasan, suction)
4.2.2. Monitor: EKG, Pulse oksimetri, tekanan darah
4.3. Bahan dan Obat:
4.3.1. Sarung tangan steril (2 buah)
4.3.2. Jarum 21/23 G (1 buah).
4.3.3. Lidokain 2% (2 ampul).
4.3.4. Obat Anestesi lokal
4.3.4.1. Bupivacaine 0,5% plain 20cc (1 vial)
4.3.4.2. Ropivacaine 0,75% plain 20 cc (1 vial)
4.3.4.3. Lidocaine 2% plain 20 cc (1 vial)
4.3.4.4. Levobupivacaine plain 20 cc (1 vial)
4.4. Dokter :
4.4.1. Visite perioperatif.
4.4.2. penentuan klasifikasi ASA PS.
4.4.3. Check list kesiapan anestesi.
4.4.4. Pengelolaan nyeri pasca bedah
5. Prosedur Tindakan
5.1. Pasang monitor standar berupa, Tekanan darah, EKG, Saturasi oksigen.
5.2. Loading menggunakan cairan kristaloid sebanyak 500cc.
5.3. Posisikan Pasien duduk atau tidur miring.
5.4. Identifikasi tempat insersi jarum spinal dan diberikan penanda.
5.5. Mencuci tangan (scrubbing).
5.6. Menggunakan Sarung tangan steril
5.7. Desinfeksi daerah insersi jarum caudal.
5.8. Injeksi anestesi lokal lidokain 2% 40 mg (bila bukan kombinasi dengan anestesi
umum).
5.9. Insersi jarum caudal ditempat yang telah ditandai.
5.10.Didapatkan rasa menembus seperti “pop”.
5.11.Dilakukan aspirasi, tidak didapatkan darah
5.12.Injeksikan obat test dose dan tidak didapatkan tahanan
5.13.Injeksikan Bupivacain 0,5% dan/atau lidocaine 2% dan/atau ropivacaine 0,75%
dan/atau levobupivacaine 0,5 – 1,2 ml/kg BB dikombinasikan dengan adjuvan
morfin 10-30 mcg/kg BB.
5.14.Dipasang kateter (bila diperlukan)
5.15.Maintanance dengan oksigen 2 lt/mnt menggunakan kanula nasal (bila bukan
kombinasi dengan anestesi umum)
5.16.Sedasi dengan midazolam dan/atau diazepam dan/atau Propofol dan/atau Ketamine
dan/atau Thiopental (bila bukan kombinasi dengan anestesi umum).
5.17.Jika terjadi hipotensi, lakukan prosedur terapi hipotensi.
5.18.Evaluasi ulang untuk memasukkan obat anestesi lagi bila diperlukan untuk
memperpanjang masa anestesi maupun untuk penanganan nyeri setelah pembedahan
7. Tingkat Evidens :I
8. Tingkat Rekomendasi : A
10. Kepustakaan
10.1. Miller’s Anesthesia 7th edition, Ronald D Miller, 2009
10.2. Morgan Clinical Anesthesiology 4th edition, G Edward Morgan, 2006
10.3. Standard dan Pedoman Pelayanan Anestesiologi Indonesia. IDSAI. 2008
REGIONAL ANESTESI BLOK SARAF PERIFER
1. Pengertian (Definisi)
Regional Anestesi Blok Saraf Perifer adalah Tindakan anestesi yang menginjeksikan
obat lokal anestesi dengan bantuan nerve stimulator atau USG untuk memblok inervasi
pada saraf tertentu
2. Indikasi
2.1. Pembedahan di daerah ekstremitas atas
2.2. Pembedahan di daerah ekstrimitas bawah
2.3. Pembedahan di daerah kepala leher, thorak dan abdomen dengan cakupan terbatas
2.4. Penatalaksanaan nyeri peri dan post operatif
3. Kontra Indikasi
3.1. Infeksi lokal site of Injection
3.2. Koagulopati
3.3. Alergi pada agen anestesi lokal
3.4. Pasien Menolak
4. Persiapan
4.1. Pasien :
4.1.1. Penjelasan rencana dan resiko komplikasi tindakan blok saraf perifer.
4.1.2. Ijin persetujuan tindakan anestesi dengan blok saraf perifer
4.1.3. Puasa.
4.1.4. Medikasi sesuai resiko anestesi.
4.1.5. Premedikasi pra anestesi.
4.1.6. Kelengkapan pemeriksaan penunjang.
4.2. Alat
4.2.1. Set untuk general anestesi (Stetoskop, laringoskop, plester, Tube Endotracheal,
peralatan Airway, sungkup muka, sirkuit pernafasan, suction)
4.2.2. Monitor: EKG, Pulse oksimetri, tekanan darah
4.4. Dokter :
4.4.1. Visite perioperatif.
4.4.2. penentuan klasifikasi ASA PS.
4.4.3. Check list kesiapan anestesi.
4.4.4. Pengelolaan nyeri pasca bedah
5. Prosedur Tindakan
5.1. Pasang monitor standar berupa, Tekanan darah, EKG, Saturasi oksigen.
5.2. Loading menggunakan cairan kristaloid sebanyak 500cc.
5.3. Posisikan Pasien.
5.4. Identifikasi tempat insersi jarum blok dan diberikan penanda.
5.5. Mencuci tangan (scrubbing).
5.6. Menggunakan Sarung tangan steril
5.7. Desinfeksi daerah insersi jarum blok, injeksi anestesi lokal lidokain 2% 40 mg.
5.8. Insersi jarum blok ditempat yang telah ditandai.
5.9. Didapatkan kontraksi otot yang diharapkan
5.10. Dipasang kateter (bila diperlukan)
5.11. Injeksikan Bupivacain 0,5% dan/atau lidocaine 2% dan/atau ropivacaine 0,75%
dan/atau levobupivacaine 5-20cc dikombinasikan dengan adjuvan epineprine
1:200.000.
5.12. Check keberhasilan block.
5.13. Maintanance dengan oksigen 2 lt/mnt menggunakan kanula nasal
5.14. Sedasi dengan midazolam dan/atau diazepam dan/atau Propofol dan/atau Ketamine
dan/atau Thiopental.
5.15. Jika terjadi hipotensi, lakukan prosedur terapi hipotensi.
5.16. Evaluasi ulang untuk memasukkan obat anestesi lagi bila diperlukan untuk
memperpanjang masa anestesi maupun untuk penanganan nyeri setelah
pembedahan
7. Tingkat Evidens : II
8. Tingkat Rekomendasi : B
9. Indikator Prosedur Tindakan
90 % blok perifer berhasil tanpa komplikasiKepustakaan
1. Pengertian (Definisi)
Anastesi umum didefinisikan sebagai hilangnya rasa nyeri dan hilangnya kesadaran yang
reversible akibat pemberian obat.
Regional anestesi didefinisikan sebagai hilangnya rasa nyeri di sebagian tubuh sesuai
dengan saraf yang diblok
2. Indikasi
Sesuai masing-masing teknik yang digunakan
3. Kontra Indikasi
Sesuai masing-masing teknik yang digunakan
4. Persiapan
4.1. Pasien :
4.1.1. Penjelasan rencana dan resiko komplikasi tindakan anestesi umum dan
regional.
4.1.2. Ijin persetujuan tindakan anestesi umum dan regional.
4.1.3. Puasa.
4.1.4. Medikasi sesuai resiko anestesi.
4.1.5. Premedikasi pra anestesi.
4.1.6. Kelengkapan pemeriksaan penunjang.
4.2. Alat
Kombinasi alat anestesi umum dan regional sesuai masing-masing teknik yang
digunakan
4.3. Bahan dan Obat:
Kombinasi alat anestesi umum dan regional sesuai masing-masing teknik yang
digunakan
4.4. Dokter :
4.4.1. Visite perioperatif.
4.4.2. penentuan klasifikasi ASA PS.
4.4.3. Check list kesiapan anestesi.
5. Prosedur Tindakan
5.1. Pasang monitor standar berupa, Tekanan darah, EKG, Saturasi oksigen.
5.2. Loading menggunakan cairan kristaloid sebanyak 500cc.
5.3. Posisikan Pasien.
5.4. Dilakukan tindakan anestesi regional sesuai PPK masing-masing
Pilihan teknik anestesi umum:
5.4.1. Anestesi umum intubasi
5.4.2. Anestesi umum face mask
5.4.3. Anestesi umum total intravena
Pilihan teknik anestesi regional
5.4.4. Anestesi regional blok subarachnoid
5.4.5. Anestesi regional blok epidural
5.4.6. Anestesi regional kombinasi blok spinal epidural
5.4.7. Anestesi regional blok saraf perifer
5.4.8. Anestesi regional blok caudal
5.5. Check keberhasilan block.
5.6. Dilakukan anestesi umum sesuai masing-masing teknik yang digunakan
5.7. Jika terjadi hipotensi, lakukan prosedur terapi hipotensi.
5.8. Evaluasi ulang untuk memasukkan obat anestesi lagi bila diperlukan untuk
memperpanjang masa anestesi maupun untuk penanganan nyeri setelah
pembedahan
7. Tingkat Evidens : II
8. Tingkat Rekomendasi : B
10. Kepustakaan
10.1. Miller’s Anesthesia 7th edition, Ronald D Miller, 2009
10.2. Morgan Clinical Anesthesiology 4th edition, G Edward Morgan, 2006
10.3. Standard dan Pedoman Pelayanan Anestesiologi Indonesia. IDSAI. 2008
1. Pengertian (Definisi)
Sedasi didefinisikan sebagai hilangnya rasa nyeri dan hilangnya kesadaran yang
reversible akibat pemberian obat.
2. Indikasi
Untuk prosedur non operasi yang dilakukan di berbagai tempat (dalam ataupun luar
kamar operasi)
3. Kontra Indikasi
3.1. Pasien dengan lambung penuh.
3.2. Pasien dengan adanya obstruksi jalan nafas bagian atas.
3.3. Gagal nafas akut dan kronis.
3.4. Pasien yang memerlukan bantuan nafas dengan respirator.
3.5. Terdapat banyak sputum.
3.6. Pasien tidak sadar dengan potensi jalan nafas terganggu.
3.7. Pasien henti nafas.
3.8. Trauma Thorak
4. Persiapan
4.1. Pasien :
4.1.1. Penjelasan rencana dan resiko komplikasi tindakan sedasi sedang berat.
4.1.2. Ijin persetujuan tindakan sedasi sedang berat.
4.1.3. Puasa.
4.1.4. Medikasi sesuai resiko anestesi.
4.1.5. Premedikasi pra anestesi.
4.1.6. Kelengkapan pemeriksaan penunjang.
4.2. Alat
4.2.1. stetoskop
4.2.2. laringoskop dengan blade sesuai ukuran pasien
4.2.3. laryngeal mask airway 3 ukuran (ukuran pasien, satu nomor diatas, dan satu
nomor dibawah) yang memungkinkan pemasangan pipa nasogastrik dan
penghisapan cairan
4.2.4. introducer atau penuntun
4.2.5. masker 3 ukuran (ukuran pasien, satu nomor diatas, dan satu nomor dibawah)
4.2.6. mesin anestesi dengan sumber gas
4.2.7. alat suction
4.2.8. monitor (SpO2, Elektrokardiogram, tekanan darah, nadi)
4.2.9. McGill tang
4.2.10. spuit cuff
4.2.11. laringoskop dengan blade khusus
4.3. Bahan dan Obat:
4.3.1. oropharyngeal airway 3 ukuran (ukuran pasien, satu nomor diatas, dan satu
nomor dibawah)
4.3.2. nasopharyngeal airway 3 ukuran (ukuran pasien, satu nomor diatas, dan satu
nomor dibawah)
4.3.3. plester
4.3.4. catéter suction 2 buah
4.3.5. sarung tangan
4.3.6. Obat sedasi/induksi
4.3.6.1. Midazolam (5mg 1 ampul) dan/atau Diazepam (10 mg 1 ampul)
4.3.6.2. Propofol (100mg 1 ampul) dan/atau Ketamine (100mg) dan/atau
Thiopental (250mg 1 ampul)
4.3.7. Gas Anestesi
4.3.7.1. Halothane (1 botol) dan/atau Isoflurane (1 botol) dan/atau Enflurane (1
botol) dan/atau Desflurane (1 botol) dan/atau Sevoflurane (1 botol)
dan/atau N2O
4.3.7.2. Oksigen
4.3.8. Obat analgetik
4.3.8.1. Morphine (10mg 1 ampul) dan/atau Fentanyl (100mcg 3 ampul) dan/atau
Sulfentanyl (50mcg 2 ampul) dan/atau Pethidine (100mg 2 ampul)
4.3.9. Obat pelumpuh otot
4.3.9.1. Atracurium (25mg 4 ampul) dan/atau Rocuronium (50mg 2 ampul)
dan/atau Vecuronium (4mg 5 ampul)
4.3.10. Cairan
4.3.10.1. Cairan
4.3.10.2. Ringer Laktat (3 kolf)
4.3.10.3. Ringer Asetat (3 kolf)
4.3.10.4. Natrium Clorida 0,9% (1 kolf)
4.3.10.5. Koloid (Gelatine atau HAES) (2 kolf)
4.3.11. Obat Kegawatan:
4.3.11.1. Dexamethasone (5mg 2 ampul)
4.3.11.2. Methylprednisolone (125mg 2 ampul)
4.3.11.3. Hidrocortisone (100mg 1 ampul)
4.3.11.4. Aminophylin (240mg 1 ampul)
4.3.11.5. Bricasma
4.3.11.6. Asam tranexamat (500mg 2 ampul)
4.3.11.7. Ephedrine (50mg 1 ampul)
4.3.11.8. Epinephrine (1mg 2 ampul)
4.3.11.9. Sulfas atropine (0,25mg 4 ampul)
4.3.11.10. Norepinephrine (4mg 1 ampul)
4.3.11.11. Dopamin (200mg 1 vial)
4.3.11.12. Dobutamin (250mg 1 vial)
4.3.11.13. Milrinone
4.3.11.14. Clonidine (300mcg 1 ampul)
4.3.11.15. Diltiazem
4.3.11.16. Nitrogliserin
4.3.11.17. ISDN
4.3.11.18. Metoprolol
4.3.11.19. D40 (25ml 2 vial)
4.3.11.20. Natrium bicarbonat
4.3.11.21. Amiodarone (150mg 2 ampul)
4.3.11.22. Adenosine
4.3.11.23. Lidocaine (40mg 4 ampul)
4.3.11.24. Furosemide (20mg 4 ampul)
4.3.11.25. Dantrolene
4.3.11.26. Fenoterol nebul (1 buah)
4.3.11.27. Salbutamol nebul (1 buah)
4.3.11.28. Propanolol tablet (10mg 10 buah)
4.3.11.29. Iodine
4.3.11.30. PTU tablet (100mg 10 buah)
4.3.11.31. ISDN tablet (5mg 2 buah)
4.4. Dokter :
4.4.1. Visite perioperatif.
4.4.2. penentuan klasifikasi ASA PS.
4.4.3. Check list kesiapan anestesi
5. Prosedur Tindakan
5.1. Beri tau pasien tentang tindakan yang akan dilakukan
5.2. Pasang infus dengan IV kateter yang besar
5.3. Periksa sumber oksigen dan sumber gas lain
5.4. Periksa kesiapan mesin anestesia bila ada
5.5. Premedikasi menggunakan Midazolam dan/atau Diazepam dengan fentany
dan/atau pethidine serta lidokain 2%
5.6. Preoksigenasi 4-6 menit
5.7. Induksi menggunakan Midazolam dan/atau Propofol dan/atau Ketamine dan/atau
Thiopental dan/atau Halotane dan/atau Sevoflurane
5.8. Lumpuhkan otot dengan atracurium dan/atau Vecuronium dan/atau Rocuronium
(bila diperlukan)
5.9. Dilakukan laringoskopi dan pemasangan pipa endotrakeal (dilakukan sebelum
induksi pada teknik awake atau setelah induksi pada teknik asleep)
5.10. Maintanance anestesi menggunakan anestesi inhalasi isofluran dan/atau sevofluran
dan/atau halotan via face mask dan/atau propofol dan/atau midazolam dan/atau
ketamine dan/atau Thiopental, analgetik berupa fentany dan/atau morfin dan/atau
pethidine, pelumpuh otot atracurium dan/atau Vecuronium dan/atau Rocuronium.
5.11. Selesai operasi pasien dibangunkan.
5.12. Pipa endotrakeal dilepas pada kondisi sadar penuh atau tidur dalam.
5.13. Pasien dipindahkan ke Ruang pulih bila: jalan nafas terkendali dan hemodinamik
stabil
7. Tingkat Evidens : II
8. Tingkat Rekomendasi : B
10. Kepustakaan
10.1. Miller’s Anesthesia 7th edition, Ronald D Miller, 2009
10.2. Morgan Clinical Anesthesiology 4th edition, G Edward Morgan, 2006
10.3. Standard dan Pedoman Pelayanan Anestesiologi Indonesia. IDSAI. 2008
10.4. Manual of Anaesthesia, C Y Lee, 2006
PENATALAKSANAAN NYERI AKUT PASCAOPERASI
1. Pengertian (Definisi)
Nyeri akut pascaoperasi adalah nyeri yang terjadi setelah tindakan operasi
2. Indikasi
Pasien yang mengalami nyeri akut paska operasi
3. Kontra Indikasi
Tidak ada
4. Persiapan
DPJP anestesi melakukan penilaian nyeri sebelum operasi pada pasien-pasien yang akan
menjalani operasi untuk perencanaan pemberian analgetik pasca operasi
5. Prosedur Tindakan
5.1. Pemberian pasca operasi analgetik dibagi menjadi:
5.1.1. Pre-emptive analgesia : pemberian analgetik sebelum terjadi nyeri, diberikan
pada premedikasi: morfin 2-5 mg atau pethidin 15-50 mg, dan atau fentanyl
50-100 mcg.
5.1.2. Teknik analgesi sistemik, meliputi pemberian non-steroidal anti-inflammatory
drugs [NSAID], parasetamol, opioid (cara pemberian sesuai dengan WFSA
Analgesic Ladder)
5.1.3. Teknik analgesi regional, meliputi analgesi epidural yang diberikan dengan
durasi waktu tertentu sesuai dengan obat anestesi lokal yang digunakan (sesuai
PPK anestesi regional)
5.2. Analgesi multi-modal: merupakan gabungan berbagai macam teknik dan obat
analgetik
Bila setelah pemberian analgetik pasca operasi, pasien masih mengeluh nyeri (NRS >
4), berikan pethidin 25 mg intravena dan 30 menit kemudian dilakukan penilaian
ulang NRS pasien bila NRS >4 berikan pethidin 25 mg
7. Tingkat Evidens : II
8. Tingkat Rekomendasi : B
10. Kepustakaan
10.1.Chandra, S. Panduan Tatalaksana Nyeri Perioperatif. PERDATIN. 2009
KRITERIA TRANSFER PASIEN DARI RECOVERY ROOM KAMAR OPERASI
(RR – PACU) MENUJU RUANG RAWAT INAP DAN PEMULANGAN PASIEN ODC
1. Pengertian (Definisi)
Merupakan kriteria fisiologis yang harus dipenuhi untuk transfer yang aman dari RR –
PACU menuju ruang rawat inap dan pemulangan pasien one day care ( ODC)
2. Indikasi
Pasien-pasien yang telah menjalani proses anestesi baik sedasi sedang, anestesi umum,
anestesi regional, anestesi local ataupun kombinasi tehnik tersebut
3. Kontra Indikasi
Pasien yang memerlukan perawatan intensif pasca operasi
4. Persiapan
5. Prosedur Tindakan
5.1. Dokter anestesi menilai, mengisi dan menandatangani didalam rekam medis
berdasarkan kriteria yang ditetapkan
5.2. Perawat jaga RR melaporkan kondisi terakhir sebelum pasien ditransfer menuju
ruang rawat inap ataupun pemulangan pada pasien ODC
5.3. Perawat jaga RR melakukan serah terima pasien dengan petugas penjemput dan
terdokumentasi pada rekam medik
5.4. Kriteria transfer berdasarkan kriteria Pemulihan Fase 1 Aldrete Scoring System
pada pasien dewasa dan kriteria Pemulihan Fase 1 Steward Scoring System pada
pasien anak-anak. (terlampir)
5.5. Kriteria transfer pasien yang mendapatkan anestesi regional, ditambahkan penilaian
Bromage Score ( terlampir)
5.6. Kriteria pemulangan pasien one day care berdasarkan Postanesthetic Discharge
Scoring System (PADSS) dan disertai intruksi khusus pasien ODC (terlampir)
7. Tingkat Evidens : I
8. Tingkat Rekomendasi : A
10. Kepustakaan
10.1. Miller’s Anesthesia 7th edition, Ronald D Miller, 2009
10.2. Morgan Clinical Anesthesiology 4th edition, G Edward Morgan, 2006
10.3. Standard dan Pedoman Pelayanan Anestesiologi Indonesia. IDSAI. 2008
PERSIAPAN PRA ANESTESIA PASIEN ELEKTIF
1. Pengertian (Definisi)
Evaluasi Pra Anestesi yang bertujuan untuk : menilai kondisi pasien, menentukan status
fisis dan resiko, menentukan status teknik anestesia yang akan dilakukan, memperoleh
persetujuan tindakan anestesia (informed consent), persiapan tindakan anestesia.
2. Indikasi
Semua pasien yang akan menjalani prosedur yang memerlukan pengawasan dokter
anestesia maupun tindakan anestesia
3. Kontra Indikasi
Tidak ada
4. Persiapan
4.1. Pasien :
4.1.1. Memperoleh informasi/konsultasi dari ruang perawatan / poli mengenai
rencana operasi pasien
4.2. Alat
4.2.1. Stetoskop
4.2.2. Tensimeter
4.2.3. Pulse oxymetri (bila dibutuhkan)
4.2.4. Termometer (bila dibutuhkan)
5. Prosedur Tindakan
5.1. Pemeriksaan pra-anestesia
5.1.1. anamnesis, pemeriksaan fisik, pemeriksaan penunjang sesuai indikasi serta
konsultasi dokter spesialis lain bila diperlukan.
5.1.2. Pemeriksaan penunjang rutin yang harus dilakukan :
5.1.2.1. Pemeriksaan darah lengkap
5.1.2.2. Urinalis (bila gula positif harus ditambah pemeriksaan gula darah)
5.1.2.3. Ureum, kreatinin, elektrolit : pada pembedahan besar
5.1.2.4. EKG : umur > 40 tahun
5.1.2.5. Foto toraks: umur > 60 tahun
5.1.2.6. Uji fungsi hati : pada pembedahan besar pasien umur > 50 tahun
5.1.3. Pemeriksaan penunjang berdasarkan indikasi :
5.1.3.1. Pemeriksaan darah lengkap :
5.1.3.1.1. Anemia dan kelainan/penyakit hematologi lainnya
5.1.3.1.2. Gangguan ginjal
5.1.3.1.3. Pasien dalam kemoterapi
5.1.3.2. Ureum, kreatinin, dan elektrolit
5.1.3.2.1. Gangguan/penyakit hati dan ginjal
5.1.3.2.2. Gangguan metabolic, seperti diabetes mellitus
5.1.3.2.3. Riwayat diare, muntah
5.1.3.2.4. Kondisi nutrisi buruk
5.1.3.2.5. Persiapan usus prabedah
5.1.3.2.6. Riwayat pemberian obat-obat digitalis, diuretika,
antihipertensi, steroid,obat anti diabetes
5.1.3.3. Gula darah
5.1.3.3.1. Diabetes mellitus
5.1.3.3.2. Penyakit hati berat
5.1.3.4. Elektrokardiogram
5.1.3.4.1. Hipertensi, penyakut jantung atau penyakit paru kronik
5.1.3.4.2. Diabetes mellitus
5.1.3.5. Foto toraks
5.1.3.5.1. Gangguan pernafasan yang bermakna atau penyakit paru
5.1.3.5.2. Penyakit jantung
5.1.3.6. Analisis gas darah arteri
5.1.3.6.1. Obesitas
5.1.3.6.2. Pesien dengan gangguan nafas
5.1.3.6.3. Penyakit paru sedang sampai berat
5.1.3.6.4. Sakit kritis atau sepsis
5.1.3.6.5. Bedah toraks
5.1.3.7. Uji Fungsi paru
5.1.3.7.1. Bedah toraks
5.1.3.7.2. Penyakit paru sedang sampai berat, seperti PPOK, bronkiektasi,
penyakit paru restriksi
5.1.3.8. Uji Fungsi hati
5.1.3.8.1. Penyakit hepatobilier
5.1.3.8.2. Riwayat peminum alcohol
5.1.3.8.3. Tumor dengan kemungkinan metastase ke ahti
5.1.3.9. Uji hemostase dan koagulasi darah
5.1.3.9.1. Penyakit/kelainan darah
5.1.3.9.2. Penyakit hati berat
5.1.3.9.3. Koagulopati apapun sebabnya
5.1.3.9.4. Riwayat terapi antikoagulan seperti heparin atau warfarin
5.1.3.10. Uji fungsi tiroid
5.1.3.10.1. Riwayat penyakit tiroid
5.1.3.10.2. Gangguan endokrin seperti tumor hipofise
5.1.3.10.3. Bedah tiroid
5.1.3.11.Uji fungsi jatung : Ekokardiografi
5.1.3.11.1. Penyakit jantung
5.1.3.11.2. Kelainan EKG yang bermakna
5.1.4. Dokter anestesia dapat menunda atau menolak tindakan anestesia bila hasil
evaluasi pra-anestesia dinilai belum dan atau tidak layak untuk tindakan
anestesia.
5.2. Menentukan status fisis pasien
5.2.1. status fisik mengacu pada klasifikasi ASA
5.2.2. evaluasi jalan napas
Neonatus 4 2 4 4
< 6 bulan 4 2 6 4
6-36 bulan 6 3 6 4
> 36 bulan 6 2 6
dewasa 6-8 2
7. Tingkat Evidens : I
8. Tingkat Rekomendasi : A
9. Indikator Prosedur Tindakan
90% pasien yang akan menjalani prosedur yang memerlukan pengawasan dokter
anestesia maupun tindakan anestesia
10. Kepustakaan
10.1. Menteri Kesehatan Republik Indonesia. 2015. SK NOMOR
HK.02.02/MENKES/251/2015 Tentang Pedoman Nasional Pelayanan Kedokteran
Anestesiologi dan Terapi Intensif. Jakarta: Pengurus Pusat Perhimpunan Dokter
Spesialis Anestesiologi dan Terapi Intensif Indonesia
10.2. Kolegium Anestesiologi & Reanimasi Indonesia. 2008. Modul Pendidikan Dokter
Spesialis Anestesiologi dan Reanimasi. Bandung : Kolegium Anestesiologi &
Reanimasi Indonesia
PERSIAPAN PRA ANESTESIA PASIEN CITO
1. Pengertian (Definisi)
Evaluasi Pra Anestesi yang bertujuan untuk : menilai kondisi pasien, menentukan status
fisis dan resiko, menentukan status teknik anestesia yang akan dilakukan, memperoleh
persetujuan tindakan anestesia (informed consent), persiapan tindakan anestesia
2. Indikasi
Semua pasien yang akan menjalani prosedur yang memerlukan pengawasan dokter
anestesia maupun tindakan anestesia
3. Kontra Indikasi
Tidak ada
4. Persiapan
4.1. Pasien :
4.1.1. Memperoleh informasi/konsultasi dari ruang perawatan / poli mengenai
rencana operasi pasien segera setelah rencana tindakan operasi disampaikan
operator
4.1.2. Melakukan visite pra operatif
4.1.3. Menjelaskan kepada pasien tujuan evaluasi para anestesi
4.2. Alat
4.2.1. Stetoskop
4.2.2. Tensimeter
4.2.3. Pulse oxymetri (bila dibutuhkan)
4.2.4. Termometer (bila dibutuhkan)
5. Prosedur Tindakan
5.1. Pemeriksaan pra-anestesia
5.1.1. anamnesis, pemeriksaan fisik, pemeriksaan penunjang sesuai indikasi serta
konsultasi dokter spesialis lain bila diperlukan.
5.1.2. Pemeriksaan penunjang rutin yang harus dilakukan :
5.1.2.1. Pemeriksaan darah lengkap
5.1.2.2. Urinalis (bila gula positif harus ditambah pemeriksaan gula darah)
5.1.2.3. Ureum, kreatinin, elektrolit : pada pembedahan besar
5.1.2.4. EKG : umur > 40 tahun
5.1.2.5. Foto toraks: umur > 60 tahun
5.1.2.6. Uji fungsi hati : pada pembedahan besar pasien umur > 50 tahun
5.1.3. Pemeriksaan penunjang berdasarkan indikasi :
5.1.3.1. Pemeriksaan darah lengkap :
5.1.3.1.1. Anemia dan kelainan/penyakit hematologi lainnya
5.1.3.1.2. Gangguan ginjal
5.1.3.1.3. Pasien dalam kemoterapi
5.1.3.2. Ureum, kreatinin, dan elektrolit
5.1.3.2.1. Gangguan/penyakit hati dan ginjal
5.1.3.2.2. Gangguan metabolic, seperti diabetes mellitus
5.1.3.2.3. Riwayat diare, muntah
5.1.3.2.4. Kondisi nutrisi buruk
5.1.3.2.5. Persiapan usus prabedah
5.1.3.2.6. Riwayat pemberian obat-obat digitalis, diuretika,
antihipertensi, steroid, obat anti diabetes
5.1.3.3. Gula darah
5.1.3.3.1. Diabetes mellitus
5.1.3.3.2. Penyakit hati berat
5.1.3.4. Elektrokardiogram
5.1.3.4.1. Hipertensi, penyakut jantung atau penyakit paru kronik
5.1.3.4.2. Diabetes mellitus
5.1.3.5. Foto toraks
5.1.3.5.1. Gangguan pernafasan yang bermakna atau penyakit paru
5.1.3.5.2. Penyakit jantung
5.1.3.6. Analisis gas darah arteri
5.1.3.6.1. Obesitas
5.1.3.6.2. Pesien dengan gangguan nafas
5.1.3.6.3. Penyakit paru sedang sampai berat
5.1.3.6.4. Sakit kritis atau sepsis
5.1.3.6.5. Bedah toraks
5.1.3.7. Uji Fungsi paru
5.1.3.7.1. Bedah toraks
5.1.3.7.2. Penyakit paru sedang sampai berat, seperti PPOK,
bronkiektasi, penyakit paru restriksi
5.1.3.8. Uji Fungsi hati
5.1.3.8.1. Penyakit hepatobilier
5.1.3.8.2. Riwayat peminum alcohol
5.1.3.8.3. Tumor dengan kemungkinan metastase ke ahti
5.1.3.9. Uji hemostase dan koagulasi darah
5.1.3.9.1. Penyakit/kelainan darah
5.1.3.9.2. Penyakit hati berat
5.1.3.9.3. Koagulopati apapun sebabnya
5.1.3.9.4. Riwayat terapi antikoagulan seperti heparin atau warfarin
5.1.3.10. Uji fungsi tiroid
5.1.3.10.1. Riwayat penyakit tiroid
5.1.3.10.2. Gangguan endokrin seperti tumor hipofise
5.1.3.10.3. Bedah tiroid
5.1.3.11.Uji fungsi jatung : Ekokardiografi
5.1.3.11.1. Penyakit jantung
5.1.3.11.2. Kelainan EKG yang bermakna
5.1.4. Dokter anestesia dapat menunda atau menolak tindakan anestesia bila hasil
evaluasi pra-anestesia dinilai belum dan atau tidak layak untuk tindakan
anestesia.
Neonatus 4 2 4 4
< 6 bulan 4 2 6 4
6-36 bulan 6 3 6 4
> 36 bulan 6 2 6
dewasa 6-8 2
8. Tingkat Rekomendasi : A
10. Kepustakaan
10.1. Menteri Kesehatan Republik Indonesia. 2015. SK NOMOR
HK.02.02/MENKES/251/2015 Tentang Pedoman Nasional Pelayanan Kedokteran
Anestesiologi dan Terapi Intensif. Jakarta: Pengurus Pusat Perhimpunan Dokter
Spesialis Anestesiologi dan Terapi Intensif Indonesia
10.2. Kolegium Anestesiologi & Reanimasi Indonesia. 2008. Modul Pendidikan Dokter
Speliasi Anestesiologi dan Reanimasi. Bandung : Kolegium Anestesiologi &
Reanimasi Indonesia
PANDUAN PRAKTEK KLINIS PELAYANAN ICU
RS UNIVERSITAS MATARAM
2022
KEMENTERIAN PENDIDIKAN, KEBUDAYAAN, RISET,
DAN TEKNOLOGI
UNIVERSITAS MATARAM
RUMAH SAKIT
Jl. Majapahit No.62 Mataram, Nusa Tenggara Barat 83125
Telepon: (0370) 785100 / 081775165995 Laman: www.rs.unram.ac.id Email: rsum@unram.ac.id
1. Pengertian (Definisi)
Suatu upaya medis yang dilakukan dengan pemberian kejut listrik bersifat asinkron
(defibrilasi) atau sinkron (kardioversi) dengan gelombang QRS kompleks untuk
mengembalikan denyut jantung yang sangat cepat ke irama sinus
2. Indikasi
2.1. Defibrilasi
2.1.1. Ventrikel fibrilasi
2.1.2. Pulseless Ventricular Tachycardia
2.1.3. Polymorphic Ventricular Tachycardia
2.2. Kardioversi
Ventrikel takikardi dengan nadi (+), stabil atau tidak stabil Ventrikel takikardi, atrial
fibrilasi dan atrial flutter stabil atau tidak stabil
3. Kontra Indikasi
Kardioversi :
4. Persiapan
Kardioversi :
4.5.2. Defibrilator/Kardioverter
4.5.3. Kabel koneksi dan elektrode
4.5.4. Obat-obat sedasi
4.5.5. Suplemen oksigen dengan peralatannya
4.5.6. Mesin Suction dan perlengkapan intubasi trakea
4.5.7. Pulse oksimeter
4.5.8. Monitor EKG dan tekanan darah
4.5.9. Kateter intravena, infusion pump, cairan infuse
4.5.10. Trolley emergensi
5. Prosedur Tindakan
5.1. Monitor dan evaluasi irama jantung pasien,
5.2. Pada pasien-pasien dengan irama jantung tidak stabil atau perfusi sistemik terganggu,
segera lakukan defibrilasi/kardioversi setelah tindakan awal resusitasi jantung paru.
5.3. Lakukan pemasangan jalur intravena
5.4. Berikan obat sedasi apabila diperlukan
5.5. Berikan suplementasi oksigen
5.6. Nyalakan defibrilator/ kardioverter
5.7. Oleskan jelly secara merata pada paddle, atau rekatkan padding konduksi pada dinding
dada (pasien laki-laki dengan bulu dada yang lebat, perlu dicukur supaya kontak lebih
adekuat)
5.8. Paddle penempatan elektrode
5.8.1. Anterolateral
5.8.1.1. Satu paddle/elektrode diletakkan sebelah kanan sternum bagian atas,
dibawah klavikula.
5.8.1.2. Satu paddle/elektrode lainnya di sisi kiri nipple sejajar garis mid aksila
5.8.2. Anteroposterior
5.8.2.1. Satu paddle/elektrode diletakkan sepanjang anterior dari prekordium
sebelah kiri, di bawah klavikula
5.8.2.2. Satu paddle/elektrode lainnya di posterior infraskapula kiri, disebelah
kiri vertebrae thorakal.
5.8.3. Hindari penempatan paddle di atas implan pace maker permanen
5.17. Apabila dilakukan tindakan defibrilasi, segera dilanjutkan dengan tindakan kompresi
dinding dada; apabila tindakannya kardioversi, evaluasi kondisi pasien (napas, nadi
dan irama jantung)
5.18. Apabila tindakan tidak berhasil, ulangi kembali proses diatas sesuai protokol ACLS
10. Kepustakaan
10.1. Link MS, Atkins DL, Passman RS, Halperin HR, Samson RA, White RD, et al. Part
6 : Electrical Therapies: Automated External Defibrillators, Defibrillation,
Cardioversion, and Pacing. 2010 American Heart Association Guidelines for
Cardiopulmonary Resuscitation and Emergency Cardiovascular Care. Circulation.
2010;122[suppl 3]:S706 –S719.
10.2. Dries DJ, penyunting. Defibrillation/Cardioversion. Dalam : Fundamental Critical
Care Support edisi ke-5. Society of Critical Care Medicine. 2012. Appendix 5-1 – 6
KEMENTERIAN PENDIDIKAN, KEBUDAYAAN, RISET,
DAN TEKNOLOGI
UNIVERSITAS MATARAM
RUMAH SAKIT
Jl. Majapahit No.62 Mataram, Nusa Tenggara Barat 83125
Telepon: (0370) 785100 / 081775165995 Laman: www.rs.unram.ac.id Email: rsum@unram.ac.id
1. Pengertian (Definisi)
Tindakan memasukan pipa endotracheal ke dalam trakea yang dilakukan melalui mulut (oral)
2. Indikasi
2.1. Menjaga patensi jalan napas
2.2. Gagal napas akut
2.3. Gangguan kesadaran dengan Glasgow Coma Score ≤ 8
2.4. Gangguan hemodinamik berat (syok)
3. Kontra Indikasi
Sesuai dengan kontraindikasi prosedur
4. Persiapan
4.1. Persiapan Alat:
4.1.1. Sarung tangan – ( 1 pasang)
4.1.2. Bag-mask resuscitator – (1 set)
4.1.3. Pipa endotrakeal ukuran 6,5 sampai 9 – (masing-masing 1 buah)
4.1.4. Larigoskop dengan bilah ukuran 3 dan 4- (masing-masing 1 buah)
4.1.5. Mandryn/stylet – (1 buah)
4.1.6. Spuit 20 ml untuk mengembangkan cuff -(1 buah)
4.1.7. Oropharyngeal airway/nasopharyngeal airway ukuran 3 dan 4 – (masing-masing 1
buah)
4.1.8. Laryngeal Mask airway ukuran 3,4 dan 5 – (masing-masing 1 buah)
4.1.9. Gel pelumas – (1 tube)
4.1.10. Plester fiksasi – ( 30 cm)
4.1.11. Stetoskop
4.1.12. Mesin dan kateter suction – (1 set)
4.1.13. Monitor kardiovaskular dan pulse oxymetry
4.1.14. Bantal 10cmx10cmx10-20cm
4.1.15. Trolley emergency
4.2. Persiapan Obat:
KEMENTERIAN PENDIDIKAN, KEBUDAYAAN, RISET,
DAN TEKNOLOGI
UNIVERSITAS MATARAM
RUMAH SAKIT
Jl. Majapahit No.62 Mataram, Nusa Tenggara Barat 83125
Telepon: (0370) 785100 / 081775165995 Laman: www.rs.unram.ac.id Email: rsum@unram.ac.id
4.2.1. Sedasi
4.2.1.1. Midazolam 0,1 – 0,3 mg/kg bolus intravena, atau
4.2.1.2. Propofol 1 -2 mg/kg bolus intravena, atau
4.2.1.3. Ketamin 1-2 mg/kg bolus intravena
4.2.2. Analgetik
4.2.2.1.Morphin 1-2mg/kg bolus intravena, atau
4.2.2.2.Fentanyl 1-2 mikrogm/kg bolus intravena
5. Prosedur Tindakan
5.1. Posisi pasien supine dengan kepala bagian occipital diatas bantal (tebal 10-20 cm),
posisi dokter intubator dibelakang kepala pasien.
5.2. Berikan oksigen dan bantuan ventilasi menggunakan bag- mask dengan aliran oksigen
100% 10-15 L/menit, sembari melakukan Sellick’s maneuver
5.3. berikan obat sedasi dan analgetik
5.4. bila ventilasi dengan bag mask mudah yaitu dada terangkat cukup baik, berikan obat
pelumpuh otot, bantuan ventilasi dengan oksigen 100% dilakukan sampai 3-5 menit
5.5. Pada pasien dengan GCS ≤ 8, harus diberikan obat sedasi, analgetik dan pelumpuh
otot, serta bantuan ventilasi dengan oksigen 100% selama 3-5 menit
5.6. Laringoskopi dilakukan dengan memegang laringoskop dengan tangan kiri, masukkan
bilahnya kedalam mulut, susuri lidah sampai terlihat epiglottis.
5.7. Angkat laringoskop sampai terlihat pita suara dengan jelas
5.8. Masukkan pipa endotrakeal sampai cuff melewati pita suara ke dalam trakea
KEMENTERIAN PENDIDIKAN, KEBUDAYAAN, RISET,
DAN TEKNOLOGI
UNIVERSITAS MATARAM
RUMAH SAKIT
Jl. Majapahit No.62 Mataram, Nusa Tenggara Barat 83125
Telepon: (0370) 785100 / 081775165995 Laman: www.rs.unram.ac.id Email: rsum@unram.ac.id
5.9. Angkat laringoskop, sambungkan pipa endotracheal dengan bag mask, dan berikan
bantuan ventilasi
5.10. Periksa posisi pipa endotrakeal dengan melihat gerakan dada bagian kanan dan
kiri,serta melakukan auskultasi di kedua bagian dada untuk meyakinkan bahwa suara
napas teredangar sama di kedua lapangan paru.
5.11. Fiksasi pipa endotrakeal dengan plester
7. Tingkat Evidens : IV
8. Tingkat Rekomendasi : A
10. Kepustakaan
10.1. Lavery GG, Jamison CA. Airway management in the critically ill adult. In Parillo JE.
Dellinger RP (eds) Critical Care Medicine: Principles of Diagnosis and Management
in the adult.3rd.ed.Philadelphia,PA: Mosby Elsivier;2008:p.17
10.2. Dries DJ (ed.) Fundamental Critical Care Support. Society of Critical Care Medicine,
5th ed.,2012:p.2.1
KEMENTERIAN PENDIDIKAN, KEBUDAYAAN, RISET,
DAN TEKNOLOGI
UNIVERSITAS MATARAM
RUMAH SAKIT
Jl. Majapahit No.62 Mataram, Nusa Tenggara Barat 83125
Telepon: (0370) 785100 / 081775165995 Laman: www.rs.unram.ac.id Email: rsum@unram.ac.id
1. Pengertian (Definisi)
Adalah tindakan memasang kanula/kateter kecil kedalam pembuluh darah arteri,
dihubungkan dengan tubing monitor spesifik sehingga tekanan darah dapat dipantau secara
kontinyu
Dapat dipasang di daerah radialis, brachialis, axillaris, femoralis, tibialis posterior atau
dorsalis pedis
2. Indikasi
2.1. Pasien dalam infus inotropik dan vasopresor yang perlu pemantauan tekanan darah
secara kontinyu
2.2. Operasi jantung
2.3. Tekanan darah pasien < 90 mmHg
2.4. Ada episode hipotensi dalam 12 jam terakhir
2.5. Pada operasi besar dengan resiko tinggi perdarahan
2.6. Guna pengambilan sampel darah yang sering
2.7. Monitoring noninvasive tidak memungkin kan misalnya luka bakar, obesitas morbid
3. Kontra Indikasi
3.1. Absolut pada area suntikan
3.1.1. Raynaud syndrome
3.1.2. Gangguan sirkulasi daerah ekstremitas
3.1.3. Ada “A-V shunt” untuk hemodialisa
3.1.4. Infeksi daerah suntikan
3.1.5. Tromboangitis obliterans
3.2. Relative pada kondisi pasien :
3.2.1. Sirkulasi kolateral kurang baik (dengan Allen test)
3.2.2. Sedang dalam terapi trombolisis atau antikoagulan (karena resiko perdarahan)
3.2.3. Jumlah trombosit < 50.000
KEMENTERIAN PENDIDIKAN, KEBUDAYAAN, RISET,
DAN TEKNOLOGI
UNIVERSITAS MATARAM
RUMAH SAKIT
Jl. Majapahit No.62 Mataram, Nusa Tenggara Barat 83125
Telepon: (0370) 785100 / 081775165995 Laman: www.rs.unram.ac.id Email: rsum@unram.ac.id
4. Persiapan
4.1. Persiapan pasien :
4.1.1. Informed concent kepada pasien atau keluarga pasien
4.1.2. Pasang monitor EKG dan oksimetri
4.1.3. Anamnesa riwayat alergi anestetik local
4.1.4. Periksa adanya faktor-faktor kontra indikasi
4.1.5. Tempat pemasangan arteri umumnya a. radialis, a. brachialis, a. dorsalis pedis
atau a. femoralis
4.2. Persiapan alat :
4.2.1. Kateter intravena steril no 20 G, 18 G jika tusukan pada a femoralis – (1 buah)
4.2.2. Jarum steril no 18 G – (1 buah)
4.2.3. Pengganjal pergelangan (dengan handuk atau kasa yang digulung)
4.2.4. Plester untuk memfiksasi pergelangan – (1 lembar)
4.2.5. Cairan antiseptic- ( 30 ml)
4.2.6. Masker dan sarung tangan steril – ( 1 buah dan 1 pasang)
4.2.7. Peralatan monitor (3 way “stopcock” yang sudah di “flush” dengan NaCl 0,9 %
dan heparin, syringe 5 cc steril, “pressure transducer” yang sudah di “flush”
dengan heparin konsentrasi 1 unit /ml, buat cairan “flush” dari NaCl 0,9% 500 ml,
dicampurkan heparin 500 unit, hubungkan dengan “transducer” dan “pressure bag
“ dipompa sampai tekanannya 300 mmHg )
4.2.8. Syringe 1 ml yang sudah diisi lidocaine 2 %
4.2.9. Alat monitor dihubungkan dengan pressure transducer kemudian di zeroing dan
disesuaikan ketinggiannya
5. Prosedur Tindakan
5.1. Pemasangan pada a radialis
5.1.1. Pasien posisi terlentang dan lakukan Allen test pada ke dua tangan
5.1.2. Lakukan cuci tangan dan memakai sarung tangan steril
5.1.3. Lakukan tindakan disinfeksi dengan poviiodine, tutup dengan doek steril
5.1.4. Atur posisi tangan dalam dorsi fleksi 600 dan palpasi arteri
5.1.5. Lalu suntikan anestetik local dengan lidocaine 2 %
5.1.6. Raba a radialis dengan jari ke 2,3 dan 4 tangan kiri
5.1.7. Buat sayatan kecil pada subkutis dengan jarum no 18 pada daerah yang akan
dipasang
KEMENTERIAN PENDIDIKAN, KEBUDAYAAN, RISET,
DAN TEKNOLOGI
UNIVERSITAS MATARAM
RUMAH SAKIT
Jl. Majapahit No.62 Mataram, Nusa Tenggara Barat 83125
Telepon: (0370) 785100 / 081775165995 Laman: www.rs.unram.ac.id Email: rsum@unram.ac.id
5.1.8. Tusukkan kateter intravena kearah a radialis dengan sudut 300 kearah kulit sampai
terlihat darah dalam chamber kateter
5.1.9. Pertahankan mandrin jarum intravena dan dorong selongsong kateter masuk ke
pembuluh darah arteri
5.1.10. Tekan kulit ujung kateter yang sudah masuk dalam pembuluh darah arteri dan
lepaskan mandrin, sambung dengan threeway stopcock yang telah disiapkan.
5.1.11. Aspirasi darah dan perhatikan apakah darah keluar secara pulsasi
5.1.12. Fiksasi dan tutup dengan kasa steril atau tutup transparan steril
5.1.13. Sambung ke monitor, lihat gambaran gelombang, pastikan gelombang yang
terlihat adalah gambaran gelombang arteri.
5.1.14. Lakukan levelling, zeroing
5.2. Pemasangan pada a femoralis :
5.2.1. Pasien posisi terlentang dan pasang ganjal didaerah inguinal sehingga a femoralis
dan v femoralis terpapar.
5.2.2. Lakukan cuci tangan dan memakai sarung tangan steril
5.2.3. Desinfeksi dengan chlorhexidine atau poviiodine pada daerah inguinal
5.2.4. Tutup dengan doek steril
5.2.5. Infiltrasi dengan lidocaine 2%
5.2.6. Raba a femoralis dengan jari ke 2,3 dan 4 tangan kiri (biasanya a femoralis
terletak di pertengahan garis yang ditarik antara spina iliaca anterior dan
symphisis pubis)
5.2.7. Buat sayatan kecil pada subkutis dengan jarum no 18 G pada daerah yang akan
ditusuk
5.2.8. Insersikan kateter intravena kearah pulsasi a femoralis dengan sudut 300 terhadap
kulit sampai terlihat darah dalam chamber kateter
5.2.9. Pertahankan mandrin dan dorong selongsong kateter sampai masuk kedalam
pembuluh darah arteri
5.2.10. Tekan kulit ujung kateter yang sudah dalam pembuluh darah arteri
5.2.11. Cabut mandrin dan sambung dengan threewaystopcock yang sudah disiapkan
5.2.12. Aspirasi darah dan perhatikan apakah darah yang keluar secara pulsasi
5.2.13. Fiksasi dan tutup dengan kasa steril atau tegaderm
5.2.14. Sambung ke monitor, perhatikan gambaran gelombang, pastikan gelombang yang
terlihat adalah gelombang arteri.
5.2.15. Lakukan levelling, zeroing
5.3. Pemasangan pada a dorsalis pedis :
KEMENTERIAN PENDIDIKAN, KEBUDAYAAN, RISET,
DAN TEKNOLOGI
UNIVERSITAS MATARAM
RUMAH SAKIT
Jl. Majapahit No.62 Mataram, Nusa Tenggara Barat 83125
Telepon: (0370) 785100 / 081775165995 Laman: www.rs.unram.ac.id Email: rsum@unram.ac.id
5.3.1. Pasien posisi terlentang dengan posisi kaki menekuk sehingga a dorsalis pedis
terpapar
5.3.2. Lakukan cuci tangan dan memakai sarung tangan steril
5.3.3. Desinfeksi dengan chlorhexidine atau poviiodine pada daerah dorsalis
5.3.4. Tutup dengan doek steril
5.3.5. Infiltrasi dengan lidocaine 2%
5.3.6. Raba a dorsalis pedis dengan jari ke 2,3 dan 4 tangan kiri
5.3.7. Buat sayatan kecil subkutis dengan jarum 18 G
5.3.8. Insersikan kateter intravena kearah pulsasi a dorsalis pedis dengan sudut 300
terhadap kulit sampai terlihat aliran darah dalam chamber kateter
5.3.9. Pertahankan mandrin, dan dorong selongsong kateter sampai masuk kedalam
pembuluh darah arteri
5.3.10. Tekan kulit ujung kateter yang sudah dalam pembuluh darah arteri
5.3.11. Cabut mandrin dan sambung dengan threewaystepcock yang telah disiapkan
5.3.12. Aspirasi darah dan perhatikan apakah darah yang keluar secara pulsasi
5.3.13. Fiksasi dan tutup dengan kasa steril atau tegaderm
5.3.14. Sambung ke monitor, perhatikan gambaran gelombang, pastikan gelombang yang
terlihat adalah gelombang arteri.
5.3.15. Lakukan leveling, zeroing
5.4. Pemasangan pada a brachialis :
5.4.1. Pasien posisi terlentang
5.4.2. Fiksasi lengan pasien sehingga daerah cubiti terpapar
5.4.3. Lakukan cuci tangan dan memakai sarung tangan steril
5.4.4. Lakukan tindakan disinfeksi dengan poviiodine, tutup dengan doek steril
5.4.5. Infiltrasi dengan lidocaine 2%
5.4.6. Raba a brachialis dengan jari ke 2,3 dan 4 tangan kiri,
5.4.7. Buat sayatan kecil subkutis dengan jarum 18 G
5.4.8. Insersikan kateter intravena keaarah a brachialis dengan sudut 300 terhadap kulit
sampai terlihat aliran darah dalam chamber kateter
5.4.9. Pertahankan mandrin, dan dorong selongsong kateter sampai masuk dalam
pembuluh darah arteri.
5.4.10. Tekan kulit ujung kateter yang sudah didalam pembuluh darah arteri
5.4.11. Cabut mandrin, dan sambung dengan threewaystopcock yang sudah disiapkan
5.4.12. Aspirasi darah dan perhatikan apakah darah yang keluar secara pulsasi
5.4.13. Fiksasi dan tutup dengan kasa steril atau tegaderm
KEMENTERIAN PENDIDIKAN, KEBUDAYAAN, RISET,
DAN TEKNOLOGI
UNIVERSITAS MATARAM
RUMAH SAKIT
Jl. Majapahit No.62 Mataram, Nusa Tenggara Barat 83125
Telepon: (0370) 785100 / 081775165995 Laman: www.rs.unram.ac.id Email: rsum@unram.ac.id
7. Tingkat Evidens : IV
8. Tingkat Rekomendasi : A
10. Kepustakaan
10.1. Oh’s Intensive care Manual. 5th ed. Editors Andrew D Bersten, Neil Soni. Butterworth
Heinemann. 2003
10.2. Manual of Perioperative Care in Adult Cardiac surgery. 5th ed. Editor Robert M Bojar.
Wiley-Blackwell. 2011
10.3. Arterial line placement. Freemann CJ. Chief Ed Rowe VL et al. www.Medscape.com.
updated July 2012
10.4. ICU Protocols. A Stepwise Approach. Editors Chawla R; Todi S. Springer. ISCCM 2012
KEMENTERIAN PENDIDIKAN, KEBUDAYAAN, RISET,
DAN TEKNOLOGI
UNIVERSITAS MATARAM
RUMAH SAKIT
Jl. Majapahit No.62 Mataram, Nusa Tenggara Barat 83125
Telepon: (0370) 785100 / 081775165995 Laman: www.rs.unram.ac.id Email: rsum@unram.ac.id
1. Pengertian (Definisi)
Pemasangan alat bantu napas yaitu ventilator ke jalan napas pasien dengan melalui pipa
endotrakeal
2. Indikasi
2.1. Henti napas (apnea)
2.2. Gagal napas akut hipoksemia:
2.2.1. Udem paru kardiogenik dan non kardiogenik
2.2.2. Pneumonia
2.2.3. Acute respiratory distress syndrome (ARDS)
2.2.4. Immunocompromised (keganasan, pasca transplantasi)
2.3. Gagal napas akut hiperkapnia
2.3.1. Eksarsebasi akut penyakit paru obstruksi kronik
2.3.2. Asma akut
2.3.3. Penyakit neuromuskuler ( Guillan Barre syndrome, Myasthenia Gravis)
2.3.4. Disfungsi otot ventilasi ( ketidakseimbangan elektrolit, malnutrisi, deformitas
toraks,atrofi)
2.3.5. Gangguan pusat napas ( hipotiroid, cedera otak)
2.4. Pasca henti jantung
2.5. Pasca bedah dengan gangguan-gangguan: hemodinamik,atau respirasi, atau kesadaran
2.6. Gangguan kesadaran dengan GCS ≥ 8 dengan/ tanpa tanda-tanda peningkatan tekanan
intracranial
2.7. Syok
3. Kontra Indikasi
Tidak ada
4. Persiapan
4.1. Persiapan alat:
4.1.1. Sarung tangan – (1 pasang)
4.1.2. bag – mask resuscitator – ( 1 set)
KEMENTERIAN PENDIDIKAN, KEBUDAYAAN, RISET,
DAN TEKNOLOGI
UNIVERSITAS MATARAM
RUMAH SAKIT
Jl. Majapahit No.62 Mataram, Nusa Tenggara Barat 83125
Telepon: (0370) 785100 / 081775165995 Laman: www.rs.unram.ac.id Email: rsum@unram.ac.id
5. Prosedur Tindakan
5.1. Pemeriksaan gas darah arteri
5.2. Penjelasan kepada keluarga tentang prosedur tindakan
5.3. Melakukan tindakan intubasi trakea
5.4. Menyambungkan pipa endotracheal ke ventilator
5.5. Menyetel mode ventilasi pada ventilator yang paling dikuasai ( misal: assist-control
volume atau assist-control pressure ventilation atau synchronized intermittent
mandatory ventilation)
5.6. Penyetelan awal FiO2 100%, setelah itu dapat dirubah dengan target SpO 2 92%-95%
atau ≥88% pada pasien ARDS
5.7. Penyetelan awal volume tidal adalah 8-10 ml/kg pada pasien dengan daya kembang
paru normal, 6-8 ml/kg pada pasien dengan daya kembang paru buruk (ARDS)
dianjurkan dengan menjaga tekanan plateau ≤ 30 cmH2O
KEMENTERIAN PENDIDIKAN, KEBUDAYAAN, RISET,
DAN TEKNOLOGI
UNIVERSITAS MATARAM
RUMAH SAKIT
Jl. Majapahit No.62 Mataram, Nusa Tenggara Barat 83125
Telepon: (0370) 785100 / 081775165995 Laman: www.rs.unram.ac.id Email: rsum@unram.ac.id
5.8. Penyetelan laju napas disesuaikan target ventilasi semenit 100 ml/kg, dan pH ~ 7,4
5.9. Penyetelan PEEP ≥ 5 cmH2O
5.10. Penyetelan trigger sensitivity sebesar 3 L/menit atau - 2 cmH2O
5.11. Selama pasien dalam ventilator, dapat diberikan obat sedasi dan/ analgetik intravena
kontinyu, sedapat mungkin tidak diberikan obat pelumpuh otot
5.12. Pemeriksaan gas darah arteri dilakukan 30 menit setelah penyetelan awal dan
perubahan penyetelan pada ventilator
7. Tingkat Evidens : IV
8. Tingkat Rekomendasi : A
10. Kepustakaan
10.1. Caples SM, Gay PC. Noninvasive positive pressure ventilation in the intensive care
unit: A concise review. Crit Care Med 2005;33:2651-2658.
10.2. Tobin MJ. Principles and Practice of Mechanical Ventilation. Rev.ed, New
York,NY:Mc Graw-Hill Co;2006
10.3. Dries DJ (ed) Fundamental Critical Care Support. 5 th ed.Society of Critical Care
Medicine;2012:p.5.1
KEMENTERIAN PENDIDIKAN, KEBUDAYAAN, RISET,
DAN TEKNOLOGI
UNIVERSITAS MATARAM
RUMAH SAKIT
Jl. Majapahit No.62 Mataram, Nusa Tenggara Barat 83125
Telepon: (0370) 785100 / 081775165995 Laman: www.rs.unram.ac.id Email: rsum@unram.ac.id
1. Pengertian (Definisi)
Pembuatan lubang pada dinding depan trakea dengan cara dilatasi lubang tusukan jarum pada
celah antar kartilago trakea dan pemasangan pipa trakea (tracheostomy tube, TT)
2. Indikasi
2.1. Obstruksi jalan napas atas
2.2. Tracheal toilets :
2.2.1. Tidak bisa membersihkan sekret karena kelemahan umum, kesadaran menurun,
sekresi berlebihan,
2.2.2. Penyakit-penyakit neuromuskular,
2.2.3. Menggunakan ventilator jangka panjang
3. Kontra Indikasi
3.1. Kontra indikasi mutlak : tidak ada
3.2. Kontra indikasi relatif : koagulopati, ventilasi mekanik dengan PEEP tinggi
4. Persiapan
4.1. Informed consent
4.2. Pengetahuan anatomi dan fisiologi sistem respirasi,
4.3. Persiapan Alat: Gaun & sarung tangan steril, Povidon iodine, kain duk berlobang steril
dan kasa steril, gel, lidokain 2 %, spuit 3 ml, scalpel + blade, klem pean, pipa trachea
+ pemandunya, PDT-set steril yang berisi : jarum Seldinger 16 G + spuit 10 cc, kawat
pemandu, dilator primer, dilator Cula Badak , ( jika tersedia : bronkoskopi fleksibel
dengan monitor).
4.4. Alat pengisap dan Kit emergensi yang berisi laringoskop, pipa orotrakhea, pipa
endotrachea, Bag-Mask dan obat: epinefrin dan pelumpuh otot, dan sumber oksigen
(+pipa & flometer)
4.5. Persiapan obat : midazolam, opioid, analgetika non opioid
KEMENTERIAN PENDIDIKAN, KEBUDAYAAN, RISET,
DAN TEKNOLOGI
UNIVERSITAS MATARAM
RUMAH SAKIT
Jl. Majapahit No.62 Mataram, Nusa Tenggara Barat 83125
Telepon: (0370) 785100 / 081775165995 Laman: www.rs.unram.ac.id Email: rsum@unram.ac.id
5. Prosedur Tindakan
5.1. Pasien diposisikan terlentang dengan kepala ekstensi, kalau perlu diganjal pundaknya,
kemudian identifikasi titik yang akan ditrakheostomi,
5.2. Diberikan sedasi dan analgetika (ditambahkan opioid jika tersedia) pada pasien,
5.3. Operator mencuci tangan,
5.4. Operator mengenakan topi, masker, gaun steril, dan sarung tangan steril
5.5. Desinfektan kulit leher dan dada bagian atas, tutup duk lobang steril, injeksi lidokain
sub kutis pada titik trakheostomi,
5.6. Buat irisan kulit melintang 1,5 cm, perdarahan dihentikan/ ditekan dengan kasa steril,
jaringan subkutis dibebaskan dengan klem pean sampai menyentuh kartilago trakhea.
5.7. Tusuk jarum Seldinger dengan tekanan negatif pada spuit pada celah antar kartilago
trachea 1-2, sampai spuit menyedot udara dari dalam trachea (bila memungkinkan
dengan panduan bronkoskopi). Kemudian jarum diarahkan ke kaudal dan spuit
dilepas, kawat pemandu dimasukkan ke dalam jarum, kemudian jarum dicabut,
5.8. Dilakukan dilatasi lubang bekas tusukan jarum dengan dilator primer melalui kawat
pemandu,
5.9. Dilakukan dilatasi lubang bekas tusukan jarum tersebut melalui kawat pemandu
dengan dilator Cula Badak sampai garis batas atas, kemudian dilator cula badak
dilepaskan,
5.10. Pipa trakhea dipasang dituntun kawat pemandu, balon (cuff) diisi udara, kemudian
kawat pemandu dilepas, dilakukan penghisapan jalan napas memalui pipa trakea,
kemudian pipa trakea dihubungkan dengan alat bantu napas (Bag-Mask, atau
Ventilator)
5.11. Dilakukan fiksasi dengan pita melingkar leher
7. Tingkat Evidens : IV
8. Tingkat Rekomendasi : C
KEMENTERIAN PENDIDIKAN, KEBUDAYAAN, RISET,
DAN TEKNOLOGI
UNIVERSITAS MATARAM
RUMAH SAKIT
Jl. Majapahit No.62 Mataram, Nusa Tenggara Barat 83125
Telepon: (0370) 785100 / 081775165995 Laman: www.rs.unram.ac.id Email: rsum@unram.ac.id
10. Kepustakaan
10.1. Irwin & Rippe’s Intensive Care Medicine 7th Ed. Editor : Irwin, R.S. & Rippe, J.M.,
Wolters Kluwer Lippincott Williams & Wilkins, Philadelpia, 2012, hal : 105-116.
10.2. Oh’s Intensive Care Manual 6th Ed. Editor : Bersten, A.D and Soni, N., Butterworth
Heinemann Elsevier, Philadelpia, 2009, hal : 68, 332-334
KEMENTERIAN PENDIDIKAN, KEBUDAYAAN, RISET,
DAN TEKNOLOGI
UNIVERSITAS MATARAM
RUMAH SAKIT
Jl. Majapahit No.62 Mataram, Nusa Tenggara Barat 83125
Telepon: (0370) 785100 / 081775165995 Laman: www.rs.unram.ac.id Email: rsum@unram.ac.id
1. Pengertian (Definisi)
Adalah suatu tindakan pemasangan dobel lumen kateter pada vena sentral seperti pada v
jugularis interna, v subclavia atau v femoralis pada pasien Terapi Sulih Ginjal (RRT)
2. Indikasi
Pasien hemodialisis
3. Kontra Indikasi
3.1. Absolut :
Distorsianatomi local (karena operasi, injuri pembuluh darah dan riwayat radiasi)
4. Persiapan
4.1. Persiapan pasien :
4.1.1. Informed concent pada pasien atau keluarga pasien
4.1.2. Pasang monitor EKG, pulse-oksimetri
4.2. Persiapan alat :
KEMENTERIAN PENDIDIKAN, KEBUDAYAAN, RISET,
DAN TEKNOLOGI
UNIVERSITAS MATARAM
RUMAH SAKIT
Jl. Majapahit No.62 Mataram, Nusa Tenggara Barat 83125
Telepon: (0370) 785100 / 081775165995 Laman: www.rs.unram.ac.id Email: rsum@unram.ac.id
5. Prosedur Tindakan
5.1. Pemasangan pada v subclavia :
5.1.1. Punggung pasien diganjal
5.1.2. Pasien posisi terlentang dan Trendelenberg 150
5.1.3. Cucitangan, pakai gaun steril dan sarung tangan steril
5.1.4. Desinfeksi daerah subclavia dengan cairan anti septic meluas ke daerah jugular
ipsilateral sampai dengan papilla mamaeipsilateral dan 1/3 lengan atas ipsilateral
5.1.5. Tutup dengan doeksteril
5.1.6. Infiltrasi dengan lidocaine 2% disekitar tempat tusukan
5.1.7. Dari inferior clavicula, susuriclavicula sampai dengan pertemuan clavicula dengan
iga pertama, lakukan puncture dengan jarum ke arah sternal notch sambil
dilakukan aspirasi dan bevel mengarah ke bawah
5.1.8. Bila saat aspirasi keluar darah warna kehitaman kedalam syringe lalu lepaskan
synring, tutup lumen jarum dan masukkan guide wire (jaga jangan sampai ada
emboli udara) melalui jarum sampai guide wire bertanda garis 2 (kedalaman ± 20
cm), berhenti memasukkan wire jika ada tahanan
5.1.9. Dilatasi dengan scalpel no 11
5.1.10. Lepaskan jarum dan pertahankan guide wire
KEMENTERIAN PENDIDIKAN, KEBUDAYAAN, RISET,
DAN TEKNOLOGI
UNIVERSITAS MATARAM
RUMAH SAKIT
Jl. Majapahit No.62 Mataram, Nusa Tenggara Barat 83125
Telepon: (0370) 785100 / 081775165995 Laman: www.rs.unram.ac.id Email: rsum@unram.ac.id
5.1.11. Masukkan dilator melalui wire (ukuran kecil lebih dahulu kemudian yang ukuran
lebih besar)
5.1.12. Lepaskan dilator dan pertahankan wire ditempatnya
5.1.13. Masukkan kateter melalui wire sampai kateter mencapai kedalaman 15-20 cm
(perkiraan ujung kateterter letak pada pertemuan vena cava superior dengan
atrium kanan
5.1.14. Aspirasi dari masing-masing cabang kateter dengan syringe yang berisi cairan
NaCl kemudian di flush sampai kateter tampak jernih kemudian tutup masing-
masing lumen kateter
5.1.15. Fiksasi dengan jahitan dan ditutup dengan kasasteril dan plester atau tegaderm
5.1.16. Konfirmasi posisi kateter dengan melakukan pemeriksaan fototoraks
5.2.15. Masukkan kateter melalui wire, lalu flush masing-masing kateter dengan NaCl
0,9% yang sudah dicampur heparin, bilas sampai jernih.
5.2.16. Tutup ujung semua cabang kateter
5.2.17. Fiksasi dengan jahitan, tutup dengan kasa steril dan plester atau tegaderm
5.2.18. Konfirmasi posisi kateter dengan fototoraks
7. Tingkat Evidens : IV
8. Tingkat Rekomendasi : A
10. Kepustakaan
10.1. Principles of Critical Care. 3rd ed. Editor Hall JB, Schmidt GA, Wood LDH. Mc
Graw-Hill. 2005
10.2. Central venous access via v subclavian approach to the subclavian vein. Roe III JE.
Editor Rick Kulkani. Updated august 2012.
10.3. Oh’s Intensive care Manual. 5th ed. Editors Andrew D Bersten, Neil Soni. Butterworth
Heinemann. 2003.
10.4. Guideline on the insertion and management of central venous access devices in adult.
L. Bishop; L Dougherty; A Bodenham et al. international Journal of Laboratory
Hematology; 2007;29: 261-278.
10.5. ICU Protocols. A Stepwise Approach. Editors Chawla R; Todi S. ISCCM. Springer
2012.
KEMENTERIAN PENDIDIKAN, KEBUDAYAAN, RISET,
DAN TEKNOLOGI
UNIVERSITAS MATARAM
RUMAH SAKIT
Jl. Majapahit No.62 Mataram, Nusa Tenggara Barat 83125
Telepon: (0370) 785100 / 081775165995 Laman: www.rs.unram.ac.id Email: rsum@unram.ac.id
1. Pengertian (Definisi)
Pemasangan chest tube adalah insersi dan penempatan suatu pipa steril ke dalam ruang
pleura untuk mengeluarkan udara atau cairan ke dalam sistem penampung tertutup untuk
mengembalikan tekanan intra toraks yang negatif, memperbaiki pengembangan paru-paru
dan mencegah terjadinya kematian akibat tension pneumothorax
2. Indikasi
2.1. Pneumotoraks,
2.2. Hemotoraks
2.3. Empiema
2.4. Chylothorax
2.5. Efusi pleura
3. Kontra Indikasi
Kontra indikasi relatif :
4. Persiapan
4.1. Informed consent
4.2. Pengetahuan anatomi,struktur-struktur dinding dada, intra toraks dan intra abdomen ,
dan teknik aseptic secara umum,
4.3. Persiapan alat & bahan:
4.3.1. Gaun dan sarung tangan steril,
4.3.2. Topi & masker,
4.3.3. Larutan chlorhexidine atau povidone-iodine,
4.3.4. Kain duk penutup yang berlubang dan kasa steril,
4.3.5. Lidocain 2% tanpa epinefrin,
KEMENTERIAN PENDIDIKAN, KEBUDAYAAN, RISET,
DAN TEKNOLOGI
UNIVERSITAS MATARAM
RUMAH SAKIT
Jl. Majapahit No.62 Mataram, Nusa Tenggara Barat 83125
Telepon: (0370) 785100 / 081775165995 Laman: www.rs.unram.ac.id Email: rsum@unram.ac.id
5. Prosedur Tindakan
5.1. Pasien diposisikan terlentang kepala lebih tinggi, lengan atas ke atas, tentukan titik
insersi pada linea axillaris media, celah iga 4-5,
5.2. Operator menggunakan gaun dan sarung tangan steril, bertopi dan menggunakan masker
mulut-hidung. Dilakukan desinfeksi pada tempat insersi dan sekelilingnya, tutup duk
steril, kemudian infiltrasi lidokain 2% pada tempat insersi
5.3. Insisi kulit melintang 1-2 cm, darah dihentikan/ditekan dengan kasa steril, jaringan
subkutis dibebaskan dengan klem pean sampai menyentuh iga,
5.4. Chest tube dengan trokar diinsersikan dengan cara ujungnya diletakkan pada celah iga 4-
5 tegak lurus dengan permukaan kulit didorong masuk (dengan kuat) ke dalam rongga
toraks, setelah ujung chest tube menembus dinding toraks kemudian diarahkan kranial
untuk kasus pneumotoraks atau ke arah kaudal untuk kasus cairan dalam ruang pleura,
kemudian chest tube didorong masuk sampai semua lubangnya berada dalam ruang
pleura, kemudian trokar ditarik keluar/dilepas, kemudian ujung distal chest tube
dihubungkan dengan WSD, kemudian dilakukan fiksasi chest tube dengan jahitan pada
kulit, dan kemudian ditutup kasa steril dan plester
7. Tingkat Evidens : IV
8. Tingkat Rekomendasi : C
10. Kepustakaan
10.1. Irwin & Rippe’s Intensive Care Medicine 7thEd. Editor: Irwin, R.S. & Rippe, J.M.,
Wolters Kluwer Lippincott Williams & Wilkins, Philadelpia, 2012, hal : 83-88
10.2. Texbook of Critical Care 6th Ed. Editor: Vincent, J.L. et al, Elsevier Saunder,
Philadelpia, 2011, hal: 439-450 & 1509-1517
KEMENTERIAN PENDIDIKAN, KEBUDAYAAN, RISET,
DAN TEKNOLOGI
UNIVERSITAS MATARAM
RUMAH SAKIT
Jl. Majapahit No.62 Mataram, Nusa Tenggara Barat 83125
Telepon: (0370) 785100 / 081775165995 Laman: www.rs.unram.ac.id Email: rsum@unram.ac.id
1. Pengertian (Definisi)
Suatu tindakan pemasangan kateter pada vena sentral seperti pada v jugularis interna, v
subclavia, v jugularis externa atau v femoralis
2. Indikasi
2.1. Pasien yang memerlukan pemantauan tekanan vena sentral serta pemeriksaan saturasi
vena sentral
2.2. Pemberian obat-obat dengan konsentrasi tinggi
2.3. Pemberian obat vasoaktif (inotropic dan vasopressor)
2.4. Pemberian nutrisi parenteral
2.5. Pengambilan sample darah
2.6. Resusitasi cairan yang membutuhkan largebore venous access
2.7. Kesulitan memasang infus perifer
2.8. Transvenous pacing
2.9. Pemasangan kateter Swan-Ganz
2.10.Prolong intravenous chemoterapi
3. Kontra Indikasi
3.1. Absolut :
3.1.1. Distorsi anatomi local (karena operasi, injuri pembuluh darah dan riwayat radiasi)
3.2. Absolut pada v subclavia :
3.2.1. Trauma ipsilateral clavicula, iga proksimal anterior atau pembuluh darah
subclaviaa
3.2.2. Koagulopati
3.3. Kontraindikasi relative pada v subclavia :
3.3.1. Deformitas dinding dada
3.3.2. PPOK
3.4. Kontra indikasi relative :
3.4.1. Ada gangguan koagulasi darah yang berat
3.4.2. Pasien overweight atau underweight
3.4.3. Gangguan mekanis pada daerah leher
KEMENTERIAN PENDIDIKAN, KEBUDAYAAN, RISET,
DAN TEKNOLOGI
UNIVERSITAS MATARAM
RUMAH SAKIT
Jl. Majapahit No.62 Mataram, Nusa Tenggara Barat 83125
Telepon: (0370) 785100 / 081775165995 Laman: www.rs.unram.ac.id Email: rsum@unram.ac.id
4. Persiapan
4.1. Persiapan pasien :
4.1.1. Informed concent pada pasien dan/keluarga pasien
4.1.2. Pasang monitor EKG, pulse- oksimetri
5. Prosedur Tindakan
5.1. Pemasangan pada v subclavia :
5.1.1. Punggung pasien diganjal
5.1.2. Pasien posisi terlentang dan Trendelenberg 150
5.1.3. Cuci tangan, pakai gaun steril dan sarung tangan steril
KEMENTERIAN PENDIDIKAN, KEBUDAYAAN, RISET,
DAN TEKNOLOGI
UNIVERSITAS MATARAM
RUMAH SAKIT
Jl. Majapahit No.62 Mataram, Nusa Tenggara Barat 83125
Telepon: (0370) 785100 / 081775165995 Laman: www.rs.unram.ac.id Email: rsum@unram.ac.id
5.1.4. Desinfeksi daerah subclavia dengan cairan antiseptic meluas kedaerah jugular
ipsilateral sampai dengan papilla mamae ipsilateral dan 1/3 lengan atas ipsilateral
5.1.5. Tutup dengan doek steril
5.1.6. Infiltrasi deengan lidocaine 2% disekitar tempat tusukan
5.1.7. Dari inferior clavicula, susuri clavicula sampai dengan pertemuan clavicula
dengan iga pertama, lakukan puncture dengan jarum kearah sternal notch sambil
dilakukan aspirasi dan bevel mengarah kebawah
5.1.8. Bila saat aspirasi keluar darah warna kehitaman kedalam syringe lalu lepaskan
synring, tutup lumen jarum dan masukkan guide wire (jaga jangan sampai ada
emboli udara) melalui jarum sampai guide wire bertanda garis 2 ( kedalaman ± 20
cm), berhenti memasukkan wire jika ada tahanan
5.1.9. Dilatasi dengan scalpel no 11
5.1.10. Lepaskan jarum dan pertahankan guide wire
5.1.11. Masukkan dilator melalui wire (ukuran kecil lebih dahulu kemudian yang ukuran
lebih besar)
5.1.12. Lepaskan dilator dan pertahankan wire ditempatnya
5.1.13. Masukkan kateter melalui wire sampai kateter mencapai kedalaman 15-20 cm
(perkiraan ujung kateter terletak pada pertemuan vena cava superior dengan
atrium kanan
5.1.14. Aspirasi dari masing-masing cabang kateter dengan syringe yang berisi cairan
NaCl kemudian di flush sampai kateter tampak jernih kemudian tutup masing-
masing lumen kateter
5.1.15. Fiksasi dengan jahitan dan ditutup dengan kasa steril dan plester atau tegaderm
5.1.16. Konfirmaasi posisi kateter dengan melakukan pemeriksaan foto toraks
5.3.15. Masukkan kateter melalui wire, lalu flush masing-masing kateter dengan NaCl
0,9% yang sudah dicampur heparin, bilas sampai jernih
5.3.16. Tutup ujung semua cabang kateter
5.3.17. Fiksasi dengan jahitan, tutup dengan kasa steril dan plester atau tegaderm
5.3.18. Konfirmasi posisi kateter dengan foto toraks
7. Tingkat Evidens : IV
8. Tingkat Rekomendasi : A
10. Kepustakaan
10.1. Principles of Critical Care. 3rd ed. Editor Hall JB, Schmidt GA, Wood LDH. Mc Graw-
Hill. 2005
10.2. Oh’s Intensive care Manual. 5tth ed. Editors Andrew D Bersten, Neil Soni. Butterworth
Heinemann. 2003
10.3. Central venous access via v subclavian approach to the subclavian vein. Roe III JE.
Editor Rick Kulkani. Updated August 2012
KEMENTERIAN PENDIDIKAN, KEBUDAYAAN, RISET,
DAN TEKNOLOGI
UNIVERSITAS MATARAM
RUMAH SAKIT
Jl. Majapahit No.62 Mataram, Nusa Tenggara Barat 83125
Telepon: (0370) 785100 / 081775165995 Laman: www.rs.unram.ac.id Email: rsum@unram.ac.id
10.4. Guideline on the insertion and management of central venous access devices in adult.
L. Bishop; L Dougherty; A Bodenham et al. international Journal of Laboratory
Hematology; 2007;29: 261-278
10.5. ICU Protocols. A Stepwise Approach. Editors Chawla R; Todi S. ISCCM. Springer
2012
KEMENTERIAN PENDIDIKAN, KEBUDAYAAN, RISET,
DAN TEKNOLOGI
UNIVERSITAS MATARAM
RUMAH SAKIT
Jl. Majapahit No.62 Mataram, Nusa Tenggara Barat 83125
Telepon: (0370) 785100 / 081775165995 Laman: www.rs.unram.ac.id Email: rsum@unram.ac.id
1. Pengertian (Definisi)
Resusitasi Jantung Paru Lanjut pada pasien kritis adalah suatu tindakan yang ditujukan untuk
mengembalikan sirkulasi spontan pada pasien yang menderita penyakit atau kondisi akut dan
reversible yang mengalami henti jantung
2. Indikasi
2.1. Fibrilasi Ventrikel
2.2. Takhikardia Ventrikel tanpa nadi
2.3. Aktifitas listrik tanpa nadi
2.4. Asistol
3. Kontra Indikasi
Tidak ada
4. Persiapan
4.1. Pastikan pasien tidak sadar, tidak bernapas, napas tidak adekuwat, (monitor EKG
menujukkan bradikardia atau asistole dan gambaran SpO2 tidak muncul).
4.2. Raba karotis <10 detik, bila tidak teraba lakukan RJP (30 kali kompresi dan 2 kali
bantuan napas), segera persiapkan tindakan intubasi trakea.
4.3. Bila pasien dalam bantuan ventilasi mekanik, lepaskan dari ventilator, lakukan RJP
dengan 100x kompresi/menit dan berikan ventilasi dengan bag-mask 8-10x/menit.
4.4. Kualitas yang harus terpenuhi dalam melakukan RJP:
4.4.1. Tekan yang keras (>5 cm) dan cepat (>100 X/menit) dan memungkinkan paru-
paru mengembang (recoil)
4.4.2. Minimalkan interupsi waktu RJP
4.4.3. Hindarkan ventilasi yang berlebihan
4.4.4. Rotasi kompresor setiap 2 menit
4.4.5. Monitor gelombang kapnografi kuantitatif (bila ada fasilitas) Bila PETCO2< 10
mmHg coba untuk memperbaiki kualitas kompresi
4.5. Bila tekanan fase relaksasi (diastol< 20 mmHg, perbaiki kualitas kompresi
KEMENTERIAN PENDIDIKAN, KEBUDAYAAN, RISET,
DAN TEKNOLOGI
UNIVERSITAS MATARAM
RUMAH SAKIT
Jl. Majapahit No.62 Mataram, Nusa Tenggara Barat 83125
Telepon: (0370) 785100 / 081775165995 Laman: www.rs.unram.ac.id Email: rsum@unram.ac.id
Catatan:
5. Prosedur Tindakan
5.1. Evaluasi penyebab henti jantung yaitu:
5.1.1. Hipoksemia
5.1.2. Hipovolemia
5.1.3. Hidrogen ion (asidosis)
5.1.4. Hipo/Hiperkalemia
5.1.5. Hipotermia
5.1.6. Tension pnemotoraks
5.1.7. Tamponade kardiak
5.1.8. Toksin
5.1.9. Trombosis paru
5.1.10. Trombosis kardiak
7. Prognosis :
7.1. Ad Vitam : Dubia at bonam
7.2. Ad sanationam : Dubia ad bonam
7.3. Ad Fungsionam : Dubia ad bonam
8. Tingkat Evidens : IV
9. Tingkat Rekomendasi : A
11. Kepustakaan
11.1. Morrison LJ, Chair, Kirzek G, Diekema DS, Sayre MR, Silvers SM, Idris AH,
Mancini ME. Ethics. American Heart Association Guidelines for Cardiopulmonary
Resuscitation and Emergency Cardiovascular Care. Circulation. 2010;122 (Suppl 3):
S665-75
11.2. Neumar RW, Chair, Otto CW, Link MS, Kronick SL, Shuster M, Callaway CW,
Kudenchuck PJ, Ornato JP, McNally B, Silver SM, Passman RS, White RD, Hess EP,
Tang W, Davis D, Sinz E Morrison LJ. Adult advance cardiovascular life support:
2010 American Heart Association Guidelines for Cardiopulmonary Resuscitation and
Emergency Cardiovascular Care. Circulation. 2010;122 (Suppl 3): S729-767
KEMENTERIAN PENDIDIKAN, KEBUDAYAAN, RISET,
DAN TEKNOLOGI
UNIVERSITAS MATARAM
RUMAH SAKIT
Jl. Majapahit No.62 Mataram, Nusa Tenggara Barat 83125
Telepon: (0370) 785100 / 081775165995 Laman: www.rs.unram.ac.id Email: rsum@unram.ac.id
1. Pengertian (Definisi)
Torakosentesis adalah suatu tindakan memasukkan jarum ke rongga pleura untuk
mengeluarkan cairan dari rongga pleura
2. Indikasi
2.1. Diagnostik :
2.1.1. Untuk mengetahui proses infeksi atau proses lain yang menyebabkan terjadinya
efusi pleura
2.1.2. Kemungkinan adanya proses keganasan
2.2. Terapi :
2.2.1. Mengurangi sesak napas pada efusi pleura
3. Kontra Indikasi
3.1. Relatif : Gangguan pembekuan darah/faal hemostasis
3.2. Mutlak : Tidak ada.
4. Persiapan
4.1. Pasien :
4.1.1. Penjelasan kepada pasien tentang tindakan yang akan dilakukan
4.1.2. Ijin tindakan dari pasien atau keluarga
4.1.3. Foto toraks PA/lateral
4.1.4. USG toraks
4.1.5. Pasien diberikan terapi oksigen sesuai kebutuhan.
4.2. Alat :
4.2.1. USG dengan probe konkaf.
4.2.2. Alat monitor tekanan darah, ekg, puls oksimetri.
4.2.3. Meja steril berisi :
4.2.3.1. Sarung tangan 1-2 pasang
4.2.3.2. Pinset
4.2.3.3. Kain kasa
KEMENTERIAN PENDIDIKAN, KEBUDAYAAN, RISET,
DAN TEKNOLOGI
UNIVERSITAS MATARAM
RUMAH SAKIT
Jl. Majapahit No.62 Mataram, Nusa Tenggara Barat 83125
Telepon: (0370) 785100 / 081775165995 Laman: www.rs.unram.ac.id Email: rsum@unram.ac.id
5. Prosedur Tindakan
5.1. Atur posisi pasien sesuai lokasi yang akan dilakukan tindakan (sebaiknya posisi pasien
duduk). Pasien agak menunduk dengan kedua lengan bertumpu pada meja Mayo atau
kedua lengan memeluk bantal.
5.2. Ultrasonografi dilakukan untuk mengkonfirmasi adanya efusi pleura, menilai volume
cairan efusi, melihat adanya lokulasi, dan menentukan titik pungsi yang optimal. Probe
dapat menggunakan transduser kurvalinear (2-5 MHz) atau transduser linear frekuensi
tinggi (7.5-1 MHz). Diafragma yang tampak ekogenik terang harus terindentifikasi
jelas. Posisi diafragma selama siklus inspirasi-ekspirasi harus jelas, agar pemilihan
sela iga yang menjadi titik pungsi tidak bersentuhan dengan posisi tertinggi diafragma.
5.3. Mode M (Motion) pada USG dapat digunakan untuk menentukan kedalaman pleura
viseralis dan jumlah cairan efusi.
5.4. Titik pungsi yang optimal dapat ditentukan dengan mencari kantong cairan terbesar.
Biasanya posisi ini di interkostal 7-9 di antara garis aksilaris posterior dan media. Titik
ini lalu diberi tanda.
5.5. Lakukan tindakan desinfeksi pada daerah yang akan dilakukan punksi pleura dengan
betadine lalu alkohol 70%
5.6. Lakukan anestesi infiltrasi dengan lidokain 2% pada lokasi tindakan di sela iga dan di
atas iga bawah sampai pleura parietal.
5.7. Lakukan punksi percobaan dengan melakukan pengisapan cairan pleura dengan spuit
anestesi tersebut.
5.8. Setelah yakin cairan pleura keluar, spuit dicabut.
5.9. Masukkan abocath no 14 pada bekas tusukan tadi lalu hubungkan dengan blood set.
KEMENTERIAN PENDIDIKAN, KEBUDAYAAN, RISET,
DAN TEKNOLOGI
UNIVERSITAS MATARAM
RUMAH SAKIT
Jl. Majapahit No.62 Mataram, Nusa Tenggara Barat 83125
Telepon: (0370) 785100 / 081775165995 Laman: www.rs.unram.ac.id Email: rsum@unram.ac.id
5.10. Cairan pleura dialirkan ke dalam botol berisi Nacl 0,9% +betadin
5.11. Cairan pleura untuk bahan pemeriksaan ditampung dalam pot plastik.
5.12. Bila cairan pleura tidak keluar lagi atau pasien mengeluh sesak nafas atau batuk-batuk,
jarum dicabut (pengeluaran cairan maksimal 1500cc)
5.13. Tutup bekas tusukan dengan kasa steril yang telah diberi betadin lalu fiksasi dengan
plester.
5.14. Pantau tanda vital akhir pasien 15 menit setelah tindakan.
5.15. Bahan pemeriksaan diberi label lalu dikirim ke laboratorium
7. Tingkat Evidens : IV
8. Tingkat Rekomendasi : C
10. Kepustakaan
10.1. Sokolowski JW, Jr., Burgher LW, Jones FL, Jr., Patterson JR, and Paul A. Selecky
"Guidelines for Thoracentesis and Needle Biopsy of the Pleura", American Review of
Respiratory Disease, Vol. 140, No. 1 (1989), pp. 257-258
10.2. Brauner ME, Mosenifar Z. Thoracentesis.
http://emedicine.medscape.com/article/80640-overview#showall Diunduh tanggal 15
Oktober 2013
KEMENTERIAN PENDIDIKAN, KEBUDAYAAN, RISET,
DAN TEKNOLOGI
UNIVERSITAS MATARAM
RUMAH SAKIT
Jl. Majapahit No.62 Mataram, Nusa Tenggara Barat 83125
Telepon: (0370) 785100 / 081775165995 Laman: www.rs.unram.ac.id Email: rsum@unram.ac.id
1. Pengertian (Definisi)
Adalah tindakan pembiusan dengan cara melakukan penyuntikan ke rongga Epidural dan
memberikan obat anestesi lokal kedalam rongga tersebut untuk memblok rangsangan nyeri
2. IndikasI
Pasien yang akan menjalani tindakan pembedahan yang berlokasi dari dada ke bawah
3. Kontra Indikasi
3.1. Absolut:
3.1.1. peningkatan tekanan intracranial
3.1.2. koagulopati, dalam terapi antikoagulan
3.1.3. infeksi kulit tempat tusukan
3.1.4. penolakan pasien
3.1.5. hipovolemia
3.1.6. kelainan katup jantung berat atau obstruksi aliran dari ventrikel
3.2. Relatif:
3.2.1. sepsis
3.2.2. pasien tidak kooperatif
3.2.3. kelainan neurologis sebelumnya
3.2.4. kelainan tulang belakang yang berat
3.3. Kontroversi:
3.3.1. operasi tulang belakang sebelumnya
3.3.2. pasien tidak dapat berkomunikasi
3.3.3. operasi yang memanjang
3.3.4. operasi dengan kehilangan darah dalam jumlah besar
3.3.5. maneuver yang mempengaruhi respirasi
4. Persiapan
4.1. Pasien :
4.1.1. Penjelasan rencana dan resiko komplikasi tindakan epidural anestesi.
4.1.2. Ijin persetujuan tindakan anestesi dengan blok epidural
4.1.3. Puasa.
4.1.4. Medikasi sesuai resiko anestesi.
KEMENTERIAN PENDIDIKAN, KEBUDAYAAN, RISET,
DAN TEKNOLOGI
UNIVERSITAS MATARAM
RUMAH SAKIT
Jl. Majapahit No.62 Mataram, Nusa Tenggara Barat 83125
Telepon: (0370) 785100 / 081775165995 Laman: www.rs.unram.ac.id Email: rsum@unram.ac.id
4.3.16. Cairan
4.3.16.1. Ringer Laktat (3 kolf)
4.3.16.2. Ringer Asetat (3 kolf)
4.3.16.3. Natrium Clorida 0,9% 500cc (1 kolf)
4.3.16.4. Natrium Clotida 0,9% 25 cc (2 vial)
4.3.16.5. Koloid (Gelatine atau HAES) (2 kolf)
4.3.17. Obat Kegawatan:
4.3.17.1. Dexamethasone (5mg 2 ampul)
4.3.17.2. Methylprednisolone (125mg 2 ampul)
4.3.17.3. Hidrocortisone (100mg 1 ampul)
4.3.17.4. Aminophylin (240mg 1 ampul)
4.3.17.5. Bricasma
4.3.17.6. Asam tranexamat (500mg 2 ampul)
4.3.17.7. Ephedrine (50mg 1 ampul)
4.3.17.8. Epinephrine (1mg 2 ampul)
4.3.17.9. Sulfas atropine (0,25mg 4 ampul)
4.3.17.10. Norepinephrine (4mg 1 ampul)
4.3.17.11. Dopamin (200mg 1 vial)
4.3.17.12. Dobutamin (250mg 1 vial)
4.3.17.13. Milrinone
4.3.17.14. Clonidine (300mcg 1 ampul)
4.3.17.15. Diltiazem
4.3.17.16. Nitrogliserin
4.3.17.17. ISDN
4.3.17.18. Metoprolol
4.3.17.19. D40 (25ml 2 vial)
4.3.17.20. Natrium bicarbonat
4.3.17.21. Amiodarone (150mg 2 ampul)
4.3.17.22. Adenosine
4.3.17.23. Lidocaine (40mg 4 ampul)
4.3.17.24. Furosemide (20mg 4 ampul)
4.3.17.25. Dantrolene
4.3.17.26. Fenoterol nebul (1 buah)
4.3.17.27. Salbutamol nebul (1 buah)
4.3.17.28. Propanolol tablet (10mg 10 buah)
4.3.17.29. Iodine
KEMENTERIAN PENDIDIKAN, KEBUDAYAAN, RISET,
DAN TEKNOLOGI
UNIVERSITAS MATARAM
RUMAH SAKIT
Jl. Majapahit No.62 Mataram, Nusa Tenggara Barat 83125
Telepon: (0370) 785100 / 081775165995 Laman: www.rs.unram.ac.id Email: rsum@unram.ac.id
4.4. Dokter :
4.4.1. Visite perioperatif.
4.4.2. penentuan klasifikasi ASA PS.
4.4.3. Check list kesiapan anestesi.
4.4.4. Pengelolaan nyeri pasca bedah.
5. Prosedur Tindakan
5.1. Pasang monitor standar berupa, Tekanan darah, EKG, Saturasi oksigen.
5.2. Loading menggunakan cairan kristaloid sebanyak 500cc.
5.3. Posisikan Pasien duduk atau tidur miring.
5.4. Identifikasi tempat insersi jarum spinal dan diberikan penanda.
5.5. Mencuci tangan (scrubbing).
5.6. Menggunakan Sarung tangan steril
5.7. Desinfeksi daerah insersi jarum epidural, injeksi anestesi lokal lidokain 2% 40 mg.
5.8. Insersi jarum epidural ditempat yang telah ditandai.
5.9. Didapatkan loss of resistance
5.10. Dipasang kateter (bila diperlukan)
5.11. Injeksikan obat test dose
5.12. Injeksikan Bupivacain 0,5% dan/atau lidocaine 2% dan/atau ropivacaine 0,75%
dan/atau levobupivacaine 5-20cc dikombinasikan dengan adjuvan fentanyl 25-50 µg
dan/atau pethidin 25-50mg dan/atau morfin 1-2 mg.
5.13. Check level ketinggian block.
5.14. Maintanance dengan oksigen 2 lt/mnt menggunakan kanula nasal
5.15. Sedasi dengan midazolam dan/atau diazepam dan/atau Propofol dan/atau Ketamine
dan/atau Thiopental.
5.16. Jika terjadi hipotensi, lakukan prosedur terapi hipotensi.
5.17. Evaluasi ulang untuk memasukkan obat anestesi lagi bila diperlukan untuk
memperpanjang masa anestesi maupun untuk penanganan nyeri setelah pembedahan
6.2. Pengawasan komplikasi yang mungkin terjadi dari tindakan operasi dan pembiusan serta
penanggulangannya.
6.3. Oksigenasi menggunakan oksigen via Canula nasal
7. Tingkat Evidens : II
8. Tingkat Rekomendasi : B
10. Kepustakaan
10.1. Miller’s Anesthesia 7th edition, Ronald D Miller, 2009
10.2. Morgan Clinical Anesthesiology 4th edition, G Edward Morgan, 2006
10.3. Standard dan Pedoman Pelayanan Anestesiologi Indonesia. IDSAI. 2008
KEMENTERIAN PENDIDIKAN, KEBUDAYAAN, RISET,
DAN TEKNOLOGI
UNIVERSITAS MATARAM
RUMAH SAKIT
Jl. Majapahit No.62 Mataram, Nusa Tenggara Barat 83125
Telepon: (0370) 785100 / 081775165995 Laman: www.rs.unram.ac.id Email: rsum@unram.ac.id
RS UNIVERSITAS MATARAM
2022
KEMENTERIAN PENDIDIKAN, KEBUDAYAAN, RISET,
DAN TEKNOLOGI
UNIVERSITAS MATARAM
RUMAH SAKIT
Jl. Majapahit No.62 Mataram, Nusa Tenggara Barat 83125
Telepon: (0370) 785100 / 081775165995 Laman: www.rs.unram.ac.id Email: rsum@unram.ac.id
1. Pengertian (Definisi)
Nyeri akut non-bedah adalah nyeri akut pada pasien yang bukan merupakan akibat
pembedahan. Nyeri dapat terjadi dengan intensitas ringan sampai berat akibat keadaan
patologi selain pembedahan seperti akibat trauma, luka bakar dan kondisi penyakit tertentu
lainnya.
2. Indikasi
Nyeri akut non-bedah dapat berupa nyeri nosiseptif, neuropatik maupun kombinasi dari
keduanya. Rangsangan pada nosiseptor akibat kerusakan pada trauma mekanik, kimiawi dan
termal akan menghasilkan nyeri nosiseptif. Nyeri nosiseptif dapat berupa nyeri visceral
maupun nyeri somatik tergantung dari organ yang menjadi sumber terjadinya nyeri. Nyeri
neuropatik banyak terjadi akibat adanya kerusakan dari struktur saraf baik perifer maupun
sentral. Proses sensitisasi perifer dan sensitisasi sentral akan terjadi pada nyeri akut non-
bedah akibat besarnya input dari perifer yang akan diteruskan ke susunan saraf pusat bila
tidak ditangani dengan cepat dan tepat akan berkembang menjadi nyeri kronik.
3. Kontraindikasi
Tidak ada.
4. Persiapan
DPJP Anestesi melakukan assesmen nyeri akut non bedah, termasuk lokasi, karakteristik,
onset/durasi, frekuensi, kualitas, intensitas, atau beratnya nyeri dan faktor presipitasi
5. Prosedur Tindakan
5.1. Menilai intensitas nyeri dengan menggunakan penilaian Numerical Rating Scale (NRS)
atau dengan Visual Analogue Score (VAS)
KEMENTERIAN PENDIDIKAN, KEBUDAYAAN, RISET,
DAN TEKNOLOGI
UNIVERSITAS MATARAM
RUMAH SAKIT
Jl. Majapahit No.62 Mataram, Nusa Tenggara Barat 83125
Telepon: (0370) 785100 / 081775165995 Laman: www.rs.unram.ac.id Email: rsum@unram.ac.id
5.2. Menilai kualitas dan jenis nyeri sangat penting untuk membedakan nyeri nosiseptif
visceral atau somatik, atau nyeri neuropatik
5.3. Menilai tanda vital lainnya untuk melihat dampak fisiologis bila nyeri tidak ditangani
dengan adekuat seperti terjadinya peningkatan tekanan darah, frekuensi denyut nadi dan
frekuensi nafas
5.4. Memberikan edukasi mengenai penyebab nyeri akut dan cara mengatasinya, cara
penggunaan obat-obatan yang disarankan dan evaluasi terapi melalui kontrol rutin
5.5. Memberikan terapi nyeri akut dengan metode multimodal analgesia yaitu memberikan
obat-obatan dan atau tindakan analgesik yang bekerja pada proses perjalan nyeri yang
berbeda, mulai dari proses transduksi, konduksi, transmisi dan modulasi sesuai dengan
jenis dan intensitas nyeri yang didapatkan. Proses transduksi dapat dihambat dengan
pemberian analgesic golongan NSAID dan parasetamol, proses modulasi banyak
diperkuat dengan pemberian opioid terutama untuk nyeri sedang sampai berat. Tindakan
analgesia dengan menghambat proses konduksi/transmisi nyeri seperti blok saraf
menjadi hal yang paling penting karena dapat mengurangi nyeri secara bermakna dan
meningkatkan kepuasan pasien.
a) Opioid, terutama dengan PCA, efektif a) Opioid, terutama dengan PCA, efektif
pada luka bakar termasuk pada nyeri pada luka bakar termasuk pada nyeri
akibat prosedur tatalakasana luka bakar akibat prosedur tatalakasana luka
(Level II) bakar (Level II)
b) Gabapentin mengurangi nyeri dan b) Gabapentin mengurangi nyeri dan
konsumsi opioid pada nyeri luka bakar konsumsi opioid pada nyeri luka bakar
akut (Level III) akut (Level III)
c) PCA ketamine dan midazolam c) PCA ketamine dan midazolam
memberikan analgesia yang baik dan memberikan analgesia yang baik dan
sedasi pada pasien luka bakar pada saat sedasi pada pasien luka bakar pada
pergantian perban (Level IV) saat pergantian perban (Level IV)
d) Pemberian analgesik tidak menunggu d) Pemberian analgesik tidak menunggu
penegakan diagnosa pada nyeri akut penegakan diagnosa pada nyeri akut
KEMENTERIAN PENDIDIKAN, KEBUDAYAAN, RISET,
DAN TEKNOLOGI
UNIVERSITAS MATARAM
RUMAH SAKIT
Jl. Majapahit No.62 Mataram, Nusa Tenggara Barat 83125
Telepon: (0370) 785100 / 081775165995 Laman: www.rs.unram.ac.id Email: rsum@unram.ac.id
7. Tingkat Evidens : II
KEMENTERIAN PENDIDIKAN, KEBUDAYAAN, RISET,
DAN TEKNOLOGI
UNIVERSITAS MATARAM
RUMAH SAKIT
Jl. Majapahit No.62 Mataram, Nusa Tenggara Barat 83125
Telepon: (0370) 785100 / 081775165995 Laman: www.rs.unram.ac.id Email: rsum@unram.ac.id
8. Tingkat Rekomendasi : B
10. Kepustakaan
10.1. Chandra, S. Panduan Tatalaksana Nyeri Perioperatif. PERDATIN. 2009
10.2. PNPK Anestesi dan Terapi Intensif. Kemenkes. 2015
KEMENTERIAN PENDIDIKAN, KEBUDAYAAN, RISET,
DAN TEKNOLOGI
UNIVERSITAS MATARAM
RUMAH SAKIT
Jl. Majapahit No.62 Mataram, Nusa Tenggara Barat 83125
Telepon: (0370) 785100 / 081775165995 Laman: www.rs.unram.ac.id Email: rsum@unram.ac.id
1. Pengertian (Definisi)
Memeriksa derajat nyeri yang diderita oleh pasien pasien bayi di ruang rawat intensif /
kamar operasi / ruang rawat inap.
2. Indikasi
Mengetahui derajat nyeri yang diderita oleh pasien sehingga dapat diberikan obat
penghilang nyeri yang sesuai
3. Kontra Indikasi
Tidak ada
4. Persiapan
DPJP Anestesi melakukan anamnesis tentang nyeri, termasuk lokasi, karakteristik,
onset/durasi, frekuensi, kualitas, intensitas, atau beratnya nyeri dan faktor presipitasi
5. Prosedur Tindakan
5.1 Penilaian dilakukan dengan menggunakan The Neonatal Infant Pain Scale
(NIPS).Parameter yang dinilai pada skala ini adalah :
5.1.1 Ekspresi wajah
5.1.1.1 Relaksasi (nilai 0)
5.1.1.2 Meringis (nilai 1)
5.1.2 Menangis
5.1.2.1 Tidak menangis (nilai 0)
5.1.2.2 Merengek (nilai 1)
5.1.2.3 Menangis kuat (nilai 2)
5.1.3 Pola nafas
5.1.3.1 Relaksasi (nilai 0)
5.1.3.2 Perubahan pola nafas (nilai 1)
5.1.4 Ekstremitas atas
5.1.4.1 Diikat (nilai 0)
5.1.4.2 Relaksasi (nilai 0)
5.1.4.3 Fleksi (nilai 1)
KEMENTERIAN PENDIDIKAN, KEBUDAYAAN, RISET,
DAN TEKNOLOGI
UNIVERSITAS MATARAM
RUMAH SAKIT
Jl. Majapahit No.62 Mataram, Nusa Tenggara Barat 83125
Telepon: (0370) 785100 / 081775165995 Laman: www.rs.unram.ac.id Email: rsum@unram.ac.id
8. Tingkat Evidens : II
9. Tingkat Rekomendasi : B
11. Kepustakaan
11.1 Chandra, S. Panduan Tatalaksana Nyeri Perioperatif. PERDATIN. 2009.
KEMENTERIAN PENDIDIKAN, KEBUDAYAAN, RISET,
DAN TEKNOLOGI
UNIVERSITAS MATARAM
RUMAH SAKIT
Jl. Majapahit No.62 Mataram, Nusa Tenggara Barat 83125
Telepon: (0370) 785100 / 081775165995 Laman: www.rs.unram.ac.id Email: rsum@unram.ac.id
1. Pengertian (Definisi)
Memeriksa derajat nyeri yang diderita oleh pasien pasien bayi, anak, dan dewasa di ruang
rawat intensif / high care unit /kamaroperasi / ruang rawat inap yang tidak dapat dinilai
menggunakan Numeric Rating Scale atau Wong-Baker FACES Pain Scale.
2. Indikasi
Mengetahui derajat nyeri yang diderita oleh pasien sehingga dapat diberikan obat
penghilang nyeri yang sesuai
3. Kontra Indikasi
Tidak ada
4. Persiapan
DPJP Anestesi melakukan anamnesis tentang nyeri, termasuk lokasi, karakteristik,
onset/durasi, frekuensi, kualitas, intensitas, atau beratnya nyeri dan faktor presipitasi
5. Prosedur Tindakan
Penilaian dilakukan dengan menggunakan skala comfort. Indikator yang dinilai pada skala
ini adalah :
5.1 Kesadaran
Nilai respon pasien saat dirangsang dengan suara, sinar, gerakan. Derajat kedalaman
sedasi diukur dengan:
5.1.3 Mengantuk:
KEMENTERIAN PENDIDIKAN, KEBUDAYAAN, RISET,
DAN TEKNOLOGI
UNIVERSITAS MATARAM
RUMAH SAKIT
Jl. Majapahit No.62 Mataram, Nusa Tenggara Barat 83125
Telepon: (0370) 785100 / 081775165995 Laman: www.rs.unram.ac.id Email: rsum@unram.ac.id
Pasien menutup mata mereka lebih sering atau membuat upaya untuk membuka
mata dan kurang respon sifter hadap lingkungan.
5.1.5 Hyper-alert
Pasien sangat waspada, mungkin dengan mata terbelalak, mengikuti dengan
cepat untuk perubahan halus dalam rangsangan lingkungan dan memiliki respon
yang berlebihan terhadap rangsangan lingkungan
5.2.1 Tenang:
Pasien tampak tenang. Tidak tampak ketakutan atau ada tekanan emosional.
5.2.3 Cemas:
Pasien tampak agak gelisah dan emosional tertekan, tetapi tetap dapat
dikendalikan
5.2.5 Panik:
Sikap pasien memperlihatkan tekanan emosional yang parah dan hilangnya
kontrol perilaku.
KEMENTERIAN PENDIDIKAN, KEBUDAYAAN, RISET,
DAN TEKNOLOGI
UNIVERSITAS MATARAM
RUMAH SAKIT
Jl. Majapahit No.62 Mataram, Nusa Tenggara Barat 83125
Telepon: (0370) 785100 / 081775165995 Laman: www.rs.unram.ac.id Email: rsum@unram.ac.id
Pasien memperlihatkan lebih dari tiga amplitudo pergerakan jari-jari atau kaki,
atau sedikit pergerakan kepala
Penilaian ini berdasarkan respon pasien pada fleksi dan eksten silambat pada
ekstremitas yang bebas (tanpa infus, plester, arterial line atau physical restraint)
5.8.1 Relaksasi
Pasien menunjukkan tidak ada tonus otot wajah dengan tidak bisa menutup
mulut dan menutup mata. Mulut tampak terbuka dan pasien mengeluarkan air
liur
5.8.5 Hyper-alert
Tampak muka meringis dengan ekspresi muka menangis dan tidak nyaman.
Temasuk kerutan ekstrim dari alis, dahi dan lekukan mulut
7. Tingkat Evidens : II
8. Tingkat Rekomendasi : B
10. Kepustakaan
10.1 Chandra, S. Panduan Tatalaksana Nyeri Perioperatif. PERDATIN. 2009.
KEMENTERIAN PENDIDIKAN, KEBUDAYAAN, RISET,
DAN TEKNOLOGI
UNIVERSITAS MATARAM
RUMAH SAKIT
Jl. Majapahit No.62 Mataram, Nusa Tenggara Barat 83125
Telepon: (0370) 785100 / 081775165995 Laman: www.rs.unram.ac.id Email: rsum@unram.ac.id
1. Pengertian (Definisi)
Memeriksa derajat nyeri yang diderita oleh pasien yang tidak sadar atau tidak kooperatif
yang tidak bisa dilakukan asesmen nyeri menggunakan Numeric Rating Scale.
2. Indikasi
Mengetahui derajat nyeri yang diderita oleh pasien sehingga dapat diberikan obat
penghilang nyeri yang sesuai
3. Kontra Indikasi
Tidak ada
4. Persiapan
DPJP Anestesi melakukan anamnesis tentang nyeri, termasuk lokasi, karakteristik,
onset/durasi, frekuensi, kualitas, intensitas, atau beratnya nyeri dan faktor presipitasi
5. Prosedur Tindakan
5.1 Lakukan anamnesis tentang nyeri, termasuk lokasi, karakteristik, onset/durasi,
frekuensi, kualitas, intensitas, atau beratnya nyeri dan faktor presipitasi
5.2 Lakukan asesmen nyeri dengan menggunakan :
5.2.1 Wong Baker Faces Pain Scale Amati raut wajah pasien lalu sesuaikan dengan
gambar yang ada.
8. Tingkat Rekomendasi : B
10. Kepustakaan
10.1 Chandra, S. Panduan Tatalaksana Nyeri Perioperatif. PERDATIN. 2009.
KEMENTERIAN PENDIDIKAN, KEBUDAYAAN, RISET,
DAN TEKNOLOGI
UNIVERSITAS MATARAM
RUMAH SAKIT
Jl. Majapahit No.62 Mataram, Nusa Tenggara Barat 83125
Telepon: (0370) 785100 / 081775165995 Laman: www.rs.unram.ac.id Email: rsum@unram.ac.id
1. Pengertian (Definisi)
Memeriksa derajat nyeri yang diderita oleh pasien
2. Indikasi
Mengetahui derajat nyeri yang diderita oleh pasien sehingga dapat diberikan obat
penghilang nyeri yang sesuai
3. Kontra Indikasi
Tidak ada
4. Persiapan
DPJP Anestesi melakukan edukasi dan persetujuan medik pada keluarga pasien sebelum
melakukan asesmen
5. Prosedur Tindakan
5.1 Lakukan anamnesis tentang nyeri, termasuk lokasi, karakteristik, onset/durasi,
frekuensi, kualitas, intensitas, atau beratnya nyeri dan faktor presipitasi
5.2 Lakukan asesmen nyeri dengan menggunakan :
Numeric Rating Scale pada pasien dewasa dan anak berusia > 14 tahun yang
kooperatif dengan menggunakan angka untuk melambangkan intensitas nyeri yang
dirasakannya. Tanyakan pasien mengenai intensitas nyeri yang dirasakan dan
dilambangkan dengan angka antara 0 – 10.
0 = tidak nyeri
1 – 3 = nyeri ringan (sedikit mengganggu aktivitas sehari-hari)
4 – 6 = nyeri sedang (gangguan nyata terhadap aktivitas sehari-hari)
7 – 10 = nyeri berat (tidak dapat melakukan aktivitas sehari-hari)9
5.3 Minta pasien untuk menunjukkan angka yang sesuai dengan derajat nyeri yang
dideritanya
KEMENTERIAN PENDIDIKAN, KEBUDAYAAN, RISET,
DAN TEKNOLOGI
UNIVERSITAS MATARAM
RUMAH SAKIT
Jl. Majapahit No.62 Mataram, Nusa Tenggara Barat 83125
Telepon: (0370) 785100 / 081775165995 Laman: www.rs.unram.ac.id Email: rsum@unram.ac.id
Asesmen Wong Baker FACES Pain Scale (gambar wajah tersenyum – cemberut –
menangis) pada pasien yang tidak dapat menggambarkan intensitas nyerinya
dengan angka ataupun pasien yang tidak kooperatif. Amati raut wajah pasien lalu
sesuaikan dengan gambar yang ada.
7. Tingkat Evidens : II
8. Tingkat Rekomendasi : B
10. Kepustakaan
10.1 Chandra, S. Panduan Tatalaksana Nyeri Perioperatif. PERDATIN. 2009.
KEMENTERIAN PENDIDIKAN, KEBUDAYAAN, RISET,
DAN TEKNOLOGI
UNIVERSITAS MATARAM
RUMAH SAKIT
Jl. Majapahit No.62 Mataram, Nusa Tenggara Barat 83125
Telepon: (0370) 785100 / 081775165995 Laman: www.rs.unram.ac.id Email: rsum@unram.ac.id
1. Pengertian (Definisi)
Menyiapkan pasien dan keluarga tentang strategi mengurangi nyeri atau menurunkan nyeri
ke level kenyamanan yang diterima oleh pasien
2. Indikasi
Memfasilitasi pasien untuk tindakan pengurangan nyeri
3. Kontra Indikasi
Tidak ada
4. Persiapan
DPJP Anestesi melakukan identifikasi pada identitas pasien dan keluarga pasien
5. Prosedur Tindakan
5.1 Lakukan pengkajian yang komprehensif tentang nyeri, termasuk lokasi, karakteristik,
onset/durasi, frekuensi, kualitas, intensitas, atau beratnya nyeri dan faktor presipitasi
5.2 Amati perlakuan non verbal yang menunjukkan ketidaknyamanan, khususnya
ketidakmampuan komunikasi efektif
5.3 Pastikan pasien menerima analgetik yang tepat
5.4 Gunakan strategi komunikasi terapeutik yang dapat diterima tentang pengalaman nyeri
merasa menerima respon pasien terhadap nyeri
5.5 Identifikasi dampak pengalaman nyeri terhadap kualitas hidup
5.6 Bantu pasien dan keluarga untuk memberikan dukungan
5.7 Bersama keluarga mengidentifikasi kebutuhan untuk mengkaji kenyamanan pasien
dan merencanakan monitoring tindakan
5.8 Beri informasi tentang nyeri seperti penyebab nyeri, berapa lama berakhir, antisipasi
ketidaknyamanan dari prosedur
5.9 Ajarkan kepada pasien untuk mengontrol faktor lingkungan yang dapat mempengaruhi
respon pasien mengalami ketidaknyamanan (misal) temperatur ruangan, cahaya,
kebisingan)
5.10 Mengajarkan pada pasien bagaimana mengurangi atau menghilangkan faktor yang
menjadi presipitasi atau meningkatkan pengalaman nyeri (misal: ketakutan, kelemahan
dan rendahnya pengetahuan
KEMENTERIAN PENDIDIKAN, KEBUDAYAAN, RISET,
DAN TEKNOLOGI
UNIVERSITAS MATARAM
RUMAH SAKIT
Jl. Majapahit No.62 Mataram, Nusa Tenggara Barat 83125
Telepon: (0370) 785100 / 081775165995 Laman: www.rs.unram.ac.id Email: rsum@unram.ac.id
5.11 Pilih dan implementasikan berbagai cara (misal: farmakologi, nonfarmakologi, dan
interpersonal) untuk memfasilitasi penurun nyeri
5.12 Mengajarkan kepada pasien untuk mempertimbangkan jenis dan sumber nyeri ketika
memilih strategi penurun nyeri
5.13 Anjurkan pasien untuk memantau nyerinya sendiri dan intervensi segera
5.14 Ajarkan teknik penggunaan nonfarmakologi (misal: hypnosis, relaksasi, terapi musik,
distraksi, terapi bermain, terapi aktivitas, acupressure, terapi dingin/panas, dan
pijatan.
7. Tingkat Evidens : II
8. Tingkat Rekomendasi : B
10. Kepustakaan
10.1 Chandra, S. Panduan Tatalaksana Nyeri Perioperatif. PERDATIN. 2009.
KEMENTERIAN PENDIDIKAN, KEBUDAYAAN, RISET,
DAN TEKNOLOGI
UNIVERSITAS MATARAM
RUMAH SAKIT
Jl. Majapahit No.62 Mataram, Nusa Tenggara Barat 83125
Telepon: (0370) 785100 / 081775165995 Laman: www.rs.unram.ac.id Email: rsum@unram.ac.id
1. Pengertian (Definisi)
Suatu tindakan untuk mengurangi nyeri yang dirasakan oleh pasien
2. Indikasi
Melakukan tatalaksana nyeri sehingga dapat :
3. Kontra Indikasi
Tidak ada
4. Persiapan
DPJP anestesi melakukan penilaian nyeri sebelum tindakan untuk perencanaan pemberian
analgetik
5. Prosedur Tindakan
5.1 Farmakologi: gunakan Step-Ladder WHO
5.1.1 OAINS efektif untuk nyeri ringan-sedang, opioid efektif untuk nyeri sedang-
berat.
5.1.2 Mulailah dengan pemberian OAINS / opioid lemah (langkah 1 dan 2) dnegan
pemberian intermiten (pro re nata-prn) opioid kuat yang disesuaikan dengan
kebutuhan pasien.
Jika langkah 1 dan 2 kurang efektif / nyeri menjadi sedang-berat, dapat ditingkatkan
menjadi langkah 3
5.1.3 (ganti dengan opioid kuat dan prn analgesik dalam kurun waktu 24 jam setelah
langkah 1).
5.1.4 Penggunaan opioid harus dititrasi. Opioid standar yang sering digunakan
adalah morfin, kodein.
5.1.5 Jika pasien memiliki kontraindikasi absolut OAINS, dapat diberikan opioid
ringan.
KEMENTERIAN PENDIDIKAN, KEBUDAYAAN, RISET,
DAN TEKNOLOGI
UNIVERSITAS MATARAM
RUMAH SAKIT
Jl. Majapahit No.62 Mataram, Nusa Tenggara Barat 83125
Telepon: (0370) 785100 / 081775165995 Laman: www.rs.unram.ac.id Email: rsum@unram.ac.id
5.1.6 Jika fase nyeri akut pasien telah terlewati, lakukan pengurangan dosis secara
bertahap
5.1.6.1 Intravena: antikonvulsan, ketamine, OAINS, opioid
5.1.6.2 Oral: antikonvulsan, antidepresan, antihistamin, anxiolytic,
kortikosteroid, anestesi lokal, OAINS, opioid, tramadol.
5.1.6.3 Rektal (supositoria): parasetamol, aspirin, opioid, fenotiazin
5.1.6.4 Topical: lidokain patch, EMLA
5.1.6.5 Subkutan: opioid, anestesi lokal
5.2 Non-farmakologi:
5.2.1 Olah raga
5.2.2 Imobilisasi
5.2.3 Pijat
5.2.4 Relaksasi
5.3 Follow-up / asesmen ulang
5.3.1 Asesmen ulang sebaiknya dilakukan dengan interval yang teratur.
5.3.2 Panduan umum:
5.3.2.1 Pemberian parenteral: 30 menit
5.3.2.2 Pemberian oral: 60 menit.
5.3.2.3 Intervensi non-farmakologi: 30-60 menit.
7. Tingkat Evidens : II
8. Tingkat Rekomendasi : B
10. Kepustakaan
10.1 Chandra, S. Panduan Tatalaksana Nyeri Perioperatif. PERDATIN. 2009.
KEMENTERIAN PENDIDIKAN, KEBUDAYAAN, RISET,
DAN TEKNOLOGI
UNIVERSITAS MATARAM
RUMAH SAKIT
Jl. Majapahit No.62 Mataram, Nusa Tenggara Barat 83125
Telepon: (0370) 785100 / 081775165995 Laman: www.rs.unram.ac.id Email: rsum@unram.ac.id
1. Pengertian (Definisi)
Suatu mekanisme pelaporan yang dilakukan oleh perawat atau dokter jaga ruangan kepada
dokter pananggung jawab pasien untuk menangani nyeri
2. Indikasi
Melakukan tatalaksana nyeri di ruangan sehingga pasien dapat dengan segera ditanggulangi
rasa nyeri yang dialami
3. Kontra Indikasi
Tidak ada
4. Persiapan
Perawat dan Dokter jaga melakukan persiapan pelaporan dengan teknik SBAR-TBAK
5. Prosedur Tindakan
5.1 Pelaporan pasien dilakukan oleh perawat atau dokter jaga ruangan pada pasien yang
mengeluh nyeri. Semua pasien nyeri merupakan tanggung jawab dokter penanggung
jawab pelayanan (DPJP), kecuali pasien 24 jam post operasi.
5.2 Bila perawat atau dokter jaga menemukan pasien yang mengeluh nyeri, lakukan
penilaian derajat nyeri dengan menggunakan numeric rating scale atau wong baker
face, setelah itu laporkan pada DPJP kemudian DPJP memberikan terapi berdasarkan
derajat nyeri sesuai panduan terapi penanganan nyeri RSHS
5.3 Pada pasien-pasien 24 jam post operasi, penananganan nyeri diberikan oleh dokter
spesialis anestesi yang bersangkutan. Bila pasien mengeluh nyeri, laporkan pada
dokter anestesi yang bersangkutan atau pada residen jaga anestesi. Dokter Spesialis
Anestesi yang bersangkutan atau residen jaga anestesi memberikan terapi berdasarkan
derajat nyeri sesuai panduan terapi penanganan nyeri RSHS.
7. Tingkat Evidens : II
KEMENTERIAN PENDIDIKAN, KEBUDAYAAN, RISET,
DAN TEKNOLOGI
UNIVERSITAS MATARAM
RUMAH SAKIT
Jl. Majapahit No.62 Mataram, Nusa Tenggara Barat 83125
Telepon: (0370) 785100 / 081775165995 Laman: www.rs.unram.ac.id Email: rsum@unram.ac.id
8. Tingkat Rekomendasi : B
10. Kepustakaan
10.1 Chandra, S. Panduan Tatalaksana Nyeri Perioperatif. PERDATIN. 2009.
KEMENTERIAN PENDIDIKAN, KEBUDAYAAN, RISET,
DAN TEKNOLOGI
UNIVERSITAS MATARAM
RUMAH SAKIT
Jl. Majapahit No.62 Mataram, Nusa Tenggara Barat 83125
Telepon: (0370) 785100 / 081775165995 Laman: www.rs.unram.ac.id Email: rsum@unram.ac.id
1. Pengertian (Definisi)
Nyeri akut adalah nyeri yang berlangsung kurang dari enam minggu
2. Indikasi
Sebagai acuan penerapan langkah-langkah untuk tatalaksana pasien yang mengalami nyeri
akut dalam mengurangi
3. Kontra Indikasi
Tidak ada
4. Persiapan
DPJP anestesi melakukan penilaian nyeri sebelum tindakan untuk perencanaan pemberian
analgetik
5. Prosedur Tindakan
5.1 TIM APS (Acute Pain Service) melakukan evaluasi klinis terhadap nyeri yang
dikeluhkan oleh pasien (patologis, pengobatan, lamanya keluhan,
kecemasan/ketakutan dan lain-lain) berdasarkan kosultasi dari ruangan perawatan dan
poliklinik.
5.2 Seluruh pasien yang akan mengalami pembedahan berencana (dan pembedahan
darurat bila memungkinkan) selayaknya mendapatkan penjelasan tentang rencana
pengelolaan nyeri pascaoperasi sesuai umur ( anak dan dewasa) dan prosedur
operasinya.
5.3 Nyeri harus dinilai oleh pasien sendiri berdasarkan skor nyeri pada saat menarik napas
dalam, batuk dan bergerak, tidak hanya pada saat istirahat. Penilaian berkala terhadap
keluhan nyeri dan mual, dikombinasi dengan penilaian keperawatan (laju napas, level
sedasi, laju nadi dan tekanan darah) harus dilakukan pada seluruh pasien pascaoperasi
dan pascatrauma dengan menggunakan standar observasi pascaoperasi atau standar
obervasi ACPS( acute and chronic pain services
5.4 Pemberian analgesia dengan pendekatan multimodal. Parasetamol harus digunakan
sebagai langkah pertama analgesia (bila tidak ada kontraindikasi). Obat analgesia yang
lain dapat ditambahkan (bukan diganti) sebagai langkah berikutnya tergantung
KEMENTERIAN PENDIDIKAN, KEBUDAYAAN, RISET,
DAN TEKNOLOGI
UNIVERSITAS MATARAM
RUMAH SAKIT
Jl. Majapahit No.62 Mataram, Nusa Tenggara Barat 83125
Telepon: (0370) 785100 / 081775165995 Laman: www.rs.unram.ac.id Email: rsum@unram.ac.id
beratnya nyeri yang dirasakan pasien dan reponsnya. Kombinasi analgesia dari grup
yang berbeda, harus dapat memberikan efek aditif atau sinergis tanpa meningkatkan
resiko efek samping.
5.5 Pemberian modalitas nyeri parenteral disesuaikan dengan tingkat nyeri, keadaan
penyakit penyerta, jenis operasi, dan indikasi klinisnya. Modalitasnya dapat berupa
sistemik (PCA, infus terkontrol,transdermal,rektal atau mukosal, NSAID), regional
(infiltrasi daerah operasi, blok regional neuroaksial atau perifer
5.6 Pemberian analgesi lebih awal (pre-emptive analgesia) dapat menurunkan keluhan
nyeri berikutnya dan kebutuhan obat analgesinya pada sebagian besar pasien. Untuk
pasien pascaoperasi atau pascatrauma kemungkinan timbulnya nyeri yang sedang
sampai berat harus diantisipasi dengan pendekatan kombinasi analgesi yang tepat.
Untuk pasien yang mengalami nyeripada preoperasi, penggunaan analgesi awal sangat
dibutuhkan dan memerlukan analgesi opioid secara titrasi sampai efek yang diinginkan
tercapai.
5.7 preoperasi, penggunaan analgesi awal sangat dibutuhkan dan memerlukan analgesi
opioid secara titrasi sampai efek yang diinginkan tercapai.
5.8 Pengakhiran obat parenteral/opioid kuat. Harus direncanakan perubahan metode
analgesi ke analgesi oral bila tersedia dan memungkinkan.
5.9 Beberapa pasien mungkin tidak mendapatkan penanganan nyeri yang adekuat dan
membutuhkan pengelolaan secara individual akibat masalah kesehatah yang
dideritanya. Mungkin diperlukan diskusi dengan konsultan anestesi pada beberapa
kondisi khusus ini.
7. Tingkat Evidens : II
8. Tingkat Rekomendasi : B
KEMENTERIAN PENDIDIKAN, KEBUDAYAAN, RISET,
DAN TEKNOLOGI
UNIVERSITAS MATARAM
RUMAH SAKIT
Jl. Majapahit No.62 Mataram, Nusa Tenggara Barat 83125
Telepon: (0370) 785100 / 081775165995 Laman: www.rs.unram.ac.id Email: rsum@unram.ac.id
10. Kepustakaan
10.1 Chandra, S. Panduan Tatalaksana Nyeri Perioperatif. PERDATIN. 2009.
KEMENTERIAN PENDIDIKAN, KEBUDAYAAN, RISET,
DAN TEKNOLOGI
UNIVERSITAS MATARAM
RUMAH SAKIT
Jl. Majapahit No.62 Mataram, Nusa Tenggara Barat 83125
Telepon: (0370) 785100 / 081775165995 Laman: www.rs.unram.ac.id Email: rsum@unram.ac.id
1. Pengertian (Definisi)
Nyeri kronik adalah nyeri yang berlangsung lebih dari enam minggu
2. Indikasi
Sebagai acuan penerapan langkah-langkah untuk tatalaksana pasien yang mengalami nyeri
kronik
3. Kontra Indikasi
Tidak ada
4. Persiapan
DPJP anestesi melakukan penilaian nyeri sebelum tindakan untuk perencanaan pemberian
analgetik
5. Prosedur Tindakan
5.1 Tim Nyeri melakukan evaluasi klinis terhadap nyeri yang dikeluhkan oleh pasien
berdasarkan kosultasi dari ruangan perawatan dan poliklinik.
5.2 Evaluasi klinis dimulai dari riwayat nyeri yang diderita dan penilaian pengaruhnya
terhadap diri pasien, pemeriksaan fisik, riwayat pemeriksaan diagnostik nyeri yang
sudah dijalani, riwayat intervensi nyeri yang telah didapat, riwayat pemakaian obat-
obatan, dan penilaian terhadap penyakit penyerta serta kondisinya.
5.3 Perencanaan pengobatan harus berdasarkan kebutuhan individu dan masalah yang
dihadapi saat itu. Pertimbangan kemungkinan penggunaan modalitas yang berbeda
harus dijelaskan kepada pasien seperti penggunaan teknik non-invasif atau
penggunaan obat-obatan antinyeri atau penggunaan teknik intervensi invasif seperti
blok regional neuraksial atau perifer, akupuntur, akupressure, trigger point massage.
Penggunaan obat golongan opioid jangan dilakukan sebelum diperoleh penilaian yang
lengkap terhadap keluhan nyeri kronik yang diderita pasien.
5.4 Informed Consent –Tim APS-CPS harus mendiskusikan resiko dan keuntungan dari
penggunaan modalitas terapi nyerinya, ditandatangani oleh pasien atau keluarganya
atau orang yang bertanggung jawab bila pasien tidak mampu mengambil keputusan
medis. Diskusi menyangkut resiko adiksi/penyalahgunaan obat, tidak meredanya
KEMENTERIAN PENDIDIKAN, KEBUDAYAAN, RISET,
DAN TEKNOLOGI
UNIVERSITAS MATARAM
RUMAH SAKIT
Jl. Majapahit No.62 Mataram, Nusa Tenggara Barat 83125
Telepon: (0370) 785100 / 081775165995 Laman: www.rs.unram.ac.id Email: rsum@unram.ac.id
seluruh nyeri dan alternatif modalitas terapi yang lain bila terapi yang diberikan tidak
berpengaruh.
5.5 Persetujuan lisan dan tertulis harus didokumentasikan. Bagi pasien rawat jalan
persetujuan tertulis dan lisan antara dokter dan pasien harus didokumentasikan. Untuk
keamanan dan pertanggungjawaban, persetujuan menyangkut:
5.5.1 Pemeriksaan serum/urine level obat dan sekrining baseline bila diminta.
5.5.2 jumlah dan frekuensi pemberian resep.
5.5.3 Alasan untuk penghentian terapi.
5.5.4 Pengendalian resep dari satu dokter dan satu pharmasi.
5.6 Penilaian secara berkala terhadap efektifitas terapi harus dilakukan. Penilaian tentang
informasi baru etiologi nyeri atau status kesehatan pasien, status fungsional, obat-
obatananalgesi yang akan dilanjutkan, efek samping opioid, kualitas hidup dan
penggunaan indikasi yang salah dari obat-obatan. Pemeriksaan periodik harus
dilakukan untuk menilai kembali penyebab nyeri dan untuk menjamin terapi opioid
masih ada indikasinya. Perhatian juga ditujukan terhadap penurunan fungsi secara
global atau kualitas hidup pasien akibat penggunaan opioid.
5.7 Konsultasi dengan spesialis dibidang lainnya perlu dilakukan tergantung masalah
yang dihadapi pada saat itu. Pengelolaan nyeri kronik pada pasien dengan riwayat
ketergantungan obat atau adanya penyerta gangguan psikiatri dibutuhkan
pertimbangan khusus, tetapi tidak menutup kemungkinan untuk tetap diberikan
opioid.
5.8 Rekam Medis. Pencatatan pada rekam medis oleh dokter harus akurat, dapat dibaca
dan lengkap, sehingga dapat menyediakan informasi yang cukup untuk dokter yang
lain bila dibutuhkan perawatan lanjutan. Rekam medis minimal harus menyangkut
tentang:
5.8.1 Riwayat pengobatan dan pemeriksaan fisik
5.8.2 Diagnostik, terapi, laboratorium yang menunjang diagnostic
5.8.3 Evaluasi dan hasil konsultasi
5.8.4 Obyektif terapi
5.8.5 Diskusi resiko dan keuntungan
5.8.6 Dokumentasi inform consent lisan dan atau tulisan
5.8.7 Terapi menyeluruh penyakit definitifnya.
5.8.8 Instruksi
5.8.9 Peninjauan berkala
KEMENTERIAN PENDIDIKAN, KEBUDAYAAN, RISET,
DAN TEKNOLOGI
UNIVERSITAS MATARAM
RUMAH SAKIT
Jl. Majapahit No.62 Mataram, Nusa Tenggara Barat 83125
Telepon: (0370) 785100 / 081775165995 Laman: www.rs.unram.ac.id Email: rsum@unram.ac.id
7. Tingkat Evidens : II
8. Tingkat Rekomendasi : B
10. Kepustakaan
10.1 Chandra, S. Panduan Tatalaksana Nyeri Perioperatif. PERDATIN. 2009.
KEMENTERIAN PENDIDIKAN, KEBUDAYAAN, RISET,
DAN TEKNOLOGI
UNIVERSITAS MATARAM
RUMAH SAKIT
Jl. Majapahit No.62 Mataram, Nusa Tenggara Barat 83125
Telepon: (0370) 785100 / 081775165995 Laman: www.rs.unram.ac.id Email: rsum@unram.ac.id
KRITERIA SKOR
Pergerakan:
Gerak bertujuan 2
Tidak bergerak 0
Pernafasan:
Kesadaran:
Tidak respon 0
KRITERIA SKOR
Saturasi O2:
Respirasi:
Apnea 0
Sirkulasi:
Kesadaran:
Sadar penuh 2
Dapat dibangunkan 1
Tidak respon 0
Aktivitas:
Nilai total 10. Nilai ≥ 9 masuk pemulihan fase 2 ( Ruang rawat inap )
KEMENTERIAN PENDIDIKAN, KEBUDAYAAN, RISET,
DAN TEKNOLOGI
UNIVERSITAS MATARAM
RUMAH SAKIT
Jl. Majapahit No.62 Mataram, Nusa Tenggara Barat 83125
Telepon: (0370) 785100 / 081775165995 Laman: www.rs.unram.ac.id Email: rsum@unram.ac.id
KRITERIA SKOR
Tanda vital:
Tidak dua-duanya 0
Minimal 2
Sedang 1
Berat 0
Pendarahan surgical:
Minimal 2
Sedang 1
Berat 0
Tidak keduanya 0
1. Pengertian (Definisi)
Anastesi umum didefinisikan sebagai hilangnya rasa nyeri dan hilangnya kesadaran yang
reversible akibat pemberian obat.
Bedah mikro didefinisikan sebagai tindakan yang dilakukan pada bagian tubuh yang
memerlukan mikroskop untuk melihat dan mengoperasinya. Hal ini termasuk pembuluh
darah kecil, saraf, dan tuba. Bedah mikro biasanya dilakukan pada daerah telinga, hidung,
dan tenggorokan karena ini memiliki struktur kecil dan halus.
Pada operasi bedah mikro dilakukan dengan anestesi umum dan dilakukan intubasi untuk
mempertahankan patensi jalan nafas sehingga ventilasi terjaga
2. Indikasi
Operasi yang memerlukan obat pelumpuh otot secara berkelanjutan (contohnya: operasi
vitrectomy)
3. Kontra Indikasi
Penolakan pasien atau keluarga untuk tindakan
4. Persiapan
4.1. Pasien :
4.1.1. Penjelasan rencana dan resiko komplikasi tindakan anestesi umum dengan
inhalasi via face mask.
4.1.2. Ijin persetujuan tindakan anestesi umum dengan intubasi.
4.1.3. Puasa.
4.1.4. Medikasi sesuai resiko anestesi.
4.1.5. Premedikasi pra anestesi.
4.1.6. Kelengkapan pemeriksaan penunjang
4.2. Alat
4.2.1. stetoskop
4.2.2. laringoskop dengan blade sesuai ukuran pasien
4.2.3. pipa endotrakeal 3 ukuran (ukuran pasien, satu nomor diatas, dan satu nomor
dibawah)
KEMENTERIAN PENDIDIKAN, KEBUDAYAAN, RISET,
DAN TEKNOLOGI
UNIVERSITAS MATARAM
RUMAH SAKIT
Jl. Majapahit No.62 Mataram, Nusa Tenggara Barat 83125
Telepon: (0370) 785100 / 081775165995 Laman: www.rs.unram.ac.id Email: rsum@unram.ac.id
4.2.4. laryngeal mask airway 3 ukuran (ukuran pasien, satu nomor diatas, dan satu
nomor dibawah) yang memungkinkan pemasangan pipa nasogastrik dan
penghisapan cairan
4.2.5. introducer atau penuntun
4.2.6. masker 3 ukuran (ukuran pasien, satu nomor diatas, dan satu nomor dibawah)
4.2.7. mesin anestesi dengan sumber gas
4.2.8. alat suction
4.2.9. monitor (SpO2, Elektrokardiogram, tekanan darah, nadi)
4.2.10. McGill tang
4.2.11. spuit cuff
4.2.12. laringoskop dengan blade khusus
4.3.11.1. Cairan
4.3.11.2. Ringer Laktat (3 kolf)
4.3.11.3. Ringer Asetat (3 kolf)
4.3.11.4. Natrium Clorida 0,9% (1 kolf)
4.3.11.5. Koloid (Gelatine atau HAES) (2 kolf)
4.3.12. Obat Kegawatan
4.3.12.1. Dexamethasone (5mg 2 ampul)
4.3.12.2. Methylprednisolone (125mg 2 ampul)
4.3.12.3. Hidrocortisone (100mg 1 ampul)
4.3.12.4. Aminophylin (240mg 1 ampul)
4.3.12.5. Bricasma
4.3.12.6. Asam tranexamat (500mg 2 ampul)
4.3.12.7. Ephedrine (50mg 1 ampul)
4.3.12.8. Epinephrine (1mg 2 ampul)
4.3.12.9. Sulfas atropine (0,25mg 4 ampul)
4.3.12.10. Norepinephrine (4mg 1 ampul)
4.3.12.11. Dopamin (200mg 1 vial)
4.3.12.12. Dobutamin (250mg 1 vial)
4.3.12.13. Milrinone
4.3.12.14. Clonidine (300mcg 1 ampul)
4.3.12.15. Diltiazem
4.3.12.16. Nitrogliserin
4.3.12.17. ISDN
4.3.12.18. Metoprolol
4.3.12.19. D40% (25ml 2 vial)
4.3.12.20. Natrium bicarbonat
4.3.12.21. Amiodarone (150mg 2 ampul)
4.3.12.22. Adenosine
4.3.12.23. Lidocaine (40mg 4 ampul)
4.3.12.24. Furosemide (20mg 4 ampul)
4.3.12.25. Dantrolene
4.3.12.26. Fenoterol nebul (1 buah)
4.3.12.27. Salbutamol nebul (1 buah)
4.3.12.28. Propanolol tablet (10mg 10 buah)
4.3.12.29. Iodine
4.3.12.30. PTU tablet (100mg 10 buah)
KEMENTERIAN PENDIDIKAN, KEBUDAYAAN, RISET,
DAN TEKNOLOGI
UNIVERSITAS MATARAM
RUMAH SAKIT
Jl. Majapahit No.62 Mataram, Nusa Tenggara Barat 83125
Telepon: (0370) 785100 / 081775165995 Laman: www.rs.unram.ac.id Email: rsum@unram.ac.id
4.4. Dokter :
4.4.1. Visite perioperatif.
4.4.2. penentuan klasifikasi ASA PS.
4.4.3. Check list kesiapan anestesi
5. Prosedur Tindakan
5.1. Beri tau pasien tentang tindakan yang akan dilakukan
5.2. Pasang infus dengan IV kateter yang besar
5.3. Periksa sumber oksigen dan sumber gas lain
5.4. Periksa kesiapan mesin anestesia
5.5. Dilakukan teknik:anestesi umum dengan intubasi oral sleep apneu
5.6. Preoksigenasi 4-6 menit
5.7. Induksi menggunakan Midazolam dan/atau Propofol dan/atau Thiopental dan/atau
Halotane dan/atau Sevoflurane
5.8. Lumpuhkan otot dengan atracurium dan/atau Vecuronium dan/atau Rocuronium (pada
teknik Paralized)
5.9. Dilakukan laringoskopi dan pemasangan pipa endotrakeal (dilakukan sebelum induksi
pada teknik awake atau setelah induksi pada teknik asleep)
5.10. Maintanance anestesi menggunakan anestesi inhalasi isofluran dan/atau sevofluran
dan/atau halotan dan/atau propofol dan/atau Thiopental, analgetik berupa fentany
dan/atau morfin dan/atau pethidine, pelumpuh otot atracurium dan/atau Vecuronium
dan/atau Rocuronium secara continue dengan penggunaan syringe pump.
5.11. Selesai operasi pasien dibangunkan.
5.12. Pipa endotrakeal dilepas pada kondisi sadar penuh atau tidur dalam.
5.13. Pasien dipindahkan ke Ruang pulih bila: jalan nafas terkendali dan hemodinamik stabil
7. Tingkat Evidens : I
8. Tingkat Rekomendasi : A
10. Kepustakaan
10.1. Miller’s Anesthesia 7th edition, Ronald D Miller, 2009
10.2. Morgan Clinical Anesthesiology 4th edition, G Edward Morgan, 2006
10.3. Standard dan Pedoman Pelayanan Anestesiologi Indonesia. IDSAI.2008